RADIOTERAPI & ONKOLOGI INDONESIA

Download Pada Tabel 5 terlihat bahwa di setiap lokasi kanker di kepala dan leher didapatkan kesalahan sistematik dan acak yang berbeda sehingga me...

0 downloads 518 Views 24MB Size
Volume 5 Issue 1 January 2014

ISSN 2086-9223

Radioterapi & Onkologi Indonesia PENELITIAN ILMIAH Verifikasi Geometri Radioterapi Teknik 3DCRT/IMRT Pada Kasus Kanker Kepala dan Leher di Departemen Radioterapi RSCM Faisal Adam, Soehartati A. Gondhowiardjo Rasio Malondialdehyde Katalase Sebelum dan Sesudah Radiasi Sebagai Prediktor Persentase Pengecilan Volume Tumor Pada Kanker Serviks Stadium Lokal Lanjut Aida Lufti Huswatun, Soehartati A. Gondhowiardjo, Alida R. Harahap, Joedo Prihartono TINJAUAN PUSTAKA Aplikasi Teknik Field Junction pada Radioterapi Rhandyka Rafli, Irwan Ramli Efek Dasar Radiasi pada Jaringan Arry Setyawan, H.M. Djakaria Peranan Radioterapi terhadap Soft Tissue Sarcoma (STS) di Ekstremitas Sigit Wirawan, Soehartati A. Gondhowiardjo

Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society Radioter Onkol Indones

Vol .5

Issue 1

Page 1-41

Jakarta, Januari 2014

ISSN 2086-9223

Radioterapi & Onkologi Indonesia

Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society Tujuan dan Ruang Lingkup Majalah Radioterapi & Onkologi Indonesia, Journal of the Indonesian Radiation Oncology Society (ISSN 2086-9223) diterbitkan 3 kali dalam setahun. Tujuan diterbitkannya adalah untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan perkembangan ilmu onkologi radiasi di Indonesia. Ruang lingkupnya meliputi semua aspek yang berhubungan dengan onkologi radiasi, yaitu onkologi molekuler, radiobiologi, kombinasi modalitas terapi (bedah-radioterapi-kemoterapi), onkologi pencitraan, fisika medis radioterapi dan ilmu radiografi-radioterapi (radiation therapy technology/RTT).

Pemimpin Umum Soehartati A. Gondhowiardjo Ketua Penyunting Sri Mutya Sekarutami Dewan Penyunting Gregorius Ben Prayogi

Kartika Brohet

Soehartati A. Gondhowiardjo K.R.M.T. Salugu Maesadji T.

Mitra Bestari (peer-reviewer) M. Djakaria Setiawan Soetopo

Nana Supriana Mitsju Herlina

Rhandyka Rafli

Desain Layout Ericko Ekaputra

Angela Giselvania Lidya Meidania

Panduan Penulisan Artikel:

Artikel yang diterima dalam bentuk penelitian, tinjauan pustaka, laporan kasus, editorial dan komentar. Artikel diketik dengan font Times New Roman 11, spasi 1.25, margin narrow, 1 kolom, maksimal 10 halaman untuk artikel pendek dan maksimal 15 halaman untuk artikel panjang. Ukuran kertas A4 (210 x 297 mm) sesuai rekomendasi UNESCO. Judul artikel harus singkat menggambarkan isi artikel, jumlah kata hendaknya tidak lebih dari 15 kata. Penelitian, berisi hasil penelitian orisinil. Format terdiri dari pendahuluan, metode penelitian, hasil, diskusi, kesimpulan dan daftar pustaka. Pernyataan tentang conflict of interest dan ucapan terima kasih diperbolehkan bila akan dimuat. Tinjauan pustaka, berisi artikel yang membahas suatu bidang atau masalah yang baru atau yang penting dimunculkan kembali (review) berdasarkan rujukan literatur. Format menyangkut pendahuluan, isi, dan daftar pustaka. Editorial, berisi topik-topik hangat yang perlu dibahas. Surat, berisi komentar, pembahasan, sanggahan atau opini dari suatu artikel. Editorial dan surat diakhiri format daftar pustaka sebagai rujukan literature. Abstrak wajib disertakan dalam setiap artikel, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maksimal 200 kata. Kata kunci berjumlah minimal 3 kata. Abstrak pada artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian/latar belakang, metode penelitian, hasil utama, dan kesimpulan. Rujukan ditulis dengan gaya Vancouver, diberi nomor urut sesuai

Volume 5 Issue 1 Januari 2014 4i

ISSN 2086-9223

Radioterapi & Onkologi Indonesia

Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society dengan rujukan dalam teks artikel. Table dan gambar harus singkat dan jelas. Gambar boleh berwarna maupun hitam putih. Judul tabel ditulis di atas tabel, catatan ditulis di bawah tabel. Judul gambar ditulis di bawah gambar. Artikel dikirim melalui email: [email protected] atau alamat penerbit. Artikel yang masuk menjadi hak milik dewan redaksi. Artikel yang diterima untuk dipublikasikan maupun yang tidak akan diinformasikan ke penulis. Contoh penulisan rujukan: 1. Artikel Jurnal Jurnal dengan volume tanpa nomor/issue, pengarang 6 orang atau kurang: Swaaak-Kragten AT, de Wilt JHW, Schmitz PIM, Bontenbal M, Levendag PC. Multimodality treatment for anaplastic thyroid carcinoma-treatment outcome in 75 patients. Radiother Oncol 2009;92:100-4 Jurnal dengan volume dan nomor: Kadin ME. Latest lymphoma classification in skin deep. Blood 2005;105(10):3759 Jurnal suplemen dengan pengarang lebih dari 6 orang: Aulitzky WE, Despres D, Rudolf G, Aman C, Peschel C, Huber C, et al. Recombinant interferon beta in chronic myelogeneous leukemia. Semin Hematol 2005; 30 Suppl 3:S14-7 *Catatan: bulan dan tanggal terbit jurnal (bila ada) dapat dituliskan setelah tahun terbit jurnal tersebut

2. Buku Penulis pribadi atau penulis sampai 6 orang: Beyzadeoglu M, Ozyigit G, Ebruli C. Basic radiation oncology. Heidelberg (Germany):Springer-Verlag;2010 Penulis dalam buku yang telah diedit: Perez CA, Kavanagh BD. Uterine cervix. In: Perez CA, Brady LW, Halperin EC, Schmidt-Ullrich RK, editors. Principle and practice of radiation oncology 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004 Bab (chapter) dalam buku: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran ed 3 jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. Bab 5, Ilmu bedah;p.281-409 Buku terjemahan: Van der Velde CJH, Bosman FT, Wagener DJTh, penyunting. Onkologi ed 5 direvisi [Arjono, alih bahasa]. Yogyakarta: Panitia Kanker RSUP Dr. Sardjito;1999 *Catatan: penulis lebih dari 6 ditulis et al setelah penulis ke-6. Khusus bab dalam buku harus ditulis judul bab dan halamannya.

Volume 5 Issue 1 Januari 2014 ISSN 2086-9223

Radioterapi & Onkologi Indonesia

Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society

3. Internet (Web) National Cancer Institute. Cervical Cancer Treatment [internet].2009 [cited 2009 Jul 13]. Available from: http://www.cancer.gov/cancertopics/pdg/teratment/cervical/ healthprofessional 4. Tipe artikel jurnal yang perlu disebutkan (seperti abstrak, surat atau editorial): Fowler JS. Novel radiotherapy schedules aid recovery of normal tissue after treatment [editorial]. J Gastrointestin Liver Dis 2010;19(1):7-8 5. Organisasi Sastroasmoro S, editor. Panduan pelayanan medis Departemen Radioterapi RSCM. Jakarta:RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo;2007 6. Laporan Organisasi/Instansi/ Pemerintah Prescribing, recording, and reporting photon beam therapy (supplemen to ICRU 50). ICRU report. Bethesda, Maryland (US): International Comission of Radiation Units and Measurements;1999. Report No.:62 7. Disertasi atau tesis Soetopo S. Faktor angiogenesis VEGF-A dan MVD sebagai predictor perbandingan daya guna radioterapi metode fraksinasi akselerasi dan konvensional pada pengobatan karsinoma nasofaring [disertasi]. Bandung: Universitas Padjajaran;2008 8. Pertemuan Ilmiah Makalah yang dipublikasikan: Fowler JF. Dose rate effects in normal tissue. In: Mould RF, editor. Brachytherapy 2. Proceedings of Brachytherapy Working Conference 5th International Selectron Users Meeting; 1998;The Hague, The Netherlands. Leersum, The Netherlands: Nucletron International B.V.;1989.p.26-40 Makalah yang tidak dipublikasikan: Kaanders H. Combined modalities for head and neck cancer. Paper presented at: ESTRO Teaching Course on Evidence-Based Radiation Oncology: methodological Basis and Clinical Application;2009 June 27- July 2;Bali, Indonesia

Penerbit :

Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)

Alamat Penerbit:

Sekretariat PORI, Departemen Radioterapi Lt.3 RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat, 10430 Tlp. (+6221) 3903306 Email: [email protected] No Rekening Bank Mandiri Cab Jakarta RSCM No. 122-0005699254 an. PORI Majalah Radioterapi dan Onkologi Indonesia dapat diakses di http://www.pori.go.id

Volume 5 Issue 1 Januari 2014 4iii

ISSN 2086-9223

Radioterapi & Onkologi Indonesia

Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society

DAFTAR ISI

HASIL PENELITIAN Verifikasi Geometri Radioterapi Teknik 3DCRT/IMRT pada Kasus Kanker Kepala dan Leher di Departemen Radioterapi RSCM Faisal Adam, Soehartati A. Gondhowiardjo

1-8

Rasio Malondialdehyde Katalase Sebelum dan Sesudah Radiasi Sebagai Prediktor Persentase Pengecilan Volume Tumor Pada Kanker Serviks Stadium Lokal Lanjut Aida Lufti Huswatun, Soehartati Gondhowiardjo, Alida R. Harahap, Joedo Prihartono

9-15

TINJAUAN PUSTAKA Aplikasi Teknik Field Junction pada Radioterapi Rhandyka Rafli, Irwan Ramli

16-24

Efek Dasar Radiasi pada Jaringan Arry Setyawan, H.M Djakaria

25-33

Peranan Radioterapi terhadap Soft Tissue Sarcoma (STS) di Ekstremitas Sigit Wirawan, Soehartati A. Gondhowiardjo

34-41

Volume 5 Issue 1 Januari 2014

ISSN 2086-9223

The latest High End Elekta Linear Accelerator provides a groundbreaking combination of high dose rate delivery (FFF Beam Technology) and fine-resolution 160 leaves MLC at unmatched speed to take advanced therapies such as VMAT, SRS and SRT to new levels.

1

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:1-8

Penelitian Ilmiah

VERIFIKASI GEOMETRI RADIOTERAPI TEKNIK 3DCRT/IMRT PADA KASUS KANKER KEPALA DAN LEHER DI DEPARTEMEN RADIOTERAPI RSCM Faisal Adam, Soehartati A. Gondhowiardjo Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak / Abstract

Informasi Artikel Riwayat Artikel

 Diterima Desember 2013  Disetujui Januari 2014

Alamat Korespondensi dr.Faisal Adam

Radioterapi pada kanker kepala dan leher menggunakan teknik Three-dimensional Conformal Radiotherapy (3DCRT) atau Intensity-modulated Radiotherapy (IMRT) membutuhkan akurasi tinggi dalam pelaksanaannya. Untuk meningkatkan akurasi, diperlukan pengetahuan mengenai angka kesalahan set-up berdasarkan hasil verifikasi. Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data verifikasi Cone Beam Computed Tomography (CBCT) dari 9 pasien kanker kepala dan leher yang mendapatkan radioterapi dengan teknik 3DCRT/IMRT di Departemen Radioterapi RSCM bulan Oktober-Desember 2013. Hasil penelitian menunjukkan pemberian margin sebesar 5 mm sudah cukup adekuat dalam pelaksanaan radioterapi kanker kepala dan leher dengan teknik 3DCRT/IMRT di Departemen Radioterapi RSCM.

Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Kata Kunci: 3DCRT/IMRT, ver ifikasi CBCT, mar gin CTV-PTV, kanker kepala leher, kesalahan acak dan sistematis

E mail: [email protected]

Three-dimensional Conformal Radiotherapy (3DCRT) or Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) for head and neck cancer is a highly accurate procedure. Verification is needed to detect and correct set-up errors. This is a cross-sectional study using Cone Beam Computed Tomography (CBCT) verification data of 9 head and neck cancer patients treated with 3DCRT/IMRT in Department of Radiotherapy, Cipto Mangunkusumo Hospital between October and December 2013. The calculated CTV-to-PTV margin can be used as recommended margin and showed that 5 mm margin was adequate in planning 3DCRT/IMRT technique for head and neck cancer in Department of Radiotherapy, Cipto Mangunkusumo Hospital. Keywords: 3DCRT/IMRT, CBCT verification, CTV-to-PTV margin, head and neck cancer, systematic and random errors Hak cipta ©2014 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan Radioterapi merupakan salah satu modalitas terapi utama dalam penatalaksanaan berbagai kasus kanker kepala dan leher. Kemajuan teknologi memungkinkan penggunaan teknik seperti Three-dimensional Conformal Radiotherapy (3DCRT) atau Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT). Penggunaan kedua nya memberikan keuntungan dalam pemberian dosis optimal pada tumor dengan toksisitas minimal pada jaringan normal disekitarnya.1-4 Penggunaan teknik 3DCRT/IMRT mengharuskan akurasi yang tinggi dalam pelaksanaannya. Sesuai dengan panduan International Commission on Radiation Units and Measurements (ICRU), tumor primer atau Gross Tumor V olume (GTV) dan daerah yang

potensial terdapat ekstensi tumor secara mikroskopis atau Clinical Target V olume (CTV) harus mendapatkan dosis yang optimal.1,5 Verifikasi adalah komponen penting dalam radioterapi yang bertujuan memperoleh data mengenai variasi yang terjadi selama pasien menjalani proses radiasi. Pada pesawat linear accelerator, verifikasi yang ideal dilakukan dengan menggunakan Cone Beam Computed Tomography (CBCT).6,7 Akan tetapi, metode verifikasi yang dilakukan sebaiknya disesuaikan dengan keadaan di masing-masing pusat radioterapi agar tercapai hasil yang baik dengan beban kerja yang minimal. Identifikasi yang optimal pada variasi set-up pasien dalam bentuk kesalahan sistematik dan acak akan sangat membantu akurasi teknik 3DCRT/IMRT. 8-10

1

2

Verifikasi Geometri Radioterapi Teknik 3DCRT/IMRT pada Kasus Kanker Kepala dan Leher di Departemen Radioterapi RSCM (F.Adam, S.Gondhowiardjo)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar kesalahan sistematik dan kesalahan acak yang terjadi dalam proses radioterapi kanker kepala dan leher. Selanjutnya dengan menghitung kesalahan tersebut akan didapatkan margin yang ideal dari CTV ke Planning Target Volume (PTV). Margin antara CTV dan PTV yang ideal dapat meningkatkan rasio terapeutik dengan menjamin daerah CTV mendapatkan dosis yang adekuat sekaligus mengurangi toksisitas pada jaringan normal disekitarnya. Penggunaan CBCT memungkinkan evaluasi kesalahan yang lebih baik pada radioterapi teknik 3DCRT/IMRT untuk kasus kanker kepala dan leher serta tidak memberikan efek samping radiasi tambahan yang signifikan pada pasien. Dari berbagai studi juga didapatkan bahwa hasil verifikasi dengan CBCT dapat mereduksi margin CTV-ke-PTV di regio kepala dan leher secara signifikan. Kelemahan CBCT adalah adanya beban kerja yang tinggi pada unit radioterapi, disebabkan verifikasi idealnya dilakukan setiap hari praradiasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyesuaian sehingga didapatkan hasil yang optimal dengan beban kerja yang lebih kecil.6,11-16

Dengan verifikasi dapat diidentifikasi besar kesalahan set-up yang terjadi selama proses radioterapi, baik kesalahan sistematik maupun acak. Kesalahan sistematik terjadi dengan pola yang sama pada setiap fraksi dan terkait erat dengan proses perencanaan radioterapi. Kesalahan sistematik juga menyebabkan pergeseran distribusi dosis kumulatif relatif pada target. Adapun kesalahan acak terjadi saat dilakukan proses radioterapi dengan pola yang berbeda-beda, sehingga sering disebut dengan kesalahan eksekusi. Kesalahan acak mengakibatkan distribusi dosis menjadi buram atau tidak jelas.6 Berbagai studi memperlihatkan simpang baku yang lebih besar pada kesalahan sistematik dibandingkan kesalahan acak, sehingga hal ini dapat menjadi dasar untuk melakukan koreksi terhadap kesalahan set-up, dan seterusnya untuk mendapatkan margin CTV-ke-PTV.17-20 Sesuai dengan ICRU, ketidakpastian akibat set-up dan posisi organ harus dikompensasi dalam perencanaan radioterapi dengan memberikan margin disekeliling CTV yang disebut dengan PTV. Stroom dkk.,21 menggunakan syarat minimal dosis kumulatif CTV sebesar 95% sebagai dasar kompensasi margin CTV-ke -PTV. Van Herk dkk., (2000)22 kemudian mengumpulkan data dari berbagai studi sehingga dapat dilakukan koreksi kesalahan set-up yang terjadi, untuk kemudian

diplot dalam histogram. Dengan ini diperoleh data yang mewakili populasi untuk dapat menilai cakupan dosis pada CTV. Dengan demikian didapatkan rumus untuk menghitung margin sebesar 2 kali kesalahan sistematik ditambah 0,7 kali kesalahan acak:9,21-23 Margin CTV-ke-PTV = 2

+ 0,7

setup

Setelah mendapatkan rekomendasi margin CTV-kePTV untuk masing-masing bidang, ditetapkan pemberian margin akan dilakukan secara menyeluruh atau mengacu pada masing-masing bidang. Pemberian margin yang tidak sama (unisometric) lebih direkomendasikan sebab lebih menggambarkan besar kesalahan set-up untuk masing-masing bidang.9,24,25 Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang mengambil data verifikasi CBCT dari pasien kanker kepala dan leher yang mendapatkan radioterapi teknik 3DCRT/IMRT dengan alat imobilisasi masker kepala dan leher standar. Dari data tersebut akan dinilai besar kesalahan set-up untuk mendapatkan margin CTV-kePTV. Penelitian dilakukan di Departemen Radioterapi RSCM selama tiga bulan dari bulan Oktober hingga Desember 2013. Verifikasi dilakukan dengan CBCT pada lima fraksi awal radiasi untuk mendapatkan data pergeseran pada setiap bidang laterolateral (LL), kraniokaudal (KK) dan anteroposterior (AP). Perbedaan jarak pergeseran dianalisis untuk mendapatkan kesalahan sistematik dan acak, yang selanjutnya dihitung untuk mendapatkan margin CTV-ke-PTV. Analisis data dengan menggunakan program SPSS 13. Hasil Penelitian Didapatkan 9 pasien yang memenuhi kriteria penelitian sebagai sampel dengan karakteristik yang dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa proporsi jenis kelamin relatif seimbang antara laki-laki dan perempuan, demikian juga dengan teknik radiasi yang digunakan antara 3DCRT dengan IMRT. Sebagian besar kasus kanker adalah karsinoma sel skuamosa dengan proporsi 55,5% dengan lokasi yang bervariasi, terbanyak pada rongga mulut sebesar 33,3%. Pada setiap sampel dilakukan verifikasi menggunakan CBCT secara berturut-turut dari fraksi pertama hingga kelima pada setiap bidang ortogonal. Hasil verifikasi

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:1-8

berupa pergeseran pada setiap bidang dianalisis untuk mendapatkan nilai rerata dan simpang baku. Gambar 1, 2 dan 3 memperlihatkan nilai pergeseran yang didapatkan pada verifikasi untuk lima fraksi pertama radiasi, berturut-turut pada sumbu LL, KK dan AP dalam bentuk plot. Rerata pergeseran yang didapatkan untuk masingmasing sampel disebut sebagai kesalahan sistematik individu (mindividual). Selanjutnya dengan mendapatkan besar kesalahan individu pada seluruh sampel, dapat dihitung kesalahan sistematik rerata populasi (Mpop) dan kesalahan sistematik populasi (∑ setup).

Nilai rerata kesalahan sistematik diperlihatkan pada Tabel 2. Nilai yang didapatkan sebesar -0,02, 0,10, dan -0,22 cm, serta kesalahan sistematik populasi sebesar 0,15, 0,22, dan 0,22 cm untuk masing-masing sumbu LL, KK, dan AP. Kesalahan acak dihitung berdasarkan rerata dari simpang baku pergeseran yang disebut sebagai kesalahan acak individu (σindividual). Pada masing-masing bidang ortogonal dihitung nilai kesalahan acak individu untuk kemudian dianalisis menjadi kesalahan acak populasi (σsetup).

Tabel 3 memperlihatkan besar kesalahanacak populasi yang didapatkan sebesar 0,27, 0,31, dan 0,19 cm untuk masing-masing sumbu LL, KK, dan AP. Tabel 1. Kar akter istik sampel

Karakteristik Jenis kelamin Laki – laki Perempuan Lokasi keganasan Nasofaring Sinonasal Rongga mulut Kelenjar liur Laring Histopatologi keganasan Karsinoma sel skuamosa Adenoid kistik karsinoma Karsinoma tidak berdiferensiasi Karsinoma eks adenoma pleomorfik Limfoma Teknik Radiasi 3DCRT IMRT

Gambar 1. Gr afik per geser an pada sumbu later olater al (Ket: FA = Sampel).

Gambar 2. Gr afik per geser an pada sumbu kr aniokaudal (Ket: FA = Sampel).

n (9)

%

4 5

44,4 55,6

1 2 3 1 2

11,1 22,2 33,3 11,1 22,2

5 1 1 1 1

55,6 11,1 11,1 11,1 11,1

4 5

44,4 55,6

3

4

Verifikasi Geometri Radioterapi Teknik 3DCRT/IMRT pada Kasus Kanker Kepala dan Leher di Departemen Radioterapi RSCM (F.Adam, S.Gondhowiardjo)

Gambar 3. Gr afik per geser an pada sumbu anter ioposter ior (Ket: FA = Sampel). Tabel 2.Kesalahan sistematik populasi

No. Sampel

Besar kesalahan sistematik populasi dan kesalahan acak populasi selanjutnya dihitung berdasarkan persamaan margin CTV-ke-PTV oleh Stroom dkk.,21:

mindividual(cm) LL

KK

AP

1

-0,18

-0,02

-0,69

2

0,02

-0,11

-0,19

3

-0,13

-0,25

0,00

4

0,15

0,01

-0,27

5

-0,31

0,26

-0,13

6

0,07

0,56

-0,13

7

0,16

0,10

0,05

8 9

0,02 0,06

0,24 0,09

-0,12 -0,51

Mpop

-0,02

0,10

-0,22

0,15

0,22

0,22

Tabel 3.Kesalahan acak populasi

individual(cm)

No. Sampel

=

2 + 0,7

setup

Dengan memasukkan data perhitungan kesalahan set-up, didapatkan margin CTV-ke-PTV adalah 0,49 cm, 0,66 cm dan 0,58 cm untuk masing-masing sumbu LL, KK, dan AP. Hasil lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Besar margin CTV-ke-PTV juga dinilai untuk melihat adanya perbedaan pada berbagai lokasi di regio kepala dan leher. Pada Tabel 5 terlihat bahwa di setiap lokasi kanker di kepala dan leher didapatkan kesalahan sistematik dan acak yang berbeda sehingga menghasilkan besar margin yang berbeda, dengan margin terkecil untuk lokasi pada laring. Dari Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa besar kesalahan sistemik secara keseluruhan relatif kecil bila dibandingkan dengan kesalahan acak yang terjadi.

Pembahasan

LL

KK

AP

1

0,15

0,35

0,15

2

0,28

0,18

0,03

3

0,15

0,34

0,19

4

0,14

0,14

0,17

5

0,28

0,50

0,15

6

0,62

0,42

0,48

7

0,45

0,38

0,15

8

0,16

0,22

0,23

9

0,17

0,31

0,17

0,27

0,31

0,19

setup

Margin CTV-ke-PTV

Verifikasi merupakan salah satu komponen penting dalam proses radioterapi. Dengan melakukan verifikasi dapat diketahui besar variasi set-up yang terjadi. Setiap unit radioterapi selayaknya menjalankan metode verifikasi sesuai beban kerja masing-masing untuk mendapatkan data mengenai kesalahan set-up yang selanjutnya digunakan sebagai toleransi pada pelaksanaan radioterapi, yaitu margin CTV-ke-PTV. Penggunaan CBCT sebagai instrumen verifikasi ideal dalam menentukan margin CTV-ke-PTV telah dilaporkan dalam berbagai studi, termasuk untuk regio kepala dan leher. Kebanyakan studi melakukan verifikasi secara online, setiap hari agar mendapatkan

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:1-8

Tabel 4. Per hitungan kesalahan set-up dan margin CTV-ke-PTV (dalam cm). Sumbu

Mpop

LL

-0,02

KK AP

setup

Margin

0,15

0,27

0,49

0,10

0,22

0,31

0,66

-0,22

0,22

0,19

0,58

Tabel 5. Per hitungan mar gin CTV-ke-PTV pada berbagai lokasi. Variabel

Sumbu (cm) LL

KK

AP

Nasofaring/Sinonasal setup

Margin

0,14 0,24 0,44

0,16 0,34 0,56

0,25 0,11 0,57

0,05 0,35 0,35

0,19 0,33 0,61

0,20 0,26 0,59

0,14 0,14 0,39

0,13 0,24 0,42

0,14 0,18 0,40

0,15 0,27 0,49

0,22 0,31 0,66

0,22 0,19 0,58

Rongga mulut/Kelenjar liur setup

Margin Laring setup

Margin Semua lokasi setup

Margin

hasil yang optimal. Modifikasi dapat dilakukan berdasarkan kemampuan dan beban kerja masing-masing unit radioterapi.6 Pada penelitian ini, verifikasi dengan CBCT di lakukan secara online praradiasi dalam lima fraksi pertama untuk selanjutnya didapatkan rata-rata pergeseran yang digunakan untuk fraksi selanjutnya. Pada penelitian didapatkan penyimpangan translasional yang terjadi berkisar dari 0-12,5 mm. Setelah dilakukan analisis untuk mendapatkan rerata dan simpang baku, didapatkan besar kesalahan sistematik dan kesalahan acak berturut-turut sebesar 1,5 dan 2,7 mm pada sumbu laterolateral (LL), 2,2 dan 3,1 mm pada sumbu kraniokaudal (KK), serta 2,2 dan 1,9 mm pada sumbu anteroposterior (AP). Apabila dibandingkan dengan beberapa studi yang telah dilakukan, antara lain oleh Xu dkk., (2008)22 pergeseran yang ditemukan masih sesuai dengan rentang 2-10 mm, dengan besar kesalahan set-up berkisar dari 1-3 mm.

Besar kesalahan acak juga hampir selalu ditemukan lebih besar dibandingkan kesalahan sistematik, terkait dengan sifatnya yang relatif sulit diprediksi dan sulit dikoreksi.7,12,14,16,26 Formula dari Stroom dkk.,21 tahun 2000, yang mensyaratkan cakupan dosis sebesar 95% pada CTV digunakan sebagai dasar perhitungan margin CTV-kePTV. Dari berbagai studi didapatkan besar margin ini bervariasi antara 3-9 mm.7-11,18 Pada penelitian ini didapatkan margin sebesar 4,9 mm, 6,6 mm dan 5,8 mm untuk masing-masing sumbu LL, KK, dan AP. Wang dkk.,16 tahun 2009 menjelaskan bahwa dengan melakukan koreksi harian secara online, margin dapat direduksi hingga menjadi 3 mm disebabkan koreksi terhadap kesalahan acak yang lebih baik. Den dkk.,14 tahun 2010 juga melaporkan hasil yang serupa dimana margin dapat direduksi hingga 2-3 mm apabila dilakukan Image-guided Radiation Therapy (IGRT),

5

6

Verifikasi Geometri Radioterapi Teknik 3DCRT/IMRT pada Kasus Kanker Kepala dan Leher di Departemen Radioterapi RSCM (F.Adam, S.Gondhowiardjo)

yang menggunakan koreksi online harian dalam pelaksanaan radioterapi. Dengan demikian, margin CTV -ke-PTV yang diberikan saat ini sebesar 5 mm dirasakan sudah cukup adekuat sebagai kompensasi kesalahan setup yang terjadi. Hasil penelitian ini juga mendapatkan besar margin yang bervariasi pada berbagai lokasi di regio kepala dan leher. Lokasi kanker pada laring didapatkan memiliki margin terkecil dibandingkan dengan nasofaring/ sinonasal dan rongga mulut. Hal ini sedikit bertentangan dengan studi oleh Den dkk.,14 yang melaporkan bahwa laring memiliki penyimpangan dan margin yang lebih besar disebabkan adanya mobilitas organ di lokasi tersebut, diikuti kemudian dengan rongga mulut oleh karena pergerakan lidah. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kesalahan acak yang relatif besar dan jumlah sampel yang tidak seimbang. Penggunaan metode verifikasi yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi dalam melakukan verifikasi pada proses radioterapi mengingat beban kerjanya yang tidak tinggi. Studi oleh Zeidan dkk.,26 dan Zumsteg dkk.,7 melaporkan bahwa modifikasi verifikasi online dalam lima fraksi awal dapat mereduksi kesalahan sistematik secara signifikan, walaupun tidak sepenuhnya mampu mereduksi kesalahan acak. Rekomendasi yang diberikan antara lain melakukan verifikasi mingguan sejak minggu kedua dan melakukan verifikasi ulang apabila terdapat perubahan berat badan. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam mendapatkan metode verifikasi yang optimal untuk meningkatkan akurasi pemberian radioterapi walaupun masih terdapat beberapa keterbatasan. Pertama adalah koreksi yang dilakukan hanya berdasarkan pergeseran translasional. Hal ini memang sudah cukup memuaskan, namun tidak selamanya tepat, mengingat masih ada pergeseran rotasional yang juga mungkin terjadi. Kedua adalah koreksi yang dilakukan sudah ideal untuk memperbaiki kesalahan sistematik, namun tidak untuk kesalahan acak. Koreksi kesalahan acak dapat ditingkatkan dengan melakukan verifikasi intrafraksi yang di- lakukan setiap hari, namun dengan risiko adanya beban kerja yang sangat tinggi. Ketiga adalah jumlah sampel yang relatif sedikit walaupun sebetulnya sudah memadai dalam melakukan penelitian saat ini.

Kesimpulan Pada penelitian ini didapatkan bahwa verifikasi menggunakan CBCT dalam lima fraksi pertama merupakan metode yang efektif untuk mendeteksi dan mengkoreksi kesalahan set-up yang terjadi selama proses radioterapi di regio kepala dan leher. Besar kesalahan sistematik dan kesalahan acak yang didapatkan berturut-turut sebesar 1,5 dan 2,7 mm pada sumbu LL, 2,2 dan 3,1 mm pada sumbu KK, serta 2,2 dan 1,9 mm pada sumbu AP. Margin CTV-ke-PTV yang diperoleh sebesar 4,9 mm, 6,6 mm dan 5,8 mm untuk masing-masing sumbu LL, KK, dan AP. Dengan demikian margin CTV-ke-PTV sebesar 5 mm dinilai sudah adekuat sebagai kompensasi kesalahan set-up dalam proses radioterapi kanker kepala dan leher di Departemen Radioterapi RSCM. Diskusi dan Saran Dari penelitian ini telah didapatkan gambaran mengenai kesalahan set-up dan kompensasi yang harus diberikan dalam bentuk margin CTV-ke-PTV. Akurasi radioterapi di regio kepala dan leher dapat menjadi lebih baik lagi jika dimungkinkan untuk melakukan koreksi harian dengan beban kerja yang masih terjangkau untuk dapat mengkoreksi kesalahan acak dengan lebih optimal. Margin CTV-ke-PTV juga dapat menjadi lebih ideal apabila diketahui formulasi untuk dapat menghitung dan mengkoreksi kesalahan rotasion-al. Selain itu, perlu dilakukan studi dengan skala yang lebih besar dan sampel yang lebih banyak dengan lo-kasi kanker yang bervariasi agar mendapatkan gambaran yang lebih spesifik.

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:1-8

DAFTAR PUSTAKA 1.

2.

3.

4.

5.

6.

13.

Amer A, Marchant T, Sykes J, Czajka J, Moore C. Imaging doses from the elekta synergy x-ray cone beam CT system. Br J Radiol 2007; 80: 476-82

14.

Den RB, Doemer A, Kubicek G, et al. Daily image guidance with cone-beam computed tomography for head-and-neck cancer intensity-modulated radiotherapy: a prospective study. Int J Radiat Oncol Biol Phys 2010; 76: 1353-59

15.

Chao KSC, Mohan R, Lee NA, et al. Intensitymodulated radiation treatment techniques and clinical applications. In: Halperin EC, Perez CA, Brady LW, eds. Perez and Brady’s principles and practice of radiation oncology, 5th ed. New York: Lippincott; 2008.

Castadot P, Lee JA, Geets X, Gregoire V. Adaptive radiotherapy of head and neck cancer. Semin Radiat Oncol 2010; 20: 84-93.

16.

Peng G, Wang T, Yang K, et al. A prospective, randomized study comparing outcomes and toxicities of intensity-modulated radiotherapy vs. conventional two-dimensional radiotherapy for the treatment of nasopharyngeal carcinoma. Radiother Oncol 2012; 104: 286-93.

Wang J, Bai S, Chen N, et al. The clinical feasibility and effect of online cone beamcomputer tomographyguided intensity-modulated radiotherapy for nasopharyngeal cancer. Radiother Oncol 2009; 90: 221-27.

17.

International Commission on Radiation Unit and Measurements. ICRU report 62 – Prescribing, recording, and reporting photon beam therapy (supplement to ICRU report 50). Journal of the ICRU; 1999.

Gilbeau L, Octave-Prignot M, Loncol T, et al. Comparison of setup accuracy of three different thermoplastic masks for the treatment of brain and head and neck tumors. Radiother Oncol 2001; 58: 155-62.

18.

Prabhakar R, Laviraj MA, Haresh KP, Julka PK, Rath GK. Impact of patient setup error in the treatment of head and neck cancer with intensity modulated radiation therapy. Phys Med 2010; 26; 26-33.

19.

Hurkmans CW, Remeijer P, Lebesque JV, Mijnheer BJ. Set-up verification using portal imaging; review of current clinical practice. Radiother Oncol 2001; 58: 105-20.

20.

Samuelsson A, Mercke C, Johansson KA. Systematic set-up errors for IMRT in the head and neck region: effect on dose distribution. Radiother Oncol 2003; 66: 303-11.

21.

Stroom JC, de Boer HCJ, Huizenga H, Visser A. Inclusion of geometrical uncertainties in radiotherapy treatment planning by means of coverage probability. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1999; 43: 905-19.

22.

Van Herk M, Remeijer P, Rasch C, et al: The probability of correct target dosage: Dose-population histograms for deriving treatment margins in radiotherapy. Int J Radiat Oncol Biol Phys 2000; 47: 1121-35.

International Commission on Radiation Unit and Measurements. ICRU report 50 – Prescribing, recording, and reporting photon beam therapy. Journal of the ICRU; 1993. Purdy JA. Three-dimensional conformal radiotherapy: physics, treatment planning, and clinical aspects. In: Halperin EC, Perez CA, Brady LW, eds. Perez and Brady’s principles and practice of radiation oncology, 5th ed. New York: Lippincott; 2008.

The Royal College of Radiologists, Society and College of Radiographers, Institute of Physics and Engineering in Medicine. On target: ensuring geometric accuracy in radiotherapy. London: The Royal College of Radiologists; 2008.

7.

Zumsteg Z, DeMarco J, Lee SP, et al. Image guidance during head-and-neck cancer radiation therapy: analysis of alignment trends with in-room cone-beam computed tomography scans. Int J Radiat Oncol Biol Phys 2012; 83: 712-19.

8.

Siebers JV, Keall PJ, Wu Q, Williamson JF, SchmidtUllrich RK. Effect of patient setup errors on simultaneously integrated boost head and neck IMRT treatment plan. Int J Radiat Oncol Biol Phys 2005; 63: 422-33.

9.

Stroom JC, Heijmen BJM. Geometrical uncertainties, radiotherapy planning margins, and the ICRU-62 report. Radiother Oncol 2002; 64: 75-83.

10.

Van Herk M. Errors and margins in radiotherapy. Semin Radiat Oncol 2004; 14: 52-64.

23.

11.

Zheng D. The use of cone beam computed tomography in image-guided radiotherapy. Radiol Open Access 2012; 1: e104.

Stroom J. Safety margins for geometrical uncertainties in radiotherapy [thesis]. Rotterdam: University Hospital Rotterdam; 2000.

24.

Eldebawy E, Attalla E, Eldesoky E, Zaghloul MS. Geometrical uncertainty margins in 3D conformal radiotherapy in the pediatric age group. J Egypt Natl Canc Inst 2011; 23: 55-60.

12.

Xu F, Wang J, Bai S, Xu Q, Shen Y, Zhong R. Interfractional and intrafractional setup errors in radiotherapy for tumors analyzed by cone-beam computed tomography. Chn J Cancer 2008; 27: 372-76.

7

8

Verifikasi Geometri Radioterapi Teknik 3DCRT/IMRT pada Kasus Kanker Kepala dan Leher di Departemen Radioterapi RSCM (F.Adam, S.Gondhowiardjo)

25.

Bayman E, Ataman OU, Kinay M, Akman F. How to determine margins for planning target volume (PTV) from 2D to 3D planning in radiotherapy for head and neck cancer? Portal imaging assessment for set-up errors. Turk Onkol Derg 2010; 25: 104-10.

26.

Zeidan OA, Langen KM, Meeks SL, et al. Evaluation of image guidance protocols in the treatment of head and neck cancers. Int J Radiat Oncol Biol Phys 2007; 67: 670-77.

9

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:9-15

Penelitian Ilmiah

RASIO MALONDIALDEHY DE KATALASE SEBELUM DAN SESUDAH RADIASI SEBAGAI PREDIKTOR PERSENTASE PENGECILAN VOLUME TUMOR PADA PASIEN KANKER SERVIKS STADIUM LANJUT LOKAL Aida Lufti Huswatun, Soehartati A Gondhowihardjo, Alida R Harahap, Joedo Prihartono Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak / Abstract Informasi Artikel Riwayat Artikel

 Diterima Desember 2013  Disetujui Januari 2014

Alamat Korespondensi dr.Aida Lufti Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta E mail: [email protected]

Pada keganasan terjadi stres oksidatif, yang ditandai dengan peningkatan kadar serum malondialdehyde (MDA) dan aktivitas antioksidan enzim katalase yang rendah. Penelitian ini merupakan kohort prospektif pada 30 pasien kanker serviks lanjut lokal di Departemen Abstrak / Abstract Radioterapi RS CiptoMangunkusumo periode Juli sampai September 2013. Pemeriksaan kadar MDA dan aktivitas enzim katalase dilakukan sebelum dan sesudah radiasi fraksi ke 15, menggunakan spektrofotometri. Respons terapi berdasarkan kriteria WHO dengan membandingkan persentase ukuran volume tumor sebelum radiasi dan 4 minggu setelah radiasi komplit. Pada penelitian ini ditemukan peningkatan serum MDA (p<0,001) dan penurunan aktivitas enzim katalase (p<0,001) setelah fraksi ke 15. Ditemukan korelasi yang signifikan antara rasio MDA katalase sesudah fraksi ke 15 dengan presentase pengecilan tumor 4 minggu setalah radiasi komplit (r=0.689, p=0.001). Penelitian ini menunjukan terjadi stres oksidatif pada pasien kanker serviks lanjut lokal, yang ditandai dengan peningkatan kadar serum MDA dan penurunan aktivitas enzim katalase. Rasio MDA katalase sebelum dan sesudah radiasi fraksi ke 15 dapat menjadi prediktor persentase pengecilan tumor 4 minggu pasca radiasi komplit. Kata kunci : kanker ser viks, malondialdehid, katalase, predictor pengecilan volume tumor Oxidative stress always occurs in cancer patient, which characterized by high level of serum Malondialdehyde (MDA) dan low activity of serum catalase enzymatic antioxidant. This is a prospective cohort study of 30 locally advanced cervical cancer patients treated in Departement of Radiotherapy, Cipto Mangunkusumo Hospital from July 2013 to Sept 2013. MDA levels and catalase enzyme activities were examined before and after the 15th radiation fractions of external radiation using sphectrophotometry. We found that serum MDA level was significantly elevated (p<0,001) and enzyme catalase activity was significantly decreased (p<0,001) on the 15th external radiation fraction. A significant relationship is found between the ratio of MDA catalase before radiation and after the fifteenth external radiation fractions with the percentage of tumor volume reduction four weeks after completion of radiation ( r = 0.689 , p = 0.001 ) ( r = 0.418 , p = 0.021 ). This study showed that oxidative stress occurs in patients with locally advanced cervical cancer, which characterized by high level of serum MDA and low activity of serum catalase. Ratio of mda catalase before radiation and after the fifteenth external radiation fractions can be a predictor of the percentage of tumor volume reduction four weeks after completion of radiation Keyword: cervical cancer, malondialdehyde, catalase, tumor volume reduction predictor Hak cipta ©2014 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan

Kanker serviks menempati peringkat ke-3 sebagai kanker yang paling sering di kalangan wanita di Indonesia. Pada pasien kanker terjadi penurunan aktivitas antioksidan dan peningkatan kadar MDA.1

Malondialdehide (MDA) adalah produk akhir dari peroksidasi lipid yang dapat digunakan sebagai indikator adanya stres oksidatif.2,3 Enzim katalase merupakan salah satu antioksidan endogen yang menetralisir ROS dengan mengkatalisis H2O2 menjadi

9

10

Rasio Malondialdehyde Catalase Sebelum dan Sesudah Radiasi Sebagai Prediktor Presentase Pengecilan Tumor pada Kanker Serviks (AL.Huswatun, S.Gondhowiardjo, AR.Harahap, J.Prihartono)

H2O dan O2, dimana 1 molekul katalase dapat mengkatalisis 6 juta molekul H2O2 menjadi H2O dan O2 tiap menit.4 Penelitian sebelumnya menerangkan adanya peningkatan kadar MDA sebelum radiasi, dan semakin meningkat kadarnya setelah 24 jam radiasi.5 Setelah pemberian kemoradiasi komplit terjadi penurunan kadar MDA pada kelompok dengan komplit respons dibandingkan kelompok parsial atau tidak respons, dan kadar MDA terjadi penurunan sampai 1 tahun setelah kemoradiasi. Aktivitas antioksidan endogen (SOD, enzim katalase) menunjukan penurunan sebelum radiasi atau kemoterapi. Setelah pemberian kemoradiasi komplit, pada kelompok respons komplit terjadi peningkatan aktivitas antioksidan dibandingkan kelompok respons parsial atau tidak respons, dan pada saat follow up satu tahun aktivitas antioksidan ini cenderung terus meningkat.1,6 Jika aktivitas antioksidan tinggi tumor cenderung radioresisten dan bersifat resisten juga terhadap obat anti kanker.6 Penelitian ini bertujuan untuk menemukan prediktor respons terapi radiasi pada pasien kanker serviks stadium lanjut lokal. Selain itu juga untuk mengetahui kadar MDA dan aktivitas antioksidan enzimatik katalase pada pasien kanker serviks stadium lanjut lokal akibat pemberian terapi radiasi atau kemoradiasi. Dan mengetahui hubungan rasio MDA dan aktifitas katalase sebelum dan setelah radiasi fraksi ke 15 dengan persentase pengecilan volume tumor yang dapat menjadi prediktor respon terapi. Tinjauan Teoritis Di seluruh dunia kanker serviks merupakan penyebab kematian akibat kanker pada wanita nomor dua setelah kanker payudara, dengan perkiraan 500.000 kasus baru setiap tahunnya, 233.000 kasus meninggal karena penyakit ini.7 Dari data GLOBOCAN 2008, menunjukkan bahwa di Indonesia setiap tahun 13.762 wanita didiagnosa menderita kanker serviks dan 7493 meninggal akibat penyakit tersebut.8 Manifestasi awal adanya postcoital spotting, yang berlanjut adanya perdarahan diluar siklus menstruasi (metrorrhagia) atau menstruasi yang berkepanjangan (menorrhagia).2 Sistem penentuan stadium yang ada saat ini ada dua macam yaitu dari Federation of International Gynaecology & Obstetric (FIGO)

GDQWKH$PHULFDQ-RLQW&RPPLWWHHRQ&DQFHU $-&&  WDKXQ .9 Radiasi merupakan suatu modalitas utama pengobatan karsinoma leher rahim selain operasi. Dosis radiasi eksterna whole pelvic 50 Gy yang terbagi dalam 25 fraksi pemberian, dan brakiterapi intrakaviter dengan 20 Gy (dalam 2 fraksi) atau 30 Gy (dalam 3 fraksi).7 Senyawa kimia dan reaksi yang dapat menghasilkan spesies oksigen yang potensial bersifat toksik dapat dinamakan pro-oksidan. Sebaliknya, senyawa dan reaksi yang mengeluarkan spesies oksigen tersebut, menekan pembentukannya atau melawan kerjanya disebut antioksidan. Dalam sebuah sel normal terdapat keseimbangan oksidan dan antioksidan yang tepat. Meskipun demikian, keseimbangan ini dapat bergeser ke arah pro-oksidan ketika produksi spesies oksigen tersebut sangat meningkat atau ketika kadar antioksidan menurun. Keadaan ini dinamakan stress oksidatif dan dapat mengakibatkan kerusakan sel yang berat jika stress tersebut masif atau berlangsung lama.2,4,10 Malondialdehyde (MDA) merupakan salah satu indikator adanya kerusakan jaringan yang mempengaruhi berbagai reaksi kimia dan biologi termasuk ikatan kovalen protein, RNA dan DNA. MDA dapat berinteraksi dengan DNA sel dan menyebabkan pembentukan ikatan DNA MDA, yang bersifat pro mutagen yang dapat menginduksi mutasi onkogen dan tumor supresor gen.12 Katalase adalah antioksidan endogen yang menetralisir radikal oksigen reaktif (ROS) dengan mengubah H2O2 menjadi H20 dan 02.4 Kriteria respons WHO dijadikan metode standar untuk evaluasi respons terapi pada tumor. Pengukuran tumor dilakukan dengan cara pemeriksaan klinis dalam dengan posisi lithotomi.Volume tumor adalah perkalian ukuran 3 dimensi tumor yang diukur secara manual pada saat pemeriksaan dalam (pemeriksaan status lokal) dalam posisi litotomi yang terdiri dari panjang (ukuran kraniokaudal), lebar (ukuran laterolateral) dan tinggi (ukuran anteroposterior) dengan satuan cm3. 12,13 Penelitian sebelumnya menerangkan adanya peningkatan kadar MDA sebelum radiasi, dan semakin meningkat kadarnya setelah 24 jam radiasi.9 Dan setelah pemberian kemoradiasi komplit terjadi penurunan signifikan kadar MDA pada kelompok dengan komplit respons dibandingkan kelompok parsial atau tidak respons, dan kadar MDA terjadi penurunan sampai 1 tahun setelah kemoradiasi.

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:9-15

Kadar antioksidan endogen (SOD, enzim katalase) menunjukan penurunan sebelum radiasi atau kemoterapi. Setelah pemberian kemoradiasi komplit, pada kelompok respons komplit terjadi peningkatan antioksidan dibandingkan kelompok respons parsial atau tidak respons, dan pada saat follow up 1 tahun kadar antioksidan ini cenderung terus meningkat. Antioksidan yang bertugas menangkal radikal bebas, mempunyai efek umpan balik terhadap radiasi dan obat anti kanker. Jika kadar antioksidan tinggi, tumor cenderung radioresisten dan bersifat resisten juga terhadap obat anti kanker lainnya.6 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif untuk mengetahui status oksidan dan antioksidan serta pengaruhnya terhadap respons terapi pada pasien kanker serviks stadium lanjut lokal. Penelitian dilakukan di Departemen Radioterapi RSUPN-CM selama 3 (tiga) bulan mulai dari bulan Juli sampai dengan September 2013. Sampel penelitian diambil secara konsekutif terhadap subyek yang memenuhi kriteria pemilihan yaitu kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel sebanyak 30 0rang yang dihitung dihitung berdasarkan prinsip rule of thumb. Kriteria inklusi penelitian ini adalah : kanker serviks stadium FIGO IIB hingga IIIB, terindikasi terapi kemoradiasi atau radiasi saja, laboratorium sebelum radiasi Hb minimal 10 gr/dL, lekosit minimal 4.000/µL, dan trombosit 100.000/µL, bersedia mengikuti prosedur penelitian dan menandatangani informed consent penelitian. Kriteria eksklusinya adalah : menolak meneruskan terapi radiasi, meninggal selama radiasi, menderita ko-morbid seperti: diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis, penyakit kardiovaskuler, dan hipertensi. Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang datang ke Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo stadium IIB-IIIB dan terindikasi radiasi. Setelah masuk dalam kriteria inklusi dilakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang serta membawa hasil biopsi, pasien ditentukan ukuran tumor dan stadiumnya secara FIGO. Subjek penelitian akan mendapatkan terapi radiasi standar. Dilakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan MDA dan CAT sebelum dimulai terapi radiasi dan setelah menjalani radiasi fraksi ke-15. Darah vena diambil sebanyak 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam

tabung ependorf, disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit dengan suhu ruangan. Serum yang terpisah dari sel darah merah disimpan dalam nitrogen cair dengan suhu -80°C di Laboratorium Departemen Radioterapi RSUPN-CM. Prinsip pemeriksaan MDA berdasarkan reaksi dari Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS) dengan thiobarbituric acid (TBA) dalam serum yang menghasilkan warna merah muda dengan menggunakan QuantiChrom TBARS Assay Kit (DTBA-100, Bioassays). Pembacaan spektrofotometri dilakukan pada panjang gelombang 535 nm. Intensitas warna yang dihasilkan bersifat proporsional secara langsung dengan konsentrasi TBARS pada serum. Prinsip pemeriksaan CAT adalah reaksi redoks dimana H2O2 dipecah (degradasi) akibat adanya enzim catalase yang ditandai dengan perubahan warna. Pemeriksaan ini menggunakan Enzym Chrom Catalase A ssay Kit (ECAT-100, Bioassays). Pembacaan spektrofotometri dilakukan pada panjang gelombang 570 nm. Penilaian respons dinilai berdasarkan kriteria WHO dengan membandingkan volume ukuran tumor sebelum radiasi dan 4 minggu pasca radiasi komplit (radiasi eksterna 25 fraksi dan 3 fraksi brakhiterapi).12,,13 Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar MDA dan aktivitas CAT. Sedangkan variabel terikat adalah respon terapi radiasi. Variabel penelitian ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk tabel. Analisis data menggunakan uji t berpasangan, uji wilcoxon rank, uji chi-square dan uji fisher exact. Hasil Penelitian Pada penelitian ini didapatkan 30 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Dari 30 subyek penelitian didapatkan rentang umur pasien 28-62 tahun dan rerata umur adalah 48,1 tahun dengan simpang baku 8,7 tahun. Stadium kanker serviks yang menjadi sampel penelitian ini adalah stadium IIB – IIIB. Penetapan stadium berdasarkan kriteria FIGO. Distribusi berdasarkan stadium IIB dan IIIB berturutturut adalah 30% dan 70%. Mayoritas kanker serviks pada penelitian ini memiliki jenis histologi karsinoma sel skuamosa (KSS) yaitu sebesar 76,7%. Diferensiasi tumor yang paling banyak adalah diferensiasi sedang sebesar 56,7%.

11

12

Rasio Malondialdehyde Catalase Sebelum dan Sesudah Radiasi Sebagai Prediktor Presentase Pengecilan Tumor pada Kanker Serviks (AL.Huswatun, S.Gondhowiardjo, AR.Harahap, J.Prihartono)

Jenis pesawat radiasi yang digunakan pada penelitian ini adalah pesawat cobalt-60 53,3% dan linear accelerator 46,7%. Seluruh subyek penelitian diradiasi dengan teknik whole pelvic AP-PA .

kali, yang pertama pada sebelum radiasi eksterna dan yang kedua pada saat fraksi kelimabelas radiasi eksterna.

Gambar 1 menunjukan distribusi pasien berdasarkan respon radiasi 4 minggu pasca radiasi komplit, didapatkan respon komplit sebesar 74% dan respons parsial sebesar 26 %. Gambar 2 menunjukan distribusi pengecilan tumor 4 minggu pasca radiasi komplit. Setelah radiasi eksterna 25 kali terdapat 5 pasien (16%) pasien dengan pengecilan volume tumor sampai 100%. Pada brakhiterapi 1 terdapat 7 pasien (23%) yang mengalami pengecilan volume tumor sampai 100%, dan setelah 4

Gambar 1. Pr esentase r espon ter api 4 mingu pasca r adiasi komplit

Tabel 1. Kar akter istik sampel Karakteristik Stadium klinik Stadium II-B Stadium III-B

n (30)

%

9 21

30.0 70.0

Histologi kanker Karsinoma sel skuamosa Non KSS

23 7

76.7 23.3

Differensiasi kanker Baik Sedang Buruk

7 17 6

23.3 56.7 20.0

Terapi keganasan Kemoradiasi Radiasi saja

10 20

33.3 66.7

Jumlah kemoterapi Tidak dilakukan Satu kali Dua kali Tiga kali

20 2 5 3

66.7 6.7 16.7 10.0

Jenis pesawat radiasi Cobalt 60 Linac

16 14

53.3 46.7

Volume awal tumor < 4 cm ≥4 cm

5 25

16.7 83.3

Kelompok OTT < 56 hr ≥ 56 hr

5 25

16.7 83.3

minggu pasca radiasi komplit didapatkan 23 pasien (76%) dengan presentase pengecilan tumor sampai dengan 100 %. Terhadap subyek penelitian dilakukan pemeriksaan kadar MDA serum dan aktivitas CAT sebanyak dua

Pada tabel 2 dengan uji t berpasangan untuk kadar MDA didapatkan peningkatan rerata kadar MDA secara bermakna dari 7,6 +/- 1,2 nmol/mL menjadi 9,5 +/- 1,9 nmol/mL pada fraksi kelimabelas (p<0,001). Demikian pula terdapat penurunan aktivitas CAT yang bermakna pada fraksi kelimabelas dibandingkan aktivitas awal dari 0,95 (0,80 – 1,36) U/mL menjadi 0,82 (0,71 – 0,96) (p<0,001). Dari analisa statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa radiasi mempunyai pengaruh terhadap kadar MDA dan aktivitas CAT.

Gambar 2. Presentase pengecilan volume tumor selama penyinaran

Dari analisa statistik rasio MDA katalase pre radiasi dengan persentase pengecilan volume tumor 4 minggu pasca radiasi komplit dijumpai hubungan yang bermakna (p= 0,001) dan korelasi positif kuat (R= 0,689) sehingga dapat disimpulkan rasio MDA katalase pre radiasi dapat menjadi prediktor persentase pengecilan volume tumor 4 minggu pasca radiasi komplit.

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:9-15

Dari analisa statistik rasio antara MDA katalase pasca radiasi ekstrena fraksi ke 15 dengan persentase pengecilan volume tumor 4 minggu pasca radiasi komplit dijumpai hubungan yang bermakna (p= 0,002) dan korelasi positif sedang (R= 0,418), seperti yang terlihat pada gambar 4.

dkk. 34 yang memeriksa 742 serum orang sehat didapatkan aktivtas enzim katalase yang tinggi sebesar 50,5 +/- 18,1 U/mL.

Tabel 2. Per ubahan kadar MDA dan akivitas CAT pr e radiasi dan radiasi 15x

Parameter Kadar MDA Aktivitas CAT *)

Awal

Pasca 15 x RE

Rerata /Median 7,6 +/- 1,2 0,95 (0,80 – 1,36)

Rerata / Median 9,5 +/- 1,9 0,82 (0,71 – 0,96)

Nilai p 0,000 0,000

Keterangan: *)Uji Wilcoxon Rank

Dapat disimpulkan rasio MDA katalase pasca radiasi eksterna fraksi ke 15 dapat menjadi prediktor persentase pengecilan volume tumor 4 minggu pasca radiasi komplit. Pembahasan Studi yang sudah dilakukan sebelumnya menunjukan pada pasien kanker terjadi peningkatan peroksidasi lipid,8 yang ditandai dengan peningkatan kadar MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid.23 Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA serum pre radiasi yang cukup tinggi sebesar 7,6 +/-1,2 nmol/mL.

Gambar 3. Hubungan pr esentase pengecilan volume tumor 4 minggu pasca radiasi komplit dengan rasio MDA dan katalase pre radiasi

Rendahnya aktivitas katalase pada pasien kanker disebabkan adanya mekanisme down regulation yaitu peningkatan penggunaan antioksidan untuk menangkal radikal bebas.24 Pada penelitan ini didapatkan aktivitas enzim katalase awal sebesar 0,95 (0,8 – 1,36) U/mL. Hasil ini sangat rendah dibandingkan orang sehat, Goth

Gambar 4. Hubungan pr esentase pengecilan volume tumor 4 minggu pasca radiasi komplit dengan rasio MDA dan katalase setelah 15x radiasi

Pada penelitian ini radiasi terbukti berpengaruh terhadap perubahan kadar MDA dan aktivitas enzim katalase, dimana terdapat peningkatan kadar MDA dan penurunan aktivitas enzim katalase sebelum radiasi dibandingkan dengan fraksi ke 15. Belum ada penelitian yang menilai kadar MDA dan aktivitas enzim katalase sebelum radiasi dan setelah fraksi ke 15. Akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Seema dkk mendapatkan bahwa kadar MDA sebelum radiasi meningkat setelah 24 jam pemberian radiasi eksterna diikuti penurunan aktivitas antioksidan.5 Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA pre radiasi sebesar 7,6 +/1,2 nmol/ml dan meningkat kadarnya setelah radiasi ke 15 menjadi 9,5 +/- 1,9 nmol/ml. Hal ini disebabkan karena peningkatan radikal bebas akibat kanker dan radiasi. Radiasi menyebabkan pembentukan radikal bebas melalui efek tidak langsung. Adanya proses ionisasi pada molekul air. Air (H20) yang menyerap radiasi sinar pengion akan membentuk ion radikal H20+ yang bila bereaksi dengan molekul air lainnya akan menghasilkan H3O+ dan ion hidroksil OH-. Ion OH- ini merupakan radikal bebas yang reaktif dan dapat bereaksi dengan DNA dan senyawa lain dalam tubuh. Selanjutnya ion radikal hidroksil ini akan merusak ikatan kimiawi DNA dengan memutuskan rantai DNA dan membentuk radikal DNA- disebut R⃰. Apabila R⃰ bereaksi dengan oksigen menjadi oksigen radikal reaktif DNA-O2(RO2) yang selanjutnya menyebabkan kerusakan DNA yang bersifat irreversibel.14

13

14

Rasio Malondialdehyde Catalase Sebelum dan Sesudah Radiasi Sebagai Prediktor Presentase Pengecilan Tumor pada Kanker Serviks (AL.Huswatun, S.Gondhowiardjo, AR.Harahap, J.Prihartono)

Pada penelitian ini didapatkan aktivitas enzim katalase sebelum radiasi sebesar 0,95 (0,8 – 1,36) U/mL dan makin menurun aktivitasnya sesudah radiasi ke 15 menjadi 0,82 (0,71-0,96) U/mL. Penurunan pertahanan antioksidan karena adanya kerusakan membran sel akibat produksi berlebihan radikal bebas sehingga merangsang pemakaian antioksidan untuk melawan peroksidasi lipid yang terjadi. Selain itu juga dapat disebabkan karena overproduksi peroksidasi lipid akibat konsekuensi antioksidan yang sudah habis karena penggunaan dalam jangka waktu yang cukup lama.2,7 Pada kanker, terjadi penurunan aktifitas katalase karena akumulasi H202 yang banyak.20 Pada penelitian ini digunakan rasio MDA katalase sebagai gambaran dari stres oksidatif yang terjadi pada kanker. Persentase pengecilan volume tumor digunakan sebagai variabel untuk menentukan respon terapi karena lebih mewakili gambaran respon terapi yang sebenarnya. Pada penelitian ini hubungan rasio MDA katalase pre radiasi dengan persentase pengecilan volume tumor 4 minggu mempunyai korelasi positif kuat (r=0,689) dengan tingkat kemaknaan p=0,001 (p<0,05). Hal ini menunjukan bahwa rasio radikal bebas yang terbentuk dari stres oksidatif yang diwakili oleh kadar MDA dan eleminasi radikal bebas oleh antioksidan yang diwakili oleh aktifitas enzim katalase, semakin besar rasio MDA katalase sebelum radiasi semakin besar pula persentase pengecilan volume tumor 4 minggu setelah radiasi komplit. Pada penelitian ini hubungan rasio MDA katalase pasca radiasi ke 15 dengan persentase pengecilan volume tumor 4 minggu mempunyai korelasi positif sedang (r=0,418) dengan tingkat kemaknaan p=0,002 (p<0,05). Hal ini menunjukan semakin besar rasio MDA katalase setelah radiasi fraksi ke 15 semakin besar pula persentase pengecilan volume tunor 4 minggu setelah radiasi komplit. Belum ada penelitian yang menggunakan rasio MDA katalase sebagai prediktor respon radiasi yang ditandai dengan persentase pengecilan volume tumor pada kanker serviks stadium lanjut lokal. Kesimpulan dan Saran Terjadi stres oksidatif kanker serviks stadium lanjut lokal yang ditandai dengan kadar MDA yang tinggi dan aktivitas antioksidan enzimatik katalase yang rendah. Adanya peningkatan kadar MDA dan penurunan aktivitas antioksidan enzimatik katalase pada kanker serviks stadium lanjut lokal akibat pemberian

terapi radiasi atau kemoradiasi. Adanya korelasi yang bermakna antara persentase pengecilan volume tumor dengan rasio MDA katalase sebelum dan sesudah radiasi ke 15. Pada penelitian selanjutnya diperlukan sampel orang sehat sebagai kontrol. Dapat dilakukan upaya pencegahan untuk mengantisipasi hal yang terjadi selama radiasi untuk meningkatkan persentase pengecilan volume tumor berdasarkan rasio MDA Katalase pre radiasi dan pasca radiasi radiasi ke 15.

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:9-15

DAFTAR PUSTAKA 1.

Demirci S, Daynep O, Handan. Interaction between antioxidant status and cervical cancer, a case control study.Tumori 2011;97:290-95

2.

Manda G, Tamara M, Neagu TM. Reactive Oxygen Species Cancer and Anti Cancer Therapies, Curr Med Chem 2008; 3:342-66

3.

4.

Kiang.G, Fukumoto R. Lipid Peroksidase After Ionizing Irradition Leads to Apoptosis and Autophagy, In Biochemistry,genetic and molecular biology “Lipid Peroxidation”, Katalaseala A, August 2012 Valko M, Rhodes Moncol J. Free radicals, metals and antioksidant in oxidative stress induced cancer. Chem Biol Interact 2006; 160:1-40

5.

Seema M, Jaiswar SP, Sigh U, Rieka S, Ali M. The effect of radiotherapy on oxidants and antioxidants in cervical neoplasia. The journal of Obstetrics and Gynecolog of India. 2006; 56:435-39

6.

Sharma A, Rajappa M, Satyam A, et all, Oxidant/ antioxidant dynamics in patients with advanced cervical cancer: correlation with treatment responsse. Mol Cell Biochem 2010; 341: 65-72

7.

Kavanagh BD, Perez CA. Uterine cervix. In Halperin E,Perez C Brady LW. Principles and Practice of Radiation Oncology, 5th edition.Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2007 : 1532-1609

8.

Ferlay J, Shin HR, Bray F, Forman D, Mathers C, Parkin DM, Globocan 2008 Vol2, Cancer Incidence and Mortality Worldwide: IARC Cancer Base, Lyon France: International Agency for Research On Cancer 2010. Available from :http://globocan.iarc.fr.ecced Juni 2012

9.

Subhakar M, Aaron H. Cervical cancer, in Radiation Oncology , an evidence based approach, Springer. 2008: 358-68

10.

Barrera G. Oxidative stress and Lipid Peroxidation Product in Cancer Progression and Therapy. International Scholarly Research Network ISRN Oncology 2012; 21

11.

Mates JM, Effects of antioxidant enzymes in the molecular control of reactive oxygen species toxicology, Toxicology . 2000;153: 83 – 104

12.

Choi J, Ahn Myung,Rhim H, Comparison of WHO and Recist criteria for responsse in metastatic colorectal carcinoma, Cancer Res Treat, 2005;37(5): 290-3

13.

Gunawan R, Nuranna L, Supriana N, Sutrisna B, Nuryanto K. Acute toxicity and outcomes of radiation alone versus concurrent chemoradiation for lokoregional advanced stage cervical cancer. Indonesia Journal Obestet Gynecol, January 2012;36:37 -42

14.

Devasagayam T, Boloor K, Ramasarma T. Methods for estimating lipid peroksidation : An analysis of merits and demerits. Indian J Biochem Biophys 2003;40:300-8

15

TheraCIM (Nimotuzumab) Chronicle : Preclinical and Clinical Development Generation of mouse mAb R3 (INOR, Havana)

1988 1992

Generation of h-R3 by humanization

Proof of antitumor effects in vitro for murine R3

1994 1995

Studies on growth inhibition with human cancer cells

1996 Biodistribution studies in nude mice Single dose toxicity studies in rats and rabbits

1997

Phase I in advanced tumors of epithelial origin (Cuba)

1998

Studies on ADCC and CDC PK and Biodistribution studies in non-human primates. Repeat dose toxicity studies in rats and non-human primates. Inhibition of angiogenesis and proapoptotic effect. Inhibition of tumor growth in nude mice.

Phase I/II. h-R3 + RT in advanced SCCHN (Canada)

1999

Phase I/II. h-R3 + RT in H&N tumors (Cuba)

2000 2001 Conditional reg. approval in Cuba (H&N tumors)

2002 2003

Orphan drug designation for glioma by EMEA (Europe)

Phase I/II. h-R3 + RT in brain met. from NSCLC (Canada)

2004

Phase I/II. Nimo + RT in nasopharyngeal tumors (China)

Phase II in recurrent children high grade glioma (Germany) Phase II in recurrent met. pancreatic cancer (Germany)

Orphan drug designation for glioma by FDA (USA)

Reg. approval in China (nasopharyngeal tumors)

2005

Phase II. Nimo + RT and CTP in advanced H&N (India) Phase I. Nimo + RT in unfit NSCLC patients (Canada)

2006 Phase III in children with brain stem glioma (Germany)

Special Access Program granted in Indonesia Reg. approval in India (SCCHN) Reg. approval in Argentina (H&N and glioma)

2007

Reg. approval in Brasil (brain tumors)

Orphan drug for met. pancreatic cancer, decision by EMEA Registration approvals: Philippines (recurrent and refractory brain tumors), Sri Lanka (SCCHN), Indonesia (recurrent and refractory brain tumors)

Phase I in solid tumors (Japan) Phase II. Nimo + RT + TMZ in brain tumors (India) Phase II. In mCRC and glioma (Canada) Phase III in met. pancreatic cancer (Germany) Phase III. Nimo + RT + TMZ in adult glioma (Germany) Phase II in pedriatic glioma (USA)

2008 Phase II in recurrent gastric tumors.Nimo + irinotecan (Japan)

2009

Registration approvals in Venezuela (for HNSCC) and Mexico (for HNSCC and brain tumors)

Phase II in stage III NSCLC. Nimo + RCT (Japan) Phase II in NSCLC unfit population. Nimo + RT (Canada) Phase II in brain met. from NSCLC. Nimo + RT (Canada)

2010 2011

Phase II. Nimo + RT in NSCLC unfit population (USA) Phase II. Nimo + RT in brain met. from NSCLC (USA)

2012 Start of Phase III trials in NSCLC and gastric cancer (Japan)

2013

Reference: Perez R, Moreno E. EGFR-targeting therapy as an evolving concept : Learning from nimotuzumab clinical development. Chin Clin Oncol 2014;3(1):5. doi : 10.3978/j.issn.2304-3865.2013.11.09.

16

Aplikasi Teknik Field Junction pada Radioterapi (R.Rafli, I.Ramli)

Tinjauan Pustaka

APLIKASI TEKNIK FIELD JUNCTION PADA RADIOTERAPI Rhandyka Rafli, Irwan Ramli

Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak / Abstract Informasi Artikel Riwayat Artikel

 Diterima November 2013  Disetujui Desember 2013

Dalam praktek radioterapi, sering dipakai dua atau lebih lapangan yang terhubung dengan field junction. Berkas sinar (beam) bersifat divergen dan dapat menimbulkan dosis yang heterogen pada field junction. Hal ini menimbulkan daerah dengan dosis kurang (underdose) atau lebih (overdose) yang tidak diinginkan. Berbagai teknik dikembangkan untuk mengatasi persoalan ini, baik dengan menghilangkan divergensi berkas sinar, menyebarkan titik perbatasan (junction) atau dengan memperlebar penumbra. Setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing. Pertimbangan yang tepat diperlukan dalam pemilihan teknik field junction yang sesuai dengan keadaan pada masing-masing pusat radioterapi. Kata kunci : r adioter api, field junction, diver gensi, penumbr a

Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

In radiotherapy practice, it’s a common procedure to connect two or more fields using field junction. Divergency of radiotherapy beam may produce non uniform dose at the junction field, therefore creating undesirable overdose and underdose regions. Various techniques were developed to overcome this problem, either by eliminating divergence, by spreading the junction point or widening beam penumbra. Each technique has its own advantages and disadvantages. Thoughtful consideration is needed to choose suitable junction field techniques for each radiotherapy center.

E mail: [email protected]

Keywords: radiotherapy, field junction, beam divergence, penumbra

Alamat Korespondensi: dr. Rhandyka Rafli

Hak Cipta ©2014 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan Field junction adalah perbatasan antara dua lapangan radiasi yang berdekatan atau saling menempel. Field junction memiliki karakteristik dosimetri khusus yang disebabkan sifat divergen berkas sinar dan pertemuan penumbra kedua lapangan radiasi.1 Teknik field junction sering dipakai pada pelaksanaan radioterapi. Contohnya adalah pada kasus dengan Planing Target Volume (PTV) yang besarnya melebihi lapangan maksimum penyinaran, seperti pada penyinaran kraniospinal dan penyinaran seluruh kompartemen ektremitas sarkoma.1,2 Berkas sinar bersifat divergen, sehingga radiasi pada lapangan yang bersebelahan akan menimbulkan perpotongan kedua tepi berkas sinar pada field junction. Sudut divergensi berkas sinar dapat diketahui dengan menggunakan rumus yang sederhana (Gambar 1). Perhitungan besar sudut divergensi berkas sinar ini

menjadi dasar pengembangan beberapa teknik untuk mengatasi permasalahan field junction.1

θ

F d

= sudut divergensi = panjang lapangan = jarak SAD atau SSD

Gambar 1. Rumus per hitungan sudut diver gensi ber kas sinar.1

Field junction sederhana tanpa gap memiliki titik perpotongan tepi berkas sinar pada permukaan kulit, sehingga seluruh daerah berkas sinar yang tumpang tindih dibawah titik junction merupakan daerah dengan dosis berlebih.

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:16-24

Field junction dengan gap pada permukaan kulit akan memiliki titik perbatasan pada kedalaman tertentu, sehingga daerah diatas titik junction merupakan daerah dengan dosis kurang (underdose) dan daerah dibawah titik junction merupakan daerah dengan dosis berlebih (overdose) (Gambar 2).3,4

Jenis dan Aplikasi Field Junction Saat ini sebagian besar radioterapi menggunakan sinar pengion berupa foton dan elektron dengan berbagai energi, sehingga field junction dapat terbentuk dari berbagai kombinasi sinar pengion, seperti : 1. Foton – foton field junction.

Adanya daerah dengan dosis yang berlebih atau kurang pada field junction merupakan kondisi yang tidak diinginkan. Area dengan dosis kurang yang mengenai PTV akan mengurangi keberhasilan terapi. Area dengan dosis yang berlebih yang mengenai organ target seperti medula spinalis, usus, esofagus dan jantung akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping yang lebih besar. Divergensi berkas sinar juga dapat menyebabkan timbulnya daerah dengan dosis berlebih pada permukaan kulit, yang dapat memperburuk hasil secara kosmetik akibat terbentuknya jaringan parut (fibrosis).

Aplikasi pemakaian lapangan Foton-Foton merupakan jenis field junction yang paling banyak dipakai secara klinis dan dapat ditemukan pada berbagai kasus, seperti radiasi kraniospinal antara lapangan kranial dan 2 lapangan spinal, radiasi kepala leher antara lapangan opposing lateral dengan lapangan supraklavikula, radiasi payudara antara lapangan tangensial dengan lapangan supraklavikula, radiasi paliatif tulang belakang dengan beberapa lapangan atau antara lapangan baru yang berbatasan dengan lapangan lama.

Heterogenitas dosis pada field junction sering menjadi permasalahan bagi pekerja radioterapi. Beberapa konsep teknik field junction telah diteliti untuk mengurangi heterogenitas dosis pada field junction. Cara yang dilakukan adalah dengan menghilangkan divergensi berkas sinar, memperlebar penumbra tepi berkas sinar sehingga memberikan gradasi dosis yang lebih halus, dan dengan memindahkan titik junction menjadi beberapa lokasi berbeda. Setiap teknik memiliki kekurangan, kelebihan, serta hasil homogenitas dan tingkat kesulitan dalam pelaksanaan yang berbeda. Setiap pusat radioterapi hendaknya mempertimbangan hal tersebut ketika memilih teknik field junction yang paling cocok.

Penumbra elektron lebih besar daripada penumbra foton. Penumbra elektron memiliki sifat penurunan dosis yang cepat dalam jarak yang sempit (rapid fall off dose) dan outscattering yang tidak dimiliki foton. Hal ini menyebabkan daerah overdose dan underdose sulit dihindari pada junction foton–elektron (Gambar 3). Field matching menggunakan indikator cahaya lapangan menghasilkan variasi dosis sampai 25% pada titik junction. Hal ini disebabkan perbedaan penumbra pada kedua modalitas sinar. Variasi dosis ini akan meningkat seiring meningkatnya setup error. Pengaturan posisi yang tepat diperlukan untuk meningkatkan homogenitas pada perbatasan fotonelektron.3

2. Foton – elektron field junction.

Gambar 2. Daer ah dengan dosis ber lebih (overdose) ter bentuk dibawah per potongan tepi ber kas sinar dan daer ah dengan dosis yang kurang (underdose) terbentuk diatasnya.4

17

18

Aplikasi Teknik Field Junction pada Radioterapi (R.Rafli, I.Ramli)

Kemikler G (2006)3 merekomendasikan gap dengan jarak 2 mm antara lapangan foton dan elektron untuk mengurangi overdose dan underdose pada junction Foton-elektron. Ben Heijmen (2012)4 merekomendasikan penggunaan SSD 110 cm untuk elektron pada junction Foton-Elektron, karena akan memberikan dosis yang homogen pada semua kedalaman daripada jika menggunakan jarak SSD 100 cm. Aplikasi pemakaian lapangan foton–elektron dapat ditemukan pada berbagai kasus, misalnya: penggunaan elektron pada leher bagian belakang dan foton untuk lapangan opposing lateral, dengan tujuan mengurangi dosis medula spinalis pada penyinaran keganasan di kepala leher.

Gambar 4. Kur va isodosis matching field antar a dua lapangan elektron 10 MeV.1

Teknik Field Junction 1. Teknik gap separation Teknik ini dilakukan dengan memberi jarak antara lapangan pada permukaan kulit. Titik junction berada pada kedalaman yang menghasilkan dosis radiasi yang seragam. Jarak separasi gap antar lapangan dihitung berdasarkan geometri dari divergensi berkas sinar. Meskipun teknik ini cukup praktis dan dapat diterima pada kedalaman lebih dari 5 cm, selalu terbentuk daerah underdose diatas junction dan overdose di bawah junction. Lebar gap dapat dihitung dengan rumus seperti yang dideskripsikan pada Gambar 5. 1,5

Gambar 3. Kur va isodosis matching field junction foton 6 MV dan elektron 10 MeV dengan hotspot.1

3. Elektron– elektron field junction. Elektron-elektron field junction dapat ditemukan pada kasus penyinaran dengan target superfisial yang luas seperti tumor kulit. Pada beberapa kondisi, sulit untuk memberikan dosis yang homogen pada seluruh area target dengan satu lapangan elektron saja, oleh karena kelengkungan dinding dada. Penggunaan dua lapangan elektron yang berdekatan menimbulkan risiko munculnya dosis yang sangat tinggi pada daerah yang tumpang tindih (Gambar 4). Fraktur iga dan perforasi ventrikel pernah dilaporkan sebagai akibat dari field matching lapangan elektron yang tidak baik.1 d = kedalaman yang diinginkan = setengah panjang lapangan b SSD = Source skin distance

Gambar 5. Perhitungan telah ditentukan.1

lebar

gap

pada

kedalaman

yang

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:16-24

Teknik gap separation dapat diaplikasikan pada lapangan yang arah berkas sinarnya saling berlawanan (opposing). Dosis paling homogen dapat dicapai apabila persilangan tepi berkas sinar berada pada setengah separasi tubuh pasien. Gap dapat dihitung dengan rumus yang dapat dilihat pada Gambar 6.

adalah bahwa pemberian gap junction foton –foton pada kedua set lapangan opposing yang memiliki ukuran atau jarak yang berbeda akan menyebabkan hilangnya efek “perfect match” dari tepi berkas sinar, sehingga meskipun dengan setup yang akurat, tetap akan terbentuk daerah overdose dan underdose. Pada penyinaran dengan batas lapangan yang tidak beraturan seperti lapangan radiasi mantel dan radiasi paraaorta, gap juga harus menyesuaikan dengan lapangan yang tidak beraturan tersebut, sehingga harus menggunakan blok individual.1 2. Teknik penyudutan

d = setengah separasi FL1 = Panjang lapangan 1 SSD 1 = Source Skin Distance 1 FL2 = Panjang lapangan 2 SSD 2 = Source Skin Distance 2

Teknik penyudutan dilakukan dengan membuat sumbu sinar saling menjauhi sehingga tepi berkas sinar menempel secara vertikal. Penyudutan dapat dilakukan dengan putaran meja, gantry dan kolimator (Gambar 9). Dengan pengaturan yang tepat, teknik ini bisa memberikan dosis yang homogen pada seluruh volume target (Gambar 8). 1,7,8

Gambar 6. Per hitungan lebar gap pada lapangan

Pada beberapa lapangan seperti lapangan dengan berkas sinar yang saling tegak lurus (orthogonal), penyinaran kepala leher dengan beam opposing lateral dan penyinaran lapangan supraklavikula bagian anterior; perhitungan separasi gap dapat dilakukan dengan menggunakan rumus yang ada pada Gambar 7. Gambar 8. Garis isodosis teknik penyudutan yang homogen pada setiap kedalaman.

3. Teknik isocentric split S = gap separation L = panjang lapangan anterior d = ½ separasi SSD = Source Skin Distance Gambar 7. Separ asi gap untuk field junction pada penyinaran orthogonal.1

Berbagai penelitian dalam bidang dosimetri mengenai field junction menyebutkan bahwa teknik gap atau penempelan tepi lapangan secara sederhana dapat menimbulkan inhomogenitas sebesar 20%, dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya setup error.6 Hal lain yang harus diperhatikan pada teknik gap ini

Teknik isocentric split dilakukan dengan membelah berkas sinar pada bidang yang melewati sumbu sentral dengan menggunakan half beam block atau beam splitter. Teknik ini menghilangkan divergensi berkas sinar pada bidang tersebut dan biasa digunakan pada lapangan penyinaran orthogonal, sehingga dosis yang homogen pada daerah perbatasan dapat dicapai. Akan tetapi, teknik ini menyebabkan hanya setengah lapangan yang bisa dipakai, sehingga tidak bisa diaplikasikan pada PTV yang melebihi luas lapangan penyinaran.9,10 Rosenthal (1998)11 menganjurkan untuk memberi perhatian lebih pada matching berkas sinar dengan

19

20

Aplikasi Teknik Field Junction pada Radioterapi (R.Rafli, I.Ramli)

c.

Gambar 9. Berbagai teknik penyudutan dengan field junction : a) penyudutan dengan putaran kolimator, b) penyudutan dengan putaran couch, c) penyudutan dengan putaran gantry (900 atau 2700).8

teknik ini. Kesalahan dalam matching tepi berkas sinar sebanyak 1 mm dianggap masih dapat ditoleransi, sedangkan gap atau overlap sebanyak 2 mm akan meningkatkan dosis pada garis matching sebanyak 3040%.

Hernandez dan Sempau (2011)12 dalam penelitian dosimetrinya mengenai radiasi dengan half beam block menyatakan bahwa dosis pada field junction bervariasi cukup besar. Variasi ini bergantung pada pengaturan dan posisi relatif lapangan. Ketika lapangan anterior lebih dekat ke gantry daripada lapangan lateral, dapat muncul gap sehingga menyebabkan underdose pada junction. Ketika jarak lapangan anterior terhadap gantry lebih jauh daripada jarak lapangan lateral terhadap gantry, akan muncul overlap pada junction yang bisa menyebabkan daerah overdose. Perbedaan dosis pada junction ini bisa mencapai 18%. Dosis yang homogen pada lapangan bersebelahan pada radiasi yang dihasilkan gantry bersudut 00 tidak menjamin homogenitas pada sudut gantry lain karena dipengaruhi juga oleh posisinya, relatif terhadap lapangan radiasi.6,12

4. Penumbra generator

Gambar 10. Teknik isocentric split dengan menggunakan half beam block pada penyinaran payudara dan keganasan kepala leher.11,12

Teknik lain yang dapat diterapkan pada penyinaran dengan lapangan bersebelahan adalah dengan menggunakan alat yang dapat memodifikasi tepi berkas sinar. Alat ini berupa wedge kecil yang dapat menghasilkan penumbra dengan karakterisitik lebih lebar dan garis isodosis yang lebih rata secara paralel pada tepi berkas sinar yang akan di-matching. Dengan memodifikasi kedua tepi berkas, maka berkas sinar akan memilki karakteristik yang serupa. Hal ini menyebabkan dosis menjadi lebih kurang sensitif terhadap error, karena terbentuknya dose fall off yang lebih bertahap. Matching tepi berkas sinar akan menyebabkan dosis yang relatif homogen pada pada

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:16-24

seluruh kedalaman junction dan pada seluruh luas daerah yang tumpang tindih.1,13,14

Gambar 11. kraniospinal

Penumbra foton generator untuk lapangan

5. Moving junction

Moving junction dapat digunakan pada junction FotonFoton dan Foton-elektron. Moving junction pada lapangan Foton-Foton bisa diaplikasikan pada penyinaran kraniospinal. Pada kasus tertentu, pemakaian moving junction dapat ditambahkan dengan gap 0,5 mm jika overdose pada daerah dibawah junction terlalu tinggi.4,15 Moving junction pada junction Foton-elektron dilakukan dengan menggeser batas lapangan foton, sedangkan lapangan elektron tetap sama. Hal ini bertujuan untuk memperluas penumbra lapangan foton secara kumulatif, sehingga ketika bergabung dengan penumbra elektron (yang relatif lebih lebar) akan menghasilkan dosis yang lebih homogen pada junction.15

a.

Moving junction atau dikenal juga dengan teknik feathering dilakukan dengan memindahkan junction atau tepi lapangan yang di-matching secara harian atau mingguan. Metode yang umum dipakai dalam moving junction adalah dengan menggeser junction 1 cm maju dan mundur setiap 3 hari. Pengembangan terbaru dari moving junction yaitu dengan memodifikasi setiap berkas sinar menjadi beberapa lapangan dengan titik junction berbeda, dan dilakukan penyinaran seluruh titik junction tersebut pada hari yang sama dengan membagi rata MU (monitor unit) dari beam prescription (Gambar 12). Moving junction diharapkan memperbaiki inhomogenitas dosis yang disebabkan kesalahan sistematik 1,15

b.

Gambar 13. Variasi dosis harian pada pasien 21 thn dengan radiasi kraniospinal. a) junction yang tetap. b) moving junction.15 Keterangan: (▪) Matching yang tepat, (○) Overlap 2 mm, (∆) Gap 2 mm.

Gambar 12. Moving junction dengan titik junction yang disebar pada beberapa titik.4

Kiltie AE (2000)15 melakukan penelitian yang membandingkan dosis harian pada penyinaran kraniospinal dengan field junction yang tetap dan penyinaran kraniospinal dengan moving field junction. Ia juga menyebutkan bahwa setup error sebesar 2 mm akan menimbulkan daerah overdose dan under dose

21

22

Aplikasi Teknik Field Junction pada Radioterapi (R.Rafli, I.Ramli)

yang cukup besar, namun dengan teknik moving field junction, variasi dosis yang dihasilkan akan lebih kecil. (Gambar 13).15 Field Junction pada IMRT Dengan menggunakan teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT), homogenitas dosis pada PTV dapat tercapai lebih baik dan dosis pada organ kritis lebih kecil. Pada beberapa kondisi, IMRT harus dilakukan dengan isosenter lebih dari satu, sehingga muncul field junction 16,17 Teknik field junction pada IMRT yang umum dipakai saat ini adalah feathering dengan menggeser junction pada setiap fraksi.4

Teknik lainnya adalah dynamic split field IMRT merupakan suatu teknik baru yang mampu menciptakan gradien dosis homogen pada daerah junction dengan setup 2 lapangan yang sederhana. Teknik ini diharapkan bisa mengurangi beban setup seperti pada junction dengan teknik penyudutan atau moving junction, sehingga dapat memberikan penyinaran dengan dosis homogen yang lebih cepat dan aman. Gambar 14 dan 15 memperlihatkan aplikasi teknik ini pada IMRT kraniospinal dan kepala leher.16,18,19

Gambar 14. a. IMRT dengan Inter-fractional moving junction. b. Teknik dynamic split beam IMRT dengan gradien dosis yang lebih halus pada junction.19

Gambar 15. Distribusi dosis pada dynamic split field IMRT. a) Dosis pada supraklavikula. b) Dosis pada leher atas. c) Gabungan kedua lapangan tersebut memperlihatkan dosis yang halus pada daerah junction.18

Pertimbangan Klinis pada Aplikasi Field Junction

Terdapat beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam melakukan matching field lapangan yang bersebelahan. Salah satunya adalah

daerah yang dipilih sebagai matching sebaiknya tidak mengandung tumor atau struktur kritis lainnya. Jika posisi tumor relatif lebih superfisial dari titik junction, sebaiknya tidak diberikan gap karena akan menyebabkan coldspot yang meningkatkan risiko kekambuhan. Dengan tidak memberikan gap, sinar

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:16-24

akan tumpang tindih pada kedalaman tertentu, yang secara klinis masih dapat diterima asalkan dosis pada jaringan di bawahnya tidak melewati batas toleransi. Jika tumor berada pada permukaan, sedangkan organ kritis berada pada kedalaman, field junction bisa digunakan dengan teknik yang menghilangkan divergensi beam seperti beam spliter atau dengan teknik penyudutan. Untuk tumor yang terletak cukup dalam, lapangan bisa dipisah dengan gap pada permukaan . Teknik field matching harus diverifikasi dengan distribusi dosis sebenarnya sebelum digunakan dalam aplikasi klinis secara umum. Hal ini berarti pengaturan berkas sinar dengan batas lapangan dengan visual light beam dan akurasi isodose pada penumbra harus diperhitungkan. Rosenthal dkk., (1998)11 meneliti efek kesalahan posisi kolimator pada garis matching antara dua lapangan konvensional seperti pada penyinaran lapangan lateral dan anterior untuk keganasan orofaring. Dalam studi

ini, error 2 mm terhadap posisi kolimator menyebabkan overdose dan under dose sebanyak 20% pada garis matching. Reproduksi dari garis matching tidak perlu dilakukan setiap hari, karena variasi harian akan menyebabkan dosis pada junction lebih menyebar dan hal ini adalah menguntungkan. Alasan ini juga yang mendasari dilakukannya pergeseran junction setiap dua atau tiga kali penyinaran.10,11 Kompleksnya setup pada field junction dapat meningkatkan kejadian terjadinya set-up error yang bisa berdampak klinis Pemilihan teknik field junction yang dipakai secara umum pada suatu pusat radioterapi juga perlu diesuaikan dengan beban kerja radiografer untuk melakukan set-up field junction secara rutin. Pada pusat radioterapi yang lebih maju, dapat memiliih teknik dynamic split field IMRT karena dapat mengurangi beban kerja radiografer serta lebih aman dan tepat.16

DAFTAR PUSTAKA 1.

Bentel GC. Radiation Therapy Planning. Edisi kedua. New York:McGraw-Hill; 1996.

2.

Miles EA, Venables K, Hoskin PJ, Aird EG, START Trial Group. Dosimetry and field matching for radiotherapy to the breast and supraclavicular fossa. Radiother Oncol. 2009; 91:42-8.

3.

Kemikler G. Dosimetric effect of matching 6MV photon and electron fields in the treatment of head and neck cancers. Radiation measurement. 2006; 41:183-8.

4.

5.

6.

9.

Parker WA, Freeman CR. A simple technique for craniospinal radiotherapy in supine position. Radiother Oncol. 2006; 78:217-22.

10.

Bloemen-vangurp E, Du bois W, Bruivins I, Jalink D, Hermans J, Lambin P. Clinical dosimetry with MOSFET dosimeter to determine the dose along the field junction in a split beam technique. Radiother Oncol. 2003; 67: 351-7.

11.

Ben Heijmen, Trine JN. Field junctions theory and practice. Paper presented at: ESTRO- Physics for clinical radiotherapy; 2012 October 21; Bangkok, Thailand.

Rosenthal DI, McDonough J, Kassaee A. The effect of independent collimator misalignment on dosimetry of abutted halfbeam blocked fields for treatment of head and neck cancer. Radiother Oncol. 1998; 49: 273-8.

12.

Hopfan S, Reid A, Simpson L, Ager PJ. Clinical complications arising from overlapping of adjacent radiation fields. Int J Radiat Oncol Biol Phys.1997; 2: 801–8

Hernandez V, Sempau J. The influence of the field setup on the dosimetry of abutted fields in singleisocenter half-beam techniques. Med Phys. 2011; 38: 1468-72.

13.

Lachance B, Tremblay D, Pouliot J. A new penumbra generator for electron fields matching Med. Phys. 1997; 24:485-95.

14.

Birgani MJT, Ansari M, Behrooz MA. A new method for ideal distribution of adjacent fields for external beam radiation therapy. Med J Isl Rep Iran. 2007; 20:192-7.

El-Mongy M, Mehany GA, Tolba AR. Measured and calculated dose to the junction between supraclavicular field and tangential fields using different techniques in postmastectomy radiotherapy. J Egypt Natl Canc Inst. 2009;21:203-8.

7.

Michalski JM, Klein EE, Gerber R. Method to plan, administer and verify supine craniopinal irradiation. J Appl Clin Med Phys.2002; 3: 310-6.

15.

Kiltie AE, Povall JM, Taylor RE, The need for the moving junction in craniospinal irradiation. Br J Radiol. 2000; 73:650-4.

8.

Beyzadeoglu M, Ozyigit G, Ebruli C.Basic Radiation Oncology. Berlin: Springer; 2010.

16.

Amdur RJ, Liu C, Li J, Mendenhall W, Hinerman R. Matching Intensity-Modulated radiation to an

23

24

Aplikasi Teknik Field Junction pada Radioterapi (R.Rafli, I.Ramli)

anterior low neck field. Int J Radiat Oncol Bio Phys. 2007; 69 Suppl 2:S46-8. 17.

Bahl A, Basu KS, Sharma DN, Rath GK, Julka PK, Thulkar S. Integral dose to the carotid artery in intensity modulated radiotherapy of carcinoma nasopharynx : extended field IMRT versus split-field IMRT. J Cancer Res Ther. 2010; 6:585-7.

18.

Duan J, Shen S, Spencer SA, Ahmed RS, Popple RA, Ye Sj, et al. A dynamic supraclavicular field-matching technique for head and neck cancer patients treated with IMRT. Int J Radiat Biol Phys. 2004; 60:959-72.

19.

Seppälä J, Kulmala J, Lindholm P, Minn H. A method to improve target dose homogeneity of craniospinal irradiation using dynamic split field IMRT. Radiother Oncol. 2010; 96:209-15.

The AIO SOLUTION is truly an all – in – One system with a head & neck immobilization system, lungboard, breastboard, abdominal system and belly & pelvic board in one single product

25

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol.5 (1) Jan. 2014:25-33

Tinjauan Pustaka

EFEK DASAR RADIASI PADA JARINGAN Arry Setyawan, H.M. Djakaria

Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak / Abstract Informasi Artikel Riwayat Artikel

 Diterima November 2013  Disetujui Desember 2013

Alamat Korespondensi: Dr. Arry Setiawan Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. E mail: [email protected]

Dalam pengobatan kanker menggunakan radioterapi, paparan radiasi ke jaringan normal harus menjadi pertimbangan karena efek samping kemudian akan membatasi pengobatan kanker. Efek atau respon jaringan normal terhadap radiasi dapat lebih mudah dipahami dengan mengetahui perbedaan tipe organisasi/struktur jaringan. Pada jaringan, terdapat mekanisme homeostasis sebagai respon kehilangan sel akibat cedera. Homeostasis menjamin repopulasi kelompok sel matur fungsional yang bertanggung jawab pada fungsi suatu organ. Sel matur fungsional relatif tidak terpengaruh oleh radiasi dan akan mati sesuai usia biologisnya. Manifestasi klinis timbul saat terjadi kegagalan repopulasi kelompok sel ini oleh sel pada lapisan prekusor. Efek radiasi pada beberapa jaringan tubuh secara umum dapat dijelaskan dengan prinsip yang sama. Kata kunci : papar an r adiasi, jar ingan nor mal, homeostasis, sel matur , sel pr ekusor In cancer treatment by radiotherapy, radiation exposure to normal tissue should be a consideration since its side effects are the major factors which limit radiation therapy. Normal tissue response to radiation can be more easily comprehended by knowing the various type of organization/structure of the tissue. In tissue, there is homoestatic mechanim of cell loss in response to injury. Homeostatic mechanism ensures repopulation of functional mature cells which are responsible for function of an organ. Fungsional mature cells are relatively unaffected by radiation and will die according to their biological age. Clinical manifestation occurs when precursor cells fail to repopulate. Radiation effects in some tissues of the body can generally be described with the same principle. Key word: radiation exposure, normal tissue, homeostatic, mature cell, precursor cell

Hak Cipta ©2014 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan Saat ini kanker sebagai salah satu penyebab kematian di seluruh dunia. Tujuan pengobatan kanker adalah eradikasi kelompok sel kanker (tumor) secara utuh. Prinsip pengobatan ini dapat dipenuhi baik dengan tindakan operasi, pemberian kemoterapi, dan radiasi, atau dengan kombinasi diantara modalitas tersebut. Modalitas radioterapi, prinsip utamanya yaitu menggunakan radiasi pengion untuk merusak materi genetik dari sel kanker (DNA), menyebabkan sel mengalami kematian atau kehilangan kemampuan proliferasinya. Dalam penggunaan radioterapi sebagai modalitas pengobatan, paparan radiasi ke jaringan normal harus menjadi pertimbangan. Seluruh bentuk pengobatan genotoksik berefek ke jaringan normal dengan derajat kerusakan yang bervariasi, dan efek

samping inilah yang kemudian dapat membatasi pengobatan kanker.1,2

Respon Radiasi pada Tingkat Sel Jaringan normal pada tingkat sel lebih terorganisir dan mempunyai kemampuan memperbaiki kerusakan dari radiasi, sedang kebanyakan sel kanker memiliki cacat pada sistem regulasi sel, pada umumnya mengakibatkan gangguan repair, dan mengakumulasikan kerusakan tersebut. Salah satu target utama dari radiasi adalah DNA pada inti sel, yang kemungkinan terjadi berupa single strand brake atau double strand brake.3 Kerusakan DNA memicu aktivasi mekanisme tertentu dari siklus sel. Salah satunya adalah aktivasi p-53, yang kemudian menginduksi mekanisme tertahannya siklus sel atau mekanisme apoptosis.1

25

26

Efek Dasar Radiasi pada Jaringan (A. Setyawan, H.M. Djakaria)

Secara umum, sel dianggap mati oleh radiasi jika sel kehilangan kemampuan reproduksinya, bukan karena apakah sel tetap hidup dalam populasi. Kematian sel dapat berupa apoptosis, nekrosis, mitotic catastrophe, atau senescence.4 Efek radiasi pada tingkat sel ini, menjadi dasar dari pengobatan kanker pada radioterapi, dengan tujuan akhir mengurangi jumlah sel kanker sampai sekecil mungkin, dengan mempertahankan jumlah sel normal sebanyak mungkin.4 Hal ini dapat dijelaskan dengan kurva survival sel dan probabilitas kontrol tumor.

Tiga kompartemen dari tipe jaringan ini adalah: 

Kompartemen sel punca (stem cell). Sel punca memiliki kemampuan membelah yang tidak terbatas dan juga memperbaiki diri sendiri. Sel ini tidak memiliki fungsi spesifik dari jaringan. Sebagai contoh dari kompartemen ini adalah selsel kripta pada epitel usus, sel punca sumsum tulang, dan sel punca pada lapisan basal epidermis.



Kompartemen diferensiasi (amplification compartement). Pada kompartemen ini turunan dari sel punca berada dalam proses maturasi. Proses proliferasi dan diferensiasi terjadi secara aktif dan terbatas. Sel pada kompartemen ini mulai memiliki fungsi spesifik jaringan pada saat tingkat proliferasi nya menurun dan beralih menjadi prekursor dari sel matur. Contoh kompartemen ini adalah sel-sel “antara” pada epidermis dan eritroblas.



Kompartemen pasca mitosis atau sel matur fungsional. Kompartemen ini tersusun dari sel-sel matur yang sudah berdiferensiasi dan berfungsi secara penuh. Sel-sel disini tidak memiliki kemampuan membelah diri tetapi menentukan fungsi dari jaringan. Setelah usia biologi tertentu, sel matur fungsional akan mati. Yang mewakili kompartemen jenis ini adalah permukaan dari epidermis, sel-sel di puncak vili mukosa usus, dan sel darah matur yang bersirkulasi.

Respon Radiasi pada Tingkat Jaringan

Contoh jaringan yang termasuk dalam model organisasi hirarki antara lain: jaringan hematopoetik, mukosa buco-faringeal dan usus, epitel testis dan epidermis. Jaringan tersebut memiliki tingkat pergantian sel yang cepat.6

1. Tipe Jaringan Normal

b)

Jaringan adalah sekelompok sel dengan asal embriologi yang sama yang membawa fungsi khusus tertentu. Sel dalam jaringan memiliki sistem organisasi spesifik. Berdasarkan klasifikasi Michalowski6, dapat dibedakan dua tipe jaringan, yakni:

Model organisasi fleksibel merupakan jaringan dengan tingkat pergantian sel yang rendah. Tidak memiliki pembagian kelompok sel (satu kompartemen) dan tidak ada perbedaan tingkat kematangan sel. Setiap sel pada tipe jaringan ini adalah identik, memiliki fungsi spesifik dari jaringan dan kemampuan untuk memperbarui diri. Sel hepar menjadi salah satu contoh dari jaringan tipe fleksibel. Setiap sel di hepar berfungsi penuh, kebanyakan berada pada fase G0 dan memiliki potensi proliferasi. Berkurangnya jumlah sel oleh sebab apapun pada hepar, contohnya pada parsial hepatektomi, merangsang sel lain yang tidak mati berproliferasi lebih cepat (accelerated rate of proliferation).6

Gambar 1. Kur va Surviving fraction dan T umor Control Probability.5

a)

Model organisasi hirarki (H-type model)

Model organisasi hirarki merupakan jaringan dengan tingkat pergantian sel dan proliferasi yang cepat. Karakteristik utama jenis ini adalah adanya beberapa kompartemen kelompok sel, dimana fungsi fisiologis jaringan tersebut ditentukan oleh kelompok sel matur yang tidak berproliferasi.

Model organisasi fleksibel (F-type model)

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:25-33

mi pembelahan sel, tetapi dapat berlaku sebaliknya jika dibutuhkan oleh tubuh untuk mengganti populasi sel yang hilang. Contohnya adalah sel matur hepar, sel paru dan sel ginjal.

Pada kenyataannya, beberapa jaringan tubuh memiliki sifat gabungan dari sebagian ciri kedua tipe jaringan tersebut.6 Klasifikasi lain oleh Rubin dan Cassaret7, membagi kelompok populasi sel, berdasarkan karakteristik fungsi dan kemampuan reproduksinya : 



Vegetatif Intermitotic Cells (VIM), merupakan kelompok sel yang tidak berdiferensiasi, dengan pembelahan sel yang cepat dan siklus hidup yang pendek. Sepanjang hidup manusia, sel jenis ini akan terus mengalami repopulasi. Contohnya eritroblas, sel kripta usus, dan sel basal dari kulit. Differentiating Intermitotic Cells (DIM, yaitu kelompok sel yang mengalami mitosis secara aktif dan kemudian melakukan diferensiasi dalam beberapa tingkat, contohnya adalah spermatogonia.



Multipotential Connective Tissue Cells, adalah Kelompok sel yang membelah diri secara tidak tentu, biasanya sebagai respon dari kebutuhan jaringan. Relatif memiliki siklus hidup sel yang panjang. Contoh utama adalah fibroblas.



Reverting Postmitotic Cells (RPM), yaitu kelompok sel yang secara normal tidak mengala-



Fixed Postmitotic Cells (FPM). Kelompok sel ini tidak mengalami pembelahan dan tidak memiliki kemampuan itu. Secara morfologi dan fungsi, dalam kondisi berdiferensiasi penuh dan khusus. Contohnya adalah neuron, sel otot dan sel darah merah.7

Kelompok VIM adalah yang kelompok sel paling sensitif pada radiasi, sedangkan kelompok FPM yang paling resisten. Kelompok lainnya berada dalam rentang keduanya secara berurutan.7 2. Target Sel Pada Jaringan Efek radiasi pada jaringan normal atau kerusakan jaringan normal yang diinduksi radiasi, terbagi dalam dua fase yang terpisah oleh perbedaan populasi sel target yang berbeda, yaitu fase akut dan fase lambat. Efek akut, timbul karena kematian dalam skala cukup besar dari sel-sel berproliferasi yang terorganisasi secara hirarki, dan efek lambat karena hilangnya jumlah sel yang cukup banyak dari sel-sel parenkimal yang terorganisasi dalam tipe fleksibel.6

Gambar 2. Skematik pr oses homeostatik pada jar ingan. Tipe or ganisasi hir ar ki di bagian kir i, dan tipe jar ingan fleksibel di bagian kanan. Gambar (a) menunjukkan proses homeostasis karena proses kematian sel karena usia biologis dan (b) karena kerusakan sel akibat cedera jaringan.7

27

28

Efek Dasar Radiasi pada Jaringan (A. Setyawan, H.M. Djakaria)

Tipe kematian sel terpenting setelah radiasi adalah kematian sel mitosis sebagai hasil dari kerusakan DNA, interval waktu antara radiasi dan timbulnya manisfestasi kerusakan (interval latensi) akan sangat tergantung pada karakteristik sel target dan tipe organisasi jaringan.6 Pada jaringan dengan tipe organisasi hirarki, sel-sel yang berada dalam fase proliferasi, dengan tingkat pergantian sel yang tinggi, akan mengekspresikan kerusakan akibat radiasi lebih dini dengan kematian pada pembelahan sel dalam hitungan hari. Sedangkan pada kelompok sel matur, yang tidak lagi mengalami proliferasi dan menjalani siklus sel, secara relatif tidak terpengaruh oleh radiasi karena mereka tidak dapat mati pada pembelahan sel. Sel fungsional matur akan mati sesuai dengan umur biologisnya.6

Trombosit yang bersirkulasi, dengan waktu hidup sekitar 10 hari menghilang secara progresif dari darah dalam periode waktu ini dan kemudian digantikan dalam derajat bervariasi tergantung pada tingkat kerusakan sel punca. Anemia tanpa adanya perdarahan akut sangat jarang ditemukan karena usia sel darah merah matur yang relatif panjang, sekitar 4 bulan.6 Leukosit, terbagi menjadi limfosit dan non-limfosit. Karena sangat radiosensitif, limfositopenia akibat apoptosis terinduksi radiasi timbul sebelum terjadinya sitopenia lain, dalam waktu 6-24 jam setelah paparan radiasi. Limfosit B lebih radiosensitif dibandingkan limfosit T.6,8

Radiasi pada tipe jaringan hirarki akan mengurangi jumlah sel punca dan sel progenitor, tetapi tidak berefek langsung pada sel matur. Kerusakan jaringan dan timbulnya gejala sebagai akibat dari kegagalan selsel yang berproliferasi untuk dapat menggantikan sel matur yang kemudian mati pada umur biologisnya. Radiasi pada tipe jaringan hirarki akan mengurangi jumlah sel punca dan sel progenitor, tetapi tidak berefek langsung pada sel matur. Derajat keparahan gejala yang timbul berkaitan dengan dosis absorbsi dan jumlah sel punca yang mati, tetapi waktu terjadinya gejala berkolerasi dengan usia hidup sel matur dengan periode laten yang pendek serta dapat diprediksi.6 Tipe jaringan fleksibel, yang tersusun oleh sel matur fungsional dengan kemampuan proliferasi, dengan tingkat pergantian sel relatif lambat. Ekspresi dari kerusakan akibat radiasi dapat berupa kematian mitosis dan timbulnya gejala tergantung dari besarnya dosis, dengan periode laten relatif panjang yang bervariasi dari bulan sampai tahun.6 3. Efek Radiasi pada Berbagai Jaringan 3.1. Efek Radiasi pada Hematopoetik Radiasi yang mengenai sumsum tulang akan menyebabkan depresi jumlah sel darah karena destruksi sel punca hematopoetik dan sel progenitor yang sangat sensitif radiasi. Dengan meningkatnya dosis radiasi yang diabsorbsi, semakin banyak sel punca dan sel prekursor hematopoetik yang mati, dan semakin sedikit atau bahkan tidak ada lagi pembentukan sel matur fungsional.6

Gambar 3. Respon r adiasi jar ingan hematopoetik. Limfosit mengalami efek radiasi lebih dini dibandingkan komponen darah lainnya.8

3.2. Efek Radiasi pada Kulit Pada radioterapi, kulit adalah jaringan normal yang akan selalu terpapar radiasi sebagai tempat masuk dan keluarnya sinar pengion, efek yang terjadi cukup bervariasi. Tergantung dari perbedaan kompartemen jaringan, kulit mengalami baik efek akut, predominan pada lapisan epidermis, maupun efek lambat yang terlihat pada lapisan dermis.1,4 Epidermis adalah epitel berlapis yang tersusun secara hirarki oleh sel punca, sel progenitor, dan sel matur fungsional yang telah berdiferensiasi. Terdapat 10-20 lapis sel epitel berkeratin yang fungsi dan keutuhannya terjaga karena proliferasi sel punca yang berada di lapisan basal. Setelah radiasi selesai, lama gejala yang timbul dan waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan tergantung dari dosis absorbsi dan luas area radiasi, karena perbaikan jaringan tergantung dari jumlah sel basal yang tidak mati yang selanjutnya dibutuhkan untuk repopulasi sel

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:25-33

matur diatasnya. Pada mayoritas reaksi kulit, repopulasi seluruh epidermis membutuhkan waktu 4 minggu. Pada awal reformasi jaringan kulit, dapat terlihat hiperpigmentasi yang disebabkan oleh stimulasi atau destruksi melanosit akibat paparan radiasi.1,9,10 Terletak tepat dibawah epidermis adalah lapisan dermis bagian atas, yang terutama tersusun oleh jaringan ikat dengan fibroblas, sel imunitas, dan pembuluh darah kapiler yang tersebar didalamnya. Efek radiasi lambat sebagian besar terjadi karena kerusakan pembuluh darah dan fibroblas pada lapisan ini. Fibrosis subkutan diakibatkan oleh pembentukan berlebih jaringan ikat fibrosa, yang biasanya disertai atrofi atau penipisan kulit. Selanjutnya dapat timbul pelebaran kapiler, yang disebut telangiektasis, salah satu faktor penyebab yang dipertimbangkan adalah oleh karena kegagalan pertumbuhan pembuluh darah yang rusak. Nekrosis di presipitasi oleh cedera pada kulit yang mengalami atrofi, dipikirkan karena terdapat kegagalan respon vaskuler. Kemampuan penyembuhan luka pasca radiasi kemudian menjadi salah satu pertimbangan klinis yang penting jika reseksi bedah diperlukan terutama pada area radiasi.1,9,11 3.3. Efek Radiasi pada Sistem Gastrointestinal Sistem gastrointestinal mencakup area mulai dari rongga mulut sampai rektum, dengan laju pergantian sel bervariasi. Sensitifitas tiap regio tergantung dari jumlah dan aktivitas reproduksi sel punca pada lapisan basal mukosa. Rongga mulut dan esofagus relatif radioresistan, begitu juga kolon dan rektum. Lambung lebih radiosensitif dan memiliki lebih banyak sel sekretori. Usus halus sangat sensitif radiasi dengan sel yang sangat aktif. Laju pembelahan sel yang cepat pada sel kripta dan vili usus halus meningkatkan sensitifitasnya terhadap radiasi.6,9 Gejala klinis timbul saat terjadi gangguan repopulasi sel matur fungsional di permukaan vili usus, karena sel punca dan sel berproliferasi yang rusak dan mati oleh radiasi. Penipisan mukosa usus oleh hilangnya epitel, dapat menyebabkan diare, dehidrasi, kehilangan elektrolit dan perdarahan hingga perforasi. Kerusakan pada vili dan mikrovili usus menyebabkan malfungsi digestif setelah radiasi. Adanya nutrisi yang terkumpul di rongga usus dapat meningkatkan jumlah bakteri. Kecacatan dalam sawar mukosa selanjutnya memudahkan masuknya bakteri ke dalam aliran darah. Imunosupresi terkait gangguan pada hematopoetik, lebih memudahkan terjadinya infeksi,

dan juga perdarahan karena trombositopenia. Mukosa lambung dan usus halus memiliki banyak sel sekretori, kehilangan sel akibat radiasi akan menurunkan produksi mukus, enzim pencernaan, dan sebagian hormon. Hampir serupa pada jaringan kulit, terjadi juga kerusakan mikrovaskuler yang memicu iskemia dan pertumbuhan lesi fibrotik yang bertanggungjawab pada enteropati radiasi.6,9 3.4. Efek Radiasi pada Sistem Saraf Pusat Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan medulla spinalis, tersusun atas berbagai jenis sel, yaitu sel neuron, sel glia, dan sel endotel pembuluh darah. Sel endotel pembuluh darah membentuk sawar darah-otak, yang impermeabel terhadap hampir keseluruhan jenis protein, molekul hidrofilik, dan ion-ion. Sel glial sebagai sel-sel suportif dari SSP, secara umum terbagi menjadi oligodendrosit, astrosit, dan mikroglia. Neuroglia terbanyak adalah astrosit, dengan jumlah yang melebihi neuron dan membentuk sekitar setengah dari massa otak. Berbeda dengan neuron, sel glia dalam kondisi matur sekalipun masih menyimpan potensi pembelahan sel, sehingga menghasilkan perbedaan respon terhadap radiasi.12,13,14 Sel glia, terutama oligodendrosit, dan endotel vaskuler sebagai sel kritis pada jaringan SSP. Kerusakan terinduksi radiasi pada keduanya menjadi faktor penting patogenesis kerusakan otak yang terjadi setelah paparan radiasi.9 Apoptosis sel endotelial bertanggungjawab terhadap kegagalan awal pada sawar darah-otak dan terjadinya edema, karena perubahan permeabilitas sebagai salah satu faktor.15 Kehilangan oligodendrosit menyebabkan kelainan yang disebut demielinisasi segmental, menyebabkan akson menjadi tidak terlindungi. Demielinisasi dapat terjadi sementara jika terjadi remielinisasi dari proliferasi sel glia dalam keadaan akson masih intak.14 Apoptosis juga dialami sel prekursor neural, secara primer terletak pada daerah subventrikel dan girus dentata hipocampus. Kelompok sel ini menjamin proses neurogenesis masih dapat terjadi pada otak manusia dewasa dan dapat berdiferensiasi menjadi sel neuron. Sel neuron sendiri dianggap tidak terpengaruh oleh radiasi karena tidak memiliki kemampuan membelah diri lagi.9 Pada gambar 4 dapat dilihat model respon tingkat molekulat dan selular pada radiasi SSP. Penelitian dengan radiasi low-LET menunjukkan bahwa SSP dipertimbangkan sebagai jaringan yang radio-

29

30

Efek Dasar Radiasi pada Jaringan (A. Setyawan, H.M. Djakaria)

resistan, komplikasi otak akut tidak terjadi pada pemberian fraksinasi 2 Gy atau kurang perhari dengan total dosis 50 Gy. Cidera otak akut akibat radiasi, dalam keadaan normal adalah proses yang reversibel dengan pemulihan spontan. Cedera radiasi lanjut (late delayed) bersifat ireversibel dan progresif, biasanya teramati lebih dari 6 bulan pasca radiasi, dengan gambaran histopatologi berupa abnormalitas vaskuler, demielinisasi, dan nekrosis substansia alba. Tidak terdapat sel fibroblas pada SSP, sehingga fibrosis sebagai efek lambat radiasi yang tipikal pada jaringan lain tidak terjadi.14

3.5. Efek Radiasi pada Hepar Hepatosit menyusun 70-80% dari massa hepar, sel ini terlibat dalam sintesis dan penyimpanan protein, transformasi karbohidrat, sintesis kolesterol, empedu dan fosfolipid, serta detoksifikasi, modifikasi dan ekskresi dari substansi eksogen dan endogen. Rata-rata umur biologi hepatosit sekitar 5 bulan, dan memiliki

yang bertanggungjawab pada rekognisi dan opsonisasi patogen. Telah terdapat data bahwa terjadi gangguan imunitas alami signifikan pada penyakit hepar akut dan setelah hepatektomi.17 Cedera pada sel endotel sinusoid dan vena sentral menjadi dasar pemikiran kerusakan hepar pasca radiasi, yang selanjutnya memicu aktivasi jalur koagulasi, mengakibatkan akumulasi fibrin dan pembentukan trombus pada vena sentral dan sinusoid hepar.18 Kerusakan sinusoid dimulai dari dilatasi sinusoid sampai sindroma obstruksi sinusoid. Di awali dengan kerusakan sel endotel yang melapisi sinusoid, kemudian terjadi penebalan subintimal dan ekstravasasi eristrosit ke dalam rongga subendotel (Disse). Sel endotel dan eritrosit, selanjutnya mengembolisasi sinusoid dan menghambat aliran ke vena, menghasilkan kongesti hepatik dan dilatasi sinusoid. Pada stadium yang lebih lanjut, proses fibrotik pada sinusoid mengobliterasi vena sentral, dan terjadi sindrom obstruksi sinusoid. Skenario klinis umum yang disebut radiation induced liver disease (RILD) terjadi dalam waktu 4 bulan pasca radiasi hepar, ditandai dengan asites anikterik dan hepatomegali serta peningkatan fosfatase lebih tinggi dibandingkan enzim hepar lain.19 3.6. Efek Radiasi pada Paru

Gambar 4. Model r espon tingkat molekuler dan seluler pada radiasi SSP.12

kemampuan regenerasi. Hepatosit tersusun dalam kelompok- kelompok (plate) yang dipisahkan oleh pembuluh darah (sinusoid).16 Hepar juga mengandung cadangan yang besar dari sel Kupffer, sebuah makrofag spesifik yang menjadi bagian dari sistem retikuloendotelial, serta mensintesa protein

Fungsi utama paru adalah menyediakan antarmuka untuk pertukaran gas antara pembuluh darah dan udara luar. Permukaan total paru cukup luas oleh adanya saluran-saluran yang bercabang dan diakhiri dengan alveolus. Pertukaran gas terjadi melalui kapiler yang terdapat pada dinding alveolus. Kapiler ini dibentuk oleh satu lapis sel endotel dengan diameter yang hanya cukup dilewati oleh satu sel darah merah. Alveolus dilapisi oleh sel epitel khusus yang disebut pneumosit tipe 1, dan tersebar diantaranya terdapat pneumosit tipe 2 sebagai penghasil surfaktan. Antara pneumosit dan sel endotel kapiler, terdapat membran basal dan rongga stroma potensial, yang berisi sel otot polos, perisit, fibroblas, dan kolagen.20 Sel endotel kapiler sangat sensitif terhadap radiasi, dan berperan penting dalam terjadinya pneumonitis radiasi. Kerusakan pada endotel berupa lepasnya sel dari membran basal, obstruksi lumen oleh trombus, dan terputusnya pembuluh kapiler. Selanjutnya, eksudat fibrin mengisi rongga stroma dan lumen alveolus, edema serta pembentukan membran hyalin akan mengganggu proses pertukaran gas. Sel alveolar,

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:25-33

khususnya pneumosit tipe 2 juga dapat mengalami cedera radiasi yang mengakibatkan pelepasan surfaktan ke rongga alveolus dan pelepasan pneumosit itu sendiri dari membran basal.20 Proses inflamasi seperti pneumonitis akut dapat pulih keseluruhan atau berkembang ke arah proses fibrosis yang mengakibatkan obstruksi lumen alveolar. Deposisi kolagen pada fibrosis, menyebabkan juga penebalan dinding alveolus dan mengurangi sampai menghilangkan keberadaan pneumosit. Alveoli kemudian dapat menjadi kolaps dan terobliterasi oleh jaringan ikat. Perubahan pada vaskuler berupa hiperplasia miointimal dan selama proses pnemonitis akut menjadi fibrosis, deposisi fibrin dapat terjadi di arteriol.20 Ketika fibrosis paru terjadi, fungsi paru akan menurun, tergantung dari luas volume paru yang terpapar radiasi, dan jika volume itu kecil bagian paru lainnya dapat saja mengkompensasi dan signifikan mencegah manisfestasi klinis.21

tubulus terjadi dalam 3 bulan dan menjadi progresif, sedangkan glomerulus hanya mengalami kerusakan minor. Kerusakan dapat menyebabkan sklerosis glomerulus, yang progresifitasnya pasca radiasi dipercepat oleh diet tinggi protein dan nefrektomi unilateral.22 Pasca nefrektomi, ginjal mengalami hipertrofi kompensasi sehingga fungsi ginjal secara keseluruhan tetap normal, namun terjadi peningkatan aliran darah dan filtrasi dari unit nefron yang tersisa. Pengangkatan massa ginjal dalam proporsi yang besar atau reduksi massa fungsional ginjal akibat radiasi, dapat menyebabkan glomerulosklerosis, hipertensi, dan gagal ginjal. Brenner dkk (1982) mengemukakan alur umum untuk progresi kerusakan ginjal seperti yang ditunjukkan oleh gambar 5.22 4. Efek Radiasi pada Jaringan Tumor Jaringan tumor, khususnya tumor padat, adalah sebuah

3.7. Efek Radiasi pada Ginjal Ginjal tersusun dari sekumpulan glomerulus dan nefron sebagai subunit fungsional. Glomerulus adalah sekumpulan kapiler yang menghasilkan plasma sebagai hasil filtrasi. Sebanyak 99% filtrat di reabsorbsi saat melewati tubulus renalis. Keseimbangan yang tepat antara filtrasi glomerulus dan resorpsi tubular sangat penting untuk pemeliharaan kadar air dan garam. Saat terjadi cedera jaringan, integritas glomerulotubular dipertahankan, sampai akhirnya ketika cedera yang terjadi cukup berat, fungsi struktur ini dihentikan. Abnormalitas fungsional dari ginjal yang mengalami kerusakan dipikirkan karena beban kerja yang bertambah pada nefron yang tersisa. Struktur subunit fungsional relatif kecil dan dapat mengalami kerusakan oleh dosis yang cukup rendah, menjelaskan rendahnya toleransi dosis pada ginjal.3,22 Gambar 5. Alur umum untuk pr ogr esi ker usakan ginjal. Reduksi massa ginjal menyebabkan vasodilatasi kompensasi, selanjutnya merusak glomerulus menghasilkan sklerosis dan kehilangan massa ginjal yang lebih besar.22

Pengamatan histopatologi dilakukan pada hasil biopsi pasca radiasi dan patogenesis nefropati radiasi sendiri masih menjadi perdebatan. Belum diketahui dengan jelas yang menjadi target primer kerusakan, apakah vaskuler, glomerulus atau tubulus. Philips dkk (1976) menjelaskan kerusakan akut endotel kapiler dalam 2-4 bulan dengan pemulihan yang subsekuen, kerusakan

struktur yang terdiri dari sel neoplastik, sel stroma dan pembuluh darah. Seluruh komponen tersebut terikat oleh jaringan ekstraseluler.2 Tumor tumbuh karena proliferasi dari sel kanker dan bertambahnya massa stroma serta pembentukan pembuluh darah baru (oleh angiogenesis). Telah diungkapkan dari penelitian bahwa sekalipun ukuran tumor itu kecil, tidak semua sel pada tumor dalam keadaan yang aktif berproliferasi. Volume doubling time digunakan untuk menerangkan waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan ukuran tumor dua kali lipatnya. Jika setiap sel pada tumor berada dalam siklus

31

32

Efek Dasar Radiasi pada Jaringan (A. Setyawan, H.M. Djakaria)

pembelahan sel dan tidak terjadi kematian sel, maka doubling time tumor akan mewakili lama siklus sel, dengan rata-rata 2-3 hari. Tidak terdapat perbedaan yang besar respon tumor antara sel normal dan sel kanker seandainya tidak terdapat perbedaan dalam regulasi siklus sel, kinetik populasi sel, dan sruktur organisasi kelompok sel (jaringan). Faktor yang bertanggungjawab terhadap respon radiasi pada prinsipnya sama dengan sifat yang membedakan antara keduanya.3 Istilah radiosensitif dan radioresistan biasanya digunakan untuk menjelaskan cepat atau lambatnya pengecilan tumor setelah radiasi. Sel kanker biasanya mengekspresikan kerusakan DNA akibat radiasi dengan kematian mitosis, oleh karena itu laju respon tumor tergantung dengan tingkat proliferasinya. Tumor yang memiliki kumpulan sel berproliferasi dalam proporsi besar akan menunjukkan respon radiasi lebih dini dan mengalami pengecilan dengan cepat. Walaupun tergolong radioresponsif, tumor kemungkinan tetap memiliki sel punca yang selamat, yang bertanggungjawab terhadap rekurensinya. Seperti disebutkan diatas, sel-sel pada tumor tidak memiliki radiosensitifitas yang seragam. Sensitivitas sel terhadap radiasi dapat juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro disekitarnya. Kondisi hipoksia sebagai salah satu faktor yang telah bisa di jelaskan, namun masih terdapat faktor lain, antara lain terkait interaksi dengan materi ekstraseluler yang masih belum terekplorasi sepenuhnya.4 Kesimpulan Tujuan utama pengobatan tumor adalah eradikasi tumor semaksimal mungkin, salah satunya dengan radioterapi. Pemberian radiasi pada tumor, selalu akan melibatkan jaringan normal. Efek radiasi pada jaringan normal adalah efek samping yang tidak diharapkan, dan hal ini kemudian dapat menjadi salah satu pertimbangan klinis penting dalam radioterapi. Pengetahuan tentang mekanisme efek radiasi pada jaringan, membantu klinisi dalam memahami implikasi klinis yang terjadi selama pengobatan. Mengetahui mekanisme efek radiasi pada jaringan, membantu klinisi dalam memahami implikasi klinis yang terjadi selama pengobatan. Respon radiasi pada jaringan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya jenis kelompok sel, tipe organisasi jaringan, dan kondisi

lingkungan mikro. Manisfestasi klinis atau gejala mulai timbul ketika terjadi gangguan homeostasis akibat kerusakan sel pasca radiasi, mengakibatkan gangguan dalam derjat yang bervariasi sampai terjadi kegagalan fungsi jaringan atau organ.

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:25-33

DAFTAR PUSTAKA 1.

2.

3.

Simonsson M. Quantification of Radiation Induced DNA Damage Response in Normal Skin Exposed in Clinical Setting. Uppsala : Acta Universitatis Upsaliensis; 2011. Stone HB, Coleman CN, Anscher MS, and McBride WH. Reviews: Effects of radiation on normal tissue: consequences and mechanisms. Lancet Oncol 2003; 4(9):529-36. Adamus-Gorka M. Improved Dose Response Modeling for Normal Tissue Damage and Therapy Optimization. Stockholm: Departement of OncologyPathology Stockholm University; 2008.

4.

Training Course Series No. 42. Radiation Biology : A Handbook for Teachers and Students. Vienna: IAEA; 2010.

5.

Beyzadeoglu M, Ozyigit G, and Ebruli C. Basic Radiation Oncology. Germany: Springer; 2010: 96-97.

6.

Garau MM, Calduch AL, and Lopez EC. Review : Radiobiology of The Acute Radiation Syndrome. Reports of Practical Oncology and Radiotherapy. 2011; 16: 123-30.

7.

Hall EJ, Giaccia AJ. Radiobiology for the Radiologist. 7th edition. New York. Lippincott Williams & Wilkins; 2012.

8.

Effects of Ionizing Radiation on Blood and Blood Components : A Survey. Vienna: IAEA; 1997.

9.

Brush J, Lipnick SL, Phillips T, Sitko J, McDonald JT, and McBride WH. Molecular Mechanisms of Late Normal Tissue Injury. Semin Radiat Oncol. 2007; 17: 121-30.

10.

MacBride S, Wells M. Supportive Care in Radiotherapy, Chapter 8: Radiation Skin Reaction. London: Churchill Livingstone. 2003; 135-59.

11.

Archambeau JO, Pezner R, Wasserman T. Pathophysiology of irradiated skin and breast. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 1995; 31:1171-85.

12.

Wong CS, Van der Kogel AJ. Mechanisms of Radiation Injury to The Central Nervous System. Molecular Interventions. October 2004; Volume 4, Issue 5: 273-84.

13.

Cucinotta FA, Wang H, and Huff JL. Risk of Acute or Late Central Nervous System Effects from Radiation

Exposure. Human Health and Performance Risks of Space Exploration Missions, Chapter 6. 14.

Van der Kogel AJ. Radiation-induced Damage in The Central Nervous System : An Interpretation of Target Cell Responses. Br. J. Cancer. 1986; 53,Suppl VII: 207-17.

15.

16. Li YQ, Chen P, Haimovitz-Friedman A. Endothelial apoptosis initiates acute blood-brain barrier disruption after ionizing radiation. Cancer Res. 2003; 63: 5950-56.

16.

Ramadore G, Moriconi F, Malik I, and Dudas J. P hysiology and Pathophysiology of Liver Inflammation, Damage, and Repair. J Physiol Pharmacol. 2008; 59, Suppl 1: 107-17.

17.

Schindl MJ, Redhead DN, Fearon KCH, Garden OJ, Wigmore SJ. The Value of Residual Liver Volume as A Predictor of Hepatic Dsyfunction and Infection after Major Liver Resection. Gut. 2005; 54: 289-96.

18.

Lawrence TS. Hepatic toxicity resulting from cancer treatment. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 1995; 31(5): 1237–48.

19.

Maor Y, Malnick S. Review Article : Liver Injury Induced by Anticancer Chemotherapy and Radiation Therapy. International Journal of Hepatology. 2013, Vol 2013: 1-8.

20.

Wiebe E, Rodrigues G. Radiation-induced Lung Injury, Strategies for Reducing Damage while Optimizing Therapeutic Dosage. Protocol and Practices Perspectives on Cancer Management. April 2006; Vol 5, No 2: 29-32.

21.

Penney DP, Rubin P. Specific early fine structural changes in the lung irradiation. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 1977;2: 1123-32.

22.

Williams MV. The Cellular Basis of Renal Injury by Radiation. Br. J. Cancer. 1986; 53, Suppl VII: 25764.

33

34

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:34-41

Tinjauan Pustaka

PERANAN RADIOTERAPI TERHADAP SOFT TISSUE SARCOMA (STS) DI EKSTREMITAS Sigit Wirawan, Soehartati A. Gondhowiardjo Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak / Abstract

Informasi Artikel Riwayat Artikel

 Diterima November 2013  Disetujui Desember 2013

Radioterapi adalah salah satu modalitas penting dalam penanganan Soft Tissue Sarcoma (STS). Radioterapi dapat digunakan baik sebelum maupun sesudah pembedahan dengan pertimbangan tertentu. Seiring berkembangnya teknik radioterapi, baik radiasi eksterna maupun brakiterapi, diharapkan radiasi dapat lebih berperan dalam meningkatkan konservasi fungsi ekstemitas, local control serta kesintasan hidup pasien dengan STS. Kata kunci : r adioter api, Soft T issue Sarcoma , local control, konser vasi

Alamat Korespondensi: dr. Sigit Wirawan Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Radiotherapy is one of the important modalities in the treatment of Soft Tissue Sarcoma (STS) which might be used before or after surgery, based on specific considerations. Radiotherapy techniques, namely external radiation and brachytherapy are constantly evolving. The role of radiotherapy in STS is mainly to increase conservation of extremity function, local control and to improve survival . Keywords: radiotherapy, Soft Tissue Sarcoma , local control, conservation

E mail: [email protected] Hak Cipta ©2014 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan Soft Tissue Sarcomas (STS) merupakan salah satu jenis sarkoma, yaitu kelompok tumor heterogen yang berasal dari mesoderm embrio, dan merupakan tumor ganas yang jarang terjadi.1 Sarkoma yang paling sering terjadi adalah sarkoma tulang (osteosarkoma dan kondrosarkoma), sarkoma Ewing, tumor neuroektodermal, dan STS. Pada tahun 2004, sekitar 8.680 kasus baru STS didiagnosis di Amerika Serikat dan diperkirakan terdapat 3.660 kematian akibat STS.2 STS dapat terjadi di mana saja di tubuh, tetapi sebagian besar berasal dari ekstremitas (59%), batang tubuh (19%), retroperitoneum (15%) dan kepala dan leher (9%).3 Saat ini, lebih dari 50 jenis histologis STS telah diidentifikasi (Tabel 1), tetapi yang paling umum terjadi adalah Malignant Fibrous Histiocytoma/MFH (28%), leiomyosarkoma (12%), liposarkoma (15%), sarkoma sinovial (10%), dan Malignant Peripheral Nerve Sheath Tumor/MPNST (6%).4 Rhabdomiosarkoma adalah STS yang paling sering terjadi pada

anak-anak. Distribusi lokasi STS berdasarkan subtipe histologis dapat dilihat pada gambar 1.5 Terapi radiasi eksterna merupakan salah satu faktor risiko terjadinya STS.1,4 Angka kejadian sarkoma meningkat 8 kali lipat sampai 50 kali lipat pada pasien yang menerima terapi radiasi pada kanker payudara, leher rahim, ovarium, testis, atau sistem limfatik.4 Faktor risiko lain adalah pajanan bahan kimia tertentu, limfedema kronis setelah diseksi aksila; limfangiosarkoma yang dikenal sebagai sindrom StewartTreves.1,4 Dalam kerangka genetik, terdapat 2 gen yang sangat berhubungan dengan STS, yaitu gen retinoblastoma (Rb) dan gen supresor tumor p-53. Mutasi atau delesi pada gen Rb berhubungan dengan retinoblastoma dan STS. Selain itu, insiden STS tinggi pada pasien dengan mutasi gen supresor tumor p-53 (sindrom Li -

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:34-41

Tabel 1. Subtipe Histologi STS2

cukup besar. STS tumbuh secara sentrifugal dan menekan jaringan normal disekitarnya, tapi jarang melakukan infiltrasi pada tulang atau jaringan neurovaskular. Sedangkan STS di daerah retroperitoneal biasanya merupakan massa besar asimtomatik, jarang menunjukkan gejala obstruktif gastrointestinal atau gejala neurologis yang berhubungan dengan kompresi lumbal atau saraf daerah panggul.4

Subtipe Histologik

%

Malignant Fibrous Histiocytoma/MFH

28

Leiomyosarkoma

15

Liposarkoma

12

Sarkoma yang tidak terklasifikasi

11

Sarkoma sinovial

10

Malignant Peripheral Nerve Sheath Tumor/MPNST

6

Pencitraan Radiologis

Rhabdomyosarkoma

5

Fibrosarkoma

3

Ewing Sarkoma

2

Angiosarkoma

2

Osteosarkoma

1

Epiteloid Sarkoma

1

Kondrosarkoma

1

Pencitraan radiologis sangat penting untuk menentukan ukuran tumor, staging, panduan biopsi, dan membantu dalam diagnosis. Pencitraan juga penting dalam memantau atau mengevaluasi perubahan tumor setelah pengobatan, terutama setelah kemoterapi pra-operasi, kemoterapi pra-radiasi dan dalam mendeteksi kekambuhan setelah reseksi bedah.6

Clear Cell Sarkoma

1

Alveolar Sarkoma

1

Hemangioperisitoma Maligna

0.4

Fraumeni).4 Gejala Klinis Keluhan yang paling sering timbul terkait STS adalah terabanya massa. Tumor di ekstremitas distal biasanya kecil ketika ditemukan, sedangkan tumor di ekstremitas proksimal dan retroperitoneum biasanya ukurannya

Meskipun radiografi (sinar X) berguna untuk memberikan informasi mengenai tumor tulang primer, tetapi radiografi tidak berguna untuk mengevaluasi tumor jaringan lunak pada ekstremitas. Computed tomography Scan (CT-Scan) harus dipertimbangkan untuk pasien dengan lesi high-grade atau tumor lebih besar dari 5 cm (T2). CT-Scan juga merupakan teknik pencitraan yang lebih disukai untuk mengevaluasi sarkoma retroperitoneal.6

Gambar 1. Distr ibusi lokasi STS ber dasar kan Subtipe Histologi 5

35

36

Peranan Radioterapi terhadap Soft Tissue Sarcoma (STS) di Ekstremitas (S.Wirawan, S.Gondhowiardjo)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah modalitas pencitraan pilihan untuk Extremity-STS/ESTS. MRI secara akurat dapat menggambarkan kelompok otot, membedakan tulang, struktur pembuluh darah, dan tumor. Selain itu, MRI dapat membantu membedakan lesi jinak seperti lipoma, hemangioma, schwannoma, neurofibroma, dan myxomas intramuskular dengan lesi ganas. Sebelum memulai kemoterapi, penyangatan kontras T1-weighted MRI dapat digunakan untuk menentukan keberadaan dan tingkat nekrosis intratumoral. MRI juga berguna untuk mengidentifikasi kekambuhan tumor setelah operasi; MRI biasanya dilakukan tiga bulan setelah operasi.6,7 Biopsi a)

Core-Needle Biopsy

Core-Needle Biopsy merupakan prosedur yang aman, akurat, dan ekonomis untuk mendiagnosis STS. Selain itu, jaringan yang cukup banyak dapat digunakan dalam beberapa tes diagnostik lainnya, seperti mikroskop elektron, analisis sitogenetika, dan flow cytometry. Akurasi diagnostik core-needle biopsy adalah 93% .8 c)

Biopsi Insisi

Biopsi insisi adalah metode diagnostik yang handal untuk memperoleh jaringan yang adekuat. Namun, biopsi insisi biasanya dilakukan hanya ketika FNAB atau core-needle biopsy tidak memberikan gambaran yang cukup untuk menegakkan diagnostik.8 d)

Sistem penentuan stadium ini tidak berlaku untuk sarkoma visceral, sarkoma Kaposi, dermatofibrosarkoma, atau tumor desmoid.8 Metastasis jauh terjadi paling sering ke paru-paru. Beberapa pasien dengan metastasis paru masih dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama setelah dilakukan pembedahan. Lokasi potensial lain dari metastasis adalah tulang, otak, dan hati. Sarkoma visceral dan retroperitoneal menunjukkan kecenderungan untuk bermetastasis ke hati dan peritoneum.3 Tabel 2. Stadium STS ber dasar kan AJ CC Staging System.8

Fine-Needle Aspiration Biopsy (FNAB)

FNAB adalah metode diagnostik STS yang paling sering digunakan. Akurasi diagnostik FNAB pada pasien dengan tumor primer berkisar antara 60% sampai 96%.8 b)

ran tumor, kedalaman, dan ada atau tidaknya metastasis jauh atau keterlibatan KGB (Tabel 2).

Biopsi Eksisi

Biopsi eksisi dapat dilakukan pada lokasi yang mudah dijangkau (superfisial) atau lesi lebih kecil dari 3 cm. Akan tetapi, manfaat dari biopsi eksisi jarang melebihi dari teknik biopsi lainnya, dan prosedur ini juga dapat menyebabkan komplikasi pasca operasi yang pada akhirnya bisa menunda terapi definitif.8 Penentuan Stadium dan Faktor Prognostik Dari kriteria penentuan stadium berdasarkan The American Joint Committee Cancer (AJCC) (2010).9 Stadium STS bergantung pada subtipe histologi, uku-

American Joint Committee on Cancer Staging System, Seventh Edition Stage

Grade

Tumor

Nodes

IA IB IIA IIB III

G1,Gx G1,Gx G2, G3 G2 G3 Any Any G

T1a, T1b T2a, T2b T1a, T1b T2a, T2b T2a, T2b Any Any T

N0 N0 N0 N0 N0 N1 Any N

IV

Metastasis M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1

G: Primary Tumor Grade The FNCLCC tumor grade (three-stage system) G1: low grade G2: intermediate grade G3: high grade Gx: grade unknown T: Primary Tumor Size and Location T1: tumor ≤5 cm T2: tumor > 5cm a: superficial to investing fascia b: deep to investing fascia N: Lymph nodes N0: no involved nodes N1: regional lymph nodes M: Metastasis M0: no metastatic disease M1: metastasic disease present

Manajemen Terapi STS di Ekstremitas (ESTS) Peran Pembedahan

Dahulu, terapi ESTS hanyalah operasi dan tingkat kegagalan lokalnya berkisar antara 60% sampai 80%. Pada tahun 1940-an dan awal 1950-an terdapat

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:34-41

perubahan besar terhadap prosedur bedah yang lebih radikal untuk terapi ESTS lini pertama, seperti amputasi atau reseksi lokal secara radikal yang akhirnya meningkatkan kontrol lokal. Terapi pembedahan pada ESTS ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: lokasi tumor, ukuran tumor, kedalaman invasi (dangkal atau dalam), keterlibatan struktur di dekatnya, dan kemungkinan komplikasi penyembuhan luka dan/atau rekonstruksi operasi plastik. Peran Radioterapi Sebelum ditemukannya peran radioterapi untuk ESTS, amputasi adalah prosedur terapi standar dan sering mengakibatkan morbiditas fisik dan psikologis yang signifikan untuk pasien. Dengan prosedur radikal ini, kekambuhan lokal jarang terjadi, tetapi sebanyak 40% dari pasien meninggal akibat penyakit metastasis.9 Bukti pertama bahwa radioterapi dapat digunakan sebagai metode untuk meningkatkan fungsional tungkai dengan menghindari amputasi pada pasien yang memiliki ESTS dilakukan oleh penelitian acak prospektif oleh National Cancer Institute (NCI).10 Sebuah penelitian acak prospektif juga dilakukan oleh NCI tentang peran External Beam Radiotherapy (EBRT) pasca operasi setelah reseksi Limb-sparing. Hasilnya terjadi kekambuhan pada 6 dari 19 pasien yang tidak menerima radioterapi dan 1 dari 22 pasien yang menerima radioterapi.11 Dalam beberapa penelitian, faktor seperti usia tampaknya mempengaruhi tingkat kekambuhan lokal. 12 Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) menawarkan keuntungan untuk mengurangi morbiditas jaringan normal tetapi mempertahankan local control tumor. Baru-baru ini dilaporkan bahwa IMRT meningkatkan 5 -years local control sebesar 94% pada pasien ESTS yang diradiasi dengan IMRT, dengan morbiditas yang lebih sedikit.13 Terapi Radiasi Pra-operasi versus Pasca-operasi Meskipun pemberian radioterapi pada ESTS high-grade atau low-grade dianggap sebagai standar dalam penanganan ESTS, tetapi masih terdapat kontroversi yang signifikan mengenai waktu yang tepat untuk pemberiannya dalam kaitannya dengan operasi.10

Radiasi sebelum operasi memungkinkan dokter spesialis onkologi radiasi untuk memberikan dosis radiasi yang lebih kecil untuk volume target yang lebih kecil, sehingga toksisitas menjadi minimal. Akan tetapi, ada pen-

dapat yang menyatakan radiasi sebelum operasi dapat meningkatan komplikasi luka dengan cara mengganggu proses penyembuhan luka.13 Pada table 3 dapat dilihat hubungan waktu pemberian radiasi dengan probabilitas komplikasi luka. Keputusan apakah akan menggunakan radiasi praoperasi atau pasca operasi dianalisa dalam penelitian besar secara acak dari NCI Canada Group Clinical Trial.8 Penelitian ini mengevaluasi kontrol penyakit dan toksisitas yang ditimbulkan terhadap pasien ESTS yang diradiasi pra-operasi (50 Gy) atau pasca operasi (66Gy). Tingkat rekurensi lokal, rekurensi lokoregional, dan progression-free survival adalah sama antara kedua kelompok ini. Akan tetapi, 64 dari 94 pasien dalam kelompok pasca-operasi memiliki toksisitas efek akut kulit Grade 2 atau lebih besar dibandingkan dengan 32 dari 88 pada kelompok pra-operasi. Dalam hal toksisitas lanjut/late effect, fibrosis Grade 2 atau lebih terjadi pada 48,2% dari pasien dalam kelompok pasca-operasi dibandingkan dengan 31,5% pada kelompok pra-operasi, dua tahun setelah radiasi. Secara keseluruhan, data ini mendukung bahwa radioterapi pra-operasi memiliki kontrol penyakit yang setara dengan radioterapi pasca-operasi dengan hasil fungsional jangka panjang yang lebih baik.14 Radioterapi dapat diberikan setelah operasi untuk berbagai alasan, termasuk diagnosis patologi sarkoma yang baru ditegakkan setelah operasi, ingin mendapatkan terapi yang adekuat setelah evaluasi pasca operasi, ketidakmampuan untuk mendapatkan margin negatif dengan preservasi fungsi yang ingin dicapai, dan ditemukannya lesi yang lebih luas dibandingkan pencitraan pra-operasi dan data patologis.13 Ketika radioterapi diberikan setelah operasi, setidaknya menggunakan batas 5 cm dan dosis minimal 60 Gy atau lebih tinggi, karena dosis radioterapi yang diberikan pasca operasi telah terbukti berkorelasi dengan local control.13 Kesimpulannya, pengobatan radiasi pasca-operasi dan pra-operasi memiliki manfaat dan kerugian masing-masing, serta harus diputuskan berdasarkan keadaan pasien dan menggunakan pendekatan multidisplin. Teknik dan Protokol Penanganan ESTS

Radioterapi

dalam

Kestabilan posisi pasien, mampu atau tidaknya posisi diulang dan pengaturan posisi sangat penting dalam teknik radioterapi yang membutuhkan presisi yang tinggi. Imobilisasi ekstremitas secara individu pasien

37

38

Peranan Radioterapi terhadap Soft Tissue Sarcoma (STS) di Ekstremitas (S.Wirawan, S.Gondhowiardjo)

Tabel 3. Pr obabilitas Komplikasi Luka dalam Hubungannya dengan Waktu Pember ian Radiasi. 10

dengan perangkat fiksasi yang disesuaikan sangat disarankan untuk radioterapi baik pra dan pasca operasi.

at dengan memperluas CTV sekitar 1,0 cm secara isotropik segala arah (Gambar 2D). 5,16

Terdapat perbedaan volume target antara radiasi predan pasca-operasi. Volume target tersebut mencakup Planning Target Volume (PTV) yang didapatkan dari perluasan Clinical Target V olume (CTV). Ekspansi batas CTV ke PTV bergantung pada imobilisasi, image guidance, dan reproduksibilitas pengaturan radiasi dan harus berdasarkan pada protokol institusi lokal yang bersangkutan. 5,16 Radioterapi Pra-operasi Umumnya radiasi pra-operasi diberikan sehari sekali dengan dosis per fraksi 1,8-2 Gy serta dosis total 5050,4 Gy. Gross tumor V olume (GTV) didefinisikan sebagai volume tumor yang menyangat kontras gadolinium, pada fase T1-weighted MRI. Biasanya MRI dan Planning Computed Tomography (CT-Planning) sering difusikan dalam posisi penyinaran yang sama. GTV meliputi gambaran lesi yang dominan tetapi bukan gambaran edema peritumoral yang terlihat pada MRI T2-weighted (gambar 2A).15,16 Clinical Target Volume (CTV) dibuat dengan memperluas GTV ke segala arah sepanjang 1,5 cm, kecuali longitudinal, yang dibuat 4 cm. Secara radial, CTV tidak perlu diperluas keluar permukaan tulang yang berdekatan dan fasia otot, kecuali struktur ini terlibat, karena permukaan tulang dan fasia otot memiliki barier yang efektif untuk penyebaran tumor. Edema peritumoral harus dimasukkan kedalam CTV dan harus digambar secara manual untuk mencakup setiap kecurigaan edema (Gambar 2B-C). Planning Target Volume (PTV) umumnya dibu-

Gambar 2. Tar get Volume Radiasi STS Pr e-Operasi.15

Radiasi Pasca-operasi Dalam kasus radioterapi pasca-operasi, sebagian besar dari dosis biasanya diberikan pada volume yang lebih besar yang meliputi surgical bed (lokasi bedah) dengan batasan yang aman. Volume ini umumnya disebut sebagai fase elektif dan diberikan awal pertama sinar (Fase 1). Laporan pembedahan dan laporan patologi anatomi laporan sangat penting untuk menentukan volume target dan tingkat dosis yang akan diberikan secara optimal. Dosis total Fase 1 ini umumnya sebesar 45-50,4 Gy dalam fraksi satu kali sehari 1,8-2 Gy. Selanjutnya diberikan dosis booster dengan volume yang lebih kecil untuk tumor bed (Fase 2). Biasanya diberikan dosis 10-16 Gy, sehingga total dosis 60-66 Gy.15,16

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:34-41

CTV elektif dibuat dengan memperluas volume bedah ke segala penjuru seluas 1,5 cm, kecuali longitudinal di mana ekspansi biasanya 4 cm. Secara radial, CTV elektif tidak perlu diperluas lebih jauh melebihi permukaan tulang yang berdekatan, otot, dan sendi, kecuali struktur ini terlibat. CTV elektif ini harus lebih panjang dari marker bekas operasi dan tetap di dalam permukaan kulit (Gambar 3B). Jika perluasan 4 cm volume arah longitudinal lebih pendek dari bekas luka operasi maka CTV elektif dapat diperluas untuk mencakup bekas luka operasi. PTV elektif dibuat dengan memperluas CTV elektif secara isotropik sekitar 1,0 cm ke segala arah (Gambar 3C).

Sepuluh dari 15 kasus ditemukan sel sarkoma pada jaringan di luar tumor, dengan lokasi sel-sel tumor tersebut ditemukan pada jarak 1-4 cm dan lokasi sel tumor tidak berkorelasi dengan ukuran tumor. Sehingga memberikan dasar untuk memberikan ekspansi longitudinal 4 cm dari GTV ke CTV.15

CTV Booster adalah target volume yang sama dengan CTV elektif, kecuali pada arah longitudinal. Pada arah longitudinal. CTV booster dibuat berdasarkan expansi GTV sebesar 2 cm secara longitudinal dan expansi radial masih sama yaitu 1.5 cm (Gambar 4A). PTV Booster dibuat dengan memperluas CTV Booster secara isotropik sekitar 1 cm ke segala arah ( Gambar 4B).15,16

Pengurangan ekspansi CTV ke PTV bergantung pada imobilisasi, image guidance, dan reproduksibilitas pengaturan radiasi. Oleh karena itu, penentuan batas harus didasarkan pada protokol institusi lokal yang mengatur variabilitas di institusi tersebut.15

Pada lokasi drain pasca operasi pasien ESTS sering terjadi kekambuhan. Sehingga lokasi drain menjadi standar masuk kedalam lapangan radiasi. Ekspansi CTV ke PTV mengkompensasi kesalahan pengaturan radiasi secara sistematis dan acak, dan menurut definisi tidak ada hubungannya dengan sarkoma baik biologi atau patologi.

Gambar 4. Tar get Volume Radiasi Booster STS Pasca Operasi.15

Gambar 3. Tar get Volume Radiasi Elektif STS Pasca Operasi.15

Pada ESTS, data mengenai invasi mikroskopis sel sarkoma ke dalam jaringan normal sekitarnya terdapat pada laporan penelitian dari Princess Margaret Hospital (PMH). Dalam studi mereka, para ahli bedah berusaha untuk mempertahankan batas sayatan 1-2 cm dari jaringan normal sekitarnya ke segala arah kecuali apabila terdapat fascia yang berfungsi sebagai barier.

Pada radiasi pra-operasi, toksisitas akut utama adalah terjadinya komplikasi penyembuhan luka. Pada penelitian NCIC, kemungkinan komplikasi luka meningkat secara signifikan ketika radiasi diberikan sebelum operasi (17 % vs 35 %).14 Volume radiasi yang lebih besar ditakutkan dapat meningkatkan toksisitas tetapi mengurangi volume radiasi berpotensi meningkatkan risiko tidak tersinarnya semua peritumoral sel sarkoma. Namun, komplikasi luka biasanya reversible dan tanpa efek jangka panjang yang signifikan pada fungsional ekstremitas. Sebaliknya,

39

40

Peranan Radioterapi terhadap Soft Tissue Sarcoma (STS) di Ekstremitas (S.Wirawan, S.Gondhowiardjo)

efek lambat lebih serius terjadi pada kelompok yang disinari pasca operasi. Ukuran lapangan merupakan faktor prediksi terjadinya morbiditas pasca radiasi, termasuk fibrosis, kekakuan sendi, dan limfedema.15 Brakhiterapi sebagai Terapi Soft Tissue Sarcomas Selain EBRT, brakhiterapi telah digunakan untuk pengobatan sarkoma dalam upaya untuk meningkatkan rasio terapeutik dengan meminimalkan dosis jaringan normal dan memungkinkan meningkatkan dosis lokal secara bersamaan pada daerah berisiko tinggi.

Sebuah penelitian secara acak prospektif dilakukan oleh Memorial Sloan Kettering Cancer Center terhadap 164 pasien yang direncanakan operasi, dibagi menjadi dua grup antara yang menerima brakhiterapi ajuvan atau tidak menerima brakhiterapi, setelah reseksi STS pada ekstremitas atau di badan. Seluruh radioterapi dalam penelitian ini diberikan dengan implan brakhiterapi tanpa EBRT. Tumor bed dan jaringan sekitarnya menerima implan Iridum-192 yang diberikan sebanyak 42-45 Gy selama 4 sampai 6 hari. Dengan median follow up 76 bulan, 5-year local control rates meningkat secara signifikan dengan brakhiterapi (82 % vs 69 %). Akan tetapi, keunggulan ini tampaknya terbatas pada pasien yang memiliki lesi jenis high-grade. Secara keseluruhan local control

adalah 91%, sebanding dengan local-control rates terapi radiasi eksterna pasca operasi. 10,17 Dalam kasus tertentu, brakhiterapi tidak dapat digunakan sebagai salah satu modalitas terapi karena potensi undertreatment, atau toksisitas mendatang, atau overdosis struktur neurovaskular. Dosis brakhiterapi diberikan tergantung pada indikasi klinis dan perencanaannya, meskipun dosis 45 sampai 50 Gy lebih dari 4 sampai 6 hari sering diberikan untuk Low Dose Rate Radiotherapy. Dosis 15 sampai 25 Gy biasanya dipilih dalam situasi di mana brakhiterapi diberikan setelah EBRT. Seperti disebutkan sebelumnya, pemberian brakiterapi biasanya dimulai tidak lebih cepat dari 6 hari setelah penutupan luka. 10,17

DAFTAR PUSTAKA 1.

Clark M, Fisher C, Judson I, et al. Soft-Tissue Sarcomas in Adults. N Eng J Med 2005;353:701-11.

8.

Helman L, Maki R. Abeloff's Clinical Oncology, 5th Edition. Philadelphia, PA:Saunders, 2014:1753-91.

2.

Jemal A, Tiwari RC, Murray T, et al. Cancer statistics, 2004. CA Cancer J Clin 2004;54:8–29.

9.

3.

DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA, eds. Cancer: Principles and Practice of Oncology. 6 th ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins, 2001:1841–91.

Hoekstra HJ, Thijssens K, Van Ginkel RJ. Role of surgery as primary treatment and as intervention in the multidisciplinary treatment of soft tissue sarcoma. Ann Oncol 2004; 15(Suppl 4):iv181–6.

10.

Kaushal A, Citrin D. The Role of Radiation Therapy in the Management of Sarcomas. Surg Clin N Am 88 (2008) 629-46.

11.

Soft Tissue Sarcoma (NCCN Guidelines). Washington: National Comprehensive Cancer Network 2014.

12.

Ramanathan RC, A’Hern R, Fisher C, Thomas JM. Modified staging system for extremity soft tissue sarcomas. Ann Surg Oncol 1999;6: 57–69.

4.

Connier J, Pollock R. Soft Tissue Sarcomas, 2004. Ca Cancer J Clin 2004;54:94-109.

5.

Pisters P. Ezinger and Weiss’s Soft Tissue Tumors, 6 th ed. Philadelphia, PA:Saunders, 2014:11-23.

6.

Tzeng C, Smith K, Heslin M. Soft Tissue Sarcoma: Preoperative and Postoperative Imaging for Staging. Surg Oncol Clin N Am 16 (2007) 389–402.

7.

Levine EA. Prognostic factors in soft tissue sarcoma. Semin Surg Oncol 1999;17.

Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5(1) Jan 2014:34-41

13.

Alektiar KM, Brennan MF, Healey JH, et al. Impact of intensity-modulated radiation therapy on local control in primary soft-tissue sarcoma of the extremity. J Clin Oncol 2008;26:3440e3444.

14.

Davis AM, O’Sullivan B, Turcotte R, et al. Late radiation morbidity following randomization to preoperative versus postoperative radiotherapy in extremity soft tissue sarcoma. Radiother Oncol 2005;75(1):48–53.

15.

Haas R, DeLaney T, O’Sullivan B etal. Radiotherapy for Management of Extremity Soft Tissue Sarcomas: Why, When, and Where? 2012. Int J Radiation Oncol Biol Phys, Vol. 84, No. 3, pp. 572-80.

16.

O’Sullivan, Dickie C. Target Volume Delineation and Field Setup. New York: Springer. 2013. p277-86.

17.

Nag S, Shasha D, Janjan N, et al. The American Brachytherapy Society recommendations for brachytherapy of soft tissue sarcomas. Int J Radiat Oncol Biol Phys 2001;49(4):1033–43.

41

Radioterapi & Onkologi Indonesia

Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society

UCAPAN TERIMAKASIH Redaksi majalah Radioterapi & Onkologi Indonesia mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggitingginya kepada Mitra Bestari atas kontribusinya pada penerbitan volume 5 Issue 1 tahun 2014 : Prof. DR. Dr. Soehartati, Sp.Rad (K.) Onk.Rad

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. H.M. Djakaria, Sp.Rad (K.) Onk.Rad

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

INDEKS PENULIS

A Aida Lufti Huswatun

Radioter Onkol Indones 2014;5(1):9-15

Arry Setyawan

Radioter Onkol Indones 2014;5(1):25-33

F Faisal Adam

Radioter Onkol Indones 2014;5(1):1-8

R Rhandyka Rafli

Radioter Onkol Indones 2014;5(1):16-24

S Sigit Wirawan

Volume 5 Issue 1 January 2014

Radioter Onkol Indones 2013;4(2):34-41

ISSN 2086-9223

Future Brachytherapy treatment with adaptive image-guided 3D technic will enable higher accuracy and precision for superior clinical results