REPOSISI FUNGSI LEMBAGA KEUANGAN BANK DAN NON BANK DALAM UPAYA

Download Venusita, Reposisi Fungsi Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank. 67 ... 68 Jurnal Akuntansi Aktual, Vol. ... Lembaga keuangan bank maupun non ...

0 downloads 458 Views 51KB Size
Venusita, Reposisi Fungsi Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank

67

REPOSISI FUNGSI LEMBAGA KEUANGAN BANK DAN NON BANK DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN EKONOMI KERAKYATAN, PENERAPANGOOD GOVERNANCE DAN PENGEMBANGAN OTONOMI DAERAH Lintang Venusita Universitas Negeri Surabaya Email: [email protected]

Abstract. Most financial institutions and non-bank banks have established microfinance institutions channel funds to capital for micro, small and medium enterprises, but not all of relief can be absorbed by the micro small and medium enterprises in rural and urban outskirts are still in dire need capital assistance and guidance in order to develop their business. Most of the assistance is directed at providing capital assistance tailored to guarantee loans owned by the business community. This certainly can not touch the capital needs of the micro small and medium enterprises that have no collateral, so they seek alternative funding to meet their capital needs. In addition to capital, business management and skills and mastery of technology is still very low. Therefore, community economic development in the governmental system of regional autonomy not only the responsibility of government alone, but also involves other business such as banks and financial institutions that make up the non-bank microfinance institutions. Besides that local governments can also provide skills training and use of technology that is easy and inexpensive implemented through relevant agencies. Implementation of any local government program for community economic development must be consistent and based on the practices of government that reflects the values of good governance namely transparency, accountability, responsibility, independency and fairness. Keywords: community economic empowerment, decentralization, good governance

Perkembangan paradigma dan orientasi pembangunan kearah kemandirian suatu daerah menuntut daerah tersebut melakukan percepatan pertumbuhan pembangunan. Hal ini sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sehingga menuntut masingmasing daerah untuk mempersiapkan segala potensi, kemampuan dan infrastruktur daerah untuk mencapai keberhasilan otonomi daerah. Tidak hanya otonomi daerah yang dituntut kepada para pimpinan daerah melainkan juga dibangunnya suatu sistem pemerintahan daerah yang berbasis good governance. Kemandirian daerah dalam mencapai otonomi daerah tentunya tidak terlepas dari sistem pembangunan nasional secara keseluruhan. Pembangunan nasional diarahkan untuk melakukan proses transformasi struktur ekonomi dari pendekatan agraris ke pola industrial, yang mengharapkan pencapaian 67

ekonomi modern di dalam kerangka perumusan strategi pembangunan jangka panjang. Pola pembangunan yang beralih dari agraris ke industrial ini tidak hanya berlaku bagi para pelaku bisnis berskala besar dalam hal ini perusahaan yang beraset besar saja tetapi juga para pelaku bisnis berskala kecil yang dikelompokkan dalam unit usaha mikro. Masing-masing pelaku ekonomi ini dapat menjalankan peran sertanya dalam upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan dalam sistem pemerintahan otonomi daerah yang sejalan dengan nuansagood governance. Namun tidak semua pelaku bisnis baik perusahaan yang berskala kecil maupun besar telah berperan serta dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Hal ini disebabkan belum adanya aturan yang mewajibkan para pelaku bisnis untuk berpartisipasi

68

Jurnal Akuntansi Aktual, Vol. 2, Nomor 2, Juni 2013, hlm. 67–75

dalam pengembangan ekonomi kerakyatan. Selain itu kurangnya perhatian pemerintah terhadap keikutsertaan pengembangan ekonomi kerakyatan. Terdapat beberapa perusahaan yang peduli terhadap eksistensi ekonomi kerakyatan, diantaranya lembaga perbankan baik milik pemerintah maupun swasta seperti Bank Rakyat Indonesia yang membentuk BRI Kredit Mikro, Bank Mandiri Kredit Mikro dan Bank Danamon Mikro. Lembaga keuangan bank tersebut telah menyalurkan sejumlah bantuan permodalan kepada para pelaku ekonomi kerakyatan dengan mengedepankan ketersediaan jaminan yang dimiliki oleh pengusaha kecil. Bentuk kemitraan ini masih sebatas pemberian modal semata namun masih belum nampak adanya pembinaan dan pemberian ketrampilan dan keahlian agar para pelaku ekonomi kerakyatan dapat lebih mendiri lagi dalam menjalankan usahanya. Bahkan terjadi kecenderungan dalam pemberian pinjaman modal hanya sebatas bantuan financial yang berlangsung dalam jangka pendek semacam suntikan dana. Padahal pelaku ekonomi kerakyatan tidak hanya memerlukan kucuran dana segar dalam jangka pendek melainkan pula pembinaan terhadap eksistensi ekonomi kerakyatan yang bukan hanya menjadi tugas dari pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini dinas perdagangan dan perindustrian melainkan dari seluruh komponen pelaku bisnis. Lembaga keuangan bank maupun non bank mempunyai tugas dan fungsi tersendiri sebagaimana yang telah diatur oleh Bank Indonesia dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, kebijakan Bank Indonesia dalam membantu pengembangan UMKM mengalami perubahan paradigma yang cukup mendasar karena terjadi alih fungsi di mana Bank Indonesia tidak dapat lagi memberikan bantuan keuangan atau Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan dialih fungsikan kepada pihak lembaga keuangan bank dan non bank yang berada dalam lingkup Bank Indonesia. Setiap lembaga keuangan bank maupun non bank diharuskan untuk membantu memberikan bantuan kemitraan dan permodalan pada unit usaha mikro untuk lebih mengembangkan usahanya. Yang perlu disadari saat ini, bahwa pencapaian otonomi daerah yang berbasis good governance tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah semata, melainkan harus menjadi perhatian pihak swasta dalam hal ini perusahaan, lembaga keuangan baik baik bank maupun non bank, dan

keaktifan masyarakat. Melihat realita adanya perubahan orientasi pembangunan nasional yang mengedepankan pemantapan otonomi daerah serta menyadari kondisi dan potensi masyarakat Indonesia yang heterogen maka strategi pemberdayaan masyarakat perlu dikedepankan sebagai media stimulan untuk mewujudkan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan. Dalam tulisan ini lebih menyoroti peran serta lembaga keuangan bank maupun non bank dalam upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan dalam lingkup pembangunan otonomi daerah yang bernuansa good governance.

PERMASALAHAN Yang menjadi permasalahan, apakah lembaga keuangan bank maupun non bank saat ini telah menjalankan fungsi tersebut secara maksimal. Mengingat masih banyak usaha mikro yang masih kesulitan modal bahkan untuk bertahan di era persaingan bisnis ini. Sebagian besar dari usaha mikro ini lebih mengandalakan pada kekuatan modal sendiri maupun modal dari pihak luar yang diperoleh dari pinjaman pihak lain yang bukan merupakan lembaga perbankan maupun non perbankan. Besarnya pinjaman yang didapat oleh usaha mikro ini lebih mengarah pada pinjaman dengan tingkat bunga yang tinggi yang dikenakan oleh pemilik dana diluar lembaga bank maupun non bank. Sehingga seringkali para pelaku usaha mikro terjerat pinjaman berbunga tinggi dan tidak dapat mengembalikan modal pinjaman tersebut. Fakta di masyarakat menunjukkan bahwa para pemilik usaha mikro meminjam dana kepada pemilik dana dan bukan pada bank. Sebagian besar dari usaha mikro ini tidak berani meminjam modal di bank dengan alasa bank meminta sejumlah jaminan baik tanah, mapun kendaraan, sedangkan para pemilik usaha kecil ini tidak semua memiliki kecukupan jaminan seperti tanah dan atau bangunan maupun asset bergerak. Pemikiran yang berlaku di sebagian besar masyarakat adalah meminjam uang di bank atau lembaga keuangan selain bank sangat sulit meningat besarnya jaminan yang harus tersedia untuk mendapatkan modal tersebut. Sementara sedikit sekali usaha mikro yang mempunyai jaminan yang layak menurut bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mendapatkan sejumlah modal yang dibutuhkan. Pada akhirnya pilihan mendapatkan dana dengan meminjam kepada pemilik dana perorangan dengan tingkat bunga yang besar. Semakin besar beban bunga yang

Venusita, Reposisi Fungsi Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank

ditanggung oleh pelaku usaha mikro, akan semakin menurunkan kemampuan untuk berproduktivitas dan menghasilkan penghasilan, karen penghasilan yang diperoleh dipergunakan untuk mengembalikan pinjaman dengan bunga yang melambung tinggi. Semakin besar angsuran pinjaman dan bunga yang dibayarkan semakin menurunkan kemampuan memperoleh penghasilan dan memposisikan pelaku usaha mikro pada level kemiskinan yang semakin rendah. Selain itu, alternatif yang ditempuh oleh para pelaku ekonomi kerakyatan yang memiliki beberapa barang berharga jika memerlukan modal akan menggadaikan barang berharga seperti perhiasan maupun kendaraan yang dimikili sebagai tambahan modal. Lembaga pegadaian merupakan lembaga keuangan non bank yang lebih dekat dengan para pelaku ekonomi kerakyatan dimana pada saat mereka terdesak oleh kurangnya modal, barang berharga yang dimiliki akan dijaminkan untuk mendapatkan tambahan modal. Namun bagaimana jika para pelaku ekonomi kerakyatan yang berada di tingkat kehidupan miskin tersebut tidak memiliki barang berharga yang layak dijadikan jaminan modal di pegadaian, maka mereka akan mencari alternatif pinjaman modal kepada para pemilik dana perorangan dengan menanggung biaya bunga yang tinggi. Berdasarkan fakta tersebut penelitian ini bertujuan untuk mereposisikan dan memaksimalisasikan fungsi lembaga keuangan bank maupun non bank dalam memberdayakan ekonomi kerakyatan dalam tatanan sistem pembangunan otonomi daerah yang berbasis good governance. Dalam tulisan ini bermaksud untuk memberikan paparan secara nyata tentang upaya mereposisikan fungsi lembaga keuangan bank maupun non bank dalam rangka pemberdayaan ekonomi kerakyatan dalam kerangka sistem pemerintahan otonomi daerah yang berlandaskan pada good governance.

PEMBERDAYAAN EKONOMI KERAKYATAN Pemberdayaan ekonomi rakyat perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan ekonomi nasional, sehingga para pelaku ekonomi rakyat (pengusaha kecil, menengah dan koperasi) dapat menjadi pelaku utama dalam perekonomian nasional, terutama dengan pengalaman masa krisis yang terjadi saat ini. Berdasarkan perspektif tersebut, titik berat berat pemberdayaan ekonomi kerakyatan akan terletak pada upaya mempercepat pembangunan pedesaan

69

dan daerah pinggiran perkotaan sebagai tempat bermukim dan berusaha sebagian besar subyek dan obyek pembangunan bangsa ini, dimana mereka berusaha sebagai petani, nelayan, pedagang maupun pengusaha home industry. Pemberdayaan ekonomi rakyat yang dilakukan harus mampu mengatasi dan mengurangi kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pengusaha kecil, menengah, dan koperasi pada sektor industri pengolahan serta pedagang kecil yang sering disebut kaki lima di sektor perdagangan dan jasa. Keterbatasan dan hambatan-hambatan tersebut antara lain keterbatasan sumberdaya manusia, keterbatasan akses modal dan sumber-sumber pembiayaan aktivitas ekonominya sehari-hari. Dengan demikian, perlu dikembangkan kemampuan profesionalisme pelaku usaha pada sektor usaha kecil tersebut secara berkesinambungan, agar mampu mengelola dan mengembangkan usahanya secara berdaya guna dan berhasil guna, sehingga dapat mewujudkan peran utamanya dalam segala bidang yang mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dalam proses pembangunan. Sistem ekonomi kerakyatan mencakup administrasi pembangunan nasional mulai dari sistem perencanaan hingga pemantauan dan pelaporan. Sesungguhnya ekonomi kerakyatan adalah demokrsi ekonomi yang dikembangkan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 khususnya pasal 33 di mana tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Ekonomi kerakyatan yang diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945 mencakup beberapa hal diantaranya peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar serta pembangunan prasarana dan sarana. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Hal lain yang juga penting dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan adalah menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Sehingga memerlukan peran serta dan institusi-institusi sosial maupun instansi

70

Jurnal Akuntansi Aktual, Vol. 2, Nomor 2, Juni 2013, hlm. 67–75

pemerintah pusat dan daerah yang terkait ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting d isini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Hal ini memungkinkan melalui upaya perbaikan dan pengembangan dalam pendidikan kewirausahaan dan manajemen usaha serta penataan sistem pendidikan nasional merupakan kunci utama peningkatan kualitas sumber daya manusia pelaku usaha ekonomi kerakyatan pada masa mendatang. Di sisi yang lain, diperlukan peningkatan produktivitas dan penguasaan pasar agar mampu menguasai, mengelola dan mengembangkan pasar dalam negeri. Peningkatan produktivitas dan kemampuan penguasaan pasar ini bukan hanya melalui penyediaan sarana dan prasarana usaha yang menunjang kegiatan produksi dan pemasaran. Sebagai tindak lanjutnya diperlukan pengembangan secara kelembagaan melalui program kemitraan usaha yang saling menguntungkan, sehingga secara kelembagaan institusi para pelaku usaha kecil, dan menengah tersebut, memiliki kemampuan dan daya saing pasar, terutama untuk mengisi pasar dalam negeri. Di samping itu, upaya mendorong pembentukan kelembagaan swadaya ekonomi rakyat seperti kelompok prakoperasi dan koperasi menjadi wahana meningkatkan efisiensi produktivitas dan daya saing pelaku usaha kecil, yang bukan hanya tinggal di pedesaan, di daerah pinggiran perkotaan. Dengan terbangunnya kemampuan kelembagaan ekonomi kerakyatan ini, diharapkan memiliki kemampuan dan kepercayaan dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan yang hendaknya dapat dikreasikan melalui sumberdaya pembiayaan sektor pemerintah, swasta dan swadaya masyarakat. Karenanya, diperlukan upaya secara selektif dan transparan serta sistematis pada pengembangan sistem keuangan koperasi (atau pelaku ekonomi kerakyatan lainnya) yang terintegrasi dengan sistem perbankan dan/atau lembaga-lembaga keuangan ekonomi modern lainnya, baik pada sektor pemerintah maupun swasta.

PERAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM OTONOMI DAERAH YANG BERNUANSA GOOD GOVERNANCE Berpatokan pada data pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%)

merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002). Di sisi lain, potensi usaha mikro, kecil, menegah dan koperasi di Indonesia sangat besar mengingat jumlahnya di Indonesia diperkirakan sekitar 38 juta UMKM atau 99,8 persen dan mampu menyerap 58 juta atau 99,6% tenaga kerja. Meski hanya memanfaatkan 10% dari total uang yang beredar, tetapi telah menyumbang 49% GDP dan 15% ekspor non-migas Indonesia. Mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) usaha kecil telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, maka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan, maupun membantu pemberdayaan rakyat kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda. Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak mendapatkan pinjaman modal karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan mempunyai kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan kurang mampu menanggung mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka miliki. Lembaga keuangan formal dalam hal ini bank merupakan lembaga keuangan yang bertugas untuk menghimpun dana dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan meyalurkannya pada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan kehiduapan rakyat banyak, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998. Sedangkan Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan, secara langsung ataupun tidak langsung, menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk kegiatan produktif. Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro

Venusita, Reposisi Fungsi Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank

ini umumnya disebut dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Asian Development Bank (ADB) mendefinisikan Lembaga Keuangan Mikro sebagai lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loan), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfer yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Dengan demikian Lembaga Keuangan Mikro memiliki fungsi sebagai lembaga yang memberikan berbagai jasa keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta usaha mikro. Bank juga dapat membentuk lembaga keuangan mikro yang diharapkan lebih fokus, profesional dan efektif secara luas melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang betul-betul membutuhkan,Microcredit Summit mensyaratkan 4 prinsip utama yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan Lembaga Keuangan Mikro. Adapun prinsip-prinsip utama tersebut adalah: (Ismawan, 2003): 1) Reaching the poorest. The poorest yang dimaksud adalah masyarakat paling miskin, namun secara ekonomi mereka aktif (economically active). Secara internasional mereka dipahami merupakan separo bagian bawah dari garis kemiskinan nasional, 2)Reaching and empowering women. Wanita merupakan korban yang paling menderita dalam kemiskinan, oleh sebab itu mereka harus menjadi fokus utama. Disamping itu, banyak fakta yang menunjukkan bahwa wanita merupakan peminjam, pemakai dan pengembali kredit yang baik, 3) Building financially sustainable institution, Agar secara terus menerus dapat melayani masyarakat miskin, sehingga semakin banyak yang terlayani, maka secara financial kelembagaan tersebut harus terjamin berkelanjutan, 4) Measurable impact. Dampak dari kehadiran kelembagaan dapat diukur sehingga evaluasi dapat dilakukan, hal ini dimaksudkan untuk perbaikan kinerja kelembagaan. Tumbuhnya usaha mikro dapat diimbangi dengan didirikannya lembaga keuangan mikro untuk mengakomodir kebutuhan modal dan pengembangan usaha kecil dan menengah. Lembaga keuangan mikro dapat berupa bentuk mini dari lembaga perbankan yang ada. Saat ini sudah berdiri Mandiri Micro Banking, BRI Kredit Mikro, bahkan lembaga pegadaian juga membuka layanan bagi permodalan kredit mikro. Bercermin pada kondisi yang telah dipaparkan, jelas bahwa lembaga keuangan mikro memerankan posisi yang penting. Era otonomi daerah merupakan peluang bagi pengembangan keuangan mikro, maupun dalam arti sebaliknya, otonomi daerah dapat memanfaatkan

71

lembaga keuangan mikro untuk mengembangkan daerahnya. Setidaknya terdapat beberapa hal yang diperankan Lembaga Keuangan Mikro dalam otonomi daerah: 1) Mendukung pemerataan pertumbuhan. Pelayanan keuangan mikro secara luas, secara efektif akan terlayani berbagai kelompok usaha mikro, maka perkembangan usaha mikro yang kemudian berubah menjadi usaha kecil, hal ini akan memfasilitasi pemerataan pertumbuhan, 2) Mengatasi kesenjangan kota dan desa Akibat jangkauan lembaga keuangan mikro yang luas, bisa meliputi desa dan kota, hal ini merupakan terobosan pembangunan. Harus diakui, pembangunan selama ini acap kali kurang adil pada masyarakat desa, sebab lebih condong mengembangkan kota. Salah satu indikatornya adalah dari derasnya arus urbanisasi dan pesatnya perkembangan keuangan mikro yang berkemampuan menjangkau desa, tentu saja akan mengurangi kesenjangan desa dan kota, 3) Mengatasi kesenjangan usaha besar dan usaha kecil. Sektor yang selama ini mendapat akses dan kemudahan dalam mengembangkan diri adalah usaha besar, akibatnya timbul jurang yang lebar antara perkembangan usaha besar dan semakin tak terkejar oleh usaha kecil. Dengan dukungan pembiayaan usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kesenjangan yang terjadi. Disamping itu, dengan semakin cepatnya perkembangan usaha kecil akan ikut mendukung perkembangan usaha besar, serta sebaliknya, 4) Mengurangi capital outflow dari desa-kota maupun daerah-pusat. Artinya akses pertumbuhan yang dibangun oleh masyarakat desa telah beralih ke masyarakat kota, sehingga kota bisa menjadi lebih pesat sementara desa akan mengalami kemandekan. Sedangkan capital outflow dari daerah ke pusat diindikasikan kuat terjadi pula, hal ini dapat dilihat dari perkembangan kota-kota besar yang sedemikian pesat, semakin meninggalkan pertumbuhan daerah. Lembaga keuangan mikro, lebih berkemampuan memfasilitasi agar tabungan dari masyarakat desa atau daerah terkait, dapat memanfaatkan kembali tabungan yang telah mereka kumpulkan, 5) Meningkatkan kemandirian daerah. Dengan adanya sumber daya produksi (capital, tanah, SDM) yang merupakan kekuatan dimiliki oleh daerah, dimanfaatkan dan didayagunakan sepenuhnya untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada, maka ketergantungan terhadap investasi dari luar daerah akan terkurangi, serta investasi ekonomi rakyat, dapat berkembang pesat. Kemandirian daerah tentu

72

Jurnal Akuntansi Aktual, Vol. 2, Nomor 2, Juni 2013, hlm. 67–75

akan berdampak pada kemandirian nasional, sebab nasional terdiri dari daerah-daerah, sehingga dengan sendirinya ketergantungan terhadap utang luar negeri akan terkurangi. Pembentukan Lembaga keuangan mikro ini dapat diarahkan dalam berbagai model pengembangan kooperatif, yaitu: a) pengembangan lembaga kredit mikro, b) pengembangan UKM dan industri kecil yang berjiwa koperasi, c) pengembangan sistem ketahanan pangan nasional, dan d) usaha ekonomi produktif lainnya sesuai potensi dan kemampuan masyarakat lokal. Wadah lembaga keuangan mikro baik bank maupun non bank sebagai lembaga kredit mikro yang dibentuk di tingkat kecamatan disadari masih dapat dioptimalkan perannya sebagai motor pemberdayaan ekonomi masyarakat lapisan bawah. Sehubungan dengan itu perlu ada semacam reformulasi lembaga keuangan mikro dalam upaya optimalisasi peran fasilitator kredit kepada masyarakat lapisan bawah. Dengan kata lain lembaga keuangan mikro perlu dipersiapkan sebagai lembaga pengelola seluruh dana bantuan yang masuk ke desa melalui koordinasi kecamatan. Bantuan untuk kegiatan ekonomi yang bersifat pinjaman kepada masyarakat itu harus dikembalikan beserta jasa pinjamannya. Pengembalian pinjaman ini tidak dibayarkan kepada kas negara tetapi dibayarkan kepada lembaga keuangan yang bersangkutan, untuk kemudian digulirkan kembali kepada masyarakat di kecamatan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan harus dipandang sebagai rangsangan (modal) untuk mendanai kegiatan ekonomi produktif yang dapat menumbuhkan dan meningkatkan kegiatan ekonomi secara berkelanjutan. Lembaga keuangan no bank dapat dibentuk dari prakarsa rakyat, dikelola oleh rakyat, dan hasilnya dinikmati oleh rakyat sendiri itu tentunya diharapkan relatif mudah untuk dilestarikan dan ditumbuhkembangkan seiring dengan dinamika ekonomi masyarakat bersangkutan. Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan khususnya bank umum. Pada lembaga keuangan mikro ini dapat menumbuhkan minat masyarakat di pedesaan untuk berusaha atau menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil di pedesaan, yang pada akhirnya dapat membantu program pemerintah untuk: 1) Meningkatkan

produktivitas usaha masyarakat kecil di pedesaan, 2) Meningkatkan pendapatan penduduk desa, 3) Menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan, sehingga dapat memperkecil keinginan masyarakat pedesaan melakukan urbanisasi, 4). Menunjang program pemerintah dalam mengupayakan pemerataan pendapatan penduduk desa dan upaya pengentasan kemiskinan. Penggunaan dana yang dikelola oleh lembaga keuangan mikro berfungsi sebagai modal untuk usaha produktif. Modal untuk usaha produktif ini berupa kredit yang diberikan pada masyarakat yang diharapkan dapat berputar terus di kelompok masyarakat. Strategi untuk memandirikan UKM dan industri kecil yang berjiwa koperasi adalah dengan membina, mempersiapkan, mengawasi, dan mendanai semua kegiatan yang dilakukan untuk menjadi besar dengan tetap berpedoman pada profesionalisme dan etika usaha. Pembentukan lembaga keuangan mikro di daerah sebagaimana yang telah dipaparkan akan sangat membantu tercapainya pengembangan ekonomi kerakyatan di daerah pedesaan dan kecamatan yang tidak dapat dijangkau oleh Lembaga keuangan perbankan dan non perbankan di perkotaan. Sehingga akan dapat mencapai pembanguan daerah yang berbasis otonomi daerah. Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya otonomi daerah adalah adanya pemerataan pertumbuhan, terjadinya keseimbangan pertumbuhan kota dan desa, berkurangnya kesenjangan usaha besar-usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kemungkinan ketidakstabilan daerah. Era otonomi daerah merupakan peluang untuk memberdayakan ekono Era otonomi daerah merupakan peluang untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan lembaga keuangan mikro. Melalui keuangan mikro kebangkitan ekonomi rakyat (sekaligus ekonomi nasional) maupun pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh rakyat sendiri. Pada hakekatnya ada tiga prinsip dalam implementasi otonomi daerah. Pertama, desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada kabupaten dan kota sehingga otonomi daerah lebih dititikberatkan pada daerah tersebut (kabupaten dan kota). Kedua, dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di provinsi. Ketiga, tugas pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintah pusat kepada provinsi, kabupaten/kota, dan desa untuk melakukan tugas tertentu.

Venusita, Reposisi Fungsi Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank

Pelaksanaan otonomi daerah juga harus bertumpu pada penerapan good governance sebagaimana disyaratkan oleh pemerintah pusat tentang pengaturan dan penataan pemerintahan yang berdasar pada good government governance. Konsep good governance menurut World bank adalah ”the way state power is used in managing economic and social resources for development of society.” Governence mempunyai 3 pilar yaitu economic, political, dan administrative. Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision making processes) yang menfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Political governance adalah proses-proses pengambilan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan.Good governance berorientasi pada orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional (Tim asistensi pelaporan AKIP,2001). Setiap organisasi pemerintahan baik ditingkat pusat maupun daerah, harus menerapkan nilai-nilai dalam good governance dalam pelaksanaan sistem pemerintahan. Namun kesuksesan pelaksanaan tersebut bergantung pada kesiapan pemerintah untuk melaksanakannya. Pelaksanaan otonomi daerah yang bernuansakan good governance haruslah mampu menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang transparancy, accountability, responsibility, independency dan fairness. Upaya mewujudkan Good Government Governance sampai sejauh ini belum terlihat kemajuannya, baik di lingkungan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Padahal, sudah banyak usaha dilakukan untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa, baik dengan ara melengkapi instrumen peraturan perundangan maupun dengan beberapa gebrakan yang dilakukan oleh sebagian kecil aparat penegak hukum dan aparat Pemerintah Melihat materi Kepmendagri No. 29/2002 sebagaimana diuraikan di atas, Kepmen tersebut diharapkan menjadi salah satu instrumen dalam rangka meminimalisasi praktik KKN, sekaligus menjadi instrumen terwujudnya Good Government Governance (GGG), khususnya di lingkungan Pemerintah Daerah. Kepmendagri yang merupakan petunjuk pelaksanaan PP No. 105 Tahun 2000 ini diharapkan mampu menjawab tantangan pelaksanaan otonomi

73

daerah, terutama di bidang pengelolaan keuangan daerah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah yang bertumpu pada good governance dapat memacu berkembangnya fungsi lembaga keuangan mikro yang ada di daerah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan dan kelangsungan hidup usaha mikro sebagai salah satu bagian pilar good governance. Apabila seluruh komponen good governance melaksanakan fungi dan tugasnya dengan baik akan tercipta kondisi yang kondusif bagi perkembangan bisnis bagi semua pihak termasuk diantaranya pelaku bisnis usaha mikro. Program kemitraan bagi usaha mikro yang dirancang dalam kerangka otonomi daerah yang berlandaskan good governance akan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi eksistensi usaha mikro.

LANGKAH KONGKRET YANG DAPAT DITEMPUH Pemberdayaan ekonomi kerakyatan tidak hanya menjadi tugas dari pemerintah pusat saja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan melainkan juga pemerintah daerah sebagai pengejawetahan dari otonomi daerah. Sebagai pemegang kekuasaan dan regulator dalam kehidupan bernegara pemerintah pusat dan daerah dapat bersinergi untuk mengembangkan satu sistem ekonomi kerakyatan yang mengacu pada Pancasila dan UUD 45 diantaranya: (1) Pemberdayaan kembali koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia yang berpihak pada kepentingan pelaku usaha mikro. Koperasi tidak hanya berfungsi sebagai wadah untuk menyimpan dan meminjam dana bagi anggotanya, namun lebih dari itu koperasi hendaknya melakukan pengembangan manajemen bagi koperasi itu sendiri dan juga bagi para anggotanya. Koperasi juga hendaknya menjadi penyalur untuk hasil produk para anggota. Meskipun fungsi ini telah berjalan namun kerap kali tidak dilaksanakan secara professional sehingga banyak produk dari anggota koperasi yang tidak dapat memasuki persaingan pasar domestic yang saat ini lebih diserbu oleh produk asing. (2) Menempatkan lembaga keuangan bank maupun non bank pada fungsinya sebagai lembaga penghimpun dana dari dan untuk masyarakat yang berada di bawah naungan bank Indonesia hendaknya agar menciptakan satu sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan kemitraan dengan para pelaku usaha mikro atau UKM sehingga data membantu mengatasi kendala yang dihapai oleh usaha mikro. Sebagian

74

Jurnal Akuntansi Aktual, Vol. 2, Nomor 2, Juni 2013, hlm. 67–75

besar pelaku usaha mikro mempunyai kesamaan masalah yaitu keterbatasan modal, kurangnya ketrampilan dan keahlian yang memadai dalam menjalankan bisnisnya. Yang dilakukan oleh usaha mikro saat ini adalah bertahan di era persaingan bisnis. Namun keterbatasan modal dan kemampuan mengembangkan bisnis yang menjadi masalah utama bagi para pelaku usaha mikro masih belum tersentuh secara maksimal oleh lembaga keuangan bank dan non bank yang ada. Pembentukan lembaga usaha mikro diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan finansial dalam hal ini pinjaman modal bagi usaha mikro. Besarnya pemberian modal juga bergantung pada besarnya jaminan yang dimiliki sehingga bagi yang tidak memiliki jaminan tidak mendapatkan bantuan modal. Hal ini juga seharusnya menjadi perhatian oleh lembaga keuangan bank mapun non bank untuk memberikan kemudahan bagi usaha kecil yang tidak memiliki jaminan namun mempunyai kemampuan untuk mengembalikan modal pinjaman sesuai dengan yang telah disepakati, maka pinjaman dapat diberikan dengan bunga yang rendah dan disesuaikan dengan besarnya scope usahanya. (3) Menggalakkan program kemitraan antara perusahaan, pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah, lembaga keuangan untuk merangkul pelaku usaha kecil yang memiliki keterbatasan kemampuan mengembangkan usaha berupa pemberian pelatihan, ketrampilan dan manajemen usaha yang sesuai dengan lingkup usaha dan pangsa pasar yang ada seperti ketrampilan pemasaran dan pemanfaatan tehnologi yang murah namun berkualitas. Peran pemerintah dalam hal ini dinas perdagangan dan perindustrian, dinas koperasi dan usaha kecil menengah baik ditingkat pusat maupun daerah hendaknya melakukan tugas dan fungsinya membantu pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah ini seuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip good governance yang transparan, akuntabel, responsibility, independen serta fairness untuk mencegah terjadinya praktek-praktek korupsi gaya baru yang hanya akan merugikan pihak usaha mikro kecil dan menengah. (4) Peran serta organisasi kemasyarakatan sebagai pengawas dan pihak yang berkepentingan serta pengguna produk maupun jasa yang dihasilkan oleh usaha mikro, kecil dan menengah hendaknya juga harus memantau pelaksanaan reposisi fungsi lembaga keuangan bank dan non bank ini dalam hal pemberian bantuan dan kemitraan serta pengembangan manajemen usaha kecil sehingga dapat tercipta suatu kondisi perekonomian yang

berbasis kerakyatan yang kondusif dan mampu menghadapi persaingan dengan produk maupun jasa dari luar negeri yang gencar menyerbu pangsa pasar dalam negeri.

PENUTUP Upaya mereposisi fungsi lembaga keuangan bank dan non bank untuk memberdayakan ekonomi kerakyatan yang sebagian besar terdiri dari pelaku usaha kecil atau mikro dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, pembangunan harus diarahkan pada upaya untuk memajukan harkat, martabat, kualitas, serta kesejahteraan segenap lapisan masyarakat. Dalam konteks itu berarti pembangunan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kemauan dan kemampuan manusia dalam melestarikan pembangunan secara mandiri. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang melibatkan peran serta lembaga keuangan bank dan non bank mikro akan lebih mengakomodir kepentingan pelaku usaha mikro yang kesulitan permodalan dan kemampuan untuk eksis di era persaingan bisnis saat ini. Bagi usaha mikro yang mempunyai keterbatasan jaminan untuk mendapatkan bantuan modal hendaknya tetap mendapat perhatian yang serius, selagi usaha mikro mempunyai kemampuan untuk mengembalikan modal pinjaman dan mampu mengembangkan usaha lebih pesat lagi, maka bantuan permodalan dapat diberikan kepada usaha mikro tersebut. Selain bantuan permodalan, yang lebih penting lagi tambahan bantuan ketrampilan dan peningkatan kemampuan untuk bisa menjalankan bisnis dan usahanya lebih professional lagi seperti pengetahuan tentang kualitas produk dan pengetahuan pemasaran poduk maupun jasa. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dapat dilakukan sebagai wujud dari penurunan angka kemiskinan dengan memberikan bantuan modal, dan bekal ketrampilan serta penguasaan tehnologi yang murah namun berkualitas.

DAFTAR RUJUKAN Devarajan, S. 2002. Goals for Development, Policy Research Working Paper,The Work Bank. Departemen Dalam Negeri. 2002. Kepmendagri No. 29/ 2002 Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tatacara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Jakarta.

Venusita, Reposisi Fungsi Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank

Gradstein, M. 2003. Governance and Economic Growth, Policy Research Working Paper,The Work Bank. Ismawan, B. 2002. Makalah disampaikan dalam Seminar ”Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah” di Wisma Kagama yang diselenggarakan Pengurus Pusat Kagama. Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. 2001. Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta. Renyowijoyo, M. 2008. Akuntansi Sektor Publik Organisasi Non Laba. Jakarta: Mitra Wacana Media. Sallatu, A.M., dan Sultan, S. 2003. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Pergulatan Mewujudkan Keadilan

75

Sosial Di Era Destoda, Jurnal Analisis, Volume 1, Nomor 1, September 2003 Universitas Hassanudin, Makassar. Tambunan, M. 2000. Membangun Ekonomi Daerah Yang Kompetitif dan Efisien Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Memperkokoh Kesatuan Bangsa, Prosiding Kongres ISEI XIV. Setyobudi, A. 2007. Peran Serta Bank Indonesia Dalam Pengembangan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM), Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007, Makassar. Jakarta: Cess http://mashuri.student.umm.ac.id/2010/07/08/ekonomi kerakyatan-dan-pemberdayaan-Ekonomi-rakyat/ sehat.