STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN DALAM PENGUATAN

Download Jurnal Madani Edisi II/November 2007. 9 lindungan sebagai wujud keberpihak- an pemerintah. Pergumulan rakyat dalam ekonomi banyak berperan ...

0 downloads 515 Views 83KB Size
RUANG UTAMA

STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN DALAM PENGUATAN EKONOMI LOKAL DI KABUPATEN BEKASI Nandang Najmulmunir Abstract Bekasi Country is the part of the West Java Province. It was suffer from national economic crisis in the year of 1997, that it was influenced to the economic activity, especially to the sector of big industry. How far it influences to the people economic and what strategy to overcome the people economic sector? Kata Kunci: Pemerintahan Daerah, Ekonomi Kerakyatan, Ekonomi Lokal, Strategi Pengembangan, Kemitraan Usaha

Pendahuluan Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi. Krisis tersebut didahului dengan kemarau panjang yang mengakibatkan kebakaran hutan yang hebat dan kegagalan panen sehingga berpengaruh pada persediaan pangan nasional. Krisis pengadaan pangan beserta krisis ekonomi berakumulasi pada peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan hampir menyerupai keadaan dimulainya periode Orde Baru. Sehingga sangat logis apabila semua dampak krisis tersebut berakumulasi pada krisis politik. Strategi pembangunan yang dicerminkan pada Trilogi Pembangunan, hanya terpusatkan pada pertumbuhan ekonomi yang diperankan oleh segelintir orang dengan struktur ekonomi yang ba-

nyak ketergantungan dengan impor. Sedangkan pemerataan dan pemberdayaan ekonomi rakyat (masyarakat kebanyakan) kurang terperhatikan, padahal berdasarkan krisis ekonomi, sektor ekonomi rakyat ini cukup stabil. Oleh karena itu sektor ekonomi rakyat harus menjadi aktor yang penting dalam pembangunan ekonomi. Menurut Mubyarto (1999) ekonomi rakyat adalah sistem ekonomi yang dioperasionalkan melalui pemihakan dan perlindungan penuh pada sektor ekonomi rakyat. Mendengarkan dan menampung aspirasi rakyat secara langung dan mendasarkan segala kebijakanaan ekonomi pada kepentingan rakyat banyak adalah kunci memenangkan “perang ekonomi” dewasa ini. Sehingga ekonomi rakyat menurut pasal 5 TAP MPR No. VI/1998 harus mendapatkan dukungan dan per-

lindungan sebagai wujud keberpihakan pemerintah. Pergumulan rakyat dalam ekonomi banyak berperan dalam sektor pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri kerajinan rakyat, industri kecil serta dalam perdagangan atau kegiatan swadaya lainnya baik di pedesaan maupun di kota. Ciri utama ekonomi rakyat adalah subsisten dan dengan modal utama tenaga kerja keluarga dengan modal dan teknologi seadanya (Mubyarto, 1999). Menurut Schultink (1992) pembangunan berkelanjutan dalam suatu wilayah memiliki tujuan utama adalah untuk meningkatkan kualitas hidup sumberdaya manusia dalam konteks yang lebih luas, yakni: 1) terpenuhinya kebutuhan biofisik, seperti pangan, sandang, dan papan; 2) terpenuhinya kebutuhan sosial ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, pendapatan, pemerataan, kesempatan kerja dan akses kepada barang dan pelayanan; dan 3) dampak lingkungan berupa nilai manfaat seperti rekreasi, estetika, biodiversity dan risiko atau biaya seperti pencemaran. Oleh karena itu prinsip keberlanjutan sangat memperhatikan aspek pertumbuhan ekonomi, pemerataan (antar kelompok, antar wilayah), dan pengentasan kemiskinan, pemerataan serta perlindungan lingkungan. Berbeda dengan ekonomi konglomerat, maka ekonomi rakyat berperan dalam pemerataan pembangunan. Namun dalam perkembangannya cenderung tertinggal, hal ini disebabkan oleh berbagai kendala, mulai permodalan, manajemen, teknik dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Istilah ekonomi rakyat di-

terima dan masuk dalam GBHN 1993 dan Tap MPRS No. II Tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 19611969. Pencantuman ekonomi rakyat tersebut dilatarbelakangi oleh risaunya anggota MPR tentang ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. (Mubyarto, 1999) Implementasi ekonomi kerakyatan dapat diaplikasikan untuk mengatasi kesenjangan antar wilayah, kesenjangan antar sektor dan kesenjangan antar kelompok masyarakat. Sebagai salah satu eksperimen ekonomi kerakyatan adalah program pemberdayaan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program IDT menggunakan dua pendekatan, yakni pertama pendekatan spasial, yakni pemberdayaan masyarakat miskin berdasarkan pendekatan wilayah pemerintahan pada unit terkecil, yakni unit desa. Tingkat kemiskinan tersebut didasarkan 27 variabel. Kedua menggunakan pendekatan keluarga, yakni penduduk yang berpendapatan per bulan sama dengan dan di bawah garis kemikinan. Di kota, besarnya garis kemiskinan adalah sebesar Rp 30.559 dan di desa sebesar Rp 20.497 pada tahun 1994. Kabupaten Bekasi merupakan bagian dari wilayah Nasional Indonesia memiliki potret Indonesia mini, karena mayoritas masyarakat pertanian, namun proses industrialisasi sangat menonjol. Namun mayoritas masyarakat Bekasi tidak banyak menikmati kue pertumbuhan wilayahnya. Oleh karena itu diperlukan keberpihakan dan focus pada pembangunan sektor ekonomi kerakyatan ini. 9 Jurnal Madani Edisi II/November 2007

Pengaruh Kebijakan Kabupten Bekasi dalam Perekonomian

negatif atau menurun sebesar 13 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan Kabupaten Bekasi dalam perekonomian Jawa Barat mengalami penurunan sebesar 13 %. Sedangkan komponen partumbuhan Mix atau komponen proporsional adalah pertumbuhan suatu wilayah di atas pertumbuhan propinsi karena pengaruh-pengaruh yang dimilikinya seperti pengaruh yang timbul karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar (Budiharsono, 2000). Berdasarkan Tabel 1. Menunjukkan bahwa pengaruh faktor mix cukup besar bagi sektor peternakan, galian C, konstruksi dan k euangan. Sedangkan komponen yang

Pertumbuhan ekonomi wilayah dapat dijelaskan dengan metode Analisis Shift Share. Instrumen tersebut menjelaskan sebab-sebab terjadinya pertumbuhan wilayah Kabupaten Bekasi. Penyebab pertumbuhan digolongkan ke dalam dua faktor, yakni faktor share dan Shift. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1. komponen pertumbuhan propinsi adalah pertumbuhan sebesar rata-rata pertumbuhan propinsi, sehingga berperan sebagai share terhadap pertumbuhan Propinsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata Propinsi Jawa Barat (ditambah Banten) dari tahun 1996 hingga tahun 1999 adalah bernilai

Tabel 1. Komponen Shift dan Share Perkembangan Ekonomi Kabupaten Bekasi dari Tahun 1996 hingga Tahun 1999. Share

Share

Shift Kompetitif 75%

1. Tanaman Bahan Makanan

-13%

Mix 21%

2. Tanaman Perkebunan 3. Peternakan dan Hasil-hasilnya

-13% -13%

22% 55%

46% 42%

4. 5. 6. 7.

-13% -13% -13% -13%

3% 14% 53% 24%

55% 82% 25% 97%

8. listrik, Gas dan Air Bersih 9. Konstruksi 10. Perdagangan, Hotel dan Restoran

-13% -13% -13%

1% 83% 29%

141% 39% 42%

11. Transportasi dan Komunikasi 12. Keuangan dan Persewaan 13. Pemerintahan Umum

-13% -13% -13%

19% 50% 11%

93% 46% 104%

14. Swasta Sumber: Najmulmunir, 2004.

-13%

15%

109%

Kehutanan Perikanan Penggalian Industri Bukan Migas

10 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007

terakhir adalah komponen pertumbuhan kompetitif (Blair, 1991) atau komponen pertumbuhan kabupaten. Komponen tersebut ditujukan untuk mengungkapkan pengaruh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada tingkat kabupaten. Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa faktor yang mengejawantah dalam kebijakan dalam kabupaten adalah cukup besar pengaruhnya dalam pertumbuhan seluruh sektor ekonomi, kecuali bahan galian C, peternakan, perdagangan, peternakan, keuangan. Dengan demikian dapat disimpulkan sektor-sektor yang pangsa pertumbuhannya cukup besar (>50%) oleh faktor kabupaten (proporsional) akan nyata pengaruhnya oleh dorongan kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah kabupaten. Pengaruh pertumbuhan proporsional atau Mix dan komponen pertumbuhan kabupaten inilah yang menentukan kriteria maju dan lambannya perkembangan daerah kabupaten secara relatif. Berdasarkan komponen Mix dan Kompetitif menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi wilayah Kabupaten Bekasi dari tahun 1996 hingga tahun 1999 tidak tergolong lamban. Hal ini menyimpulkan bahwa kebijaksanaan yang ada di dalam kabupaten selama ini cukup efektif dalam mendorong pertumbuhan sektor primer, sekunder dan tersier (Najmulmunir, 2004)

sekitarnya, terutama dibentuk dalam interaksi antar wilayah baik dengan wilayah DKI maupun wilayah kabupaten lainnya yang ada di Jawa Barat. Interaksi tersebut membentuk satu kesatuan hingga membentuk wilayah fungsional, terutama wilayah Jabotabek. Parameter yang dievaluasi adalah karakteristik ekonomi, terutama pemusatan ekonomi secara relatif dalam lingkup wilayah Jawa Barat, terutama pada wilayah terdekat dengan Kabupaten Bekasi. Karakteristik ekonomi tersebut dapat dilihat dari Nilai Location Quotient pada sektor ekonomi di Jawa Barat seperti disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa Kabupaten Bekasi hanya memiliki satu sektor basis pada tahun 1999, sedangkan pada tahun 1996 sebelum krisis, sektor basis terdiri dari sektor industri, perdagangan, dan perbankan. Sedangkan sektor primer atau sektor ekonomi rakyat tidak satu p un yang memiliki sektor basis. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bekasi sangat didominasi oleh perekonomian perkotaan, sedangkan perekonomian perdesaan menunjuk kan rendahnya pemusatan output relatif dalam lingkup wilayah Jawa Barat. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kebijakan pusat, bahwa Kabupaten Bekasi sebagai basis pengembangan industri, sehingga pelayanan diarahkan pada pengembangan industri tersebut. Namun demikian perkembangan Kabupaten Bekasi sangat berbeda dengan kabupaten tetangganya, yakni Bogor, Tangerang, Karawang dan Serang. Wilayah-wilayah tersebut memiliki sektor industri sebagai sektor basis, kecuali Kabupaten Karawang

Perkembangan Kabupaten Bekasi dan Daerah Tetangga Wilayah Kabupaten Bekasi tak dapat dipisahkan dengan wilayah 11

Jurnal Madani Edisi II/November 2007

sektor basis pada sektor pertanian. Sedangkan di Kabupaten Bekasi sektor primer tidak ada satu pun yang berperan sebagai sektor basis. Dengan perkataan lain tidak ada satu sektor pun dari sektor primer di Kabupaten Bekasi sebagai penggerak perekonomian (prime mover)

dalam lingkup wilayah Jawa Barat. Hal ini menunjukkan pemberdayaan sektor primer di Kabupaten Bekasi masih jauh di bawah rata-rata propinsi atau tertinggal dengan wilayah kabupaten lainnya. Di samping itu menunjukkan pula bahwa sektor primer relatif jauh tertinggal

Tabel 2. Karakteristik Sektor Ekonomi Kabupaten Bekasi dan Wilayah Sekitarnya di Jawa Barat pada Tahun 1999. Lapangan Usaha

Karawang

Tangerang

Serang

Bogor

1996

1999

1999

1999

1999

1999

A. PRIMER 1. Tanaman Bahan Makanan

0,30

0,24

1,27

0,48

0,39

0,48

2. Tanaman Perkebunan 3. Peternakan & Hasil-hasilnya 4. Kehutanan

0,08 0,48 0,04

0,04 0,37 0,02

0,03 0,61 0,07

0,09 2,27 0,00

0,08 1,85 0,00

0,30 1,89 0,21

5. Perikanan 6. Penggalian B. SEKUNDER

0,33 0,25

0,26 0,11

1,44 0,55

0,58 0,18

0,47 0,15

0,24 7,09

7. Industri Bukan Migas 8. Listrik 9. Gas Kota

1,57

1,72

0,75 0,00

0,75 0,00

0,87 1,05 0,00

1,51 1,92 0,00

1,23 1,56 0,00

1,17 1,31 0,00

10. Air bersih 11. Konstrtuksi C. TERSIER

0,08 0,58

0,11 0,60

0,52 0,70

0,59 0,40

0,48 0,33

1,13 1,31

12. Perdagangan 13. Hotel 14. Restoran

1,68 0,36 0,60

0,77 0,36 0,71

1,38 0,25 0,34

0,43 0,04 0,99

0,35 0,03 0,81

0,56 0,85 1,05

15. Transportasi 16. Komunikasi 17 Bank

0,35 0,47 1,12

0,33 0,39 0,83

1,08 0,13 -0,51

0,80 0,32 -2,20

0,65 0,26 -1,79

0,62 0,64 0,14

18. Lemb. Keuangan non Bank 19. Sewa Bangunan 20 Jasa Perusahaan

0,53 0,68 0,32

0,76 0,67 0,24

0,73 0,39 0,06

0,07 1,04 0,11

0,06 0,85 0,09

0,04 1,12 0,70

0,39 0,55

0,37 0,57

1,24 0,47

0,33 0,81

0,27 0,66

0,59 1,05

21. Pemerintahan Umum 22. Swasta Sumber: BPS Jawa Barat, 1999

Bekasi

12 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007

Tabel 3. Kategori, Badan Hukum, Pemilikan NPWP, dan Produk yang dihasilkan UKMK Di Kabupaten Bekasi Tahun 2006

No

Keadaan Umum UMKM

Banyaknya (%)

1.

Kategori Unit Usaha a. Sektor Informal b. Koperasi c. Persero d. Lain-lain 2. Berbadan Hukum 3. Memiliki NPWP 4. Produk Yang Dihasilkan a. Barang b. Jasa Sumber: Bappeda Kabupaten Bekasi, 2006

dengan sektor sekunder dan tersier. Sedangkan sektor primer adalah basis ekonomi untuk mayoritas masyarakat Bekasi.

86,66 6,67 0,00 6,67 6,67 16,67 80,00 20,00

6,67 %, dan tidak dijumpai unit usaha yang berbentuk persero. Hanya sejumlah kecil yang memiliki badan hukum dan NPWP yaitu masingmasing 6,67 % dan 16,67 %. Produk yang dihasilkan umumnya berbentuk barang (80,00 %) dan terdapat pula yang menghasilkan jasa, yaitu sebanyak 20,00 %. Data berkaitan dengan hal-hal di atas dapat dilihat pada Tabel 3.

Kondisi Umum Ekonomi Rakyat Sebagian besar atau 86,66 % unit usaha pada UKMK yang diamati tergolong Sektor Informal, sebagian kecil berbentuk Koperasi (6,67 %), bentuk unit usaha lainnya sebanyak

Tabel 4. Kategori Badan Hukum, Pemilikan NPWP, dan Produk yang dihasilkan UKMK di Kabupaten Bekasi Tahun 2006 No 1.

Kategori Kategori Unit Usaha a. Sektor Informal b. Koperasi c. Persero d. Lain-lain 2. Berbadan Hukum 3. Memiliki NPWP 4. Produk Yang Dihasilkan a. Barang b. Jasa Sumber: Bappeda Kabupaten Bekasi, 2006

Banyaknya (%) 86,66 6,67 0,00 6,67 6,67 16,67 80,00 20,00

13 Jurnal Madani Edisi II/November 2007

Kelembagaan Mayoritas sektor ekonomi rakyat secara kelembagaan masih didominasi informal, dan sebagian kecil sudah berbadan hukum dan kelengkapan administrasi lainnya. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

yoritas meperoleh modal usaha berasal dari keuangan sendiri (88 %), sisanya sangat beragama mulai dari pemodal, pinjaman non bank, pinjaman bank dan lain-lain. Hal ini menggambarkan lemahnya peran lembaga permodalan dalam perekonomian rakyat. (Bappeda Kabupaten Bekasi, 2006)

SDM Umur pekerja pada unit-unit UKMK yang diamati rata-rata 31 tahun dengan kisaran 15 – 52 tahun. Jenis kelamin pekerja umumnya lakilaki (82,98 %) dan hanya 17,02 % perempuan. Keadaan tingkat pendidikan pekerja terdiri dari Tidak Lulus SD sebanyak 2,38 %, SD sebanyak 45,24 %, SLTP sebanyak 28,57 %, SLTA sebanyak 14,29 %, dan Perguruan Tinggi sebanyak 9,52 %. Upah pekerja harian rata-rata Rp 18.714,29 atau berkisar Rp 15.000,00 sampai Rp 20.000,00. Sedangkan upah pekerja bulanan berkisar Rp 150.000,00 sampai Rp 1.600.000,00 atau rata-rata Rp 642.000,00. (Bappeda Kabupaten Bekasi, 2006)

Kemitraan Usaha UKMK juga tidak banyak yang memiliki mitra usaha, sesuai dengan hasil survei bahwa kemitraan hanya dilakukan dalam jumlah yang sangat terbatas. Pemasaran Dalam memasarkan hasil produksinya, UKMK rata-rata melakukannya secara mandiri yaitu 40.00 % sedang melalui agen atau perantara dengan cara dititipkan sebesar 30 % dan sisanya penjualan pasif, yaitu dengan menunggu pembeli sebesar 23.33 %. Angka ini menunjukkan bahwa UKMK secara umum telah menyadari pentingnya sebuah pemasaran agar produk yang dihasilkan dapat terjual dan dikenal konsumen,

Permodalan UKMK memperoleh modal ma-

Tabel 4. Umur dan Tingkat Pendidikan Pekerja p ada UKMK di Kabupaten Bekasi Tahun 2006 (Versi Pekerja)

No

Deskripsi

Banyaknya (%)

1.

Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 2. Pendidikan a. Tidak Sekolah/Tidak Lulus SD b. SD c. SLTP d. SLTA e. PT Sumber: Bappeda Kabupaten Bekasi, 2006

14 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007

82.98 17.02 2.38 45.24 28.57 14.29 9.52

namun dalam prosesnya mereka masih melakukannya dengan cara tradisional, yaitu menyampaikan secara langsung kepada konsumen perihal produknya. Hal ini diperkuat dengan hasil temuan sekitar 40.00 % skala pemasarannya eceran atau produk langsung ke tangan konsumen akhir. Sedangkan 26.67 % diserap oleh penjualan skala besar. Adapun ditinjau dari bentuk promosi yang dilakukan sangat konvensional didukung dengan 73.33 % konsumen mengetahui komoditi yang dihasilkan UKMK hasil dari informasi dari mulut ke mulut saja, sehingga sangat berpotensi untuk terbukanya pasar potensial pada wilayah-wilayah lainnya, karena pada dasarnya promosi dari mulut ke mulut secara cakupan wilayah sangat dekat/sempit, 9.99 % lainnya promosi menggunakan selebaran, televisi dan bentuk-bentuk lain dalam bentuk kaset dan CD. Dari segi frekuensi pemasaran yang dilakukan juga sangat jarang karena rata-rata dalam 1 bulan hanya melakukan promosi sebanyak 7 kali, tentunya dengan kontinuitas yang rendah berdampak pula pada lambatnya informasi yang diberikan kepada konsumen atau pasar. Namun jangkauan pemasaran masih sangat terbatas, yaitu 53.33 % dikonsumsi oleh konsumen sekitar kecamatan saja, dan 33.33 % oleh konsumen sekitar kabupaten, secara nasional 13.34 % dan 3.33 % telah merambah pasar internasional. Masih rendahnya jangkauan pemasaran ini juga menjadi peluang ke depan bagi UKMK untuk melakukan pemasaran yang lebih luas jangkauannya dengan menggunakan media pemasaran yang lebih bervariatif tentunya di-

tunjang oleh kontribusi pemerintah darah untuk ikut membuka peluang dan kesempatan bagi UKMK dalam bentuk melakukan pameran-pameran dan lain-lain. Untuk sampai produk sampai kepada konsumen, maka diperlukan alat transportasi pengangkutan yang memadai, namun hal ini merupakan salah satu kendala bagi UKMK untuk dapat produknya cepat sampai kepada konsumen, hal yang paling memberatkan adalah mahalnya biaya angkutan, yaitu 26.67 % dan infrastruktur yaitu jalan-jalan yang rusak menjadi salah satu faktor penghambat juga dengan 23.33 %. Hal ini berdampak juga pada kelangkaan angkutan yang bersedia masuk ke wilayah dengan infrastruktur yang tidak mendukung. Lebih lanjut produk yang diangkut berpotensi akan mengalami kerusakan karena dengan adanya benturan-benturan imbas dari kerusakan jalan. Secara keseluruhan dampak dari pemasaran yang tidak merata dengan media yang masih konvensional ditunjang dengan keberadaaan infrastruktur yang kurang memadai, akhirnya mempengaruhi cakupan pasar yang dapat dilayani yaitu masih kisaran kecamatan dan kabupaten, yaitu sebesar 36.67 %. sedang dengan keterbatasan media dan biaya pasar propinsi baru dapat diraih 20 %, sisanya 3.33 % saja komoditi UKMK baru dapat menyumbangkan devisa kepada pemerintah dalam bentuk pelasakanaan eksport. Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 15 Jurnal Madani Edisi II/November 2007

Tabel 5. Jangkauan dan Modus Pem asaran UKMK Kabupaten Bekasi

No. 1

Keterangan Upaya pemasaran Memasarkan sendiri Melalui agen/perantara Menunggu pembeli 2 Skala pem asaran Eceran Skala besar Eceran dan skala besar 3 Bentuk promosi Dari mulut kemulut Dari pintu kepintu Melalui selebaran Melalui koran Melalui majalah Melalui radio Melalui TV Lain-lain 4 Jangkauan pemasaran Kecamatan Kabupaten Propinsi Nasional Internasional/eksport 5 Frekuensi pemasaran Lancar Kurang lancar/sedang Tidak lancar/rendah 6 Kesulitan dalam pengangkutan Prasarana jalan buruk Sulit mencari angkutan Biaya angkutan mahal Kerusakan barang dijalan besar 7 Potensi pasar yang belum terlayani Kecamatan Kabupaten Propinsi Nasional Intenasional Sumber: Bappeda Kabupaten Bekasi, 2006

Sektor-sektor ekonomi rakyat maupun sektor padat modal memiliki karakteristik yang berbeda. Sektor ekonomi rakyat bersifat subsisten,

40.00 30.00 23.33 40.00 26.67 20.00 73.33 0.00 3.33 0.00 0.00 0.00 3.33 3.33 53.33 33.33 6.67 6.67 3.33 60.00 13.33 10.00 23.33 13.33 26.67 6.67 10.00 26.67 16.67 3.33 3.33

skala kecil, lemah baik dalam permodalan maupun manajemen, serta kurang memiliki akses yang luas pada sumber permodalan dan 16

Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007

%

pemasaran. Sedangkan sektor yang padat modal umumnya berlaku sebaliknya. Kedua sektor semestinya komplementer, dalam bentuk keterkaitan antar sektor. Dengan demikian pengembangan sektor tersebut dalam suatu wilayah harus sinergis, sinkron dan dapat menjawab permasalahan. Pada hakikatnya ekonomi rakyat adalah sistem ekonomi yang dioperasionalkan melalui pemihakan dan perlindungan penuh pada sektor ekonomi rakyat (Mubyarto, 1999). Pemihakan dan perlindungan diartikulasikan dalam kebijakan pembangunan ekonomi, sesuai dengan pasal 5 TAP MPR No. VI/1998 bahwa ekonomi rakyat harus mendapatkan dukungan dan perlindungan sebagai wujud keberpihakan pemerintah. Wujud keberpihakan dapat dijelmakan dalam pemberdayaan (empowering) dalam berbagai pendekatan, yakni pendekatan spasial, pendekatan sektoral, kelembagaan dan pendekatan pelaku ekonominya. Pendekatan spasial dapat dilakukan melalui perlindungan basis perkembangan ekonomi rakyat, yaitu pada kawasan perdesaan. Kawasan perdesaan tersebut seringkali mengalami konversi pada penggunaan lain, sehingga basis ekonomi perdesaan mengalami marjinalisasi. Dengan demikian perlindungan tersebut dapat dilakukan melalui kebijakan alokasi ruang yang dilindungi oleh peraturan daerah yang ketat. Sehingga fungsi kawasan bersifat tetap, sedangkan kepemilikan boleh pindah tangan. Kebijakan yang lainnya adalah pembangunan sarana dan prasarana pendukung ekonomi rakyat . Kebijakan sektoral dapat dilakukan melalui pengembangan komoditas unggulan, yaitu komoditas yang

memiliki ciri sebagai lapangan kehidupan orang banyak dan atau dapat menyerap tenaga kerja yang besar dan atau mendatangkan devisa yang cukup besar. Pendekatan kelembagaan dapat dilakukan seperti tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 pasal 1, ayat 3 menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga usaha kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Selanjutnya Pasal 4 menyebutkan bahwa pemberdayaan bertujuan sebagai berikut: a) Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil dan usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah b) Meningkatkan peran usaha kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebaga i tulang punggung serta memperkukuh struktur perekonomian nasional. Menurut Kartasasmita (1995) pengembangan ekonomi rakyat dapat dilihat dari tiga sisi sebagai berikut: a) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik 17 Jurnal Madani Edisi II/November 2007

tolak pangkalnya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. b) Memperkuat potensi ekonomi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu. Dalam rangka memperkuat potensi ekonomi rakyat, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan dan derajat kesehatan, serta terbukanya kesempatan untuk memanfaatkan peluangpeluang ekonomi. c) Mengembangkan ekonomi rakyat mengandung pula arti melindungi untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta mencegah eksploitasi yang kuat atas yang lemah Tujuan keseluruhan usaha pemberdayaan adalah membangun usaha ekonomi rakyat yang akan membentuk dan mengisi lapisan-lapisan usaha menengah dan kecil yang tangguh sehingga tercipta struktur SWOT Kekuatan (S)

Kelemahan (W)

Peluang (O) Ancaman (T)

dunia usaha yang makin kukuh, yang akan melancarkan jalan ke arah pembangunan yang merata dan berkeadilan. Analisis SWOT Kondisi UMKM Kabupaten Bekasi secara umum dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut. a. Grand Strategy Strategi yang dapat dilakukan dalam rangka penguatan ekonomi regional dari sektor ekonomi kerakyatan adalah berupa strategi CONSERVATIVE, yakni upaya-upaya mengatasi kelemahan internal untuk meraih peluang semaksimal mungkin. b. Strategi, Tujuan dan Sasaran Berdasarakan strategi utama yang dijelaskan di atas, maka dapat disusun langkah-langkah untuk menyusun tujuan dan sasarannya yang secara rinci dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL 1. Potensi dan sumber daya alam besar dan beragam 2. Kebijakan Nasional dalam pangan dan energi 3. Visi dan Misi dalam Pembangunan Agribisnis 4. Faktor Lokasi yang dekat dengan Pusat Pertumbuhan 1. Infrastruktur pertanian belum memadai 2. Teknologi pemenfaatan belum optimal 3. SDM daerah masih lemah dalam pengembangan potensi 4. Kelembagaan masyarakat belum optimal dalam pemanfaatan potensi EKSTERNAL 1. Permintaan pasar pangan akan terus berkembang 2. Permintaan energi terbarukan biofuel akan terus meningkat 3. Penduduk dan konsumsi per kapita terus meningkat 1. Pembangunan pertanian cenderung terhegemonikan oleh industri 2. Struktur kepemilikan tanah cenderung monopolistik 3. Daerah tetangga yang lebih maju dan menguasai pasar 18

Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007

1)

2)

3)

4)

5)

Strategi Pengembangan SDM untuk peningkatan kemampuan (Skill) dalam produksi dan manajemen (Capacity Building) Pengembangan Skim permodalan untuk meningkatkan akses masyarakat pada modal Pengambangan pasar Regional untuk pasar Input dan pasar Output termasuk didalamanya dukungan kelancaran infrastruktur Peningkatan Efisiensi penggunaan sumberdaya, mutu dan diversifikasi produk Pengembangan Kelambagaan dan kemitraan usaha dan pemasaran

Tujuan Meningkatkan kapsitas SDM dalam kegiatan produksi barang dan jasa

Sasaran Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengolah kekayaan alamnya

Meningkatkan ketersedian sumber permodalan bagi perekonomian rakyat

Tersedianya permodalan untuk pembangunan ekonomi rakyat

Meningkatnya perkembangan pasar input dan output untuk barang dan jasa yang didukung oleh infrastruktur yang memadai Meningkatnya ketahanan perekonomian melalui peningkatan mutu dan kenakeragaman barang dan jasa melalui inovasi Mengembangkan kapasitas kelembagaan perekonomian masyarakat serta berkembangnya keterkaitan ekonomi

Berkembangnya pasar input dan output

Daftar Pustaka

Meningkatnya output perekonomian

Meningkatnya peran kelembagaan dan masyarakat dalam perekonomian wilayah

Hoover, E. M and Frank G. 1985. An Introduction to Regional Economics. Third Edition. Alfred A Knopf. New York

Arif, Sritua. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI Press. Jakarta

Kartasasmita, Ginanjar. 1995. Ekonomi Kerakyatan. Disajikan pada Seminar Ekonomi Kerakyatan: Konsep dan Pelaksanaannya. Diselenggarakan oleh Harian Merdeka dan Harian Bisnis Indonesia. Jakarta, 5 Desember 1995

Bapeda Kabupaten Bekasi. 2006. Kabupaten Bekasi dalam Angka Blair, J.P. 1991. Urban and Regional Economics. Irwin. Boston Dicken, P. and Peter E. Lloyd. 1990. Location in Space, Theoretical Perspective in Economic Geography. Third Edition. Harper Collins Publisher, New York

Mubyarto. 1999. Reformasi Sistem Ekonomi, dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan. Aditya Media. Jakarta. 19 Jurnal Madani Edisi II/November 2007

Miernyk. W.H. 1965. The Element of Input-Output Analysis. Random House. New York

Schultink, G. 1992. Evaluation of Sustainable Development Alternatives: Relevant concepts, resources assessment approaches and comparative spatial indicator. International Environmental Studies. Vol.41. Pp. 203224

Najmulmunir, N. 2004. Analisis Dampak Krisis Ekonomi terhadap Perkembangan Wilayah Kabupaten Bekasi. Jurnal Paradigma Vol. 6 Tahun II

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Pearce, D.W and Jeremy J. W. 1993. World without End, Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan

20 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007