Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan RI Tentang

makalah ilmiah. Hasil dari ... Produk obat-obatan yang selama ini diproduksi oleh 198 pabrik obat, 4 di antaranya merupakan 4 BUMN, 31 perusahaan PMA,...

13 downloads 467 Views 334KB Size
Case Study : Pembuatan Kebijakan Kesehatan

Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2008

Daftar Isi Kata Pengantar ........................................................................................................... i Problem Overiew........................................................................................................ 1 Pertanyaan ................................................................................................................ 1 BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 2 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 2 BAB II ANALISA SITUASI ...................................................................................... 5 2.1 Analisa Situasi.............................................................................................. 5 2.1.1 Dasar Hukum ........................................................................................ 5 2.1.2 Pelaku Distribusi Sediaan Farmasi .......................................................... 5 2.2 Permasalahan .............................................................................................. 6 2.3 Analisa Pemecahan Masalah......................................................................... 6 BAB III ANALISA PEMBUATAN KEBIJAKAN........................................................... 7 3.1 Aktor / Pelaku............................................................................................... 7 3.1.1 Tabulasi Aktor........................................................................................ 7 3.1.2 Kekuatan dan Kepentingan Aktor ............................................................ 7 3.1.3 Analisa Potensial Aktor........................................................................... 8 3.2 Konteks / Kontekstual.................................................................................... 8 3.3 Kontent / Muatan .......................................................................................... 9 3.4 Process / Proses .......................................................................................... 9 Pertanyaan .............................................................................................................. 11 Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Ri Tentang Distribusi Sediaan Farmasi di Indonesia ................................................................................................................ 12 Kesimpulan.............................................................................................................. 17 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan memudahkan proses belajar mengajar di Universitas Indonesia, khususnya untuk Topik Kebijakan Kesehatan, penulis membuat Seri Studi Kasus tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan. Studi kasus ini dikembangkan dari kegiatan belajar mengajar berbagai Mata Ajaran di tingkat Pascasarjana dan Sarjana tentang Kebijakan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Sebagai penanggung jawab Mata ajaran tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan di lingkungan FKM UI, penulis merasa perlu untuk menyusun Studi Kasus ini agar dapat merangsang kreativitas dan memberikan perspektif yang komprehensif dan luas sambil mengasah daya nalar yang kritis dari setiap mahasiswa dalam mempelajari berbagai aspek dalam pembuatan kebijakan publik di sektor kesehatan. Seluruh topik dan format, serta sebagian isi yang ada pada Seri Studi Kasus ini penulis susun sebagai penugasan pada mahasiswa untuk selanjutnya dielaborasi menjadi sebuah makalah ilmiah. Hasil dari penyusunan makalah ilmiah ini penulis sempurnakan menjadi Studi Kasus untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran topik Pembuatan Kebijakan Kesehatan terutama di lingkungan Universitas Indonesia. Adanya kelengkapan struktur Studi Kasus yang meliputi: Naskah Akademik & Draft Pasal Peraturan Perundangan yang diusulkan. Naskah Akademik memuat substansi: Pendahuluan, Tinjauan Masalah, Landasan Hukum, Materi Muatan, Penutup, Daftar Pustaka. Struktur ini diharapkan dapat membantu mahasiswa menyusun sebuah kebijakan berdasarkan masalah kesehatan masyarakat (Public Health problem-based) yang dilengkapi dengan sintesis & analisis, dikemas berdasarkan teori dan perspektif ilmiah dalam sebuah Naskah Akademik, dan kemudian diuraikan dalam konstruksi sebuah Draft Peraturan Perundangan. Kepustakaan utama yang digunakan dalam penyusunan Studi Kasus ini adalah Sistem Kesehatan, Wiku Adisasmito (2007), Making Health Policy, Kent Buse, et al (2006), The Health Care Policy Process, Carol Barker (1996), Health Policy, An Introduction to Process and Power, Gill Walt (1994), dan UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Dengan demikian diharapkan studi kasus ini dapat memberikan materi komplit yang diperlukan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar. Penulis ucapkan terima kasih kepada Sdr Subur Wicaksono, Irya Yohannes, dan Saudi Aryanto, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKM UI Angkatan 2006/2007 yang telah membantu menyusun makalah yang kemudian makalah tersebut dimodivikasi oleh penulis sebagai studi kasus. Mohon maaf apabila ada kekurangan / kesalahan dalam penyusunan materi Studi Kasus ini. Kritik dan saran akan membantu penulis dalam upaya meningkatkan kualitas Studi Kasus ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan ridlo Illahi dalam menuntut ilmu agar bermanfaat. Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Depok, 27 Februari 2008

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

i

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi Oleh: Wiku Adisasmito, Subur Wicaksono, Irya Yohannes, dan Saudi Aryanto.

Problem Overiew Meski tahun 2003 pasar produk-produk farmasi diperkirakan tumbuh sekitar 20%, namun daya beli masyarakat sudah sangat menurun. Produk obatobatan yang selama ini diproduksi oleh 198 pabrik obat, 4 di antaranya merupakan 4 BUMN, 31 perusahaan PMA, dan sisanya adalah PMDN. Kondisi industri farmasi nasional sekarang ini terasa sangat timpang, dengan hanya 198 pabrik obat, jumlah distributornya (PBF-Pedagang Besar Farmasi) ada sebanyak 2.250, yang berarti 1 pabrik obat rata-rata berhadapan dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF) berhadapan dengan 2,3 apotek. Ketimpangan tersebut seperti sebuah piramid terbalik, dimana untuk mencapai economic of scale atau efisiensi, seharusnya jumlah distributor nasional jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pabriknya. Kondisi ini pula yang justru menjadikan PBF lokal, terutama yang tidak memiliki bentuk kerja sama, misalnya sebagai ‘distributor tunggal’ atau ‘sub distributor’, tidak lagi mampu bersaing. Drs. Richard Panjaitan,Apt.S.KM Dirjend Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI dalam pertemuan perencanaan kesehatan nasional tahun 2006 memaparkan bahwa terdapat beberapa isu yang harus diantisipasi dalam penggunaan obat salah satu diantaranya adalah pergeseran nilai sosial obat ke arah komoditas bisnis, mengakibatkan kepentingan pasien dapat terabaikan, tidak berdasarkan evidence based treatment sehingga tidak rasional.

Pertanyaan 1. Apa yang melatarbelakangi pembuatan naskah akademik tersebut? 2. Apa yang menjadi tujuan pembuatan naskah akademik tersebut? 3. Apa landasan konstitusional dan landasan hukum lainnya yang mendasarinya?

1

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi hak dasar rakyat, yaitu untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. (RPJM 2004-2009;2004). Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi Bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun Pemerintah yang dilaksanakan dalam sistem kesehatan. Kesehatan seharusnya dipandang oleh para “Policy maker” sebagai hak azasi manusia, barang konsumsi dan sebuah investasi. Pengertian kesehatan sebagai hak azasi manusia berarti peranan pemerintah yang kuat untuk mengatasi masalah untuk tercapainya kesehatan seperti kemiskinan, kegiatan pembangunan yang merusak kesehatan, mempromosikan pemerataan pelayanan kesehatan dan menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang bermutu.(Proposal Kota Pagar Alam Sehat 2008;2004) Kebijakan prioritas program obat dan perbekalan kesehatan bertujuan untuk: 1). Menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan; 2). Melindungi masyarakat dari penggunaan obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi standar mutu, kemanfaatan, keamanan, dan kerasionalan; 3). Meningkatkan mutu pelayanan farmasi komunitas dan farmasi Rumah Sakit dalam kerangka pelayanan kesehatan komprehensif yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang profesional. (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan). Kebijakan prioritas tahun 2007 program obat dan perbekalan kesehatan antara lain dilakukan dengan: 1). Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan khususnya di sektor publik yang lengkap baik jenis, jumlah cukup, dan mudah diperoleh setiap saat dengan harga terjangkau dan kualitas terjamin; 2). Perlindungan penggunaan obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi standar mutu, kemanfaatan, keamanan dan kerasionalan; 3). Penyelenggaraan pelayanan farmasi yang berkualitas melalui penerapan jabatan fungsional apoteker dan asisten apoteker serta pelaksanaan pendidikan berkelanjutan; 4). Penyelenggaraan pembinaan, advokasi dan promosi penggunaan obat rasional melalui pengembangan sumber daya kesehatan yang tersedia. (Drs. Richard Panjaitan, Apt.S.KM Dirjend Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI disampaikan dalam pertemuan perencanaan kesehatan nasional tahun 2006.) Pembiayaan Obat melalui dana APBN pada tahun 2005 sebesar Rp396.640.284, tahun 2006 Rp628.190.854, dan tahun 2007 Rp663.074.900. pembiayaan obat tersebut dilakukan melalui Tugas Pembantuan (TP), Dekonsentrasi, dan Depkes. (Drs. Richard Panjaitan,Apt.S.KM Dirjend Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI disampaikan dalam pertemuan perencanaan kesehatan nasional tahun 2006.) Industri farmasi di Indonesia selama 30 tahun terakhir ini tidak banyak mengalami perubahan jika dilihat dari sudut pandang dunia. Pasar farmasi Indonesia pada tahun 2002

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

2

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

adalah sebesar Rp15 triliun, berada di bawah satu persen dari pasar farmasi dunia. Oleh sebab itu, di dunia farmasi Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang besar dari perusahaan multinasional. Pelaku-pelaku lokal, komposisi pasar, serta perkembangan teknologi di bidang industri obat pun tidak banyak berubah dan tidak ada kemajuan yang berarti di bidang R&D di dalam negeri. Pada tahun 2003-2004 ini pasar diperkirakan akan tumbuh sekitar 20% meskipun daya beli masyarakat sudah sangat menurun. Total jumlah produsen farmasi adalah 198 pabrik yang terdiri dari 4 BUMN, 31 PMA, dan sisanya adalah PMDN. Dari jumlah ini, sebanyak 60 pabrik obat menguasai lebih dari 80% total pasar, sedangkan sisanya 20% diperebutkan 140 pabrik. Industri penanaman modal asing (PMA) mulai terlihat kembali mengalami kejayaan di saat mereka menguasai pasar hampir 50%. Kecenderungan ini akan semakin nyata dengan makin bertambahnya proses merger dan acquisition (M&A) di dunia di mana proses ini membuat mereka semakin kokoh. Menurut sesepuh farmasi Indonesia, Dr Boenjamin Setiawan PhD, perusahaan multinasional yang mencengkeram bangsa pasar Indonesia ini mempunyai ciri-ciri mampu melakukan kegiatan R&D intensif dengan mengalokasikan dana R&D hingga 10% dari penjualan. Dibukanya pasar AFTA (harmonisasi di bidang perdagangan ASEAN) tahun 2003 ini tentunya berbagai kebijakan pemerintah yang selama ini membuat industri farmasi kita terenakkan akan lambat laun terhapuskan. Iklim kompetisi akan berlangsung semakin ketat. Pasar AFTA penuh dengan berbagai persyaratan, seperti pelaksanaan current-GMP (c-GMP) dan diharuskan adanya penelitian terhadap BABE Studies (Bioavailability– Bioequivalence) untuk obat-obat tertentu yang mau dipasarkan di negara-negara ASEAN. Era pasar AFTA ini akan merupakan suatu peluang atau ancaman bagi industri farmasi di Indonesia. Menjadi peluang bagi pabrik-pabrik di Indonesia apabila sudah siap terhadap persyaratan-persyaratan tersebut, tetapi bisa juga menjadi ancaman bila dilihat masih belum terlalu banyaknya industri farmasi di Indonesia yang siap menghadapi pesaing regional ataupun pesaing global yang menggunakan salah satu negara ASEAN sebagai pijakan untuk masuk pasar Indonesia. Rasionalisasi obat jadi di negara-negara besar misalnya Norwegia, Australia dan Persemakmuran Inggris lainnya serta banyak negara Uni Eropah umumnya hanya memiliki beberapa ribu item obat dalam berbagai bentuk sediaan. Bandingkan dengan Indonesia dengan jumlah pabrik farmasi berkisar 200 pabrik dan jumlah yang terdaftar ±18.000 obat. Fragmentasi antara industri asing dan industri swasta nasional memicu banyaknya jumlah produk sejenis (me-too drugs). Sebagai contoh, amlodipine besylat yang akan habis periode patennya tahun 2007, tetapi kini telah hadir derivat lainnya yaitu amlodipine mesilat. Contoh lain yang lebih kontroversial misalnya Vit B1 (Thiamina) dengan beberapa derivat Vit B1 misalnya tiamina tetrahidrofurfuril, bisbultiamina, bisbentiamina, padahal secara farmakologis dan klinis obat ini memberikan efek yang sama dan tidak berbeda. Ini adalah ulah pabrik berlindung dibawah hak paten yang memberikan keuntungan besar tanpa faedah produk. Drs. Richard Panjaitan, Apt.S.KM Dirjend Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI dalam pertemuan perencanaan kesehatan nasional tahun 2006 memaparkan bahwa terdapat beberapa isu yang harus diantisipasi dalam penggunaan obat salah satu diantaranya adalah pergeseran nilai sosial obat ke arah komoditas bisnis, mengakibatkan kepentingan pasien dapat terabaikan, tidak berdasarkan evidence based treatment sehingga tidak rasional. Penggunaan obat yang tidak rasional yang hanya semata-mata bisnis terungkap berdasarkan beberapa sumber. ”Mr X.” seorang area manajer perusahaan farmasi asing

3

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

yang membawahi Sumbagsel menjelaskan bahwa sebenarnya yang membuat penggunaan obat tidak rasional salah satunya adalah ”Komunitas Medis” (Dokter, perawat, apoteker,dan Pemerintah). Persaingan dagang menjadi tidak sehat karena dokter, perawat, apoteker sama-sama memasang tarif, diperparah oleh tidak adanya aturan yang tegas dan mendasar dari pemerintah mengenai distribusi obat. Secara perhitungan kasar diluar Pajak PPN+PPH (11,5%), ditambah biaya promosi untuk dokter, perawat, dan apoteker (30%), maka total presentase yang harus ditanggung pasien adalah 41,5%, belum ditambah dengan keuntungan perusahaan, biaya promosi lewat berbagai materi dan media, biaya distribusi , keuntungan apotik (40%). Maka Jumlah perkiraan total biaya obat yang harus ditanggung oleh pasien adalah 81,5%. Ini terungkap melalui wawancara yang dilakukan kepada Mr X, seorang detailer pada sebuah perusahaan farmasi dalam negeri. Fakta diatas jelas-jelas mengakibatkan harga obat sangat tidak rasional ini juga diperparah oleh tidak adanya perhatian dari Pemerintah, ini dibuktikan dengan tidak adanya peraturan yang membatasinya.

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

4

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

BAB II ANALISA SITUASI

2.1 Analisa Situasi 2.1.1 Dasar Hukum Pada tahun 70-an obat didaftarkan berdasarkan surat Menteri Kesehatan No.125/Kab/B.VII/71 tentang peraturan Wajib Daftar Obat. Obat-obatan pada waktu itu ditandai dengan kode No.Reg. D (nomor pendek). Dasar hukum yang digunakan pada waktu itu antara lain adalah Undang-Undang No.9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan, Undang-Undang No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, Undang-Undang No.9 tahun 1976 tentang Narkotika dan UndangUndang obat keras. Di tahun 80-an, pendaftaran obat diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.389/MenKes/Per/K/80 tentang Kriteria Pendaftaraan obat Jadi. Di tahun 90-an pemerintah kembali merevisi peraturan tentang registrasi obat jadi yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No.242/Men.Kes./SK/V/1990 tentang Wajib Daftar Obat Jadi. Sistem pendaftaran obat-jadi ini mulai mempertimbangkan berbagai aspek sebelum obat tersebut diedarkan yaitu khasiat, keamanan dan mutu obat. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut dirangkum dalam “Kriteria Tata Cara Pendaftaran Obat Jadi”. Pada Tahun 2001, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan berubah menjadi Badan Pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan Kepress No.43. Tahun 2001. Tahun 2003, sistem registrasi obat berubah menjadi Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.HK.00.05.3.1950 (kontroversial) tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Sistem evaluasi registrasi ini menitikberatkan pada hal-hal perlindungan masyarakat terhadap peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan efikasi, keamanan, mutu dan kemanfaatan. 2.1.2 Pelaku Distribusi Sediaan Farmasi Secara umum berbagai pihak yang terkait dengan peredaran atau distribusi sediaan farmasi di Indonesia adalah sebagai berikut: a.

Medis (Dokter, Perawat, Bidan)

b.

Apoteker, Asisten Apoteker

c.

Perusahaan Farmasi, terdiri dari:  Perusahaan Farmasi Dalam Negeri  Perusahaan Farmasi Luar Negeri (IPMG)

d.

Pemerintah, terdiri dari:  Eksekutif (Presiden, Menko Kesra, Menkes, Dinkes TK I,II)  Legislatif (DPR, DPRD TK. I, DPRD II)  Yudikatif (Polisi, Kejaksaan)

5

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

e.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

f.

Lembaga Swadaya Masyarakat

g.

Organisasi Profesi, antara lain:    

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) PPNI ISFI IBI

2.2 Permasalahan Beberapa permasalahan yang harus doantisipasi dalam penggunaan obat antara lain: 1. Pada era desentralisasi pelayanan kesehatan menjadi salah satu aset sumber PAD; 2. Pergeseran nilai sosial obat ke arah komoditas bisnis, mengakibatkan kepentingan pasien dapat terabaikan; 3. Pengobatan tidak berdasarkan bukti/data ilmiah (evidence based treatment) sehingga tidak rasional. 2.3 Analisa Pemecahan Masalah Melihat permasalahan tersebut di atas maka terdapat beberapa cara untuk dapat mengatasinya antara lain dengan: 1. Penerapan DOEN dalam setiap upaya pelayanan kesehatan. 2. Penerapan pendekatan farmakoekonomi melalui analisis biaya efektif dengan biaya-biaya manfaat pada seleksi yang digunakan di semua tingkat pelayanan kesehatan. 3. Penerapan pelayanan kefarmasian yang baik, perubahan dari product oriented ke patient oriented. 4. Pemberdayaan masyarakat melalui KIE. Dari analisis pemecahan masalah tersebut di atas maka salah satu cara untuk dapat menyelesaikan masalah secara paripurna adalah dengan membuat peraturan tentang distribusi sediaan farmasi.

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

6

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

BAB III ANALISA PEMBUATAN KEBIJAKAN 3.1 Aktor / Pelaku 3.1.1 Tabulasi Aktor Secara umum dapat digambarkan bahwa aktor dalam distribusi obat di Indonesia dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut: No 1. 2. 3. 4. 5.

6. 7. 8.

AKTOR Pedagang Besar Farmasi / Distributor Medis (Dokter, Perawat, Bidan) Apoteker, Asisten Apoteker Perusahaan Farmasi a. Perusahaan Farmasi Dalam Negeri b. Perusahaan Farmasi Luar Negeri (IPMG) Pemerintah a. Eksekutif (Presiden, Menko Kesra, Menkes, Gubernur, Bupati/Walikota, Dinkes TK I,II) b. Legislatif (DPR, DPRD TK. I, DPRD II) c. Yudikatif (Polisi, Kejaksaan) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Lembaga Swadaya Masyarakat Organisasi Profesi (IDI, PPNI, IBI, IAKMI, ISFI)

3.1.2 Kekuatan dan Kepentingan Aktor Setelah ditabulasikan, maka para aktor tersebut dipetakan dengan melihat pada kekuatan dan kepemimpinan daripada aktor dalam membuat sebuah kebijakan. Secara umum tabulasi dari aktor dalam pembuatan kebijakan Distribusi sediaan farmasi di Indonesia adalah sebagai berikut: KEKUATAN DAN KEPEMIMPINAN AKTOR KELOMPOK I

KELOMPOK II

KELOMPOK III

Leadership/

Leadership/

No Leadership/

High Power

Medium Power

Medium – High Power

1. Presiden

1.

Balai POM

1. PBF / Distributor

2. Menko Kesra

2.

Gubernur

2. Medis (Dokter, Perawat,

3. Menteri Kesehatan

3.

Dinkes TK I

4. DPR

4.

Bupati/Walikota

5. Pabrik/Industri Farmasi

5.

Dinkes TK II

6. Organisasi Profesi

6.

DPRD TK I

IDI, PPNI, ISFI, IBI

7.

DPRD TK II

7. YLKI 8. LSM

7

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Bidan) 3. Apoteker, Asisten Apoteker

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

Selanjutnya ditabulasikan kembali untuk melihat pengetahuan dari aktor dalam pengambilan kebijakan distribusi obat sebagai berikut: Pengetahuan Aktor TINGKAT PENGETAHUAN STAKE HOLDERS KELOMPOK I

KELOMPOK II

KELOMPOK III

RENDAH

MENENGAH

TINGGI

(Prioritas Untuk Advokasi)

1. Organisasi Profesi

1.

Menteri Kesehatan

IDI, PPNI, ISFI, IBI

2.

Balai POM

3. Gubernur

3.

Dinkes TK I

4. Bupati/Walikota

4.

Dinkes TK II

5. DPR

5.

Pabrik/Industri Farmasi (Asosiasi Industri Farmasi Luar Negeri dan Dalam Negeri

7. DPRD TK II

6.

PBF / Distributor

8. YLKI

7.

Medis (Dokter, Perawat,

1. Presiden 2. Menko Kesra

6. DPRD TK I

9. LSM

Bi

bidan) 8. Apoteker, Asisten Apoteker

3.1.3 Analisa Potensial Aktor Setelah dilakukan Tabulasi aktor dalam hal kepemimpinan dan pengetahuan maka dianalisa aktor mana yang paling potensial untuk dapat melakukan kebijakan dalam pengaturan distribusi obat di Indonesia. Setelah ditabulasikan maka terlihat bahwa dalam pengaturan distribusi obat tersebut terdapat kelompok yang potensial untuk bisa membuat kebijakan yaitu Menteri Kesehatan, dan Pabrik/Industri Farmasi.

KELOMPOK I TINGGI Leadership-High Power-High Knowledge (Prioritas Untuk Membuat Kebijakan) 1. 2.

ANALISA POTENSIAL AKTOR KELOMPOK II MENENGAH Leadership-Medium PowerMedium Knowledge

Menteri Kesehatan Pabrik/Industri Farmasi (Asosiasi Industri Farmasi Luar Negeri dan Dalam Negeri

1. Organisasi Profesi IDI, PPNI, ISFI, IBI

KELOMPOK III RENDAH No Leadership-Medium Power-Low Knowledge

-

3.2 Konteks / Kontekstual Beberapa permasalahan yang harus diantisipasi dalam penggunaan obat antara lain: Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

8

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

1. Pergeseran nilai sosial obat ke arah komoditas bisnis, mengakibatkan kepentingan pasien dapat terabaikan; 2. Pengobatan tidak berdasarkan bukti/data ilmiah (evidence based treatment) sehingga tidak rasional. Melihat permasalahan di atas, maka konteks dari kebijakan yang akan dibuat secara umum adalah pembatasan kegiatan promosi dan distribusi farmasi yang mengakibatkan masyarakat umum menanggung akibatnya, yaitu dengan: 1. Pembatasan Pengusaha Farmasi. 2. Pembatasan Medical spesialist (dokter, perawat, bidan). 3. Pembatasan Apoteker, asisten apoteker. 4. Pemberian sanksi dan denda bagi yang melanggar.

3.3 Kontent / Muatan Muatan dari kebijakan distribusi obat di indonesia yang akan dibuat mencakup: 1. BAB I KETENTUAN UMUM Mengatur ketentuan-ketentuan umum dalam distribusi farmasi. 2. BAB II DISTRIBUSI SEDIAAN FARMASI Mengatur tentang batasan-batasan dalam distribusi sediaan farmasi. 3. BAB III KETENTUAN BIAYA DISTRIBUSI SEDIAAN FARMASI Mengatur ketentuan-ketentuan tentang besaran keuntungan yang diambil dalam distribusi sediaan farmasi. 4. BAB IV KETENTUAN DENDA Mengatur penegakan sanksi baik hukuman pidana atau perdata jika ada yang melanggar ketentuan yang ada. 5. BAB V KETENTUAN PENUTUP Mengatur ketentuan-ketentuan dalam rangka pemberlakuan peraturan.

3.4 Process / Proses Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan berdasarkan analisa Aktor, Konteks, dan Konten, maka dapat ditabulasikan bentuk rancangan daripada peraturan yang akan dibuat sebagai berikut: PEMBUAT KEBIJAKAN 1.

9

Menteri Kesehatan

BENTUK RANCANGAN PERATURAN BENTUK RANCANGAN PERATURAN 1. Permenkes 2. SK Menkes 3. SE Menkes

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

KELEBIHAN/ KEKURANGAN Luas, Mengikat Luas, Tidak mengikat Luas, Tidak mengikat

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

2.

Pabrik/Industri Farmasi (Asosiasi Industri Farmasi Luar Negeri dan Dalam Negeri

1. AD/ART 2. Edaran

Terbatas pada Anggota Asosiasi, tidak mempunyai dampak hukum Terbatas pada Anggota Asosiasi, tidak mempunyai dampak hukum

Setelah ditetapkan pemilihan alternatif kebijakan yaitu dengan membuat Peraturan Menteri Kesehatan RI Tentang Distribusi Obat di Indonesia dengan alasan bahwa dengan peraturan menteri bersifat mengikat dan berlaku secara luas jika dibandingkan dengan dibuatnya aturan ataupun edaran dari asosiasi pengusaha farmasi yang hanya berlaku parsial bagi anggotanya saja, maka disusunlah peraturan dengan melalui proses sebagai berikut: PROSES PENYUSUNAN PERMENKES RI TENTANG DISTRIBUSI SEDIAAN FARMASI DI INDONESIA PERMENKES RI Tentang DISTRIBUSI SEDIAAN FARMASI DI INDONESIA

MENKES RI

RANCANGAN PERATURAN SEKJEND DEPKES RI

RANCANGAN PERATURAN BIRO HUKUM DEPKES RI

RANCANGAN PERATURAN DIRJEN YANFAR DEPKES RI

PELAKU FARMASI

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

10

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

Pertanyaan

1. Bentuk rancangan kebijakan apa yang perlu dibuat dalam konteks tersebut di atas? 2. Bagaimana Kerangka Pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang diperlukan? 3. Materi muatan apa saja yang diatur? 4. Apakah format yang sudah sesuai dengan aturan sistematika penyusunan peraturan perundangan? 5. Apakah rancangan kebijakan sudah aspiratif sesuai dengan masalah yang ada? 6. Apakah ada korelasi antara naskah akademik dengan rancangan kebijakan yang dibuat?

11

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Ri Tentang Distribusi Sediaan Farmasi di Indonesia

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR . ……. TAHUN 2007 TENTANG DISTRIBUSI SEDIAAN FARMASI DI INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang :

Mengingat :

a.

bahwa dalam rangka menunjang pembangunan nasional bidang kesehatan dengan menekan harga obat dalam rangka kepentingan masyarakat luas serta menjaga persaingan usaha yang sehat perlu dikembangkan iklim yang baik mengenai distribusi sediaan farmasi di Indonesia;

b.

bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas perlu diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia;

1. 2.

Pasal 5 , ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068); Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2580); Peraturan Menteri Kesehatan No.389/MenKes/Per/K/80.tentang Kriteria Pendaftaraan obat Jadi; Peraturan Menteri Kesehatan No.242/MenKes/SK/V/1990 tentang Wajib Daftar Obat Jadi; Keputusan Menteri Kesehatan RI No.437/MenKes/SK/VI/1987 Tanggal 11 Juni 1987, Tentang Pelarangan pemberian sampel produk farmasi kepada tenaga medis; Surat Menteri Kesehatan No.125/Kab/B.VII/71. tentang peraturan Wajib Daftar Obat; Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.HK.00.05.3.1950 Tahun 2003 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.

3. 4. 5. 6. 7. 8.

MEMUTUSKAN Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG DISTRIBUSI SEDIAAN FARMASI DI INDONESIA

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

12

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Menteri Kesehatan adalah menteri yang bertanggung jawab atas pelaksanaan distribusi sediaan farmasi; 2. Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah sebuah unit di bawah koordinasi Menteri kesehatan yang bertugas memberikan pengawasan terhadap distribusi sediaan farmasi; 3. Pabrik/Pengusaha Sediaan Farmasi adalah perusahaan berbadan hukum sah baik kepemilikan luar negeri ataupun dalam negeri yang mengolah, membuat bahan setengah jadi menjadi bahan jadi dalam hal ini adalah sediaan farmasi; 4. Pedagang Besar Farmasi atau PBF adalah perusahaan dagang yang sah secara hukum dan melakukan jual beli sediaan farmasi; 5. Apotik adalah pengecer sediaan farmasi; 6. Apotek rakyat adalah pengecer sediaan farmasi dengan batasan-batasan penjualan dan penyimpanan sediaan farmasi; 7. Toko obat adalah pengecer sediaan farmasi dengan batasan penjualan dan penyimpanan sediaan farmasi khusus obat non resep; 8. Distribusi adalah seluruh kegiatan penyebaran, promosi, pengiriman, dan penjualan dari sediaan farmasi; 9. Sediaan farmasi adalah semua jenis produk biologis atau farmakologi yang digunakan untuk diagnosis, pengobatan atau pencegahan penyakit pada manusia; 10. Promosi berarti semua aktivitas yang diselenggarakan oleh perusahaan farmasi yang ditujukan kepada tenaga kesehatan untuk memperkenalkan, merekomendasikan, menyuplai, administrasi, dari produk farmasi melalui berbagai media termasuk internet; 11. Tenaga medis profesional adalah terdiri dari dokter, apoteker,asisten apoteker, perawat, bidan, atau orang yang dapat secara profesional meresepkan, merekomendasikan, membeli, menyuplai barang-barang farmasi. Pasal 2 Pancasila adalah merupakan sumber dari segala hukum negara. BAB II DISTRIBUSI SEDIAAN FARMASI (1)

Pasal 3 Pemberian informasi produk farmasi harus objektif, akurat, dan berdasarkan bukti yang nyata;

(2)

Pemberian bukti nyata produk farmasi harus berdasarkan penelitian yang relevan dan ilmiah;

13

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

(3)

Permintaan data tentang informasi produk farmasi oleh tenaga medis profesional harus direspon oleh perusahaan farmasi paling lambat 3 (tiga) bulan. Pasal 4

(1)

Data tentang informasi produk farmasi harus mencantumkan manfaat dan efek samping;

(2)

Data informasi Produk telah diperiksa oleh Menteri Kesehatan melalui Balai Pengawas Obat dan Makanan. Pasal 5

(1)

Antar perusahaan farmasi tidak diperbolehkan memperbanyak data informasi tentang produk farmasinya dalam rangka menjaga agar tidak terjadi kesalahan informasi;

(2)

Antar perusahaan farmasi diperbolehkan membandingkan keunggulan dari masing-masing informasi produk asalkan tetap menjunjung tinggi asas objektif dan sesuai dengan fakta disertai bukti ilmiah. Pasal 6

(1)

Nama atau inisial dari petugas kesehatan profesional sama sekali tidak boleh digunakan untuk kegiatan promosi dalam bentuk apapun kecuali untuk kegiatan yang murni ilmiah;

(2)

Perusahaan farmasi tidak diperbolehkan memberikan gratifikasi dalam bentuk apapun kecuali untuk kegiatan ilmiah seperti seminar, workshop. BAB III KETENTUAN BIAYA DISTRIBUSI SEDIAAN FARMASI Pasal 7

(1)

Biaya peredaran sediaan farmasi dari tingkat pabrik ke PBF adalah maksimal 15 (lima belas) % persen dari harga produksi;

(2)

Biaya tersebut dikurangi dengan biaya PPH dan PPN. Pasal 8

(1)

Biaya peredaran sediaan farmasi dari tingkat PBF ke Apotik, apotik rakyat, dan toko obat adalah maksimal 15 (lima belas) % persen;

(2)

Biaya tersebut dikurangi dengan biaya PPH dan PPN. Pasal 9

(1)

Biaya peredaran sediaan farmasi dari tingkat Apotik, apotik rakyat, dan toko obat, ke masyarakat adalah maksimal 15 (lima belas) % persen;

(2)

Biaya tersebut dikurangi dengan biaya PPH dan PPN. BAB IV KETENTUAN DENDA Pasal 10

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

14

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

(1)

Perusahaan/pabrik Farmasi yang diketahui dan terbukti secara sah melanggar ketentuan sebagaimana tersebut pada pasal 7 ayat 1 dan 2, maka perusahaan tersebut akan diberikan sanksi administratif dan pidana;

(2)

Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali;

(3)

Jika sampai dengan peringatan ketiga perusahaan tidak mengindahkan, maka akan dikenai denda maksimal sebesar Rp5.0000.000,- (lima milyar rupiah) dan atau kurungan setinggi-tingginya 10 (sepuluh) tahun. Pasal 11

(1)

PBF yang diketahui dan terbukti secara sah melanggar ketentuan sebagaimana tersebut pada pasal 8 ayat 1 dan 2, maka perusahaan tersebut akan diberikan sanksi administratif dan pidana;

(2)

Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali;

(3)

Jika sampai dengan peringatan ketiga PBF tidak mengindahkan, maka akan dikenai denda maksimal sebesar Rp2.0000.000,- (dua milyar rupiah) dan atau kurungan setinggi-tingginya 5 (lima) tahun. Pasal 12

(1)

Apotik/Apotik Rakyat/Toko Obat yang diketahui dan terbukti secara sah melanggar ketentuan sebagaimana tersebut pada pasal 9 ayat 1 dan 2, maka perusahaan tersebut akan diberikan sanksi administratif dan pidana;

(2)

Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali;

(3)

Jika sampai dengan peringatan ketiga PBF tidak mengindahkan, maka akan dikenai denda maksimal sebesar Rp1.0000.000,- (Satu milyar rupiah) dan atau kurungan setinggi-tingginya 3(tiga) tahun. Pasal 13

(1)

Tenaga kesehatan profesional yang diketahui dan terbukti secara sah melanggar ketentuan sebagaimana tersebut pada pasal 6 ayat 1, maka yang bersangkutan tersebut akan diberikan sanksi administratif dan pidana;

(2)

Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali;

(3)

Jika sampai dengan peringatan ketiga yang bersangkutan tidak mengindahkan, maka akan dikenai denda maksimal sebesar Rp200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah) dan atau kurungan setinggi-tingginya 2 (dua) tahun. Pasal 14

(1)

Pemberian sanksi administratif dan pidana kepada yang melanggar ketentuan akan dilakukan oleh Dewan Etik Sediaan Farmasi;

(2)

Pembentukan Dewan Etik Peredaran farmasi akan diputuskan kemudian. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 15

15

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

Semua Peraturan Menteri Kesehatan yang ada yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum keputusan ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini. Pasal 16 Peraturan Menteri Kesehatan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Kesehatan ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada Tanggal 4 Juni 2007 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Ttd dr. SITI FADILLAH SUPARI,Sp.JP

Diundangkan di Jakarta Pada Tanggal 4 Juni 2007 Biro Hukum Departemen Kesehatan RI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 007

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

16

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

Kesimpulan

Penjaminan disribusi sediaan farmasi sangat penting dalam menekan harga obat dalam rangka kepentingan masyarakat luas serta menjaga persaingan usaha yang sehat perlu dikembangkan iklim yang baik mengenai distribusi sediaan farmasi di Indonesia. Untuk itu diperlukan keterllibatan pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan untuk menjamin distribusi sediaan farmasi di Indonesia dalam sebuah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

17

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Case Studi: Rancangan Peraturan MenKes RI Tentang Distribusi Sediaan Farmasi

DAFTAR PUSTAKA

1.

Negara Republik Indonesia.Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009; Jakarta 2004.

2.Dinas Kesehatan Kota Pagar Alam ; Proposal Kota Pagar Alam Sehat 2008; Pagar Alam 2004. 3.Richard Panjaitan,Drs. Apt.S.KM Dirjend Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI pertemuan perencanaan kesehatan nasional tahun 2006; Jakarta 2006 4.Iwan Darmansjah Prof. Rasionalisasi Obat Yang beredar; Jakarta 2006 5.Wiku adisasmito, Dr.dr.Phd, Stakeholder Analisis, materi Kuliah Pembuatan Kebijakan Kesehatan, Pasca Sarjana FKM UI. Jakarta 2007 6.Negara Republik Indonesia ; UU RI Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 2004 7.Ede Surya Darmawan, S.KM,M.KES, Stakeholder Analisis, , Pasca Sarjana FKM UI. Jakarta 2007

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

18