Prosiding sosiologi-Pendahuluan (1-46) - Apssi Sosiologi

Puji syukur atas kehadirat tuhan yang maha esa, pada pagi hari ini ..... menjadi jago kandang, kita harus siap menjadi jago lapangan, kita harus ...

11 downloads 662 Views 2MB Size
1

2

PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SOSIOLOGI III TRANSFORMASI DEMOKRASI INDONESIA MENUJU PERUBAHAN YANG BERMAKNA Yogyakarta, 20-22 Mei 2014

3

4

Kata Pengantar TEMA demokrasi begitu popular dalam debat akademik maupun sosial di rentang waktu lebih dari satu dekade, sejak Indonesia keluar dari rezim otoriter. Substansi yang dikupas bukan semata menyangkut narasi besar, akan tetapi juga pengalaman praksis level lokal, di komunitas warga yang dianggap cermin nilai-nilai demokrasi akar rumput. Begitu pula tafsir atau interpretasi atas perubahan di level tata kenegaraan, dinamika masyarakat sipil, perilaku aktor politik, media massa, sampai “jagad tersembunyi” di entitas grass root juga begitu penuh warna. Baik konsep, teori, metodologi maupun pandangan reflektif atas ragam observasi didalam membedah seputar demokratisasi Indonesia. Para intelektual baik akademisi, aktivis gerakan sosial, budayawan, serta praktisi juga telah banyak melakukan sesuatu dengan berjuta karya. Baik melalui riset, diskusi, advokasi kebijakan, bahkan mengorganisasi masyarakat dengan hasil gemilang. Sepanjang reformasi begitu banyak bermunculalan buku, jurnal, risalah-risalah diskusi, policy brief, artikel, ataupun naskah-naskah karya publikasi sejenis yang rata-rata mengamati begitu mendalam agenda pergeseran struktur sosial dan dinamika politik bertajuk demokratisasi. Apa yang dikompilasikan dalam buku ini—kumpulan beberapa artikel, tidak lain sebagai bagian dari ekspresi perhatian para sosiolog atas situasi demokrasi Indonesia itu. Perhelatan Kongres Nasional Sosiologi III yang digelar oleh Asosiasi Program Studi Sosiologi (APSSI) beker5

jasama dengan Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) serta Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada pada 20-22 Mei 2014 lalu di Kampus Universitas Gadjah Mada bertema “Transformasi Demokrasi Indonesia Menuju Perubahan yang Bermakna”” ternyata telah menelorkan begitu banyak tulisan. Bentuknya berupa paper panjang maupun artikel pendek, serta prosiding diskusi dalam klaster tematik yang kesemuanya berupaya membaca dari berbagai sudut seputar perjalanan demokrasi dan demokratisasi. Mulai dari soal perayaan identitas, etika politik, kajian media dalam pemilu, relasi kuasa gender, konflik dan kekerasan, kultur dan patronase kuasa, serta soal korupsi dan money politic, dan seterusnya. Digelarnya perdebatan bertema refleksi demokratisasi Indonesia dalam konfrensi tersebut bukan sekadar karena demi memenuhi kegiatan rutin organisasi penyelenggara kongres. Namun, lebih dari itu adalah sebagai bagian dari respon kritis perubahan Indonesia yang oleh sebagian besar analis kritis disebut demokrasi Indonesia dalam babak penentuan dan pertaruhan. Sebagaimana diketahui, gebyar demokrasi dan demokratisasi mengalami hambatan serius. Selain jebakan formalisasi dan defisit dimana terjadi kesenjangan antara rangkaian instrumen kelembagaan dengan substansi nilai-nilai, kelangsungan pembajakan disana-sini oleh aktoraktor oligark, membuat demokrasi kian memburuk. Risikonya perubahan tidak mendorong emansipasi masyarakat untuk menjadi kekuatan menuju harapan perbaikan. Alih-alih justru apatisme yang tumbuh. Situasi bahkan kian membelok terlampau jauh. Karena alasan begitu sumir bahwa reformasi dianggap gagal, karenanya pembicaraan didalamnyapun kurang memiliki daya tarik. Bahkan pesona itu tiba-tiba tergeser oleh romansa politik orde baru (orba) yang ingin dihadirkan kembali dalam khasanah politik Indonesia. Kondisi ini sungguh memprihatinkan, karena arus itu begitu deras berlangsung dalam diskursus di aras komunitas lokal. Biasanya diekspresikan dalam bahasa-bahasa satir, sindiran. Secara terbuka terpampang di sticker, poster dan iklaniklan, dengan ajakan mengingat jaman orba yang seolah dianggap lebih baik. Perang wacana di media sosial (sosmed) tidak kalah menarik, 6

karena dalam sejumlah laman kicauan beberapa kelompok mencoba mengkonversikan reformasi yang mandeg kedalam stabilitas politik. Kegaduhan politik dikonversikan dalam tindakan depolitisasi. Romansa orba ini persis menjadi pintu pembuka project awal bangunan negara otoriter. Tentu saja itulah realitas yang harus dikritisi. Sekalipun reformasi dalam agenda demokratisasi kurang berhasil meraih tujuan perubahan bermakna yakni cita-cita kesejahteraan dan peradaban politik Indonesia yang bermartabat. Akan tetapi kesemua itu tidak bisa menjadi alasan untuk mengembalikan politik pada jaman otoriter orba. Sejarah telah berubah, struktur masyarakat juga bergeser, dan orientasi telah disepakati menuju kemajuan bangsa keluar dari jaman kegelapan masa lalu. Itu cita-cita yang dalam sejumlah refleksi mendorong para intelektual menyadari situasi yang memburuk tak musti menyerah dalam konservatisme ataukah kemunduruan. Dalam konteks itu, tantangan terpenting yang perlu dijawab adalah bagaimana mengelola kemampuan masyarakat Indonesia dalam menstransformasikan kesempatan berdemokrasi menuju perubahan yang bermakna. Perubahan yang dimaksud adalah, ketika demokrasi telah menyediakan ruang negosiasi yang makin terbuka dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk saling mempengaruhi, berkontribusi dalam berbagai gagasan agar perbaikan kebijakan baik urusan politik, ekonomi, hukum, HAM maupun agenda-agenda positif lainnya lebih mungkin diwujudkan. Semoga tulisan-tulisan yang disajikan dalam buku ringkas ini bermanfaat, paling tidak menjadi inspirasi pendalaman debat demokratisasi Indonesia dari sudut pandang para sosiolog. Jikalau ada keterbatasan penyajian, itu menjadi bagian proses saling belajar, karena kritik dan input menjadi penting disampaikan untuk meningkatkan kualitas perdebatan. Salam, Arie Sujito Ketua Program Studi Sosiologi UGM 7

8

Daftar Isi Kata Pengantar Pendahuluan

15

Diskusi Panel

47

Cluster 1: Etika dan Perilaku Budaya Politik (A1)

67

Cluster 2: Etika dan Perilaku Budaya Politik (A2)

105

Cluster 3: Gender dan Representasi Politik

147

Cluster 4: Konflik dan Politik Identitas

185

Cluster 5: Media, Selebritas dan Pencitraan Pemilu

239

Cluster 6: Pemuda dan Pemilih Pemula

277

Cluster 7: Pendidikan Pemilih dan Kualitas Pemilu

297

9

Cluster 8: Struktur, Kelas, dan Modal dalam Politik

347

Sidang Pleno

355

ETIKA, PERILAKU, DAN BUDAYA POLITIK : Citizenhsip Negatif di Banten _Ahmad Abrori Dialektika Demokrasi Indonesia dalam Perspektif Historis_Rosmawati Etos Politik Manusia Indonesia_Yanuardi Syukur

371 407

433



Latarbelakang Individu dan Perilaku Politik_Harifuddin Halim, dkk

451



Logistik Pemilu dan Korupsi Politik_Ayu Kusumastuti

479



Membangun Tata Pemerintahan Yang Baik Melalui 503 Pemilu Berkualitas_Hardilina



Partisipasi Penyandang Disabilitas Dalam Pemilu 2014_Slamet Thohari

527



Perilaku Politik Transaksi Calon Legislatif dan Pemilih_Alfitri

549



Potret Etika, Perilaku dan Budaya Politik Pada Pelaksanaan Pemilu 9 April 2014_Basri

569

10



Struktur Kelas dan Modal Politik_Nazrina Zuryani

595



Transformasi Perilaku Politik Berbasis Nilai Lokal_Ansar Arifin,dkk.

605



Wacana Politik Pilgub Jawa Timur 2013_ Siti Khofifah dkk

629

GENDER DAN REPRESENTASI POLITIK : Etnisitas dan Peran Politik Perempuan_Sindung Haryanto

655



Maskulinitas Dan Partisipasi Perempuan Dalam Politik_Argyo Demartoto

685



Modal Sosial Caleg_Diana Dewi Sartika dan Eva Lidya

705



Representasi Kepentingan Perempuan Dalam Partai Politik_Siti Zunariyah dan Irine Rizkyana

717



Revitalisasi Pendidikan Politik Berperspektif Gender_Syarifah Ema

745



Suara Perempuan Kemana_Ina Restiani H

771

11

KONFLIK DAN POLITIK IDENTITAS :

Islamism From Below_Abdil Mughis

799



Politik Identitas Berbasis Agama_Fitri Harahap

815



Politik Identitas Islam Dan Empat Perang Aceh_M. Nazaruddin

829



Tantangan Demokrasi Di Daerah Bekas Konflik _Fajri

881



MEDIA SELEBRITAS DAN PENCIPTA PEMILU : Demokrasi Online-Offline_Derajad S. Widhyharto. 907

Dramaturgi Aktor-Aktor Politik_Andi Burchanuddin,dkk.

933



Parodi Kampanye Pemilu di Media Jejaring Sosial_Sri Murlianti

957



Pemanfaatan Media Sosial Untuk Pemasaran Politik_ Sigit Pranawa

983



Politik Selebritas Atau Selebritas Politik _Warsisto

1003



Stand Up Comedy Menyuarakan Demokrasi Di Indonesia_Ikma Citra

1021

Teater Rakyat Media Alternatif Bagi Pemilih Marginal_Sih Natalia Sukmi

1045

12

PEMULA DAN PEMILIH PEMULA : Manfaat Pertemuan Informal_GPB Suka Arjawa

1063



Muda Muslim Modern_Najib Azca dan Zaki Arrobi 1077



Optimalisasi Dan Partisipasi Pemilih Pemula_Sri Hilmi Puji Hartati

1093



Partisipasi Pemilih Pemula_Deere Dirk Veplun

1099



Peran Politik Pemuda_Miswanto

1109



Persepsi Pemilih Muda Di Kota Surabaya Terhadap Pemilu 2014_Tuti Budirahayu dkk

1127

PENDIDIKAN DAN KUALITAS PEMILU : Faktor Pemilih Penentu Arah Kualitas Pemilu_Sudaru Murti

1153



Pendidikan Demokrasi Untuk Mencerdaskan Rakyat_Bagus Haryono

1171



Pendidikan Politik Untuk Perwujudan Demokrasi Yang Berkeadilan _Alum Simbolon

1193



Performa Calon Legislatif Dan Pendidikan Politik_ Dewi Cahyani P

1223

13

STRUKTUR KELAS DAN MODAL DALAM POLITIK : Gerakan Komunitas Kota dan Politik 1249 Pemilu dalam Pemenangan Ridwan Kamil_Wahyu Gunawan dkk



Merekonstruksi Demokrasi Indonesia_Erik adiyta Ismaya

1275



Transformasi Demokrasi Menuju Perubahan Yang Bermakna_Pamedi Giri Wiloso

1285





14

PENDAHULUAN

15

16

Kata Sambutan Ketua Panitia Konferensi Nasional Sosiologi III Arie Sujito, S.Sos, M.Si Selamat pagi ibu bapak, Assalamualaikum Wr. Wb Yang saya hormati bapak Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si, Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia ibu Prof. Dr. Dwia Aria Tina Pulubunu, dan ketua Asosiasi Program Studi Sosiologi, Dr. Muhammad Najib Azca, dan para pembicara mas Vedi Hadiz, para panelis Dr. Meutia Ghani, Prof. Dr. Sunyoto Usman ibu Dwia yang nanti akan mengisi acara diskusi panel dan yang saya hormati ketua jurusan Sosiologi Prof. Dr. Heru Nugroho, Ketua senatakademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prof. Dr Susetiawan, tamu undangan yang saya hormati dan saya banggakan. Puji syukur atas kehadirat tuhan yang maha esa, pada pagi hari ini kita bisa berkumpul untuk mengikuti rangkaian konferensi nasional sosiologi III bukan kali ini menjadi rangkaian setelah kemarin kita melaksanakan workshop pelaksanaan jurnal untuk jurusan sosiologi. Ibu-bapak yang saya hormati, perlu saya sampaikan disini acara Konferensi Nasional Sosiologi III merupakan bagian dari agenda yang rutin diselenggarakan oleh APSSI (Asosiasi Program Studi Sosiologi) ini merupakan salah satu dari upaya kita untuk memfasilitasi diskusi, 17

memfasilitasi kita, membicarakan perkembangan departemen sosiologi di Indonesia yang itu tersebar di berbagai daerah. Apa yang kita lakukan kali ini bagian dari itu, pada kesempatan kali ini kita di support atau didukung oleh Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) yang pengurusnya diketuai oleh Prof. Dr. Dwia ini sekaligus sebagai rector Universitas Hasanuddin Bapak- ibu yang saya hormati, acara ini dihadiri oleh lebih dari 103 peserta, undangan yang tersebar dari Indonesia timur hingga Indonesia barat dari Papua, Aceh, dari Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Jawa sebagian besar juga hadir, Maluku dan beberapa bagian Bangka Belitung dan seterusnya ini satu kebahagiaan bagi kami untuk bisa mengundang dan menghadirkan semua dalam forum ini, karena forum ini merupakan forum yang kita manfaatkan bukan sekedar sebagai forum akademik tapi juga membangun ikatan jaringan antar program studi sekaligus sosiolog yang tersebar diseluruh Indonesia. Ibu-bapak yang saya hormati, tema yang kita angkat dalam Konferensi Nasional Sosiologi III ini adalah Transformasi Demokrasi Menuju Perubahan yang Bermakna yang mana tema ini adalah bagian dari respon ilmu-ilmu social terhadap kecenderungan terhadap perubahan yang sedang berlangsung, proses transformasi demokrasi yang sekarang lebih dari 16 tahun telah menghasilkan perubahan yang cukuo spesifik, bisa kita lihat melalui liberalisasi politik, kebebasan media dan ruang-ruang yang terbuka bagi masyarakat sipil untuk mengartikulasikan dan menegosiasikan karena ketersediaan ruang untuk negosiasi itu untuk perubahan yang lebih baik. Capaian-capaian positif yang terjadi tentu saja menjadi bagian dari agenda reformasi, hari ini juga momentum yang cukup penting karena 21 Mei 16 tahun yang lalu ada peristiwa reformasi, Universitas Gadjah Mada juga merupakan bagian dari actor selain universitas lain yang terlibat menjadi bagian untuk mengubah keadaan dari pemerintah otoriter menuju pemerintah yang demokrasi, oleh karena itu kita beli applause hari ini ulang tahun reformasi. Ibu-bapak yang saya hormati, dalam arus perubahan yang saat ini terjadi kita tahu persis bahwa demokrasi tidak mudah untuk diselenggarakan dengan capaian-capaian substantive sekalipuan perubahan18

perubahan formal terjadi tetapi kita masih menyaksikan masih banyak studi yang menunjukkan bahwa terjadi deficit demokrasi, ukuranukuran yang sifatnya elementer, instrumental terjadi dalam system demokrasi kita, tetapi fakta tentang oligarki, fakta tentang korupsi, fakta tentang kekerasan dan fakta tentang keculasan pelaksanaan maupun praktek demokrasi formal kita menjadi hambatan sekaligus tantangan serius yang perlu di jawab. Tema ini tentu saja menjadi bagian untuk merespon itu, para ilmuan social dituntut memiliki peran aktif berkontribusi dalam arus perubahan itu dengan berbagai cara, cara yang bisa kita lakukan kita bisa mendorong agar penyelenggaraan demokrasi di Indonesia betul-betul sesuai dengan tracknya tidak keluar dari jalur sebagaimana kehendak dari reformasi, oleh karena itu juga konferensi ini meenggelar berbagai tema dan sub tema yang ini dimksudkan untuk menggali pemikiran-pemikiran bapak ibu semua para dosen dan para pekerja maupun praktisi dalam bergerak dalam ilmu social di Indonesia dan nanti akan disampaikan ketua APSSI mas Najib, bagaimana upaya APSSIini mendorong untuk memfasilitasi mendorong agar program studi yang ada di Indonesia betul-betul menjadi program studi yang pioner, betul-betul menjadi program studi yang inovatif, punya inisiatif didalam membantu perubahan kea rah yang lebih baik, program studi yang bisa memberi kontribusi positif untuk negeri ini. Demikian juga Ikatan Sosiologi Indonesia kita jadikan seabagai gerbong yang bisa membantu memfasilitasi dan mengakomodasi para ilmuan praktisi social maupun mereka yang meminati ilmu-ilmu social khususnya sosiologi untuk berpartisipasi aktif untuk perubahan social yang ada, kami mengundang Prof. Vedi Hadiz untuk hadir sebagai keynote speech yang itu nanti bisa menajdi pengantar kita dalam diskusi, lalu kita lanjutkan ke diskusi panel yang menghadirkan Prof. Dr. Sunyoto Usman, Dr. Meutia Ghani, dan kemudian ibu Dwia yang akan membedah persoalan demokrasi, persoalan perubahan kedepan itu, kearah mana sebetulnya yang bisa kita arahkan, Ibu-bapak yang saya hormati, posisi Konferensi Nasional Sosiologi ini netral tidak berpihak pada timnya Jokowi ataukah Prabowo, karena sekarag ini sedang momentum untuk mempersiapkan pertarungan 19

yang saya sebut denga head to head antara dua kekuatan koalisi kurus dan koalisi gemuk. Itu tentu saja, sebagai gejala politik perlu menjadi perhatian kita semua tanpa harus kita terlibat sebagai politisi atau praktisi dalam politik tetapu kita sesungguhnya sebagai sosiolog tentu saja makhluk politik. Pengertian kita bisa berperan memberikan pencerahan bukan dalam pengertian untuk mengelola kekuasaan dalam pengertian riil tapi pencerahan dalam pengertian kita bisa berperan melalui pengetahuan sehingga kita bisa mempengaruhi perubahan kearah yang lebih baik. Ibu-bapak yang saya hormati, kami selaku panitia, mengucapkan terima kasih, apa yang kami sajikan mungkin jauh dari kesempurnaan jauh dari harapan oleh karena itu kami mengucapkan mohon maaf jika ada keterbatasan atas penyelenggaraan acara ini. Terima kasih pihak fakultas yang mensupport penyelenggaraan ini, para peserta yang hadir dari sabang sampai merauke, para dosen dari berbagai perguruan tinggi maupun Jurusan Sosiologi khususnya dan saya ucapkan terima kasih bagi mahasiswa karena merekalah fasilitasi kita untuk kegiatan penyelenggaraan konferensi ini dapat terselenggara dengan berhasil Akhir kata selamat Konferensi Nasional Sosiologi III semoga kita akan ada pencerahan-pencerahan yang membantu kita untuk berkontribusi melahirkan peradapan Negara yng lebih baik untuk Indonesia. Terima kasih. Wassalamuailaikum Wr.Wb

20

Kata Sambutan Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia Prof. Dr Dwia Aries Tina Palubuhu Assalamualaikum Wr. Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera. Alhamdulillah, saya bisa juga hadir disini, pertama-tama saya ingin menyampaikan beberapa kritik, yang kami hormati para pemateri para panelis, yang saya hormati dekan FISIP, ketua APSSI, Sekjen ISI, kemudian senior-senior Sosiologi se Indonesia yang telah hadir. Para ketua program studi Sosiologi di seluruh Indonesia yang telah hadir dan seluruh undangan yang bergabung pada hari ini. Sekali lagi alhamdulilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT saya kira ini momen yang baik kita berkumpul disini, dengan tema yang baik. Mudah-mudahan pertemuan kita betul-betul menghasilkan pandangan –pandangan arah yang bermakna bukan saja untuk APSSI dan ISI tapi juga untuk kehidupan kebangsaan yang lebih baik. Bapak-ibu yang saya banggakan, kami dari ISI sangat antusias sekali setelah pertemuan ini, kita bisa menjalankan ISI dengan perahu baru dimana kepengurusan yang kita bentuk nanti adalah pengurusan yang mengakomodir semua sosiolog dengan berbagai latr disiplin pengalaman dan konsen masing-masing. Apalagi ketika acara ini tergabung dengan APSSI sehingga tiada lagi jeda, tiada lagi jendela antara APSSI 21

dengan ISI, mari kita applause bersama. ISI dan APSSI satu, kita punya genetika yang sama, genetika melahirkan cenderkiawan-cendekiawan yang punya arti kehidupan kebangsaan ini. Kalau APSSI berperan untuk mengembangkan kapasitas-kapasitas genetic cendekiawan melalui mahasiswa-mahasiswa yang kritis yang bisa melakukan pencerahan bagi diri sendiri dan eksternalnya maka ISI menampung semua sosiolog dari berbagai konsern untuk jadi penggerak, kalau selama ini ISI agak tidur, sebenarnya tidak tidur, sedang melakukan refleksi kritis atau sedang malakukan imajinasi sosiologis mau kemana sosiologi ini. Saya tanya tadi sama mas Arie dan mas Najib, mas coba cari sosiolog yang belakangan ini lagi kondang. Dulu kita punya pak Nasikun, kita punya pak Satrio, pak Selo Soemardjan, pak Sudjito kita punya sosiolog hukum Sacipto Raharjo, kita punya sosiologi kritis Arief Budiman, kita punya pak Hotman Siahaan, kita punya seabrek yang pemerintah itu keder kalo beliau-beliau ini ngomong takut, sekarang mana, apa yang salah dengan program studi kita, apa yang salah dengan organisasi kita , ataukah ada yang salah dengan para sosiolog ini. Rupanya ini bukan kondisi tidur saya bilang, ini kondis kita merenung, kita berimajinasi saatnya kita mulai keluar dari renungan, saatnya kita keluar dari imajinasi, kita bangkitkan refleksi-refleksi kita yang panjang yang kritis, berperan atau istilahnya pertemuan ini bermakna untuk kehidupan berkembangsaan dan juga Negara ini, apalagi momennya sekarang ini tepat sekali, kalau mas Arie tadi bilang kita tidak berpihak, kita tidak netral saya bilang mas Arie kalau kita netral kita normative, kita nggak didengar, kita harus berpihak atau tidak berpihak pada sosok tapi kita berpihak pada kebangsaan kemana pada kepemimpinan ini yang harus dia pegang kearah kedepan apa kita mau kembali ke nilai kebangsaan yang otoriter yang militan atau kita kembali yang cair yang longgar yang berbasis grass root tinggal pilih kita tidak tunjuk orangnya, tidak tunjuk Prabowo tidak tunjuk Jokowi tapi bisa tebak-tebak sendiri kemana. Karena konsep value free itu dalam konsep sosiologi tidak ada makna. Value free itu harus punya makna

22

Inilah bapak-ibu yang saya harapkan pertemuan ini bisa membangkitkan lagi sosiolog-sosiolog di Indonesia menjadi bergaung. Tadi malam saya merenung, kemana ini rupanya ada persoalan-persoalan kita yang harus kita bedah dalam program studi, apakah isu-isu kita didalam setiap subjek nanti harus lebih memberi kesempatan ruang-ruang bagi mahasiswa untuk berdialog lebih luas dan sebagainya apakah didalam organisasi kemahasiswaan harus kita support untuk memberi ini. Para sosiolog juga saya berpikir harus kita bergabung kita tidak hanya nanti menjadi ting teng, kita harus menjadi enzim, kita harus menjadi motor perubahan, ini momennya kita bisa memberikan pandangan-pandangan yang cerdas yang kritis sehingga masyarakat tidak larut dalam carut marut kebingung-bingungan, tidak larus dalam politik-politik yang transaksional. Jangan kita menjadi bagian yang ikut membodohi masyarakat, jangan kita menjadi bagian dari yang ikut melakukan pembiaran terhadap kepemimpinan yang salah nantinya. Bapak ibu dan hadirin, nanti Sekjen akan mengurus tentang kepengurusan ISI kedepan yang saya inginkan dalam periode kepemimpinan ini ISI akan mengakomodasi semua sosiolog, sosiologi pedesaan, sosiologi kesehatan, sosiologi politik, sosiologi para jurnalis, para aktivis, para birokrat kita tamping semua. Mari kita bersama-sama berpikir kearah mana bangsa ini harus berjalan, pada koridornya masing-masing. Saya berharap dengan semakin banyaknya bergabungnya para sosiolog dengan berbagai latar belakang, konsen masing-masing kita bangkitkan era dimana sosiologi punya power didalam mempengaruhi kebijakankebijakan politik bangsa serta Negara. Saya mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara khususnya fakultas ilmu social dan ilmu politik, Universitas Gadjah Mada, APSSI dan ISI semua pihak yang telah banyak membantu mari kita kembangkan APSSI dan ISI menjadu satu bagian dengan framenya sendiri-sendiri tupoksinya sendiri-sendiri tolong gaungkan, salurkan kepada tema-teman sosiolog di wilayah masing-masing bahwa kita satu dan mari bergabung didalam kepengurusan nanti pak Sekjen mas Arie akan mengaktifkan web kita, kita berkomunikasi secara aktif web dan jurnal menjadi suatu media untuk pencerahan juga yang tidak berdiri sendiri, mudah-mudahan dengan niat yang baik 23

karena semua tergantung dari nawaitu saya kira kita bangkitkan lagi era kejayaan sosiologi buat Indonesia. Demikian terima kasih wabilahitaufiwalhidayah, wassalamualaikum wr.wb

24

Kata Sambutan Ketua Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia Muhammad Najib Azca, MA, Ph.D Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua, pertama kali saya mengucapkan selaku ketua APSSI selamat datang kepada seluruh peserta Konferensi Nasional Sosiologi III yang datang dari berbagai penjuru, yang tadi sudah disampaikan oleh bapak ketua panitia. Ada dari ujung Papua hingga ujung Aceh, dari Maluku, Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali dan seterusnya. Kita beruntung sekali pada hari ini, hari yang cerah, kita bisa berkumpul dalam konferensi yang sangat baik, meskipun ada kabar kurang baik, karena teman kita dari Papua, Prof. Dr. Deere Dirk Veplun terpaksa harus kembali ke Papua kemarin sore karena ada visitasi akreditasi yang undangannya mendadak, jadi sehari sebelumnya masih oke, setelah sampai sini ada kabar, jadi saya kira ini pembelajaran sekaligus karena kita tidak perlu khawatir karena masa depan akreditasi akan kita tentukan sendiri oleh Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia, jadi untuk kedepan ancang-ancangnya akan dilakukan akreditasi mandiri, teman-teman senior kita, jadi ada lembaga akreditasi mandiri harapannya hal seperti itu tidak terjadi lagi. Kita semua sudah kumpul konferensi ada panggilan BAN kembali semua, konferensi bisa kosong, 25

jadi saya kira itu pertama sangat bersyukur pada pagi hari ini kita ada kesempatan yang sangat baik untuk berkumpul dan seperti tadi sudah disinggung oleh ketua panitia maupun oleh Prof. Dwia ketua ISI bahwa ini adalah acara gabungan antara ISI dan APSSI, antara Ikatan Sosiologi Indonesia dan Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia. Ini sudah menjadi sesuatu yang ditradisikan beberapa kali sejak APSSI terbentuk memang komitmen kita adalah kita ingin bersama-sama Prof Dwia, jadi kita ingin APSSI dan ISI. ISI dan APSSI itu ingin bersenyawa kita tidak mau bersetubuh, tubuhnya tetap dua tetaapi bersenyawa, jadi menjadi satu senyawa yang akan saling bekerja sama sangat akrab, jadi bersinergi saya kira, APSSI basisnya di program studi di perguruan tinggi, di kampus-kampus, sementara ISI saya kira basisnya diluar kampus, meskipun kampus merupakan elemen penting untuk ISI tapi bukan satu-satunya, tapi ada di birokrasi, ada di organisasi masyarakat di profesi dan lain-lain. Tapi memang dari awal kita sudah sepakat ISI dan APSSI untuk membesarkan sosiologi bersama-sama, dalam rangka untuk membuat semacam kebangkitan kembali sosiologi di Indonesia untuk menyumbangnya saya kira kepada peradaban Indonesia yang lebih baik dan lebih bermartabat. Disini meskipun nanti pak Dekan saya kira akan memberikan sambutan, beliau ini dari jurusan administrasi Negara tapi S3 nya sosiologi di Universitas Amsterdam, mas Erwan ini merupakan bagian dari keluarga sosiologi juga sebenarnya, saya kira ini kesempatan yang sangat penting karena seperti sudah kita lalui kemarin kita sebelum melakukan konferensi ini ada workshop pengelolaan jurnal sosiologi yang diikuti oleh semua perwakilan dari universitas, beruntung kita ada Prof. Vedi Hadiz beliau orang Indonesia yang menjadi profesor di Murdoch University dan bahkan sekarang ini beliau memiliki posisi sangat khusus untuk empat tahun tidak mengajar hanya riset saja, saking kuatnya riset beliau, dan kita harus berterima kasih kepada pak Vedi, karema kita mengundang beliau kesini tnpa sepeserpun rupiah keluar, jadi beliau menggunakan dana sendiri untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini, dan kita sangat beruntung feedback yang sangat kaya, punya pengalaman kaya dalam publikasi internasional, saya membuat kita tidak hanya 26

menjadi jago kandang, kita harus siap menjadi jago lapangan, kita harus siap menjadi jago padang, harus bersaing dengan pihak lain. Dalam kaitannya dengan penguatan itu, kita sudah melakuakan beberapa hal termasuk semalam sudah disepakati dalam acara bermusik ria sambil ngobrol-ngobrol sudah disepakati kita akan melakukan kegiatan lain yaitu workshop pembelajaran mata kuliah inti sosiologi yang direncanakan akan dilakukan pada bulan Oktober di Universitas Tanjung Pura untuk bulan Oktober workshop pembelajaran mata kulaih sosiologi inti sekaligus lanjutan workshop pengelolaan jurnal, lalu tahun depan akan Konferensi Nasional Sosiologi IV sekaligus kongres APSSI, itu artinya aka nada presiden baru yang akan terpilih tahun depan, insyaalloh. Itu direncanakan sekitar bulan Mei di Universitas Samratulangi, kita beri applause untuk dua universitas ini yang sudah bersedia menjadi tuan rumah menjadi host untuk yang pertama untuk workshop mata kuliah dan workshop pengelolaan jurnal itu untuk Universitas Tanjung Pura sementara Konferensi Nasional Sosiologi IV sekaligus kongres APSSI yang insyaalloh nanti kita akan koordinasikan bersama dengan ISI, Sehingga setiap kita melakukan acara itu dua acara APSSI sekaligus ISI. Sehingga sekaligus teman-teman bapak ibu yang hadir itu bisa SPPD nya dua, maksudnya menghadiri dua acara sekaligus acara APSSI dan ISI, jadi sekaligus seiring dua hal itu akan kita lakukan bersama-sama, terakhir saya kira menyangkut topic ini, saya kira topic yang sangat penting dan ini adalah hal yang sangat historis seperti tadi pak Arie sudah bilang. Saya ingat saya kira 16 tahun yang lalu persis mahasiswamahasiswa, dosen-dosen semuanya berjalan kaki pakai baju putih-putih berkumpul disini, di Grha Sabha Pramana, ada ribuan, puluhan ribu saya kira yang ada disitu, mulai dari pak rector pada waktu itu, ada pak Amien, semua dosen-dosen senior hingga junior kita semua kumpul jalan kaki nggak ada yang pakai kendaraan, nggak ada polisi, nggak ada tentara di jalan, hari itu diperkiraan ratusan ribu bahkan satu juta masyarakat Jogja turun ke jalan semuanya hanya bermuara di alunalun utara tanpa kekerasan, semua masyarakat kampung mengeluarkan minuman-makanan secara kolektif dan itu menjadi momen yang sangat penting saya kira dari transformasi demokrasi di Indonesia dan 27

hari ini kita melakukan refleksi tentang hal itu setelah 16 tahun saya kira nanti mas Vedi akan melakukan refleksi penting misalnya apakah proses demokratisasi kita ini termasuk Pemilu yang baru saja kita selesaikan Pemilu legislative, dan sebentar lagi pemilihan presiden, itu merupkan transformasi demokrasi atau reproduksi oligarki, saya kira ada perspektif kritis, reflksi kritis tadi sudah beberapa kali disampaikan dan disinggung oleh Prof. Dwia nanti kita akan lakukan disini, forum ini melalui mas Vedi sebagai keynote speech maupan nanti pada diskusi panel, atau bahkan dalam diskusi cluster, ada beberapa tema yang sangat menarik saya kira misal kita lihat satu kalau kita lretakkan perspektif demokratisasi dalam perspektif transisional nanti yang kita katakan, ini adalah transformasi demokrasi atau reproduksi oligarki, atau kita meletakkan peristiwa demokrasi ini dalam konteks perkembangan era digital, konteks baru yang sama sekali terjadi bahwa kita menjalani demokrasi, menghidupkan demokrasi di era digital, isu-isu anak muda menjadi hal yang penting untuk kita pelajari isu-isu youth, isu-isu etika, isu-isu termasuk kaitannya dengan dinamika capital dan modal pasca otoritarianisme saya kira menjadi bahan yang sangat penting untuk bisa kita kaji bersama-sama, saya kira ini momen yang sangat penting saya kira, sosiologi Indonesia bangkit, disini para senior hadir ada Prof. Heru yang datang kesini sebagai ketua jurusan Sosiologi, Terima kasih atas supportnya, mas Erwan, Dr. Erwan Agus Purwanto, Dekan FISIPOL UGM yang juga meruoakan agen sosiologi, terima kasih mas Erwan yang sudah mensupport penuh acara ini, lalu mas Vedi jelas yang hadir jauh-jauh dari Murdoch, selama dua hari menemani kita, yang akan berdiskusi intensif untuk menjadi bagian dari proses perkembangan diskursus sosiologi untuk kedepan, terima kasih saya ucapkan kepada semuanya, tidak kurang kepada ketua panitia kita pak Arie Sujito, ketua panitia yang sudah mengomandani dengan bersemangat kita lihat graffiti-grafiti yang ada di kiri-kanan kita betulbetul mencerminkan semangat pergerakan bahwa sosiologi bukan ilmu yang mati tetapi ilmu yang menghidupkan, ilmu yang menggerakkan, saya kira itu poin-poin penting yang ingi saya akan sampaikan, terakhir saya ingin mengulangi mas Arie terima kasih kepada para mahasiswa 28

jurusan sosiologi UGM yang sangat bekerja keras mewujudkan acara ini muali dari kemarin hingga saat ini, sampai besok akan terus berlangsung terima kasih, saya kira itu dari saya mewakili pengurus dan seluruh anggota APSSI Indonesia mengucapkan selamat datang dan mari kita berpartisipasi dalam Konferensi Nasional Sosiologi III hari ini sampai besok, semoga ini menjadi buah bakti kita, buah karya kita bagi negeri tercita, Indonesia raya. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr.Wb

29

30

Kata Sambutan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si Bismillahirohmanirohim, yang saya hormati ketua ISI Prof. Dr Dwia Aris Tina sekaligus rector Universitas Hasanuddin, ketua Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia , Dr. Muhammad Najib Azca, kemudian para sesepuh sosiologi Indonesia, ada banyak yang hadir, Prof. Heru Nugroho, Prof. Partini, ketua Senat FISIPOL sekaligus sebagai aktivis sosiologi Prof, Susetiawan, juga para pembicara yang saya hormati sudah hadir Dr. Meutia Ghani juga para pembicara yang lain. Terutama nantii yang akan memberikan keynote speech, Prof. Vedi Hadiz, mas Vedi yang hadir jauh-jauh dari Murdoch tadi memang tidak mengeluarkan serupiahpun karena biayanyaa dalam bentuk dollar, terima kasih mas Vedi yang sudah hadit on the way ke arah sini, ke FISIPOL nanti akan berbagi pengalaman bagaimana menjadi jago kandang, kalau jago kandang sudah biasa UGM ini, tapi kalau dikandang orang itu bagaiman rasanya, nanti kita kami akan mendengarkan ceramah beliau yang berjudul tadi tentang demokrasi atau reproduksi oligarki juga kepada seluruh delegasi yang hadir dari seluruh penjuru tanah air, yang mendapat kesempatan untuk dapat bergabung didalam 31

Konferensi Nasional Sosiologi IIIIndonesia dari Papua sampai Aceh, para mahasiswa jurusan Sosiologi ataupun jurusa yang lain yang punya minat dalam bidang sosiologi termasuk saya sebetulnya separuh sosiolog, separuh AN, selamat pagi, assalamualaikum Wr.Wb dan salam sejahtera bagi kita semua. Alhamdulillah bersyukur pada hari ini kita diberi kesempatan untuk berkumpul di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada ini kalau konferensi nya diselenggarakan lebih awal kami tidak bisa menghost karena aulanya belum jaddi. Jadi alhamdulilah pas ini saya kira jurusan sosiologi mendapat giliran menjadi tuan rumah ajang besar, Konferensi Nasional Sosiologi II dan FISIPOL sudah menyelesaikan pembangunan gedung kita sehingga mudah-mudahan konferensi yang ada didalam hal baru ini nanti bisa berjalan dengan baik. Ibu-bapak sekalian yang saya hormati, saya kira tadi sudah disampaikan baik ketua ISI, ketua APSSI juga pak ketua mas Arie tentang pentingnya acara ini. Konferensi Nasional Sosiologi II ini saya kira memiliki arti yang sangat penting karena sebagian besar yang haadir dalam acara kita ini adalah para akademisi juga pegiat sosiologi, dengan adanya hajatan ini wqyq kira kita akan medapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman, mengupdate beberapa hasil penelitian karena seorang akademisi forum tertinggi, forum paling penting untuk bisa mengetahui apa yang kita kerjakan adalah konferensi akademisi seperti hari ini. Kami sangat berharap nanti konferensi ini betul-betul akan membuahkan hasil yang penting, dimana pemikiran-pemikiran yang original, pemikiran-pemikiran yang baru dari sosiologi bisa diperbincangkan, bisa diperdebatkan dan akan membuahkan hasil yang nanti akan tidak hanya memberikan kontribusi teoritis semata-mata tapi tadi sudah disinggung nanti kita akan mempunyai pemerintahan yang baru dan itu membutuhkan nsihst-nasihan, masukan-masukan yang bernas, agar Indoensia menjaddi lebih baik, Mudah-mudahan Konferensi Nasional Sosiologi III ini akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi pengembangan teori dalam sosiologi atau memberikan rekomendasi bagi pemerintah Indonesia yang akan datang. 32

Ibu-bapak sekalian yang saya hormati, mengapa hal itu sangat penting, tentang sumbangan pemikiran tadi karena memang konferensi kita ini diselenggarakan dalam satu momentum yang sangat tepat, ketika Indonesia sedang mengalami transisi besar-besaran, transisinya tidak hanya sekedar persoalan politik saya kira yang disebutkan pembicara diawal, kita mengalami transisi dari Negara yang sentralistis otoritarian menjadi Negara yang lebih demokratis tapi mungkin nanti pak Vedi punya pendapat yang lain, paling tidak kita mengalami transisi itu, tapi selain dalam bidang politik, Indonesia sedang mengalami transisi besar-besaran dalam bidang ekonomi, dari Negara yang tadinya sangat miskin menjadi sekarang agak lumayan karena masuk sebagai golongan Negara berpenghasilan menengah juga transisi dalam bidang social, Indonesia semakin urban sehingga tatanan social yang tadinya menjadi tumpuan untuk sandaran hidup masyarakat itu menjadi berubah sangat drastic, sehingga banyak menimbulkan banyak problem social yang kita belum paham, belum tau bagaimana menyelesaikannya, kalau kita ikuti berbagai macam pemberitaanbaik itu media cetak ataupun elektronik, sering kali kita terkaget-kaget, tercengang dengan berbagai macam peristiwa disekitar kita yang itu sebetulnya bisa dijelaskan oleh sosiologi, kesehatan yang semakin sulit dipahami oleh akal sehat, dan perilaku orang tua yang sulit dipahami dengan akal sehal itu, dan itu saya kira ilmuan-ilmuan yang lain tidak bisa menjelaskan tanpa pencerahan dari para sosiolog saya kira pemerintah akan kesulitan untuk mencari solusi bagaima berbagai peristiwa besar yang ada disekitar kita itu bisa diatasi. Selain itu saya kira beberapa saat yang lalu kita juga ada tamu seorang demokrator yang menjelaskan tentang transformasi kependudukan yang ada di Indonesia, yang sedikit atau banyak akan memiliki implikasi terhadap kehidupan sosiologis. Berbagai macam transformasi yang terjadi di Eropa sudah pernah diabadikan oleh seorang sosiolog yang namanya Karl Polanyi yang berjudul Great Transformation, jangan sampai ketinggalan dalam mengawal perubahan besar itu menjadi sebuah karya untuk menjelaskan sebetulnya apa sih yang sedang terjadi di Indonesia itu didalam berbagai bidang, sehingga kita menjadi paham bahwa kita sudah menjadi orang lain, menjadi masyarakat yang ber33

beda dibanding masyarakat pada decade yang lalu, sehingga masyarakat menjadi lebih paham dan menjadi tidak terkaget-kaget, tidak reaktif , tetapi antisipatif terhadap berbagai perubahan yang ada dan kita berharap Konferensi Nasional Sosiologi III akan bis merespon persoalanpersoalan tersebut dan harapannya betul-betul akan didokumentasikan menjadi karya besar yang tidak kalah denagn sosiolog-sosiolog hebat di Negara barat. Ibu-bapak sekalian, dengan demikian saya kira kalau itu nanti bisa dibahas, diskusi itu kita harapkan akan mengkristal menjadi agenda riset bersama, kita tidak bisa mempersiapkan yang besar sendirian, mas Najib dan mas Arie tidak bisa banyak sekali tema, tapi saya kira kita perlu menyepakati agenda penelitian kita kedepan, selain itu saya kira penting untuk menyusun dalam kurikulum pembelajaran, sehingga para sosiolog yang nantinya akan dilahirkan dari kampus-kampus yang memiliki program studi sosiologi betul-betul akan mengahasilkan sosiolog yang cemerlang yang hebat yang bisa memahami dan merespon transisi atau perubahan besar yang sedang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Dengan terselenggaranya acara ini FISIPOL ingin mengucapkan terima kasih kepada panitia, mas Arie ini yang saya tau berbulan-bulan tidak istirahat mempersiapkan acara ini, setiap saya ajak mengikuti acara, sebentar saya tidak bisa ingin mengikuti rapat. Selamat mas Arie dan seluruh panitia, adik-adik mahasiswa yang sudah bekerja keras menyiapkan acara ini, sehingga bisa terselenggara dengan baik, juga selamat kepada Ikatan Sosiologi Indonesia dan Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia yang sudah berhasil menyelenggarakan acara ini, saya berharap mudah-mudahan seluruh peserta bisa menikmati acara ini dan bisa menghasilkan pemikiran-pemikiran yang baru yang produktif di Indonesia. Pada akhirnya dengan mengucapkan bismillahirohmanirohim dengan ini Konferensi Nasional Sosiologi III dinyatakan dibuka secara resmi. Wabilahi taufiq wal hidayah, akhirul kalam, wassalamualaikum Wr.Wb.

34

Keynote Speech Prof. Vedi Hadiz Murdoch University Prof. Vedi Hadiz Terima kasih kepada panitia yang telah mengundang saya, memberikan saya peluang, memberikan saya kehormatan untuk memberikan keynote ini, dan terima kasih kepada semua yang hadir untuk mendengarkan refleksi kita ini tentang, temanya tentang menuju demokrasi yang bermakna, maka ini setelah 16 tahun merdeka dari orde baru lalu ada Pemilu baru-baru ini, memang ini adalah waktu untuk kita berpikir tentang demokrasi kita ini. Ini saya termasuk orang yang sangat kritis terhadap demokrasi di Indonesia. Siapa yang mengetahui atau pernah baca tentang tulisan saya itu mengetahui bahwa saya termasuk orang yang walaupun saya termasuk penentang orde baru yang sukup keras pada waktu itu, tapi saya juga sangat tidak puas dengan keberadaan generasi kita sekarang ini. Walaupun demikian saya perlu megatakan bahwa kita ini sebenarnya perlu menyadari bahwa kita telah mencapai sesuatu yang sangat luar biasa yaitu kita adalah Negara paling demokratis di Asia Tenggara, coba dibandingkan di zaman orde baru dulu, bisa nggak kita bayangkan bahwa kita akan menjadi Negara yang paling demokratis di Asia Tenggara, saya kira itu tidak mungkin kita bayangkan pada waktu itu. Jadi, 35

kita saya kira patut berbangga dalam hal tersebut. Kita ini mau menuju demokrasi yang lebih bermakna katanya, tapi persoalnya demokrasi yang lebih bermakna itu seperti apa sih sebenarnya, modelnya apa yang kita cari. Model yang ada di Negara-negara barat adalah model yang bukan yang bisa kita ambil gitu aja, seperti kalau kita ambil baju ketika kita pergi ke Mall, itu adalah model hasil sejarah dari masyarakat mereka sendiri, hasil dari perjuangan sejarah. Jadi kita itu harus melihat sejarah kita sendiri untuk melihat demokrasi kita itu seperti apa, tapi kita harus ingat bahwa kita ini Negara yag paling demokratis di Asia Tenggara, ingat bahwa dulu itu dikatakan tahun 19981999 dulu itu dikatakan kalau Indonesia itu jadi demokrasi dan sentralisme otoriterisme itu punah, nanti bisa NKRI itu bubar. Saya ingat itu banyak sekali orang-orang asing melakuakn itu, buktiny setelah 16 tahun kita ini masih NKRI, kita ini masih bertahan sebagai suatu masyarakat Indonesia. Lepas dari pada skenario-skenario seperti itu yang mengatakan bahwa akan terjadi balkanisasi di Indonesia. Tapi dilain pihak saya mengintai juga bahwa saya ikut berbagai konferensi internasional pada waktu itu banyak disponsori oleh pihak asing juga, nah konsultannya beribu-ribu datang pada waktu itu, rasanya beribu-ribu karena mereka ada dimana-mana pada waktu itu, mengatakan bahwa asal anda pilih institusi-institusi demokrasi yang paling baik, semua masalah anda akan teratasi, jadi bikinlah system Pemilu yang baik, bikinlah ini maunya system electoral yang distrik atau yang proporsional, itu yang harusnya dipikirkan. Seakan-akan demokrasi itu masalah teknis belaka, dan dari pilihan-pilihan teknis belaka itu kita kemudiaan menemukan model demokrasi yang paling cocok buat kita, dua perspektif ini, perspektif hiperalarmis dan yang kedua yang menurut saya teknokratis duaduanya keliru, dan buat saya tahun 1998-1999 kepemimpinan itu sudah jelas bukan sesuatu yang bisa saya anggap sebagai membuat arahan untuk memberiakan pengarahan untuk memahami Indonesia 15 tahun yang akan datang. Jadi dalam pikiran saya pada waktu itu, dan pada waktu itu yang setuju sama saya tidak begitu banyak. Saya pikir bahwa memang otoriterisme itu akan runtuh, institusi-institusi otoriterime itu akan runtuh tetapi bukan berarti bahwa demokrasi yang akan muncul 36

adalah demokrasi sebagaimana yang dijanjikan oleh USAID atau MBA pada waktu itu, kenapa ?karena saya melihat secara komparatif. Dalam pemahaman saya pada waktu itu dari Negara-negara yang mengalami transisi pada demokrasi, dulu teori transisi itu begitu, semua orang pasti ngomong tentang transisi demokrasi, itu sudah menjaddi jargon dari semua organisasi –organisasi promosi demokrasi, sehingga semua intelektual kita kalau tidak ngomong transisi demokrasi kayaknya ketinggalan jaman. Tapi kalau pengamatan saya pada waktu itu mayoritas Negara-negara yang mengalami transisi demokrasi pada tahun 70an80an mengalami transformasi kepada demokrasi-demokrasi yang tidak liberal, dimana ada variasi-variasi inliberalisme didalamnya, bentuknya bisa macem-macenm, termasuk yang berdasarkan money politics dan DPR yang menyerupai rumah lelang segimana kita temui di Indonesia sekarang ini. Sehingga saya berpikir kenapa Indonesia akan menjadi pengecualian dari projectori yang lebih umum dari masyarakat secara global, dunia secara global. Apa dasarnya?. Diawal tahun 2000an ada Thomas Studges dia itu juga promotor demokrasi segala macem yang menulis sekian persen dari Negara-negara yang mengalami transisi demokrasi bisa diragukan adat demokrasinya. Sehingga menurut saya seluruh problematika transisi demokrasi itu kegunaanya sebetulnya dari dulu sangat terbatas, karenaa dia tergantung pada definisi-definisi yang formalistis yang bisa membuat kita salah memahami proses-proses social yang lebih mendasar yang terjadi dibalik perubahan institusional, jadi institusinya bisa berubah dari institusi-institusi yang sifatnya otoriter dari institusi yang sifatnya demokratis namun institusi demokratis itu tidak akan berlaku yang kita ditemui di negra yang menjadi model itu, karena factor kesejarahannya beda. Konslasi kekuatan social, ekonomi dan politik yang menguasai institusi-institusi tersebut berbeda, disitulah sebetulnya sosiolog bisa memberikan sumbangan yang sangat berarti yang tidak atau kurang diberikan oleh ilmuan politik yang cenderung hanya melihat pada institusi belaka. Sosiolog sebaiknya dan lebih menurut saya mempunyai tradisi pemikiran yang memungkikan pemahaman terhadap proses-proses social dibalik intitusional change yang berhubungan dengan sifat-sifat 37

structural dari masyarakat, yang berhubungan dari konslasi kekuatan social ekonomi dan politik dalam masyarakat yang tidk formalistis institusional sifatnya. Kalau kita sudah memahami itu saya kira dugaan saya bahwa Indonesia itu tidak akan berubah tidak akan bubar dan tidak akan menjadi demokrasi liberal seperti di Barat sangat masuk akal, karena apa? karena saya pikir bahwa hal yang paling penting bagi tahun 1998 yang kita saat ini tepatnya hari bersejarah bukan hanya yang terjadi 16 tahun yang lalu pada hari ini, yang memang sangat penting. Tapi apa yang terjadi antara Mei sama November 1998 disitu adalah waktu yang kurang lebih ada kevacuman didalam kekuasaan. Institusi-institusi itu sudah mengalami perubahan, kekuatan-kekuatan dominan didalam masyarakat yang telah dibina ole orde baru, yang telah diperkuat dan diperkokoh posisi socialnya pada masa orde baru mengalami kegalauan. Tapi saya ingat, kira-kira bulan agustus 1998 saya sudah berpikir kelihatannya ini arus akan terbalik, karena waktu itu saya ingat militer sudah mulai berusaha memasukkan undang-undang militer dan macammacam itu, undang-undang antri demontrasi dan macam-macam. November 1998 ketika pertemuan MPR luar biasa itu terjadi pada waktu itu sudah bisa kita tebak bahwa yang akan berkuasa di Indonesia adalah kekuatan-kekuatan lama yang akan kemudian menstransformasi dirinya sebagai kekuatan reformis yang menguasai institusi-institusi demokrasi itu. Tetapi tentunya karena mereka itu adalah binaan adalah kekuatan yang berkembang pada masa orde baru yang predator yang otoriteris dugaan saya adalah bahwa institusi-instusi demokrasi itu aka dipakai oleh mereka melakukan hal yang sama. Karena kalau kita melakukan studi komparatif sebetulnya otoriterisme itu tidak diperlukan untuk mempertahankan pola ekonomi politik yang predatoris, yang saya maksud predatoris adalah proses akumulasi privat berdasakan penguasaan dan akses terhadap sumber daya dan isntitusi public. Akumulasi privat lewat sumber daya institusi public. Ternyata kalau studi komparatif, otoritarisme tidak diperlukan begitu. Di Thailand di Filipina diberbagai Negara di Amerika Latin itu bisa dilakukan lewat institusiinstitusi demokrasi. Jadi menurut saya kira-kira satu tahun dua tahun setelah 1998 kekuatan-kekuatan predatoris ini yang lahir dari jaringan 38

oligarki yang dibentuk oleh orde baru itu menyadari juga ternyata kita tidak perlu itu yang namanya otoriterisme yang didominasi oleh militer, lewat pemilu, lewat penguasaan terhadap partai politik dan DPR, media massa, dsb. Praktek-praktek sama bisa dilakukan dan saya kira ini yang terjadi di Indonesia. Tapi ini bukan argument untuk mengatakan bahwa tidak ada perubahan karena kita bisa berdiskusi seperti sekarang ini. Pers itu jauh lebih bebas dari 20 tahun yang lalu. Malah saya katakana pers di Indonesia lebih bebas dari pada pers di Australia yang dikuasi oleh perusahaan sehingga semua tanggapan terhadap isu yang penting kira-kira mempunyai ditanggapi secara sama pers karena kepentingannya adalah kepentingan dari konglomerat. Pers di Indonesia setidaktidaknya setiap ada isu terdapat 10 pandangan. Saking banyaknya kita juga bingung. Tapi setidak-tidaknya itu menunjukkan bahwa tidak ada monopoli terhadap pemberitaan media massa karena ada didalam Negara yang katanya persnya bebas, jadi saya tidak mengatakan tidak ada perubahan. Perubahan yang ada itu sangat penting. Tetapi itu memaksa kekuatan-kekuatan predatoris dan oligarkis dulu itu untuk berfungsi dengan cara yang berbeda. Tidak bisa lagi misalnya dengan kekerasan dan itu sebetulnya secara teoritis itu memberikan peluang-peluang karena sifatnya politik menjadi lebih cair daripada dimasa lalu. Kalau dulu bisa dibayangkan orde baru bisa dibayangkan semacam system patronase yang menyebar dan meluas yang berpusat pada cendana. Kalau sekarang system patronasenya itu sudah terpisah-pisah. Yang terjadi adalah kompetisi antara berbagai system patronase untuk menguasai sumber daya dan institusi untuk akumulasi privat, tidak bermuara ke satu tempat lagi jadi sifatnya cair. Contohnya apa sekarang ini Pemilu partai itu bisa bergerak kemana-mana aja. Tidak berdasarkan visi tidak berdasarkan ideology apalagi policy. Mereka hanya bergerak atas dasar aliansi mana yang bisa membawa mereka lebih dekat dengan kekuasaan dan kepada sumber daya material dan itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Kalau kita lihat di Fiilipina sama juga, partai-partai tidak ada agenda politik ekonomi yang jelas yang membedakan satu sama lain. Kalau kita lihat dari segi komparatif seperti itu Indonesia itu sebetulnya tidak 39

unik, dan kita sebetulnya tidak perlu heran bahwa jadinya begini. Walaupun kita tetap harus mensyukuri bahwa sudah tidak orde baru lagi. Masalahnya adalah setelah November 1998 itu tidak ada kekuatan social dari Indonesia itu yang terorganisir yang koheren yang bisa mengisi kevakuman antara Mei dan November itu. Sehingga itu memberikan peluang, kesempatan buat kekuatan-kekuatan lama untu reorganize. Salah satu buku saya reorganisation power ini Indonesia, dimana mereka kemudian mereposisi diri melalui partai-partai politik lewat kendaraan-kendaraan baru. Tidak perlu lagi institusi-institusi pada orde baru itu lagi dan yaitu dengan menggunakan jubah reformis sehingga orang yang tahun 1997 ngomong pak Harto sebagai pahlawan nasional ditahun 1999 bisa ngomong di tv tanpa rasa malu sama sekali dan kita punya amnesia sehingga kita lupa. Sekarang, persoalannya kan sampai disitu dan kita bisa lihat ini tereplikasi sebetulnya sampai ketingkat lokal. Jadi kalau dulu semua ditingkat lokal itu bermuara ketingkat pusat, maka yang terjadi sekarang adalah munculnya system-sistem patronase yang mempunyai otonomi relative ditingkat daerah. Tujuan mereka adalah akumulasi privat lewat control terhadap institusi dan resources public dan mereka ingin mempunyai otonomi relative terhadap sistem-sistem patronase yang berpusat di Jakarta. Itu yang terjadi adalah suatu sistem demokrasi yang lebih desentralistis dimana kompetisi untuk sumber daya itu sifatnya lebih cair. Dimana aliansi-aliansi itu juga menjadi lebih cair tapi tujuannya sama adalah akumulasi privat. Persoalannya apakah itu ada dari tahun 1998 sampai sekarang adalah counter hegemoni terhadap elit oligarki ini tidak ada. Kita bisa bilang kita bisa terus dibuai oleh organisasi-organisasi internasional yang datang dan bilang inilah sistem-sistem yang baik undang-undangnya diperbaiki segala macem, tapi kalau struktur kekuasaannya struktur sosialnya sebagai sosiolog kita pahami masih seperti itu hasilnya kurang lebih sama juga. Perubahan teknis itu tidak menjamin perubahan politik. Contohnya mereka ini datang dan lihat negara kita. Negara dia sendiri juga berubah terus. Model yang kita sebut dengan model barat itu bukan model yang baku. Pertama dia adalah hasil dari konflik social berabad-abad melibatkan kekuatan kapitalis, kekuatan buruh, kelas menengah dan petani yang 40

hasilnya adalah di akhir perang dunia III seenggak-enggaknya adalah demokrasi social dengan negara kesejahteraan. Tapi kita mengetahui bahwa model seperti itu adalah indeclaim Negara kesejahteraan hampir disemua tempat sudah merosot. Tempat saya di Australia pemerintahnya baru-baru ini mengcut sebagian besar itu services social yang diberikan kepada orang-orang miskin sambil tetap mempertahankn previlage-previlage oleh orang terkaya terutama perusahaan-perusahaan. Di Amerika kita mengetahui bahwa yang namanya kaum neo konservatif itu telah mempengaruhi politik sehingga sifat tahun 60an tentang civil right itu tumbuh hampir 30-40 tahun. Seperti di Australia, saya kira sekitar 20 tahun pembicaraan tenatng multikulturalisme mengenai toleransi. Di sepanjang Negara Eropa Barat, Amerika dan Australia itu muncul gerakan sayap kanan anti liberasi, anti semua nggak putih praktis dan kelas menengah. Demokrasi itu menunjukkan bahwa demokrasi itu sifatnya masih berevolusi juga. Jadi misalnya ada orang datang kesini dari luar negeri dan kemudian model kita, kita sebenarnya bisa menanyakan apakah model ini adalah model yang akan bertahan untuk berapa lama. Dimana kekuatan-kekuatan social, kekuatan yang berpijak pada civil society banyak yang semakin dipinggirkan oleh kekuatan-kekuatan yang berlandaskan pada modal yang akibatnya adalah hancurnya Negara kesejahteraan dan model demokrasi social yang praktis bertahan di Negara Eropa utara meskipun banyak tekanan-tekanan juga. Kalau kembali ke Indonesia satu persoalan yang kita miliki adalah bahwa untuk kedepan sulit sekali membayangkan kalau tidak ada tendensi-tendensi untuk menciptakan dasar untuk kekuatan-kekuatan yang sifatnya counter hegemonic terhadap yang ada selama ini dan salah satu sebabnya adalah proses regenerasi politik di Indonesia masih dilakukan lewat institusiinstitusi, kendaraan-kendaraan Ormas, jejaring-jejaring social yang dulu juga fungsi dari ormas ini ke jajaring social dulu itu untuk mensuplat orde baru untuk dengan birokrat baru operator baru, bandit baru, intelektual baru dsb. Sebagaian besar regenerasi politik di Indonesia orang disosialisasikan secara politik masih lewat kendaraan-kendaraan yang tabu. Nah 41

bagaimana kita bisa membenarkan pikiran yang sering dikemukakan bahwa oh memang generasi sekarang ini sudah rusak, nanti kita tunggu lah generasi yang akan datang. Masalahnya generasi yang akan datang sedang dirusak. Saya ingat beberapa tahun yang lalu bertemu dengan seorang aktivis umurnya baru 21 tahun. Dia mengatakan kepada saya “mas sekarang ini bukan jamannya buat entrepreneur ekonomi sekarang adalah jamannya entrepreneur politik?”. Saya bilang “entrepreneur politik itu apa?”, “Entrepreneur politik itu mas kerjaannya pegang-pegang HP, ngomong-ngomong HP dapat 1 M”. Kemudian saya bilang “kamu belajar itu dari mana?” Ternyata dari teman saya yang pekerjaannya adalah mentranmisi nilai-nilai ini kepada generasi-generasi baru. Lewat jejaring social yang dia miliki dan dimana dia dominan begitu. Kalau kaya begini terus saya kira kemungkinan bahwa apa yang kita lihat selama ini akan bertahan itu cukup tinggi. Yang perlu dilakukan dan ini sesuatu yang sangat sulit adalah membentuk jejaring-jejaring social, kendaraan-kendaraan buat sosialisasi politik yang sifatnya sangat alternative terhadap yang ada selama ini. Apa bentuknya? yang pasti bentuknya bukan sesuatu yang membuat orang selesai dari situ kemudian dua tahun kemudian menjadi anggota DPRD atau menjadi Bupati atau menjadi konglomerat. Tapi disitu memang kesulitannya siapa yang mau ikut kaya begituan. Saya sering bilang 30 an 40 an kita punya banyak pahlawan yang kelihatannya itu mengorbankan diri untuk masyarakat secara lebih luas dan sekarang ini susah. Saya kira sebagian dari jawabannya adalah di tahun 30an-40an godaan itu kecil, sekarang godaan itu sangat tinggi. Kalau dulu kita pergi kerumahnya siapa Soekarno atau Sutan Syahrir rumahnya juga reot-reot. Sekarang kita pergi ke rumah Akbar Tanjung atau Abu Rizal Bakrie, anak-anak muda kapan ya saya punya kolam renang seperti ini, kapan saya bisa punya 10 Alphard. Jadi memang itu memerlukan pilihan yang agak tegas untuk membina orang bukan untuk langsung masuk dalam system. Tapi itu harganya sangat tinggi untuk orang yang bersangkutan. Tapi bukan berarti saya menolak orang masuk dalam system, yang saya tolak oarng masuk dalam system tanpa dia memiliki akuntabilitas kepada masyarakat lebih luas diluar system 42

itu. Sehingga di tahun 1998 kita punya KAMMI, PRD dan sebagainya tapi ambruk semua. Sehingga yang terjadi adalah orang-orang dari organisasi-organisasi itu secara individu pimpinannya masuk adalam system menjadi koruptor karena sebagian besar tidak memiliki akuntabilitas terhadap kelompok diluarnya itu yang perlu ada suatu mekanisme dimana orang-orang yang masuk didalam suatu system. Struktur kekuasaan yang ada harus memiliki akuntabilitas terhadap orang diluar itu sehingga kalau dia berperan kalau tidak malu itu ada sanksinya. Saya ambil contoh, ini mungkin yang kurang baik. Saya ambil contoh, sebenarnya hanya ada dua jenis kekuatan yang pernah bisa melakukan ini dengan baik dan dua-duanya gagal, satu komunis kedua adalah islam. Satu contoh itu kalau dalam proses sosialisasi politik dari ikhwan Mesir. Saya banyak penelitian di Mesir, di Timur Tengah, termasuk di Turki dan sebagaimnya, mereka itu kalau masuk dalam struktur kekuasaan mereka tetap, itu harus memberikan akuntabilitas terhadap organisasi sumbernya dia itu. Sehingga kalau dia melakukan korupsi dia melakuakan penyelewengan. Segala macem dia bisa beri sanksi oleh organisasi di luar Negara itu. Nah itu adalah sesuatu hal yang nggak pernah kita miliki di Indonesia karena apa?, nggak ada basis sosialnya. Yang ada adalah kita-kita yang basis sosialnya hanya universitas. Universitas itu relative sempit sebagai basis social. Makanya partai-partai yang basis sosialnya adalah universitas saja itu juga cenderung gagal. Basis sosialnya itu harus meluas. Oleh karena itu kita tidak bisa menjadi intelektual yang mengambang yang menurut saya adalah tradisi politik yang lama tidak ada di Indonesia. Tradisi politik intelektual-intelektual itu memiliki jaringan sosial yang bukan hanya berdasarkan simpati tapi juga organisasi dan kedisiplinan bener sama masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat yang paling marginal. Karena kelompok masyarakat seperti inilah yang dari dulu dieksclude dengan system otoriterisme dan eksclude oleh system demokrasi. Kalau kita melihat pada contoh dari AKP di Turki, Ikhwan di Mesir mereka itu punya basis social di kelas menengah, dikalangan pengusaha, dikalangan kaum miskin dikalangan petani sehingga mereka itu mempunyai daya bargaining yang kuat terhadap kepentingan43

kepentingan yang dominan. Tanpa itu intelektual-intelektual ya cuma akan masuk TV, nulis di koran atau apa dan menjadi tim sukses dalam kata lain itu terserap dalam sistem yang ada. Karena nggak ada diluar system itu yang menahan dia atau mendisiplinkan dia ketika di masuk kedalam sistem. Itu yang saya maksud sebagai awal sebagai gerakan counter hegemoni begitu. Tetapi gerakan counter hegemoni itu yang harus mempunyai basis social yang luas, harus mempunyai dasar untuk menyatukan orang banyak. Itu juga yang tidak ada di Indonesia. Itulah tugas intelektual juga yang selain tugas yang kita bicarakan kemarin menulis jurnal internasional. Itu mempunyai tugas untuk saya kira berusaha untuk memformulasi, apasih sebetulnya isu-isu social, ekonomi dan politik yang bisa merekaatkan berbagai golongan dalam masyarakat dalam aliansi-aliansi yang lebih luas. Kendaraannya macam apa apakah partai, apakah Ormas, strateginya seperti apa,apakah diluar apakah didalam, apakah kolaborasi. Nah itu saya kira sesuatu yang perlu dipikirkan. Sebetulnya beberapa hal yang kira-kira ada disana untuk dicoba dimanfaatkan misalnya sedikit sekali orang Indoensia ini yang pro korupsi, jadi gerakan anti korupsi adalah gerakan yang bisa, potensial sebetulnya menjalin hubungan antara orang kaya kok sampai kepada petani segala macem bisa diajak untuk beranti korupsi. Satu lagi adalah dan menurut saya penting juga dalam konteks demokrasi dimana orang-orang itu berlomba-lomba untuk oh ya kita akan menyejahterakan rakyat. Itu sebenarnya ada peluang untuk memaukan diskursus pembangunan ekonomi yang berdasarkan kesejahteraan social. Karena untuk orangorang itu susah juga untuk menolak secara strategis. Tetapi saya kira kita tidak pernah punya selain pikiran ya, kendaraannya strateginya untuk memajukan hal itu kerah serius beda sama Lula di Brazil. Tapi bedanya Lula punya serikat buruh, lain dengan Morales dia juga punya basis organisasional dan di civil society beda dengan gerakan Sefismo, tetapi dengan perkembangan kapitalisme yang sifatnya semakin neoliberal semua indicator ekonomi, dan kalau kamu membaca buku terkenal oleh Thomas Ticety yang menunjukkan bahwa ada kesejahteraan social, jurang kekayaan semakin melebar, dimana-mana dunia ini dan 44

adalah logika kapitalisme neoliberal untuk melakuakan ini. Kita bisa bayangkan bahwa diseluruh dunia ini akan muncul gerakan-gerakan yang sifatnya populis. Populisme ini yang punya nama buruk karena bisa dimanipulasi oleh orang-orang kaya jenderal yang mau jadi presiden sekarang ini. Tetapi sebetulnya populisme itu bisa juga menjadi sesuatu yang progresif kalau dia mempunyai basis social yang kuat. Sebagai contoh, yang bisa saya kasih sebagai contoh Brazil dibawah Lula itu dimana gerakan serikat buruh itu bisa dimobilisasi sehingga Brazil adalah satu-satunya negara yang perekonomiannya besar di dunia ini yang mengalami sedikit pengurangan didalam pemisahan rakyat miskin dalam 10 tahun terakhir ini sedikit. Dimana-mana didunia ini semakin melebar. Jadi isu-isu keadilan social, kesejahteraan social segala macem patut untuk kita eksplore sebagai bagian dari diskursus counter hegemoni dan jangan lupa bahwa ini juga sebetulnya bagian dari kepentingan dari kelas social sebagian besar dari anda itu berasal. Jadi ini bukan soal bunuh diri kelas atau apa gitu, kalau kita lihat data dari bank dunia apalagi dari IMF itu ditunjukkan bahwa 45 % dari orang Indonesia itu adalah kelas menengah. Tapi teman saya melakukan penelitian lain dia menunjukkan bahwa 68% orang Indonesia hidup pre curious, jadi besok bisa bangkrut bisa mati gitu. Kalau dua-duanya bener 45 % dan 68 % kita asumsikan kedua-duanya benar berartikan separuh dari kelas menengan kita itu pre curious besok bisa tiba-tiba bangkrut, dan sekarang kita bisa lihat itu ditahun 1997 waktu krisis ekonomi yang tiba-tiba orang-orang bank jadi jualan sate, jualan rumahnya dan sebagainya. Akhir kata karena dikatakan waktunya sudah habis itu kita memang menurut saya perlu berbangga dengan apa yang telah dicapai dalam 16 tahun ini kita negara paling demokratis di Asia Tenggara, tapi itu bukan berarti bahwa sistem demokrasi kita adalah demokrasi yang kita angan-angankan. Tidak ada money politic, korupsi dan segala macam membuat kita marah semua. Masalahnya adalah tahun 1998 itu kekuatan-kekuatan lama kita beri peluaang untuk bisa berkuasa lagi lewat institusi-institusi baru, bahkan melakukan regenerasi politik dan kita diamkan saja. Jadi yang perlu dipikirkan sekarang menurut saya adalah cara untuk melawan itu. Dengan melakukan regenerasi politik alterna45

tive lewat kendaraan-kendaraan alternative, lewat diskursus alternative, lewat aliansi-aliansi social yang mempunyai basis social meluas yang alternative pula. Kalau tidak saya kira 10 tahun lagi, 20 tahun lagi kita akan melakukan seminar yang sama. Terima kasih.

46