STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

Download Buku “Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian' ini merupakan hasil kegiatan Kajian di Direktorat Pangan dan Pertanian pada ta...

1 downloads 503 Views 52KB Size
STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

DIREKTORAT PANGAN DAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS

2006

KATA PENGANTAR Buku “Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian’ ini merupakan hasil kegiatan Kajian di Direktorat Pangan dan Pertanian pada tahun 2006. Kajian ini diperlukan mengingat saat ini banyak masalah yang ditimbulkan karena semakin menyusutnya lahan sawah seperti yang berkaitan dengan penyediaan beras sebagai kebutuhan pokok yang acapkali mengalami kelangkaan. Berbeda dengan berbagai kajian untuk penyusunan strategi alih fungsi lahan yang pada umumnya berskala nasional, kajian ini sesuai dengan era desentralisasi lebih menyoroti langkah-langkah pengendalian alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Tingkat analisa daerah dipicu oleh adanya inisiatif dan kekhawatiran pemerintah daerah dengan berbagai tingkat penetapan kebijakan atas kondisi alih fungsi lahan pertanian di wilayahnya masing-masing. 3 propinsi tersebut adalah D.I Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan secara mendalam dipelajari kondisi alih fungsi, rincian peraturan serta langkah-langkah yang dilakukan. Sebagai pembanding di pilih 3 propinsi lain. Penyusunan ‘Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian’ dilakukan dengan memadukan antara penelitian dan analisis kebijakan dalam menghasilkan rekomendasi untuk penyempurnaan kebijakan yang ada. Analisis dilakukan di 11 propinsi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di daerah dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD). Dari pengolahan kuesioner, hasil kunjungan di 11 propinsi dan dari studi literatur yang dilakukan maka dihasilkan strategi pengendalian alih fungsi lahan (sawah) baik aspek instrumen hukum, ekonomi serta kelembagaan dan pemberdayaan komunitas. Kami menyadari bahwa buku ini belum sepenuhnya komprehensif mengeksplorasi segala permasalahan dan langkah-langkah yang mendalam, namun demikian diharapkan dapat dijadikan kebijakan pemerintah dan rujukan bagi para pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Penghargaan kami sampaikan rekan-rekan di Pemda yang terlibat. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para tenaga ahli (rekan-rekan dari PSE-KP) yang secara serius bersama-sama menyelesaikan buku ini serta seluruh staf Direktorat Pangan dan Pertanian. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, Januari 2007 Direktur Pangan dan Pertanian

Endah Murniningtyas

ii

“Penyusunan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian” Abstrak Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangan terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyedia pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi dari lahan pertanian. Sehubungan dengan itu, kajian ini ditujukan untuk menyusun strategi sistem pengendalian alih fungsin lahan pertanian, pengendalian dalam pemanfaatan lahan dan pencegahan konversi dalam kaitannya dengan upaya untuk mendukung ketahanan pangan. Keluaran dari kajian ini adalah dihasilkannya rekomendasi dalam pilihan kebijakan untuk pengendalian alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan pertanian padi. Kajian ini merupakan perpaduan antara penelitian dan analisis kebijakan sehingga dalam pelaksanaannya lebih banyak dilakukan secara partisipatif dalam memperoleh data dan informasi baik primer maupun sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara intensif dalam Focus Group Discussion (FDG) yang dilakukan dengan stakeholder di pusat dan di 11 propinsi yang dipilih sebagai lokasi kajian. Untuk mensintesakan strategi yang diambil sehingga lebih dapat diimplemetasikan di daerah, dilakukan pendalaman terhadap 3 propinsi contoh yaitu Propinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Ketiga propinsi ini dipilih secara purposif berdasarkan justifikasi bahwa ketiga wilayah ini sejak semula sudah concern dan berinisiatif untuk melakukan pengendalian terhadap upaya alih fungsi lahan sawah di wilayahnya. Berdasarkan analisis terhadap instrumen hukum, instrumen ekonomi, zonasi dan inisiatif masyarakat yang diindikasikan oleh konsistensi pelaksanaan dan tingkat koordinasi dalam pelaksanaannya, maka dihasilkan strategi dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian.Strategi dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian ini sangat tergantung pada karakteristik wilayah yang dibagi dalam 3 kategori yaitu: kategori 1. Wilayah yang status ancaman konversi lahan sawah telah mencapai level yang sangat tinggi sehingga urgensi pengendaliannya sangat tinggi (Jawa dan Bali); Kategori 2. Wilayah yang status ancaman konversi lahan sawah termasuk tinggi sehingga urgensi pengendaliannya termasuk tinggi (Sumbar, NTB dan Sulsel) dan Kategori 3. Wilayah dengan status ancaman konversi lahan sawah sedang sampai rendah sehingga urgensi pengendaliannya adalah termasuk kategori sedang (Sumsel, Kalbar, Sulut dan Gorontalo). Untuk Kategori 1, instrumen kebijakan yang sesuai untuk diterapkan berturut-turut berdasarkan prioritas yaitu: (1) Kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi (X6): (2) Pengembangan/rehabilitasi infrastruktur (X2); (3) bantuan tehnis pengembangan teknologi (X3); (4) kebijakan harga (subsidi input dan output) (X1): (5) Asuransi pertanian (X4); dan (6) Keringanan pajak (X5). Untuk Kategori 2, instrumen kebijakan yang sesuai berdasarkan urutan prioritas adalah X3, X2, X1, X6, dan X4. Sedangkan untuk Kategori 3, instrumen kebijakan adalah X2, X3 dan X1. ---ooo000ooo---

iii

RINGKASAN EKSEKUTIF

1. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi – sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju. 2. Berbagai upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah banyak dilakukan. Beragam studi yang ditujukan untuk memahami proses terjadinya alih fungsi, faktor penyebab, tipologi alih fungsi, maupun estimasi dampak negatifnya telah banyak pula dilakukan. Beberapa rekomendasi telah dihasilkan dan sejumlah kebijakan telah dirumuskan. Dari hasil penelusuran pustaka telah ada 11 produk hukum, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, Peraturan Menteri ataupun Keputusan Bersama tingkat Menteri. Akan tetapi sampai saat ini berbagai kebijakan tersebut belum berhasil mencapai sasaran. Efektivitasnya masih terkendala oleh belum terwujudnya konsistensi dalam perencanaan, serta lemahnya koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan. 3. Berdasarkan kondisi tersebut, sasaran dari kajian ini adalah untuk menghasilkan rumusan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah. Pendekatan kajian menggunakan metode analogi dari proses iterasi ideal dalam perumusan kebijakan dengan sebanyak mungkin menampung masukan dan aspirasi dari pemangku kepentingan (stakeholders) di daerah. Hal ini dimaksudkan agar berbagai permasalahan yang terkait dengan implementasi kebijakan di tingkat lapangan memperoleh porsi pembahasan yang maksimal. Untuk itu, dilakukan focused group discussion (FGD) yang intensif dengan para pemangku kepentingan terutama di daerah. Pendekatan tersebut disertai pula dengan pengumpulan data terstruktur menggunakan kuesioner. Pengkajian dilakukan di 11 Propinsi yaitu Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Gorontalo.

iv

4. Fungsi utama lahan sawah adalah untuk mendukung pengembangan produksi pangan khususnya padi. Namun justifikasi tentang perlunya pengendalian alih fungsi lahan sawah harus berbasis pada pemahaman bahwa lahan sawah mempunyai manfaat ganda (multi fungsi). Secara holistik, manfaat tersebut terdiri dari dua kategori: (1) nilai penggunaan (use values), dan (2) manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan mencakup: (i) manfaat langsung, baik yang nilainya dapat diukur dengan harga (misalnya keluaran usahatani) maupun yang tidak dapat diukur dengan harga (misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, penciptaan lapangan kerja), dan (ii) manfaat tidak langsung yang terkait dengan kontribusinya dalam pengendalian banjir, menurunkan laju erosi, dan sebagainya. Manfaat bawaan mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya. Pemahaman yang komprehensif terhadap multi fungsi lahan sawah sangat diperlukan agar kecenderungan "under valued" terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan. 5. Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan). Proses alih fungsi lahan sawah cenderung berlangsung lambat jika motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. 6. Pola alih fungsi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua: (1) sistematis, (2) sporadis. Alih fungsi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, komplek perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola alih fungsi yang sistematis. Lahan sawah yang beralihfungsi pada umumnya mencakup suatu hamparan

v

yang cukup luas dan terkonsolidasi. Di sisi lain, alih fungsi lahan sawah yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar. 7. Proses alih fungsi lahan sawah bersifat progresif, artinya, lahan sawah di sekitar lokasi yang telah terkonversi, dalam waktu yang relatif pendek cenderung beralihfungsi pula dengan luas yang cenderung meningkat. Secara empiris progresivitas alih fungsi lahan dengan pola sistematis cenderung lebih tinggi daripada pola yang sporadis. 8. Berdasarkan sintesis data dan informasi dari sejumlah hasil penelitian dan data yang dipublikasikan oleh sejumlah lembaga terkait, diperkirakan luas lahan sawah yang terkonversi tidak kurang dari 150.000 hektar/tahun. Namun demikian, sampai saat ini belum ada data yang akurat tentang besaran alih fungsi lahan sawah tersebut. Hal ini terkait dengan pemantauan dan pencatatannya yang belum terlembagakan dengan baik. Kendala yang dihadapi terletak pada terbatasnya anggaran untuk melaksanakan kegiatan tersebut dan kesulitan untuk

menyamakan metode pengukuran dari berbagai lembaga

terkait karena perbedaan sudut pandang dan kepentingan. Perbedaan tersebut terkait dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga yang bersangkutan. 9. Hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang selama ini telah dilancarkan ternyata belum efektif. Hal itu merupakan akibat dari dua faktor yang sifatnya saling mempengaruhi sebagai berikut. Pertama, di sebagian besar daerah, instrumen yang terkait dengan berbagai kebijakan pemerintah pusat dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah belum terlembagakan karena petunjuk teknis pelaksanaannya belum berhasil dirumuskan. Kedua, di daerah komitmen berbagai lembaga terkait untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah masih beragam. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa komitmen yang termasuk kategori tinggi barulah terbentuk di Propinsi Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan. Di enam Propinsi lainnya masih termasuk kategori rendah – sedang. Ada konsistensi yang cukup kuat antara persepsi dan komitmen Pemda dalam pengendalian alih fungsi lahan. Komitmen yang tinggi terdapat

vi

di Propinsi-propinsi dimana persepsi instansi terkait terhadap urgensi pengendalian alih fungsi lahan sawah juga tinggi. 10. Secara empiris, instrumen kebijakan yang selama ini menjadi andalan dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah aturan pelaksanaan Peraturan Daerah yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sangat disayangkan bahwa proses penyusunan RTRW yang pada umumnya cukup alot ternyata juga belum menghasilkan petunjuk teknis yang benar-benar operasional. Dari 11 Propinsi yang dikaji, zonasi rinci barulah tersusun di dua Propinsi. Sementara itu partisipasi lembaga terkait dalam sosialisasi tentang pentingnya pengendalian alih fungsi lahan sawah juga

kurang memadai.

Lebih dari 50 persen responden menyatakan bahwa partisipasi Pemda, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, Badan Pertanahan, dan Dinas Pengairan termasuk kategori sedang. Bahkan partisipasi lembaga legislatif (DPRD) dan LSM lebih rendah lagi. 11. Di lapangan, implementasi instrumen kebijakan tersebut belum disertai oleh penegakan hukum yang memadai. Cukup banyak kasus dikemukakan bahwa lemahnya

penegakan

hukum

terkait

kepentingan

daerah

untuk

mengembangkan sektor non pertanian secepat mungkin dengan harapan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Sementara itu advokasi publik yang cukup kuat dan konsisten masih sangat kurang. Fenomena tersebut mengakibatkan tingkat keyakinan aparat instansi terkait terhadap efektivitas instrumen yuridis untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah relatif rendah. Sekitar 47 % responden menyatakan bahwa efektivitasnya rendah, dan hanya 17 % yang menyatakan efektivitasnya tinggi. 12. Sebagian besar responden menaruh harapan pada instrumen ekonomi, sedangkan untuk instrumen yuridis yang diharapkan adalah zonasi. Sekitar 38 % responden mempunyai harapan bahwa efektivitas instrumen ekonomi adalah sedang, sedangkan 21 % lainnya menyatakan tinggi. Untuk zonasi, lebih dari 50 % mempunyai harapan bahwa efektivitasnya sedang. 13. Di lapisan paling bawah (grass root), inisiatif masyarakat (petani) untuk berperan serta secara aktif dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah juga masih rendah. Lebih dari 80 % responden menyatakan bahwa sampai saat ini

vii

belum ada kelembagaan sosial yang berperan nyata dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Hal ini terkait dengan kesulitan yang dihadapi dalam menumbuhkembangkan inisiatif seperti itu. Aspek ini tercermin dari pendapat responden yang menyatakan bahwa penyebab rendahnya inisiatif masyarakat karena hal itu merupakan kepentingan individu (43 %), dan karena kurangnya informasi (45 %). 14. Secara teoritis terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah yaitu: (1) regulation, (2) acquisition and management, dan (3) incentives and charges. Berdasarkan intisari dari hasil kajian empiris, sintesa hasil-hasil penelitian terdahulu, maupun analisis kritis terhadap instrumen kebijakan yang dibahas dalam FGD diperoleh kesimpulan bahwa yang layak ditempuh adalah pendekatan (1) dan pendekatan (3), serta inisiatif dan atau penguatan kelembagaan sosial di tingkat petani. Ketiga pendekatan tersebut harus diimplementasikan secara simultan. Pendekatan hukum merupakan first order condition, sedangkan dua pendekatan lainnya merupakan second order condition. 15. Dalam pendekatan hukum, RTRW perlu disempurnakan lebih lanjut. Diperlukan zonasi yang lebih rinci terkait dengan pengendalian alih fungsi lahan sawah. Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat dan kondusif perlu direvitalisasi dan penegakan hukum (law enforcement) harus diperkuat melalui advokasi publik secara konsisten. Langkah awal yang perlu dilakukan untuk merancang strategi yang diperlukan dalam implementasi kebijakan adalah melalui pengelompokan wilayah. Terdapat 9 aspek yang digunakan sebagai acuan dalam pengelompokan tersebut yaitu: (a) Produktivitas lahan sawah (tingkat dan stabilitas); (b) Investasi irigasi yang telah dilakukan (baik oleh pemerintah maupun swadaya); (c) Sistem kelembagaan pertanian penunjang produksi usahatani; (d) Peran relatif wilayah pesawahan yang bersangkutan dalam menunjang ketahanan pangan daerah; (e) Tingkat penerapan teknologi usahatani padi; (f) Status potensi ancaman dari alih fungsi lahan sawah terhadap keberlanjutan swasembada pangan nasional; (g) Kontribusi usahatani padi terhadap perekonomian wilayah;

viii

(h) Peranan ekosistem sawah dalam pelestarian lingkungan; (i) Peranan ekosistem sawah dalam konteks sosial dan politik. 16. Terdapat tiga kategori yang dikembangkan yaitu: (a) Kategori 1: urgensi pengendalian alih fungsi lahan sawah sangat tinggi. Prioritas sasaran pengendalian ada 3 (urutan sesuai prioritas): (1) pembatasan dan pengendalian luasan, jenis, dan lokasi alih fungsi, (2) pengurangan dampak negatif dari alih fungsi, dan (3) memperkecil peluang alih fungsi pada seluruh lahan sawah di luar sasaran (1). (b) Kategori 2: urgensi pengendalian alih fungsi lahan sawah termasuk kategori tinggi. Prioritas sasaran: (1) memperkecil peluang terjadinya alih fungsi lahan sawah, (2) mengurangi dampak alih fungsi lahan sawah, dan (3) pembatasan dan pengendalian luasan, jenis, dan lokasi alih fungsi. (c) Kategori 3: urgensi pengendalian alih fungsi lahan sawah termasuk kategori sedang. Prioritas sasaran: (1) memperkecil peluang terjadinya alih fungsi lahan sawah, dan (2) pembatasan dan pengendalian luasan, jenis, dan lokasi alih fungsi. 17. Hasil pengelompokan dari 11 Propinsi yang dikaji adalah sebagai berikut. Terdapat 4 Propinsi yang termasuk Kategori 1 yaitu: Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Propinsi yang termasuk Kategori 2 ada 3 yaitu: Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan; sedangkan yang termasuk kategori 3 ada 4 yaitu: Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Dengan pendekatan yang sama tentu saja dapat pula dilakukan pengelompokan untuk Propinsi lainnya di Indonesia. 18. Mengingat situasi dan kondisi yang dihadapi antar kategori berbeda maka efektivitas instrumen ekonomi yang sesuai untuk masing-masing kategori juga berbeda. Hal itu berimplikasi pada strategi pengendalian yang dibutuhkan, baik yang berkenaan dengan jumlah instrumen maupun urutan prioritasnya. Instrumen kebijakan untuk masing-masing kategori (urutan mengacu pada prioritas) adalah sebagai berikut: (a) Kategori 1: (1) Kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan sawah, (2) Rehabilitasi infrastruktur (irigasi, kredit), (3) Bantuan teknis pengembangan teknologi, (4) Kebijakan harga (Subsidi ix

input dan atau output), (5) Asuransi Pertanian, dan (6) Keringanan pajak lahan bagi petani sawah. (b) Kategori 2: (1) Bantuan teknis pengembangan teknologi, (2) Rehabilitasi infrastruktur (irigasi, jalan usahatani, kredit), (3) Kebijakan harga (subsidi input dan atau output), (4) Kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan sawah, dan (5) Asuransi Pertanian. (c) Kategori 3: (1) Rehabilitasi infrastruktur (irigasi, jalan usahatani, pemasaran, kredit), (2) Bantuan teknis pengembangan teknologi, dan (3) Kebijakan harga (subsidi input dan atau output). 19. Keberlanjutan eksistensi lahan sawah sangat ditentukan oleh keberlanjutan kinerja irigasi yang optimal. Oleh karena itu unit pengelolaan dalam implementasi kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang paling sesuai adalah hasil sinkronisasi antara unit pengelolaan sistem irigasi dan sistem penyelenggaraan pembangunan dan unit administratif pemerintahan. 20. Pada akhirnya pelaku utama di lapangan adalah petani. Implikasinya, dinamika petani dan pedesaan harus diperhitungkan sebagai salah satu faktor penentu efektivitas instrumen hukum maupun instrumen ekonomi tersebut di atas. Pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang perikehidupan petani adalah syarat utama untuk menumbuhkembangkan inisiatif masyarakat sebagai subyek dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Sehubungan itu maka rancang bangun kebijakan dan strategi implementasi di daerah akan lebih mudah dirumuskan jika petani dilibatkan pada setiap tahap perumusan dan implementasi kebijakan.

x

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................. i DAFTAR ISI..................................................................................................................iii BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................. 3 1.3. Tujuan dan Keluaran Dari Kegiatan Pengkajian ..................................... 4 BAB II.TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 5 2.1. Landasan Teori ......................................................................................... 5 2.1.1. Teori Alokasi Lahan ...................................................................... 5 2.1.2. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan .................................... 7 2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ................................................................. 8 2.2.1. Manfaat Lahan Pertanian............................................................... 8 2.2.2. Konversi Lahan Sawah : Pola, Besaran dan Kecenderungan. ....... 9 BAB III. METODE PENELITIAN............................................................................11 3.1. Pendekatan...............................................................................................11 3.2. Strategi Yang Diperlukan Dalam Implementasi Kebijakan.................... 12 3.3. Data dan Analisis.....................................................................................14 BAB IV. HASIL TEMUAN DAN ANALISIS TERHADAP PERMASALAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH............................17 4.1. Upaya Pemerintah Daerah Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan .....17 4.1.1. Jawa Tengah..................................................................................17 4.1.2. D.I. Yogyakarta.............................................................................18 4.1.3. Jawa Timur....................................................................................20 4.2. Masalah Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah .......................21 4.3. Efektivitas Pengendalian yang Telah Dilakukan.......................................... 25 BAB V. STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH ........ 33 5.1. Kajian Tentang Instrumen Kebijakan....................................................... 33 5.1.1. Instrumen Hukum.......................................................................... 33 5.1.2. Instrumen Ekonomi........................................................................41 5.1.2.1. Kebijakan Harga : Subsidi Input dan Output .................... 42 5.1.2.2. Rehabilitasi/Penyempurnaan Sarana dan Prasarana . 44 5.1.2.3. Bantuan Teknis Pengembangan Teknologi....................... 49 5.1.2.4. Asuransi Pertanian ............................................................ 51 5.1.2.5. Keringanan Pajak Lahan Sawah Untuk Petani di Wilayah Sasaran ............................................................... 52 5.1.2.6. Kompensasi Terhadap Kerugian Akibat Hilangnya Manfaat Dari Sifat Multi Fungsi Lahan Sawah .............................. 53 5.1.2.7. Perbandingan Efektivitas Antar Instrumen Ekonomi ....... 53 5.1.3. Rekayasa Kelembagaan dan Pemberdayaan Komunitas ............... 56 5.1.3.1. Rekayasa Kelembagaan .................................................... 56 5.1.3.2. Pemberdayaan Komunitas ................................................ 57 5.2. Strategi Dalam Implementasi Kebijakan................................................. 60 5.2.1. Kategorisasi, Prioritas Sasaran dan Alternatif Instrumen Kebijakan 60 5.2.2. Satuan Wilayah Pengelolaan Dalam Implementasi Kebijakan......64 BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI..................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 69

xi

LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................................75

DAFTAR TABEL Hal Tabel 1.

Tabel 2

Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 5.

Tabel 6.

Tabel 7.

Tabel 8.

Tabel 9.

Tabel 10.

Peraturan/perundangan terkait dengan alih guna lahan pertanian...............................................................................

1

Pemanfaatan aspek-aspek pokok yang dijadikan acuan dalam penentuan prioritas sasaran strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian…………………………………..

13

Kategorisasi dan Tingkat Urgensi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah………………………………………………..........

14

Pendapat Responden Tentang Urgensi Pengendalian Laih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Lain (%).......................................................................................

22

Pendapat Pemerintah Daerah Tentang Tingkat Alih Fungsi Lahan Sawah yang Terjadi di Wilayahnya (%).......................................................................................

23

Jawaban Responden tentang Keikutsertaannya dalam Penyusunan RTRW (%).......................................................................................

24

Frekuensi Keikutsertaan dalam Pertemuan Penyusunan RTRW..................................................................................

24

Jawaban responden tentang keberadaan zonasi yang rinci dalam Perda yang ditujukan untuk melindungi lahan sawah dari ancaman alih fungsi...................................................................................

25

Partisipasi lembaga terkait dalam sosialisasi pengendalian alih fungsi lahan Sawah (%)...................................................

26

Distribusi responden menurut jawaban terhadap tingkat efektivitas masing-masing instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah (%).......................................................................................

27

xii

Hal Tabel 11.

Tabel 12.

Tabel 13.

Tabel 14.

Tabel 15.

Tabel 16.

Tabel 17.

Tabel 18.

Tabel 19.

Tabel 20.

Faktor-faktor utama yang menyebabkan mekanisme pengendalian alih fungsi lahan sawah yang dijalankan tidak mencapai sasaran (%).......................................................................................

28

Inisiatif masyarakat dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah (%)...........................................................................

28

Penyebab rendahnya inisiatif masyarakat dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah (%).........................

29

Aspirasi yang dikemukakan mengenai instrumen hukum yang diperlukan untuk pengendalian alih fungsi lahan sawah....................................................................................

30

Aspirasi tentang instrumen ekonomi yang dipandang efektif untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah...................................................................................

31

Pola konsolidasi lahan oleh petani di Jawa Barat dirinci berdasarkan luas lahan (hektar) yang dikuasai , tahun 2004.....................................................................................

39

Factor payments and factor shares per hektar dalam usahatani padi pada berbagai sistem penguasaan lahan di Jawa Barat, 2004.....................................................................................

40

Keunggulan dan Keterbatasan Masing-masing Instrumen Ekonomi Untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah..... Faktor-faktor

Pengaruh

Keberadaan

55

Pemangku

Kepentingan.........................................................................

59

Sebaran Propinsi Menurut Kategori, Prioritas Sasaran Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah dan Instrumen Kebijakannya..........................................................................

61

xiii

Hal

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Penentuan locational rent function menurut model von Thunen...................................................................................

6

Cakupan manfaat lahan pertanian dan konstelasinya. (disarikan dari Yosidha, 1994 dan Sogo Kenkyu, 1998).......

9

Gambar 3

Sistematika Prosedur Pengkajian............................................

12

Gambar 4.

Eksistensi Pemangku Kepentingan dalam Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan..........................................................................

59

Gambar 5.

Ketatalaksanaan Pengendalian Alih Fungsi Lahan (Pilot Project)

60

Gambar 6.

Instrumen kebijakan dan unsur lain yang diperlukan dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah……………………….

64

Gambar 2.

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peraturan/Perundangan terkait dengan alih-guna lahan pertanian Lampiran 2. Keragaan Alih Fungsi Lahan Sawah pada 11 Provinsi di Indonesia Lampiran 3. Perkembangan produktivitas padi sawah di 11 Provinsi Lokasi Penelitian, 1980-2005.

Lampiran 4. Nilai skor untuk setiap aspek yang dipergunakan sebagai acuan dalam kategorisasi

xv