SKRIPSI PERANAN TEPUNG JAGUNG

Download Mi jagung merupakan salah satu jenis produk yang ditujukan untuk dapat mendukung program diversifikasi pangan. Jenis mi jagung yang telah ...

1 downloads 743 Views 2MB Size
SKRIPSI

PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG

Oleh

ISNAINI INDRAWURI F24052713

2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ISNAINI INDRAWURI F24052713

2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Judul Skripsi

: Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung

Nama

: Isnaini Indrawuri

NIM

: F24052713

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.

NIP. 19680526 199303 1 004

NIP. 19610802 198703 2 002

Mengetahui, Ketua Departemen ITP

Dr. Ir. Dahrul Syah NIP. 19650814 199002 1 001

Tanggal Ujian : 5 Maret 2010

Isnaini Indrawuri. F24052713. Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung. Dibawah bimbingan: Feri Kusnandar dan Nurheni Sri Palupi. RINGKASAN Mi jagung merupakan salah satu jenis produk yang ditujukan untuk dapat mendukung program diversifikasi pangan. Jenis mi jagung yang telah dikembangkan diantaranya adalah mi basah dan mi kering jagung yang dibuat dari 100% tepung jagung dengan teknologi kalendering/sheeting. Namun, penggunaan tepung jagung 100% menghasilkan mi basah jagung yang keras, mudah putus, dan kurang kenyal setelah direhidrasi dan mi kering jagung yang rapuh dan mudah patah sebelum direhidrasi dan keras, mudah putus, kurang kenyal serta lengket setelah direhidrasi. Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki karakteristik mi jagung dan pendekatan yang dilakukan adalah memodifikasi tepung jagung. Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh modifikasi HMT terhadap karakteristik tepung jagung, menentukan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung (basah dan kering), dan mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung yang disubstitusi tepung jagung HMT. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap modifikasi dan karakterisasi tepung jagung native serta tepung jagung HMT, penentuan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung, dan uji penerimaan konsumen terhadap produk akhir mi jagung. Modifikasi tepung jagung HMT dilakukan pada kadar air terkendali (24%) pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Modifikasi HMT (Heat Moisture Treatment) dapat mengubah sifat gelatinisasi tepung jagung dari tipe B (viskositas puncak sedang dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam) menjadi tipe C (tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan atau tidak memiliki nilai breakdown). Perubahan tersebut antara lain peningkatan suhu awal gelatinisasi dari 74,25 oC menjadi 79,50oC, penurunan viskositas maksimum tepung jagung dari 659,00 BU menjadi tidak ada, penurunan nilai breakdown dari 4,00 BU menjadi tidak ada, dan peningkatan nilai setback dari 315,00 BU menjadi 525,00 BU. Substitusi tepung jagung HMT memudahkan proses pembentukan adonan, adonan menjadi tidak lengket dan mudah dibentuk lembaran serta dicetak. Selain itu, waktu pengukusan adonan menjadi lebih panjang, yaitu 14-16 menit. Substitusi tepung jagung HMT juga meningkatkan kualitas mi basah jagung dan mi kering jagung. Secara objektif, substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan nilai kekerasan, KPAP, dan kelengketan serta meningkatkan nilai kekenyalan dan persentase elongasi mi jagung secara nyata (α=0,05). Secara subjektif (organoleptik), substitusi tepung jagung HMT secara nyata (α=0,05) menurunkan nilai kekerasan dan kelengketan, serta meningkatkan kekenyalan. Berdasarkan hasil uji penerimaan konsumen pada 175 orang responden, sebanyak 69,12% responden menyukai produk olahan mi basah jagung native dan sebanyak 60% menyukai produk olahan mi basah jagung HMT. Responden yang menyukai produk olahan mi kering jagung native sebesar 43%, sedangkan responden yang menyukai produk olahan mi kering jagung HMT sebesar 55%.

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Isnaini Indrawuri, dilahirkan pada tanggal 30 April 1987 di Tegal dan merupakan putri pertama dari pasangan Seto Sukaton dan Latifah. Penulis menempuh pendidikan di TK Tunas Patria (1992-1993), pendidikan dasar di SDN 03 pagi Balekambang,

Jakarta

Timur

(1993-1999),

pendidikan

menengah pertama di SLTPN 3 Cibinong (1999-2002), dan pendidikan menengah atas di SMUN 3 Bogor (2002-2005). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai pengurus Koperasi Mahasiswa (20062008) dan pengurus HIMITEPA (2006-2008). Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan 2007, Ice Cream Day 2005, 2006 dan 2007 merupakan diantara kegiatan yang pernah diikuti penulis dalam kegiatan kepanitiaan. Seminar dan training yang penah penulis ikuti antara lain Seminar “Menuju Ketahanan Pangan yang Kokoh” oleh SEAFAST CENTER-IPB tahun 2008, Training Sistem Manajemen Halal tahun 2008, Seminar Nasional “Food Safety, Quality, and Nutrition for The Best Future” tahun 2007, dan “Peluang Karir dan Prospek Bisnis di Lembaga Penddidikan” tahun 2006. Selama masa kuliah, penulis mendapatkan beasiswa dari BPOM pada tahun 2006 dan 2007 serta beasiswa Tanoto Foundation tahun 2007-2009. Penulis juga pernah menjadi asisten pelatih proses pembuatan mi jagung dan untuk UKM yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center untuk program Rusnas Diversifikasi Pangan serta pernah menjadi koordinator proses produksi rutin mi jagung pada tahun 2009. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan Judul “Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung” di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc dan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur, tak henti penulis panjatkan hanya ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung”. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan pula kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada : 1.

Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu sabar dalam mendidik penulis menjadi manusia yang berguna. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi dan doa untuk penulis. Untuk saudara-saudara tersayang; Srini Larasati dan Dipo Suwandono terima kasih atas kasih sayang, dukungan, dan kehangatan keluarga yang indah.

2.

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc sebagai dosen pembimbing, atas kesabaran, nasihat, motivasi serta segala pelajaran hidup yang telah diberikan kepada penulis selama 3 tahun ini.

3.

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si selaku dosen pembimbing II yang selalu memberikan masukan-masukan hingga terselesaikannya skripsi ini serta kelembutan dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.

4.

Elvira Syamsir, STP, M.Si selaku dosen penguji, atas saran-saran yang membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

5.

Seluruh Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis, serta laboran-laboran ITP dan Seafast Center (Bu Sri, Bu Rub, Pak Rojak, Pak Ilyas dan Pak Jun) yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

6.

Andhika Prima Prasetyo, S.Pi atas kasih sayang, doa, dukungan, dorongan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

i

7.

Teman-teman se-bimbingan, Indri, Juju dan Ka Gema, atas kebersamaan, dukungan dan kerja sama yang indah.

8.

Teman-teman terbaik, terutama Anggun, Cany, Esther, Dina, Tuti, Olo, Siyam, Sina, Irene, Midun, Riska, Arya, Fahmi, Wiwiw, Kamlit dan seluruh keluarga besar ITP 42. Semoga kebersamaan selama 3 tahun ini tidak lekang dimakan waktu.

9.

Teman-teman tercinta, Miva, Tara, Mega, dan Asih. Terima kasih atas dorongan semangat dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.

10. Para Panelis terlatihku, Tsani, Safie, Victor, Sandra, Angga, Weje, Wahyu, Dilla, Fitri, Stella, dan Bintang atas bantuan dan kerjasama yang baik. 11. Teman-teman tim produksi mi jagung, atas kebersamaan dan kerjasama yang baik. 12. Teman-teman ITP 43 yang memberikan keceriaan dan kebersaman yang indah. 13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2010

Penulis

ii

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................

i

DAFTAR TABEL .......................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

ix

BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................

1

A. Latar Belakang .................................................................................

1

B. Tujuan Penelitian...............................................................................

3

C. Manfaat Penelitian ............................................................................

3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................

4

A. Jagung ...............................................................................................

4

1. Tanaman Jagung ..........................................................................

4

2. Komposisi Kimia Jagung .............................................................

5

3. Jagung P-21 (Pioneer-21) ............................................................

6

B. Pati Jagung ........................................................................................

7

C. Tepung Jagung ..................................................................................

9

D. Gelatinisasi ........................................................................................

9

1. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi ............................................

9

2. Suhu Gelatinisasi ........................................................................

11

3. Sifat Birefringence.......................................................................

11

E. Modifikasi Pati Metode Heat Moisture Treatment .............................

12

F. Mi ....................................................................................................

13

1. Mi Basah ....................................................................................

13

2. Mi Kering ...................................................................................

14

3. Mi Jagung ...................................................................................

15

iii

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................

18

A. Bahan dan Alat .................................................................................

18

B. Metode Penelitian .............................................................................

18

1. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT serta Karakterisasi Tepung Jagung Native dan Tepung Jagung Termodifikasi HMT ............................................

18

a. Proses Penepungan Jagung ....................................................

19

b. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT ..................

19

c. Analisis Profil Gelatinisasi .....................................................

20

2. Penentuan Kondisi Proses Pengukusan Adonan terhadap Kualitas Mi Jagung .......................................................

21

a. Pengaplikasian Tepung Jagung HMT pada Pembuatan Mi Jagung ...........................................................

21

b. Penentuan Jumlah Tepung Jagung HMT yang akan Dikukus pada Pengukusan Adonan .......................................

23

c. Penentuan RentangWaktu Pengukusan Adonan ....................

24

3. Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung ........................................................................

29

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................

31

A. Karakteristik Tepung Jagung HMT ...................................................

31

B. Pengaruh Pengukusan Adonan terhadap Kualitas Mi Jagung .............

36

1. Analisis Sifat Fisik Mi Jagung ....................................................

39

a. Waktu Pemasakan Optimum .................................................

39

b. Analisis Profil Tekstur ...........................................................

39

c. Analisis Presentase Elongasi ..................................................

44

d. Analisis KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) .......

45

2. Analisis Organoleptik Mi Jagung .................................................

47

a. Seleksi Panelis .......................................................................

47

b. Pelatihan Panelis Terlatih ......................................................

48

c. Uji Organoleptik Mi Jagung ..................................................

49

C. Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung ..............

53

1. Data Umum Responden ..............................................................

53

2. Perilaku Konsumsi Mi Responden ...............................................

54

3. Penerimaan Responden terhadap Produk Olahan Mi Jagung ........

55 iv

a. Mi Basah Jagung pada Produk Mi Ayam ..............................

57

b. Mi Kering Jagung pada Produk Mi Bakso .............................

59

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................

62

A. Kesimpulan ......................................................................................

62

B. Saran .................................................................................................

63

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

64

LAMPIRAN ................................................................................................

68

v

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.

Bagian-bagian anatomi biji jagung .............................................

4

Tabel 2.

Komposisi kimia rata-rata biji jagung ........................................

5

Tabel 3.

Hasil analisis proksimat dan kadar pati tepung jagung P-21 ........

7

Tabel 4.

Karakteristik granula pati ...........................................................

8

Tabel 5.

Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati ..........................................

11

Tabel 6.

Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-19 ..........................

14

Tabel 7.

Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996 .....................

15

Tabel 8.

Penentuan waktu optimum pengukusan adonan pada suhu 90oC .

17

Tabel 9.

Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT yang dikukus ..............................................................................

24

Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis) ...........................................................

25

Tabel 11. Sampel uji untuk identifikasi rasa dan aroma dasar ....................

28

Tabel 12. Sampel untuk uji ranking ............................................................

28

Tabel 13. Sampel untuk uji segitiga ...........................................................

28

Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT ..............

33

Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) ..........................................................................

33

Tabel 16. Pengaruh rasio tepung jagung HMT yang dikukus terhadap kualitas adonan ...........................................................

37

Tabel 17. Pengaruh waktu pengukusan terhadap sifat adonan ....................

38

Tabel 18. Hasil diskusi pertemuan ketiga pada pelatihan panelis ...............

49

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.

Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) .............................

10

Gambar 2.

Pembuatan tepung jagung teknik kering ...................................

20

Gambar 3.

Proses pembuatan mi jagung metode sheeting .........................

22

Gambar 4.

Kurva profil tekstur mi ............................................................

26

Gambar 5.

Profil gelanitisasi tepung jagung native dan HMT ....................

33

Gambar 6.

Visualisasi mi basah jagung dengan variasi bagian adonan yang dikukus [a] Kontrol (Mi jagung native); [b] Formula 1 (Mi jagung HMT tidak dikukus); [c] Formula 2 (Mi jagung HMT sebagian kukus); [d] Formula 3 (Mi jagung HMT dikukus) ................................

37

Nilai kekerasan mi basah jagung yang diukur dengan Texture Analyzer .....................................................................

40

Nilai kekerasan mi kering jagung yang diukur dengan Texture Analyzer ......................................................................

40

Nilai kekenyalan mi basah jagung yang diukur dengan Texture Analyzer .....................................................................

41

Gambar 10. Nilai kekenyalan mi kering jagung yang diukur dengan Texture Analyzer .....................................................................

42

Gambar 11. Nilai kelengketan mi basah jagung yang diukur dengan Texture Analyzer .....................................................................

43

Gambar 12. Nilai kelengketan mi kering jagung yang diukur dengan Texture Analyzer .....................................................................

43

Gambar 13. Persen elongasi mi basah jagung ..............................................

44

Gambar 14. Persen elongasi mi kering jagung .............................................

44

Gambar 15. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi basah jagung .......................................................................

45

Gambar 16. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi kering jagung ......................................................................

46

Gambar 17. Hubungan antara kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dan lama waktu pemasakan mi kering jagung .............

46

Gambar 18. Nilai kekerasan mi basah jagung secara organoleptik ...............

50

Gambar 19. Nilai kekerasan mi kering jagung secara organoleptik ..............

50

Gambar 20. Nilai kekenyalan mi basah jagung secara organoleptik .............

51

Gambar 21. Nilai kekenyalan mi kering jagung secara organoleptik ...........

51

Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9.

vii

Gambar 22. Nilai kelengketan mi basah jagung secara organoleptik ...........

52

Gambar 23. Nilai kelengketan mi kering jagung secara organoleptik ..........

52

Gambar 24. Frekuensi konsumsi mi responden per minggu .........................

54

Gambar 25. Faktor penentu konsumsi mi ....................................................

55

Gambar 26. Atribut mutu mi yang penting menurut responden ...................

55

Gambar 27. Pengetahuan responen terhadap mi jagung ...............................

56

Gambar 28. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung native pada produk olahan mi ayam ........................................

57

Gambar 29. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung HMT pada produk olahan mi ayam .........................................

57

Gambar 30. Tingkat kesesuaian mi basah jagung yang diolah menjadi mi ayam ....................................................................

58

Gambar 31. Alternatif lain untuk produk olahan mi basah jagung menurut responden ................................................................................

58

Gambar 32. Tingkat kesesuaian mi basah jagung sebagai alternatif mi terigu komersial ..................................................................

59

Gambar 33. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung native pada produk olahan mi bakso ........................................

59

Gambar 34. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung HMT pada produk olahan mi bakso .........................................

60

Gambar 35. Tingkat kesesuaian mi kering jagung yang diolah menjadi mi bakso ....................................................................

60

Gambar 36. Alternatif lain untuk produk olahan mi kering jagung menurut responden ................................................................................

61

Gambar 37. Tingkat kesesuaian mi kering jagung sebagai alternatif mi terigu komersial ..................................................................

61

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1.

Contoh Kuesioner Seleksi Panelis .........................................

68

Lampiran 2.

Kuisioner Uji Penerimaan Konsumen pada Produk Olahan Mi Jagung .............................................................................

72

Data Hasil Analisis Fisik (Kekerasan, Kekenyalan dan Kelengketan) Mi Jagung Diukur dengan Texture Analyzer .....

75

Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Nilai Kekerasan, Kekenyalan dan Kelengketan yang Diukur dengan Texture Analyzer .................................................................................

76

Lampiran 5.

Data Hasil Analisis Persentase Elongasi .................................

79

Lampiran 6.

Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Persentase Elongasi ................................................................................

80

Data Hasil Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) .................................................................................

81

Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) .......................................

82

Performa 11 Calon Panelis Terlatih .......................................

83

Lampiran 10. Scoresheet Uji Organoleptik Mi Jagung .................................

84

Lampiran 11. Data Hasil Uji Organoleptik dengan Panelis Terlatih .............

86

Lampiran 12. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Atribut Tekstur secara Organoleptik ...............................................................

88

Lampiran 13. Data Umum Responden Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung .....................................................

91

Lampiran 3. Lampiran 4.

Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9.

ix

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki potensi besar dalam produksi komoditi jagung. Menurut data Badan Pusat Statistik, produksi jagung secara nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya bahkan mencapai 17 juta ton pada tahun 2009 (BPS, 2009). Oleh karena itu, komoditi jagung perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatannya. Salah satu potensi pemanfaatan komoditas jagung adalah sebagai bahan baku dalam pengolahan mi. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen, mi merupakan produk pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003). Bahkan pada sebagian golongan masyarakat, mi tidak lagi dijadikan sebagai sumber makanan pokok, tetapi juga digunakan sebagai lauk pauk. Pemanfaatan bahan baku tepung jagung dalam pengolahan mi perlu dilakukan pengembangan. Tepung jagung rendah akan gluten, sehingga tidak mampu membuat tekstur yang elastis dan kompak seperti mi gandum atau mi terigu. Oleh karena itu, untuk memperbaiki karakteristik fisik dan organoleptik mi berbahan dasar tepung jagung dapat dilakukan dengan mengubah karakteristik fisik tepung jagung tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki sifat gelatinisasinya. Pati serealia memiliki profil gelatinisasi tipe B yang ditandai dengan viskositas puncak yang tinggi dan kestabilan viskositas terhadap panas yang rendah (Collado et al, 2001). Menurut Lii dan Chang (1981) didalam Collado et al (2001), pati yang ideal untuk dibuat menjadi produk mi adalah pati yang memiliki pengembangan dan solubility yang terbatas dan memiliki profil gelatinisasi tipe C. Selain itu, menurut Chen et al (2003), karakteristik pati yang baik untuk diaplikasikan menjadi produk mi adalah pati dengan viskositas puncak yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah (Tam et al, 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakteristik tersebut memiliki nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang

1

rendah, untaian mi yang kompak dan elastis serta kelengketan yang rendah (Purwani et al, 2006). Oleh karena itu, modifikasi tepung jagung merupakan alternatif dalam memperbaiki

kualitas

mi

jagung.

Proses

modifikasi

diharapkan dapat

memperbaiki sifat gelatinisasi tepung jagung dengan meningkatan kestabilan viskositas terhadap panas (breakdown) yang diharapkan dapat meningkatkan kekenyalan, menurunkan kelengketan, dan menurunkan nilai KPAP (kehilangan padatan akibat pemasakan), sedangkan peningkatan nilai setback diharapkan dapat menurunkan tingkat kekerasan mi jagung. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Beta dan Corke (2001), menunjukkan bahwa peningkatan kestabilan viskositas terhadap panas berkolerasi negatif dengan KPAP. Teknik modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dipilih karena prosesnya relatif murah, aman dan sederhana. Modifikasi dalam bentuk tepung dilakukan dengan pertimbangan bahwa tepung jagung lebih mudah untuk diaplikasikan. Modifikasi tepung jagung HMT dapat dilakukan pada kadar air terkendali (24%) pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Penelitian mengenai mi jagung telah banyak dilakukan, baik mi basah maupun mi kering. Namun, kebanyakan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mi jagung masih belum dapat menggunakan 100% tepung jagung. Hal tersebut adalah karena karakteristik tepung jagung sendiri yang rendah protein gliadin dan glutelin (gluten) sebagai pembentuk struktur mi (Fennema, 1996), seperti telah dikemukakan di atas. Selain itu, belum pernah dilakukan uji konsumen mengenai penerimaan produk mi jagung. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipelajari bagaimana penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung melalui uji penerimaan konsumen. Pembuatan mi jagung 100% membutuhkan tambahan proses yaitu pengukusan sebagian adonan sebelum dilakukan pencetakan. Penelitian ini mempelajari bagaimana pengaruh penggunaan tepung jagung yang dimodifikasi dengan metode HMT pada produk akhir mi jagung, baik mi basah maupun mi kering. Selain itu, dilihat pula apakah penggunaan tepung jagung HMT berpengaruh pada kondisi pengukusan adonan yang akan menggelatinisasi sebagian pati. Waktu pengukusan adonan yang optimum adalah selama 15 menit

2

(Putra, 2008) dengan menggunakan tepung jagung native dan pada penelitian ini diamati apakah substitusi tepung jagung HMT mempengaruhi waktu pengukusan. Penelitian mengenai penggunaan tepung jagung HMT pada mi jagung juga telah dilakukan oleh Lestari (2009). Lestari (2009) mencampur tepung jagung HMT dengan tepung jagung native terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian adonan yang akan dikukus dan yang tidak dikukus. Penelitian ini menggunakan variasi jumlah tepung jagung HMT yang akan dikukus, yaitu seluruhnya dikukus, sebagian atau dicampur terlebih dahulu baru dilakukan pembagian adonan dan tidak dikukus atau dicampurkan pada bagian tepung yang tidak dikukus. Hal ini ditujukan agar diketahui bagaimana pengaruh jumlah tepung jagung HMT yang dikukus dapat mempengaruhi adonan mi serta pengaruhnya pada proses selanjutnya (pembentukan lembaran/sheeting dan pencetakan/slitting) dan pada produk akhir mi jagung.

B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk : 1.

Menentukan pengaruh modifikasi HMT terhadap karakteristik tepung jagung.

2.

Menentukan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung (basah dan kering).

3.

Mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung.

C. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pembuatan mi jagung menggunakan teknologi kalendering atau sheeting.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

JAGUNG

1.

Tanaman Jagung Jagung (Zea mays L.) termasuk ke dalam famili Gramineae (rumput-

rumputan) dan genus Zea. Tanaman ini merupakan tumbuhan semusim (annual) dan termasuk tanaman berumah satu (monoecioes). Sistem perakarannya serabut, menyebar ke samping dan ke bawah. Klasifikasi ilmiah atau nomenklatur tanaman jagung, yaitu kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, ordo Poales, family Poaceae, dan genus Zea. Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), tongkol jagung merupakan gudang penyimpanan cadangan makanan. Tongkol ini bukan hanya tempat pembentukan lembaga tetapi juga merupakan tempat menyimpan pati, protein, minyak/lemak, dan zat-zat lain untuk persediaan makanan dan pertumbuhan biji. Panjang tongkol bervariasi antara 8 sampai 42 cm dan biasanya dalam satu tongkol mengandung sekitar 300 sampai 1000 biji jagung. Bentuk biji jagung berbeda-beda tergantung varietasnya. Warna biji jagung juga bervariasi dari putih sampai kuning. Daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Madura,

Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.

Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tanaman ini dibudidayakan cukup intensif, karena selain tanah dan iklimnya sangat mendukung, di daerah tersebut, khususnya Madura, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998). Secara anatomi, jagung terdiri dari empat bagian pokok, yaitu kulit (perikarp), endosperma, lembaga, dan tudung pangkal biji (tipcap). Presentase bagian-bagian anatomi biji jagung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian Anatomi Jumlah (%) 5 Pericarp Endosperma 82 Lembaga 12 1 Tipcap Sumber: Inglett, 1970

4

2.

Komposisi Kimia Jagung Komposisi kimia jagung bervariasi bergantung pada varietas, cara

penanaman, iklim, dan tingkat kematangan. Kandungan gizi utama yang terdapat pada biji jagung adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung Jumlah (%) Komponen Pati Protein Lemak Serat Endosperm 86,4 8,0 0,8 3,2 Lembaga 8,0 18,4 33,2 14,0 Kulit 7,3 3,7 1,0 83,6 5,3 9,1 3,8 77,7 Tip cap Sumber : Johnson (1991)

Lain-lain 0,4 26,4 4,4 4,1

Menurut Johnson (1991), komponen kimia terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati dan sekitar 1% gula. Pati terdiri dari dua polimer glucan, yaitu amilosa dan amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung amilosa sekitar 25-30% dan amilopektin sekitar 70-75%. Gula dalam biji jagung terdapat dalam bentuk monosakarida (D-glukosa dan D-fruktosa), disakarida dan trisakarida, serta gula alkohol. Sukrosa merupakan disakarida terbanyak dalam biji jagung (2-3 mg per endosperma). Sedangkan maltosa, trisakarida, dan oligosakarida terdapat dalam jumlah sedikit. Adapun phytate (hexaphosphoric ester dari myo-inositol) diketahui sebagai satu-satunya gula alkohol yang terdapat dalam biji jagung. Sekitar 90% phytate ditemukan di dalam skutelum dan 10%-nya terdapat di dalam aleuron (Johnson, 1991). Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya bergantung pada umur dan varietas. Kandungan lemak dan protein pada jagung muda lebih rendah dibandingkan dengan jagung tua. Selain lemak dan protein, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosa (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Menurut Inglett (1970), jagung yang mengandung protein tinggi cenderung memiliki butir kernel yang kecil dengan kandungan endosperm keras yang 5

banyak. Protein yang terkandung pada jagung mencapai 10% dari biji utuh. Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein merupakan protein dengan bobot molekul rendah yang larut pada etilalkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Zein memiliki dua jenis komponen yaitu α–zein (larut pada 95% etanol) dan β–zein (larut dalam 60% etanol). Zein memiliki komposisi asam amino yang tinggi kandungan asam glutamat, prolin, leusin, dan alanin. Namun, rendah pada kandungan lisin, triptofan, histidin dan metionin (Laztity, 1996). Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali. Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau protein kompleks dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1986). Protein gluten yang terdapat pada tepung terigu memiliki keistimewaan, yaitu dapat membentuk adonan yang viskoelastis, sifat ini juga didukung oleh struktur protein gandum yang unik, ikatan-ikatan seta interaksi yang terdapat didalamnya (Fennema, 1996). Protein pada tepung terigu sebagian besar terdiri dari gliadin dan glutelin, sedangkan pada tepung jagung seperti telah disebutkan diatas terdiri dari zein dan glutelin. Walaupun zein dan gliadin keduanya merupakan kelas prolamin yang larut alkohol 70-80% dan tidak larut air maupun alkohol absolut (Winarno, 2004), namun memiliki sifat yang sangat berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan susunan asam aminonya. Protein terigu memiliki kandungan glutamin dan asam amino hidroksil yang tinggi. Ikatan hidrogen yang terjadi antara glutamin dan residu gugus hidroksil dari polipeptida gluten berkontribusi terhadap gaya adhesi-kohesi (Fennema, 1996).

3.

Jagung P-21 (Pioneer-21) Jagung varietas P-21 (Pioneer-21) merupakan salah satu jenis jagung

hibrida. Karakteristik kimia tepung jagung P-21 dapat dilihat pada Tabel 3. Tepung jagung P-21 memiliki kandungan lemak yang rendah (1,73%).

6

Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi (pemisahan lembaga) pada saat proses penepungan. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan. Sebagian besar tepung jagung P-21 mengandung karbohidrat (86,18%). Total pati jagung pada tepung jagung P-21 sebesar 66,56% dan sebagian besar merupakan amilopektin (43,52%). Tabel 3. Hasil analisis proksimat dan kadar pati tepung jagung P-21 Komponen Kadar (%) Air 5,46 Protein 6,32 Lemak 1,73 Abu 0,31 Karbohidrat 86,18 Amilosa 23,04 Amilopektin 43,52 Total pati 66,56 Sumber : Etikawati (2007) Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Xantofil termasuk dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Warna kuning tepung jagung tentunya akan berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Lebih lanjut warna kuning pada tepung jagung juga memberikan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak memerlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi yang berwarna kuning.

B.

PATI JAGUNG Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan karbohidrat, dan

merupakan sumber karbohidrat utama bagi manusia. Secara alami, bentuk pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier (amilosa) dan bercabang (amilopektin) yang membentuk lapisan-lapisan tipis berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut

7

hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah, sedangkan granula pati pada kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi bentuk dan ukurannya tergantung pada sumbernya. Beberapa jenis pati dengan ukuran dan bentuknya dapat dilihat pada Tabel 4. Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn) memiliki diameter berkisar antara 2–30 μm. Jagung yang tinggi amilosa (high-amylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 μm. Pati pada kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100 μm, 4-35 μm, dan 2-55 μm (Fennema, 1996). Granula pati memiliki struktur kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin, sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorf. Tabel 4. Karakteristik granula pati Jenis pati Ukuran granula (µm) Padi 3-8 Gandum 20-35 Jagung 15 Sorgum 25 Rye 28 Barley 20-25 Sumber: Hoseney (1998)

Bentuk granula Poligonal Lentikular atau bulat Polihedral atau bulat Bulat Lentikular atau bulat Bulat atau elips

Pati komersial didapat dari biji–bijian seperti jagung, jagung tipe waxy, jagung dengan kandungan amilosa yang tinggi, gandum, dan berbagai jenis beras, serta dari batang dan umbi–umbian (Fennema, 1996). Pati memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999). Pati tidak larut pada air dingin dan akan membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin. Pati jagung terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, terdapat varietas jagung yang tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn. Sebaliknya, terdapat pula varietas

8

jagung yang mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas tersebut dinamakan high-amylose corn (Mauro et. al., 2003).

C.

TEPUNG JAGUNG Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh

dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays L.) yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung menjadi bentuk tepung merupakan suatu proses pemisahan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperm merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit yang memiliki kandungan serat tinggi harus dipisahkan karena dapat membuat tepung bertekstur kasar. Sementara itu, lembaga yang merupakan bagian biji jagung dengan kandungan lemak tertinggi juga harus dipisahkan agar tidak membuat tepung menjadi tengik. Selain itu, tip cap juga harus dipisahkan sebelum penepungan agar tidak terdapat butir-butir hitam pada tepung olahan. Pembuatan tepung jagung baik dilakukan dengan menggunakan metode penggilingan kering (Juniawati, 2003). Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan penggilingan menggunakan hammer mill. Penggilingan ini menghasilkan grits, lembaga, kulit, dan tip cap. Hasil penggilingan kemudian direndam dalam air untuk memisahkan bagian endosperm dengan bagian lembaga, kulit, dan tip cap. Bagian endosperm akan tenggelam dan bagian lain yang tidak dibutuhkan dapat dengan mudah dibuang karena mengapung. Selanjutnya, bagian endosperm ditiriskan dan digiling menggunakan disc mill untuk memperhalus ukuran grits menjadi tepung. Hasil penggilingan yang berupa tepung jagung ini masih harus melalui proses pengayakan 100 mesh, sehingga diperoleh hasil tepung jagung yang optimal, yaitu halus dan homogen (Putra, 2008).

D.

GELATINISASI

1.

Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air

panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak–balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak– balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro,

9

1979). Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula– mula suspensi yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul–molekul air menjadi lebih kuat daripada gaya tarik–menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir–butir granula. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula pati (Winarno, 1997). Mekanisme gelatinisasi secara umum terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels, 1985). Menurut Harper (1981), mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 1. Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak

Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula

Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel

Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) 10

Indeks refraksi butir–butir pati yang membengkak mendekati indeks refraksi air. Hal inilah yang menyebabkan sifat translusen. Jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar sehingga kemampuan menyerap airnya sangat besar. Peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada di dalam butir– butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi (Winarno, 1997).

2.

Suhu Gelatinisasi Fennema (1996) menyatakan bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik

saat sifat birefrigence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible pada granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati. Suhu gelatinisasi pada berbagai jenis pati ditunjukkan oleh Tabel 5. Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC) Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64 Sumber: Fennema (1996) Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu dimana sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Dalam suatu suspensi pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini disebabkan populasi pati yang bervariasi dalam ukuran, bentuk dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Selain itu, suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa amilopektin serta keadaan media pemanasan.

3.

Sifat Birefringence Pengamatan

di

bawah

mikroskop

(polarizing

microscope)

dapat

menunjukkan sifat birefringence pati, yaitu sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat kristal gelap terang. Intensitas birefringence pati 11

sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998). Pati mentah dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah mikroskop polarisasi akan memperlihatkan pola birefringence yang jelas daerah gelap terangnya. Pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence secara bertahap akan hilang tergantung suhu dan waktu yang digunakan. Jika suhu yang digunakan di atas suhu gelatinisasi, maka hilangnya sifat birefringence disebabkan oleh pecahnya molekul pati sehingga granula pati kehilangan sifat merefleksikan cahayanya. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney, 1998).

E.

MODIFIKASI PATI METODE HEAT MOISTURE TREATMENT Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan

menghasilkan sifat lebih baik serta memperbaiki sifat sebelumnya atau merubah beberapa sifat sebelumnya dan beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati (Glicksman, 1969). Menurut Oh (1985), pati yang dihasilkan dari proses modifikasi harus memenuhi kriteria mutu masak mi, diantaranya adalah tingkat kekerasan (firmness), kekenyalan dan karakteristik permukaannya. Salah satu metode modifikasi pati yang relatif murah, aman dan sederhana adalah modifikasi dengan teknik

Heat Moisture Treatment (HMT). Modifikasi dengan HMT tidak

melibatkan reaksi kimia dengan reagen tertentu, sehingga tidak ada kekhawatiran mengenai adanya residu kimia dalam pati hasil modifikasi. Modifikasi pati dengan teknik HMT menggunakan kombinasi kelembaban tertentu (kadar air yang terbatas) dan pemanasan pada suhu tinggi diatas suhu gelatinisasi. Pati yang dimodifikasi dengan metode HMT disebabkan oleh adanya gelatinisasi parsial (Eerlingen et al, 1996). Proses HMT menyebabkan perubahan struktur kristal pati sehingga lebih resisten terhadap proses gelatinisasi (Stute,

12

1992). Hoover dan Vasanthan (1994) menjelaskan bahwa modifikasi pati dengan HMT mengurangi proses leaching amilosa pada saat pemasakan. Selain itu, metode HMT dapat mempengaruhi penyusunan kembali molekul pati

antar

amilosa-amilosa

dan

amilosa-amilopektin,

sehingga

mampu

memperkuat ikatan dalam pati. Ketika diaplikasikan pada proses pengolahan bihun, pati yang dimodifikasi dengan HMT juga menghasilkan bihun yang tidak lengket setelah dimasak (Shin, 2004). Penelitian terhadap kondisi proses modifikasi HMT telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Collado (2001) melakukan modifikasi HMT pati ubi jalar pada suhu

diatas

suhu

gelatinisasi

(80oC-100oC)

selama

16

jam

mampu

mempertahankan kadar air pati hingga 35% atau lebih rendah. Pati HMT yang diujicobakan pada produk olahan mi ubi jalar (Collado, 2001) dan mi sagu (Purwani, 2006) menunjukkan hasil bahwa pati HMT dapat menghasilkan karateristik mi yang lebih baik. Mi sagu yang dihasilkan dari pati sagu HMT memiliki cooking loss yang lebih rendah dibandingkan dengan mi dari pati sagu tanpa HMT (Purwani, 2006). Pati ubi jalar yang dimodifikasi dengan HMT juga menghasilkan karakteristik mi yang lebih baik dibandingkan tanpa modifikasi (Collado, 2001).

F.

MI

1.

Mi Basah Menurut Astawan (2005), mi basah adalah jenis mi yang mengalami

pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi Nasional (1992), mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b). Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi yang berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein berasal dari gandum, sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum.

13

Berdasarkan bentuk produk mi yang ada di pasaran, mi dapat diklasifikasikan menjadi mi basah mentah yaitu mi yang diproses tanpa pemasakan dan pengeringan, mi basah matang yaitu mi basah yang mengalami pemasakan dan tanpa pengeringan, serta mi kering yaitu mi yang mengalami pengeringan (Astawan, 2005). Kualitas mi basah menurut SNI 01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 6. Produk mi umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya relatif tinggi. Tabel 6. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992 No. Kriteria uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan : 1.1. bau Normal 1.2. rasa Normal 1.3. warna Normal 2. Kadar air % b/b 20 – 35 3. Kadar abu (dihitung atas dasar % b/b Maks. 3 bahan kering) 4. Kadar protein (N x 6,25) dihitung atas dasar bahan % b/b Min. 3 kering) 5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat Tidak boleh ada 5.2 Pewarna Sesuai SNI-022-M dan peraturan MenKes No. 722/MenKes/Per/IX /88 5.3 Formalin Tidak boleh ada 6 Cemaran logam Maks. 1,0 6.1 Timbal (Pb) Maks. 10,0 6.2 Tembaga (Cu) Maks. 40,0 6.3 Seng (Zn) mg/kg 6.4 Raksa (Hg) Maks 0,05 7. Arsen (As) mg/kg Maks 0,05 8. Cemaran mikroba : 8.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks 1,0 x 106 8.2 E. coli APM/g Maks. 10 8.3 Kapang Koloni/g Maks 1,0 x 104 2.

Mi Kering Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk

makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan

14

makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi. Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%. Karakteristik yang disukai dari mi kering adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh, 1985). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996 Persyaratan Persyaratan No Jenis Uji Satuan Mutu I Mutu II 1 Keadaan: 1.1 Bau Normal Normal 1.2 Warna Normal Normal 1.3 Rasa Normal Normal 2 Air % b/b Maks 8 Maks 10 3 Protein (N x 6.25) % b/b Min 11 Min 8 4 Bahan Tambahan Makanan: 4.1 Boraks Tidak boleh ada sesuai dengan 4.2Pewarna SNI 01-0222-1995 Tambahan 5 Cemaran Logam: 5.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 1.0 Maks 1.0 5.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10.0 Maks 10.0 5.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40.0 Maks 40.0 5.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0.05 Maks 0.05 6 Arsen (As) mg/kg Maks 0.5 Maks 0.5 7 Cemaran Mikroba: 7.1 Angka Lempeng koloni/g Maks 1.0 x 106 Maks 1.0 x 106 Total 7.2 E. coli APM/g Maks 10 Maks 10 4 koloni/g Maks 1.0 x 10 Maks 1.0 x 104 7.3 Kapang 3.

Mi Jagung Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dengan bahan baku utama tepung

atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Mi jagung dapat diproses menjadi mi instan (mi kering) ataupun mi basah. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung kering dengan pembentukan lembaran terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian,

15

pembentukan lembaran (sheeting/pressing), pencetakan untaian mi (slitting), pengukusan kedua dan pengeringan. Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Proses pengukusan bertujuan menggelatinisasi sebagian pati (sekitar 70%) sehingga dapat berperan sebagai pengikat adonan. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka adonan tidak dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein endosperma jagung banyak mengandung zein (60%) yang tidak dapat membentuk massa adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni, seperti halnya gliadin dan glutelin pada gandum. Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak. Namun, tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama (Juniawati, 2003). Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung kering mengandung nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalori/kemasan atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung kering menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung kering juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu instan. Hal ini dikarenakan tidak adanya proses penggorengan pada mi jagung kering, melainkan hanya proses pengeringan saja. Selain itu, mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna tambahan seperti halnya mi terigu instan. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna alami yang disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu β-karoten, lutein, dan zeaxanthin. Formulasi mi jagung telah dikembangkan dalam beberapa penelitian, diantaranya mi jagung dari tepung jagung dan pati jagung. Juniawati (2003) telah membuat mi jagung kering dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004) melakukan pembuatan mi jagung kering dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada

16

desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan menambahkan protein gluten terigu untuk memperbaiki elastisitas dan cooking loss mi. Putra (2008) melakukan optimalisasi formula dan proses pembuatan mi jagung dengan metode kalendering. Menurut Putra (2008), pengukusan pertama dilakukan pada suhu 90oC selama 15 menit. Hasil pengamatan adonan pada tahap penentuan waktu optimum pengukusan pada suhu 90oC yang dilakukan oleh Putra (2008), dapat dilihat pada Tabel 8. Penelitian yang dilakukan Putra (2008) menggunakan tepung jagung native, sedangkan penelitian ini menggunakan substitusi tepung jagung HMT. Penelitian ini mengamati bagaimana pengaruh penggunaan tepung jagung HMT pada pengukusan adonan serta pada kualitas mi jagung. Tabel 8. Penentuan waktu optimum pengukusan adonan pada suhu 90oC Waktu Sifat Adonan (secara Visual) (menit) 10 Pada saat sheeting lembaran yang sudah terbentuk terlipat kembali sehingga terbentuk permukaan yang baru dan menyebabkan permukaan lembaran tidak rata dan mudah sobek 15 Lembaran plastis sehingga dapat direduksi ukurannya 20 Adonan lengket pada roller mesin sheeting, lembaran elastis sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar dengan warna pucat (terlalu matang) 30 Adonan sangat lengket dan lolos dari pisau trap sehingga melapisi roller saat sheeting, lembaran terlalu elastis sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar dengan warna pucat (terlalu matang) Sumber : Putra, 2008.

17

III.

A.

METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan yang

digunakan untuk pembuatan mi jagung dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan dalam pembuatan mi jagung adalah jagung Pioneer 21 yang diperoleh dari Ponorogo-Jawa Timur, air, garam, dan guar gum. Bahan yang digunakan untuk analisis fisik yaitu aquades. Bahan yang digunakan untuk analisis organoleptik meliputi sampel uji, garam, kafein, sukrosa, asam sitrat, flavor, dan air minum. Alat-alat yang digunakan dalam produksi tepung jagung serta tepung jagung termodifikasi dan aplikasinya dalam mi jagung adalah multi mill, disc mill, hammer mill, ayakan bertingkat, timbangan, kain saring, oven, oven pengering, mesin dough mixer, noodle sheeter, pengering, dan steam box. Peralatan proses ini tersedia di Pilot Plant Seafast Center-IPB. Alat-alat lain yang digunakan dalam analisis adalah oven, cawan porselin, cawan alumunium, neraca analitik, Texture Analyzer (TAXT-2), dan Brabender Amilograph.

B.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap modifikasi dan

karakterisasi tepung jagung native serta tepung jagung termodifikasi HMT, tahap penentuan pengaruh proses pengukusan adonan terhadap kualitas mi jagung dan uji penerimaan konsumen terhadap produk akhir mi jagung.

1.

Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT serta Karakterisasi Tepung Jagung Native dan Tepung Jagung Termodifikasi HMT Tahap penelitian ini meliputi proses penepungan, modifikasi tepung jagung

dengan metode HMT dan analisis profil gelatinisasi tepung jagung sebelum dan setelah proses modifikasi HMT. Proses modifikasi tepung jagung dengan metode HMT menggunakan kondisi berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009) yang telah melakukan penelitian mengenai kondisi proses modifikasi tepung jagung sehingga menghasilkan profil gelatinisasi terbaik. Profil gelatinisasi yang diharapkan berdasarkan Collado (2001) adalah memiliki viskositas yang stabil selama proses 18

pemanasan, memiliki viscosity breakdown yang minimal dan stabil terhadap proses pengadukan. Proses modifikasi tepung jagung dilakukan dengan kadar air terkendali (24%), pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Setelah didapatkan tepung jagung termodifikasi HMT, kemudian dilakukan analisis profil gelatinisasi. Analisis profil gelatinisasi tepung jagung dilakukan pada saat sebelum dan setelah proses modifikasi. Analisis ini menggunakan alat Brabender Amilograph.

a.

Proses Penepungan Jagung Penepungan jagung pipil varietas Pioneer 21 dilakukan dengan teknik

penepungan kering. Metode ini melalui dua tahapan proses penggilingan. Penggilingan pertama (penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan hammer mill. Grits jagung yang dihasilkan dicuci dan direndam dalam air selama 3 jam. Tujuan perendaman adalah membuat grits jagung tidak terlalu keras, sehingga memudahkan proses penggilingan kedua (penggilingan halus) yang menggunakan disc mill. Hasil penggilingan yang berupa tepung jagung ini masih harus melalui proses pengayakan 100 mesh, sehingga diperoleh hasil tepung jagung yang optimal. Proses penepungan jagung dapat dilihat pada Gambar 2.

b.

Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT Proses modifikasi tepung jagung dilakukan dengan kadar air 24%, pada

suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Untuk mengkondisikan tepung jagung pada kadar air terkendali tersebut, dilakukan penambahan air. Jumlah air yang harus ditambahkan diperoleh dari perhitungan kesetimbangan massa, dengan mengetahui kadar air tepung jagung mula-mula. Setelah diperoleh kondisi tepung jagung pada kadar air terkendali (24%), dilakukan pemanasan pada suhu 110oC selama 6 jam, setiap jam dilakukan pengadukan. Pengadukan ini dilakukan agar panas merata ke seluruh bagian tepung. Setelah didapatkan tepung jagung HMT, kemudian dilakukan analisis profil gelatinisasi.

19

Jagung JagungPipil Pipil

Pembentukan grits jagung dengan multimill miltimill

Pencucian Pencuciandengan denganair air(pemisahan (pemisahanlembaga lembagadan danperikarp) perikarp)

Perendaman Perendaman dalam dalam air dingin, air, 3 jam 3 jam

Pencucian Pencuciandengan denganair air(pemisahan (pemisahanlembaga lembagadan danperikarp) perikarp)

Pengeringan dalam oven 60°C, 1 jam

Penggilingan dengan discmill

Pengayakan, 100 mesh

Tepung Jagung

Gambar 2. Pembuatan tepung jagung teknik kering

c.

Analisis Profil Gelatinisasi Analisis profil gelatinisasi tepung jagung dilakukan pada saat sebelum dan

setelah proses modifikasi. Analisis ini menggunakan alat Brabender Amilograph. Tahap persiapan dilakukan dengan membuat 10% (w/v) suspensi contoh dalam 450 ml air. Suspensi tersebut diaduk menggunakan gelas pengaduk sehingga homogen. Kemudian suspensi dimasukkan ke dalam wadah mangkuk pada alat Brabender Amilograph.

20

Tombol pengontrol diatur pada posisi heating (pemanasan) dengan suhu awal 30°C, kemudian alat dinyalakan. Pengaduk pada alat berputar dengan kecepatan konstan dan suhu berangsur-angsur naik dengan dengan kecepatan 1.5°C/menit. Suhu awal gelatinisasi ditandai dengan viskositas yang mulai terbaca pada alat pencatat. Setelah melewati suhu gelatinisasi, viskositas suspensi pati meningkat secara cepat dengan meningkatnya suhu pemasakan. Viskositas mulai menurun setelah mencapai titik puncaknya. Viskositas yang terbaca pada saat mencapai nilai maksimum disebut viskositas maksimum. Setelah viskositas maksimum ini, viskositas suspensi menurun secara cepat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Tahap proses pemanasan akan berakhir setelah suhu dari contoh telah mencapai 95°C. Proses holding dilakukan pada suhu 95°C selama 20 menit dengan mengatur posisi pengatur suhu pada posisi holding. Pada tahap ini alat pencatat secara kontinyu mencatat nilai viskositas. Setelah tahap holding, alat diatur pada posisi cooling. Pada tahap ini, suhu pasta pati menurun secara berangsur-angsur. Pendinginan dilakukan hingga suhu mencapai 50°C. Setelah pendinginan berakhir, alat amilograph dimatikan dan grafik profil gelatinisasi contoh dapat diperoleh.

2.

Penentuan Kondisi Proses Pengukusan Adonan terhadap Kualitas Mi Jagung Tahap penelitian ini meliputi pengaplikasian tepung jagung HMT pada

pembuatan mi jagung, penentuan jumlah tepung jagung HMT yang akan dikukus pada pengukusan adonan dan penentuan rentang waktu pengukusan adonan. Tahap ini bertujuan mempelajari bagaimana pengaruh pengaplikasian tepung jagung HMT terhadap kualitas fisik mi jagung serta mempelajari apakah terdapat pengaruh yang nyata pada proses pengukusan adonan.

a.

Pengaplikasian Tepung Jagung HMT pada Pembuatan Mi Jagung Pengaplikasian tepung jagung HMT pada pembuatan mi jagung

menggunakan formulasi berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009), yaitu 90% tepung jagung native dan 10% tepung jagung HMT. Proses produksi mi kering 21

jagung dengan metode kalendering/sheeting dapat dilihat pada Gambar 3, dan untuk mendapatkan mi basah jagung tidak dilakukan pengeringan setelah pengukusan mi.

Tepung jagung (70% bagian)

Guar gum 1% Garam 1% Air 50%

Dicampur rata Pengukusan adonan (90oC, 15 menit)

Adonan 1

Tepung jagung (30% bagian)

Dicampur rata

Penggilingan dalam grinder

Pembentukan lembaran mi

Pencetakan mi (slitting)

Pemotongan mi

Pengukusan mi (95oC, 20 menit)

Mi Basah Jagung

Pengeringan (60 0C, 70 menit)

Mi Kering Jagung

Gambar 3. Proses pembuatan mi jagung metode kalendering/sheeting

22

Metode produksi mi kering jagung ini merupakan hasil penelitian Putra (2008). Berbeda dengan proses pembuatan mi terigu, pada pembuatan mi jagung perlu dilakukan pengukusan adonan agar terjadi proses pregelatinisasi. Sebagian pati yang tergelatinisasi ini akan membantu mengikat adonan dan mempermudah pembentukan lembaran mi. Penggunaan air sebanyak 50% (basis jumlah tepung) berfungsi sebagai pengikat garam dan membantu proses gelatinisasi saat adonan dikukus. Jumlah air sangat menentukan kelengketan mi. Jumlah air <50% menyebabkan proses pregelatinisasi adonan kurang sempurna sehingga adonan menjadi rapuh, sedangkan jika jumlah air >50% menyebabkan adonan menjadi lengket (Putra, 2008). Penggilingan dengan grinder bertujuan membuat adonan menjadi lebih kompak

dan

mudah

dibentuk

lembaran.

Pengukusan

mi

bertujuan

menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak (Putra,2008).

b.

Penentuan Jumlah Tepung Jagung HMT yang akan Dikukus pada Pengukusan Adonan Berdasarkan penelitian yang dilakukan Putra (2008), jumlah adonan yang

dikukus pada pengukusan adonan sebanyak 70%, sedangkan sisa bagian tepung (30%) tidak dikukus. Seperti telah dikemukakan di atas, pengukusan adonan bertujuan menggelatinisasi sebagian pati. Sebagian pati yang tergelatinisasi ini akan membantu mengikat adonan dan mempermudah pembentukan lembaran mi. Suhu pengukusan dilakukan pada 90oC selama 15 menit (Putra, 2008). Tahap penelitian ini mengamati bagaimana pengaruh tepung jagung HMT jika seluruhnya dimasukkan, sebagian (dicampur terlebih dahulu baru dilakukan pembagian adonan) atau tidak dimasukkan pada proses pengukusan adonan. Adonan mi dibuat dari 1 kg tepung jagung, terdiri dari 900 g tepung jagung native dan 100 g tepung jagung HMT. Bagian yang dikukus sebanyak 70% atau 700 g, sedangkan bagian tepung yang tidak dikukus sebanyak 30% atau 300 g. Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT yang dikukus yaitu 700 g : 0 g, 600 g : 100 g dan 630 g : 70 g, dapat dilihat pada Tabel 9.

23

Tabel 9. Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT yang dikukus Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Tepung jagung HMT 0g 70 g 100 g Tepung jagung native 700 g 630 g 600 g Basis : 1 kg tepung, 70% bagian yang akan dikukus Bagian tepung yang dikukus terlebih dahulu dicampurkan dengan guar gum, air dan garam. Penambahan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponenkomponen dalam adonan, sedangkan fungsi garam adalah memberi rasa dan memperkuat tekstur mi. Adonan yang telah dikukus kemudian dicampurkan dengan bagian tepung yang tidak dikukus, dilanjutkan dengan penggilingan menggunakan grinder sebanyak 2 kali. Penggilingan sebanyak 2 kali ini bertujuan membuat adonan menjadi lebih homogen. Selain itu, menurut Putra (2008) penggilingan ini dapat meningkatkan gelatinisasi adonan. Setelah itu dilakukan proses sheeting

untuk membentuk

lembaran dan dilanjutkan dengan pencetakan mi. Pengamatan sifat adonan dilakukan saat sheeting dan pencetakan mi.

c.

Penentuan RentangWaktu Pengukusan Adonan Waktu pengukusan yang akan dilakukan adalah selama 13, 14, 15, 16 dan

17 menit. Penggunaan tepung jagung HMT pada adonan apakah akan menjadikan adonan lebih stabil atau bahkan lebih sensitif terhadap waktu pengukusan. Pengamatan sifat adonan dilakukan pada saat sheeting dan pencetakan. Selain itu, dilakukan juga pengukuran derajat gelatinisasi. Setelah dilakukan pencetakan mi, dilakukan pengukusan kedua dengan suhu 95oC selama 20 menit. Pengukusan untaian mi ini bertujuan menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak. Setelah dilakukan pengukusan kedua, dilakukan pengovenan untuk mendapatkan mi kering jagung. Analisis sifat fisik dilakukan pada mi basah jagung maupun mi kering jagung sesudah dimasak. Analisis ini mencakup pengukuran tekstur kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2, pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan), pengukuran persen elongasi, dan pengukuran waktu pemasakan optimum. Selain itu, dilakukan pula

24

analisis secara organoleptik meliputi uji rating atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi setelah dimasak dengan panelis terlatih. Panelis terlatih diperoleh melalui proses seleksi panelis dan pelatihan sehingga mampu membedakan atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan dari mi jagung.

1). Analisis Fisik a)

Waktu Pemasakan Optimum (Lestari, 2008) Mi kering ditimbang sebanyak 5 g. Air sebanyak 150 ml dididihkan, setelah

air mendidih mi dimasukkan dan stop watch dinyalakan. Pemasakan dihentikan bila sudah tidak terbentuk garis putih saat mi ditekan dengan dua potong kaca. Waktu optimum pemasakan adalah waktu saat pemasakan dihentikan. b)

Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2 Pengukuran TPA dilakukan untuk melihat profil tekstur dari sampel.

Pengukuran ini menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Sampel yang digunakan adalah mi jagung yang direhidrasi dengan metode perendaman dalam air yang telah mendidih, kemudian ditiriskan dan didiamkan pada udara terbuka selama beberapa saat. Metode ini sesuai dengan pengaplikasian mi jagung pada skala industri kecil, seperti mi baso. Seuntai sampel yang telah direhidrasi dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT–2 yang digunakan tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis) Parameter Setting Pre test speed 2,.0 mm/s Test speed 0,1 mm/s Post test speed 2,0 mm/s Rupture test distance 75% Distance 1% Force 100 g Time 5 sec Count 2

25

Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram Force (gF). Sedangkan kekenyalan ditunjukkan dengan perbandingan luas area peak kedua dengan peak pertama. Contoh kurva profil tekstur mi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Profil tekstur mi

c)

Analisis Persen Elongasi Menggunakan Texture Analyzer Elongasi menunjukkan persen pertambahan panjang maksimum mi yang

mengalami tarikan sebelum putus. Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit kedua ujung mi. Sampel yang telah direhidrasi dijepit sedemikian rupa pada kedua ujung probe dengan jarak antar probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0.3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus : Persen elongasi =

d)

waktu putus sampel ( s ) × 0,3 cm / s × 100% 2 cm

Pengukuran cooking loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) Pengukuran KPAP ini dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150

ml air dengan berbagai waktu pemasakan, yaitu 3, 6, 9, 12, 15 dan 18 menit. Pengukuran dengan berbagai waktu pemasakan ini bertujuan melihat bagaimana pengaruh lama pemasakan terhadap mi jagung produk akhir. Setelah dimasak, mi 26

direndam air dingin dan kemudian ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut:

⎧ berat sampel setelah di ker ingkan ⎫ KPAP = 1 − ⎨ ⎬ × 100% ⎩ berat awal (1 − kadar air contoh) ⎭

2). Analisis Organoleptik a)

Seleksi Panelis Seleksi panelis merupakan suatu cara untuk mendapatkan panelis yang

memiliki kemampuan dasar yang cukup, kemampuan membedakan serta mengurutkan intensitas. Seleksi ini dilakukan terhadap 40 orang calon panelis yang kemudian diberikan serangkaian tes organoleptik sehingga diperoleh sebanyak 8-11 orang. Tahapan ini bertujuan mengetahui kepekaan sensori calon panelis. Pengujian yang dilakukan meliputi identifikasi rasa dan aroma dasar sebagai metode umum untuk menguji kemampuan dasar indra pencicipan serta penciuman, uji ranking untuk menguji kemampuan panelis dalam mengurutkan intensitas rangsangan, dan uji segitiga (pembedaan) untuk menguji kepekaan panelis untuk membedakan intensitas rangsangan karena diberikan dengan intensitas berbeda. Uji rasa dasar dilakukan dengan tujuan melihat kemampuan panelis dalam mengenali dan mendeskripsikan rasa dasar. Sampel uji pada identifikasi rasa dan aroma dasar dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan sampel uji untuk uji ranking dapat dilihat pada Tabel 12. Uji segitiga dilakukan dengan atribut kekerasan dan kekenyalan mi karena mempertimbangkan bahwa sampel uji dan jenis pengujian yang nantinya akan dievaluasi oleh panelis adalah karakteristik fisik mi jagung berupa kekerasan, kekenyalan dan kelengketan. Calon panelis yang terpilih diharapkan dapat membedakan atribut tersebut. Sampel untuk uji segitiga dapat dilihat pada Tabel 13.

27

Tabel 11. Sampel uji untuk identifikasi rasa dan aroma dasar Jenis Uji Sampel Konsentrasi (%) Identifikasi rasa dasar Larutan sukrosa 2.00 Larutan asam sitrat 0.04 Larutan garam 0.20 Larutan kafein 0.05 Larutan MSG 0.03 Identifikasi aroma dasar 1.00 Tutti fruity 1.00 Mint 1.00 Orange 1.00 Meat 1.00 Nut Tabel 12. Sampel untuk uji ranking Jenis Uji Sampel Rangking Rasa Dasar Asin Larutan Garam (NaCl)

Rangking Rasa Dasar Pahit

Larutan Kafein

Konsentrasi (%) 0.10 0.20 0.50 1.00 0.03 0.06 0.13 0.26

Tabel 13. Sampel untuk uji segitiga Jenis Uji

Sampel

Segitiga Atribut Kekerasan Segitiga Atribut Kekenyalan

Mi Kering Terigu Komersil Kwetiau Jagung Komersil

Lama Perebusan (menit) 2 5 4 10

Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang dapat menjawab dengan benar sekurang-kurangnya 60 % untuk uji segitiga dan 80 % untuk uji deskriptif rasa dasar (Meilgaard et al., 1999). Selanjutnya panelis yang terpilih dalam kepentingan penelitian ini adalah yang memiliki waktu dan motivasi tinggi dalam mengikuti tahap pelatihan secara konsisten. Contoh format kuesioner uji-uji dalam seleksi panelis ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

28

b)

Pelatihan Panelis Terlatih Menurut Meilgaard et al. (1999), proses pelatihan panelis terlatih

membutuhkan waktu selama 40 hingga 120 jam. Semakin kompleks atribut yang diujikan, maka waktu pelatihan panelis yang dibutuhkan juga akan semakin lama. Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut rasa dan aroma, terutama yang terkait dengan kepentingan penelitian. Tahapan ini terdiri dari pengenalan bahasa flavor, pengenalan skala, dan pelatihan penilaian suatu sampel tertentu. Setiap panelis diberikan latihan selang waktu tertentu secara berulang sampai diperoleh hasil evaluasi sensori yang konsisten serta kesepakatan mengenai istilah sensori tertentu. Latihan sensori ini meliputi pelatihan terhadap atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi.

c)

Uji Organoleptik Uji organoleptik akan dilakukan dengan uji rating atribut kekerasan,

kelengketan dan kekenyalan pada mi jagung produk akhir oleh panelis terlatih. Uji rating atribut dilakukan untuk melihat dan membandingkan hasilnya dengan pengukuran menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2.

d)

Analisis Data Data-data

pada

penelitian

ini

diolah

menggunakan

uji

statistik

nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney U/Wilcoxon. Uji Mann-Whitney U/Wilcoxon digunakan untuk membandingkan dua mean/rata-rata populasi yang berasal dari populasi yang sama dan menguji apakah berbeda nyata atau tidak (Walpole, 1995).

3.

Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung Tahap akhir penelitian ini meliputi uji penerimaan konsumen terhadap

produk olahan mi jagung. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuisioner kepada konsumen. Konsumen diminta untuk menilai bagaimana penerimaannya terhadap produk olahan mi jagung. Produk olahan yang dicobakan adalah mi ayam untuk mi basah jagung native dan

29

substitusi HMT serta mi bakso untuk mi kering jagung native dan substitusi HMT. Uji penerimaan konsumen ini dilakukan bekerjasama dengan pedagang mi ayam dan mi bakso. Contoh kuisioner yang diberikan kepada konsumen dapat dilihat pada Lampiran 2. Kuisioner uji penerimaan konsumen berisi pertanyaan mengenai identitas responden, perilaku responden dalam mengkonsumsi mi, tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi jagung dan tingkat kesesuaian produk olahan tersebut menurut responden.

Berdasarkan data yang diperoleh dari

kuisioner, dapat terlihat bagaimana penerimaan responden terhadap mi jagung dan tingkat kesesuaiannya terhadap produk olahan yang dicobakan. Sebelum dilakukan uji penerimaan konsumen, responden terlebih dahulu diberikan bebrapa penjelasan mengenai mi jagung, mengingat produk ini merupakan produk yang relatif baru. Beberapa penjelasan tersebut antara lain bahwa mi jagung memiliki perbedaan dengan mi terigu komersil dalam hal tekstur dan mi jagung memiliki beberapa kelebihan, antara lain tidak menggunakan pewarna dan pengawet. Pengisian kuisioner didampingi oleh peneliti, hal ini ditujukan agar responden lebih mudah menerima penjelasan mengenai pertanyaan-pertanyaan dalam kuisioner tersebut. Metode penentuan lokasi pengambilan responden menggunakan metode Non Probability Sampling (NPS), yaitu seleksi unsur populasi berdasarkan pertimbangan peneliti. Metode NPS terdiri dari tiga jenis contoh, yaitu contoh kemudahan (accidental sampling), pertimbangan (purposive sampling) dan quota (Singarimbun dan Effendi, 1989). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode purposive sampling. Responden yang dipilih adalah warga lingkar kampus IPB yang pernah membeli atau mengkonsumsi mi serta yang sesuai dengan target usia, jenis kelamin dan tingkat ekonomi yang telah ditentukan.

30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

KARAKTERISTIK TEPUNG JAGUNG HMT Jagung merupakan tanaman serealia yang memiliki profil gelatinisasi pati

tipe B. Profil gelatinisasi tipe B ditandai dengan kemampuan pengembangan yang sedang dengan viskositas puncak yang tinggi serta memiliki breakdown (penurunan viskositas selama pemanasan) yang tidak terlalu tajam (Collado et al, 2001). Sifat fungsional pati sangat menentukan kualitas mi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan sifat fungsional pati berkaitan erat dengan pembentukan adonan (reologi) dan kualitas tekstur mi. Menurut Lii dan Chang (1981) didalam Collado et al (2001), pati yang ideal untuk dibuat menjadi produk mi adalah pati yang memiliki pengembangan dan solubility yang terbatas dan memiliki profil gelatinisasi tipe C. Selain itu, menurut Chen et al (2003), karakteristik pati yang baik untuk diaplikasikan menjadi produk mi adalah pati dengan viskositas puncak yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah (Tam et al, 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakteristik tersebut memiliki nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang rendah, untaian mi yang kompak dan elastis serta kelengketan yang rendah (Purwani et al, 2006). Mi yang dibuat dari tepung jagung native (alami atau sebelum dimodifikasi) memiliki beberapa kelemahan, yaitu mi basah jagung yang mudah putus dan kurang kenyal, dan mi kering jagung yang keras dan mudah patah/rapuh sebelum direhidrasi dan mudah putus, keras, kurang kenyal, lengket serta memiliki kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang tinggi setelah direhidrasi. Oleh karena itu, aplikasi tepung jagung HMT diharapkan dapat memperbaiki kelemahan yang dimiliki mi jagung. Modifikasi dengan teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi tepung jagung menjadi tipe C. Profil gelatinisasi tipe C ditandai dengan kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan

31

meningkat selama pemanasan. Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) merupakan teknik modifikasi pati secara fisik, yaitu dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi bahan selama periode waktu tertentu dan pada kadar air yang terkendali. Kondisi modifikasi tepung jagung berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009), yaitu pada suhu 110oC selama 6 jam dan pada kadar air 24%. Grafik hasil pengukuran profil gelatinisasi tepung jagung native (alami atau sebelum dimodifikasi) dan setelah dimodifikasi dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan data profil gelatinisasi tertera pada Tabel 14. Pengukuran profil gelatinisasi dilakukan dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Profil gelatinisasi yang diamati antara lain suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, kestabilan viskositas selama pemanasan atau breakdown, dan perubahan viskositas selama pendinginan atau setback. Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi ini adalah 8,87% (b/v) untuk tepung jagung native dan 9,01% (b/v) untuk tepung jagung HMT. Tabel 15. Menunjukkan data profil gelatinisasi tepung jagung HMT pada penelitian Lestari (2009). Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi pada penelitian tersebut adalah 9,91% (b/b) untuk tepung jagung native dan 10,01% (b/b) untuk tepung jagung HMT. Terdapat perbedaan antara data profil gelatinisasi pada penelitian ini dan penelitian yang dilakukan Lestari (2009), antara lain pada suhu awal gelatinisasi, dan nilai setback. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian ini lebih rendah dan nilai setback pada penelitian ini mengalami peningkatan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan Lestari (2009) mengalami penurunan. Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu saat granula pati mulai menyerap air, pada grafik profil gelatinisasi terlihat jika viskositas mulai meningkat. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung HMT (79,50oC) lebih tinggi daripada tepung jagung native (74,25 oC). Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung HMT lebih tahan terhadap panas, sehingga butuh suhu yang lebih tinggi untuk dapat menggelatinisasi pati jagung tersebut. Takahashi et al (2005) menyatakan bahwa proses modifikasi HMT akan menyebabkan pergeseran (peningkatan) suhu awal gelatinisasi dan suhu gelatinisasi.

32

1400

100

1200

90

80 70 800

60

600

50

400

40

Suhu ( C)

Viskositas (BU)

1000

30 200

Viskositas HMT

20

Viskositas NATIVE

0

10

Suhu -200

0 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

Waktu (Menit)

Gambar 5. Profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT Tepung Jagung Tepung Jagung Data Profil Gelatinisasi Native HMT o Suhu awal gelatinisasi ( C) 74,25 79,50 Waktu awal gelatinisasi (menit) 29,50 33,00 Viskositas maksimum (BU) 659,00 Suhu saat mencapai viskositas 93,75 maksimum (oC) Viskositas pada 95oC (BU) 655,00 385,00 Viskositas setelah holding 20 menit 608,00 479,00 o di 95 C (BU) Viskositas pada 50 oC (BU) 970,00 910,00 Viskositas setelah holding 20 menit 1.280,00 1.075,00 di 50 oC (BU) Breakdown (BU) 4,00 Setback (BU) 315,00 525,00 Keterangan : Breakdown (BU) = Perubahan viskositas selama pemanasan atau Viskositas maksimum – Viskositas pada 95oC Setback (BU) = Perubahan viskositas selama pendinginan atau Viskositas pada 50 oC – Viskositas pada 95oC

Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) Tepung Jagung Tepung Jagung Data Profil Gelatinisasi Native HMT o b Suhu awal gelatinisasi ( C) 76.37 + 0.89 83.97 + 0.06 a b Waktu awal gelatinisasi (menit) 5.00 + 0.00 5.80 + 0.23 a Viskositas maksimum (cP) 1334.00 + 15.59 a 636.00 + 81.41 b a Viskositas akhir (cP) 1835.33 + 30.60 771.00 + 95.26 b a Breakdown (cP) 362.00 + 20.78 26.67 + 12.70 b Setback (cP) 863.00 + 35.80 a 161.67 + 26.56 b

33

Peningkatan ini terjadi karena selama proses modifikasi terbentuk ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian amorpous dengan amilopektin pada bagian kristalin, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Terbentuknya ikatan baru yang lebih kompleks ini diharapkan dapat meningkatkan kekompakan mi jagung sehingga tidak mudah putus dan lebih elastis setelah direhidrasi. Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa perlakuan modifikasi HMT dapat menyebabkan peningkatan suhu awal gelatinisasi pada pati ubi jalar (Collado et al 2001), pati jagung (Pukkahuta et al 2008), dan tepung beras (Takahashi et al 2005). Terbentuknya formasi kristalin dengan struktur yang lebih kuat dan rapat menyebabkan pati membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menyerap air. Menurut Jacobs et al (1998), bagian amorpous pati lebih mudah menyerap air karena memiliki struktur yang lebih renggang. Viskositas maksimum atau viskositas puncak menunjukkan kondisi pengembangan maksimum granula pati yang selanjutnya akan pecah dan menurunkan viskositas. Viskositas maksimum terlihat pada grafik profil gelatinisasi, yaitu viskositas tertinggi sesaat sebelum mengalami penurunan viskositas. Viskositas maksimum tepung jagung native sebesar 659,00 BU, sedangkan pada tepung jagung HMT tidak terdapat viskositas maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan HMT pada tepung jagung menyebabkan penurunan kemampuan pati untuk mengembang. Selain itu, dapat juga mengindikasikan penurunan polimer yang lepas selama pemanasan. Berdasarkan Newport Scientific (1998) yang dikutip oleh Beta dan Corke (2001), bahwa viskositas maksimum mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi negatif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas. Tepung jagung HMT tidak memiliki viskositas maksimum, sehingga dapat diindikasikan bahwa pada produk akhir akan terjadi penurunan jumlah polimer yang lepas. Hal ini terkait dengan parameter KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) pada produk mi jagung dan diharapkan dengan adanya substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan KPAP mi jagung. Selain itu, diharapkan

34

pula terjadinya penurunan jumlah polimer yang lepas sehingga dapat menurunkan kelengketan mi jagung yang dihasilkan. Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan semakin stabil serhadap panas (Widaningrum dan Purwani, 2006). Nilai Breakdown diperoleh dari viskositas maksimum dikurangi viskositas pada suhu 95oC. Breakdown tepung jagung native sebesar 4,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT tidak memiliki breakdown. Menurut Beta dan Corke (2001), breakdown memiliki korelasi positif dengan kualitas fisik mi sorgum yang dihasilkan yaitu kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP). Nilai breakdown merupakan pati

selama

adanya

pemanasan

(Beta

dan

tingkat

kestabilan granula

Corke, 2001) sehingga dengan tidak

nilai breakdown pada tepung jagung HMT diharapkan dapat

meningkatkan kekompakan serta meningkatkan elastisitas mi jagung. Tekstur mi jagung yang kompak atau tidak hancur selama pemasakan diharapkan dapat menghasilkan mi dengan KPAP dan kelengketan yang rendah dan lebih elastis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Collado dan Corke (1997) pada pembuatan mi pati ubi jalar native, pati yang memiliki rasio stabilitas (viskositas pada 95oC/viskositas pada 50 oC) lebih tinggi secara signifikan dan berkorelasi tinggi terhadap tingkat kekerasan mi yang dimasak. Selain itu, mi yang dibuat dari pati ubi jalar HMT menghasilkan produk mi yang tidak keras. Menurut Mestres et al (1988), mi yang terbuat dari pati adalah pati yang teretrogradasi, sehingga pati yang mengalami retrogradasi lebih cepat (ditunjukkan dengan nilai setback yang tinggi) merupakan yang lebih baik untuk produk mi. Viskositas setback menunjukkan tingkat kecenderungan proses retrogadasi pasta pati. Menurut Winarno (2004), retrogradasi merupakan proses terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta didinginkan. Nilai setback yang semakin tinggi menunjukkan semakin tinggi kecenderungan terjadinya retrogradasi. Nilai setback tepung jagung native sebesar 315,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT sebesar 525,00 BU. Peningkatan nilai ini diharapkan dapat memperbaiki karakteristik mi jagung yang disubstitusi

35

dengan tepung jagung HMT, yaitu pada atribut kekerasan. Substitusi tepung jagung HMT diharapkan dapat menurunkan tingkat kekerasan mi jagung.

B.

PENGARUH PENGUKUSAN ADONAN TERHADAP KUALITAS MI JAGUNG Pembuatan mi jagung 100% membutuhkan tambahan proses yaitu

pengukusan sebagian adonan (70% bagian) sebelum dilakukan pembentukan lembaran mi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2009), pengukusan sebagian adonan dilakukan pada suhu 90 oC selama 15 menit dan substitusi tepung jagung HMT sebesar 10% dari jumlah tepung jagung yang digunakan. Kondisi pengukusan adonan merupakan proses yang kritis. Berdasarkan Putra (2008), apabila rasio adonan dan waktu pengukusan tidak sesuai maka tidak akan terbentuk adonan mi yang kompak dan tidak dapat dibuat menjadi mi. Substitusi tepung jagung HMT seperti terlihat pada Tabel 16, memberikan pengaruh positif terhadap kualitas adonan, antara lain adonan menjadi tidak lengket dan penanganan adonan menjadi lebih mudah. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa kualitas adonan formula 1, 2 dan 3 tidak memiliki perbedaan yang nyata. Oleh karena itu, formula yang dipilih adalah formula 1 atau adonan yang dikukus tidak disubstitusi dengan tepung jagung HMT, pengaplikasian tepung jagung HMT dilakukan pada pencampuran kering dengan bagian tepung jagung yang tidak dikukus. Pertimbangan dari pemilihan formula ini adalah kemudahan proses produksi. Formula ini digunakan untuk penentuan kondisi proses selanjutnya, yaitu pada penentuan rentang waktu pengukusan. Visualisasi mi jagung kontrol, formula 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 6. Pembentukan adonan mi menjadi tidak lengket, lebih elastis dan tidak mudah retak setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT. Adonan menjadi tidak lengket karena proses modifikasi HMT menyebabkan tepung jagung tidak memiliki viskositas maksimum. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa viskositas maksimum berkorelasi positif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas (Newport Scientific, 1998). Hal inilah yang menyebabkan penurunan jumlah polimer yang lepas dan berakibat pada penurunan kelengketan adonan. 36

Tabel 16. Pengaruh rasio tepung jagung HMT yang dikukus terhadap kualitas adonan Rasio Adonan yang Dikukus Kualitas Adonan Kontrol Pembentukan adonan agak lengket (Mi jagung native) Lembaran adonan agak mudah patah Pemotongan mi agak lengket pada alat Hasil mi basah agak belum matang Mi basah mudah putus Formula 1 Pembentukan adonan tidak lengket (Mi jagung HMT tidak dikukus) Penanganan adonan lebih mudah Pemotongan mi tidak lengket Adonan lebih elastis dari kontrol Mi basah matang Formula 2 Pembentukan adonan tidak lengket (Mi jagung HMT sebagian dikukus) Penanganan adonan lebih mudah Pemotongan mi tidak lengket Adonan lebih elastis dari kontrol Mi basah matang Formula 3 Pembentukan adonan tidak lengket (Mi jagung HMT dikukus) Penanganan adonan lebih mudah Pemotongan mi sedikit lengket Adonan lebih elastis dari kontrol Mi basah matang

a

b

c d Gambar 6. Visualisasi mi basah jagung dengan variasi bagian adonan yang dikukus [a] Kontrol (Mi jagung native); [b] Formula 1 (Mi jagung HMT tidak dikukus); [c] Formula 2 (Mi jagung HMT sebagian kukus); [d] Formula 3 (Mi jagung HMT dikukus)

37

Adonan mi jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT juga menjadi lebih elastis dan tidak mudah retak. Peningkatan elastisitas dan kekompakan adonan ini dipengaruhi oleh tepung jagung HMT karena selama proses modifikasi terbentuk ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian kristalin dengan amilopektin pada bagian amorpous, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Selain rasio adonan yang dikukus, titik kritis lain pada proses pengukusan adonan adalah waktu pengukusan. Tabel 17 menunjukkan pengaruh waktu pengukusan

terhadap sifat adonan yang diamati secara visual. Seperti telah

dipaparkan sebelumnya, bahwa pada pembuatan mi jagung 100%, waktu pengukusan adonan dilakukan selama 15 menit. Setelah dilakukan pengukusan, adonan dicampur dengan bagian adonan yang tidak dikukus, kemudian dilakukan penggilingan dan dibentuk menjadi lembaran mi. Pengukusan adonan bertujuan menggelatinisasi sebagian pati dan akan membantu mengikat adonan serta mempermudah pembentukan lembaran mi (Putra, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2008) menunjukkan bahwa pengukusan adonan dilakukan selama 15 menit, apabila waktu pengukusan lebih pendek akan membuat adonan menjadi mudah patah dan sebaliknya jika waktu pengukusan lebih panjang akan membuat adonan menjadi lengket dan tidak dapat dibuat lembaran.

Tabel 17. Pengaruh waktu pengukusan terhadap sifat adonan Waktu Sifat Adonan (secara visual) (menit) 13 Adonan agak kurang matang, agak rapuh sehingga agak sulit membentuk lembaran, lembaran yang terbentuk agak pecahpecah 14 Adonan tidak lengket, lembaran yang terbentuk plastis sehingga dapat direduksi ukurannya 15 Adonan tidak lengket, lembaran yang terbentuk plastis sehingga dapat direduksi ukurannya 16 Adonan tidak lengket, lembaran yang terbentuk plastis sehingga dapat direduksi ukurannya 17 Adonan agak lengket pada roller mesin sheeting, lembaran agak sulit ditipiskan

38

Akan tetapi, substitusi tepung jagung HMT seperti terlihat pada Tabel 17, memberikan pengaruh pada waktu pengukusan, yaitu waktu pengukusan adonan menjadi lebih panjang dan adonan masih dapat ditangani serta dapat dibentuk menjadi lembaran mi. Substitusi tepung jagung HMT ini memudahkan proses produksi mi jagung, yaitu pengukusan adonan dapat dilakukan selama 14-16 menit. Waktu pengukusan adonan dapat lebih panjang karena proses modifikasi HMT dapat mencegah penyerapan air lebih banyak dan adonan menjadi tidak lengket walaupun waktu pengukusan menjadi lebih lama. Hal ini ditunjukkan dengan karateristik tepung jagung HMT, seperti telah dipaparkan sebelumnya memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi, sehingga lebih tahan terhadap panas dan membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk dapat menggelatinisasi pati jagung.

1.

Analisis Sifat Fisik Mi Jagung Analisis ini mencakup pengukuran waktu pemasakan optimum, pengukuran

tekstur kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi setelah dimasak menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2, pengukuran persentase elongasi setelah dimasak, pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan), dan uji organoleptik meliputi uji rating atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi setelah dimasak dengan panelis terlatih.

a.

Waktu Pemasakan Optimum Waktu pemasakan optimum mi basah jagung native dan HMT adalah 30

detik, sedangkan mi kering jagung native dan HMT adalah 3 menit 30 detik. Waktu pemasakan mi jagung basah lebih singkat karena telah mengalami pematangan dengan pengukusan, sedangkan mi kering jagung mengalami proses pengeringan sehingga membutuhkan waktu pemasakan atau rehidrasi yang lebih panjang.

b.

Analisis Profil Tekstur Analisis profil tekstur dari mi jagung dilakukan menggunakan alat Texture

Analyzer TAXT-2 sehingga dapat diperoleh data mengenai kekerasan, kekenyalan

39

dan kelengketan mi. Gambar 7 menunjukkan nilai kekerasan mi basah jagung, sedangkan Gambar 8 menunjukkan nilai kekerasan mi kering jagung. Seperti terlihat pada kedua grafik tersebut, nilai kekerasan mi basah jagung dan mi kering jagung mengalami penurunan setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT. Nilai kekerasan mi basah jagung native sebesar 1307,75 gf menurun menjadi 1110,88 gf setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT. Begitu pula dengan mi kering, sebelum disubstitusi dengan tepung jagung HMT, nilai kekerasannya mencapai 2042,78 gf dan menurun menjadi 1605,33 gf setelah proses substitusi dilakukan. Nilai kekerasan ini menurun secara nyata setelah diuji dengan uji nonparametrik Mann Whitney U/Wilcoxon pada taraf signifikansi 0,05.

Nilai Kekerasan (gf)

1307,75a

1110,88b

1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Basah Natif

Basah HMT

Jenis Mi Jagung

Nilai Kekerasan (gf)

Gambar 7. Nilai kekerasan mi basah jagung yang diukur dengan Texture Analyzer

2042,78a 1605,33b

2400 2000 1600 1200 800 400 0 Kering Natif

Kering HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 8. Nilai kekerasan mi kering jagung yang diukur dengan Texture Analyzer

40

Penurunan nilai kekerasan ini dipengaruhi oleh karakteristik tepung jagung yang telah dimodifikasi HMT. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Beta dan Corke (2001), nilai setback berkorelasi positif dengan tingkat kekerasan mi pati sorgum. Nilai setback tepung jagung HMT seperti telah dipaparkan sebelumnya pada karaterisasi tepung jagung HMT, telah mengalami peningkatan sehingga substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan tingkat kekerasan mi jagung. Selain itu, seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa menurut Mestres et al (1988), pati yang mengalami retrogradasi lebih cepat (ditunjukkan dengan nilai setback yang tinggi) merupakan yang lebih baik untuk produk mi dan mi yang dibuat dari pati ubi jalar HMT menghasilkan produk mi yang tidak keras (Collado dan Corke, 1997). Mi jagung memiliki kelemahan pada teksturnya, yaitu rapuh (sebelum direhidrasi, pada mi kering) dan kurang kenyal (setelah direhidrasi/dimasak, pada mi basah dan mi kering). Hal ini disebabkan tepung jagung tidak memiliki protein gluten yang dapat membentuk tekstur yang kompak dan menghasilkan produk mi yang kenyal. Substitusi tepung jagung HMT ternyata memberikan pengaruh yang positif dan nyata (α = 0,05) pada produk akhir mi jagung, baik basah maupun kering yaitu peningkatan nilai kekenyalan, seperti terlihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Mi basah jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT meningkat nilai kekenyalannya dari 482,65 gf menjadi 612,39 gf. Begitu pula dengan mi

Nilai Kekenyalan (gf)

kering jagung, meningkat dari 450,61 gf menjadi 631,90 gf.

612,39b 700 600 500 400 300 200 100 0

482,65a

Basah Natif

Basah HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 9. Nilai kekenyalan mi basah jagung yang diukur dengan Texture Analyzer

41

Nilai Kekenyalan (gf)

631,90b 700 600 500 400 300 200 100 0

450,61a

Kering Natif

Kering HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 10. Nilai kekenyalan mi kering jagung yang diukur dengan Texture Analyzer Peningkatan nilai kekenyalan ini dipengaruhi oleh karakteristik tepung jagung yang telah dimodifikasi HMT. Proses modifikasi ini menyebabkan terbentuknya formasi yang lebih kuat dan rapat sehingga tekstur mi jagung yang dihasilkan menjadi lebih kompak dan kenyal. Selain itu, tepung jagung HMT memiliki kestabilan panas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya breakdown pada profil gelatinisasinya. Menurut Beta dan Corke (2001), nilai breakdown merupakan

tingkat

kestabilan

granula

pati

selama

pemanasan, sehingga dengan tidak adanya nilai breakdown pada tepung jagung HMT menunjukkan bahwa granula pati stabil dan dapat meningkatkan kekompakan serta elastisitas mi jagung. Atribut tekstur lain yang ingin diperbaiki dengan adanya substitusi tepung jagung HMT adalah kelengketan. Seperti terlihat pada Gambar 11 dan 12, nilai kelengketan mi jagung baik basah maupun kering mengalami penurunan secara nyata. Nilai kelengketan mi basah jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT menurun dari 859,51 gf menjadi 648,24 gf. Hal yang sama juga ditunjukkan pada mi kering jagung, kelengketannya berkurang setelah dilakukan proses substitusi tepung jagung HMT, yaitu sebelumnya sebesar 1117,68 gf menjadi 748,70 gf. Kelengketan mi berkaitan dengan jumlah polimer yang lepas pada produk akhir. Semakin tinggi jumlah polimer yang lepas maka semakin tinggi kelengketannya dan pada akhirnya juga mempengaruhi KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) serta berakibat pada tidak kompaknya tekstur mi yang dihasilkan atau mi mudah hancur (putus). Substitusi tepung jagung HMT 42

dapat menurunkan nilai kelengketan karena karateristiknya yang tidak memilki viskositas maksimum, seperti yang dilaporkan Newport Scientific (1998) dan dikutip

oleh

Beta

dan

Corke

(2001),

bahwa

viskositas

maksimum

mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi negatif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas selama pemanasan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan kelengketan pada produk akhir mi jagung, karena semakin meningkatnya jumlah polimer yang lepas dapat menimbulkan kelengketan di permukaan mi. Selain itu, nilai setback yang meningkat menunjukkan retrogradasi lebih cepat terjadi sehingga membentuk struktur mi yang lebih kuat dan kompak. Hal ini dapat mengurangi kelengketan karena mencegah polimer-polimer lepas selama pemasakan. Datadata nilai kekerasan, kekenyalan dan kelengketan yang diukur dengan Texture Analyzer dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan hasil uji statistiknya dapat

Nilai Kelengketan (gf)

dilihat pada Lampiran 4. 859,51a 1000

648,24b

800 600 400

200 0 Basah Natif

Basah HMT

Jenis Mi Jagung

Nilai Kelengketan (gf)

Gambar 11. Nilai kelengketan mi basah jagung yang diukur dengan Texture Analyzer 1117,68a 1200 1000 800 600 400 200 0

748,70b

Kering Natif

Kering HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 12. Nilai kelengketan mi kering jagung yang diukur dengan Texture Analyzer

43

c.

Analisis Persentase Elongasi Gambar 13 dan 14 menunjukkan pengaruh substitusi tepung jagung HMT

terhadap persentase elongasi pada mi basah dan kering jagung. Baik pada ulangan 1 maupun ulangan 2, substitusi tepung jagung HMT memberikan perbedaan yang nyata pada persentase elongasi mi jagung. Mi basah jagung memiliki rata-rata elongasi sebesar 46,55% menjadi 69,69% jika disubstitusi dengan tepung jagung HMT, dan mi kering jagung memiliki rata-rata elongasi sebesar 35,24% menjadi 60,44%. Lampiran 5 menunjukkan data-data nilai persentase elongasi, sedangkan hasil uji statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Elongasi (%)

69,69b 70 60 50 40 30 20 10 0

46,55a

Basah Natif

Basah HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 13. Persentase elongasi mi basah jagung

Elongasi (%)

60,44b

70 60 50 40 30 20 10 0

35,24a

Kering Natif

Kering HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 14. Persentase elongasi mi kering jagung Peningkatan persentase elongasi ini dipengaruhi oleh karakteristik tepung jagung HMT yang tidak memiliki breakdown. Nilai breakdown seperti telah dipaparkan sebelumnya, merupakan tingkat kestabilan granula pati selama pemanasan (Beta dan Corke, 2001) sehingga dengan tidak adanya nilai breakdown

44

dapat meningkatkan kekompakan serta meningkatkan elastisitas mi jagung. Selain itu, proses modifikasi HMT menyebabkan terbentuknya ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian amorpous dengan amilopektin pada bagian kristalin, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Hal inilah yang mempengaruhi peningkatan persentase elongasi mi jagung yang disubstitusi tepung jagung HMT.

d.

Analisis KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) Hasil pengukuran KPAP mi jagung dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, terlihat bahwa substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan nilai KPAP secara nyata, baik mi basah maupun mi kering. Nilai rata-rata KPAP mi basah jagung sebesar 10,28% dan setelah disubstitusi tepung jagung HMT menjadi 8,68%, sedangkan mi kering jagung sebesar 6,12% dan setelah disubstitusi tepung jagung HMT menjadi 4,72%. Hal ini sesuai dengan harapan bahwa substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan KPAP. Tepung jagung HMT seperti telah dipaparkan sebelumnya tidak memiliki viskositas maksimum, karateristik ini terkait dengan parameter KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) karena memiliki korelasi negatif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas (Newport Scientific, 1998). Data-data nilai kehilangan padatan akibat pemasakan dapat dilihat pada Lampiran 7 , sedangkan hasil uji statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 8.

KPAP (%)

10,28a 8,68b

12 10 8 6 4 2 0 Basah Natif

Basah HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 15. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi basah jagung

45

KPAP (%)

6,12a 7 6 5 4 3 2 1 0

4,72b

Kering Natif

Kering HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 16. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi kering jagung Gambar 17 menunjukkan hubungan antara lama pemasakan (menit) dan KPAP (%). Terlihat pada kedua gambar tersebut bahwa lama pemasakan (menit) berbanding terbalik dengan nilai KPAP. Hal ini terjadi karena semakin lama mi dimasak maka proses pelepasan polimer akan meningkat dan akhirnya akan hancur atau akan merusak kekompakan bentuk mi jagung. Nilai KPAP antara mi kering jagung native dan HMT pada waktu pemasakan selama 3 menit (6,07% untuk native dan 4,67% untuk HMT) dan 6 menit (9,57% untuk native dan 8,70% untuk HMT) tidak jauh berbeda. Akan tetapi, ketika dimasak pada waktu yang lebih lama, kedua jenis mi memberikan nilai KPAP yang berbeda, nilai KPAP mi kering jagung native lebih tinggi dibandingkan mi kering jagung HMT.

35,00

KPAP (%)

30,00 25,00 20,00

y = 5,308x - 0,793 R² = 0,982

15,00

Kering Natif

10,00

y = 4,094x - 0,092 R² = 0,962

5,00

Kering HMT

0,00 3

6

9

12

15

18

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 17. Hubungan antara kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dan lama waktu pemasakan mi kering jagung

46

2.

Analisis Organoleptik Mi Jagung

a.

Seleksi Panelis Pemilihan panelis merupakan hal yang kritis dalam uji organoleptik. Seleksi

panelis merupakan tahap awal untuk menjaring panelis yang memiliki kepekaan sensori yang baik untuk menguji hasil akhir mi jagung. Bagian awal seleksi adalah prescreening questionnaire yang dilakukan dengan pengisian kuesioner. Tujuannya adalah mendapatkan data kandidat panelis mencakup motivasi, waktu luang, kesehatan dan kebiasaan makan. Selanjutnya, dilakukan acuity test (uji ketepatan) yang terdiri dari empat metode seleksi, yaitu: (1) identifikasi rasa dasar untuk mengetahui kemampuan kandidat panelis dalam mengindentifikasi rasa dasar (manis, asam, asin, pahit, dan umami), (2) identifikasi aroma dasar untuk mengetahui kemampuan kandidat panelis dalam mendeskripsikan beberapa aroma dasar (tutti fruity,mint, orange, meat dan nut), (3) uji ranking rasa dasar untuk mengetahui kemampuan kandidat panelis dalam membedakan dan mengurutkan intensitas rasa dasar, dan (4) uji segitiga untuk mengetahui kemampuan kandidat panelis dalam menentukan satu sampel beda diantara tiga sampel yang disajikan. Seleksi panelis dilakukan terhadap 40 orang mahasiswa. Panelis dinyatakan lolos seleksi apabila menjawab dengan benar minimal 80% untuk identifikasi rasa dan aroma dasar, 100% untuk uji ranking, dan minimal 60% untuk uji segitiga. Berdasarkan penilaian hasil pengujian identifikasi rasa dan aroma dasar serta uji ranking, maka yang dinyatakan lolos seleksi sebanyak 28 orang. Selanjutnya, 28 orang ini akan diseleksi dengan uji segitiga. Uji segitiga ini dilakukan dengan beberapa set mi yang memiliki perbedaan kekerasan dan kekenyalan. Uji segitiga dengan atribut kekerasan dilakukan sebanyak 6 kali ulangan dan atribut kekenyalan sebanyak 9 kali ulangan. Hal ini dilakukan untuk melihat konsistensi calon panelis dalam membedakan atribut kekerasan dan kekenyalan produk mi. Berdasarkan hasil penilaian, maka yang dinyatakan lolos seleksi uji segitiga sebanyak 11 orang. Uji ini merupakan tahap akhir dari rangkaian seleksi panelis, sehingga 11 orang yang terpilih merupakan calon panelis terlatih yang selanjutnya akan dilakukan pelatihan panelis. Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan

47

meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi. Performa 11 orang calon panelis terlatih selama seleksi panelis dapat dilihat pada Lampiran 9. Contoh scoresheet rangkaian seleksi panelis dapat dilihat pada Lampiran 1.

b.

Pelatihan Panelis Terlatih Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kemampuan

panelis dalam membedakan atribut tekstur. Atribut tekstur yang dilatih meliputi kekerasan, kekenyalan dan kelengketan. Atribut tersebut sangat penting untuk mengevaluasi karakteristik fisik mi jagung secara subjektif, yang kemudian akan dibandingkan dengan pengukuran secara objektif menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Waktu pelaksanaan pelatihan ini telah disepakati oleh para calon panelis terlatih. Pelatihan panelis terdiri dari 8 kali pertemuan, pertemuan pertama merupakan pengenalan mengenai pengenalan leader pelatihan, tujuan penelitian, alokasi waktu pelatihan, dan gambaran umum pelatihan panelis yang akan dilaksanakan. Berdasarkan kesepakatan, maka pelatihan panelis dilaksanakan pada hari Senin pukul 08.45-09.45 WIB dan Jumat pukul 10.00-11.30 WIB. Pertemuan kedua meliputi pengenalan berbagai jenis mi. Jenis mi yang digunakan pada pelatihan antara lain mi kering terigu komersil, mi instan terigu komersil, mi kering jagung substitusi 35%, dan mi kering jagung 100%. Panelis kemudian diminta untuk mendeskripsikan karakteristik beberapa jenis mi tersebut dan pada pertemuan ini disamakan persepsi mengenai kekerasan, kekenyalan, dan kelengketan serta cara pengujiannya. Pertemuan ketiga dilakukan penentuan reference untuk atribut tekstur. Reference merupakan kontrol dalam melakukan penilaian sampel untuk atribut tekstur. Penentuan reference dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kemiripan dengan sampel yang akan diuji dan konsistensi serta kemudahan diperoleh. Oleh karena itu, pemilihan reference dilakukan pada beberapa jenis mi komersil, dengan pertimbangan bahwa mi komersil dapat dipertahankan konsistensinya serta mudah diperoleh. Beberapa jenis mi yang digunakan antara lain mi kering terigu A, mi kering terigu B, mi kering terigu C, dan mi kering

48

terigu D. Berdasarkan hasil diskusi para panelis, maka ditetapkan bahwa mi kering terigu B merupakan reference untuk pengujian sampel. Hasil diskusi pada pertemuan ketiga tersebut dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Hasil diskusi pertemuan ketiga pada pelatihan panelis Deskripsi Atribut Jenis Mi Kekerasan Kekenyalan Kelengketan Mi jagung 100% Keras Tidak kenyal Lengket Mi kering terigu A Sedikit keras Sedikit kenyal Lengket Mi kering terigu B Agak keras Sedikit kenyal Sedikit lengket Mi kering terigu C Tidak keras Kenyal Agak lengket Mi kering terigu D Tidak keras Agak kenyal Lengket Pertemuan keempat meliputi latihan skala pada scoresheet uji yang akan digunakan untuk pengujian sampel mi jagung dan penentuan skala penilaian terhadap reference. Latihan skala ini dilakukan dengan simulasi pengujian pada booth yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi untuk menyamakan persepsi. Scoresheet uji yang digunakan untuk latihan skala dapat dilihat pada Lampiran 10. Pertemuan kelima sampai pertemuan kedelapan merupakan ulangan dari pertemuan keempat. Beberapa ulangan ini bertujuan melatih konsistensi panelis sehingga mampu meningkatkan kepekaan panelis dalam membedakan atribut tekstur yang diperlukan untuk kepentingan penelitian.

c.

Uji Organoleptik Mi Jagung Pengujian organoleptik dilakukan pada sampel mi basah dan mi kering

jagung native serta mi basah dan mi kering jagung HMT yang sudah dimasak. Mi basah jagung dimasak selama 30 detik, sedangkan mi kering jagung dimasak selama 3 menit 30 detik berdasarkan hasil pengukuran waktu pemasakan optimum. Contoh scoresheet uji yang digunakan dalam pengujian tertera pada Lampiran 10. Uji organoleptik yang dilakukan meliputi atribut tekstur, yaitu kekerasan, kekenyalan, dan kelengketan. Panelis terlatih diminta menilai dan memberikan skor untuk atribut tekstur tersebut. Data-data hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 11, sedangkan uji statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 12.

49

Berdasarkan hasil pengujian, panelis menilai kekerasan mi basah jagung native pada skor 7,36 atau ”keras”, sedangkan mi basah jagung HMT dinilai oleh panelis pada skor 5,36 atau ”agak keras/agak lunak”. Penurunan nilai kekerasan ini menunjukkan perbedaan yang nyata (α=0,05). Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT berpengaruh dalam mengurangi kekerasan mi basah jagung. Kekerasan mi kering jagung native dinilai oleh panelis pada skor 8,09 atau berada diantara ”keras” dan ”sangat keras”, sedangkan mi kering jagung HMT dinilai pada skor 6,82 atau berada diantara ”agak keras/agak lunak” dan ”keras”. Nilai kekerasan mi kering jagung native dan mi kering jagung HMT memiliki perbedaan yang nyata, sehingga dapat terlihat bahwa secara organoleptik kekerasan mi jagung kering dapat dikurangi dengan substitusi tepung jagung HMT. Grafik nilai kekerasan mi jagung dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19.

Nilai Kekerasan

10

7,36a 5,36b

8 6

4 2 0

Basah Natif

Basah HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 18. Nilai kekerasan mi basah jagung secara organoleptik

Nilai Kekerasan

10

8,09a 6,82b

8 6

4 2 0

Kering Natif

Kering HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 19. Nilai kekerasan mi kering jagung secara organoleptik 50

Atribut tekstur lain yang diuji adalah kekenyalan. Berdasarkan hasil pengujian, nilai kekenyalan mi basah jagung native dan mi basah jagung HMT menunjukkan perbedaan yang nyata. Skor mi basah jagung native dinilai pada 4,82 atau berada diantara ”tidak kenyal” dan ”agak kenyal/agak tidak kenyal”, sedangkan mi basah jagung HMT dinilai pada 6,18 atau berada diantara ”agak kenyal/agak tidak kenyal” dan ”kenyal”. Grafik nilai kekenyalan mi jagung dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada mi kering jagung native dan mi kering jagung HMT. Nilai kekenyalan mi kering jagung native berbeda nyata dengan mi kering HMT. Skor mi kering jagung native dinilai oleh panelis pada 5,00 atau ”agak kenyal/agak tidak kenyal” dan mi kering jagung HMT pada 6,00 atau ”agak kenyal/agak tidak kenyal”. Substitusi tepung jagung HMT secara organoleptik dinilai dapat meningkatkan kekenyalan mi jagung, baik basah maupun kering.

Nilai Kekenyalan

6,18b

7 6 5 4 3 2 1 0

4,82a

Basah Natif

Basah HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 20. Nilai kekenyalan mi basah jagung secara organoleptik

Nilai Kekenyalan

6,00b 7 6 5 4 3 2 1 0

5,00a

Kering Natif

Kering HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 21. Nilai kekenyalan mi kering jagung secara organoleptik 51

Atribut tekstur yang juga dilakukan evaluasi secara organoleptik adalah kelengketan mi. Sesuai dengan hasil kesepakatan tim panelis terlatih, kelengketan mi dinilai dengan memperhatikan kelengketan antar mi, kelengketan pada tangan, dan ketika dikunyah. Grafik nilai kelengketan mi jagung dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23.

Nilai Kelengketan

6,36a 7 6 5 4 3 2 1 0

4,82b

Basah Natif

Basah HMT

Jenis Mi Jagung

Nilai Kelengketan

Gambar 22. Nilai kelengketan mi basah jagung secara organoleptik

7 6 5 4 3 2 1 0

5,45a

Kering Natif

4,55b

Kering HMT

Jenis Mi Jagung

Gambar 23. Nilai kelengketan mi kering jagung secara organoleptik

Berdasarkan hasil pengujian, kelengketan mi basah jagung native dan mi basah jagung HMT memiliki perbedaan yang nyata (α=0,05). Kelengketan mi basah jagung native dinilai oleh panelis pada skor 6,36 atau berada diantara ”agak lengket/agak tidak lengket” dan ”lengket”, sedangkan mi basah jagung HMT dinilai pada skor 4,82 atau berada diantara ”tidak lengket” dan ”agak lengket/agak

52

tidak lengket”. Hasil tersebut menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT secara nyata dapat menurunkan kelengketan mi jagung. Substitusi tepung jagung HMT pada mi kering jagung juga secara nyata dapat menurunkan kelengketan mi. Mi kering jagung native dinilai oleh panelis pada skor 5,45 atau ”agak lengket/agak tidak lengket”, sedangkan mi kering jagung HMT dinilai pada skor 4,55 atau berada diantara ”tidak lengket” dan ” agak lengket/agak tidak lengket”. Hasil analisis fisik mi jagung, berupa atribut tekstur kekerasan, kekenyalan, dan kelengketan baik secara objektif (pengukuran profil tekstur) maupun subjektif (uji organoleptik) menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan nilai kekerasan, meningkatkan kekenyalan, dan menurunkan kelengketan secara nyata (α=0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT berpengaruh positif terhadap kualitas mi jagung baik basah maupun kering. Selanjutnya, mi basah dan mi kering jagung dilakukan uji penerimaan konsumen untuk melihat bagaimana penerimaan konsumen terhadap produk ini.

C.

PENERIMAAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK OLAHAN MI JAGUNG Informasi mengenai penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung

sangat penting untuk mengingat mi jagung merupakan produk yang relatif baru dan ditujukan untuk dapat dijadikan alternatif pengganti mi terigu komersil. Responden dalam uji penerimaan konsumen ini diberikan kuisioner yang berisi pertanyaan mengenai data umum responden, perilaku konsumsi mi responden, dan penerimaan responden terhadap produk olahan mi jagung. Contoh kuisioner pada uji penerimaan ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

1.

Data Umum Responden Jumlah responden pada uji penerimaan konsumen ini adalah sebanyak 175

orang. Sebagian besar responden adalah perempuan (58,86%), berusia 16-25 tahun (77,14%), dan berpendidikan SMA (49,71%). Responden didominasi pelajar/mahasiswa (69,71%) dan memiliki rata-rata pengeluaran per bulan sebesar

53

Rp 500.000-1.000.000 (41,71%). Secara rinci, data umum keseluruhan responden dapat dilihat pada Lampiran 13.

2.

Perilaku Konsumsi Mi Responden Informasi mengenai perilaku konsumsi mi responden yang dapat diperoleh

dari uji konsumen ini berupa data frekuensi konsumsi mi responden per minggu, faktor penentu konsumsi mi, dan atribut mutu yang penting menurut responden. Seperti terlihat pada Gambar 24, sebagian besar (57,14%) responden mengkonsumsi mi sebanyak <2 kali setiap minggunya, sedangkan sebesar 37,14% responden mengkonsumsi mi sebanyak 3-4 kali per minggu. Sebagian kecil responden mengkonsumsi mi sebanyak 5-7 kali per minggu (4,00%) dan >7 kali per minggu (1,72%).

Jumlah Responden (%)

57,14% 60

50

37,14%

40 30

20 4,00%

10

1,72%

0 < 2 kali

3-4 kali

5-7 kali

> 7 kali

Gambar 24. Frekuensi konsumsi mi responden per minggu Konsumen memiliki pertimbangan tersendiri dalam mengkonsumsi mi. Gambar 25 menunjukkan diagram faktor penentu yang membuat responden memutuskan untuk mengkonsumsi mi. Faktor yang menjadi alasan konsumen dalam mengkonsumsi mi paling banyak karena kualitas atau mutu mi itu sendiri (35%), kemudian karena harganya (30%). Selain itu, pertimbangan lain dari konsumen adalah karena mi dapat dijadikan sebagai pengganti makanan pokok (17%) serta kemudahan dalam memperolehnya (13%), dan 5% untuk jawaban lainnya.

54

Lainnya 5%

Pengganti pangan pokok 17%

Kualitas/ Mutu mi 35%

Harga terjangkau 30%

Kemudahan membeli 13%

Gambar 25. Faktor penentu konsumsi mi

Gambar 26 menunjukkan atribut mutu mi yang dianggap penting oleh responden. Berdasarkan diagram tersebut, ternyata atribut mutu rasa merupakan atribut mutu yang dianggap paling penting untuk sebagian besar responden (74,86%). Selanjutnya, atribut aroma (12,00%), tekstur (9,71%), dan terakhir adalah warna (3,43%). Walaupun atribut warna menduduki posisi terendah, mi jagung yang memiliki keunggulan karena tidak diberi tambahan pewarna diharapkan mampu menjadi alternatif mi terigu komersial. Hal ini dapat didukung dengan rasa mi yang bisa ditingkatkan dengan pengolahan, sehingga rasa yang

Jumlah Responden (%)

enak dan keunggulan mi jagung dapat meningkatkan penerimaan konsumen.

80 70 60 50 40 30 20 10 0

74,86%

12,00%

3,43%

Rasa

Aroma

Warna

9,71%

Tekstur

Gambar 26. Atribut mutu mi yang penting menurut responden 3.

Penerimaan Responden terhadap Produk Olahan Mi Jagung Bagian ketiga dari kuisioner uji penerimaan konsumen ini diawali dengan

pertanyaan mengenai pengetahuan responden terhadap mi jagung, apakah 55

responden pernah mendengar atau mengenal mi jagung. Seperti terlihat pada Gambar 27, sebanyak 66,29% dari 175 responden menyatakan bahwa belum pernah mendengar atau mengetahui mi jagung. Hal ini karena mi jagung merupakan produk baru dan belum tersosialisasi secara menyeluruh di masyarakat. Akan tetapi, sebanyak 33.71% dari seluruh responden menyatakan telah mengetahui mi jagung. Pengetahuan responden didapatkan dari pameran, hasil penelitian serta sosialisasi yang telah dilakukan di lingkungan sekitar kampus IPB, karena sebagian besar responden merupakan mahasiswa atau masyarakat sekitar lingkar kampus IPB. Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai penerimaan responden terhadap produk olahan mi jagung, yaitu mi basah jagung diolah menjadi mi ayam dan mi kering jagung diolah menjadi mi bakso. Responden diminta menilai tingkat kesukaan terhadap produk olahan mi jagung yang disajikan serta tingkat kesesuaian mi jagung yang diolah menjadi produk tersebut, memberikan pendapat mengenai alternatif produk olahan lain yang sesuai untuk mi jagung, dan memberikan pendapat apakah mi jagung ini dapat menggantikan mi terigu komersil. Responden menilai secara terpisah produk olahan yang dibuat dari mi basah jagung native, mi basah jagung HMT, mi kering jagung native, dan mi kering jagung HMT. Hal ini dilakukan untuk dapat membandingkan bagaimana tingkat penerimaan responden terhadap keempat jenis mi jagung tersebut.

Jumlah Responden (%)

66,29%

70 60 50 40 30 20 10 0

33,71%

Ya

Tidak

Gambar 27. Pengetahuan responen terhadap mi jagung

56

a.

Mi Basah Jagung pada Produk Mi Ayam Tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi basah jagung dapat

dilihat pada Gambar 28 dan Gambar 29. Gambar 28 menunjukkan tingkat kesukaan responden pada produk olahan mi basah jagung native. Apabila dibandingkan dengan tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi basah jagung HMT (Gambar 29), ternyata responden yang menyatakan “suka” pada kedua jenis mi jauh lebih tinggi daripada responden yang menyatakan pada level lebih rendah (”agak suka”, ”biasa saja”, ”agak tidak suka”, dan ”tidak suka”). Akan tetapi, responden yang menyukai produk olahan mi basah jagung native (69,12%) lebih banyak dibandingkan dengan mi basah jagung HMT (60%). Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT tidak banyak mempengaruhi tingkat kesukaan pada mi basah jagung.

Biasa saja 18%

Agak tidak Tidak suka suka 1% 3%

Agak suka 9% Suka 69%

Gambar 28. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung native pada produk olahan mi ayam

Biasa saja 20%

Agak suka 20%

Suka 60%

Gambar 29. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung HMT pada produk olahan mi ayam

57

Seperti terlihat pada Gambar 30, menurut sebagian besar responden (93,98%) mi basah jagung sesuai apabila diolah menjadi mi ayam. Hanya sebagian kecil dari responden yang menyatakan mi basah jagung tidak sesuai jika diolah menjadi mi ayam, yaitu sebesar 6,02%. Selain menilai tingkat kesukaan dan kesesuaian, responden juga diminta untuk memberikan pendapat mengenai alternatif lain dalam mengolah mi jagung. Seperti terlihat pada Gambar 31, mi basah jagung dapat diolah menjadi mi goreng (39%), soto mi (35%), toge goreng (16%), dan lainnya seperti ifu mi dan spageti (10%). Selain itu, sebagian besar responden (87,34%) menyatakan bahwa mi basah jagung dapat digunakan sebagai alternatif pengganti mi terigu komersial, seperti diilustrasikan pada Gambar 32.

Jumlah Responden (%)

93,98% 100 80

60 40 6,02% 20 0

Ya

Tidak

Gambar 30. Tingkat kesesuaian mi basah jagung yang diolah menjadi mi ayam Lainnya 10%

Soto mi 35%

Mi goreng 39% Toge goreng 16%

Gambar 31. Alternatif produk olahan mi basah jagung menurut responden

58

Jumlah Responden (%)

87,34% 100 80

60 40

12,66%

20 0

Ya

Tidak

Gambar 32. Tingkat kesesuaian mi basah jagung sebagai alternatif mi terigu komersial b.

Mi Kering Jagung pada Produk Mi Bakso Berbeda dengan hasil yang ditunjukkan pada mi basah jagung, substitusi

tepung jagung HMT dapat meningkatkan tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi kering jagung. Seperti terlihat pada Gambar 33, responden yang menyatakan “suka” pada produk olahan mi kering jagung native sebesar 43%. Responden yang menyatakan ”biasa saja” sebanyak 38% dan sisanya (19%) menyatakan ”agak suka”.

Biasa saja 38%

Suka 43%

Agak suka 19%

Gambar 33. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung native pada produk olahan mi bakso Responden yang menyatakan “suka” pada produk olahan mi kering jagung HMT, yaitu sebesar 55% (Gambar 34). Angka ini lebih besar dibandingkan dengan responden yang menyatakan “suka” pada produk olahan mi kering jagung native

(43%). Akan tetapi, keduanya menunjukkan bahwa responden yang

59

menyatakan “suka” lebih banyak daripada yang menyatakan tingkat kesukaannya pada level yang lebih rendah (”agak suka”, ”biasa saja”, ”agak tidak suka”, dan ”tidak suka”). Responden yang menyatakan ”agak suka” sebanyak 21%, ”biasa saja” sebanyak 17%, ”agak tidak suka” sebanyak 4%, dan sisanya sebanyak 3% menyatakan ”tidak suka” .

Biasa saja 17%

Agak tidak Tidak suka suka 3% 4%

Suka 55%

Agak suka 21%

Gambar 34. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung HMT pada produk olahan mi bakso

Seperti diilustrasikan pada Gambar 35, sebagian besar responden (92,31%) menyatakan bahwa mi kering jagung sesuai apabila diolah menjadi mi bakso, hanya 7,69% dari responden yang menyatakan tidak sesuai. Selain menilai tingkat kesukaan dan kesesuaian, responden juga diminta untuk memberikan pendapat mengenai alternatif lain dalam mengolah mi jagung.

Jumlah Responden (%)

92,31% 100 80

60 40

7,69%

20 0

Ya

Tidak

Gambar 35. Tingkat kesesuaian mi kering jagung yang diolah menjadi mi bakso

60

Seperti terlihat pada Gambar 36, mi kering jagung dapat diolah menjadi soto mi (38%), mi goreng (34%), toge goreng (22%), dan lainnya seperti ifu mi dan spageti (6%). Selain itu, sebagian besar responden (84,81%) menyatakan bahwa mi kering jagung dapat digunakan sebagai alternatif pengganti mi terigu komersial, seperti diilustrasikan pada Gambar 37.

Lainnya 6%

Soto mi 38%

Mi goreng 34%

Toge goreng 22%

Jumlah Responden (%)

Gambar 36. Alternatif lain untuk produk olahan mi kering jagung menurut responden

84,81% 100 80

60 15,19%

40 20 0

Ya

Tidak

Gambar 37. Tingkat kesesuaian mi kering jagung sebagai alternatif mi terigu komersial

61

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.

KESIMPULAN Modifikasi HMT (Heat Moisture Treatment) dapat mengubah sifat

gelatinisasi tepung jagung. Perubahan tersebut antara lain mempengaruhi suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, nilai breakdown dan setback. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung meningkat dari 74,25 oC menjadi 79,50oC. Viskositas maksimum tepung jagung native sebesar 659,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT tidak memiliki viskositas maksimum. Breakdown tepung jagung native sebesar 4,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT tidak memiliki breakdown. Nilai setback tepung jagung meningkat dari 315,00 BU menjadi 525,00 BU. Substitusi tepung jagung HMT memudahkan proses pembentukan adonan, adonan menjadi tidak lengket dan mudah dibentuk lembaran serta dicetak. Selain itu, waktu pengukusan adonan menjadi lebih panjang, yaitu 14-16 menit. Substitusi tepung jagung HMT juga meningkatkan kualitas mi basah jagung dan mi kering jagung, baik diukur secara objektif maupun subjektif (organoleptik). Secara objektif, substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan nilai kekerasan, KPAP, dan kelengketan serta meningkatkan nilai kekenyalan dan persentase elongasi mi jagung secara nyata (α=0,05). Secara subjektif (organoleptik), substitusi tepung jagung HMT secara nyata (α=0,05) menurunkan nilai kekerasan dan kelengketan, serta meningkatkan kekenyalan. Uji penerimaan konsumen terhadap produk olahan mi jagung dilakukan oleh responden sebanyak 175 orang. Responden yang menyukai produk olahan mi basah jagung native (69,12%) lebih banyak dibandingkan dengan mi basah jagung HMT (60%). Sebagian besar responden (93,98%) menyatakan bahwa mi basah jagung sesuai apabila diolah menjadi mi ayam. Responden yang menyukai produk olahan mi kering jagung native sebesar 43%, sedangkan responden yang menyukai produk olahan mi kering jagung HMT sebesar 55%. Sebagian besar responden (92,31%) menyatakan bahwa mi kering jagung sesuai apabila diolah menjadi mi bakso. Sebagian besar responden menyatakan bahwa mi basah jagung (87,34%) dan mi kering jagung (84,81%) dapat digunakan sebagai alternatif pengganti mi terigu komersial.

62

B.

SARAN Akan lebih efisien apabila terdapat alat untuk melakukan modifikasi dengan

teknik HMT, karena diperlukan pengadukan setiap jam. Pada uji penerimaan konsumen diperlukan pula informasi mengenai penerimaan konsumen pada produk olahan yang lain, seperti soto mi dan mi goreng. Penelitian ini tidak membandingkan dengan mi terigu komersil, untuk mengetahui posisi mi jagung pada konsumen dan masyarakat diperlukan uji penerimaan konsumen dengan membandingkan mi terigu komersil.

63

DAFTAR PUSTAKA Astawan, M. 2005. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2009. Harvested Area, Yield Rate, and Production of Maize by Province (2009). www.bps.go.id. [12 Januari 2010]. Belitz HD dan W Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer, Berlin. Beta T dan H Corke. 2001. Noodle quality as related to sorghum starch properties. Cereal Chemistry. 78(4): 417-420. Budiyah. 2004. Pemanfaatan pati dan protein jagung (CGM) dalam pembuatan mi jagung instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Chen Z, Schols H A, Vorgaren A G J. 2003. Starch Granule Size Strongly Determines Starch Noodle Processing and Noodle Quality. J Food Chamisry and Toxicology. 68:1584-1589. Collado LS dan H Corke. 1997. Properties of starch noodles as affected by sweet potato genotype. Cereal Chem. 74:182-187. Collado LS, LB Mabesa, CG Oates, dan H Corke. 2001. Bihon type noodles from heat moisture treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66:604609. Effendi S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta. Erlingan RC, H Jacobs, Van Win H, dan Delcour J A. 1996. Effect of hydrothermal treatment on the gelatinisation properties of potato starch as measured by differential scanning calorimetry. Thermal Analitic. 4:12291246. Etikawati E. 2007. Pengaruh Perlakuan Passing, Konsentrasi Na 2CO3, dan Kadar Air terhadap Mutu Mi Basah Jagung yang Dibuat dengan Ektruder Ulir Pemasak. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fadlillah HN. 2005. Verifikasi formulasi mi jagung instan dalam rangka penggandaan skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., Basel.

64

Greenwood CT dan DN Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam: TR Muchtadi, P Hariyadi, dan AB Azra (eds.). Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harper JM. 1981. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton, Florida. Hoover R, Vasanthan T. 1994. The effect of heat moisture treatment on the structure and physico-properties of cereal, tuber, and legum starshes. Carbohydrates. 252:33-53. Hoover R, Gunaratne A. 2001. Effect of moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrates Polymers. 49:425-437. Hoseney RC. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2 nd edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota. Jacobs H dan Delcour J A. 1998. Hydrothermal modifications on granular starch with retention of the granular structure: a review. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 46(8):2895-2904. Johnson LA. 1991. Corn: Production, Procesing, and Utilization. Di dalam: Lorenz KJ dan K Kulp (eds.). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker Inc., New York. Jugenheimer RW. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John Willey and Sons, New York. Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Fakulats Teknologi Pertanian. Institute pertanian bogor, Bogor. Inglett GE. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Laztity R. 1996. The Chemistry of Cereal Protein, 2nd edition. CRC Press Inc., Boca Raton, Florida. Lestari OA. 2009 Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia dan Evaluasi Nilai Gizi Biologis Mi Jagung Kering Yang Disubstitusi Tepung Jagung Termodifikasi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

65

Lii CY dan Chang SM. 1981. Characterization of red bean (Phaseolus radiates var. aurea) starch and its noodle quality. Di dalam : Collado LS, LB Mabesa, CG Oates, dan H Corke. 2001. Bihon type noodles from heat moisture treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66:604-609. Meilgaard M, GV Civille, dan BT Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press, New York. Muchtadi TR dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mestres C, Colonna P, dan Buleon A. 1988. Characteristics or starch networks within rice flour noodles and mungbean starch vermicelli. Di dalam: Collado LS, LB Mabesa, CG Oates, dan H Corke. 2001. Bihon type noodles from heat moisture treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66:604-609. Newport Scientific. 1998. Intrepretation. Di dalam : Beta T dan Corke H. 2001. Noodle quality as related to sorghum starch properties. Cereal Chemistry. 78(4): 417-420. Oh NH, PA Seib, dan DS Chung. 1985. Noodles III. Effect of processing variables on the quality characteristic of dry noodles. Cereal Chemistry. 62(6): 437-440. Pukkahuta C, Suwannawat B. Shobsngob S, Varavinit S. 2008. Comparative study of pasting and thermal transition characteristics of osmotic preasure and heat moisture treated corn starch. Carbohydrates Polymers. 72:527536 Purwani EY, Widaningrum, Tahir R, Muslich. 2006. Effect of heat moisture treatment of sago starch on its noodle quality. Journal of Agricultural Science. 7:8-14. Purwani EY, Widyaningrum, Setiyanto H, Savitri E, Tahir R. 2006. Teknologi Pengolahan Mi Sagu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Putra SN. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mie Jagung dengan Metode Kalendering. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. IPB. Bogor. Shin S, Byun J, Kwan H, Park, dan Moon TW. 2004. Effect of Partial Acid Hydrolysis and Heat_moisture Treatment on Formation of Resistant Tuber Starch. Cer Chem. 81, 2 : 194.

66

Standar Nasional Indonesia. 1992. SNI 01-2987-1992 tentang Mi Basah. Dewan Standardisasi Nasional. ------------------------------------. 1995. SNI 01-3727-1995 tentang Tepung Jagung. Dewan Standardisasi Nasional. ------------------------------------. 1996. SNI 01-2974-1996 tentang Mi Kering. Dewan Standardisasi Nasional. Stute R. 1992. Hydrothermal modification of starches; the difference between annealing and heat moisture treatment. Starch/Starke 6:205 – 214. Swinkels JJM. 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam: Beynum V dan JA Roels (eds). Starch Conversion Tehnology. Marcel Dekker Inc., New York, Basel. Takahashi T, Miuora M, Ohisa N, Mori K, Kobayashi S. 2005. Heat treatment of milled rice and properties of the flour. Cereal Chemistry. 82(2):228-232. Tam L M, Corke H, Tan W T, Li J, Collado L S. 2004. Production of Bihon-type Noodle from Maize Starch Differing in Amylose Content. J Cereal Chem. 81(4):475-480. Tanikawa ET dan A Motohiro. 1985. Marine Products in Japan. Kosersha Koseikaku Co. Ltd., Tokyo. Walpole RE. 1995. Pengantar Statisika, edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Watson SA. 2003. Description, Development, Structure and Composition of the Corn Kernel. Di dalam: White PJ dan LA Johnson (eds). Corn: Chemistry and Technology, 2 nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Warisno. 1998. Budi Daya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta. Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

67

LAMPIRAN

67

Lampiran 1. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis

Lampiran 1a. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Identifikasi Rasa Dasar

IDENTIFIKASI RASA DASAR Nama : ……………... Tanggal : …………..

Petunjuk : Berikut ini telah disediakan lima sampel larutan. Lakukan pencicipan satu per satu dari kiri ke kanan. Ambil satu sendok sampel larutan, lalu tempatkan pada sendok pencicip. Rasakan selama 5 detik, kemudian identifikasi rasa tersebut. Netralkan mulut dengan air sebelum mencicipi sampel berikutnya.

Kode Sampel

Deskripsi Rasa

68

Lampiran 1b. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Identifikasi Aroma Dasar

IDENTIFIKASI AROMA DASAR Nama : ……………... Tanggal : …………..

Petunjuk : Anda akan menerima 5 sampel flavor dalam botol. Lakukan penciuman satu per satu sampel aroma dari kiri ke kanan satu per satu. Buka tutup botol sampel, lalu kibaskan tangan Anda di bagian atas botol menuju hidung. Identifikasi dan deskripsikan aroma yang tercium. Istirahatkan hidung Anda selama 30 detik sebelum melakukan pengujian sampel berikutnya.

Kode Sampel

Deskripsi Aroma

69

Lampiran 1c. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Uji Rangking Rasa Dasar

UJI RANKING RASA DASAR Nama : ……………... Tanggal : …………..

Petunjuk : Berikut ini telah disediakan 2 set sampel larutan. Lakukan pencicipan satu per satu dari kiri ke kanan. Urutkan sampel-sampel tersebut berdasarkan intensitas rasanya, dari yang paling tinggi intensitasnya (tulis angka 1 di bawah kolom rangking) hingga yang paling rendah intensitasnya (tulis angka 4 di bawah kolom rangking). Netralkan mulut dengan air sebelum mencicipi sampel berikutnya.

Set 1 (Rasa Asin) Kode Sampel

Rangking

Kode Sampel

Rangking

Set 1 (Rasa Pahit)

70

Lampiran 1d. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Uji Segitiga

UJI SEGITIGA

Nama : No HP :

Petunjuk: Berikut telah disediakan 3 sampel uji, yang terdiri dari 2 sampel sama dan 1sampel

berbeda.

Lakukan pencicipan (untuk

atribut

kekerasan)

dan

perabaan/peregangan (untuk atribut kekenyalan) sampel secara berurutan dari kiri ke kanan satu per satu. Kemudian identifikasi mana sampel yang berbeda. Berikan tanda cheklist (V) didepan kode sampel berbeda.

Set 1 ~ atribut kekerasan (mi terigu)

Kode sampel

Sampel beda

Set 2 ~ atribut kekenyalan (kwetiau jagung)

Kode sampel

Sampel beda

71

Lampiran 2. Kuisioner Uji Penerimaan Konsumen pada Produk Olahan Mi Jagung

Kuesioner ANALISIS PENERIMAAN KONSUMEN PRODUK MI JAGUNG OLAHAN Tempat Tanggal Nama Responden Jenis Produk Olahan

: Baso Favorit/Baso Kabayan* (pilih salah satu) : : : Mi Bakso/Mi Ayam* (pilih salah satu)

Petunjuk pengisian : Responden diharapkan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan cara memberi tanda silang (X) pada jawaban yang Anda pilih. (Mohon diisi dengan lengkap)

A. Data Umum Responden 1. Jenis kelamin Anda : a. Laki-laki b. Perempuan 2. Usia Anda saat ini : a. 16-25 tahun b. 26-35 tahun c. 36-45 tahun d. >45 tahun 3. Tingkat pendidikan terakhir Anda adalah : a. SMP b. SMA c. Diploma d. S1 e. S2/S3 f. Lainnya, sebutkan …….. 4. Pekerjaan Anda saat ini : a. Pelajar/Mahasiswa b. Pegawai Negeri c. Karyawan Swasta d. Wiraswasta e. Ibu Rumah Tangga f. Lainnya, sebutkan …….

72

5. Rata-rata pengeluaran pribadi Anda per bulan saat ini : a. Rp. 5.000.000

B. Perilaku Konsumen Mi Ayam/Mi bakso 1. Seberapa seringkah Anda mengkonsumsi mi dalam seminggu ? a. < 2 kali b. 3 - 4 kali c. 5 – 7 kali d. > 7 kali 2. Faktor/hal apa yang paling menentukan pilihan Anda dalam mengkonsumsi mi ? (jawaban boleh lebih dari 1) a. Kualitas atau mutu mi (mencakup rasa/tekstur yang enak) b. Kemudahan untuk membeli c. Harga yang terjangkau d. Pengganti pangan pokok (mengenyangkan) e. Lainnya, sebutkan........ 3. Menurut Anda, faktor mutu apa yang menentukan pilihan Anda untuk mengkonsumsi mi ? (tolong diurutkan (1) mulai dari yang terpenting hingga (4) yang kurang penting) Rasa .... Aroma/bau .... Warna .... Tekstur .... 4. Menurut Anda, karakteristik atau ciri-ciri mi ayam/mi dalam bakso seperti apa yang paling banyak disukai? ............................................................................................................ ...................... C. Produk Olahan Mi Jagung 1. Apakah Anda pernah mengenal atau mendengar mi jagung sebelumnya ? a. Ya b. Tidak 2. Bagaimana tingkat kesukaan Anda terhadap produk olahan mi jagung ini (secara keseluruhan)? a. Suka b. Agak suka 73

3. 4.

5.

6. 7.

c. Biasa saja d. Agak tidak suka e. Tidak suka Apa alasan Anda terhadap jawaban pertanyaan no.2 diatas ? ............................................................................................................ Menurut Anda, apakah mi jagung sesuai atau cocok bila diolah menjadi produk ini ? a. Ya b. Tidak Jika jawaban pertanyaan no. 4 adalah “Ya”, apakah mi jagung ini dapat menggantikan jenis mi yang sudah ada (mi terigu) ? a. Ya b. Tidak Jika jawaban pertanyaan no. 4 adalah “Tidak”, apa alasan Anda ? ……………………………………………………………………… Menurut Anda, apakah produk mi jagung ini cocok pula untuk produk olahan lainnya, seperti di bawah ini (jawaban boleh lebih dari 1) : a. Soto mi b. Toge goreng c. Mi goreng d. Lainnya, sebutkan ……

****************** terima kasih atas partisipasi Anda ******************

74

Lampiran 3. Data Hasil Analisis Fisik (Kekerasan, Kekenyalan dan Kelengketan) Mi Jagung Diukur dengan Texture Analyzer

Ulangan Bahan Contoh Kekerasan Kelengketan Kekenyalan 1-I

1308,7

860,14

488,75

1-II

1318,1

859,01

481,61

2-I

1293,5

858,89

479,27

2-II

1310,7

860,01

480,95

1307,75

859,51

482,65

1134,3

648,01

612,16

1-II

1082,7

647,51

616,14

2-I

1110,7

649,11

609,71

2-II

1115,8

648,32

611,53

1110,88

648,24

612,39

2163,5

1109,42

448,92

1-II

1987,3

1133,23

452,16

2-I

1996,5

1115,01

450,13

2-II

2023,8

1113,04

451,23

2042,78

1117,68

450,61

1602,5

749,72

634,13

1-II

1615,7

748,13

631,3

2-I

1595,3

747,89

630,92

2-II

1607,8

749,07

631,25

1605,33

748,70

631,90

Basah Native

Rata-rata 1-I

Basah HMT

Rata-rata 1-I

Kering Native

Rata-rata 1-I

Kering HMT

Rata-rata

75

Lampiran 4.

Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Nilai Kekerasan, Kekenyalan dan Kelengketan yang Diukur dengan Texture Analyzer

Lampiran 4a. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Nilai Kekerasan

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianB

SampelB Basah Native Basah HMT Total

N 4 4

Mean Rank 6,50 2,50

Sum of Ranks 26,00 10,00

Mean Rank 6,50 2,50

Sum of Ranks 26,00 10,00

8

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)

PenilaianB ,000 10,000 -2,309 ,021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianK

SampelK Kering Native

N

Kering HMT

4 4

Total

8

Test Statistics(b) PenilaianK Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

,000 10,000 -2,309 ,021 ,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK

76

Lampiran 4b. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Nilai Kekenyalan

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianB

SampelB Basah Native

N 4

Mean Rank 2,50

Sum of Ranks 10,00

Basah HMT

4

6,50

26,00

Total

8

Mean Rank 2,50 6,50

Sum of Ranks 10,00 26,00

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W

PenilaianB ,000 10,000

Z

-2,309 ,021

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianB

SampelB Basah Native

N 4 4 8

Basah HMT Total Test Statistics(b)

Mann-Whitney U

PenilaianB ,000

Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

10,000 -2,309 ,021 ,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK

77

Lampiran 4c. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Nilai Kelengketan

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianB

SampelB Basah Native

N

Basah HMT

4 4

Total

8

Mean Rank 6,50 2,50

Sum of Ranks 26,00 10,00

Mean Rank 6,50 2,50

Sum of Ranks 26,00 10,00

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z

PenilaianB ,000 10,000 -2,309

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

,021 ,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianK

SampelK Kering Native

N 4 4 8

Kering HMT Total Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W

PenilaianK ,000

Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

10,000 -2,309 ,021 ,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK

78

Lampiran 5. Data Hasil Analisis Persentase Elongasi Tabel Data Persentase Elongasi Mi Basah Jagung Native Waktu Putus Jarak Awal Speed Ulangan (s) (cm) (cm/s) I 9,3210 2 0,1 II 9,2380 2 0,1 III 9,4140 2 0,1 IV 9,2640 2 0,1 Rata-rata

Persentase Elongasi (%) 46,61 46,19 47,07 46,32 46,55

Tabel Data Persentase Elongasi Mi Basah Jagung HMT Waktu Putus Jarak Awal Speed Ulangan (s) (cm) (cm/s) I 13,7530 2 0,1 II 14,0180 2 0,1 III 13,9650 2 0,1 IV 14,0120 2 0,1 Rata-rata

Persentase Elongasi (%) 68,77 70,09 69,83 70,06 69,69

Tabel data Persentase Elongasi Mi Kering Jagung Native Waktu Putus Jarak Awal Speed Ulangan (s) (cm) (cm/s) I 7,0210 2 0,1 II 6,9890 2 0,1 III 7,0320 2 0,1 IV 7,1530 2 0,1 Rata-rata

Persentase Elongasi (%) 35,11 34,95 35,16 35,77 35,24

Tabel data Persentase Elongasi Mi Kering Jagung HMT Waktu Putus Jarak Awal Speed Ulangan (s) (cm) (cm/s) I 12,2040 2 0,1 II 12,1140 2 0,1 III 12,0210 2 0,1 IV 12,0150 2 0,1 Rata-rata

Persentase Elongasi (%) 61,02 60,57 60,11 60,08 60,44

79

Lampiran 6. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Persentase Elongasi

Mann-Whitney Test Ranks JenisB Basah Native Basah HMT

ElongasiB

N

Total

4

Mean Rank 2,50

Sum of Ranks 10,00

4

6,50

26,00

Mean Rank 2,50 6,50

Sum of Ranks 10,00 26,00

8

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W

ElongasiB ,000 10,000 -2,309 ,021

Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: JenisB

Mann-Whitney Test Ranks JenisK Kering Native Kering HMT Total

ElongasiK

N 4 4 8

Test Statistics(b) ElongasiK Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

,000 10,000 -2,309 ,021 ,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: JenisK

80

Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)

Tabel Data KPAP Mi Basah Jagung Native Berat Berat Kadar Air Sampel Sampel U mulaMula-mula Kering mula (g) (g) 1 5,0178 2,8920 0,3569 2 5,0403 2,9107 0,3569 3 5,1022 2,9444 0,3569 4 5,0403 2,9088 0,3569

Tabel Data KPAP Mi Basah Jagung HMT Berat Berat Sampel Sampel Kadar Air U Mula-mula Kering mula-mula (g) (g) 1 5,1346 4,6346 0,3658 2 5,0769 5,0769 0,3658 3 5,0999 5,0999 0,3658 4 5,0145 5,0145 0,3658

1-kadar air contoh 0,6431 0,6431 0,6431 0,6431

1-kadar air contoh 0,6342 0,6342 0,6342 0,6342

Berat awal*(1kadar air contoh) 3,2269 3,2414 3,2812 3,2414

Berat awal*(1kadar air contoh) 3,2564 3,2198 3,2344 3,1802

KPAP (%) 10,38 10,20 10,27 10,26

KPAP (%) 8,69 8,65 8,66 8,69

81

Lampiran 8. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianB

SampelB Basah Native Basah HMT

N

Total

4

Mean Rank 6,50

Sum of Ranks 26,00

4

2,50

10,00

Mean Rank 6,50

Sum of Ranks 26,00

2,50

10,00

8

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

PenilaianB ,000 10,000 -2,309 ,021 ,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianK

SampelK Basah Native Basah HMT

N 4 4 8

Total

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z

PenilaianK ,000 10,000

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

-2,323 ,020 ,029(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK

82

Lampiran 9. Performa 11 Calon Panelis Terlatih

Uji

Uji

Uji

Rangking

Rangking

Segitiga

Asin

Pahit

Kekerasan

80

100

100

83.33

77.78

100

80

100

100

83.33

66.67

Panelis 3

100

80

100

100

100

66.67

Panelis 4

80

80

100

100

83.33

66.67

Panelis 5

80

100

100

100

100

77.78

Panelis 6

100

80

100

100

83.33

88.89

Panelis 7

80

80

100

100

100

66.67

Panelis 8

80

80

100

100

83.33

77.78

Panelis 9

100

100

100

100

83.33

66.67

Panelis 10

100

100

100

100

66.67

88.89

Panelis 11

100

80

100

100

100

66.67

Identifikasi

Identifikasi

Rasa Dasar

Aroma Dasar

Panelis 1

80

Panelis 2

Nama

Uji Segitiga Kekenyalan

83

Lampiran 10. Scoresheet Uji Organoleptik Mi Jagung

Produk

: Mi jagung

Nama

:…………….

Tanggal :…………………

Petunjuk: Dihadapan Anda terdapat

beberapa contoh mi. Anda diminta untuk menilai

kekerasan, kekenyalan dan kelengketan masing-masing contoh. Untuk menilai kekerasan dan kekenyalan kunyahlah contoh paling kiri terlebih dahulu. Sedangkan untuk menilai kelengketan, gunakan tangan Anda untuk merasakan kelengketan contoh dan lakukan juga pengamatan pada penampakan kelengketan antar mi, kemudian lakukan penilaian dengan memberi tanda (√) pada nilai yang Anda pilih.

Kekerasan Kode Contoh

Penilaian

Sangat keras

Keras

A

D

E

9 8 7 6

Agak lunak

5

Sangat lunak

C

10

Agak keras/

Lunak

B

4 3 2 1

84

Kekenyalan Kode Contoh

Penilaian

A Sangat kenyal

Kenyal Agak kenyal/ Agak tidak kenyal Tidak kenyal

B

C

D

E

C

D

E

10 9 8 7 6 5 4 3

Sangat tidak

2

kenyal

1

Kelengketan Kode Contoh

Penilaian

Sangat lengket

Lengket Agak lengket/ Agak tidak lengket Tidak lengket

A

B

10 9 8 7 6 5 4 3

Sangat tidak

2

lengket

1

85

Lampiran 11. Data Hasil Uji Organoleptik dengan Panelis Terlatih

Ulangan Bahan Contoh Kekerasan Kelengketan Kekenyalan 1

Basah Native

7

7

6

2

8

7

4

3

8

5

5

4

7

6

5

5

7

6

5

6

7

6

6

7

7

6

5

8

7

7

5

9

8

7

4

10

8

5

4

11

7

8

4

Rata-rata

7,36

6,36

4,82

1

6

6

6

2

7

6

7

3

7

4

5

4

6

5

6

5

4

4

6

6

4

4

7

7

6

3

7

8

3

6

5

9

3

6

6

10

6

4

7

11

7

5

6

Rata-rata

5,36

4,82

6,18

Basah HMT

86

1

Kering Native

8

5

6

2

9

5

4

3

7

5

5

4

7

5

5

5

7

6

5

6

8

6

4

7

8

6

7

8

8

5

5

9

9

5

4

10

10

6

5

11

8

6

5

Rata-rata

8,09

5,45

5

1

8

5

5

2

6

5

5

3

6

4

6

4

6

4

5

5

7

4

5

6

8

4

6

7

6

5

8

8

6

6

6

9

8

5

6

10

7

4

7

11

7

4

7

Rata-rata

6,82

4,55

6

Kering HMT

87

Lampiran 12. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Atribut Tekstur secara Organoleptik Lampiran 12a. Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kekerasan

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianB

SampelB Basah Native

N 11 11

Basah HMT Total

Mean Rank 16,05 6,95

Sum of Ranks 176,50 76,50

Mean Rank

Sum of Ranks

22

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

PenilaianB 10,500 76,500 -3,472 ,001 ,000(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianK

SampelK Kering Native Kering HMT

N 11 11

Total

15,09 7,91

166,00 87,00

22

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z

PenilaianK 21,000 87,000

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

-2,703 ,007 ,008(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK

88

Lampiran 12b. Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kekenyalan

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianB

SampelB Basah Native

N 11

Basah HMT Total

11 22

Mean Rank 7,27

Sum of Ranks 80,00

15,73

173,00

Mean Rank 8,45 14,55

Sum of Ranks 93,00 160,00

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

PenilaianB 14,000 80,000 -3,174 ,002 ,001(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianK

SampelK Kering Native Kering HMT Total

N 11 11 22

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W

PenilaianK 27,000

Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

93,000 -2,330 ,020 ,028(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK

89

Lampiran 12c. Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kelengketan

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianB

SampelB Basah Native

N 11

Basah HMT Total

11 22

Mean Rank 15,36

Sum of Ranks 169,00

7,64

84,00

Mean Rank 15,14 7,86

Sum of Ranks 166,50 86,50

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

PenilaianB 18,000 84,000 -2,885 ,004 ,004(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test Ranks

PenilaianK

SampelK Kering Native Kering HMT Total

N 11 11 22

Test Statistics(b)

Mann-Whitney U Wilcoxon W

PenilaianK 20,500

Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

86,500 -2,820 ,005 ,007(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK

90

Lampiran 13. Data Umum Responden Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung Karakteristik Demografi Responden Jenis Kelamin

Usia

Tingkat Pendidikan

Pekerjaan

Rata-rata Pengeluaran per Bulan

Persentase Jumlah Responden (%) Laki-laki 41,14 Perempuan 58,86 16-25 th 77,14 26-35 th 10,28 36-45 th 7,43 > 45 th 5,15 SMP 8,57 SMA 49,71 Diploma 4,57 S1 29,14 S2/S3 2,29 Lainnya 5,72 Pelajar/Mahasiswa 69,71 Karyawan Swasta 4,57 PNS 1,14 Wiraswasta 9,71 Ibu Rumah Tangga 9,14 Lainnya 5,73 < 300.000 17,71 300.000-500.000 34,29 500.000-1.000.000 41,71 1.000.000-5.000.000 5,71 >5.000.000 0,58 Keterangan

91