PROSPEK BUDI DAYA BANDENG DALAM KARAMBA JARING APUNG LAUT DAN

Download Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003 ... dengan ikan lainnya, yaitu: 1) teknik ... perairan pantai untuk meningkatkan produksi ikan adalah...

0 downloads 448 Views 873KB Size
PROSPEK BUDI DAYA BANDENG DALAM KARAMBA JARING APUNG LAUT DAN MUARA SUNGAI

Abdul Mansyur dan S. Tonnek Balai Penelitian Perikanan Pantai, Jalan Makmur Daeng Sittaka No. 129, Maros 90512 Sulawesi Selatan

ABSTRAK Salah satu upaya pemanfaatan perairan pantai untuk meningkatkan produksi ikan adalah penerapan budi daya dalam karamba jaring apung (KJA). Sehubungan dengan itu, di beberapa perairan telah dilakukan penelitian budi daya bandeng dalam KJA seperti di muara Sungai Lakawali, Matene, Teluk Labuang, dan perairan Selayar, Sulawesi Selatan. Usaha budi daya ini mulai mendapat perhatian karena efisien dalam pemanfaatan lahan, tingkat produktivitasnya tinggi, dan teknologi budi dayanya relatif mudah. Di samping itu, ikan bandeng juga toleran terhadap salinitas antara 0−158 ppt, memberikan respons yang baik terhadap kondisi berjejal dan pakan buatan, serta dapat digunakan sebagai ikan konsumsi dan umpan bagi industri tuna. Dengan demikian budi daya bandeng memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Dengan pengelolaan yang baik seperti penerapan teknik penggelondongan, pengangkutan, dan padat tebar, produksi bandeng dalam KJA di laut dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi ikan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Kata kunci: Ikan bandeng, karamba jaring apung, perikanan laut dan muara sungai, produksi ikan

ABSTRACT The prospect of milkfish culture in estuary and marine floating cage One of the methods to enhance the productivity of coastal waters is applying the floating cage for fish culture. A number of studies have been carried out at Lakawali, Matene estuary, Labuang Bay and Selayar Inland of South Sulawesi using milkfish as candidat species. Some advances in marine cage culture were obtained, including high productivity, easy to handle and control, and also efficient in natural resource utilization. Milkfish was chosen for marine fish culture development because it is a euryhaline fish (0−158 ppt), has a good taste, able to grow fastly in crowded condition, responsive to artificial feed, and could be used as a food fish, or live bait in tuna longline fishing. By the specific characters, milkfish culture has a comparative adventage in the future. By supporting with proper culture management such as milkfish fingerling, transportation, stocking densities, and broodstock production, milkfish culture in estuary and marine cage culture could increase fish production for domestic and international markets. Keywords: Milkfish, cage culture, estuary and marine fisheries, fishery production

B

udi daya bandeng di Indonesia telah dikenal sejak 500 tahun yang lalu. Usaha ini berkembang pesat hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan memanfaatkan perairan payau atau pasang surut. Teknologi yang diterapkan juga berkembang dari tradisional yang mengandalkan masukan benih (nener) dan pengolahan makanan alami hingga pemberian pakan buatan secara terencana (Ahmad et al. 1997). Dengan rasa daging Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003

yang enak dan harga yang terjangkau, bandeng sangat digemari oleh masyarakat terutama di Jawa dan Sulawesi Selatan. Sejalan dengan meningkatnya permintaan, efisiensi budi daya menjadi tuntutan utama dalam upaya peningkatan produktivitas serta pendapatan petambak/ nelayan. Selama ini, pengembangan budi daya bandeng di masyarakat tidak banyak menemui kesulitan karena ikan ini memiliki keunggulan komparatif dibandingkan

dengan ikan lainnya, yaitu: 1) teknik pembenihannya telah dikuasai sehingga pasokan benih tidak tergantung dari alam, 2) teknologi budi dayanya relatif mudah, 3) bersifat euryhaline, toleran terhadap perubahan salinitas antara 0−158 ppt (Ismail et al. 1994), 4) bersifat herbivorous dan tanggap terhadap pakan buatan, 5) formulasi pakan buatan untuk ikan bandeng relatif mudah, 6) tidak bersifat kanibal dan mampu hidup dalam kondisi 79

berjejal, 7) dapat dibudidayakan secara polikultur dengan spesies lainnya seperti baronang, 8) meskipun dagingnya bertulang, tetapi rasanya lezat dan di beberapa daerah memiliki tingkat preferensi konsumsi yang tinggi, dan 9) dapat digunakan sebagai umpan bagi industri penangkapan tuna (Rachmansyah et al. 1997). Produksi ikan bandeng (Gambar 1) saat ini masih terbatas untuk memenuhi permintaan dalam negeri, namun melihat potensi dan prospek yang ada, tidak tertutup kemungkinan untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor. Di samping itu, bandeng juga digunakan sebagai umpan hidup bagi penangkapan tuna karena kualitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa jenis ikan lainnya (Subani 1982). Permintaan bandeng olahan misalnya dari Timur Tengah juga cenderung meningkat. PT Bosowa Grup pada bulan Maret 1998 telah mengekspor bandeng beku ke Timur Tengah dengan nilai US $ 30.000−40.000 setiap pengiriman. Pasar utama ekspor bandeng dari Sulawesi Selatan adalah Timur Tengah, Korea Selatan, dan Jepang (Rachmansyah dan Usman 1998) Kebutuhan bandeng untuk ekspor yang cenderung meningkat merupakan peluang usaha yang positif. Namun, dengan lahan tambak budi daya yang cenderung berkurang karena digunakan pula untuk budi daya udang dan peruntukan lainnya, diperlukan alternatif diversifikasi pemanfaatan lahan untuk produksi bandeng. Salah satu alternatif peningkatan produksi bandeng adalah pemanfaatan perairan umum yang meliputi muara sungai, teluk, dan selat yang memenuhi persyaratan bioteknis, sosial ekonomi, legalitas, dan lingkungan budi daya. Dalam beberapa tahun terakhir, teknik produksi ikan bandeng di perairan tersebut terus dikaji dan dikembangkan dengan sistem karamba jaring apung (KJA). Keberhasilan penelitian budi daya bandeng telah banyak dilaporkan (Burhanuddin et al. 1993; 1994; Usman 1997; Rachmansyah dan Usman 1998). Umumnya teluk dan selat merupakan perairan yang terlindung dari pengaruh angin, ombak, arus, dan gelombang besar, sehingga cocok untuk pengembangan budi daya bandeng dalam KJA. Desain, tata letak, dan konstruksi KJA di laut telah banyak dikaji di antaranya oleh 80

Mayunar dan Ahmad (1990); Ahmad et al. (1991); Tonnek et al. (1991); dan Imanto (1992). Budi daya bandeng dalam KJA di laut dan muara sungai (Gambar 2) memiliki keunggulan komparatif, yaitu: 1) efisien dalam penggunaan lahan, tingkat produktivitasnya tinggi, dan tidak memerlukan sistem irigasi dan pengolahan lahan, 2) unit usaha dapat ditentukan sesuai kemampuan modal dengan menggunakan bahan yang tersedia di sekitar lokasi budi daya, 3) mudah dipantau karena wadah budi daya relatif terbatas dan terhindar dari pemangsa dan mudah dilakukan pemanenan.

POKOK-POKOK MASALAH Petani umumnya membudidayakan bandeng secara tradisional di tambak dengan padat penebaran 3.000−5.000 ekor/ ha. Pemupukan untuk memacu pertumbuhan pakan alami dan konstruksi tambak dilakukan seadanya sehingga produksi rata-rata yang dicapai hanya sekitar 300−1.000 kg/ha/musim (Ismail et al. 1994). Walaupun bandeng dapat dibudidayakan secara intensif, kebanyakan petani-nelayan belum dapat melaksanakannya karena investasinya sangat tinggi.

Gambar 1.

Komoditas ikan bandeng yang dapat dibudidayakan dalam karamba jaring apung laut dan muara sungai.

Gambar 2.

Kegiatan budi daya dalam karamba jaring apung laut dan muara sungai. Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003

Untuk menanggulangi permasalahan dan mengantisipasi permintaan bandeng yang terus meningkat, salah satu alternatif yang dapat dikembangkan adalah budi daya bandeng dalam KJA. Teknologi produksi bandeng dalam KJA sudah cukup mapan, demikian pula aspek penunjang lainnya seperti pasokan benih, pakan, dan pascapanen. Biaya operasional KJA juga lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksi bandeng di tambak dengan produktivitas mencapai 400 kg/6 m3/5 bulan. Selain itu, lahan yang berpotensi untuk pengembangan budi daya bandeng dalam KJA cukup luas, meliputi muara sungai, teluk dan perairan lain yang memenuhi persyaratan teknis, ekonomis, dan sosial budi daya. Bandeng relatif tahan terhadap kondisi berjejal dan responsif terhadap pakan buatan (pelet). Dengan demikian, ikan tersebut memiliki keunggulan komparatif dan strategis sebagai komoditas andalan di masa mendatang, baik untuk ikan konsumsi maupun umpan perikanan tuna. Untuk mewujudkan harapan tersebut, diperlukan teknologi yang efektif dan efisien, yang secara teknis dapat dilakukan, secara ekonomis menguntungkan, dan dalam penerapannya dapat diterima oleh petani-nelayan. Diharapkan melalui pengembangan produksi bandeng di KJA, permintaan akan bandeng yang terus meningkat dapat terpenuhi dan dapat membuka lapangan kerja baru bagi nelayan tradisional.

PEMILIHAN LOKASI DAN POTENSI LAHAN BUDI DAYA Pemilihan Lokasi Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat penting serta menentukan keberhasilan budi daya bandeng. Lokasi yang dipilih harus memberikan kelaikan habitat bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Di samping itu, aspek kesehatan, sosial, ekonomi, dan legal perlu dipertimbangkan untuk memperlancar kegiatan usaha budi daya. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam budi daya bandeng menggunakan KJA di laut dan muara sungai adalah: 1) penempatan KJA harus di lokasi perairan bebas dari pencemaran, 2) perairan jernih dengan salinitas, Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003

temperatur air, serta peubah kualitas air lainnya sesuai dengan ambang batas toleransi ikan, 3) terhindar dari angin kencang dan arus serta pasang surut yang kuat, 4) tidak menimbulkan konflik dengan kegiatan lain yang berkaitan dengan pemanfaatan perairan laut dan muara sungai seperti perhubungan, perindustrian, pertambangan, kehutanan, pariwisata, pertahanan dan keamanan, dan penangkapan, 5) mudah dijangkau dan dekat dengan pasar.

dalam menunjang program peningkatan ekspor hasil perikanan Protekan 2003, yang mentargetkan perolehan devisa dari subsektor perikanan sebesar US $ 10 miliar pada tahun 2003, di mana US $ 439,40 juta berasal dari komoditas budi daya laut dengan target produksi sekitar 395.000 ton (Direktorat Jenderal Perikanan 1998). Budi daya laut cukup potensial untuk dikembangkan mengingat lahan berupa teluk, selat, lagoon, dan perairan semacamnya yang cocok untuk budi daya laut tersebar luas di sepanjang pantai Indonesia. Potensi lahan budi daya ikan laut yang telah diidentifikasi seluas 3.600 ha (Tabel 1) atau kurang lebih 4% dari luas total lahan budi daya laut Indonesia yang diperkirakan mencapai sekitar 86.200 ha (Tiensongrusmee et al. 1989). Melihat data yang ada, maka belum sepenuhnya lahan yang berpotensi untuk budi daya ikan laut teridentifikasi secara jelas, karena belum mencakup lahan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, padahal budi daya dalam KJA di daerah tersebut sudah dilakukan sejak 5 tahun terakhir.

Potensi Lahan Budi Daya Dalam rangka pemanfaatan perairan laut secara optimal, pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1982 telah menetapkan kebijakan pengembangan budi daya laut sebagai salah satu usaha bidang perikanan. Selanjutnya, Menteri Pertanian mengeluarkan petunjuk pelaksanaan budi daya laut di perairan Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473/KPTS/UM/ 1982. Budi daya laut juga berperan besar

Tabel 1. Penyebaran lahan yang berpotensi untuk budi daya ikan laut di Indonesia. Propinsi

Luas areal (ha)

Aceh Riau Sumatera Barat

200 350 100

Jambi Sumatera Selatan Lampung Jawa Barat Jawa Timur

50 200 800 400 300

Sulawesi Utara Sulawesi Tengah

200 −

Sulawesi Tenggara



Sulawesi Selatan

200

Bali Nusa Tenggara Barat

50 440

Kalimantan Timur

110

Nusa Tenggara Timur Maluku Papua

− 200 −

Indonesia

3.600

Lokasi P. Weh, Sabang, T. lhok Sudu. P. Simeulu P. Batam, P. Bintan Siobar, P. Sipora, P. Sikkap Burial. Tarusan, Painan Nipah panjang, Kg. Laut, Kuala Tungkal Bangka T. Hurun, T. Lampung T. Banten T. Gili Genteng, Madura, Grajagan, Banyuwangi Kep. Sangihe, T. Likupang, T. Bitung Donggala, Buol Toli-Toli, Kolonadale, Luwu Banggai Kendari, Kolaka, Gulamas, Pasar Wajo, Buton, Muna Pinrang, Pare-Pare, Barru, Pangkep, Makassar, Takalar, Jeneponto, Selayar, Sinjai Pajarakan T. Waru Kelapa, Tj. Sabodo, T. Elas Lombok, T. Saleh, Sumbawa Tarakan, Berau, Bontang, Sangkulirang, T. Adang − T. Ambon, Tual, Kei Kecil, Tanimbar − −

− = Belum ada data. Sumber: Tiensongrusmee et al. (1989); Cholik et al. (1995).

81

Tabel 1 memperlihatkan bahwa budi daya bandeng dalam KJA di laut telah mulai dikembangkan di Barru dan Selayar (Sulawesi Selatan), Kendari (Sulawesi Tenggara), dan di Teluk Pegametan, Pajarakan (Bali Utara).

DUKUNGAN PENELITIAN Penggelondongan Benih (Nener) Kegiatan yang berkaitan dengan budi daya bandeng dalam KJA di laut dan muara sungai adalah penggelondongan benih atau bandeng muda pada bak-bak atau petak penggelondongan. Pengangkutan benih dari petak penggelondongan perlu diperhatikan karena kesalahan dalam penanganan dan pengangkutan benih akan menyebabkan kematian 60−90% setelah ditebar di KJA. Selain itu, penggelondongan yang dilakukan di KJA laut belum efisien karena pertumbuhan benih lambat serta biaya dan tingkat kematiannya tinggi (Martinus 2000, komunikasi pribadi). Beberapa teknik penggelondongan bandeng telah dilaporkan, seperti aplikasi padat penebaran pada bak terkontrol dan penggunaan petakan tambak yang dirancang khusus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan kepadatan 35− 95 ekor/m2 selama tiga minggu, sintasan mencapai 97,15% (Ranoemihardjo dan Pirzan 1977). Penggunaan pupuk untuk menumbuhkan pakan alami telah pula diteliti, seperti pupuk kotoran ayam, urea, dan TSP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan 200 g kotoran ayam + 20 g urea + 10 g TSP/m2 memberikan pertumbuhan pakan alami yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Selama 8 minggu percobaan, sintasan mencapai 95,70% (Mansyur 1986).

angkut dilakukan pemberokan 2−3 hari. Benih dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran 80 cm x 40 cm x 0,80 cm yang berisi air 5 liter dengan salinitas 32 ppt dan diisi oksigen dengan perbandingan 1:1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengangkutan gelondongan bandeng dengan kepadatan 10−30 individu/l memberikan hasil paling baik. Kematian selama pengangkutan 10 jam sekitar 3,33−9,43%. Untuk pengangkutan bandeng muda ukuran 15−17 cm, penelitian dilakukan dengan kepadatan 6, 8, dan 10 ekor/l. Benih dimasukkan ke dalam kantong plastik ukuran 100 cm x 40 cm x 0,80 cm yang berisi air bersalinitas 10 ppt sebanyak 5 liter dan diberi oksigen dengan perbandingan air dan oksigen 1:1. Setelah pengangkutan selama 8 jam, sintasan mencapai lebih dari 94,44% (Setyadi et al. 1994). Penelitian pengangkutan tersebut belum dilanjutkan sampai penebaran benih dalam KJA laut. Untuk itu Tonnek et al. (2000) mencoba melihat kaitannya dengan produksi bandeng di tambak dan KJA di laut. Penelitian dilakukan dalam suatu pola faktorial, yaitu lama pengangkutan (1, 3, dan 5 jam) dan ukuran bandeng muda (100, 150, dan 200 g/ekor), masing-masing 5 kali ulangan. Bandeng muda yang telah dipanen di tambak dimasukkan ke dalam kantong plastik berisi air 4 liter. Tiap kantong diisi 300 g bandeng muda/l untuk tiap ukuran bandeng, sehingga tiap kantong berisi 1,20 kg ikan. Oksigen diberikan dengan perbandingan air dan oksigen 1:1. Obat bius yang digunakan adalah phenoxy ethanol 200 ppm. Peubah yang diamati adalah tingkat kematian selama pengangkutan dan selama adaptasi di KJA laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat pengangkutan dari tambak ke

KJA, bandeng muda tidak mengalami kematian. Angka kematian bandeng muda selama aklimatisasi berkisar 10− 25%, tidak berbeda nyata (P > 0,05) antarkombinasi perlakuan, tetapi berbeda nyata (P < 0,05) dengan angka kematian pada bandeng ukuran 200 g/ekor yang berkisar 35−50% (Tabel 2). Dari hasil analisis dapat dikemukakan bahwa lama pengangkutan dan ukuran ikan mempunyai korelasi positif dengan sintasan. Oleh karena itu, bandeng muda yang akan ditebar pada KJA laut sebaiknya berukuran 100−150 g dengan lama pengangkutan kurang dari 5 jam. Pemanenan juga perlu dilakukan secara hati-hati, cepat dan tepat karena penanganan yang ceroboh selama penangkapan dan pengepakan dapat menyebabkan kematian. Untuk itu, bahan alat tangkap dan modifikasi desain alat tangkap yang sesuai dengan gerakan bandeng yang cepat perlu dipertimbangkan. Dianjurkan pula sebelum pengangkutan, dilakukan pemberokan selama 1−2 hari untuk mengurangi aktivitas ikan sehingga metabolisme serta pengeluaran hasil-hasil ekskresi dapat diperkecil.

Pembesaran pada KJA Muara Sungai Penelitian padat penebaran dan kemungkinan pengembangan budi daya bandeng dalam KJA di muara sungai Lakawali, Luwu telah dilakukan. Gelondongan bandeng berukuran 2,30− 2,70 g/ekor ditebar dengan kepadatan berbeda, yaitu 100, 150, dan 200 ekor/m3. Pakan berupa pelet diberikan secara satiasi 2−3 kali sehari pada saat puncak pasang dan surut terendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budi daya bandeng berpeluang untuk dikembang-

Teknik Pengangkutan Tidak semua lokasi KJA berdekatan dengan lokasi penggelondongan bandeng sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengangkutan. Setiadharma dan Prijono (1994) telah melakukan penelitian pengangkutan gelondongan bandeng dengan kepadatan berbeda. Gelondongan bandeng yang digunakan berumur 6 minggu, ukuran 5−8 cm, bobot rata-rata 3,20−6,50 g, dan sebelum di82

Tabel 2. Rata-rata angka kematian ikan bandeng (%) pada setiap kombinasi perlakuan ukuran ikan dan lama pengangkutan selama adaptasi. Ukuran ikan (g/ekor) 100 150 200

Lama pengangkutan (jam) 1 10 ± 5 25 ± 6 40 ± 7

3 15 ± 4 25 ± 6 35 ± 6

5 25 ± 5 25 ± 5 50 ± 6

Sumber: Tonnek et al. (2000).

Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003

kan dalam KJA di muara sungai. Bobot individu meningkat dengan kisaran 322− 345 g/ekor selama 120 hari (Burhanuddin et al. 1993). Sintasan, produksi, dan konversi pakan dapat dilihat pada Tabel 3. Peningkatan kepadatan belum memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot biomassa per hari per karamba, sehingga kepadatan dapat ditingkatkan untuk mendapatkan padat penebaran yang optimal. Percobaan dengan padat penebaran yang lebih tinggi dilakukan di muara Sungai Matene, Barru. Gelondongan bandeng dengan bobot awal rata-rata 2,30 g ditebar pada KJA berukuran 1 m x 1 m x 1,25 m. Padat penebaran yang dicobakan adalah 300, 400, dan 500 ekor/m3. Pada umur 1−60 hari, ikan dipelihara pada karamba yang terbuat dari waring dan pada hari selanjutnya sampai panen dipelihara pada karamba dari jaring polietilen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa padat penebaran sampai 500 ekor/ m3 belum berpengaruh nyata terhadap sintasan bandeng umpan (98,20−100%). Produksi berkisar 47,70−68,50 kg/m 3 dengan bobot 128−160 g/ekor selama pemeliharaan 90 hari (Burhanuddin et al. 1993). Setelah dipelihara selama 120 hari untuk mencapai ukuran konsumsi, dengan padat penebaran 500 ekor/m3, produksi mencapai 124,70 kg/m3, lebih tinggi dan berbeda nyata dengan padat penebaran 400 ekor/m3 dan 300 ekor/m3 (Tabel 4). Tingkat produksi tersebut 2,40 kali lebih tinggi dibandingkan dengan produksi yang dilaporkan Burhanuddin et al. (1993) dan 1,20 kali produksi nila merah yang dilaporkan oleh Cholik et al. (1990). Namun, hasil tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan produksi nila merah pada KJA di perairan tawar yang mencapai 176 kg/m3 (Schmittou 1991). Dibandingkan dengan produksi sistem budi daya tambak dalam yang bisa mencapai 12 t/ha/tahun (Liao 1991), ternyata hasil tersebut hanya setara dengan 48 m3 KJA atau 48 unit karamba berukuran 1 m 3 . Produksi bandeng dengan sistem tambak dalam lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tambak dangkal. Namun, teknologi tersebut sangat sulit diterapkan karena harus memenuhi kriteria antara lain daya dukung lahan harus tinggi, memerlukan pakan tambahan, padat penebaran 5 kali lipat dari tambak dangkal, kedalaman air 2−3 m, dan menggunakan kincir (Liao 1991). Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003

Tabel 3. Sintasan, produksi, dan konversi pakan budi daya bandeng pada KJA di muara Sungai Lakawali, Luwu. Kepadatan (ekor/m 3 )

Sintasan (%)

Produksi (kg/m 3 )

Rasio konversi pakan

100 150 200

90,50 90,20 80,50

31 43,50 52,32

1,97 1,95 2,10

Sumber: Burhanuddin et al. (1993)

Tabel 4. Hasil percobaan pembesaran bandeng, pada KJA di muara Sungai Matene, Barru. Kepadatan (ekor/m 3)

Uraian

300

Lama pemeliharaan (hari) Ikan umpan Ikan konsumsi

90 120

Bahan jaring

Waring hitam 1 Jaring polietilen2

Bingkai Bobot awal (g/ekor)

Kayu

400 90 120 Waring hitam 1 Jaring polietilen2

500 90 120 Waring hitam1 Jaring polietilen2

2,30

Kayu 2,30

Kayu 2,30

Ikan umpan Bobot akhir (g/ekor) Pertumbuhan mutlak (g/ekor) Sintasan (%) Produksi (kg/karamba) Rasio konversi pakan

160,60 158,30 99 47,70 1,30

128 125,70 98,20 50,28 1,60

137 134,70 100 68,50 1,70

Ikan konsumsi Bobot akhir (g/ekor) Pertumbuhan mutlak (g/ekor) Sintasan (%) Produksi (kg/karamba) Rasio konversi pakan

273,99 271,69 95,77 78,66 2,30

269,45 267,15 95,50 102,87 2,50

267,25 265,94 93 124,66 2,70

Waring mesh size 0.13 in. Netting mesh size 0.7 in. Sumber: Burhanuddin et al. (1994). 1 2

Produksi Bandeng Konsumsi, Super, dan Induk Bandeng Uji coba untuk memproduksi bandeng konsumsi telah dilakukan di perairan Pulau Selayar. Bobot biomassa yang ditebar pada masing-masing karamba ukuran 2 m x 2 m x 2 m adalah 15 kg/m3, setara dengan 60 kg/karamba atau berturut-turut 600, 400, dan 300 ekor untuk masing-masing bandeng muda berbobot rata-rata 100, 150, dan 200 g/ekor. Pakan diberikan tiga kali sehari sebanyak 3% bobot biomassa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bandeng dengan ukuran awal 100 g/ekor memberikan

respons produksi terbaik (181,30 kg/ karamba) dengan bobot akhir rata-rata 400 g/ekor, sintasan > 94%, dan konversi pakan 1,80−2,70 (Tonnek et al. 2000). Untuk produksi bandeng super pada KJA di Teluk Labuang, Barru, dengan bobot awal rata-rata 100−150 g/ekor dan masa pemeliharaan 5−6 bulan, dapat diperoleh bobot rata-rata 800 g/ekor dengan nilai rasio konversi pakan 2,50 dan sintasan 95%. Sementara untuk memproduksi induk bandeng, bandeng yang digunakan berbobot awal 1−1,50 kg/ekor, padat penebaran 4−5 ekor/m3, dan volume karamba 3 m x 3 m x 2 m. Pakan diberikan tiga kali sehari sebanyak 3% bobot 83

biomassa per hari. Dengan lama pemeliharaan 24 bulan, bandeng dapat mencapai ukuran kategori induk > 4 kg/ ekor dengan rata-rata panjang cagak 60 cm (Usman 1997; Rachmansyah dan Usman 1998). Panen induk bandeng dapat dilakukan dengan mudah karena luasan karamba relatif terbatas. Penangkapan induk bandeng sebaiknya menggunakan scoop net dengan bahan lembut untuk menghindari kerusakan fisik akibat benturan.

PROSPEK PENGEMBANGAN Prospek peningkatan produksi bandeng dalam KJA laut dan muara sungai sangat besar di masa datang mengingat lahan yang berpotensi sangat luas dan tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, dukungan teknologi berupa hasil penelitian terapan dari instansi terkait cukup positif, baik untuk aspek efisiensi produksi maupun pascapanen. Efisiensi produksi dan pascapanen akan berefek ganda pada pilihan-pilihan usaha yang mengarah kepada pengembangan budi daya secara terpadu dan terintegrasi. Efek ganda tersebut terjadi baik terhadap komponenkomponen pendukung (hatchery, pabrik, pakan, bahan wadah budi daya, bahan rakit, peralatan mesin) maupun komponen yang didukung (cold storage, farmasi, pariwisata, kerajinan) serta mampu menciptakan lingkungan sekitarnya yang lebih baik. Subsistem pendukung pada budi daya bandeng dalam KJA laut dan muara sungai meliputi pengadaan dan pe-

nyaluran sarana produksi serta kegiatan perencanaan, pengadaan teknologi, dan sumber daya perikanan. Keberadaan subsistem ini dicirikan oleh upaya pengadaan masukan produksi yang memiliki kategori enam tepat yaitu tepat waktu, jumlah, jenis, kualitas, tempat, dan harga, disertai dengan pengembangan dan penerapan iptek secara kontinu. Teknologi pembenihan bandeng sebagai unit pemasok benih telah dikuasai, bahkan pembenihan skala rumah tangga telah berkembang di beberapa daerah seperti di Bali Utara dan Jawa Timur. Bandeng merupakan ikan yang bersifat euryhaline sehingga habitat hidupnya sangat luas, meliputi perairan payau, muara sungai dan laut serta tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan yang cukup ekstrim. Dengan demikian, pemilihan lokasi untuk budi daya bandeng dalam KJA relatif tidak ada masalah, namun pemilihan teknologi produksi dan pola usaha yang diterapkan harus mengacu pada daya dukung lahan dan persyaratan teknik produksi. Pemilihan lokasi pengembangan harus mengacu pada pewilayahan komoditas yang tertuang dalam tata ruang daerah dan memiliki keunggulan komparatif ditinjau dari aspek lahan dan pangsa pasar. Sarana pendukung seperti hatchery, pabrik pakan, obat-obatan, serta peralatan dan wadah budi daya harus berfungsi optimal dan memberikan jaminan kecukupan dan mudah diperoleh. Sementara dukungan sarana transportasi harus mampu menopang jalur distribusi dan pemasaran mengingat produk hidup yang dihasilkan berisiko tinggi serta

produk segar dan olahannya bersifat mudah rusak. Pangsa pasar baik domestik maupun ekspor juga perlu menjadi pertimbangan. Bagi produk yang memiliki tingkat preferensi cukup tinggi di dalam negeri dapat diarahkan pada upaya pemenuhan protein ikani masyarakat di samping untuk tujuan ekspor. Upaya diversifikasi pengolahan seperti pindang presto dan bandeng tanpa duri perlu mendapat prioritas mengingat produk olahan ini cukup diminati misalnya di negara Timur Tengah.

berbeda dalam karamba jaring apung di muara Sungai Lakawali Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Budi Daya Pantai 9(3): 13−20.

Cholik, F., A. Sudradjat, dan P.T. Imanto. 1995. Peluang agribisnis budi daya laut di Kawasan Timur Indonesia. hlm. 136−156. Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Karamba Jaring Apung bagi Budi Daya Laut. Jakarta, 12−13 April 1995.

KESIMPULAN Budi daya bandeng dalam KJA laut dan muara sungai prospektif dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek bioteknis, sosioekonomis, budaya dan legalitas, serta kelestarian sumber daya dan lingkungan. Pengembangan usaha ini secara terpadu dan berorientasi agribisnis merupakan salah satu alternatif pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kawasan pesisir dan laut dalam upaya mendukung program peningkatan ekspor hasil perikanan sekaligus mengaktualisasikan wawasan nusantara. Penguasaan teknologi budi daya bandeng yang tangguh merupakan tantangan yang harus dihadapi, sekaligus sebagai peluang dalam memanfaatkan keunggulan komparatif dalam rangka menopang pemberdayaan potensi kelautan. Melalui upaya tersebut, diharapkan budi daya bandeng dalam KJA dapat menjadi salah satu pemasok produk perikanan bermutu yang mampu bersaing di pasar domestik dan internasional.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, T., M.J.R. Yakob, D. Rohaniawan, M. Suparya, dan Budiman. 1997. Sistem usaha perikanan berbasis bandeng umpan. Laporan Hasil Penelitian ARMP 1996/97. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. 57 hlm. Ahmad, T., P.T. Imanto, Muchari, A. Basyarie, P. Sunyoto, B. Slamet, Mayunar, R. Purba, S. Diani, S. Rejeki, A.S. Pranowo, dan S. Murtiningsih. 1991. Petunjuk Teknis Operasional Pembesaran Ikan Kerapu dalam Karamba Jaring Apung. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. 59 hlm. Burhanuddin, Sulaeman, dan S. Tonnek. 1993. Budi daya bandeng dengan padat penebaran

84

Burhanuddin, Sulaeman, dan S. Tonnek. 1994. Budi daya ikan bandeng (Chanos chanos Forskal.) dalam karamba jaring apung volume kecil dengan padat penebaran berbeda. Jurnal Penelitian Budi Daya Pantai 10(2): 57−70. Cholik, F., Rachmansyah, dan S. Tonnek. 1990. Pengaruh padat penebaran terhadap produksi nila merah, Oreochromis niloticus. Jurnal Penelitian Budi Daya Pantai 6(2): 87−96.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1998. Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (PROTEKAN) 2003. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta. 29 hlm. Imanto, P.T. 1992. Rancang bangun konstruksi karamba jaring apung di laut. hlm. 147−154 Dalam Sunarno, S., H. Mansur, Rachmansyah, A. Mustafa, dan A. Hanafi (Ed.)

Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003

Prosiding Lokakarya Ilmiah Potensi Sumber Daya Perikanan Maluku, Ambon, 2−3 Maret 1992. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. Ismail, A., A. Poernomo, P. Sunyoto, Wedjatmiko, Dharmadi, dan R.A.I. Budiman. 1994. Pedoman Teknis Usaha Pembesaran Ikan Bandeng di Indonesia. Seri Pengembangan Hasil Penelitian No. 26/1993. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 73 hlm. Liao, I.C. 1991. Milkfish culture in Taiwan. p. 91−115. In J.P. Mc Vey (Ed.), CRC Hand Book of Mariculture, Finfish Aquaculture. Vol. II. CRC Press Inc., Boca Raton, Florida. Mansyur, A. 1986. Pengaruh berbagai dosis pupuk urea dan TSP terhadap pertumbuhan nener (Chanos chanos). Jurnal Penelitian Budi Daya Pantai 2(1 dan 2): 46−50. Mayunar dan T. Ahmad. 1990. Rekayasa kurung apung untuk budi daya ikan laut. hlm. 53−60 Dalam Prosiding Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Lautan bagi Budi Daya. Puslitbang Perikanan, Jakarta. Rachmansyah dan Usman. 1998. Produksi induk bandeng dalam karamba jaring apung di laut. hlm. 208−217. Dalam Sudradjat, A., E. Sri Heruwati, K. Sugama, A. Poernomo, Z.I.

Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003

Azwar, dan I. Nyoman Adiasmara Giri (Ed.). Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai, Denpasar, 6−7 Agustus 1998. Rachmansyah, S. Tonnek, dan Usman. 1997. Produksi ikan bandeng super dalam karamba jaring apung di laut. Dipresentasikan pada Seminar Regional Hasil-Hasil Penelitian Berbasis Perikanan, Peternakan dan SistemSistem Usaha Tani Di Kawasan Timur Indonesia, Naibonat-Kupang, 28−30 Juli 1997. 22 hlm. Ranoemihardjo and A.M. Pirzan. 1977. Effect of stocking density on growth rate of milkfish fry (Chanos chanos). Bull. Brackishwater Aqua. Dev. Cent. 3(1 and 2): 247−257. Schmittou, H.R. 1991. Cage culture: A method of fish production in Indonesia. Fisheries Research and Development Centre, 36(1 and 2): 247−257. Setiadharma, T. dan A. Prijono. 1994. Pengangkutan gelondongan ikan bandeng, Chanos chanos pada kepadatan yang berbeda dengan sistem tertutup. Jurnal Penelitian Budi Daya Pantai 10(1): 95−100. Setyadi, I., Darmansyah, Jufri, dan Hersapto. 1994. Pengaruh beda kepadatan terhadap

kelangsungan hidup ikan bandeng, Chanos chanos umpan dalam pengangkutan. Jurnal Penelitian Budi Daya Pantai 10(1): 135− 140. Subani, W. 1982. Ikan umpan hidup sebagai penunjang perikanan cakalang (Pengkajian hasil penelitian ikan umpan hidup di perairan Indonesia Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Indonesia Barat). Laporan Penelitian Perikanan Laut (24): 1−25. Tiensongrusmee, B., S. Pontjoprawiro, and K. Mintardjo. 1989. Seafarming Resources Map. INS/81/008/MANUAL/7. 109 p. Tonnek, S., Rachmansyah, F. Cholik, H. Yuliansyah, D.S. Pongsapan. 1991. Penelitian pengaruh bentuk karamba jaring apung dalam budi daya nila merah di Teluk ParePare. Buletin Penelitian Perikanan Edisi Khusus No. 3: 159−169. Tonnek, S., S. Marthinus, dan T. Ahmad. 2000. Pemantapan kaitan produksi ikan bandeng di tambak dan KJA di laut. Laporan Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. 14 hlm. Usman. 1997. Uji coba pembesaran bandeng super dalam karamba jaring apung di laut. Laporan Penelitian 1996/97. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. 10 hlm.

85