PSIKOLOGIA - JURNAL UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Download ABSTRAK. Di dalam penelitian ini, saya meneliti hubungan persahabatan dengan toleransi pemalasan sosial pada mahasiswa Fakultas Psikologi ...

0 downloads 512 Views 132KB Size
Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi

PSIKOLOGIA ISSN: 185-0327 www.jurnal.usu.ac.id/psikologia

PERSAHABATAN DAN TOLERANSI PEMALASAN SOSIAL PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Nanda Lukita Audi Psikologia: Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi Tahun 2014, Vol. 9, No. 2, hal. 52-56 Artikel ini dapat diakses dan diunduh pada: www.jurnal.usu.ac.id/psikologia Editor: Indri Kemala Omar K. Burhan Vivi Gusrini Pohan

Dipublikasikan oleh:

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Jl. Dr. Mansyur No. 7 Medan. Telp/fax: 061-8220122 Email: [email protected]

52

Psikologia, 2014, Vol. 9, No. 2, hal. 52-56

PERSAHABATAN DAN TOLERANSI PEMALASAN SOSIAL PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Nanda Lukita Audi* Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK Di dalam penelitian ini, saya meneliti hubungan persahabatan dengan toleransi pemalasan sosial pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pemalasan sosial (social-loafing) adalah pengurangan usaha yang dilakukan individu ketika bekerja di dalam kelompok. Toleransi pemalasan sosial adalah sejauh apa individu bertahan atau dapat menerima perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh anggota kelompok kerjanya. Persahabatan adalah hubungan antara dua orang atau lebih yang memiliki sifat sukarela dan personal yang saling berbalas dan menguntungkan satu sama lain namun tidak ketertarikan seksual. Saya berhipotesis bahwa individu akan cenderung dapat mentolerir perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh sahabat dekatnya. Sesuai dengan hipotesis yang diajukan, semakin tinggi tingkat persahabatan yang dimiliki individu terhadap pelaku pemalasan sosial, semakin individu dapat mentolerir perilaku pemalasan sosial yang dilakukan sahabatnya tersebut. Kata-kata kunci: Toleransi pemalasan sosial, persahabatan, social-loafing

FRIENDSHIP AND SOCIAL-LOAFING TOLERANCE AMONG PSYCHOLOGY STUDENTS UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

ABSTRACT In the present research, I examined the relationship of frienships with social-loafing tollerance among students of the Faculty of Psychology, University of Sumatera Utara. Social-loafing refers to individual’s decrease effort when working in group. Social-loafing tolerance refers to the extent of which a person withstand with the social-loafing act enacted by his/her group members. Friendships is the relationships between two or more people, characterized by voluntary, personal, and reciprocal, with the absence of sexual attraction. I hypothesized that high level of friendships towards social-loafers would be associated with high social-loafing tolerance. In line with the proposed hypothesis, the extent of which one rated his/her friendship towards social-loafer correlated positively with his/her social-loafing tolerance towards the the loafer. Keywords: Social-loafing tolerance, friendships

Bekerja di dalam kelompok merupakan hal yang umum dialami mahasiswa dalam menjalani perkuliahan. Di satu sisi, pekerjaan yang berat dilakukan secara individual akan lebih ringan apabila dikerjakan secara berkelompok, karena beban-beban tugas dapat didistribusikan kepada setiap individu di anggota kelompok. Di sisi lain, bekerja di dalam kelompok justru dapat menjadi tidak efektif apabila anggota-anggota kelompok gagal berkoorperasi dengan efektif. Salah satu kegagalan kooperasi ini adalah ketika terjadi pemalasan sosial (social loafing), yaitu kecenderungan individu untuk mengurangi usahanya ketika bekerja di dalam kelompok (Karau & Williams, 1993). Pemalasan sosial dapat merugikan kelompok secara keseluruhan, maupun secara

individual. Secara keseluruhan, pemalasan sosial yang dilakukan oleh anggota kelompok dapat membuat kelompok bekerja dengan tidak efektif. Sedangkan secara individual, individu pelaku pemalasan sosial mengurangi kesempatan bagi dirinya untuk mengembangkan pengetahuan serta kemampuan yang dimilikinya terkait tugas yang seharusnya ia kerjakan (Carron, Burke, & Prapavessis, 2004; Welter, et al, 2002). Di dalam penelitian ini, saya memeriksa salah satu faktor yang dapat mendorong atau menguatkan perilaku pemalasan sosial di dalam kelompok. Perilaku individu tidak terlepas dari affordance atau kesempatan yang diberikan lingkungan sekitarnya (dalam Cialdini, Kenrick, & Neuberg, 2010). Hal ini juga

*Korespondensi mengenai penelitian ini dapat dilayangkan kepada Nanda Lukita Audi melalui email: [email protected]

Rekomendasi mensitasi: Audi, N. L. Persahabatan dan toleransi pemalasan sosial pada mahasiswa psikologi Universitas Sumatera Utara. Psikologia, 9(2), 52-56.

53

berlaku untuk perilaku pemalasan sosial, di mana kesempatan dan resiko konsekuensi yang menguntungkan (atau tidak merugikan) dapat membuat individu melakukan pemalasan sosial ketika bekerja di dalam kelompok. TOLERANSI PEMALASAN SOSIAL Salah satu faktor affordance yang dapat memicu individu melakukan pemalasan sosial adalah toleransi yang diberikan anggota-anggota kelompok lainnya terhadap tindakan pemalasan sosial. Toleransi pemalasan sosial merupakan istilah yang digunakan oleh Samosir (2014) untuk menggambarkan sejauh apa individu mampu bertahan terhadap perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh anggota sekelompoknya. Definisi ini dibuat berdasarkan definisi toleransi yang dikemukakan oleh Chong (1994), yang mendefinisikan toleransi sebagai sejauh apa individu mampu bertahan pada situasi yang tidak diinginkannya. Secara logis, apabila anggota-anggota kelompok mentolerir perilaku pemalasan sosial (misal: tidak menegur atau bahkan me-ngambil alih tugas pelaku pemalasan sosial), maka toleransi tersebut dapat menjadi justifikasi bagi pelaku untuk terus menerus melakukan pemalasan sosial. Dengan demikian, pengetahuan mengenai faktorfaktor yang dapat menentukan toleransi pemalasan sosial perlu dilakukan. PERSAHABATAN SEBAGAI DETERMINAN TOLERANSI PEMALASAN SOSIAL Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi toleransi di dalam kelompok adalah persahabatan (Sarwono, 2005). Para ahli mendefinisikan persahabatan dengan cara yang berbeda-beda, namun secara umum persahabatan dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang atau lebih yang bersifat sukarela dan personal yang saling berbalas dan menguntungkan satu sama lainnya, tanpa diiringi ketertarikan seksual (Bashow, 1992;

Corsini 2000). Sedangkan aspek-aspek yang meliputi persahabatan adalah companionship, stimulation, physical support, ego support, social comparison, dan intimacy/affection (lihat Gotmann dan Parker, 1987 dalam Santrock, 2004). Perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh individu dapat membuat anggota-anggota kelompok lainnya merasa dirugikan. Perasaan rugi ini dapat menjadi sumber konflik. Di dalam hubungan persahabatan, apabila terjadi konflik, pihak yang terlibat akan cenderung melakukan pengorbanan demi kebaikan hubungan persahabatannya (Taylor, Pepalu & Sears, 2009). Jadi, ketika pelaku pemalasan sosial adalah seorang sahabat, individu dapat lebih mentolerir perilaku sahabatnya tersebut, dengan dasar mempertahankan persahabatan. Dengan demikian, dapat dihipotesiskan bahwa semakin tinggi tingkat persahabatan antara individu dengan pelaku pemalasan sosial, semakin mungkin individu untuk mentolerir perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh sahabatnya tersebut. METODE Populasi dan sampel Populasi di dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara. Partisipan yang menjadi sampel adalah sebanyak 64 orang mahasiswa (21 laki-laki, 43 perempuan, 16 orang untuk setiap angkatan 2010, 2011, 2012, dan 2013), yang direkrut secara incidental. Alat ukur Alat ukur yang digunakan di dalam penelitian ini berupa kuesioner yang mengukur variabel-variabel penelitian. Semua aitem saya konstruksi dengan skala empat titik (1 = “Sangat tidak setuju” – 4 = “Sangat setuju”). Skala setiap pengukuran saya ciptakan dengan mererata aitemaitem. Dengan cara ini, skor partisipan pada setiap skala (skala persahabatan dan

54

toleransi pemalasan sosial) merentang antara nilai minimum 1 sampai nilai maksimum 4, dengan midpoint 2,5. Persahabatan saya ukur dengan 19 aitem yang saya konstruksi berdasarkan aspek-aspek persahabatan yang diutarakan oleh Gottman dan Parker (1987, dalam Santrock, 2002). Validitas aitem-aitem alat ukur ini saya evaluasi melalui mekanisme justifikasi ahli (expert judgement), yaitu dua orang staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Contoh aitem meliputi: (1) “Banyak waktu yang saya habiskan untuk melakukan berbagai aktivitas bersama dengan sahabat saya”; (2) “Sulit membayangkan kegiatan seharihari tanpa sahabat saya”. Analisis cronbach alpha menunjukkan alat ukur ini reliabel (α = 0,85). Toleransi pemalasan sosial saya ukur dengan delapan aitem yang saya adaptasi dari Samosir (2014). Contoh aitem adalah sebagai berikut: (1) “Saya tidak keberatan melakukan tugas yang seharusnya menjadi tanggungjawab sahabat, apabila tugas tersebut memang bisa saya kerjakan sendiri”; (2) “Saya memiliki toleransi yang tinggi terhadap sahabat yang tidak mampu memenuhi tanggungjawabnya di dalam pengerjaan tugas kelompok.” Analisis cronbach alpha juga menunjukkan bahwa alat ukur ini reliabel (α = 0,84). Prosedur Dalam pengambilan data, saya menyebarkan kuesioner di lingkungan sekitar Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara. Sebelum mengisi kuesioner, partisipan saya minta untuk membayangkan seorang sahabat, selama dua menit. Saya informasikan kepada mereka bahwa pernyataan-pernyataan di dalam kuesioner adalah hal-hal seputar persahabatan. HASIL Uji asumsi Pengujian hipotesis penelitian saya lakukan dengan analisis korelasi pearson.

Sebelum melakukan pengujian hipotesis, saya memeriksa terlebih dahulu normalitas data respons pada skala persahabatan dan toleransi pemalasan sosial, yang merupakan syarat dalam melakukan analisis korelasi pearson. Merujuk pada Andy Field (2009), apabila distribusi data memiliki nilai skewness dan kurtosis di antara -1 sampai dengan +1, maka distribusi tersebut dapat dikatakan tidak menyimpang dari normal. Sesuai dengan kriteria tersebut, hasil menunjukkan bahwa data respons partisipan pada skala persahabatan (M = 3,10; SD = 0,33; skewness = 0,58; kurtosis = 0,32) dan pemalasan sosial (M = 2,75; SD = 0,41; skewness = 0,05; kurtosis = -0,32) tidak berdeviasi dari normal. Persahabatan dan toleransi pemalasan sosial Saya berhipotesis bahwa semakin tinggi level persahabatan yang dimiliki individu terhadap pelaku pemalasan sosial, semakin tinggi toleransi individu terhadap perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh sahabatnya tersebut. Hipotesis ini saya ujikan dengan analisis korelasi pearson. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persahabatan dengan toleransi pemalasan sosial (r = 0,35; p = 0,005). Ini berarti bahwa 13% (r2) kebervariasian toleransi pemalasan sosial diprediksikan oleh persahabatan. Sesuai dengan hipotesis, semakin tinggi level persahabatan individu dengan pelaku pemalasan sosial, semakin individu dapat mentolerir perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh sahabatnya tersebut. DISKUSI Di dalam penelitian ini, saya memeriksa bagaimana hubungan persahabatan dengan toleransi pemalasan sosial. Sesuai dengan hipotesis yang saya ajukan, semakin tinggi level persahabatan individu terhadap pelaku pemalasan sosial, semakin individu dapat mentolerir perilaku

55

pemalasan sosial yang dilakukan oleh sahabatnya tersebut. Merujuk pada penelitian sebelumnya, persahabatan dengan kualitas yang tinggi ditandai dengan perilaku tolong-menolong, keakraban, dan tingkat konflik yang rendah (Berndt, 2002). Berdasarkan ini, toleransi terhadap pemalasan sosial sebagaimana saya temukan di dalam penelitian ini menjadi tidak mengagetkan. Pemalasan sosial memang dapat memicu konflik antara pelaku dengan anggotaanggota kelompok lainnya. Di dalam hubungan persahabatan yang berkualitas tinggi, apabila terjadi konflik, pihak yang terlibat akan cenderung melakukan pengorbanan demi kebaikan hubungan persahabatannya (Taylor, Pepalu & Sears, 2009). Jadi, toleransi terhadap pemalasan sosial lebih dapat diberikan individu kepada sahabat untuk menghindari konflik dan menjaga hubungan persahabatan. Pemberian toleransi ini, meskipun dapat menjadi suatu cara untuk menjaga hubungan persahabatan, dalam jangka panjangnya justru dapat berakibat buruk bagi individu maupun sahabatnya. Bagi individu, mentolerir perilaku pemalasan sosial dapat berarti bahwa ia harus memberikan usaha ekstra untuk agar dapat menutupi beban kerja yang ditinggalkan oleh pelaku pemalasan sosial. Apabila beban tugas menjadi terlalu tinggi, maka individu akan rentan mengalami burnout (Salmela-Aro & Kuntu, 2010). Sementara itu, bagi pelaku pemalasan sosial, tindakannya dapat mengurangi kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan serta kemampuan yang dimilikinya terkait tugas yang seharusnya ia kerjakan (Carron, Burke, & Prapavessis, 2004; Welter, et al, 2002). Mempertimbangkan hasil penelitian ini, beberapa saran dapat saya ajukan untuk mengurangi resiko pemalasan sosial di dalam kelompok, khususnya kelompok belajar mahasiswa: 1. Dalam proses penyelesaian tugas secara kelompok, sebaiknya dosen tidak membiarkan mahasiswanya

membentuk kelompok sendiri, hal ini bertujuan untuk meminimalisir mahasiswa yang memiliki hubungan persahabatan yang terlalu kuat untuk berkumpul dalam satu kelompok. 2. Dosen dapat membentuk kelompok di kelas, dan dalam satu kelompok itu terdiri anak-anak yang tidak memiliki hubungan persahabatan, sehingga mahasiswa-mahasiswa juga dapat membaur dan melatih kemampuan kerja sama dengan orang asing atau yang tidak selalu dekat dengannya. 3. Dalam pengerjaan tugas kelompok, diharapakan anggota kelompok dapat membagi tugas secara spesifik dan jelas pada setiap anggota kelompoknya tersebut dalam proses penyelesaian tugas agar individu dapat lebih bertanggungjawab terhadap tugas yang telah dibebankan padanya. REFERENSI Bashow, S.A. (1992). Gender: Stereotypes and roles (3rd ed.). California: Brook Cole Publishing Company. Berndt, Thomas J. (2002) Friendship quality and social development. Indiana: Purdue University Field, A. 2009.Discovering statistic using SPSS. (3rd ed.). London: Sage Publication. Carron, A., Burke, S., & Prapavessis, H. (2004). Journal of Applied Sport Psychology , 16, 21-53. Chong D. 1994. Tolerance and social adjustment to new norms and practices. Political Behavior. 16(1), 21-53. Corsini.J.R. (2000). The dictionary of psychology. New York: Brunner/Rout. Karau, S. J., & Williams, K. D. (1993). Social loafing: A meta analytic review and the integration. Journal of Personality and Social Psychology , 65, 681-706.

56

Salmela-Aro, K., & Kunttu, K. (2010). Study burnout and engagement in higher education. Unterrichtswissenschaft, 38(4), 318-333. Taylor, Peplau& Sears. 2009. Psikologi sosial (ed. ke-12. Jakarta: Kencana. Samosir, S. V. (2014). Toleransi terhadap pemalasan sosial: Peran dimensi budaya individualisme-kolektivisme. Psikologia, 9(1), 15-24. Welter, Canale, Fiola, Sweeney & L’armand. (2002) Effects of Social Loafing on Individual Satisfaction and Individual Productivity. Psi Chi, The National Honor Society in Psychology. 7(3), 142-144.