ROFIEQ ET AL, ANALISIS BAHAN TAMBAHAN 75 ANALISIS BAHAN

Download yellow, sakarin, dan siklamat yang diduga ada dalam jajanan anak sekolah di Propinsi .... tentang Bahan Tambahan Pangan Berbahaya dan Sanit...

0 downloads 374 Views 962KB Size
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

ANALISIS BAHAN TAMBAHAN PANGAN BERBAHAYA DALAM JAJANAN DI LINGKUNGAN SEKOLAH MENENGAH ATAS PROPINSI JAWA TIMUR INDONESIA 1

Ainur Rofieq1, Eka Putra Dewangga2, May Hastuti Lubis3 Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Muhammadiyah Malang 2,3 Laboratorium Biologi, Univeristas Muhammadiyah Malang, Malang Jl. Raya Tlogomas 246 Malang 61515 email korespondensi: [email protected] ABSTRAK

Terdapat enam jenis Bahan Tambahan Pangan (BTP) berbahaya yaitu: boraks, formalin, Rhodamin-B, Methanil yellow, sakarin, dan siklamat yang diduga ada dalam jajanan anak sekolah di Propinsi Jawa Timur. Menurut aturan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jenis BTP pertama sampai keempat merupakan bahan kimia nonpangan yang tidak boleh ada dalam pangan sedangkan jenis kelima dan keenam ada pembatasan penggunaan. Alasan para produsen pangan menambahkan BTP dalam jajanan ialah: untuk meningkatkan tampilan fisik, rasa, dan daya simpan jajanan. Penelitian ini bertujuan: (1) mengalisis kandungan BTP berbahaya dalam jajanan yang diperdagangkan di Sekolah Menengah Atas (SMA); (2) mengelompokkan jenis jajanan yang mengandung BTP berbahaya; (3) menganalisis tingkat pengetahuan BTP dan higiene pangan pada siswa SMA. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan obyek semua jajanan yang diperdagangkan dan siswa SMA. Penelitian berlokasi pada delapan SMA di wilayah pemerintah kota/kabupaten Propinsi Jawa Timur (Malang, Blitar, Pasuruan dan Bangkalan). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada lima jenis BTP berbahaya yang teridentifikasi dalam 272 sampel jajanan, sedangkan satu jenis BTP tidak teridentifikasi, yaitu menthanyl yellow. Melalui 272 sampel jajanan yang diperdagangkan, teridentifikasi sebanyak 102 sampel atau 37,5% mengandung BTP berbahaya. Dari 102 sampel yang teridentifikasi, sebanyak 53,9% sampel jajanan mengandung boraks, sakarin 21,6% (melebihi batas ambang), siklamat 13,7% (melebihi batas ambang), rhodamain-B 5,7%, dan formalin 4,9%. Berdasarkan jenis jajanan, terdapat 15 jenis yang mengandung BPT berbahaya, terbanyak pada jenis krupuk dan minuman. Tingkat pengetahuan BTP berbahaya dalam jajanan dan higiene keamanan pangan para siswa SMA di wilayah propinsi jawa timur, tergolong sedang (73,1%), baik 16,9%, dan kurang 10%. Kata Kunci: jajanan, boraks, formalin, rhodamin b, methanil yellow

Keamanan pangan Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 diartikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, benda-benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Anissa, 2015). Masalah keamanan pangan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan diselesaikan secara bersama-sama baik dari produsen, konsumen maupun pemerintah. Produsen pangan harus dapat bertanggungjawab dengan makanan yang akan dihasilkan, konsumen bertanggung jawab untuk memilih makanan yang akan dikonsumsi, sedangkan pemerintah bertanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi keamanan pangan yang ada di sekitar masyarakat. Salah satu masalah keamanan pangan di Indonesia adalah masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan, terutama pada industri kecil atau industri rumah tangga (Sugiyatmi, 2006). Akibat kemajuan ilmu teknologi pangan dewasa ini, maka semakin banyak jenis bahan makanan yang diproduksi, dijual dan dikonsumsi. Makanan tersebut dikemas dalam bentuk yang tahan lama dan lebih praktis dibanding dengan bentuk segarnya. Hal tersebut dapat terwujud karena perkembangan teknologi produksi dan penggunaan bahan tambahan makanan (zat additive)

(Maryani, 2010). Saat ini banyak makanan yang menggunakan bahan berbahaya yang tidak diperbolehkan tetapi masih digunakan. Makanan yang mengandung bahan berbahaya dapat menimbulkan berbagi macam penyakit. Gejala yang ditimbulkan meliputi rasa mual, muntah – muntah, diare, kejang perut, bercak-bercak pada kulit, temperatur tubuh menurun, ruam iritema kulit yang menyerupai campak, kerusakan pada ginjal, gelisah, lemah, hingga kematian terjadi akibat kolaps pernapasan (Payu et al, 2014). Menurut data Kemenkes (2005) dalam Lubis (2016) Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia tahun 2011 tercatat sebanyak 177 kejadian dengan jumlah kasus sebanyak 7.686 kasus dan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 0,35%. Tahun 2012 mengalami peningkatan 76,27% dari tahun 2011 dengan 312 kejadian dengan kasus 9.626 dan Case Fatality Rate (CFR) 0,19%. Untuk tahun 2013 KLB keracunan pangan di Indonesia mengalami penurunan 25% dari tahun 2012 dengan 233 kejadian, 27.405 kasus dan Case Fatality Rate (CFR) 0,10%. Tahun 2014 KLB keracunan pangan di Indonesia meningkat lagi sebesar 31,33% dari tahun 2013 dengan jumlah kasus sebanyak 9.657 kasus dan Case Fatality Rate (CFR) 0,42%. Sementara itu menurut BPOM (2010), selama kurun waktu 2001- 2009 telah terjadi 1.101 Keracunan Luar Biasa (KLB) keracunan pangan. Angka kejadian umumnya meningkat dari tahun

Rofieq et al, Analisis Bahan Tambahan available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

75

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

ke tahun. KLB keracunan pangan tertinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu sebanyak 197 kejadian. Banyaknya kasus keracunan yang terjadi pada bahan tambahan makanan yang berbahaya, maka masyarakat, guru dan siswa harus bisa berperan aktif dalam memilih makanan jajanan yang aman dan bergizi. Pemerintah juga harus bertanggung jawab mengenai keamanan pangan melalui sosialisasi. Menurut Sinaga (2009), meskipun perilaku siswa sekolah dasar sudah cukup baik, namun masih diperlukan peranan berbagai pihak terutama peran serta guru dalam mengawasi makanan yang dikonsumsi oleh siswa melalui kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), yaitu mengawasi makanan yang dijual, kebersihan kantin, serta memberikan pelatihan bagi petugas kantin, guru juga sebaiknya berperan dalam memberikan pengertian dan pengetahuan kepada anak–anak mengenai dampak negatif yang timbul apabila jajan di sembarang tempat. Makananan jajanan yang dijual di sekitar masyarakat untuk tujuan tertentu banyak yang ditambahkan dengan bahan pengawet, pemanis, penyedap dan pewarna. Menurut Siti (2011), banyak sekali industri rumahan, penjaja makanan kecil di sekolah-sekolah, bahkan beberapa ibu rumah tangga, yang sering menambahkan BTP dalam proses pengolahan makanan, baik untuk tujuan komersial maupun untuk konsumsi keluarga, tanpa memastikan tingkat keamanan dari penggunaan BTP tersebut. Tujuan penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) di dalam pangan antara lain: 1) mengawetkan makanan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan; 2) membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak; 3) memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera; 4) meningkatkan kualitas pangan dan 5) menghemat biaya (Cahyadi, 2006). Menurut Saparinto (2006) dalam Apriliani et al (2014), berdasarkan sumbernya, Bahan Tambahan Pangan dapat digolongkan menjadi 2 yakni Bahan Tambahan Pangan alami dan buatan. Bahan Tambahan Pangan alami dipandang lebih aman bagi kesehatan dan mudah didapat, sedangkan bahan tambahan sintesis dikhawatirkan dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan. Penggunaan bahan tambahan sintesis sebaiknya dengan dosis dibawah ambang batas yang telah ditentukan.Peraturan Menteri Kesehatan No.33 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan menyebutkan bahwa Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Triatama, 2014). Sedangkan Menurut Peraturan Mentri Kesehatan R.I. No. 329/Menkes/PER/ XII/ 76, yang dimaksud dengan adiktif makanan adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu, termasuk di dalamnya adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat, dan pengental (Winarno, 2004).

Berdasarkan permasalahan semakin maraknya Bahan Tambahan Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang berbahaya, maka perlu di lakukan penelitian mengenai Bahan Tambahan Pangan. Penelitian dilakukan untuk “Mengalisis bahan tambahan pangan berbahaya dan tingkat keamanan pangan para siswa terhadap jajanan yang diperdagangkan di lingkungan sekolah jawa timur”. Penelitian ini kemudian akan dikembangkan menjadi media poster sebagai sumber belajar siswa. METODE Penelitian ini merupakanpenelitian deskriptif analitik. Dilaksanakan pada tanggal 05 sampai 14 September 2016. Populasi dalam kegiatan penelitian ini adalah semua jajanan pangan yang diperdagangkan di kantin dalam dan warung/kantin/pedagang kaki lima di luar sekolah yang diduga mengandung BTP berbahaya. Sampel dalam penelitian ini adalah makanan yang diduga mengandung bahan tambahan pangan seperti boraks, formalin, Rhodamin B, dan Methanil yellow. Siswa SMA/MA yang dijadikan sampel adalah siswa kelas XI dan XII yang berjumlah 20 orang. Pengambilansampeldilakukandenganmenggunakan TeknikClusterRandom Samplingyaitudengancara acak kelompok. Kota di Jawa Timur yang dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan hasil undian dan di kota tersebut terdapat sekolah SMA/MA yang memiliki kriteria penilaian seperti terdapat kantin di dalam sekolah dan warung/kantin/pedagang kaki lima yang berada diluar sekolah yang menjual panganan jajanan dengan radius ± 100 m dari sekolah. Berdasarkan hal tersebut didapatkan 4 kota beserta SMA/MA yang dipilih yakni Malang perwakilannya adalah SMAN 3 Malang dan MAN 3 Malang. Blitar perwakilannya adalah SMAN 1 Talun dan MAN Kota Blitar. Pasuruan perwakilannya SMAN 2 Pasuruan dan MAN Kraton. Bangkalan perwakilannya adalah SMA Kokop dan MAN Bangkalan. Pengambilan sampel dilakukan untuk mengetahui kandungan BTP pada makanan yang diperdagangkan di wilayah SMA/MA dan pembagian instrumen untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa terhadap keamanan pangan. Metode pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan informasi data yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan penelitian. Metode pengambilan data dalam penelitian ini adalah observasi dan dokumentasi.Siswa diminta untuk menjawab 23 soal tentang Bahan Tambahan Pangan Berbahaya dan Sanitasi serta Higiene. Analisis data yang digunakan pada penelitian adalah analisis deskriptif kualitatif dan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan jajanan makanan yang mengandung BTP berbahaya. Analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan tingkat pengetahuan siswa tentang kemanan pangan di SMA/MA. HASIL DAN PEMBAHASAN

Rofieq et al, Analisis Bahan Tambahan available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

76

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Penelitian ini bertujuan untukmenganalisis Bahan Tambahan Pangan Berbahaya dan Tingkat Pengetahuan Keamanan Pangan para Siswa Terhadap Jajanan yang Diperdagangkan Di Wilayah SMA/MA Jawa Timur. Pada Penelitian ini didapatkan data hasil jumlah BTP berbahaya yang teridentifikasi, jenis jajanan yang mengandung BTP berbahaya, dan tingkat pengetahuan keamanan pangan para siswa SMA/MA Jawa Timur. Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Hayati, 2011). Pedagang biasanya menambahkan BTP dengan maksud untuk memperoleh keuntungan, karena BTP (boraks, formalin, rhodamin B dan methanil yellow) harganya lebih murah dan mudah didapat. Penambahan BTP berbahaya memiliki tujuan untuk membuat makanan lebih menarik, tahan lama dan kenyal. Terdapat banyak jajanan yang diperdagangkan di lingkungan sekolah, baik di lingkungan dalam sekolah maupun lingkungan luar sekolah. Dari berbagai macam makanan tersebut di antaranya ada beberapa makanan yang diduga mengandung BTP berbahaya (Formalin, Boraks, Methanil yellow, dan Rhodamin B). Sampel makanan yang didapatkan sebanyak 272 sampel jajanan dari 4 kota (Malang, Blitar, Pasuruan, dan Bangkalan).Jumlah BTP berbahaya yang teridentifikasi dari keempat wilayah (Malang, Blitar, Pasuruan, dan Bangkalan) sebanyak 66 sampel jajanan. Wilayah Malang terdapat jajanan yang mengandung formalin sebanyak 1 sampel, boraks sebanyak 3sampel, rhodamin Bsebanyak 1sampel. Wilayah Blitar terdapat jajanan yang mengandung formalin sebanyak 2sampel, boraks sebanyak 26sampel, rhodamin Bsebanyak 1sampel. Wilayah Pasuruan jajanan yang mengandung formalin tidak ditemukan, boraks sebanyak 19sampel, rhodamin Bsebanyak 4sampel. Wilayah Bangkalan terdapat jajanan yang mengandung formalin sebanyak 2sampel, boraks sebanyak 7sampel. Sementara untukrhodamin B tidak ditemukan. Pada empat wilayah (Malang, Blitar, Pasuruan, dan Bangkalan) tidak ditemukan jajanan yang mengandung methanil yellow seperti yang terlihat dalam Tabel 1.1 Tabel 1.1 Jumlah BTP Berbahaya yang Teridentifikasi dalam Jajanan Jumlah BTP Wilayah Methanil Rhodamin Boraks Formalin yellow B Malang 3 1 0 1 Blitar 26 2 0 1 Pasuruan 19 0 0 4 Bangkalan 7 2 0 0

Formalin adalah salah satu zat yang dilarang berada dalam bahan makanan. Formalin dapat bereaksi

cepat dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Didalam tubuh cepat teroksidasi membentuk asam format terutama di hati dan sel darah merah. Pemakaian formalin pada makanan dapat mengakibatkan keracunan yaitu rasa sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan syaraf atau kegagalan peredaran darah (Indah, 2016). Berdasarkan beberapa penelitian menyatakan bahwa formalin tergolong sebagai karsinogen, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan timbulnya kanker. Para ahli pangan sepakat bahwa semua bahan yang terbukti bersifat karsinogenik tidak boleh digunakan dalam bahan makanan maupun minuman (Faradilah, 2014). Formalin sebenarnya sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Di sektor industri, formalin sangat banyak manfaatnya, misalnya sebagai anti bakteri atau pembunuh kuman, sehingga formalin sering dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, kapal, gudang, pakaian bahkan juga dapat dipergunakan sebagai pembunuh lalat dan berbagai serangga lain. Dalam konsentrasi yang sangat kecil (< 1%), formalin digunakan sebagai pengawet untuk berbagai bahan non pangan seperti pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, shampo mobil, lilin dan karpet (Faradilah, 2014). Dalam dunia fotografi biasanya digunakan untuk pengeras lapisan gelatin dan kertas. Formalin dapat juga digunakan sebagai bahan pembentuk pupuk berupa urea, bahan pembuatan produk parfum, bahan pengawet produk kosmetik dan pengeras kuku, pencegah korosi untuk sumur minyak, bahan untuk isolasi busa dan bahan perekat untuk produk kayu lapis (playwood) (Hidayat, 2014). Formalin juga digunakan sebagai bahan pengawet mayat dan berbagai jenis bahan industri non makanan (Ratna, 2015). Boraks adalah senyawa kimia berbahaya untuk pangan dengan nama kimia natrium tetraborat (NaB4O7. 10H2O), dapat dijumpai dalam bentuk padat dan jika larut dalam air akan menjadi natrium hidroksida dan asam borat (H3BO3). Boraks atau asam borat merupakan bahan untuk membuat deterjen, mengurangi kesadahan air, dan bersifat antiseptik. Boraks terkandung juga dalam bleng. Bleng ada yang terdapat dalam bentuk padatan yang biasa disebut cetitet yang terdiri dari campuran garam dapur, soda, boraks, dan zat warna. Bleng ada juga yang terdapat dalam bentuk cair (Rahayu, WP dalam Triatama (2014)). Boraks bersifatantiseptik dan pembunuh kuman. Oleh karena itu borak banyak digunakan sebagai anti jamur, bahan pengawet kayu, dan untuk bahan antiseptik pada kosmetik. Dalam industri tekstil boraks digunakan untuk mencegah kutu, lumut, dan jamur. Boraks juga digunakan sebagai insektisida dengan mencampurkannya dalam gula untuk membunuh semut, kecoa, dan lalat (Sugiyatmi, 2006). Metanil Yellow biasanya digunakan secara illegal pada industri rumahan dan jajanannya berwarna kuning mencolok. Ciri-ciri makanan yang mengandung pewarna kuning metanil antara lain makanan berwarna kuning mencolok dan cenderung berpendar serta banyak

Rofieq et al, Analisis Bahan Tambahan available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

77

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

memberikan titik-titik warna karena tidak homogen. Zat pewarna sintetis seperti Methanil yellow biasanya digunakan karena komposisinya lebih stabil (Sajiman et al. 2015).Methanil yellow memiliki efek samping yang berbahaya bagi tubuh terutama hepar sebagai organ yang berperan dalam metabolisme dan detoksifikasi (Andri, 2014). Rhodamin B adalah pewarna terlarang yang sering ditemukan pada makanan, terutama makanan jajanan. Rhodamin B, yaitu zat pewarna berupa serbuk kristal berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau, serta mudah larut dalam larutan warna merah terang berfluoresan sebagai bahan pewarna tekstil atau pakaian (Yamlean, 2011). Penambahan zat pewarna pada makanan dilakukan untuk memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan, menstabilkan warna dan menutupi perubahan warna selama penyimpanan (Rizka et al, 2014).Penyakit yang ditimbulkan Rhodamin B yaitu, menyebabkan pembesaran hati, ginjal, dan limfa diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organ. Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kanker (Utami, 2009). Selain menganalisis jumlah BTP berbahaya yang teridentifikasi dalam jajanan, dilakukan juga analisis jenis jajanan yang mengandung BTP berbahaya yang diperdagangkan di lingkungan SMA/MA. Makanan jajanan dapat ditemukan hampir di setiap sekolah dasar biasanya, terdapat di luar sekolah atau dalam sekolah. Makanan jajanan ditempatkan di tempat yang terbuka dan terkadang dicampur bahan-bahan yang berbahaya. Hal ini menyebabkan makanan jajanan menjadi tidak sehat dan berbahaya untuk dikonsumsi (Lindiawati, 2013). Menurut Rahayu et al dalam Triatama (2014), makanan jajanan merupakan jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat permukiman serta lokasi yang sejenis. Makanan jajanan dapat dibagi menjadi empat kelompok : pertama adalah makanan utama atau main dish, contohnya nasi remes, nasi rawon, nasi pecel dan sebagainya; yang kedua adalah panganan atau snacks, contohnya kue-kue, onde-onde, pisang goreng dan lain sebagainya; kelompok ketiga adalah golongan minuman, seperti es teler, es buah, teh dan lain sebagainya; dan kelompok keempat adalah buahbuahan segar dari mangga, durian, dan lain sebagainya.Pada saat jam istirahat atau jam pulang sekolah dapat ditemui semua pedagang dan kantin sekolah dipenuhi siswa untuk membeli jajanan. Rata-rata jumlah penjual jajanan yang berjualan di luar area sekolah berjumlah 10 pedagang yang menjual jenis jajanan yang berbeda-beda dari mulai aneka minuman hingga aneka cemilan. Di dalam area sekolah rata-rata memiliki 2 buah kantin yang menjual aneka jenis makanan jajan dari makanan pokok, cemilan hingga minuman (Natya, 2014). Menurut Syafitri, et al (2009), terdapat 95 jenis makanan jajanan yang dijual di lingkungan sekolah. Makanan jajanan yang paling banyak dijual adalah makanan camilan/panganan (47 jenis), minuman (30

jenis), dan sisanya sebanyak 18 jenis merupakan makanan utama/sepinggan. Sebagian besar makanan jajanan (77.8%) tersedia di kantin sekolah dan hanya 22.2% yang tersedia di luar sekolah. Makanan jajanan kelompok makanan utama/sepinggan yang tersedia sebagian besar (72.2%) merupakan makanan jajanan tradisional, hanya 27.8% yang berupa makanan pabrikan. Makanan utama/sepinggan tradisional yang dijual diantaranya bubur ayam, kwetiau, nasi goreng, mie ayam, dan lainnya. Makanan utama/sepinggan yang merupakan makanan pabrikan seluruhnya tersedia dalam bentuk mie instant. Makanan jajanan kelompok makanan camilan/ panganan sebagian besar (76.6%) merupakan makanan pabrikan. Makanan jajanan yang dijual di sekolah diantaranya aneka produk ekstruksi, keripik, biskuit, coklat, permen, kacang, serta produk hasil olahan daging dan ikan. Makanan jajanan kelompok minuman sebagian besar minuman (73.3%) merupakan minuman pabrikan. Minuman pabrikan yang tersedia dalam bentuk minuman serbuk, air kemasan beraroma, minuman berkarbonasi, minuman jelly, serta susu dan produk olahannya. Minuman tradisional yang tersedia diantaranya adalah jus buah dan aneka minuman es. Jenis jajanan makanan yang ditemukan mengandung BTP berbahaya di wilayah Blitar antara lain kerupuk, kripik, mie basah, mie kering, makaroni, dan sate nugget. Jenis jajanan yang mengandung BTP berbahaya di wilayah Malang antara lain tahu putih, tahu kuning, sirup kerupuk, dan cilok. Jenis makanan yang mengandung BTP berbahaya di wilayah pasuruan antara lain, kerupuk tenggiri, usus, kerupuk pink, kerupuk bulat, kerupuk tahu, kerupuk ikan nila, kerupuk bawang, kerupuk bawang kuning, rengginang, kerupuk putih, kerupuk kuning, stik pedas, makaroni pedas, kerupuk, kerupuk pedas, nugget. Jenis makanan yang mengandung BTP berbahaya di wilayah Bangkalan antara lain makaroni kuda mas, snack gopek, bihun, makaroni, sate usus, usus goreng, cimol dan kerupuk putih seperti pada Tabel 1.2 Tabel 1.2 Jenis Jajanan yang Teridentifikasi Mengandung BTP Berbahaya Wilayah dan Jenis Jajanan No Jenis Jajanan Malang Blitar PasuBangka1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Kerupuk Keripik Mie Nugget Usus Cilok Tahu Minuman Makaroni Rengginang Stik pedas/manis Cimol Es lilin

Rofieq et al, Analisis Bahan Tambahan available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

ruan

lan

1 1 2 1/9 -/1

12 5 4 2 2 2 -/5 2 -

17 1 1 1 -/4 1 2 1

1 1 2 -/3 3 -

-

-/4

-

1 -/2

78

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

No

Jenis Jajanan

14. 15.

Carang emas Biskuit

Wilayah dan Jenis Jajanan Malang

Blitar

-/2 -/3

Pasuruan

Bangkalan

-/2

1/1

Hasil perhitungan Chi Squareuntuk BTP Boraks didapatkan nilai Xhitung sebesar 24,65 lebih besar dari nilai Xtabel sebesar 7,81 maka terdapat perbedaan jumlah BTP boraks antar SMA/MA di wilyah Jawa Timur. Hasil perhitungan BTP Formalin didapatkan nilai Xhitung sebesar 2,16 lebih kecil dari nilaiXtabel sebesar 5,99 sehingga tidak terdapat perbedaan jumlah BTP formalin antar SMA/MA di wilyah Jawa Timur. Hasil perhitungan BTP rhodamin Bdidapatkan nilai Xhitung sebesar 5,98 lebih kecil dari nilaiXtabel sebesar 5,99 sehingga tidak terdapat perbedaan jumlah BTP rhodamin Bantar SMA/MA di wilayah Jawa Timur. Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya dikenal sebagai pangan siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara rutin dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah (Kemenkes(2011) dalam Lubis(2016)). Pangan jajanan bermanfaat terhadap penganekaragaman makanan dalam rangka peningkatan mutu gizi makanan yang dikonsumsi. Makanan jajanan memberikan kontribusi masing-masing sebesar 22,9%, dan 15,9% terhadap keseluruhan asupan energi dan protein anak sekolah dasar (Sajiman et al¸2015).Menurut Ariani (2012) dalam Hilda (2013), keamanan pangan jajanan sekolah perlu diperhatikan dengan serius. Makanan yang sering menjadi sumber keracunan adalah makanan ringan dan jajanan, karena hasil produksinya yang mungkin kurang dapat menjamin kualitas produk olahannya. Makanan jajanan anak sekolah cenderung menggunakan bahan-bahan pengawet, pewarna, aroma, penyedap, pemanis, sehingga dapat mengancam kesehatan anak. Boraks dalam bentuk asam borat tidak terdisossiasi dan akan terdistribusi pada semua jaringan. Boraks akan diekskresikan >90% melalui urine dalam bentuk yang tidak dimetabolisir. Waktu paruh dari senyawa kimia boraks adalah sekitar 20 jam, namun pada kasus dimana terjadi konsumsi dalam jumlah yang besar maka waktu eliminasi senyawa boraks akan berbentuk bifasik yaitu 50% dalam 12 jam serta 50% lainnya akan diekskresikan dalam waktu 1-3 minggu. Selain diekskresi melalui urin, boraks juga di ekskresikan dalam jumlah yang minimal melalui saliva, keringat dan feces. Mengkonsumsi makanan yang menganung boraks memang tidak langsung berakibat buruk terhadap kesehatan. Tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi sedikit karena diserap dalam tubuh secara kumulatif. Seringnya mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks, salah satunya akan menyebabkan gangguan hati.Masuknya boraks yang terus menerus, akan menyebabkan rusaknya membran sel hepar, kemudian diikuti kerusakan pada sel parenkim hepar. Hal ini terjadi karena gugus aktif boraks B-O-B (B=O) akan mengikat protein dan lipid tak jenuh sehingga menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi

lipid dapat merusak permeabilitas sel karena membran sel kaya akan lipid, sebagai akibatnya semua zat dapat keluar masuk ke dalam sel (Adinugroho, 2013). Sementara itu Bahan Tambahan Pangan lainnya yakni Formalin yang telah dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh akan berubah menjadi senyawa asam format. Asam format yang sudah terbentuk masuk akan beredar dalam tubuh, salah satunya menuju organ hepar melalui vena porta. Di dalam hepar, asam format akan mempengaruhi semua sel yang ada di hepar. Sel kupffer hepar akan memicu pengeluaran Reactive Oxygen Species (ROS). ROS merupakan radikal bebas yang bersifat toksik apabila terdapat di dalam tubuh. ROS yang terbentuk akan menyebabkan terbukanya kanal pada membran mitokondria sehingga akan memicu keluarnya protein sitokrom yang dapat mengakibatkan aktifnya Cascade. Aktifasi Cascade memiliki berfungsi mengatur kematian sel secara ototmatis yang disebut dengan proses apoptosis. Hal ini menyebabkan keluarnya protein salah satunya sitokrom ke sitosol. Pengeluaran sitokrom dapat mengaktifkan Cascade. Proses tersebut sel dalam keadaan kekurangan ATP sehingga perlahan-lahan akan menyebabkan hipoksia dan berakhir dengan kerusakan sel (Rindwitia, et al 2015). Kerusakan pada sel-sel hepar menyebabkan pembengkakan inti dan sitoplasma sel-sel hepar sehingga isi sel keluar ke jaringan ekstraseluler. Proses tersebut mengakibatkan ke luarnya enzim SGPT dan SGOT ke aliran darah. Apabila kadar formalin yang masuk ke dalam tubuh melebihi batas toleransi akan memicu peningkatan kadar enzim SGOT dan SGP. Serum Glutamat Oksalo Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT) merupakan enzim transaminase. Enzim SGOT banyak ditemukan paru-paru, otot jantung, ginjal eritosit, otot rangka, pankreas, tulang dan otak. Sedangkan enzim SGPT banyak terdapat pada hepar dan sedikit keberadaanya pada jantung, ginjal, dan otot rangka. Apabila terjadi kerusakan pada hepar akan secara langsung memicu peningkatan kadar SGOT dan SGPT (Rindwitia, et al 2015). Rhodamin Bmerupakan salah satu Bahan Tambahan Pangan Berbahaya yang tidak boleh ada dalam bahan pangan. Di dalam Rhodamin B terdapat ikatan dengan klorin (CL) yang dimana senyawa klorin ini merupakan senyawa anorganik yang reaktif dan juga berbahaya. Reaksi untuk mengikat ion klorin disebut sebagai sintesis zat warna.disini dapat digunakan Reaksi Frield-Crafts untuk mensintesis zat warna seperti triarilmetana dan xentana. Reaksi antara ftalat anhidrida dengan resorsinol, sedangkan dengan keberadaan seng klorida menghasilkan fluorescein. Apabila resorsinol diganti dengan N-N-dietilaminofenol, reaksi ini akan menghasilkan Rhodamine B. Selain terdapat ikatan Rhodamine B dengan Klorin terdapat juga ikatan konjugasi. Ikatan konjugasi dari Rhodamine B inilah yang menyebabkan Rhodamine B berwarna merah. Ditemukannya bahaya yang sama antara Rhodamine B

Rofieq et al, Analisis Bahan Tambahan available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

79

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

dan Klorin membuat adanya kesimpulan bahwa atom Klorin yang ada pada Rhodamine B menyebabkan terjadinya efek toksik bila masuk kedalam tubuh manusia. atom CL yang ada sendiri adalah termasuk dalam halogen, dan sifat halogen yang berada dalam senyawa organik akan menyebabkan toksikdan karsinogenik (Sri, 2013). Perjalanan metabolisme Rhodamin B hingga bisa menjadi salah satu penyebab kerusakan organ secara sistemik disebabkan oleh sifatnya yang polar, akibat sifat polarnya tersebut, Rhodamin B yang tak termetabolisme oleh hepar akan menyebar mengikuti aliran darah dengan berinteraksi dengan asam amino dalam globin darah, dan menciptakan globin adduct. Pengertian adduct adalah suatu bentuk kompleks saat senyawa kimia berikatan dengan molekul biologi. Tujuan utama penentuan level adduct adalah sebagai salah satu parameter resiko paparan senyawa mutagenik dan karsinogenik. Rhodamin B juga dapat terkontaminasinya senyawa anorganik (timbal dan arsen), menyebabkan Rhodamin B berbahaya jika digunakan sebagai pewarna pada makanan dan minuman. Selain itu di dalam Rhodamine B sendiri terdapat ikatan dengan klorin (CL) yang dimana senyawa klorin ini merupakan senyawa anorganik yang reaktif dan juga berbahaya. Penyebab lain dari Klorin sangat berbahaya jika dikonsumsi karena Klorin merupakan senyawa radikal, senyawa radikal adalah senyawa yang tidak stabil. Dalam struktur Rhodamine kita ketahui mengandung klorin (senyawa halogen), sifat halogen adalah mudah bereaksi atau memiliki reaktivitas yang tinggi maka dengan demikian senyawa tersebut karena merupakan senyawa yang radikal akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan berikatan dengan senyawa-senyawa dalam tubuh kita sehingga pada akhirnya akan memicu kanker pada manusia (Sri, 2013). Bahan Tambahan Pangan berbahaya yang terakhir adalah Metanil yellow merupakan salah satu zat warna azo yang dilarang digunakan dalam pangan. Zat warna azo merupakan jenis zat warna sintetis yang cukup penting. Ilmuwan pada umumnya mempergunakan zat warna azo dalam penelitiannya, karena hampir 90% dari bahan pewarna pangan terdiri dari zat warna azo. Selain itu, lebih dari 50% zat warna azo termasuk dalam daftar Color Index. Zat warna azo mempunyai sistem kromofor dari gugus azo (-N=N) yang berikatan dengan gugus aromatik. Zat warna azo yang masuk ke dalam sistem pencernaan akan diabsorpsi dan direduksi oleh mikroorganisme yang berada di dalam saluran cerna pada kondisi anaerobik. Ikatan azo yang direduksi ini menghasilkan produk antara (intermediat) yaitu turunan amino azo benzen yang diduga bersifat karsinogen. Jadi efek toksik dari metanil yellow bukan disebabkan oleh pewarna itu sendiri melainkan akibat adanya degradasi pewarna yang bersangkutan (Susilo, 2014). Dari saluran pencernaan, senyawa tersebut akan dibawa langsung ke hati melalui vena porta atau melalui sistem limfatik ke vena kava superior. Didalam hati, senyawa tersebut dimetabolisme dan atau dikonjugasi,

lalu ditransportasikan ke ginjal untuk diekskresikan bersama urin. Senyawa-senyawa tersebut dibawa dalam aliran darah sebagai molekul yang tersebar dan larut dalam plasma, sebagai molekul yang terikat reversibel dengan protein dan konstituen lain dalam serum, maupun sebagai molekul bebas atau terikat yang tidak mengandung eritrosit dan unsur-unsur lain dalam pembentukan darah. Zat warna yang dimetabolisme dan atau dikonjugasi dihati, beberapa ada yang melanjut ke empedu memasuki jalur sirkulasi enterohepatik. Zat warna azo yang larut dalam air akan diekskresi secara kuantitatif melalui empedu, sedangkan yang larut dalam lemak akan diabsorpsi sempurna dalam usus dan dimetabolisme dalam hati oleh enzim azo-reduktase membentuk amin primer yang sesuai. Pada molekul pewarna azo, ikatan azo merupakan ikatan yang bersifat paling labil sehingga dapat dengan mudah diurai oleh enzim azo-reduktase yang terdapat dalam tubuh mamalia, termasuk manusia. Pada mamalia, enzim azo-reduktase (dengan berbagai aktivitasnya) dapat dijumpai pada berbagai organ, antara lain hati, ginjal, paru-paru, jantung, otak, limpa, dan jaringan otot (Susilo, 2014). Menurut Solihin (2005) dalam Purtiantini (2010), pengetahuan gizi anak sangat berpengaruh terhadap pemilihan makanan jajanan. Pengetahuan anak dapat diperoleh baik secara internal maupun eksternal. Pengetahuan secara internal yaitu pengetahuan yang berasal dari dirinya sendiri berdasarkan pengalaman hidup. Pengetahuan secara eksternal yaitu pengetahuan yang berasal dari orang lain sehingga pengetahuan anak tentang gizi bertambah. Tingkat pengetahuan keamanan pangan siswadidapatkan dari kegiatan pengisian 23 soal instrument yang terdiri atas 2 bagian yaitu, soal dengan nomor genap berjumlah 11 yang membahas tentang BTP sedangkan soal dengan nomor ganjil berjumlah 12 merupakan soal yang membahas tentang sanitasi pangan. Berdasarkan 23 pertanyaan menunjukan bahwa wilayah Malang yang paling banyak menjawab soal dengan tepat adalah soal nomer 4 tentang prinsip membeli makanan sebanyak 40 orang (100%), wilayah Blitar yang paling banyak menjawab soal dengan tepat adalah soal nomer 20 tentang contoh sikap pedagang yang tidak baik ketika berjualan sebanyak 37 orang (92.5%), wilayah Pasuruan yang paling banyak menjawab soal dengan tepat adalah soal nomer 16 tentang batas penggunaan minyak goreng untuk menggoreng pangan sebanyak 37 orang (92.5%), dan untuk wilayah Bangkalan yang paling banyak menjawab soal dengan tepat adalah soal nomer 4 tentang Prinsip membeli makanan sebanyak 39 orang (97.5%). Dari 23 pertanyaan, yang menjawab soal paling banyak tidak tepat untuk wilayah Malang adalah soal nomer 10 tentang akibat berjualan di dekat jalan raya sebanyak 39 orang (97.5%) sedangkan yang menjawab dengan tepat hanya 1 orang (2.5%), untuk wilayah Blitar yang menjawab soal paling banyak tidak tepat adalah soal nomer 10 tentang akibat berjualan di dekat jalan raya sebanyak 40 orang (100%) sehingga jawaban tidak ada

Rofieq et al, Analisis Bahan Tambahan available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

80

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

yang tepat, wilayah Pasuruan yang menjawab soal paling banyak tidak tepat adalah soal nomer 14 tentang batas menyimpan makanan berkuah dalam suhu ruang sebanyak 37 orang (92.5%) sedangkan yang menjawab benar hanya 3 orang (7.5%), dan wilayah Bangkalan yang menjawab soal paling banyak salah adalah soal nomer 10 tentang akibat berjualan di dekat jalan raya sebanyak 38

No 1 2 3

orang (95%) sedangkan yang menjawab benar hanya 2 orang (5%). Berdasarkan hasil skor dari jawaban para siswa maka pengetahuan dikategorikan ke dalam 3 kategori yakni kategori pengetahuan baik, sedang dan kurang. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Kategori Tingkat Pengetahuan Keamanan Pangan Para Siswa di Wilayah SMA/MA Jawa Timur Malang Blitar Pasuruan Bangkalan Total Kategori Pengetahuan N % N % N % N % N % Baik 13 32.5 7 17.5 4 10 3 7.5 27 16.9 Sedang 27 67.5 31 77.5 33 82.5 26 65 117 73.1 Kurang 0 0 2 5 3 7.5 11 27.5 16 10 Total 40 100 40 100 40 100 40 100 160 100

Tabel 1.3 menunjukkan bahwa siswa di wilayah SMA/MA Malang berada pada kategori pengetahuan sedang (67.5%) atau sebanyak 27 siswa, lebih banyak dari kategori siswa yang memiliki pengetahuan dalam kategori baik (32.5%) atau sebanyak 13 siswa. Wilayah SMA/MA Blitar sebanyak 7 siswa (17.5%) memiliki tingkat pengetahuan dalam kategori baik, sebanyak 31 siswa (77.5%)memiliki tingkat pengetahuan dalam kategori sedang dan 2 siswa (5%) memiliki tingkat pengetahuan dalam katagori rendah.Wilayah SMA/MA Pasuruan sebanyak 33 siswa (82.5%)memiliki tingkat pengetahuan kategori sedang lebih banyak dari kategori siswa yang memiliki tingkat pengetahuan kategori baik yakni 4 siswa (10%) selebihnya sebanyak 3 siswa (7.5%)memiliki tingkat pengetahuan dalam kategori rendah. Sedangkan wilayah SMA/MA Bangkalan sebanyak 26 siswa (65%) memiliki tingkat pengetahuan dalam kategori sedang lebih banyak dari kategori siswa yang memiliki tingkat pengetahuan kategori baik yakni 3 siswa (7.5%) dan sebanyak 11 siswa (27.5%) memiliki tingkat pengetahuan kategori rendah. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa wilayah SMA/MA Jawa Timur untuk tingkat pengetahuan keamanan pangan para siswa masuk ke dalam kategori sedang (73.1%) lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pengetahuan dengan kategori baik (16,9%) dan kategori rendah (10%). Tingkat pengetahuan keamanan pangan para siswa di wilayah SMA/MA Jawa Timur memiliki perbedaan seperti yang terlihat pada tabel 1.3 diatas. Berdasarkan hasil analisis uji Anova Satu Jalur, menunjukan nilai Fhitung sebesar 11,897. Sehingga Fhitung (11,879) > Ftabel (2,66) dan dapat diambil kesimpulan terdapat perbedaaan tingkat pengetahuan keamanan pangan para siswa di SMA/MA di Jawa Timur. Perbedaan tersebut bisa dikarenakan berbagai faktor seperti pendidikan di setiap wilayah. Menurut Wawan (2010) dalam Primivita (2015) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah pendidikan, umur, lingkungan dan sosial budaya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial seseorang maka tingkat pengetahuannya akan semakin tinggi pula. Begitu juga dengan umur, semakin bertambahnya umur seseorang maka pengetahuannya juga

semakin bertambah.Setiap manusia memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda-beda.Tingkatan pengetahuan dimulai dari tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis) dan evaluasi (evaluation). Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka semakin tinggi pula kemampuan individu tersebut di dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek (Primivita, 2015). Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus. Usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan anak menuju masa remaja, maka diperlukan pemberian asupan zat gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Asupan zat gizi yang cukup dan makanan yang aman dikonsumsi sangat penting. Kebiasaan mengonsumsi makanan jajanan sangat popular di kalangan anak sekolah. Lingkungan makanan di sekolah penting diperhatikan, karena cukup banyak makanan yang tidak sehat tersedia di sekolah (Damayanthi, et al 2013). Penyelenggaraan makanan yang higiene dan sehat menjadi prinsip dasar penyelenggaraan makanan institusi. Makanan yang tidak dikelola dengan baik dan benar oleh penjamah makanan dapat menimbulkan dampak negatif seperti penyakit dan keracunan akibat bahan kimia, mikroorganisme, tumbuhan atau hewan, serta dapat pula menimbulkan alergi. Faktor kebersihan penjamah atau pengelola makanan yang biasa disebut higiene personal merupakan prosedur menjaga kebersihan dalam pengelolaan makanan yang aman dan sehat. Prosedur menjaga kebersihan merupakan perilaku bersih untuk mencegah kontaminasi pada makanan yang ditangani. Prosedur yang penting bagi pekerja pengolah makanan adalah pencucian tangan, kebersihan dan kesehatan diri. (Fatmawati et al, 2013). KESIMPULAN 1. Jenis BTP berbahaya yang teridentifikasi dalam jajanan yang diperdagangkan di wilayah SMA/MA Jawa Timur antara lain Boraks sebanyak 55 Sampel, Formalin 5 Sampel, Rhodamin B sebanyak 6 Sampel. Sementara Methanyl Yellow tidak ditemukan.

Rofieq et al, Analisis Bahan Tambahan available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

81

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

2. Jenis jajanan yang teridentifikasi mengandung BTP berbahaya yang diperdagangkan di wilayah SMA/MA Jawa Timur antara lainWilayah Blitar yaitu, kerupuk, kripik, mie basah, mie kering, makaroni, dan sate nugget. Wilayah Malang yaitu, tahu putih, tahu kuning, sirup kerupuk, dan cilok. Wilayah pasuruan yaitu, kerupuk tenggiri, usus, kerupuk pink, kerupuk bulat, kerupuk tahu, kerupuk ikan nila, kerupuk bawang, kerupuk bawang kuning, rengginang, kerupuk putih, kerupuk kuning, stik pedas, makaroni pedas, kerupuk, kerupuk pedas, nugget. Wilayah Bangkalan yaitu, makaroni kuda mas, snack gopek, bihun, makaroni, sate usus, usus goreng, cimol dan kerupuk putih 3. Tingkat pengetahuan keamanan pangan para siswa di wilayah SMA/MA Jawa Timur sebanyak 117 siswa (73,1%) memiliki tingkat pengetahuan sedang, 27 siswa (16,9%) memiliki tingkat pengetahuan baik dan 16 siswa (10%) memiliki tingkat pengetahuan kurang. 4. Terdapat perbedaan jumlah BTP Boraks antar sekolah SMA/MA di jawa Timur dikarenakan hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa nilai Xhitung 24,56 lebih besar dari Xtabel 7,81. Sementara untuk jumlah BTP Rhodamin B dan Formalin tidak terdapat perbedaanantar sekolah SMA/MA di jawa Timur, dengan nilai Xhitung Formalin 2,16 lebih kecil dari Xtabel Formalin 5,99. Nilai Xhitung Rhodamin B 5,98 juga lebih kecil dari Xtabel Rhodamin B 5,99. 5. Tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan keamanan para siswa di wilayah SMA/MA di Jawa Timur, dengan hasil uji Anava satu jalur yakni nilai Fhitung 11,879 lebih besar dari Ftabel 2,66. DAFTAR RUJUKAN Adinugroho, Nurjaya. 2013. Pengaruh Pemberian Boraks Dosis Bertingkat Terhadap Perubahan Gambaran Makroskopis Dan Mikroskopis Hepar Selama 28 Hari (Studi pada tikus wistar). Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Adri, Anggara Y. 2014. Pengaruh Pemberian Methanil Yellow Peroral Dosis Bertingkat Selama 30 Hari Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Mencit BALB/C. Jurnal Media Medika Muda. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Apriliani, Ari., Sukarsa., & Hexa, A.P. 2014. Kajian Etnobotani Tumbuhan Sebagai Bahan Tambahan Pangan Secara Tradisional Oleh Masyarakat Di Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas. Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Annisa, Anantika. 2015. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Dijual oleh Pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015. Skripsi tidak diterbitkan.

FIKES Universitas Hidayatullah Jakarta.

Islam

Negeri

Syarif

Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2010. Volume XI Nomor 1. Cahyadi, Wisnu. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Makanan. Jakarta: Bumi Aksara. Damayanthi, Evy., Khotimah, K., dkk. 2013. Pendidikan Gizi Informal Kepada Penjaja Makanan Untuk Peningkatan Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Dasar (Informal Nutrition Education To Food Vendors For Improving Safety Of StreetFoods Selling At Primary School). Penelitian Gizi dan Makanan. Vol. 36 (1): 20-30. Faradila., Alloes, Y., & Elmatris. 2014. Identifikasi Formalin pada Bakso yang Dijual pada Beberapa Tempat di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(2). Fatmawati, Suci., Rosidi, A., & Erma, H. 2013. Perilaku Higiene Pengolah Makanan Berdasarkan Pengetahuan Tentang Higiene Mengolah Makanan Dalam Penyelenggaraan Makanan Di Pusat Pendidikan Dan Latihan Olahraga Pelajar Jawa Tengah. Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 08. Hayati, Nur, Hasna & Suryani, D. 2011. Analisis Kandungan Nitrit Dalam Sosis Pada Distributor Sosis Di Kota Yogyakarta Tahun 2011. Jurnal KESMAS UAD. ISSN : 1978-0575. Hidayat, Taufiq. 2014. Penerapan Media Poster Dan Media Audiovisual Terhadap Hasil Belajar Pada Materi Passing Bawah Bolavoli (Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Mojosari Kabupaten Mojokerto). Jurnal Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Volume 02 Nomor 03. Hilda, CH Wihida. 2013. Hubungan Pengetahuan Memilih Makanan Jajanan dan Kebiasaan Jajanan Dengan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar di SDN Karangasem 3 Surakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Program Studi DIII Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Indah, Wardani. R., & Mulansari, S. A. 2016. Identifikasi Formalin Pada Ikan Asin Yang Dijual Di Kawasan Pantai Teluk Penyu Kabupaten Cilacap. KESMAS, Vol.10, No.1, pp. 15-24. ISSN: 1978 – 0575. Lindiawati, Puspitasari Riris. 2013. Kualitas Jajanan Siswa di Sekolah Dasar. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains Dan Teknologi, Vol. 2, No.1. Lubis, May Hastuti. 2016. Analisis Bahan Tambahan Pangan Berbahaya dan Tingkat Pengetahuan Keamanan Pangan para Santri Terhadap Jajanan yang Diperdagangkan di Wilayah Pesantren Jawa

Rofieq et al, Analisis Bahan Tambahan available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

82

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Timur. Skripsi tidak diterbitkan. FKIP. Universitas Muhammadiyah Malang Maryani, Ait., & Nuraeni Ida. 2010. Penggunaan Zat Additive Alami Dan Non Alami Di Desa Situ Udik Dan Desa Cimanggu-I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 5 No. 1. Natya, Minal L. 2014. Hubungan Antara Pengetahuan, Pola Konsumsi Jajanan. Skripsi Tidak Diterbitkan. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Payu, M., Abidjulu, J., & Citra, G. 2014. Analisis Boraks Pada Mie Basah Yang Dijual Di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 3 No. 2. ISSN 2302 – 2493. Primivita, Nadia Dirgahayu. 2015.Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Siswa di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Gonilan Kartasura Sukoharjo. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Kedokteran. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Purtiantini. 2010. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Mengenai Pemilihan Makanan Jajanan Dengan Perilaku Anak Memilih Makanan Di Sdit Muhammadiyah Al Kautsar Gumpang Kartasura. Skripsi tidak diterbitkan. FIKES Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ratna, Wulan S. S. 2015. Identifikasi Formalin Pada Udang Dari Pedagang Udang Di Kecamatan Panakukang Kota Makassar. Universitas Hasanuddin. Rindiwitia, A. P. I., Djamil, S. R., & Afiana, R. 2015. Pengaruh Formalin Peroral Terhadap Kadar SGOT dan SGPT Tikus Wistar. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah Volume 2 Nomor 1. Riska, Putra, I., Asterina., & Laila, I. 2014. Gambaran Zat Pewarna Merah Pada Saus Cabai Yang Terdapat Pada Jajanan Yang Dijual Di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Padang Utara. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3). Sajiman., Nurhamidi. & Mahpolah. 2015. Kajian Bahan Berbahaya Formalin, Boraks, Rhodamin B dan Methalyn Yellow pada Pangan Jajanan Anak Sekolah di Banjarbaru. Jurnal Skala Kesehatan Volume 6 No. 1. Sinaga, Helena. 2009. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Guru Sekolah Dasar terhadap Makanan yang Mengandung Bahan Tambahan Pangan dan

Bahan Kimia Berbahaya Pada Sekolah Dasar Di Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan Tahun 2009. Skripsi. Universitas Sumatra Utara. Medan Siti, Nunuk R. 2011. Tingkat Pengetahuan Para Ibu Tentang Keamanan Pangan Pada Penggunaan Bahan-Bahan Tambahan Pangan Dalam Produk Makanan Yang Sering Dikonsumsi. FTP Unwidha Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. ISBN : 978979-17342-0-2 Sri, Dewi Purnamasari. 2013. Pengaruh Rhodamine B Peroral Dosis Bertingkat Selama 12 Minggu Terhadap Gambaran Histomorfometri Limpa (Studi Pada Diameter Folikel Pulpa Putih, Diameter Centrumgermi Nativum Dan Jarak Zona Marginalis Limpa Tikus Wistar). KTI Tidak Diterbitkan. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Sugiyatmi, S. 2006. Analisis Faktor-Faktor Risiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Dan Pewarna Pada Makanan Jajanan Tradisional Yang Dijual Di Pasar-pasar Kota Semarang Tahun 2006. Semarang: Universitas Diponegoro. Susilo, Anthony. 2014. Pengaruh Pemberian Metanil Yellow Peroral Dosis Bertingkat Selama 30 Hari Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit BALB/C. Skripsi tidak diterbitkan. FK Universitas Diponegoro. Syafitri, Yunita., Syarif. H., & Yayuk, F. B. 2009. Kebiasaan Jajan Siswa Sekolah Dasar (Studi Kasus di SDN Lawanggintung 01 Kota Bogor). Jurnal Gizi dan Pangan. 4(3): 167 – 175. Triatama, Joni. 2014. Identifikasi Kandungan Boraks Pada Keripik Usus Ayam (Berizin) Yang Dijual Di Pasar Besar Kota Kuala Kapuas Kalimantan Tengah. Skripsi tidak diterbitkan. FIKES Program Studi DIII Farmasi. Utami, Wahyu. & Suhendi, Andi. 2009. Analisis Rhodamin B Dalam Jajanan Pasar Dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 10, No. 2, 2009: 148 – 155. Winarno, F.G. 2004. Keamanan Pangan Jilid 1. Bogor: M-Brio Press. Yamlean, P. V. Y. 2011. Identifikasi Dan Penetapan Kadar Rhodamin B Pada Jajanan Kue Berwarna Merah Muda Yang Beredar Di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Sains Vol. 11 No. 2.

Rofieq et al, Analisis Bahan Tambahan available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

83