STUDI PERBANYAKAN IN VITRO TANAMAN NENAS

Download Upaya perbanyakan in vitro pada tanaman nenas dilakukan untuk mendapatkan bibit dalam jumlah banyak, .... komisi atas masukan dan sumbangan...

0 downloads 496 Views 2MB Size
STUDI PERBANYAKAN IN VITRO TANAMAN NENAS (Ananas comosus L. Merr.) DAN ANALISIS KESTABILAN GENETIK BERDASARKAN KARAKTER MORFOLOGI, ISOZIM DAN RAPD

FATIMAH NURSANDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

STUDI PERBANYAKAN IN VITRO TANAMAN NENAS (Ananas comosus L. Merr.) DAN ANALISIS KESTABILAN GENETIK BERDASARKAN KARAKTER MORFOLOGI, ISOZIM DAN RAPD

FATIMAH NURSANDI

DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

© Hak cipta milik Fatimah Nursandi, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

ABSTRAK FATIMAH NURSANDI. Studi Perbanyakan In Vitro Tanaman Nenas (Ananas comosus L. Merr.) dan Analisis Kestabilan Genetik Berdasarkan Karakter Morfologi, Isozim dan RAPD. Dibimbing oleh ROEDHY POERWANTO, SOBIR, SRIANI SUJIPRIHATI, AGUS PURWITO. Upaya perbanyakan in vitro pada tanaman nenas dilakukan untuk mendapatkan bibit dalam jumlah banyak, seragam, dan cepat serta untuk mendukung program pemuliaan tanaman karena perbanyakan alami sangat lambat dan hanya menghasilkan sedikit bibit. Variasi somaklonal sering muncul pada perbanyakan in vitro tanaman pisang dan kelapa sawit. Evaluasi variasi somaklonal dengan mengkombinasikan beberapa karakter perlu dilakukan untuk menilai protokol regenerasi in vitro dan kestabilan genetik tanaman regeneran. Tujuan penelitian adalah: (1) mempelajari dan menganalisis pengaruh TDZ, IAA dan NAA terhadap multiplikasi, dan keseragaman keragaan di lapangan pada nenas kultivar Queen, (2) mempelajari dan menganalisis pengaruh BAP dan frekuensi subkultur terhadap multiplikasi, kualitas buah dan kestabilan genetik pada nenas kultivar Queen dan (3) mempelajari dan menganalisis pengaruh BAP dan TDZ serta teknik etiolasi terhadap multiplikasi pada nenas kultivar Smooth Cayenne. Hasil penelitia n menunjukkan TDZ dapat menginduksi kalus nodul, tunas dan kalus, tunas dan akar nenas kultivar Queen bergantung pada konsentrasi yang digunakan. Penambahan 0,23-0,46 µM TDZ menghasilkan 56-65 tunas/eksplan selama 31 minggu. Tanaman regeneran di lapangan menunjukkan tinggi tanaman, diameter tajuk, panjang dan lebar daun tidak berbeda. Variasi yang muncul di lapangan adalah tanaman roset (1,59%), variegata (0,36%) dan tanaman kecil dan kaku (2,16%). Penambahan BAP 8,88 µM pada SK 1 menghasilkan 26,3 tunas/eksplan selama 11 minggu. Tanaman regeneran hasil perlakuan 4,44 µM BAP menunjukkan pertumbuhan vegetatif dan kualitas buah yang lebih baik serta varian yang muncul rendah (1,53%) walaupun tingkat multiplikasi lebih rendah dibandingkan perlakuan 8,88 µM BAP. Pertumbuhan vegetatif dan kualitas buah kecuali bobot mahkota buah seragam untuk masingmasing perlakuan BAP. Tanaman regeneran normal yang berasal dari perlakuan BAP 2,22-17,76 µM secara genetik stabil berdasarkan analisis isozim: PER, EST, ADH dan MDH dan analisis RAPD dengan primer OPE 7 dan OPG 2. Tanaman variegata yang berbeda secara morfologi dengan tanaman normal menghasilkan pita monomorfik berdasarkan analisis RAPD dengan primer OPG 2 tetapi dengan primer OPE 7 me nghasilkan 33 % pita polimorfik. Penggunaan BAP dan TDZ kurang efektif untuk menginduksi pembentukan tunas melalui organonensis nenas kultivar Smooth Cayenne. BAP 2,22-17,76 µM menghasilkan 4-6 tunas/eksplan/8 bulan, TDZ 0,23-4,54 µM menghasilkan 17-24 tunas/eksplan/8 bulan. Perbanyakan dengan teknik etiolasi dilakukan 2 tahap yaitu tahap induksi tunas etiolasi dan tahap multiplikasi tunas. Media terbaik untuk memproduksi tunas etiolasi adalah NAA 5,37 µM + 0 µM GA3 menghasilkan 3-4 tunas/eksplan. Pada tahap multiplikasi tunas, perlakuan BAP 17,76 µM menghasilkan jumlah tunas terbanyak 2-3 tunas/eksplan. Perbanyakan dengan teknik etiolasi menghasilkan 1 296 tunas/tahun.

iii

ABSTRACT FATIMAH NURSANDI. Study on In Vitro Propagation of Pineapple (Ananas comosus L. Merr.)and Genetic Stability Analysis Based on Morphological, Isozyme, and RAPD Markers. Supervised by ROEDHY POERWANTO, SOBIR, SRIANI SUJIPRIHATI, AGUS PURWITO. An In vitro propagation experiment in pineapple was carried out to obtain uniform, large planting materials and support the plant breeding program where the conventional propagations have limitation in terms of small number propagules produced and take long time. In vitro propagation in several fruit plants generally produced somaclonal variations. The evaluation of somaclonal variations in pineapple using a combination of several markers is needed to esthablish an in vitro regeneration protocol and assess the genetic stability of the resulted regenerants. The objectives of the research are to 1) determine the effect of TDZ, IAA and NAA on multiplication rate and field performance in pineapple cv. Queen, 2) elaborate the effect of BAP and subculture frequency on multiplication rate, fruit quality, and genetic stability in cv. Queen, 3) study the effect of BAP, TDZ, and etiolation technique on multiplication rate in cv. Smooth Cayenne. Results revealed that TDZ significantly induced shoots, nodule calli or roots of the explants depent on its concentration. Shoot explants grown on MS media supplemented with 0.23-0.46 µM TDZ produced 56 to 65 shoots per explant within 31 weeks period. Field evaluation of the TDZ-treated regenerants showed no difference in plant hight, width and length of the leaves. TDZ treatments generated three different variants: variegated (0.36%), rosset (1.59%), and dwarf (2.16%) plants. Supplemented with 4.44 µM BAP produced 26.3 shoots per explant within 11 weeks period. The explants treated with 4.44 µM BAP produced vigorous regenerants and good quality of fruit as well as lower level of variance (1.53%). The Bartlett test indicated that the variance of the vegetatif growth and fruit quality of the regenerants was not significantly different. Normal plants produced on media with 2.22- 17.76 µM BAP in the field showed genetic stability as verified using PER, EST, ADH and MDH isozymes analysis and RAPD technique on dan OPG 2 primers. The leaves of the resulted variegated plants showed a different level of chimeras. RAPD analysis with OPG 2 primer in variegated plants produced monomorphic bands, whereas with OPE 7 resulted in approximately 33% polimorphic bands. MS media supplemented with TDZ and BAP was less effective in inducing shoot formation of the cv. Smooth Cayenne via direct organogenesis. MS media supplemented with 0.23-4.54 µM TDZ produced 17 to 24 shoots per explant in 8 months. Morever, the explant on media with 2.22-17.76 µM BAP resulted 4 to 6 shoots per explant within the same period of time. Etiolation technique of propagation comprised two stages namely etiolation shooth induction and multiplication stages. In the induction stage, MS media with 5.37 µM NAA+0 GA3 produced 3 to 4 etiolated shoots per explant. In multiplication stage, MS media supplemented with 17,76 µM BAP resulted only 2 to 3 shoots. per explant. Hence, the etiolation technique of propagation could generate a total of 1 296 shoots within 1 year.

iv

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Studi Perbanyakan in Vitro Tanaman Nenas (Ananas comosus L. Merr.) dan Analisis Kestabilan Genetik Berdasarkan Karakter Morfologi, Isozim dan RAPD adalah karya saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2006

Fatimah Nursandi NRP P03600013

Judul Disertasi : Studi Perbanyakan In Vitro Tanaman Nenas (Ananas comosus L. Merr.) dan Analisis Kestabilan Genetik Berdasarkan Karakter Morfologi, Isozim dan RAPD Nama : Fatimah Nursandi NRP : P 03600013 Departemen : Agronomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Sobir, M.S. Anggota

Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. Anggota

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S.

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 5 Desember 2005

Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2002 sampai Maret 2005 adalah perbanyakan in vitro dengan judul Studi Perbanyakan in vitro Tanaman Nenas (Ananas comosus L. Merr.) dan Analisis Kestabilan Genetik Berdasarkan Karakter Morfologi, Isozim dan RAPD. Sebagian dari isi Disertasi ini telah dipublikasikan pada Tropika (2005), diseminarkan pada Simposium Nasional dan Kongres Peragi VIII pada tanggal 8-10 Juli 2003 di Universitas Bandar Lampung. Juga telah diseminarkan pada Simposium Nasional dan Kongres PERIPI pada tanggal 25-26 Agustus 2005 di Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc.,

Dr. Ir. Sobir, M.S.,

Dr. Ir. Sriani

Sujiprihati, M.S., Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc., selaku komisi pembimbing yang telah memberikan kepercayaan dan bimbingan selama penelitian sampai penyusunan disertasi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

Dr. Ir. Nurul Humaida, M.S., Prof. Dr. Ir. Nurhayati Ansori Mattjik, M.S., Dr. Ir. Ahmad Dimyati, M.S. dan Dr. Ir. Darda Efendi, M.Sc. selaku penguji luar komisi atas masukan dan sumbangan literatur kesempurnaan disertasi ini.

yang

diberikan

demi

Penulis juga mengucapkan terima kepada Dr. Ir.

Satriyas Ilyas, M.S. selaku ketua program studi agronomi dan seluruh dosen PS Agronomi yang selalu memberikan pelayanan yang baik dan menyenangkan serta dukungan. Prof. Dr. Ir.

Bambang S. Purwoko, M.S. dan Prof. Dr. Ir.

Sudarsono, M.Sc. yang telah memberikan saran selama penyusunan disertasi. Penelitian ini didukung oleh dana Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT).

Untuk itu

penulis

mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi dan PKBT yang telah memberikan dana dan fasilitas laboratorium selama penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program S3 di IPB dan bantuan dana selama mengikuti program S3.

viii

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Kasutjianingati, Teti Herawati, Eries, Siska, Yuni, Bapak Noto, Bapak Ilyas Marzuki, yang banyak membantu penulis selama penelitian. Juga kepada Mbak Eri, Ike, Riris, Mas Kusuma, Bapak Ibram, Bapak Sulaeman, Ibu Yuyun, Miranti, Murtini, Galuh, Cut Nyak atas semua bantuan yang diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu serta Ibu Mertua (almarhumah) yang senantiasa berdoa untuk kelancaran studi penulis, Dik Mida, Dik Diah sekeluarga, Mas Teguh sekeluarga, Dik Imam sekeluarga yang selalu memberikan dorongan semangat dan doa.

Kepada suami tercinta

Drs. Untung Santoso, M.Si., saya mengucapkan banyak terima kasih karena telah memberikan kesempatan, kepercayaan, dorongan, doa, perhatian

serta kasih

sayang sampai disertasi ini terselesaikan. Hidup adalah perjuangan, nikmatilah pilihan kita dengan ikhlas dan niat ibadah. Kepada ananda Hanief Ariefman Sani (12 tahun), Afif Mahardika Sani (8 tahun), Dinda Fajria Sani (5 tahun) dan Andika Rahman Sani (4 tahun), mama mengucapkan terima kasih karena kalian adalah penyemangat mama untuk menyelesaikan studi ini.

Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dengan tulus, semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang dilipatgandakan. Akhir kata, mudah- mudahan Disertasi ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.

Bogor, Januari 2006

Fatimah Nursandi

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 29 Januari 1966 sebagai anak sulung dari pasangan H. Abdul Rachman dan H. Maslaha. Penulis menikah dengan Drs. Untung Santoso, M.Si dan dikaruniai 4 anak (Hanief Ariefman Sani, Afif Mahardika Sani, Dinda Fajria Sani dan Andika Rahman Sani). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian IPB, lulus tahun 1990. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Studi Agronomi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1997.

Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada

program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2001. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian universitas Muhammadiyah Malang sejak 1991 sampai sekarang. Pada tahun 1998-2001 penulis menjadi kepala Pusat Bioteknologi Pertanian Universitas muhammadiyah Malang. Selama mengikuti program S3, penulis menyajikan karya ilmiah berjudul (1) Perbanyakan In Vitro Nenas (Ananas comosus L. Merr) dengan Menggunakan BAP dan TDZ pada Simposium Nasional dan Kongres PERAGI VIII di Lampung pada bulan Juli 2003, (Lampiran 1) (2) Studi Pertumbuhan Tanaman Nenas (Ananas comosus L. Merr) Kultivar Queen Hasil In Vitro dan Analisis Kestabilan Genetik Berdasarkan Karakter

Morfologi dan

RAPD pada Simposium Nasional dan Kongres PERIPI di Purwokerto pada bulan Agustus 2005 (Lampiran 2). Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Perbanyakan Tanaman Nenas (Ananas comosus (L) Merr) cv. Smooth Cayenne dengan Teknik Etiolasi Secara In Vitro pada jurnal Tropika (2005) Universitas Muhammadiyah Malang (Lampiran 3). Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

x

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL

…………………………………………………………

xiii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….

xv

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….

xvii

DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………..

xviii

1 PENDAHULUAN Latar Belakang ………………………………………………………….. Perumusan Masalah …………………………………………………….. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….. Manfaat Penelitian ………………………………………………………

1 4 8 8

2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Nenas …………………………………………………………. Kultivar Nenas …………………………………………………………. Perbanyakan Nenas …………………………………………………….. Perbanyakan In Vitro …………………………………………………… Zat Pengatur Tumbuh …………………………………………………... Kestabilan Genetik dalam Perbanyakan In Vitro ………………………. Deteksi Variasi Somaklonal ……………………………………………

9 10 12 14 16 17 19

3

PENGARUH TDZ, IAA DAN NAA TERHADAP MULTIPLIKASI DAN KESERAGAMAN KERAGAAN TANAMAN NENAS KULTIVAR QUEEN DI LAPANGAN Pendahuluan ……………………………………………………...……… 22 Bahan dan Metode ………………………………………………………. 24 Hasil dan Pembahasan …………………………………………………... 28 Hasil ………………………………………………………………… 28 Pembahasan ………………………………………………………….. 40 Kesimpulan Dan Saran ………...………………………………………... 43

4

PENGARUH BAP DAN FREKUENSI SUBKULTUR TERHADAP MULTIPLIKASI, KUALITAS BUAH DAN KESTABILAN GENETIK TANAMAN NENAS KULTIVAR QUEEN Pendahuluan ……………………………………………………...……… 44 Bahan dan Metode ………………………………………………………. 46 Hasil dan Pembahasan …………………………………………………... 55 Hasil ………………………………………………………………… 55 Pembahasan ………………………………………………………….. 73 Kesimpulan dan Saran …………………………………………………... 79

xi

5

PENGARUH BAP DAN TDZ SERTA TEKNIK ETIOLASI DALAM PERBANYAKAN IN VITRO TANAMAN NENAS KULTIVAR SMOOTH CAYENNE Pendahuluan ……………………………………………………...…….. Bahan dan Metode ……………………………………………………... Hasil dan Pembahasan …………………………………………………. Hasil ……………………………………………………………….. Pembahasan ………………………………………………………… Kesimpulan Dan Saran ……………………..………………………….

80 82 85 85 93 98

6

PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………... Peran Sitokinin dalam Perbanyakan In Vitro ………………………….. Variasi Somaklonal pada Perbanyakan In Vitro ……………………..

99 99 103

7

KESIMPULAN …………………………………………………….......

106

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...

108

LAMPIRAN ………………………………………………………………… 118

xii

DAFTAR TABEL Halaman 1

2

3

4

5

6

7

Karakter fenotipe 5 kultivar nenas (Leal dan Soule, 1977 dalam Nakasone dan Paull, 1999) ………………………………………….

11

Pengaruh TDZ terhadap bobot kalus nodular, eksplan bertunas dan jumlah tunas/eksplan nenas kultivar Queen umur 16 MST ………..

30

Pengaruh TDZ terhadap jumlah tunas nenas dalam media MS0 dan media akar ……………………………………………………...

31

Pengaruh TDZ terhadap peubah pada saat aklimatisasi dan di lapangan ……………………………………………………………

32

Variasi tanaman di lapangan pada umur 8 bulan hasil perbanyakan in vitro dengan TDZ …………………………………………………

34

Pengaruh interaksi TDZ, IAA dan NAA terhadap eksplan berakar (%) pada tahap induksi ……………………………………………...

37

Pengaruh interaksi TDZ, IAA dan NAA terhadap jumlah akar pada tahap induksi umur 15 MST …………..……………………………

37

Pengaruh interaksi TDZ dan auksin terhadap bobot kalus nodular dan jumlah tunas pada tahap multiplikasi dalam media MS0 …..…….

40

9

Bahan-bahan kimia larutan penyangga dalam analisis isozim ……….

51

10

Jumlah tunas dalam media BAP SK 1 dan media akar ….…………..

57

11

Pengaruh BAP SK 1 terhadap jumlah daun , jumlah akar, panjang akar dan tunas berakar ………………………………………..…….

58

Pengaruh BAP SK 1 terhadap tanaman menghasilkan anakan dan jumlah anakan per tanaman ………… ……………………………..

59

Variasi tanaman nenas asal perbanyakan in vitro SK 1 pada 33 MST di lapangan ………………………………………………………….

61

Pengaruh BAP terhadap beberapa karakter pada fase generatif tanaman nenas umur 15 bulan ………………………………………

62

Rekapitulasi nilai karakter morfologi dan kualitas buah tanaman hasil perbanyakan in vitro SK 1 ……………………………………………

62

Pengaruh BAP pada SK 2 terhadap jumlah tunas umur 12 MST …….

68

8

12

13

14

15

16

xiii

17

Pengaruh BAP SK 2 pada media akar terhadap jumlah tunas umur 10 MST ……………..……………………………………………...

68

18

Pengaruh BAP pada SK 2 terhadap peubah vegetatif di lapangan ..

70

19

Variasi pada tanaman SK 2 di lapangan umur 27 MST ………..…..

70

20

Pengaruh BAP pada SK 3 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular pada umur 16 MST ………..……………………………….

71

Pengaruh BAP pada SK 3 terhadap jumlah tunas dalam media akar umur 0 dan 14 MST …………………………………………………

71

22

Pengaruh BAP pada SK 3 terhadap jumlah anakan per tanaman



73

23

Variasi pada tanaman regeneran SK 3 di lapangan umur 25 MST ….

73

24

Pengaruh BAP terhadap jumlah tunas dan kalus nodular saat SK tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang …….………

86

Pengaruh BAP terhadap jumlah tunas pada saat aklimatisasi dari media pengakaran ………………………………………………….

86

Pengaruh TDZ SK 1 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang …….………

87

Pengaruh TDZ SK 2 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang …………….

87

Pengaruh TDZ SK 2 dalam media MS0 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular kultivar Smooth Cayenne klon Subang ………

87

Pengaruh TDZ + NAA SK 1 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang ……

88

Pengaruh TDZ + NAA SK 2 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang ……

88

Pengaruh TDZ+NAA SK 2 dalam media MS0 II terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular kultivar Smooth Cayenne klon Subang

88

Pengaruh NAA dan GA3 terhadap eksplan bertunas tidak berakar dan bertunas berakar pada umur 7 MST ..........................................

91

33

Pengaruh NAA terhadap diameter batang pada umur 7 MST ........

91

34

Pengaruh BAP terhadap jumlah nodular ……………………………

92

21

25

26

27

28

29

30

31

32

xiv

DAFTAR GAMBAR Halaman 1

Kerangka studi perbanyakan in vitro tanaman nenas dan analisis kestabilan genetik ……………………………………………………

5

2

Alur pelaksanaan penelitian ………………………………….……..

7

3

Bagian vegetatif tanaman nenas yang dipergunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman ………….……………………………………

13

Bahan tanam mahkota buah nenas (A) dan tunas dalam media MS0 umur 4 MST (B) ……………………………………….……………

25

5

Alur kegiatan multiplikasi dengan TDZ ……………………………..

26

6

Alur kegiatan multiplikasi dengan TDZ, IAA dan NAA …….………

28

7

Eksplan membentuk kalus nodular dalam media TDZ (µM) umur 14 MST …………………………….……………………………………

29

8

Jaringan meristematik yang terbent uk dengan perlakuan TDZ …..…

30

9

Eksplan mengalami nekrosis dalam media MS0 I (A), regenerasi tunas dalam media MS0 II …………………………………………...

31

10

Variasi tanaman regeneran di lapangan …………………………..…..

33

11

Perkembangan eksplan pada tahap induksi dalam media TDZ ……..

35

12

Pengaruh TDZ terhadap eksplan bertunas (A) dan jumlah tunas (B) dalam media induksi …………………………………………………

35

Pengaruh TDZ terhadap eksplan berkalus nodular (A) dan bobot kalus nodular (B) pada tahap induksi …………………………………

36

Pengaruh TDZ terhadap tunas aksilar (A) dan tunas total (B) pada tahap multiplikasi dalam media MS0 ………………………………

38

Pengaruh TDZ pada tahap multiplikasi eksplan tunas dalam media MS0 ………………………………………………………………….

39

Pengaruh TDZ pada tahap multiplikasi dengan eksplan kalus nodular pada MS0 …………………………………………………………….

39

17

Alur kegiatan perbanyakan in vitro nenas kultivar Queen …………..

47

18

Daun tanaman normal (A) dan daun tanaman variegata (B) untuk analisis RAPD dan isozim ……………………………………………

52

4

13

14

15 16

xv

19

Tunas yang tumbuh dalam media BAP SK 1 ………………………

56

20

Pengaruh BAP subkultur 1 terhadap diameter tajuk (A), tinggi tanaman (B), panjang daun (C) dan jumlah daun (D) di lapangan …

60

Tanaman variegata fase generatif (A), anakan yang dihasilkan tanaman variegata ………………………………………………….

61

22

Buah berukuran tidak normal (A,B,C) dan buah berukuran normal (D)

63

23

Berbagai bentuk mahkota buah tidak normal ………………………

63

24

Pola pita isozim ADH, EST, PER, MDH …………………………..

65

25

Pola pita berdasarkan RAPD dengan primer OPE 7 dan OPG 2 …..

66

26

Pengaruh BAP terhadap eksplan berkalus nodular pada SK 2 umur 12 MST ……………………………………………………………..

67

Pengaruh BAP SK 2 terhadap jumlah daun (A), jumlah akar (B) dan panjang akar (C) saat aklimatisasi …………………….…….…

69

Pengaruh BAP subkultur 3 terhadap diameter tajuk (A), tinggi tanaman (B), panjang daun (C) dan lebar daun (D) di lapangan ……

72

29

Alur kegiatan penelitian nenas kultivar Smooth Cayenne …………

82

30

Induksi tunas etiola si nenas klon Subang pada 0, 4, 8 MST ………..

89

31

Pengaruh NAA (A) dan GA3 (B) terhadap eksplan bertunas .............

90

32

Pengaruh NAA (A) dan GA (B) terhadap jumlah buku .....................

90

33

Pertumbuhan dan perkembangan tunas etiolasi dalam media BAP ...

92

34

Pengaruh BAP terhadap eksplan bertunas (A) dan jumlah tunas (B) ..

93

21

27

28

xvi

DAFTAR LAMPIRAN Halaman

1

2

3

4

Makalah yang disampaikan pada Simposium Nasional dan Kongres PERAGI VIII di Lampung pada bulan Juli 2003 …………..

118

Makalah yang disampaikan pada Simposium Nasional dan Kongres PERIPI di Purwokerto pada bulan Agustus 2005 …………………..

127

Artikel yang diterbitkan di jurnal Tropika 2005 Universitas Muhammadiyah Malang ……………………………………………..

136

Komposisi bahan kimia untuk pewarnaan isozim ……………………

148

xvii

DAFTAR SINGKATAN

AAT ACP ADH Aklimatisasi

: : : :

Amplifikasi Aneuploid

: :

BAP BSA BST Buffer ekstrak

: : : :

Buffer elektroda

:

Buffer gel

:

Buku

:

CBP CDK

: :

CTAB Denaturasi

: :

DNA dNTP

: :

EDTA Elektroforesis

: :

Epigenetik

:

EST EtBr Etiolasi

: : :

GA Gap G1/S G2/M Gel pati HST IAA Inflorescence

: : : : : : : :

enzim aspartat amino transferase enzim acid phosphatase enzim alcohol dehydrogenase penyesuaian fisiologi suatu organisme hidup terhadap perubahan keadaan lingkungan proses penggandaan molekul DNA tanaman yang mempunyai jumlah kromosom yang bukan kelipatan dari kromosom dasarnya benzyl amino purine, sitokinin turunan purin bulan setelah aklimatisasi bulan setelah tanam buffer yang digunakan dalam analisis isozim, membantu menghancurkan sel buffer yang digunakan merendam kaki cetakan tray pada proses elektroforesis isozim buffer yang digunakan untuk melarutkan pati kentang dalam analisis isozim bagian pada batang yang mengeluarkan satu atau lebih daun cytokinin-binding protein adalah reseptor sitokinin cytokinin dependent-kinase, enzim yang terlibat dalam siklus sel cetyl triethylammonium bromide proses pemisahan DNA dari ikatan ganda menjadi ikatan tunggal deoxyribonucleic acid, merupakan bahan genetik deoxynucleotide triphosphates (umumnya dalam bentuk campuran dATP, dCTP, dTTP, dGTP) ethylene diaminetetracetic acid teknik pemisahan molekul berdasarkan gerakan yang berbeda pada medan listrik segala sesuatu yang berhubungan dengan interaksi faktorfaktor genetik enzim esterase ethidium bromide keadaan yang tidak normal dari semai atau tanaman yang kekurangan sinar matahari. giberelic acid salah satu tahap dalam siklus sel tahap transisi antara gap 1 dan sintesis tahap transisi antara gap 2 dan mitosis pati kentang khusus yang digunakan dalam analisis isozim hari setelah tanam indol acetic acid susunan bunga pada sumbu bunga

xviii

Isozim

: kelompok enzim yang mempunyai bentuk molekul atau struktur berbeda tetapi mempunyai efek katalitik yang sama Loading dye : pemberat dan pada saat elektroforesis Mata tunas : suatu titik tumbuh pada batang/cabang yang akan menjadi tunas MDH : malate dehydrogenase Media : suatu bahan yang mengandung zat makanan dengan komposisi tertentu sebagai tempat tumbuh kultur jaringan tanaman/jasad renik, bakteri, jamur Meristem : jaringan yang sel-selnya belum berfungsi khusus dan masih aktif membelah untuk membentuk sel baru; jaringan tanaman yang terdiri dari sel-sel hidup dan berdinding tipis yang mampu membelah berulang-ulang Mitosis : proses pembelahan sel somatik Monomorfik : hanya satu bentuk genotip MS : Murashige and Skoog MS0 : Media MS tanpa zat pengatur tumbuh MSS : minggu setelah subkultur MST : minggu setelah tanam NAA : naphthalene acetate acid Nekrosis : gejala matinya beberapa sel/bagian/organ tanaman yang berhubungan dengan kehilangan klorofil Organogenesis : pembentukan dan perkembangan organ dalam pembentukan embrio PCR : polymerase chain reaction (proses polimerasi DNA secara in vitro) PER : enzim peroksidae Plantlet : tumbuhan kecil yang telah sempurna dihasilkan dari biji atau biakan in vitro PLB : protocorm like body, biji yang sangat kecil dan tidak dapat dibedakan bakal akar atau batang bila berkecambah, misal pada anggrek Polimorfik : bentuk pola pita DNA yang berbeda antar individu Primer : rantai nukleotida pendek, berfungsi sebagai pemula sintesis DNA dalam reaksi polimerisasi Propagul : bagian organisme yang dapat digunakan dalam perbanyakan RAPD : random amplified polymorphic DNA (teknik analisis DNA berdasarkan panjang fragmen DNA hasil amplifikasi oleh enzim polymerase dengan primer tertentu rpm : rotation per minutes Self incompatibility : bunga yang tidak dapat membentuk buah bila terjadi penyerbukan sendiri atau baru dapat membentuk buah bila terjadi penyerbukan silang SK : subkultur, pemindahan plantlet ke media yang baru Tanaman kerdil : tanaman berdaun kecil dan kaku

xix

Tanaman roset TDZ Tris Tunas aksilar ZPT µM

: tanaman dengan susunan daun rapat karena ruas batang amat pendek : thidiazuron, sitokinin turunan fenilurea : tris (hydroxymethy)-aminomethane : tunas yang muncul dari ketiak daun batang utama suatu tumbuhan : zat pengatur tumbuh : mikro molar

xx

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Nenas merupakan buah tropika ketiga setelah pisang dan mangga yang diperdagangkan secara global (Petty et al. 2002) dalam bentuk nenas segar dan produk olahan.

Hampir seluruh bagian tanaman nenas dapat dimanfaatkan,

limbah dari buah untuk pakan ternak dan produksi asam organik (seperti asam sitrat, asam askorbat, asam malat), serat daun untuk bahan tekstil, dan bromelin untuk industri makanan, kosmetik, obat-obatan (Wee dan Thongtham, 1997; Nakasone dan Paull, 1999). Pada tahun 2000 Indonesia adalah produsen nenas terbesar ke-9 namun peran Indonesia dalam mengisi ekspor buah nenas dunia masih rendah yaitu 0,003% untuk nenas segar dan 12,34%

nenas kaleng

(Poerwanto, 2003). Produksi nenas Indonesia pada tahun 2000 hanya 2% dari produksi dunia, padahal pada tahun 1995 produksi nenas Indonesia mencapai 6% dari produksi dunia (Anonim, 2001). Produksi nenas dapat ditingkatkan dengan beberapa cara diantaranya: membuka kebun-kebun baru, meremajakan kebunkebun yang tua, memperkenalkan kultivar baru dan menyediakan bibit unggul. Usaha tersebut harus didukung dengan teknik perbanyakan yang cepat dan bibit yang dihasilkan seragam, yaitu teknik perbanyakan in vitro. Teknik perbanyakan in vitro tanaman nenas perlu dikembangkan karena teknik perbanyakan tradisional dan modifikasinya tidak efisien.

Teknik

perbanyakan tradisional dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman seperti crown (mahkota buah ), slip, shoot (tunas samping) dan sucker (anakan) memerlukan waktu lama, jumlah bibit ya ng dihasilkan sedikit dan tidak seragam. Tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne menghasilkan 2 propagul/tanaman per tahun sehingga perlu waktu 30 tahun untuk menghasilkan bahan tanaman yang cukup untuk satu hektar yang dimulai dari satu tanaman (Purseglove, 1972). Untuk meningkatkan jumlah bibit dapat dilakukan dengan memodifikasi teknik tradisional yaitu (1) metode pemotongan mata tunas pada ketiak daun dari crown, slip, dan sucker, (2) metode pemotongan memanjang dari slip dan sucker (teknik kuarter), dan (3) metode pemotongan batang (Selamat, 1996).

Bibit yang

dihasilkan dengan metode tersebut sebanyak 15-256 bibit/sucker/tahun (Selamat, 1996). Teknik perbanyakan in vitro diperlukan terutama untuk perusahaan besar

yang perlu bibit

ratusan ribu bahkan jutaan

bibit

per

tahun. Selain itu,

perbanyakan in vitro untuk perbanyakan bahan tanaman yang terbatas jumlahnya (misal klon introduksi), klon unggul hasil seleksi atau hibrid hasil persilangan. Keberhasilan dalam perbanyakan secara in vitro ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya kultivar tanaman, komposisi media, metode kultur, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) serta umur kultur. Klon nenas yang berbeda menghasilkan multiplikasi berbeda (DeWald et al. 1988).

Metode

regenerasi yang berbeda juga menghasilkan multiplikasi berbeda. Kiss et al. (1995) dengan metode etiolasi dapat menghasilkan 80 000 plantlet/tanaman per tahun, sedangkan Teng (1997) dengan metode kultur nodul dapat menghasilkan 80 000-100 000 plantlet/tanaman per tahun. Teknik perbanyakan in vitro pada beberapa jenis tanaman terbukti efisien, namun pada tanaman nenas belum digunakan secara komersial karena kemungkinan terjadi variasi somaklonal (Bartholomew dan Criley, 1988). Variasi yang muncul selama proses kultur in vitro disebut variasi somaklonal (Larkin dan Scowcorft, 1981). Penyebab munculnya variasi somaklonal ada dua yaitu variasi genetik yang memang sudah ada dalam eksplan dan variasi induksi atau variasi epigenetik yang muncul selama fase kultur in vitro. Variasi genetik bersifat stabil baik melalui perbanyakan seksual dan aseksual, sedangkan variasi epigenetik tidak stabil dan berpotensi dapat balik (reversible) (Evans et al. 1984; Kaeppler et al. 2000). Epigenetik adalah variasi dalam ekspresi gen yang secara potensial dapat balik tetapi sekuen DNA tidak

mengalami perubahan (Kaeppler et al.

2000). Oono (1985 dalam Kaeppler et al. 2000) melaporkan, padi kerdil hasil perbanyakan in vitro tetap terbawa me lalui perbanyakan generatif. Padi kerdil kembali menjadi tanaman normal setelah diperlakukan dengan 5-deoxyazacytidine yaitu senyawa anti metilasi DNA. Sifat kerdil yang muncul pada padi tersebut merupakan variasi epigenetik. Variasi somaklonal yang terjadi pada teknik perbanyakan in vitro nenas dan tanaman lainnya dipengaruhi oleh banyak faktor dan mekanisme penyebabnya masih menjadi perdebatan.

Menurut Kaeppler et al (2000), penyebab terjadinya

variasi somaklonal adalah perubahan kromosom (penggandaan kromosom, delesi, inverse, translokasi), perubahan sekuen DNA, metilasi dan aktifasi elemen

2

transposon. Besarnya variasi tergantung pada klon atau kultivar tanaman, macam dan konsentrasi zat pengatur tumbuh, kecepatan multiplikasi, umur kultur, sumber eksplan, penggunaan agen mutagenik dan tekanan seleksi (seperti kadar garam, herbisida, produk sampingan dari mikroorganisme), jumlah kromosom dan tipe regenerasi (Skirvin, 1978; Skirvin et al. 1994). Kultivar berbeda dalam satu spesies tanaman pisang menunjukkan tingkat variasi yang berbeda. Variasi pada kultur pisang rata-rata 3% tetapi pada kultivar Cavendish mencapai 20% (Hwang dan Ko, 1986).

Penggunaan zat pengatur

tumbuh (ZPT) konsentrasi tinggi, umur kultur dan frekuensi subkultur yang berlebihan dapat menginduksi variasi (Skirvin et al. 1994).

Eksplan yang

mempunyai mata tunas kemungkinan terjadinya variasi lebih kecil dibandingkan eksplan yang tidak mempunyai meristem calon tunas (Skirvin et al. 1994). Regenerasi melalui perbanyakan tunas aksilar dapat mengurangi munculnya variasi somaklonal dibandingkan regenerasi melalui tunas adventif dan embriogenesis (Karp, 1989). Variasi somaklonal yang masih bisa diterima adalah tidak lebih dari 3-5% (Cote

et al. 1993). Oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian untuk mendapatkan metode perbanyakan in vitro nenas yang efisien dengan variasi somakonal yang rendah melalui pengaturan ZPT, regenerasi langsung dan frekuensi subkultur. Variasi somaklonal perlu dievaluasi sedini mungkin.

Evaluasi bisa

dilakukan pada plantlet dalam botol, saat aklimatisasi di rumah kaca atau di lapangan pada fase vegetatif dan generatif. Dalam melakukan evaluasi variasi somaklonal perlu digunakan kombinasi beberapa penanda misalnya karakter morfologi, biokimia (isozim), sitologi, dan molekuler. Masing- masing penanda mempunyai kelemahan dan kelebihan sehingga

dengan mengkombinasikan

beberapa penanda dapat diperoleh hasil evaluasi yang dapat dipercaya. Identifikasi dengan menggunakan karakter morfologi mudah dilakukan dan biayanya murah, namun sering dipengaruhi oleh lingkungan dan tahap perkembangan tanaman. Jika pengaruh lingkungan sangat besar terhadap induksi keragaman maka penilaian keragaman berdasarkan data karakter morfologi tidak mencerminkan tingkat keragaman genetik yang sebenarnya (Yee et al. 1999). Isozim yang merupakan produk langsung dari gen individu (Newbury dan

3

Ford-lloyd, 1993), tidak dipengaruhi lingkungan dan mampu membedakan antar tanaman yang secara morfologi dan sitologi tidak dapat dibedakan. Penanda RAPD adalah hasil amplifikasi sebagian DNA dari genom dengan menggunakan satu buah primer oligonukleotida yang terdiri atas 10 nukleotida (William et al. 1990). Analisis isozim mempunyai beberapa kelemahan dibandingkan penanda RAPD yaitu jumlah isozim yang bisa dianalisis terbatas,

polimorfik yang

dihasilkan lebih rendah dan perubahan sekuen DNA atau nukleotida yang tidak merubah sekuen asam amino polipeptida tidak dapat dideteksi dengan isozim (Roose, 1988).

RAPD mempunyai beberapa kelebihan diantaranya perbedaan

primer pada satu nukleotida tunggal akan menghasilkan profil yang berbeda. Jadi teknik ini dapat mendeteksi perubahan basa tunggal dalam DNA genom jika cukup banyak primer yang digunakan (Deng et al. 1995).

1.2.

Perumusan Masalah Teknik perbanyakan tanaman nenas secara alami dan modifikasinya tidak

efisien, oleh karena itu perlu dilakukan teknik perbanyakan in vitro. Teknik in vitro yang efisien harus mampu menghasilkan kecepatan multiplikasi yang tinggi

sehingga dapat dihasilkan bibit dalam

jumlah banyak dan cepat.

Multiplikasi tinggi dapat dicapai dengan menggunakan ZPT sitokinin dan auksin konsentrasi tinggi, subkultur berulang dan regenerasi langsung atau tidak langsung.

Namun kecepatan multiplikasi yang tinggi dapat menginduksi

munculnya variasi somaklonal (Gambar 1). Penyebab terjadinya variasi somaklonal adalah perubahan kromosom (penggandaan kromosom, delesi, inversi, translokasi), perubahan sekuen DNA, metilasi dan aktifasi elemen transposon (Kaeppler et al 2000). Stabilitas klonal adalah faktor yang sangat penting dalam perbanyakan mikro secara komersial. Pada beberapa kasus variasi somaklonal yang terdeteksi saat in vitro, ketika di lapangan menjadi normal (berdasarkan karakter morfologi). Evaluasi variasi somaklonal hasil perbanyakan in vitro tanaman nenas telah dilakukan pada plantlet dalam botol dan aklimatisasi di lapangan umur 6 minggu (Mhatre et al. 2002; Smith et al. 2002) tetapi evaluasi variasi somaklonal pada fase generatif dan karakter buah belum ada laporannya. Oleh karena itu perlu

4

5

dilakukan

evaluasi variasi somaklonal tanaman nenas hasil kultur in vitro

sampai fase generatif dan kualitas buah dengan menggunakan kombinasi beberapa penanda (morfologi, isozim dan RAPD) agar diperoleh hasil yang dapat dipercaya (Gambar 1).

Perlu dicari metode perbanyakan yang dapat meningkatkan

kecepatan multiplikasi setinggi mungkin dengan resiko munculnya variasi somaklonal serendah mungkin. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan studi perbanyakan in vitro tanaman nenas melalui pendekatan penggunaan ZPT (BAP, TDZ, IAA, NAA, GA3 ), metode regenerasi (organogenesis, teknik etiolasi) dan frekuensi sub kultur pada dua kultivar nenas (kultivar Queen dan Smooth Cayenne). Pada awalnya, penelitia n dirancang untuk membandingkan respon kultivar Queen dan Smooth Cayenne terhadap BAP dan TDZ dengan pendekatan konsentrasi yang sama dan teknik regenerasi yang sama melalui organogenesis. Namun

dalam

pelaksanaannya,

kultivar

Queen

dan

Smooth

Cayenne

menunjukkan respon yang sangat berbeda dalam media media induksi (MS0) sehingga dilakukan penelitian yang terpisah untuk kedua kultivar (Gambar 2). BAP dan TDZ pada kultivar Queen menunjukkan efek yang sangat berbeda sehingga memerlukan pendekatan metode perbanyakan yang berbeda, oleh karena itu dilakukan penelitian 1 dan 2 yang saling terpisah. Perbanyakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne kurang efisien melalui organogenesis langsung menggunakan TDZ dan BAP sehingga dilakukan percobaan dengan teknik etiolasi (Gambar 2) Permasalahan di atas dipelajari dengan melakukan 3 penelitian yang terpisah yaitu: 1

Pengaruh TDZ, IAA dan NAA

terhadap

multiplikasi dan keseragaman

keragaan tanaman nenas kultivar Queen di lapangan 2 Pengaruh BAP dan frekuensi subkultur

terhadap

multiplikasi, kualitas

buah dan kestabilan genetik tanaman nenas kultivar Queen. 3

Pengaruh TDZ dan BAP serta teknik etiolasi dalam perbanyakan in vitro tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne.

6

7

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum tanaman nenas

penelitian adalah mendapatkan sistem perbanyakan in vitro melalui organogenesis dengan variasi somaklonal sekecil

mungkin.

Tujuan spesifik adalah: 1

Mempelajari dan menganalisis pengaruh

TDZ, IAA dan NAA terhadap

multiplikasi, pengakaran dan keseragaman keragaan tanaman nenas kultivar Queen di lapangan 2

Mempelajari dan menganalisis

pengaruh

BAP terhadap

multiplikasi,

pengakaran, dan kualitas buah serta kestabilan genetik tanaman nenas kultivar Queen. 3

Mempelajari dan menganalisis pengaruh BAP dan TDZ serta teknik etiolasi terhadap multiplikasi dan pengakaran tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne.

1.4. 1

Manfaat penelitian Mendapatkan konsentrasi optimum dari TDZ dan BAP untuk menginduksi multiplikasi tunas yang tinggi dengan variasi somaklonal ya ng rendah, sehingga diperoleh tanaman regeneran dalam jumlah banyak, seragam, dan stabil.

2

Mendapatkan metode standar dalam perbanyakan in vitro tanaman nenas kultivar Queen dan Smooth Cayenne sehingga dapat membantu perusahaan nenas dalam penyediaan bibit bermutu.

3

Mendapatkan metode untuk mendeteksi variasi somaklonal pada waktu sedini mungkin terhadap tanaman nenas hasil perbanyakan in vitro

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Nenas Nenas merupakan anggota famili Bromeliaceae atau bromeliad. Famili ini terdiri atas 45 genus dan 2000 spesies (Nakasone dan Paull, 1999) yang semuanya berasal dari Amerika Selatan kecuali satu spesies Pitcairnia felicana berasal dari Afrika Barat (Collins, 1968). Tanaman nenas ditemukan oleh Columbus tahun 1493 (Petty et al. 2001), diduga masuk ke Indonesia pada abad ke-16 dibawa oleh orang Spanyol (Collins, 1968) dan masuk ke pulau Jawa tahun 1599 (Purseglove, 1972). Ananas comosus L. Merr. adalah nenas budidaya yang merupakan tanaman herba tahunan (perenial), sukulen, dan serofit, steril bila menyerbuk sendiri, monokotil, epifit atau terestrial (Purseglove, 1972; Wee dan Thongtham, 1997; Paull, 1997; Nakasone dan Paull, 1999; Petty et al. 2001). Tanaman nenas mempunyai tinggi 50-100 cm, tinggi batang tanaman dewasa 30-35 cm, diameter 6,5-7,5 cm dengan ruas pendek 1-10 mm (Nakasone dan Paull, 1999). Akar tanaman nenas ada 3 macam yaitu akar tanah, akar aksilar dan akar adventif (Collins, 1968). Akar tanah adalah akar yang berada di bawah permukaan tanah, akar aksilar adalah akar pada pangkal batang dan berada di atas permukaan tanah, sedangkan akar adventif adalah akar yang muncul di aksilar daun batang. Akar aksilar dan akar adventif berfungsi untuk menyerap air dan nutrisi. Akar baru terus terbentuk dan menyebar dan terhenti saat terjadi inisiasi pembungaan. Daun nenas berbentuk pedang dengan panjang 1 m atau lebih, lebar 5-8 cm, pinggiran berduri atau hampir rata, berujung lancip. Daun menempel secara spiral pada batang dengan jarak yang rapat sehingga membentuk roset. Daun nenas mengandung serat 2-3% yang dapat digunakan untuk tekstil (Purseglove, 1972). Secara alami inisiasi inflorescence dipercepat dengan adanya suhu rendah pada malam hari dan pengurangan jam penyinaran, namun inisiasi dapat diinduksi secara buatan dengan menggunakan gas etilen (Paull, 1997; Wee dan Thongtham, 1997).

Fase generatif terbagi dalam 5 tahap yaitu (1) awal induksi, yaitu

inflorescence tersembunyi membentuk roset daun, (2) red heart yaitu tahap antara munculnya inflorescence, (3) antesis, (4) tahap pertumbuhan buah, dan (5) tahap

pematangan buah (Coppens d’Eeckenbrugge et al. 2001). Inflorescence kompak mengandung 100-200 bunga hermaprodit. Antesis terjadi 2-4 minggu, dan setiap bunga mekar selama 1-2 hari (Ploetz et al. 1996). Buah nenas merupakan buah multiple partenokarpi atau sinkarp yang terbentuk dari penebalan

poros bunga

dan peleburan masing- masing bunga (Purseglove, 1972; Wee dan Thongtham, 1997).

Perkembangan fruitlet telah lengkap bersamaan dengan munculnya

mahkota buah, selanjutnya buah dan mahkota terus berkembang sampai buah matang. Buah matang sekitar 4 bulan sejak munculnya mahkota atau 6-7 bulan dari inisiasi bunga

(Nakasone dan Paull, 1999). Bakal biji dan serbuk sari

berfungsi normal tetapi tidak kompatibel menyerbuk sendiri (self incompatible) sehingga tidak menghasilkan biji atau biji yang terbentuk tidak normal (Nakasone dan Paull, 1999). Self incompatible ini disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan tabung serbuk sari pada 1/3 bagian atas dari tangkai putik (Brewbaker dan Go rrez, 1967 dalam Nakasone dan Paull, 1999). Kandungan nutrisi buah dipengaruhi oleh lingkungan.

Nenas yang

ditanam di dataran rendah ukurannya lebih besar, lebih manis dan lebih berair (Wee dan Thongtham, 1997). Rasio gula:asam sangat bervariasi tergantung pada kultivar, kondisi pertumbuhan tanaman dan umur panen (Nakasone dan Paull, 1999). Wee dan Thongtham (1997) menyatakan rasio gula:asam = 16:1 adalah ideal untuk proses pengalengan.

2.2. Kultivar Nenas Kultivar yang dibudidayakan mungkin merupakan tanaman diploid, triploid atau tetraploid dengan 2n = 50, 75 atau 100 kromosom. Tanaman nenas diploid dan tetraploid

merupakan tanaman fertil

tetapi self incompatible,

sedangkan nenas triploid adalah steril (IBPGR, 1986).

Kultivar komersial

Cabezona adalah tanaman triploid alami dengan 75 kromosom (Collins, 1933 dalam Collins, 1968). Persilangan antara 2 kultivar diploid dapat menghasilkan beberapa tanaman triploid, tetraploid dengan persentase sangat kecil dibandingkan tanaman diploid. Tanaman triploid berasal dari sel telur yang tidak tereduksi (gamet diploid) dibuahi sel serbuk sari haploid. Tanaman tetraploid berasal dari pembuahan antara 2 gamet diploid.

Tanaman diploid dan tetraploid dapat

10

menghasilkan 90% serbuk sari fertil sedangkan tanaman triploid menghasilkan 90-95% serbuk sari steril (Collins, 1968). Kultivar-kultivar nenas berbeda dalam ukuran tanaman dan buah, warna dan rasa daging buah, pinggiran daun berduri atau rata. Kultivar tersebar pada berbagai negara sehingga sering mempunyai nama berbeda-beda (Coppens d’Eeckenbrugge et al. 2001). Tanaman nenas dikelompokkan dalam 5 kelompok fenotipe berdasarkan karakter buah dan daun (Tabel 1).

Pengelompokan

berdasarkan karakter fenotipe tidak persis sama dengan pengelompokan berdasarkan variasi isozim (Aradhaya et al. 1994). Tabel 1

Karakter fenotipe 5 kultivar nenas (Leal dan Soule, 1977 dalam Nakasone dan Paull, 1999).

Karater

Spanish

Queen

Abacaxi

Cayenne

Maipure

Daun Buah Bobot (kg) Bentuk Warna daging

berduri

berduri

berduri

tidak berduri

tidak berduri

0,5-1,1 Conical Kuning tua

Warna kulit

0,9-1,8 Globose Kuning muda – putih Orange-merah

1,4 Conical Kuning muda – putih Kuning

2,3 Silinder Kuning muda – kuning Orange

Struktur mata Core Rasa

Besar & dalam Besar Asam, berserat

Dalam Kecil Lebih manis, agak asam, serat rendah

Kecil Manis Cenderung berair

Dangkal Sedang Manis, cukup asam, serat rendah, berair

Cukup Resisten thd layu

cukup Lebih resisten dari Cayenne Queen MacGregor Natal Ripley Alexandria

Cukup Resisten

Sangat baik Peka layu

0,8-25 Silinder Putih – kuning tua Kuning – orange merah Kecil-sedang Lebih manis dari Cayenne, berserat, sangat berair Cukup Tidak diketahui

Abacaxi Abakka Sugar Loaf Papelon Venezolara Amarelle

Smooth Cayenne Cayenne Lisse Guatemalan Typhone St Michael Esmeralda

Pengalengan Masalah penyakit Klon

Red Spanish Singapore Spanish Green Selangor Castilla PR-67 Cabezona

Kuning

Maipure Perolera Lebrija Monte Lirio Abacaxi Rondon

Penjelasan singkat dari lima kelompok fenotipe nenas sebagai berikut: (1) Kultivar Cayenne banyak ditanam untuk produksi komersial selama hampir 150 tahun.

Kultivar Smooth Cayenne awalnya satu genotipe tunggal karena

diperbanyak secara aseksual dan terjadi mutasi somatik maka muncul sejumlah klon-klon yang berbeda dalam kultivar tersebut (Broertjes dan Van Harten, 1988). Menurut Collins dan Kerns (1938) dalam Broertjes dan Van Harten (1988) ada 30 tipe mutan dari kultivar Cayenne. Kultivar Cayenne menghasilkan sedikit sucker (0-3) dan sensitif terhadap hama dan penyakit (Coppens d’Eeckenbrugge

11

et al. 2001). (2) Kultivar Queen lebih banyak diperdagangkan sebagai buah segar, mempunyai ukuran tanaman dan buah lebih kecil dan daun lebih pendek dibandingkan dengan kultivar Cayenne. Daun kultivar Queen berduri, rasa dan aroma buah lebih disukai. Kultivar Queen menghasilkan 3-12 sucker (Apriyani, 2005) (3). Kultivar Spanish berukuran kecil sampai sedang, daun berduri, sering terjadi multiple mahkota dan menghasilkan banyak sucker. Buah tidak cocok untuk produk kalengan karena mata terlalu dalam dan warna daging buah pucat. (4). Kultivar Abacaxi banyak ditanam di Amerika Latin dan daerah Karibia. Kultivar ini disebut juga Pernambuco (Petty et al. 2002). Buah tidak cocok untuk produk kalengan atau buah segar, banyak dipasarkan dalam bentuk juice dengan rasa yang sesuai untuk konsumen Amerika Latin dan Karibia.

(5). Kultivar

Maipure banyak dibudidayakan di Amerika Tengah dan Selatan sebagai buah segar untuk pasar lokal. Nama lain dari kultivar ini adalah Perolera (Petty et al. 2002), sering menghasilkan mahkota buah berukuran kecil pada bagian dasar mahkota dan menghasilkan banyak slip sampai 6. Mutan Perolera menghasilkan buah berwarna merah (Coppens d’Eeckenbrugge et al. 2001).

2.3. Perbanyakan Nenas Tanaman

nenas

umumnya

diperbanyak

secara

vegetatif

dengan

menggunakan tunas vegetatif dari berbagai bagian batang tana man dan mahkota buah. Berbagai bahan perbanyakan menurut Collins (1968) dan Rangan (1984), (Gambar 3) antara lain: 1. Crown (mahkota buah) adalah bagian tanaman yang ada di atas buah 2. Slip (tunas tangkai buah) adalah tunas yang muncul di bawah dasar buah 3. Hapas adalah tunas yang muncul pada daerah antara ujung batang dan dasar buah tangkai buah 4. Shoot (tunas ketiak daun atau tunas samping) adalah tunas yang muncul dari aksilar daun 5.

Sucker (anakan) adalah tunas yang muncul dari bagian batang di bawah permukaan tanah.

Wee dan Thongtham (1997) membagi bahan tanam nenas menjadi tiga yaitu mahkota buah, tunas batang (slip, hapas, shoot) dan tunas ketiak daun (sucker).

12

Dari ketiga bagian tersebut yang paling sering digunakan sebagai bahan perbanyakan adalah tunas batang sedangkan mahkota jarang digunakan karena ukurannya tidak seragam.

1 Gambar 3

2

3

4

Bagian vegetatif tana man nenas yang dipergunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman 1. Crown, 2. Slip, 3. Shoot, 4. Sucker

Jumlah anakan dan tunas samping berkorelasi negatif dengan kepadatan populasi tanaman (Petty et al. 2002), selain itu juga tergantung pada kultivar nenas. Kultivar Smooth Cayenne menghasilkan tunas batang sedikit yaitu kurang dari tiga sehingga untuk perbanyakan lebih sering digunakan tunas ketiak daun (Nakasone dan Paull, 1999). Kultivar Queen banyak menghasilkan anakan dan tunas samping (8-12) (Sari, 2002). Shoot diambil dari tanaman induk 1 bulan setelah panen, slip diambil 2-3 bulan setelah panen, sedangkan mahkota diambil bersamaan dengan saat panen. Tunas samping terus berkembang sampai buah dipanen sehingga ukurannya lebih besar dibanding slip (Nakasone dan Paull, 1999). Perbanyakan bibit dengan mengandalkan produksi dari tanaman secara alami hasilnya sedikit dan memerlukan waktu yang lama serta ukurannya bervariasi.

Oleh karena itu,

perlu dicari teknik perbanyakan yang dapat

meningkatkan kecepatan dan jumlah bibit yang dihasilkan. perbanyakan telah dilakukan diantaranya: (1)

Beberapa teknik

menyemprotkan bahan kimia

(seperti morphactin, klorflurenol, flurenol, diklorflurenol) ke tanaman untuk menginduksi pembentukan plantlet (Nickell, 1988), (2) memodifikasi metode perbanyakan tradisional yaitu metode pemotongan mata tunas, metode pemotongan memanjang dan metode pemotongan batang (Purseglove, 1972;

13

Selamat, 1996) dan (3) perbanyakan in vitro (Wakasa, 1979; Zepeda dan Sagawa, 1981; Kiss et al. 1995; Teng, 1997; Prahardini et al. 1995; Imelda dan Erlyandari, 2000).

2.4. Perbanyakan In Vitro Teknik perbanyakan in

vitro

adalah

cara

perbanyakan

dengan

menggunakan media buatan di bawah kondisi aseptik (Rice et al. 1992). Teknik perbanyakan in vitro

disebut juga perbanyakan mikro atau kultur jaringan

tanaman. Menurut Ahloowalia et al. (2004) kultur jaringan tanaman adalah menumbuhkan dan memperbanyak sel, jaringan dan organ dalam media padat atau cair di bawah kondisi aseptik dan terkendali. Teknik perbanyakan in vitro mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan perbanyakan konvensional yaitu: (1) membutuhkan bahan tanam atau eksplan sedikit, (2) menghasilkan tanaman bebas patogen dalam waktu cepat dan ruangan relatif sempit, (3) menghasilkan tanaman secara klonal tanpa dipengaruhi musim atau lingkungan dan (4) kecepatan produksi dapat diatur sesuai permintaan pasar (Fiorino dan Loreti, 1987). Teknik perbanyakan in vitro umumnya dilakukan melalui lima tahapan (Werbrouck dan Debergh, 1994): Tahap 0 : Persiapan dan perlakuan tanaman (sumber eksplan) Tahap 1 : Inisiasi eskplan Tahap 2 : Multiplikasi tunas Tahap 3 : Pemanjangan, induksi akar dan perkembangan akar Tahap 4 : Aklimatisasi dan penanaman di lapangan Tahap 0 dilakukan untuk mendapatkan bahan tanam (eksplan) yang sehat dan kondisi fisiologisnya bagus. Pada tahap ini, tanaman sebagai sumber eksplan perlu dirawat dengan baik dan kadang-kadang perlu perlakuan khusus seperti pemangkasan, penyemprotan zat pengatur tumbuh sehingga kond isi fisiologinya lebih baik. Pada tahap inisiasi, kegiatan yang dilakukan adalah memilih bagian tanaman yang akan dijadikan eksplan, mencari prosedur sterilisasi yang efektif namun tidak mematikan eksplan,

dan memilih komposisi media yang tepat.

Tahap multiplikasi merupakan tahap yang penting dalam perbanyakan in vitro. Multiplikasi dilakukan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh auksin dan

14

sitokinin dalam media dan atau mensubkultur plantlet pada media yang sama atau media yang berbeda. Pada beberapa kasus, penggunaan sitokinin cukup optimal untuk multiplikasi tunas (Werbrouck dan Debergh, 1994). Tahap pengakaran kadang-kadang bisa dilewati karena pada akhir tahap multiplikasi beberapa plantlet dapat menghasilkan akar sehingga bisa segera diaklimatisasi. Apabila sitokinin yang digunakan pada tahap 2 relatif tinggi, kadang-kadang tunas yang dihasilkan pendek dan sulit berakar. Agar dihasilkan tunas yang panjang dan berakar, plantlet ditransfer ke media yang berbeda. Pada tahap aklimatisasi yang perlu diperhatikan adalah pemilihan media dan kondisi lingkungan rumah kaca. Pada dasarnya ada 3 macam teknik perbanyakan mikro yaitu: (1) perbanyakan meristem adventif (organogenesis), (2) embriogenesis somatik dan (3) perbanyakan tunas aksilar (tunas yang sudah ada di meristem) (Fiorino dan Loreti, 1987; Rice et al. 1992). Pada permulaan kultur, metode perbanyakan tunas aksilar kurang efisien dibanding organogenesis atau embriogenesis, namun setelah beberapa kali subkultur maka kecepatan multiplikasi dari tunas aksilar akan meningkat pesat (Fiorino dan Loreti, 1987). Metode lain yang merupakan modifikasi dari perbanyakan meristem adventif adalah teknik kultur kalus nodular. Nodular adalah kumpulan sel yang menunjukkan pola diferensiasi jaringan dan sel internal yang konsisten (Teng, 1997). Nodular umumnya mempunyai kapasitas yang tinggi untuk regenerasi menjadi tanaman atau organ melalui organogenesis.

Nodular juga dapat

berproliferasi membentuk kalus nodular yang lebih banyak, dapat dipertahankan dalam waktu yang lama dan proses regenerasi dapat disinkronisasi sesuai kebutuhan. Nodular dapat diinduksi dari kalus atau secara langsung dari eksplan. Nodular nenas mempunyai karakter yang sama dengan kalus yaitu dapat berproliferasi membentuk nodular baru dan regenerasi menjadi tunas. Nodular baru terbentuk dari bagian nodular yang tua dan 70% dari nodular yang baru dapat membentuk tunas.

Kultur nodular mempunyai potensi untuk menghasilkan

plantlet yang tinggi. Kalus nodular seberat 0,4 g dapat menghasilkan lebih dari 50 tanaman dalam waktu 1 bulan sehingga dalam setahun diperkirakan dapat dihasilkan 8-10 x 104 plantlet dari nodular yang diinduksi dari satu tanaman. Sementara itu Kiss et al. (1995) dengan teknik etiolasi yaitu menggunakan

15

potongan buku yang mengalami etiolasi didapatkan 13-15 plantlet/eksplan buku dan diperkirakan dalam setahun dihasilkan 8 x 104 plantlet dari satu tanaman. Perbanyakan nenas Bogor pada media MS + 1 mg/l BAP menghasilkan 9 tunas pada umur 2 bulan dan bila konsentrasi BAP ditingkatkan menjadi 2 mg/l jumlah tunas menjadi 2 (Imelda dan Erlyandari, 2000). Prahardini et al. (1995) dengan menambahkan IAA, BA dan GA3 pada media MS mendapatkan 9 tunas in vitro nenas Queen klon Blitar pada umur 5 bulan.

2.5. Zat Pengatur Tumbuh Manipulasi sel, jaringan dan organ tanaman dalam kultur in vitro untuk tujuan perbanyakan dan modifikasi tanaman sangat bergantung pada penggunaan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh sitokinin sering digunakan dalam perbanyakan in vitro untuk mendapatkan multiplikasi yang tinggi. Aktifitas berbagai hormon tanaman bergantung pada interaksinya dengan hormon tanaman lainnya. Sitokinin bersinergis dengan auksin dalam menstimulasi pembelahan sel secara kontinue dalam kultur jaringan pith tembakau, tetapi bersifat antagonis dengan auksin dalam mengontrol inisiasi tunas dan akar dalam kultur jaringan dan dalam proses dominansi apikal (Binns, 1994). Berdasarkan struktur kimia ada 2 kelompok sitokinin yaitu turunan adenin (BAP, kinetin, zeatin) dan turunan fenilurea (TDZ). TDZ dan BAP mempunyai respon fisiologi yang sama yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, diferensiasi dan pertumbuhan jaringan dan organ serta biosintesis klorofil (Murthy et al. 1996). Efektifitas antara BAP dan TDZ dalam menginduksi multiplikasi tunas berbeda-beda bergantung pada jenis tanamannya. Pada tanaman anggrek Phalaenopsis konsentrasi optimal untuk menginduksi tunas adventif adalah 5-10 µM TDZ dan bila menggunakan BAP 40 µM (Chen dan Piluek, 1995). Pada tanaman ubi kayu perlakuan 10 mg/l BAP menghasilkan jumlah tunas per eksplan lebih banyak dibandingkan perlakuan 10 mg/l TDZ tetapi persentase eksplan membentuk tunas pada perlakuan TDZ lebih tinggi dibandingkan perlakuan BAP (Konan et al. 1997) Pengaruh penggunaan TDZ dalam perbanyakan in vitro diantaranya adalah meningkatkan biosintesis atau akumulasi sitokinin dan auksin endogen,

16

menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasi dengan zat pengatur tumbuh lainnya (Murthy et al. 1995), merangsang proliferasi tunas dan regenerasi organ adventif tanaman berkayu (Huetteman dan Preece, 1993), meningkatkan kecepatan proliferasi protocorm-like body (PLB), menginduksi pembentukan PLB (Ernst, 1994).

Selain itu TDZ dapat menginduksi absisi daun kapas melalui

peningkatan etilen endogen (Suttle, 1985).

Penggunaan sitokinin dengan

konsentrasi tinggi akan berpengaruh negatif yaitu

menghambat perpanjangan

tunas dan inisiasi akar Cymbidium sinense Willd (Chang dan Chang, 2000), menghasilkan tunas hiperhid rik pada tanaman ubi kayu (Konan et al. 1997), menyebabkan vitrifikasi yaitu suatu kondisi fisiologi in vitro yang menyebabkan disorganisasi seluler (Ziv, 1991). Pengaruh negatif lainnya adalah menyebabkan munculnya kalus pada bagian dasar eksplan (Lakshmanan et al. 1997), pembengkakan akar dan pertumbuhan akar terhenti (Fratini dan Ruiz, 2002, produksi etilen meningkat (Kevers dan Gasper, 1985).

2.6. Kestabilan Genetik dalam Perbanyakan In Vitro Stabilitas

klonal

merupakan

faktor

yang

sangat

penting

dalam

perbanyakan mikro secara komersial (George dan Sherrington, 1984). Stabilitas genetik eksplan dalam kultur in vitro tergantung pada derajat struktur, organisasi dan pengaruh lingkungan aseptik yang menyertai ekspresi potensi variabilitas (Rice et al. 1992). Stabilitas genetik eksplan seringkali tidak dapat dipertahankan selama atau setelah melalui proses in vitro sehingga muncul variasi yang disebut variasi somaklonal. Penyebab munculnya variasi somaklonal

ada dua kemungkinan yaitu

variasi genetik (genetic variation) yang memang sudah ada dalam eksplan dan variasi induksi (induce variation) atau variasi epigenetik yang muncul selama fase kultur jaringan. Variasi genetik bersifat stabil baik melalui perbanyakan seksual dan aseksual, sedangkan variasi epigenetik tidak stabil walaupun melalui perbanyakan aseksual (Evans et al. 1984).

Variasi genetik yang ada dalam

eksplan (pre-existing variation) dapat berasal dari eksplan multiseluler dan tanaman kimera. Eksplan biji atau kecambah terdiri atas beberapa tipe sel dapat mengalami ketidakstabilan genetik secara spontan selama kondisi in vitro. Variasi

17

induksi dapat disebabkan oleh zat pengatur tumbuh, tipe regenerasi, kultivar atau klon tanaman, jumlah kromosom (level ploidi), sumber eksplan, umur kultur dan frekuensi subkultur, kecepatan proliferasi, agen mutagenik serta lingkungan kultur (kondisi kultur) ( Cote et al. 1993; Skirvin et al. 1994). Variasi somaklonal dapat terjadi pada gen tunggal atau multi gen yang disebabkan adanya perubahan basabasa DNA, gen, kromosom atau genom (Orton, 1984)). Eksplan yang berasal dari bagian tanaman yang mempunyai mata tunas seperti mata tunas aksilar, apeks dan meristem, kemungkinan terjadinya variasi lebih kecil dibandingkan eksplan yang tidak mempunyai meristem calon tunas seperti daun, akar, dan protoplas (Skirvin et al. 1994). Variasi yang muncul pada meristem tunas atau mata tunas aksilar dapat ditekan karena derajat stabilitasnya tinggi dan lebih plastis (Rice et al. 1992). Penggunaan sitokinin dan zat pengatur tumbuh lainnya dalam konsentrasi tinggi meningkatkan frekuensi tanaman regeneran tumbuh abnormal.

Pada

strawberi penggunaan adenin sulfat tanpa sitokinin dapat meningkatkan kemantapan dan mengurangi munculnya off-type. Off-type mungkin disebabkan oleh kecepatan multiplikasi yang tinggi pada media yang mengandung BAP (Rice et al. 1992). Brand dan Kiyomoto (1997) menyarankan dalam kultur jaringan Rhododendron sebaiknya digunakan sitokinin konsentrasi rendah agar diperoleh tunas yang vigor dan variasi minimum. Tipe regenerasi melalui perbanyakan tunas aksilar dapat mengurangi kemungkinan munculnya variasi somaklonal dibandingkan tipe regenerasi melalui tunas adventif dan embriogenesis (Karp, 1989). Variasi yang muncul dari mata tunas aksilar mungkin disebabkan oleh variasi yang sudah ada (pre-existing) atau induksi sela ma pembentukan kalus. Pada setiap tahap dalam perbanyakan in vitro sebaiknya dihindari kemungkinan terbentuknya kalus karena kalus sering berasosiasi dengan variasi somaklonal, dan hubungan antara keduanya sangat kuat. Munculnya kalus akan merangsang munculnya enzim penginduksi stress dan produk sampingan khusus (McClintock,1984 dalam Skirvin et al. 1994) Beberapa kultivar dalam satu spesies tanaman menunjukkan tingkat variasi yang berbeda.

Terdapat kultivar yang menunjukkan variasi yang berlebihan,

sedangkan yang lainnya stabil. Hwang dan Ko (1986) menyatakan variasi pada

18

kultur pisang rata-rata 3% tetapi pada kultivar Cavendish mencapai 20%. Variasi yang muncul pada kultur in vitro pisang berupa ukuran tanaman, kelainan bentuk, ukuran dan tebal daun.

Kelainan yang paling sering muncul pada pisang

Cavendish adalah kekerdilan bisa mencapai 70% disusul bentuk dan ukuran buah (Marie, 1992 dalam Cote et al. 1993). Kelainan yang masih dapat ditoleransi pada tanaman pisang 3-5% (Cote et al. 1993), sedangkan pada nenas 5% (Smith dan Drew, 1990). Subkultur

dilakukan

untuk

meningkatkan

kecepatan

multiplikasi,

sedangkan umur kultur adalah berapa lama suatu plantlet berada dalam in vitro. Umur kultur dan frekuensi subkultur yang berlebihan dapat menginduksi variasi (Skirvin et al. 1994). Fiorino dan Loreti (1987) menyatakan jumlah mata tunas baru yang terbentuk dari 1 eksplan meningkat sampai subkultur ketiga atau keempat kemudian stabil. Secara teori subkultur dapat dilakukan terus menerus tetapi dengan bertambahnya umur kultur maka subkultur menjadi kurang responsif dan muncul ketidakstabilan genetik.

Oleh karena itu untuk

mempertahankan tanaman true to type jumlah subkultur harus dibatasi. Pada pisang subkultur maksimal 10 kali (Cote et al. 1993). Mekanisme molekuler penyebab perubahan fenotipe adalah patahnya kromosom, perubahan basa tunggal, perubahan jumlah sekuen berulang dan perubahan dalam pola metilasi DNA (Scowcroft dan Larkin, 1988). Amplifikasi sekuen DNA berulang lebih tinggi dalam kultur sel Nicotiana glauca (Durante et al. 1983), meningkatnya metilasi DNA dan menurunnya kandungan DNA pada tanaman regeneran Pisum sativum L. (Cecchini et al. 1991).

Perubaha n

kromosom yang umum dijumpai pada variasi somaklonal adalah poliploidi, aneuploid dan putusnya daerah heterokromatin (Al Zahim et al. 1999).

2.7. Deteksi Variasi Somaklonal Untuk mengevaluasi variasi somaklonal dengan baik diperlukan beberapa pendekatan yaitu melalui pengamatan karakter morfologi, sitologi dan molekuler, karena penggunaan marker molekuler saja tidak efisien. Penilaian keragaman genetik suatu spesies tanaman secara konvensional berdasarkan perbedaan karakter morfologi dan agronomi.

Ekspresi suatu karakter sering sangat

19

dipengaruhi faktor lingkungan. Jika pengaruh lingkungan sangat besar terhadap induksi keragaman dibandingkan keragaman genetik maka penilaian keragaman berdasarkan data morfologi tidak mencerminkan tingkat keragaman genetik diantara aksesi (Yee et al. 1999). Banyak teknik molekuler telah dikembangkan untuk menilai keragaman genetik diantaranya analisis isozim dan RAPD. Isozim adalah enzim yang merupakan produk langsung dari gen, terdiri atas berbagai molekul aktif dengan struktur kimia berbeda tetapi mengkatalisis reaksi kimia yang sama (Adam, 1983). Perbedaan suatu sistem enzim dapat dilihat melalui pola pita dengan metode elektroforesis gel sesudah diwarnai.

Perbedaan pola pita tersebut berkaitan

langsung dengan perbedaan bobot dan muatan listrik asam amino penyusun enzim yang dianalisis. Susunan asam amino yang membentuk macam- macam protein ini disandikan oleh susunan basa nukleotida dalam DNA yang khas untuk setiap jenis enzim (Ghesquiere, 1984). Isozim mempunyai kelebihan dibandingkan pengamatan karakter morfologi yaitu tidak dipengaruhi lingkungan, bersifat kodominan, membutuhkan sampel sedikit. Kelemahan isozim adalah yang dapat dideteksi terbatas, tidak dapat mendeteksi perubahan sekuen DNA, dan tidak merubah sekuen asam amino polipeptida (Roose, 1988). Random amplified polymorphic DNA (RAPD) adalah amplifikasi fragmen (potongan) DNA melalui PCR menggunakan primer pendek (Williams et al. 1990). Polimorfisme antar genotipe dapat terdeteksi jika ada mutasi titik atau inversi pada tempat melekatnya primer dan adanya penyisipan atau delesi dalam satu fragmen amplifikasi (Debener, 2002).

Kelebihan RAPD adalah tidak

dipengaruhi lingkungan, membut uhkan sedikit DNA dengan kemurnian tidak tinggi, prosedur sederhana, tanpa radioaktif, dapat mendeteksi perubahan basa tunggal dalam DNA genom jika cukup banyak primer yang digunakan (Deng et al. 1995). Sementara kelemahan RAPD adalah bersifat dominan sehingga ada beberapa informasi yang hilang, jumlah polimorfik dan reproduksibilitasnya lebih rendah (Williams et al. 1990; Koch dan Jung, 1997). Roose (1988) tidak dapat menggunakan isozim untuk membedakan antar kultivar citrus sedangkan Deng et al. (1995) dengan menggunakan RAPD dapat membedakan mutan dari tanaman normal dalam satu ge notipe lemon. Deng et al.

20

(1995) juga menguji reproduksibilitas RAPD dengan menggunakan DNA yang berasal dari 3 bahan yaitu kalus embrionik, tanaman di rumah kaca dan di lapangan, ternyata dari ketiganya didapatkan pola RAPD yang sama. RAPD dapat digunakan untuk membedakan tanaman Phalaenopsis varian dan tanaman normal hasil perbanyakan in vitro. Isozim AAT juga dapat digunakan untuk membedakan tanaman varian dan tanaman mutan sedangkan PGM menghasilkan pola pita yang sama (Chen et al. 1998). Analisis RAPD dengan 5 primer terhadap 120 tanaman regeneran dari tunas adventif in vitro dari eksplan daun genotipe tunggal bit gula didapatkan 0,05% varian, sedangkan terhadap 30 regeneran sekunder terdeteksi 0,01% varian (Munthali et al. 1996).

Shoyama et al. (1997) menyimpulkan bahwa

embriogenesis somatik dapat digunakan untuk perbanyakan klonal tanaman ginseng berdasarkan analisis terhadap plantlet yang berasal dari embriogenesis somatik yang diinduksi dari jaringan kalus kuncup bunga ginseng tidak menunjukkan variasi setelah dianalisis dengan menggunakan 21 primer RAPD. Mhatre et al. (2002) menganalisis 10 tanaman nenas berduri (normal) dan 10 tanaman tidak berduri dari 900 tanaman regeneran berumur 4-6 minggu dengan 58 primer RAPD. Primer RAPD OPA 02, 03, 04, 06, dan 08 memproduksi pita polimorfik pada fenotipe berduri sebaliknya OPA 01, 03, 04, 07, 08, dan 09 polimorfik pada fenotipe tidak berduri. Tanaman berduri menghasilkan 1 pita sedangkan tanaman tidak berduri menghasilkan 2 pita dengan primer OPA 04. Jadi tanaman berduri dan tidak berduri menunjukkan perbedaan secara genetik.

21

III. PENGARUH TDZ, IAA DAN NAA TERHADAP MULTIPLIKASI DAN KESERAGAMAN KERAGAAN TANAMAN NENAS KULTIVAR QUEEN DI LAPANGAN 3.1. Pendahuluan Teknik perbanyakan in vitro atau kultur jaringan tanaman adalah menumbuhkan dan memperbanyak sel, jaringan dan organ dalam media padat atau cair di bawah kondisi aseptik dan terkontrol (Rice et al. 1992, Ahloowalia et al. 2004). Zat pengatur tumbuh sitokinin sering digunakan dalam perbanyakan in vitro untuk mendapatkan multiplikasi yang tinggi. Aktifitas berbagai hormon tanaman bergantung pada interaksinya dengan hormon tanaman lainnya. Sitokinin bersinergis dengan auksin dalam menstimulasi pembelahan sel secara sinambung dalam kultur jaringan pith tembakau, tetapi bersifat antagonis dengan auksin dalam me ngontrol inisiasi tunas dan akar dalam kultur jaringan dan dalam proses dominansi apikal (Binns, 1994). Dalam menggunakan zat pengatur tumbuh sitokinin harus benar-benar diperhatikan konsentrasi dan jenisnya serta tujuan yang ingin dicapai. ZPT yang sama bisa menghasilkan pengaruh yang berbeda bahkan berlawanan bila konsentrasi yang digunakan tidak tepat. Kekuatan sitokinin dalam menginduksi pembentukan atau pemanjangan tunas berbeda-beda. Urutan kekuatan sitokinin dalam menginduksi pembentukan tunas tanaman lentil (Lensculinaris medik) dari kuat ke lemah adalah TDZ > BA > kinetin > zeatin, sedangkan dalam menginduksi pemanjangan tunas berlaku urutan sebaliknya yaitu zeatin > kinetin > BA > TDZ (Fratini dan Ruiz, 2002). Penggunaan sitokinin dengan konsentrasi tinggi akan berpengaruh negatif yaitu menghambat perpanjangan tunas dan inisiasi akar Cymbidium sinense Willd (Chang dan Chang, 2000), pembengkakan akar dan pertumbuhan akar terhenti (Fratini dan Ruiz, 2002). Selain itu juga menyebabkan munculnya kalus pada bagian dasar eksplan Ixora (Lakshmanan et al. 1997),

menghasilkan tunas

hiperhidrik pada tanaman ubi kayu (Konan et al. 1997), menyebabkan vitrifikasi yaitu suatu kondisi fisiologi in vitro yang menyebabkan disorganisasi seluler (Ziv, 1991) dan produksi etilen meningkat (Kevers dan Gasper, 1985).

22

Berdasarkan struktur kimia ada 2 kelompok sitokinin yaitu turunan fenilurea Thidiazuron N-phenyl-N’(1,2,3,thidiazol-5-yl)urea) (TDZ) dan turunan adenin N6-benzylaminopurine (BAP). Pengaruh penggunaan TDZ dalam perbanyakan in vitro diantaranya: meningkatkan biosintesis atau akumulasi sitokinin dan auksin endogen, menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasi dengan zat pengatur tumbuh lainnya (Murthy et al. 1995), merangsang proliferasi tunas dan regenerasi organ adventif tanaman berkayu (Huetteman dan Preece, 1993), meningkatkan kecepatan proliferasi PLB, menginduksi pembentukan PLB (Ernst, 1994). Ahli lain mengatakan, sitokinin turunan fenilurea dalam sistem kultur jaringan berpotensi menghambat aktifitas enzim sitokinin oksidase sehingga sitokinin endogen meningkat (Hare dan Staden, 1994). Murthy et al. (1995) mendapatkan bahwa kandungan auksin dan sitokinin dari kecambah kacang tanah yang diinduksi TDZ secara in vitro meningkat. Penggunaan TDZ dalam perbanyakan in vitro pada banyak tanaman terbukti efektif.

Pada tanaman anggrek TDZ dapat meningkatkan kecepatan

proliferasi protocorm (Ernst, 1994), menginduksi pembentukan tunas dari eksplan akar anggrek Cymbidium sinensi Willd dan memperpendek masa juvne nilnya (Chang dan Chang, 2000). TDZ lebih efektif dibandingkan sitokinin lainnya dalam menginduksi embrio somatik kacang tanah (Victor et al. 1999; Akasaka et al. 2000), induksi tunas adventif Phalaenopsis (Chen dan Piluek, 1995). Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa TDZ merupakan ZPT yang potensial dalam menginduksi multiplikasi tunas secara langsung atau tidak langsung pada banyak tanaman. Informasi penggunaan TDZ dalam perbanyakan in vitro nenas masih sangat terbatas (Firoozabady dan Gutterson, 2003), oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini. Tujuan penelitian adalah: 1

Mempelajari pengaruh TDZ terhadap regenerasi dan multiplikasi tunas serta keseragaman keragaan tanaman nenas kultivar Queen klon Bogor di lapangan.

2

Mempelajari

pengaruh

TDZ, IAA dan NAA

terhadap regenerasi dan

multiplikasi tunas nenas Kultivar Queen klon Bogor secara in vitro

23

3.2. Bahan dan Metode 3.2.1. Bahan Tanam Bahan tanam yang digunakan adalah mahkota buah nenas kultivar Queen klon Bogor yang sudah masak (1/3 bagian buah berwarna kuning). Buah nenas berasal dari kebun petani di Ciapus Bogor.

3.2.2. Metode Penelitian Penelitian dimulai dari perbanyakan in vitro nenas di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika IPB, aklimatisasi dan penanaman bibit hasil perbanyakan in vitro di Kebun Percobaan Tajur. Pengamatan yang dilakukan selama tanaman dalam bentuk plantlet di laboratorium adalah pengamatan morfologi dan anatomi sedangkan pengamatan tanaman di lapangan adalah pengamatan morfologi. Penelitian dimulai bulan Juli 2002 sampai Maret 2005. Penelitian terdiri atas 2 percobaan yang terpisah yaitu 1. Pengaruh TDZ terhadap regenerasi dan multiplikasi tunas serta keseragaman keragaan tanaman nenas kultivar Queen klon Bogor di lapangan 2. Pengaruh TDZ, IAA dan NAA terhadap regenerasi dan multiplikasi tunas nenas kultivar Queen klon Bogor secara in vitro 3.2.3. Pengaruh TDZ terhadap Regenerasi dan Multiplikasi Tunas serta Keseragaman Keragaan Tanaman Nenas Kultivar Queen Klon Bogor di Lapangan Percobaan mengunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan satu faktor yaitu konsentrasi TDZ yang terdiri atas: 0,23; 0,46; 2,27; 4,54 µM TDZ. Setiap perlakuan terdiri dari 2 botol dan diulang 6 kali. Bahan tanam (eksplan) yang digunakan adalah tunas yang berasal dari tunas aksilar dorman mahkota buah yang telah diinisiasi secara in vitro pada media MS0 umur 4 minggu.

3.2.3.1. Pelaksanaan Percobaan Sterilisasi.

Daun yang melekat pada mahkota buah dibuang (Gambar

4A), kemudian mahkota dicuci di bawah air mengalir dan direndam dalam air

24

yang mengandung deterjen selama 20 menit. Mahkota buah selanjutnya direndam dalam larutan berikut secara berurutan terdiri dari campuran 3 g/l agrept dan 3 g/l benlate selama 30 menit, larutan kloroks 10% selama 5 menit, kloroks 1% selama 20 menit dan dibilas dengan air steril 3 kali.

A

Gambar 4

B

Bahan tanam mahkota buah nenas (A) dan tunas dalam media inisiasi (MS0) umur 4 MST (B)

Penanaman. Mata tunas aksilar dorman dari masing- masing mahkota buah diambil dan ditanam dalam media induksi (MI) yaitu media MS tanpa ZPT (MS0) sampai munc ul tunas sepanjang 2 cm berumur 4 minggu setelah tanam (MST) (Gambar 4B). Bagian pangkal tunas dipotong sepanjang 0,5 cm dan dibelah vertikal menjadi 2 bagian tetapi bagian dasarnya tidak terpotong kemudian disubkultur pada media mengandung TDZ sesuai perlakuan selama 16 MST. Eksplan menghasilkan tunas kompak, selanjutnya eksplan disubkultur ke media MS0 selama 10 MST. Eskplan dari perlakuan 0,23 dan 0,46 µM TDZ disubkultur pada media MS0 kedua selama 10 MST dan selanjutnya disubkultur ke media akar (MS + 0,54 µM NAA) selama 12 MST dan diaklimatisasi. Aklimatisasi. Plantlet dikeluarkan dari botol kultur dan dicuci untuk menghilangkan agar yang melekat dan ditanam dalam gelas plastik berisi media campuran pasir dan kompos dengan perbandingan 1:3. Plantlet dipelihara dalam rumah kaca dengan naungan paranet 75%. Bibit berumur 5,5 bulan yang berasal dari perlakuan 0,23 dan 0,46 µM TDZ ditanam di lapangan dengan jarak tanam 60 cm x 30 cm dengan 1 tanaman/lubang. Setiap perlakuan diulang 3 kali dan tanaman yang diamati 20 tanaman untuk setiap perlakuan. Pemupukan dilakukan setiap 3 bulan sebanyak 4 kali dengan dosis total 900 kg/ha Urea, 400 kg/ha TSP dan 900 kg/ha KCl. Alur kegiatan percobaan 3.2.3. dapat dilihat pada Gambar 5.

25

TDZ 4 taraf

MS0 I

MS0 II Pengakaran

MS0

Aklimatisasi Mata tunas mahkota Pembibitan

Tahap inisiasi

Tahap induksi

Tahap multiplikasi

Lapangan

Gambar 5 Alur kegiatan multiplikasi dengan TDZ

3.2.3.2. Pengamatan Morfologi Peubah yang diamati pada plantlet in vitro adalah jumlah tunas dalam media inisiasi (MS0), bobot kalus nodular, eksplan bertunas, jumlah tunas, pada saat aklimatisasi adalah jumlah plantlet, jumlah daun, panjang dan jumlah akar dari lima plantlet. Selain itu juga diamati anatomi kalus nodular yang berasal dari media mengandung TDZ umur 11 MST.

Pengamatan pada saat di lapangan

dilakukan 3 kali yaitu umur 6, 7, 8 bulan dengan peubah diameter tajuk, tinggi tanaman, lebar daun, panjang daun, jumlah daun, jumlah dan macam variasi.

3.2.3.3. Pengamatan Anatomi Kalus Nodular Nenas Pembuatan preparat dilakukan di Laboratorium Bogoriense Bogor. Kalus nodular nenas dari perlakuan TDZ berumur 11 MST diambil dan difiksasi dalam larutan FAA (5 ml formaldehid, 5 ml asam asetat glasial dan 90% etanol 70%) minimal 24 jam. Selanjutnya dilakukan dehidrasi dengan alkohol 50, 70, 95%, absolut masing- masing 3 jam.

Kalus direndam dalam larutan xillol masing-

masing berturut-turut xillol : alkohol 100% (3:1); xillol : alkohol 100% (1:1); xillol : alkohol 100% (1:3); xillol absolut I dan xillol absolut II. Selanjutnya ditambahkan parafin kering sedikit demi sedikit sampai larutan jenuh. Campuran dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60o C konstan, 3 jam kemudian larutan dalam botol dibuang sebanyak ¼ bagian kemudian diganti dengan larutan parafin

26

cair sebanyak yang terbuang, 3 jam berikutnya dibuang sebanyak ¾ bagian dan kemudian diganti dengan larutan parafin cair sebanyak yang terbuang, 3 jam berikutnya semua larutan dalam botol dibuang dan diganti dengan larutan parafin cair dan dibiarkan selama 12 jam. Parafin cair dan spesimen dituang ke dalam blok kertas karton dan dibiarkan mengeras pada suhu kamar. Blok parafin dan spesimen ditempelkan pada kayu persegi dan spesimen diatur posisinya sesuai yang diinginkan selanjutnya diiris dengan mikrotom.

Ketebalan irisan ±16

mikron, irisan diletakkan di atas obyek gelas yang sudah diolesi adhesif sehari sebelumnya, selanjutnya disimpan di atas hot plate dengan suhu 40o C konstan selama 1 malam. Pewarnaan dilakukan secara berurutan sebagai berikut : absolut I ; xillol absolut II; xillol : alkohol 100% (3:1); xillol : alkohol 100% (1:1); xillol : alkohol 100% (1:3); alkohol 95, 70, 50% (masing- masing 3 menit), safranin 2% semalam; alkohol 50, 70, 95%, absolut;

xillol: alkohol 100% (3:1); xillol :

alkohol 100% (1:1); xillol : alkohol 100% (1:3); xillol absolut I dan xillol absolut II (dari alkohol 50% sampai xillol : alkohol 100% (1:3) masing- masing 3 menit kecuali pada xillol absolut lebih lama lebih baik. Obyek gelas ditutup dengan kaca penutup dan selanjutnya diamati dengan mikroskop. 3.2.4. Pengaruh TDZ, IAA dan NAA terhadap Regenerasi dan Multiplikasi Tunas Secara In Vitro Percobaan penambahan TDZ, NAA dan IAA terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap induksi tunas dan tahap multiplikasi tunas. Pada tahap induksi tunas digunakan Rancangan Lengkap Teracak (RLT) dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu TDZ, terdiri atas 6 taraf konsentrasi yaitu 4,54 x 10-6 µM; 4,54 x 10-5 µM; 4,54 x 10-4 µM; 4,54 x 10-3 µM; 4,54 x 10-2 µM; 4,54 x 10-1 µM. Faktor kedua yaitu auksin, meliputi : 0 µM; 0,57 µM IAA; 0,06 µM IAA; 0,54 µM NAA and 0,05 µM NAA. Terdapat 30 kombinasi perlakuan dengan 4 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 3 botol dengan 2 eksplan per botol. Eksplan yang digunakan adalah bagian pangkal batang dari plantlet nenas (Ananas comosus L. Merr.) kultivar Queen hasil perbanyakan in vitro subkultur 3 pada media MS + BAP dilanjutkan ke media pengakaran MS + 0,54 µM NAA. Plantlet nenas dibuang

27

akarnya dan dipotong sepanjang 0,5-1 cm dari pangkal batang, kemudian eksplan ditanam pada media perlakuan selama 20 minggu. Rancangan yang digunakan pada tahap multiplikasi sama seperti pada tahap induksi tunas. Terdapat 12 ulangan unt uk setiap kombinasi perlakuan. Tunas yang terbentuk pada tahap induksi dipisahkan dari kalus nodular dan ditanam secara terpisah pada media MS0 selama 5 minggu.

Alur kegiatan

percobaan 3.2.4. dapat dilihat pada Gambar 6.

Plantlet SK 3

Kalus nodular

TDZ + IAA, NAA

MS0

Tahap induksi

Tunas Tahap multiplikasi

Gambar 6 Alur kegiatan multiplikasi dengan TDZ dan IAA, NAA

Pengamatan pada tahap induksi tunas dilakukan setiap minggu (1-10 MST) dan dua minggu sekali (11-20 MST). Peubah yang diamati adalah: eksplan bertunas (%), jumlah tunas/eksplan, eksplan berakar (%), jumlah akar/eksplan, eksplan berkalus nodular (%), bobot kalus nodular/eksplan. Pengamatan pada tahap multiplikasi dilakukan terhadap peubah jumlah tunas aksilar, jumlah tunas adventif, jumlah tunas total, bobot kalus nodular, jumlah tunas/g kalus nodular. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan uji F, jika berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

3.3.

Hasil

3.3.1.

Regenerasi, Multiplikasi dan Keseragaman Keragaan Tanaman Regeneran di Lapangan

3.3.1.1. Tahap Inisiasi dan Induksi Eksplan mata tunas aksilar mahkota buah nenas kultivar Queen klon Bogor yang dikulturkan pada media inisiasi yait u MS0 umur 4 MST 98% eksplan menghasilkan tunas.

Rata-rata tumbuh 1,08 tunas per eksplan (Gambar 4B)

sehingga dari satu mahkota buah dapat dihasilkan 25 tunas, sedangkan

28

kontaminasi yang terjadi 6,3%.

Hal ini menunjukkan cara sterilisasi yang

digunakan efektif karena tingkat kontaminasinya rendah sementara eksplan yang bertunas tinggi. Eksplan pada media induksi mengandung TDZ mulai menunjukkan respon pada minggu kedua ditandai dengan pembengkakan pada bagian dasar eksplan selanjutnya diikuti pembentukan kalus nodular kecil berwarna keputihan. Nodular pecah dan terlihat adanya daun pada umur 6 minggu, namun daun tersebut tidak memanjang atau membesar tetapi membentuk nodular kembali, sehingga pada umur 14 MST tidak terlihat adanya tunas (Gambar 7). Hal ini terjadi pada media yang mengandung TDZ dengan konsentrasi 0,23-4,54 µM TDZ.

Menurut Teng

(1997), nodular

adalah

kumpulan

sel

yang

menunjukkan suatu pola diferensiasi jaringan dan sel internal yang konsisten.

0,23 µM Gambar 7

0,46 µM

2,27 µM

4,54 µM

Eksplan membentuk kalus nodular dalam media TDZ (µM) umur 14 MST = kalus nodular

Nodular nenas mempunyai karakter yang sama dengan kalus dapat berproliferasi membentuk nodular baru dan regenerasi menjadi tunas. Nodular baru terbentuk dari bagian nodular yang tua dan 70% dari nodular dapat membentuk tunas (Teng, 1997). Pada umur 16 MST nodular-nodular yang terbentuk mulai

mengalami

nekrosis (pencoklatan) dan hanya 3-10% eksplan yang menghasilkan tunas, tunas yang terbentuk sedikit (2-5) serta berukuran kecil (Tabel 2) sehingga perlu disubkultur ke media MS0. Dalam 1 g kalus nodular terdiri dari 43-45 nodular.

29

Tabel 2

Pengaruh TDZ terhadap bobot kalus nodular, eksplan bertunas dan jumlah tunas/eksplan nenas kultivar Queen umur 16 MST

Konsentrasi TDZ (µM ) 0,23 0,46 2,27 4,54

Bobot kalus nodular (g) 0,43 0,45 0,43 0,42

Eksplan bertunas (%) 10,00 3,33 6,67 10,00

Tunas/eksplan 4,17 4,50 2,00 2,38

Studi anatomi kalus nodular menunjukkan nodular mempunyai titik meristematik (protuberance) yang lebih dari satu. Jaringan meristematik akibat perlakuan TDZ mempunyai sel-sel yang padat dengan inti terlihat jelas dan titiktitik meristematik yang dapat membentuk embriosomatik baru dan tidak berkembang menjadi tunas (Gambar 8). Hal ini juga terjadi pada kacang tanah (Victor et al. 1999).

Gambar 8 Jaringan meristematik yang terbentuk dengan perlakuan TDZ = titik meristematik 3.3.1.2. Tahap Multiplikasi Dalam media MS0 I, sebagian besar kalus nodular dari perlakuan 0,230,46 µM TDZ mengalami organogenesis membentuk 16,7 tunas/eksplan, sedangkan dari perlakuan 2,27-4,54 µM TDZ menghasilkan 1-4 tunas/eksplan (Tabel 3). Tunas yang terbentuk berukuran kecil pada umur 10 MST dan bila eksplan dibiarkan pada media MS0 maka eksplan akan mengalami nekrosis atau pencoklatan, pencoklatan agak berkurang dengan menambahkan 0,054 µM NAA (Gambar 9A). Hal ini menunjukkan eksplan perlu disubkultur ke media MS0 II.

30

Tabel 3 Pengaruh TDZ terhadap jumlah tunas nenas dalam media MS0 dan media akar Konsentrasi TDZ (µM) 0,23 0,46 2,27 4,54

Jumlah tunas MS0 II Media akar 10 MST 0 MST 56,25 36,50 68,25 37,92 td td td td

MS0 I 10 MST 16,75 a 16,83 a 3,42 b 1,33 c

Media akar 12 MST 80,42 80,42 td td

Keterangan: td = tidak diamati lebih lanjut lllllllllllluyeeKketer

A

B -NAA

+NAA

4,54

2,27

0,46

0,23 µM

4,54

2,27

0,46

0,23 µM

Gambar 9 Eksplan mengalami nekrosis dalam media MS0 I (A), regenerasi tunas dalam media MS0 II (B) Dalam media MS0 II, eksplan mengalami regenerasi dan menghasilkan tunas yang cukup besar untuk perlakuan 0,23-0,46 µM TDZ, sedangkan yang berasal dari perlakuan konsentrasi TDZ 2,27-4,54 µM tunasnya beruk uran kecil dan kompak sehingga sulit

dipisahkan satu persatu (Gambar 7B).

Hal ini

menunjukkan eksplan dengan perlakuan TDZ 2,27-4,54 µM masih harus disubkultur ke MS0 III agar tunas dapat membesar dan memanjang. Pada media MS0 II perlakuan 0,23-0,46 µM TDZ menghasilkan banyak tunas (56-69 tunas/eksplan) dan ukurannya cukup besar sehingga dapat disubkultur ke media akar. Dalam media akar, tunas masih dapat mengalami multiplikasi lebih dari 2 kali lipat dan semua eksplan berhasil membentuk akar (Tabel 3) sehingga pada umur 12 MST dapat diaklimatisasi.

Hasil di atas menunjukkan penambahan

TDZ 0,23-0,46 µM dan dua kali subkultur dalam media MS0 dapat dihasilkan 56-69 tunas/eksplan selama 34 minggu.

31

3.3.1.3. Keseragaman Keragaan Tanaman Regeneran di Lapangan Pada saat aklimatiasi, jumlah daun, jumlah akar, panjang akar antara perlakuan 0,23 µM TDZ dan 0,46 µM TDZ tidak berbeda. Demikian juga selama pengamatan vegetatif sampai umur 8 bulan setelah tanam kecuali untuk jumlah daun dan persentase tana man menghasilkan anakan (Tabel 4). Tanaman yang berasal dari perlakuan 0,46 µM TDZ jumlah daunnya lebih sedikit dan tanaman yang menghasilkan lebih sedikit. Tabel 4 Pengaruh TDZ terhadap karakter pada saat aklimatisasi dan di lapangan Karakter Jumlah daun Jumlah akar Panjang akar (cm) Diameter tajuk (cm)

Umur (BST)

Konsentrasi TDZ (µM) 0,23 0,46 7,92 8,17 3,68 3,33 46,63 47,87 46,98 47,10 51,70 50,50 61,02 58,67 30,15 30,37 33,58 32,38 37,81 36,63 2,89 2,88 3,19 2,99 3,38 3,21 26,50 26,97 29,29 28,43 33,31 32,68 11,63 11,96 16,90 15,70 18,82 a 16,32 b 20,24 a 16,92 b 15,00 11,67 30,00 12,00 43,33 33,33 2,08 1,86 2,28 2,50 3,08 2,60

Aklimatisasi

Tinggi tanaman (cm)

Lebar daun (mm)

Panjang daun (cm)

Jumlah daun

Tanaman menghasilkan anakan (%) Jumlah anakan

6 7 8 6 7 8 6 7 8 6 7 8 0 6 7 8 6 7 8 6 7 8

Keterangan: angka dengan huruf yang sama pada masing- masing baris tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5% Variasi tanaman regeneran yang muncul pada saat aklimatisasi (Gambar 10 A, B) dan di lapangan sampai umur 8 bulan (Gambar 10 C, D, E, F) yaitu tanaman berdaun variegata, tanaman roset dan tanaman kerdil (berdaun kecil dan kaku). Tanaman roset (Gambar 10D) dapat tumbuh menjadi tanaman normal setelah berumur 8 bulan di lapangan namun penampilan tanaman lebih kecil dibandingkan tanaman normal.

Pertumbuhan tanaman kerdil (Gambar 10A, C)

32

terhambat bahkan terhenti, yang selanjutnya menghasilkan tunas samping dan anakan yang tumbuh normal serta cepat sehingga mengalahkan induknya. Tanaman variegata ada yang me njadi normal dan ada yang tetap variegata, atau sebaliknya pada saat aklimatisasi normal ketika ditanam di lapangan menjadi variegata. Variegata bisa terjadi pada 1-2 daun (Gambar 10E) atau pada seluruh daun (10F). Perlakuan 0,46 µM TDZ menghasilkan tanaman kerdil cukup banyak (2,16%) dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah (Tabel 5).

A

B

C

D

E

F

Gambar 10 Variasi tanaman kerdil (A), tanaman variegata (B) pada saat aklimatisasi, tanaman kerdil (C), tanaman roset (D), tanaman sebagian berdaun variegata (E), tanaman seluruh daun variegata (F) pada saat di lapangan

33

Tabel 5 Variasi tanaman di lapangan pada umur 8 bulan hasil perbanyakan in vitro dengan TDZ Macam variasi Tanaman roset Tanaman variegata Tananam kerdil

3.3.2.

Frekuensi varian (%) 0,23 µM TDZ 0,46 µM TDZ 1,59 (4/251) 0 0 0,36 (1/278) 0,39 (1/251) 2,16 (6/278)

Regenerasi dan Multiplikasi dengan Perlakuan TDZ, IAA dan NAA

3.3.2.1. Tahap Induksi Pada percobaan 3.2.3. konsentrasi TDZ 0,23-4,54 µM yang digunakan terlalu tinggi sehingga eksplan terinduksi membentuk kalus nodular dan agar terjadi regenerasi tunas

diperlukan subkultur 2 kali dalam media MS0.

Penambahan NAA dapat meningkatkan persentase eksplan bertunas namun jumlah nodular dan jumlah tunas per eksplan sama (data tidak ditampilkan), selain itu juga dapat mengurangi pencoklatan pada kalus nodular (Gambar 9A). Oleh karena itu dilakukan percobaan 3.2.4. dengan menggunakan konsentrasi TDZ yang lebih rendah dengan kisaran yang luas yaitu 4,54 x 10-6 - 4,54 x 10-1 µM dikombinasikan dengan 2 macam auksin (NAA dan IAA).

Pada hampir

semua perlakuan, tunas mulai terbentuk pada 2 MST kecuali pada perlakuan TDZ dengan konsentrasi 4,54 x 10-1 µM, tunas mulai tumbuh pada minggu ke-3. Pada perlakuan 4,54 x 10-1 - 10-2 µM TDZ menghasilkan tunas dan kalus nodular di sekitar pangkal batang pada minggu ke-3 dan tidak terbentuk akar sampai umur 20 MST (Gambar 11A, B). Perlakuan TDZ kurang dari 4,54 x 10-2 µM hanya menghasilkan tunas dan tidak menghasilkan kalus nodular (Gambar 11C), selain itu pada minggu ke-3 dihasilkan akar. Pada beberapa eksplan menunjukkan tidak responsif terhadap induksi dengan TDZ sehingga eksplan hanya menghasilkan tunas tunggal, yaitu perkembangan dari tunas utama yang tidak menghasilkan kalus nodular dan akar (Gambar 11D). Interaksi antara TDZ dan auksin berpengaruh nyata terhadap eksplan bertunas dan jumlah tunas pada 2 MST, namun pada minggu selanjutnya kedua peubah tersebut hanya dipengaruhi oleh perlakuan TDZ. Pada umur 2-4 MST perlakuan 4,54 x 10-1 - 10-2 µM TDZ menghasilkan eksplan bertunas lebih rendah

34

A

B

C

D

Gambar 11 Perkembangan eksplan pada tahap induksi dalam media TDZ. Eksplan bertunas dan berkalus nodular (A, B), eksplan bertunas (C) dan eksplan yang tidak bertunas dan tidak berkalus nodular (D) dibandingkan perlakuan lain. Pada umur 15 MST perlakuan 4,54 x 10-1 µM TDZ menghasilkan eksplan bertunas paling sedikit,

sedangkan perlakuan lainnya

98-100% bertunas (Gambar 12A). Respon yang sama juga terjadi pada peubah

12B).

Eksplan dengan perlakuan 4,54 x 10-1 - 10-2 µM TDZ yang terinduksi

Eksplan bertunas (%)

jumlah tunas/eksplan, tunas yang dihasilkan berkisar 1-2 tunas/eksplan (Gambar

1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0

A

80 a b c d e f

60 40 20

Jumlah tunas

100

0 2

3

4

6

10

Umur (MST)

15

20

B

a b c d e f

2

3

4 6 10 Umur (MST)

15

Gambar 12 Pengaruh TDZ terhadap eksplan bertunas (A) dan jumlah tunas (B) dalam media induksi. (a-f = konsentrasi TDZ µM) a 4,54x10-6 b 4,54x10-5 c 4,54x10-4 -3 -2 d 4,54x10 e 4,54x10 f 4,54x10-1

35

membentuk kalus nodular hanya 60-79% (Gambar 13). Padahal pada percobaan 3.2.3, seluruh eksplan dengan perlakuan 0,26-0,46 µM TDZ menghasilkan kalus nodular. Hal ini disebabkan oleh perbedaan eksplan yang digunakan, yaitu pada percobaan 3.2.3. digunakan eksplan berupa tunas yang diinisiasi dari mata tunas dorman mahkota buah sehingga sangat responsif. Sementara itu, pada percobaan 3.2.4. eksplan yang digunakan adalah plantlet in vitro setelah 3 kali subkultur pada media BAP dilanjutkan ke media pengakaran mengandung 0,54 µM NAA sehingga sebagian tidak responsif terhadap media induksi. Eksplan tidak responsif karena hanya menghasilkan tunas tunggal perkembangan dari tunas utama yang tidak menghasilkan nodular dan akar. Perlakuan 4,54 x 10-2 µM TDZ menghasilkan eksplan bernodular lebih rendah dari perlakuan 4,54 x 10-1

µM

0,6

100 80 60 40 e f

20

Bobot nodul (g)

Eksplan bernodul (%)

TDZ tetapi bobot nodular yang dihasilkan lebih tinggi (Gambar 13).

0,5 0,4 0,3

0,1

0

A

3

4

6 10 Umur (MST)

15

e f

0,2

0

20

B

4

10 15 Umur (MST)

20

Gambar 13 Pengaruh TDZ terhadap eksplan berkalus nodular (A) dan bobot kalus nodular (B) pada tahap induksi. e 4,54x10-2 µM f 4,54x10-1 µM Interaksi antara TDZ dan auksin berpengaruh nyata terhadap eksplan berakar umur 7-9 MST dan jumlah akar umur 15-17 MST. Konsentrasi TDZ (4,54 x 10-6 µM) tanpa auksin dapat meningkatkan eskplan berakar hingga 91,7% pada 7-9 MST tetapi bila ditambahkan auksin maka eksplan berakar menurun. Konsentrasi TDZ (4,54 x 10-5 µM) bila dikombinasikan dengan 0,05 µM NAA menghasilkan eksplan berakar sebesar 95,8% pada 9 MST. Pada konsentrasi TDZ 4,54 x 10-4 - 10-3 µM memberikan

hasil yang sama dengan perlakuan tanpa

auksin, bila konsentrasi TDZ ditingkatkan lagi maka eksplan tidak membentuk akar walaupun ditambah dengan auk sin (Tabel 6).

36

mampu

Tabel 6 Pengaruh Interaksi TDZ dan IAA, NAA terhadap eksplan berakar (%) pada tahap induksi Perlakuan Auksin (µM) IAA 0 0,06 0,57 NAA 0,05 0,54 IAA 0 0,06 0,57 NAA 0,05 0,54 IAA 0 0,06 0,57 NAA 0,05 0,54

Umur (MST) 10-6 91,67 a 23,75 c-e 22,92 c-e 35,42 cd 11,25 de 91,67 a 23,75 de 22,92 d-f 43,75 b-d 11,25 ef 91,67 a 38,04 c-f 35,42 d-f 68,75 a-d 28,75 ef

7

8

9

10-5 62,50 a-c 35,00 b-d 39,58 a-d 87,50 ab 28,75 c-e 62,50 a-d 33,33 c-e 39,58 b-d 91,67 a 28,75 de 62,50 a-e 39,56 b-f 45,83 a-f 95,83 a 46,25 a-f

Eksplan berakar (%) TDZ 4,54 (µM) x 10-4 10-3 47,92 a-d 33,75 cd 45,00 a-d 33,33 cd 81,25 ab 37,50 c-e 68,75 a-c 12,50 de 39,58 a-d 27,08 c-e 68,75 a-c 40,00 b-d 75,00 a-c 41,67 c-e 87,50 ab 37,50 de 81,25 ab 12,50 ef 47,92 a-d 27,08 de 68,75 a-d 40,00 b-f 75,00 a-c 50,00 b-f 87,50 ab 50,00 b-f 81,25 a-c 16,67 fg 56,25 a-e 27,08 ei

10-2 0 e 0 e 0e 0 e 0 e 0f 0f 0f 0f 0f 0g 0g 0g 0g 0g

10-1 0e 0 e 0e 0e 0e 0f 0f 0f 0f 0f 0g 0g 0g 0g 0g

Keterangan: angka dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama untuk setiap umur tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5% Jenis auksin yang berbeda mempunyai efektifitas berbeda dalam menginduksi eksplan berakar dan jumlah akar. Pada perlakuan TDZ 4,54 x 10-6 10-5 µM penambahan NAA 0,05 µM menghasilkan akar lebih banyak dibandingkan IAA. Pada konsentrasi TDZ 4,54 x10-4 µM penambahan 0,05 µM NAA atau 0,57 µM IAA menghasilkan tunas yang sama tetapi pada konsentrasi 4,54 x 10-3 µM penambahan IAA lebih efektif dibandingkan NAA (Tabel 7). Dalam percobaan ini, media yang mengandung TDZ 4,54 x 10-6 -10-3 mampu menginduksi pembentukan akar eksplan sedangkan pada konsentrasi lebih tinggi tidak membentuk akar.

Tabel 7 Pengaruh Interaksi TDZ dan IAA, NAA terhadap jumlah akar pada tahap induksi umur 15 MST Perlakuan Auksin (µM) IAA 0 0,06 0,57 NAA 0,05 0,54

10-6 4,61 a-d 2,75 ef 3,63 b-e 5,63 a 3,50 c-f

Jumlah akar TDZ 4,54 (µM) x 10-4 10-3 5,50 ab 3,06 d-f 4,50 a-d 3,11 d-f 4,63 a-d 3,83 a-e 4,94 a-c 1,94 f 3,63 b-e 2,96 d-f

10-5 4,38 a-e 1,92 f 3,63 b-e 5,63 a 3,50 c-f

10-2 0f 0f 0f 0f 0f

10-1 0f 0f 0f 0f 0f

Keterangan: angka dengan huruf yang sama pada baris dan kolom tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5%

37

3.3.2.2. Tahap Multiplikasi Pada tahap induksi terlihat pada umur 15 MST, hampir semua eksplan bertunas kecuali perlakuan 4,54 x 10-1 µM TDZ cukup banyak eksplan yang tidak bertunas. Jika jumlah tunas yang dihasilkan tidak bertambah maka eksplan dipindahkan ke media MS0 sebelum minggu ke-15. Pada percobaan ini eksplan dipindahkan ke media

multiplikasi

(MS0)

pada minggu ke-20. Pada tahap

multiplikasi, eksplan berupa tunas dan kalus nodular ditanam secara terpisah. Secara umum, terdapat dua

jenis tunas yang terbentuk pada tahap

multiplikasi yaitu tunas aksilar dan tunas adventif. Tunas aksilar adalah tunas yang terbentuk pada ketiak daun, sedangkan tunas adventif adalah tunas yang terbentuk tidak pada tempatnya. Pada pengamatan ini, tunas adventif terbentuk dari kalus nodular yang menghasilkan tunas ditandai dengan terbentuknya 1-2 daun. Jumlah tunas total adalah jumlah dari tunas aksilar dan tunas adventif.

Tunas Eksplan tunas yang berasal dari perlakuan 4,54 x 10-1 - 10-2 µM TDZ dalam media MS0 dapat membentuk tunas aksilar dan kalus nodular. Nodular tersebut selanjutnya dapat menghasilkan tunas adventif. perlakuan

-2

4,54 x 10

-1

- 10

Tunas yang berasal dari

µM TDZ mampu menghasilkan 2-4 tunas

aksilar/eksplan pada media MS0 umur 5 minggu setelah subkultur (MSS) sedangkan tunas dari perlakuan lain tidak bertambah (Gambar 14A). Tunas

5

a

4

b

3

c d

2

e

1

f

Juml tunas total

Juml tunas aksilar

total dari perlakuan 4,54 x 10-2 - 10-1 µM TDZ meningkat tajam karena

0

A

0

1

2

3

4

5

B

40 35 30 25 20 15 10 5 0

a b c d e f

0

Umur (MST)

1

2 3 Umur (MST)

4

5

Gambar 14 Pengaruh TDZ terhadap tunas aksilar (A) dan tunas total (B) pada tahap multiplikasi dalam media MS0 (a- f = konsentrasi TDZ µM) a 4,54x10-6 d 4,54x10-3

b 4,54x10-5 e 4,54x10-2

c 4,54x10-4 f 4,54x10-1

38

sebagian besar dari tunas tersebut berasal dari tunas adventif (Gambar 14B). Eksplan tunas yang berasal dari perlakuan TDZ lebih rendah dari 4,54 x 10-2 µM tidak menghasilkan

kalus nodular sehingga tidak terbentuk tunas adventif,

sedangkan tunas aksilar yang terbentuk

sedikit

akibatnya tunas total yang

dihasilkan sangat rendah (Gambar 14 dan 15).

A

B

0

0,1 IAA

0,1 NAA

0

0,54x 10-5 µM TDZ

0,1 IAA

0,1 NAA

0,54x 10-6 µM TDZ

Gambar 15 Pengaruh TDZ pada tahap multiplikasi eksplan tunas dalam media MS0 Kalus Nodular Kalus nodular hanya terbentuk pada perlakuan 4,54 x 10-2 -10-1 µM TDZ pada

tahap induksi.

Kalus nodular yang dipindahkan ke media MS0

menghasilkan nodular kembali dan tunas adventif (Gambar 16). Kalus nodular yang berasal dari perlakuan

TDZ baik dikombinasikan dengan auksin atau

tanpa auksin dapat

A

0 IAA

B

0,01 IAA

0,1 IAA

0,1 IAA

0,54 x 10-1 µM TDZ

0,01 IAA

0,54 x 10-2 µM TDZ

0 IAA

Gambar 16 Pengaruh TDZ pada tahap multiplikasi dengan eksplan kalus nodular pada media MS0

39

dengan kombinasi perlakuan 4,54 x 10-1 µM TDZ + 0,06 µM IAA dan tanpa auksin menghasilkan tunas adventif sebesar 83,3 dan 97 tunas/g kalus nodular, sedangkan perlakuan 4,54 x 10-2 µM TDZ + 0,57 µM IAA menghasilkan tunas adventif sebesar 66,7 tunas/g kalus nodular selama 25 minggu (Tabel 8).

Tabel 8 Pengaruh interaksi TDZ dan IAA, NAA terhadap bobot kalus nodular dan jumlah tunas pada tahap multiplikasi dalam media MS0 TDZ(µM)

Perlakuan Auksin(µM)

4,54 x 10-2

IAA 0 0,06 0,57 NAA 0,06 0,54

4,54 x 10-1

IAA 0 0,06 0,57 NAA 0,05 0,54

0 MST Bobot kalus nodular (g) 0,39 0,06 0,07 0,30 0,76 0,19 0,18 1,06 1,32 0,86

Bobot kalus nodular (g) 1,70 (435%) 0,46 (767%) 0,20 (286%) 0,91 (303%) 2,41 (317%) 0,23 (433%) 1,07 (594%) 4,91 (463%) 2,88 (218%) 2,83 (329%)

5 MST Jumlah tunas/g kalus nodular 39,31 36,67 66,71 45,83 30,53 96,95 83,33 27,04 24,15 45,93

Keterangan: Nilai (%) = bobot kalus nodular 5 MSS X 100% bobot kalus nodular 0 MSS

3.4.

Pembahasan Eksplan dalam media mengandung

0,23-4,54 µM TDZ mengalami

morfogenesis yang diawali dengan pembengkakan dan akhirnya terbentuk massa kompak. Massa yang kompak selanjutnya mengalami diferenesiasi dan dihasilkan tunas multiple berukuran

kecil dan kalus nodular yang kompak dan untuk

selanjutnya tidak terjadi regenerasi tunas dan akar (Gambar 7). TDZ menginduksi tunas tanpa meristem apikal dan jaringan vaskular tidak terorganisir sehingga menghasilkan tunas multiple yang kompak selanjutnya sulit terjadi regenerasi tunas dan akar (Akasaka et al. 2000). Studi anatomi kalus nodular menunjukkan nodular mempunyai titik-titik (zona) meristematik (protuberance) yang lebih dari satu dengan sel-sel berukuran kecil, sitoplasma padat dan inti yang menonjol (Gambar 8). Hal yang sama juga terjadi pada kacang tanah (Victor et al. 1999). Hasil penelitian menunjukkan TDZ dengan konsentrasi lebih tinggi dari 4,54 x 10-2 µM akan menghambat pembentukan akar, tunas dan menginduksi munculnya kalus nodular. TDZ dengan konsentrasi

40

0,23-4,54

µM terlalu

tinggi sehingga

tidak terbentuk tunas

dan

akar.

Dengan

mengurangi

konsentrasi TDZ menjadi 4,54 x 10-3 -10-6 µM dapat menginduksi tunas dan akar (Tabel 6, 7). Sementara pada tanaman anggrek Cymbidium sinensi TDZ dengan konsentrasi 0,1-1 mg/l menghambat perpanjangan tunas dan inisiasi akar (Chang dan Chang, 2000).

Penggunaan sitokinin dengan konsentrasi tinggi akan

mengurangi panjang tunas, menghambat pengakaran, menginduksi tunas tanpa meristem apikal sehingga menghasilkan tunas menyatu dengan saluran vaskuler tidak terorganisir akibatnya tidak terjadi regenerasi tunas (Akasaka et al. 2000). Tunas hasil perlakuan dengan TDZ sulit berakar karena TDZ dapat menstimulasi biosintesis

etilen yang dapat menghambat pengakaran (Mok et al. 1987;

Khadafalla dan Hattori, 2000) dan akibat akmumulasi sitokinin, karena TDZ dapat meningkatkan sitokinin endogen (Thomas dan Katterman, 1986). Yang (1985) dalam (Khadafalla dan Hattori, 2000) menyatakan dengan menambahkan ACC 3-10 mg/l (prekursor etilen) menurunkan efisiensi pengakaran, sebaliknya dengan menambahkan

AgNO3 (inhibitor etilen) meningkatkan efisiensi

pengakaran. AgNO3 menghambat etilen melalui ion Ag2+ yang akan mengurangi kapasitas reseptor untuk berikatan dengan etilen. Kalus nodular yang terbentuk dalam media mengandung 0,26-4,54 µM TDZ lebih dari 16 MST akan mengalami pencoklatan dan bila dibiarkan lebih lama maka nodular akan mati. Pencoklatan tersebut diduga disebabkan oleh akumulasi etilen yang dihasilkan TDZ, oleh karena itu sebaiknya induksi dalam media TDZ jangan terlalu lama dan selanjutnya dipindahkan ke media tanpa ZPT. Kalus nodular akan segera mengalami pencoklatan dan akhirnya mati bila disubkultur ke media mengandung TDZ yang sama (data tidak ditampilkan). Dengan memindahkan ke MS0 dua kali maka akan dihasilkan tunas dan terbentuk akar serta nodular baru (Tabel 3). Hal yang sama juga terjadi pada tanaman teh subkultur berulang pada media mengandung TDZ tidak akan menginduksi tunas tetapi bila disubkultur ke media MS0 akan dihasilkan banyak tunas (Mondal et al. 1998). Sumber eksplan dan konsentrasi TDZ yang digunakan pada tahap induksi sangat berpengaruh terhadap proses regenerasi dan

multiplikasi tunas setelah

disubkultur dalam media tanpa ZPT. Eksplan mata tunas aksilar mahkota buah

41

lebih responsif dibandingkan dengan eksplan berupa plantlet subkultur 3. Hal ini terlihat, eksplan mata tunas aksilar dengan konsentrasi TDZ 0,46 µM pada tahap induksi memerlukan subkultur lebih dari 2 kali agar dihasilkan tunas berukuran besar sedangkan pada eksplan berupa plantlet cukup sekali subkultur. Pada penelitian ini terlihat TDZ dapat menginduksi pembentukan kalus nodular dan tunas secara langsung tergantung pada konsentrasi yang digunakan. Induksi tunas dan akar secara 4,54 x 10-3 - 10-6 µM TDZ.

langsung dapat terjadi dengan menambahkan

Fenomena tersebut menunjukkan TDZ mempunyai

aktifitas sitokinin yang kuat (Thomas dan Katterman, 1986) sehingga efektif pada konsentrasi rendah dan mampu menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasi dengan ZPT lainnya (Murthy et al. 1995) atau dikombinasi dengan auksin IAA dan NAA. TDZ dapat meningkatkan biosintesis atau akumulasi sitokinin purin endogen (Murthy et al. 1995) karena TDZ dapat menghambat degradasi sitokinin yang disebabkan enzim sitokinin oksidase (Hare dan Staden 1994). Murthy et al. (1995) mendapatkan bahwa kandungan auksin dan sitokinin endogen kecambah kacang tanah yang diinduksi TDZ secara in vitro meningkat. Stabilitas klonal adalah faktor yang sangat penting dalam perbanyakan in vitro secara komersial, namun munculnya variasi somaklonal kadang-kadang tidak dapat dihindari.

Pada tanaman pisang banyak dilaporkan adanya variasi

somaklonal yang diperbanyak dengan teknik in vitro. Variasi terjadi pada ukuran tanaman, morfologi bunga, ukuran dan tebal daun. Kelainan yang paling sering muncul pada pisang Cavendish adalah kekerdilan bisa mencapai 75% disusul bentuk dan ukuran buah. Karakter kerdil terus terbawa setelah beberapa siklus perbanyakan vegetatif (Marie, 1992 dalam Cote et al. 1993). Variasi somaklonal merupakan akibat dari 2 hal yaitu variasi genetik yang memang sudah ada di dalam eksplan dan variasi induksi yang terjadi selama fase kultur in vitro (Evans et al. 1984). Tanaman nenas hasil perbanyakan in vitro dengan menggunakan TDZ 0,23-0,46 µM yang ditanam di lapangan umur 8 bulan tidak menunjukkan perbedaan karakter pertumbuhan kecuali pada jumlah daun (Tabel 4). Penggunaan TDZ 0,23-0,46 µM menginduksi variasi yang dapat dilihat pada saat aklimatisasi dan di lapangan. Variasi yang muncul adalah tanaman roset, tanaman

42

berdaun variegata dan tanaman berdaun kecil dan kaku (Tabel 5, Gambar 10). Variasi tanaman roset dan tanaman kerdil dapat menjadi tanaman normal seiring dengan bertambahnya umur tanaman, sedangkan tanaman berdaun variegata tetap terbawa atau menghilang. Hal itu menunjukkan varian yang terbentuk cenderung termasuk dalam variasi epigenetik karena terjadi perubahan kembali ke arah normal.

3.4. Kesimpulan dan Saran 1

Umur eksplan selama in vitro dan konsentrasi TDZ pada tahap induksi menentukan proses regenerasi tunas dan akar.

TDZ 4,54 x 10-3 -10-6 µM

menginduksi pembentukan tunas dan akar secara spontan, sedangkan pada konsentrasi lebih dari 0,045 µM menginduksi pembentukan kalus nodular dan menghambat pembentukan akar. dapat meningkatkan atau

IAA dan NAA berinteraksi dengan TDZ

menurunkan pembentukan akar tergantung pada

konsentrasi TDZ. 2

Kalus nodular dapat membentuk tunas dan akar setelah disubkultur ke media MS0. Eksplan dalam media mengandung 0,23-0,46 µM TDZ dilanjutkan subkultur dua kali dalam media MS0 menghasilkan 56-69 tunas/eksplan selama 34 minggu.

Eksplan plantlet in vitro dalam media mengandung

0,45 µM TDZ dilanjutkan subkultur sekali ke media MS0 menghasilkan 36 tunas/eksplan selama 25 minggu. 3

Tanaman regeneran hasil perlakuan 0,23-0,46 µM TDZ dan subkultur 2 kali dalam media MS0 menunjukkan tinggi tanaman, diameter tajuk, panjang dan lebar daun tidak berbeda. Variasi yang muncul di lapangan adalah tanaman roset (1,59%), variegata (0,36%) dan tanaman kerdil (2,16%).

Perbanyakan in vitro nenas kultivar Queen klon Bogor sebaiknya menggunakan eksplan berupa tunas aksilar mahkota yang telah diinduksi pada media MS0.

43

IV. PENGARUH BAP DAN FREKUENSI SUBKULTUR TERHADAP MULTIPLIKASI, KUALITAS BUAH DAN KESTABILAN GENETIK TANAMAN NENAS KULTIVAR QUEEN 4.1. Pendahuluan Kultivar nenas dikelompokkan dalam 5 grup yaitu Cayenne, Queen, Spanish, Pernambuco (Abacaxi) dan Perolera (Maipure) (Petty et al.

2002).

Kultivar yang banyak ditanam di Indonesia adalah Cayenne dan Queen. Kultivar Queen mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan kultivar Cayenne yaitu warna kulit dan daging buah menarik, tidak berserat, rasa dan aroma banyak disukai, lebih tahan terhadap penyakit (Purseglove, 1972). Kekurangannya adalah daunnya berduri sehingga agak sulit dalam pengelolaan, ukuran buah lebih kecil, mata pada buah lebih dalam sehingga banyak bagian yang terbuang ketika dikupas. Pada dasarnya ada 3 macam teknik perbanyakan mikro yaitu: (1) perbanyakan meristem adventif (organogenesis), (2) embriogenesis somatik dan (3) perbanyakan tunas aksilar (tunas yang sudah ada di meristem) (Fiorino dan Loreti, 1987; Rice et al. 1992). Metode lain yang merupakan modifikasi dari perbanyakan meristem adventif adalah teknik kultur kalus nodular.

Nodular

adalah kumpulan sel yang menunjukkan pola diferensiasi jaringan dan sel internal yang konsisten. Nodular dapat diinduksi dari kalus atau secara langsung dari eksplan. Nodular nenas mempunyai karakter yang sama dengan kalus yaitu dapat berproliferasi membentuk nodular baru dan regenerasi menjadi tunas (Teng, 1997). Manipulasi sel, jaringan dan organ tanaman dalam kultur in vitro untuk tujuan perbanyakan dan modifikasi tanaman sangat bergantung pada penggunaan ZPT. BAP sering digunakan dalam perbanyakan in vitro untuk mendapatkan multiplikasi yang tinggi karena harganya lebih murah dibanding zeatin dan TDZ. Penggunaan sitokinin dan ZPT lainnya dalam konsentrasi tinggi meningkatkan frekuensi tanaman regeneran tumbuh abnormal.

Perbanyakan nenas kultivar

Queen klon Bogor pada media MS + 1 mg/l BAP menghasilkan 9 tunas selama 2 bulan bila konsentrasi BAP ditingkatkan menjadi 2 mg/l jumlah tunas menjadi 2 (Imelda dan Erlyandari, 2000). Prahardini et al. (1995) dengan menambahkan

44

8 mg/l BA dan 0,5 mg/l GA3 pada media MS mendapatkan 9 tunas in vitro nenas kultivar Queen klon Blitar pada umur 5 bulan. Kedua penelitian diamati hanya pada subkultur (SK) 1. Subkultur dilakukan untuk meningkatkan kecepatan multiplikasi. Fiorino dan Loreti (1987) menyatakan jumlah tunas baru yang terbentuk dari 1 eksplan meningkat sampai SK ketiga atau keempat kemudian stabil. Frekuensi SK yang berlebihan dapat menginduksi variasi (Skirvin et al. 1994).

Secara teori,

subkultur dapat dilakukan terus menerus tetapi dengan bertambahnya umur kultur, maka SK menjadi kurang responsif dan muncul ketidakstabilan genetik (variasi somaklonal). Oleh karena itu untuk mempertahankan tanaman true to type jumlah subkultur harus dibatasi. Pada pisang SK maksimal 10 kali (Cote et al. 1993). Variasi somaklonal tanaman ditentukan oleh faktor genetik dan epigenetik (Larkin dan Scorwcorft, 1981; Kaeppler et al. 2000).

Variasi genetik dalam

kultur in vitro terutama terlihat pada variasi sitologi meliputi perubahan ploidi dan patah kromosom, mutasi gen tunggal meliputi perubahan basa dan aktifasi atau inaktifasi gen. Variasi epigenetik adalah perubahan ekspresi gen yang dapat diturunkan secara somatik atau meitotik tetapi berpotensi dapat kembali normal (dapat balik) dan tidak menyebabkan modifikasi sekuen DNA (Kaeppler et al. 2000). Contoh variasi epigenetik adalah tanaman padi mutan kerdil diperlakukan dengan inhibitor metilasi DNA (5-deoxyozacytidine) kembali menjadi tanaman normal (Oono, 1985 dalam Kaeppler et al. 2000).

Variasi somaklonal dapat

dilihat dengan adanya ketidaknormalan sitologi, frekuensi mutasi feno tipe, perubahan sekuen DNA dan aktifasi dan silencing gen (Kaeppler et al. 2000). Untuk mengevaluasi variasi somaklonal dengan baik diperlukan beberapa pendekatan yaitu melalui pengamatan karakter morfologi, sitologi dan molekuler karena penggunaan marker molekuler saja tidak efisien. Banyak teknik molekuler telah dikembangkan untuk menilai keragaman genetik, diantaranya analisis isozim dan RAPD.

Dengan mengkombinasikan pengamatan karakter morfologi dan

molekuler maka kelemahan masing- masing karakter dapat dieliminasi sehingga didapatkan hasil evaluasi variasi yang akurat. Isozim tidak dapat digunakan untuk membedakan antar kultivar Citrus (Roose, 1988) sedangkan Deng et al. (1995) dengan menggunakan RAPD dapat membedakan tanaman lemon mutan dengan

45

tanaman normal. Pada tanaman bit gula, analisis RAPD dengan 5 primer terhadap 120 tanaman regeneran dari tunas adventif in vitro dari eksplan daun genotipe tunggal bit gula didapatkan variasi 3 dari 5 607 pita (0,05%) (Munthali et al. 1996). Sementara Shoyama et al. (1997) melaporkan produk amplifikasi dengan 21 primer menunjukkan pita monomorfik pada seluruh plantlet Panax notoginseng (17 tanaman) yang diregenerasi melalui embriogenesis dan tanaman asal. 1

Tujuan penelitian adalah:

Mempelajari pengaruh BAP SK 1 terhadap multiplikasi, kualitas buah dan kestabilan genetik tanaman regeneran berdasarkan karakter morfologi, isozim dan RAPD

2 Mempelajari pengaruh BAP SK 2 terhadap

multiplikasi dan kestabilan

genetik tanaman regeneran berdasarkan karakter morfologi dan RAPD 3 Mempelajari pengaruh BAP SK 3 terhadap

multiplikasi

dan kestabilan

genetik tanaman regeneran berdasarkan karakter morfologi dan RAPD

4.2. Bahan dan Metode 4.2.1. Bahan Tanam Bahan tanam yang digunakan adalah mahkota buah nenas kultivar Queen klon Bogor yang sudah masak (1/3 bagian buah berwarna kuning). Buah nenas berasal dari kebun petani di Ciapus Bogor.

4.2.2. Metode Penelitian Penelitian terdiri atas beberapa tahap dimulai dari perbanyakan in vitro tanaman nenas di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika IPB, aklimatisasi dan penanaman bibit hasil perbanyakan in vitro di Kebun Percobaan Tajur.

Penelitian dimulai Juli 2002 sampai Maret 2005.

Pengamatan yang dilakukan pada plantlet di laboratorium adalah pengamatan morfologi dan anatomi. Pengamatan yang dilakukan pada tanaman di lapangan adalah pengamatan morfologi fase vegetatif, generatif dan mutu buah. Pada tanaman di lapangan juga dilakukan analisis isozim di Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB dan analisis RAPD di Laboratorium Molekuler Pusat Kajian Buah-buahan Tropika IPB. Penelitian terdiri atas 3 percobaan yaitu:

46

1

Pengaruh

BAP SK 1 terhadap

multiplikasi, kualitas buah dan

kestabilan genetik tanaman regeneran berdasarkan karakter morfologi, isozim dan RAPD 2 Pengaruh BAP SK 2 terhadap

multiplikasi dan kestabilan genetik

tanaman regeneran berdasarkan karakter morfologi dan RAPD 3 Pengaruh BAP SK 3 terhadap

multiplikasi dan kestabilan genetik

tanaman regeneran berdasarkan karakter morfologi dan RAPD Keterkaitan diantara 3 percobaan di atas dapat dilihat pada Gambar 17.

Mata tunas aksilar Mahkota buah

Media MS0 SK 1 Media BAP

Pengakaran

Aklimatisasi

Lapangan

SK 2 Media BAP

Pengamatan: • In vitro • Anatomi • Morfologi • Isozim • RAPD

SK 3 Madia BAP

Gambar 17 Alur kegiatan perbanyakan in vitro nenas kultivar Queen

4.2.3.

Pengaruh BAP SK 1 terhadap Multiplikasi, Kualitas Buah dan Kestabilan Genetik Tanaman Regeneran Berdasarkan Karakter Morfologi, Isozim dan RAPD

4.2.3.1.

Perbanyakan In Vitro Nenas kultivar Queen. Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)

dengan satu faktor yaitu konsentrasi BAP: 0; 2,22; 4,44 ; 8,88 dan 17,76 µM. Media yang digunakan adalah MS+1,61 µM NAA, sedangkan untuk BAP 0 µM adalah MS tanpa ZPT (MS0). Setiap perlakuan terdiri dari 2 botol dan diulang 20 kali.

Ulanga n berdasarkan asal mahkota buah nenas.

47

Sebagai pembanding

digunakan media MS0 dan data yang didapat tidak diolah bersama data perlakuan BAP. Bahan tanam yang digunakan adalah tunas dari mata tunas aksilar mahkota yang diinisiasi pada media MS0 umur 4 minggu. Tunas dipotong secara vertikal dan dibelah secara horizontal dan diusahakan bagian pangkalnya tidak terpotong. Tunas ditanam dalam media mengandung BAP sesuai perlakuan selama 11 minggu selanjutnya tunas yang terbentuk separuh ditanam dalam media akar (MS + 0,45 µM NAA) selama 7 minggu dan diaklimatisasi. Separuh tunas sisanya disubkultur ke media BAP untuk percobaan 4.2.4. Aklimatisasi dilakukan dengan mengeluarkan plantlet dari botol kultur, kemudian dicuci untuk menghilangkan agar yang melekat. Selanjutnya plantlet ditanam dalam gelas plastik berisi media campuran pasir dan kompos dengan perbandingan 1:3. Plantlet dipelihara dalam rumah kaca dengan naungan paranet 75% selama 3 bulan kemudian dipindah ke polibag dan diletakkan di tempat terbuka selama 4 bulan. Peubah yang diamati pada saat in vitro adalah: jumlah tunas dalam media BAP, jumlah tunas, persentase tunas berakar dalam media pengakaran (MA), anatomi plantlet dan pada saat aklimatisasi jumlah plantlet, jumlah akar, panjang akar terpanjang dari 5 plantlet dan macam varian ya ng muncul.

4.2.3.2. Penanaman Tanaman di Lapangan. Tanaman regeneran ditanam di lapangan untuk diamati kualitas buah dan kestabilan morfologinya. Percobaan menggunakan RKLT dengan satu faktor yaitu konsentrasi BAP: 0; 2,22; 4,44 ; 8,88 dan 17,76 µM. Bibit hasil SK 1 berumur 7 bulan ditanam di lapangan dengan 16 ulangan. Jumlah tanaman contoh yang diamati tiap ulangan adalah 44 tanaman. Total tanaman yang diamati adalah 734 tanaman

perlakuan BAP dan 30 tanaman kontrol.

Jarak tanam yang

digunakan adalah 60 cm x 30 cm dan bibit ditanam 1 tanaman/lubang. Pemupukan dilakukan setiap 3 bulan sebanyak 4 kali dengan dosis total 900 kg/ha Urea, 400 kg/ha TSP dan 900 kg/ha KCl. Pengendalian hama dilakukan dengan pemberian furadan pada saat tanam, dan curacron setiap 3 bulan. Pada umur 11 bulan tanaman hasil perbanyakan SK 1 diinduksi dengan campuran 1 ml/l ethrel dan 20 g/l urea.

Campuran tersebut disiramkan pada pucuk tanaman

sebanyak 50 ml/tanaman.

48

Peubah yang diamati pada fase vegetatif dimulai pada umur 12 MST adalah : 1

Tinggi tanaman (cm): diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi yang ditangkupkan ke atas.

2

Diameter tanaman (cm): diukur dengan mengukur garis tengah tanaman

3

Panjang daun (cm): diukur dari pangkal daun sampai ujung dari daun yang terpanjang

4

Lebar daun (cm): diukur bagian daun terlebar dari daun yang terpanjang

5

Jumlah daun: dihitung banyaknya daun yang ada kecuali 1 lembar daun yang termuda yaitu daun yang terakhir muncul

6

Tanaman menghasilkan anakan (%): tanaman yang menghasilkan anakan X 100% jumlah tanaman yang hidup

7 Jumlah anakan: dihitung banyaknya anakan dari tanaman yang menghasilkan anakan 8

Macam dan jumlah variasi yang muncul

Pengamatan pada saat panen dilakukan sebanyak 4 ulangan dengan jumlah tanaman 8-20 tanaman untuk setiap perlakuan. Peubah yang diamati pada fase generatif dan panen adalah: 1

Tanaman berbuah (%) : tanaman yang berbuah

X 100 %

tanaman yang hidup 2

Jumlah anakan: anakan dihitung secara terpisah antara tunas anakan (sucker), tunas samping (shoot), tunas tangkai buah (slip) per tanaman

3 Jumlah daun: daun yang masih berwarna hijau ketika buah dipanen 4

Bobot mahkota (g): mahkota dilepas dari buah dan ditimbang

5

Bobot buah (g): buah tanpa mahkota ditimbang

6

Panjang buah (cm): diukur dari bagian pangkal buah sampai ujung setelah dibuang mahkotanya

49

7

Panjang mahkota (cm): diukur dari bagian pangkal mahkota sampai ujung daun mahkota

8

Panjang tangkai buah (cm): diukur dari pangkal buah sampai daun bendera

9

Diameter tangkai buah (cm): diukur pada bagian tengah dari tangkai buah

10 Diameter buah (cm): diukur keliling buah selanjutnya dikonversi menjadi diameter buah 11 Diameter hati (cm): diukur pada bagian tengah hati dari buah yang telah dibelah horizontal 12 Tebal daging buah (cm): diukur pada bagian tengah buah dari buah yang telah dibelah horizontal 13 Kedalaman mata (cm): diukur di tiga tempat dari buah yang telah dibelah horizontal 14 pH buah: buah diperas dan cairannya diukur dengan pH meter 15 Padatan Terlarut Total: cairan buah diteteskan pada refraktometer dan dibaca nilainya (Brix) Tingkat kehomogenan data diuji dengan uji Barlet. Data yang diperoleh diuji dengan uji F dan bila berpengaruh nyata pada taraf 5% dilakukan uji lanjut dengan duncan multiple range test (DMRT).

4.2.3.3. Analisis Isozim Langkah kerja dalam analisis isozim meliputi pembuatan larutan penyangga (buffer), pembuatan gel, ekstraksi enzim, running dan pewarnaan. Larutan penyangga ada 2 macam yaitu penyangga gel dan penyangga elektroda (Tabel 9). Penyangga elektroda bisa dipakai maksimal 3 kali elektroforesis. Pembuatan gel pati.

Sebelum digunakan cetakan gel diolesi dengan

parafin cair untuk mempermudah melepas gel. Pati 10% dan larutan penyangga gel dimasukkan ke labuh didih, selanjutnya labu didih dimasukkan dalam penangas air yang mendidih sambil terus diputar-putar sampai gel matang secara merata (±10 menit). Gel segera divakum selama 10 menit kemudian dituang dalam cetakan dan dibiarkan sampai dingin pada suhu kamar untuk digunakan.

50

Tabel 9 Bahan-bahan kimia larutan penyangga dalam analisis isozim Penyangga

Bahan

Jumlah

Gel

L-histidin pH 6

5 mM

Elektroda

Asam sitrat monohidrat Tris pH 6

Ekstraksi

Tris-HCl buffer pH 7,5 sukrosa (w/v) PVP-40 (w/v) merkaptoetanol (0,1% v/v) asam askorbat dietilditiokarbamat bovine serum albumin.

50 mM 150 mM 7,5 mM 5% 5% 14 mM 50 mM 10 mM 0,1%

Ekstraksi enzim. Masing- masing perlakuan diambil 4 tanaman hasil perbanyakan in vitro dan dieskstraksi secara terpisah.

Pada saat analisis

dilakukan dengan mencampur 4 ekstrak enzim dari masing- masing perlakuan. Analisis isozim hanya pada populasi tanaman hasil SK 1. Bahan yang dianalisis adalah daun ke-4

dari tanaman nenas berumur 11 bulan setelah ditanam di

lapangan, bagian pangkal daun yang berwarna putih dipotong, dicuci dan dimasukkan ke dalam plastik. Sampel dibawa ke laboratorium dengan termos es berisi es batu untuk menjaga kesegarannya. Daun sebanyak 0,8-1,0 g dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam mortal yang dikelilingi es batu, kemudian ditambahkan 1,2 ml buffer ekstrak moderat (Tabel 9). Sampel digerus sampai halus dan dimasukkan ke dalam tabung ependorf 1,5 ml, selanjutnya disentrifuse selama 10 menit pada suhu 5 o C pada 12 000 rpm. Supernatan diambil dengan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung ependorf dan disimpan dalam freezer. Elektroforesis sampel.

Kertas saring dengan ukuran sesuai sumur

dicelupkan ke ekstrak sampel dan diselipkan ke sumur gel dan sebagai kontrol mobilitas elektroforesis digunakan bromfenol biru. Gel ditutup dengan plastik dan selanjunya dielektroforesis selama 5 jam dengan kuat arus konstan sebesar 18 mA. Pewarnaan.

Kertas saring yang ada di sumur dibuang dan gel diiris

secara horizontal menjadi 2 potongan untuk pewarnaan 2 macam enzim. Larutan

51

pewarna untuk isozim tertentu bersifat spesifik dan harus baru.

Metode

pewarnaan mengikuti metode Wendel dan Weeden (1989), sedangkan bahanbahan yang digunakan tercantum pada Lampiran 4. Sistem enzim yang dianalisis adalah peroksidase (PER), malat dehidrogenase (MDH), alkohol dehidrogenase (ADH), aspartat aminotransferase (AAT), esterase (EST), asam fosfatase (ACP).

4.2.3.4. Analisis RAPD Isolasi DNA. Isolasi DNA menggunakan metode CTAB Doyle dan Doyle (1987). Bahan yang dianalisis adalah daun ke 4 dari tanaman hasil perbanyakan in vitro (Gambar 18) diambil bagian pangkalnya sebanyak 0,5 g dan dipotong

A

Gambar 18

B

Daun tanaman normal (A) dan daun tanaman variegata (B) untuk analisis RAPD dan isozim

kecil-kecil. Tanaman hasil SK 1 berumur 10 bulan setelah tanam di lapangan, SK 2 berumur 3 bulan dan SK 3 berumur 8 bulan. Masing- masing perlakuan terdiri dari 4 tanaman. Potongan daun dimasukkan ke mortal, lalu ditambah PVPP dan nitrogen cair dan d igerus sampai halus. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang telah berisi 600 µl larutan buffer ekstrak CTAB (2% w/v CTAB, 1 M Tris-HCl pH 8, 0,5 M EDTA pH 8, 5 M NaCl dan 1% v/v mercaptoethanol), campuran dikocok kemudian dipanaskan dalam pemanas air selama 30 menit pada suhu 65 o C. Campuran dibiarkan hingga mencapai suhu kamar lalu ditambahkan 600 µl larutan kloroform : isoamilalkohol (24:1) dan dikocok. Campuran disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 12 000 rpm. Supernatan dipipet ke dalam tabung baru dan ditambahkan isopropanol dingin dengan volume yang sama dan disimpan dalam freezer selama 60 menit atau

52

semalam.

Camp uran dicairkan pada suhu kamar dan disentrifuse

selama

15 menit dengan kecepatan 12 000 rpm. Cairan dibuang dengan hati- hati dan pellet ditambah etanol 70% dingin sebanyak 100 µl dan disentrifuse selama 5 menit dengan 12 000 rpm. Cairan dibuang dan pellet dikeringkan dengan cara membalikkan tabung. Pellet yang telah kering ditambahkan 100 µl air bebas ion dan dikocok hingga larut. Pemurnian DNA.

Pemurnian DNA menggunakan metode Sambrook

et al. (1989). Larutan DNA ditambah 1 µl RNAase dan dibiarkan pada suhu kamar selama 2 jam, lalu ditambahkan fenol kloroform isoamilalkohol dingin sebanyak 100 µl dan disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 12 000 rpm. Supernatan dipipet ke dalam tabung baru dan

ditambahkan kloroform

isoamilalkohol dengan volume yang sama, selanjutnya disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 12 000 rpm. Supernatan dipipet ke dalam tabung baru kemudian ditambahkan natrium asetat 3 M pH 5,2 sebanyak 1/10 volume dan isopropanol dingin sebanyak 2,5 volume. Larutan dikocok hingga homogen dan disimpan dalam freezer 60 menit atau semalam. Larutan disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 12 000 rpm, pellet yang diperoleh ditambah etanol 70% sebanyak 100 µl dan disentrifuse selama 5 menit dengan 12 000 rpm. Cairan dibuang dan pellet dikeringkan dengan cara membalikkan tabung. Pellet yang telah kering ditambahkan 100 µl air bebas ion dan dikocok hingga larut. Uji kualitas DNA dengan gel agarose. Gel agarose 0,8% dibuat dengan mencampur 0,32 g agarose dan 40 ml larutan TAE 1x, kemudian dipanaskan sampai mendidih. Larutan dibiarkan agak dingin dan dituang ke dalam cetakan gel yang telah disiapkan posisi sisirnya. Gel dibiarkan memadat selama 1 jam. Hasil ekstraksi DNA sebanyak 5 µl dicampur dengan 1 µl Loading dye dimasukkan ke dalam sumur gel.

Elektroforesis dilakukan dengan alat

elektroforesis pada 100 volt selama 30 menit.

Gel yang telah selesai

dieletroforesis direndam dalam larutan ethidium bromida 0,1% dan dibilas dengan air selanjutnya pita DNA dilihat pada UV transiluminator. Uji kuantitas dengan spektrofotometri. Larutan DNA sebanyak 20 µl dimasukkan ke kuvet dan ditambahkan 1900 µl aquades steril. Larutan diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm.

53

Kepadatan

optik (OD) 260 menunjukkan penyerapan sinar uv oleh nukleotida, sedangkan OD 280 menunjukkan penyerapan sinar uv oleh protein. Molekul DNA dikatakan murni jika rasio OD 260 terhadap 280 berkisar antara 1,8-2,0 (Sulandari dan Zein, 2003).

Konsentrasi DNA untai ganda dihitung dengan menggunakan

rumus: [DNA] (µg/ml) = A260 x 50 x Faktor pengenceran

Amplifikasi RAPD dengan PCR. DNA yang dianalisis merupakan DNA campuran dari 4 tanaman untuk masing- masing perlakuan. Primer yang digunakan adalah OPE 7, OPE 11, OPG 2 dan SBA 8. Campuran bahan PCR sebanyak 25 µl terdiri dari 2 µl (konsentrasi 25 ng), 16,77 µl air bebas ion, 2 µl MgCl2 , 2,5 µl buffer bebas MgCl2 , 0,6 µl dNTP, 0,13 µl Tag polimerase, 1 µl primer dimasukkan ke dalam tabung PCR dan ditambahkan 15 µl mineral oil. Campuran divortek dan dimasukkan ke mesin PCR ASTEC Thermal Cycler PC 707 dengan program sebagai berikut: (inisiasi denaturasi selama 1,5 menit pada suhu 94 o C, amplifikasi 40 siklus masing- masing terdiri dari 0,5 menit pada 94 o C, 1 menit 36 o C, 2 menit pada 72 o C, dan terakhir stop PCR selama 4 menit pada 72 o C). Hasil amplifikasi dilihat dengan elektroforesis. Pelaksanaan elektroforesis hasil PCR sama dengan proses pengujian kualitas DNA, namun konsentrasi gel agarosenya 1,2-1,5% dan perbandingan DNA hasil PCR: Loading dye adalah 10:2.

Hasil elektoforesis divisualisasikan di atas uv transluminator dan

didokumentasikan dengan kamera dan ditransfer ke disket.

4.2.4. Pengaruh BAP SK 2 terhadap Multiplikasi dan Kestabilan Genetik Tanaman Regeneran Berdasarkan Karakter Morfologi dan RAPD Percobaan menggunakan RKLT dengan satu faktor yaitu konsentrasi BAP: 0; 2,22; 4,44; 8,88 dan 17,76 µM. diulang 6 kali.

Setiap perlakuan terdiri dari 2 botol dan

Bahan tanam yang digunakan adalah tunas in vitro yang berasal

dari media BAP SK 1 umur 11 minggu. Jumlah tanaman per botol pada setiap perlakuan tidak sama ya itu berkisar antara 7-14 tunas/botol. Plantlet ditanam dalam media BAP SK 2 selama 12 minggu kemudian dipindah ke media akar MS+0,54 µM NAA selama 10 minggu selanjutnya plantlet diaklimatisasi.

54

Bibit berumur 5,5 bulan ditanam di lapangan dengan 3 ulangan. Jumlah tanaman contoh yang diamati tiap perlakuan

adalah 20 tanaman. Rancangan

percobaan yang digunakan dan cara penanaman sama seperti pada percobaan 4.2.3. Pengamatan peubah pada saat in vitro dan tanaman di lapangan sama seperti pada percobaan 4.2.3. Karakter morfologi yang diamati di lapangan hanya sampai fase vegetatif.

4.2.5. Pengaruh BAP SK 3 terhadap Multiplikasi dan Kestabilan Genetik Tanaman Regeneran Berdasarkan Karakter Morfologi dan RAPD Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan satu faktor yaitu konsentrasi BAP: 0; 2,22; 4,44; 8,88 dan 17,76 µM.

Setiap

perlakuan terdiri dari 2 botol dan diulang 6 kali. Bahan tanam yang digunakan adalah tunas in vitro yang berasal dari media BAP SK 2 umur 12 minggu, kemudian disubkultur pada media BAP yang sama. Jumlah tanaman per botol pada setiap perlakuan adalah 5. Plantlet ditanam dalam media BAP SK 3 selama 16 minggu kemudian dipindah ke media akar MS + 0,54 µM NAA selama 14 minggu selanjutnya plantlet diaklimatisasi. Bibit berumur 2,5 bulan ditanam di lapangan dengan 6 ulangan. Jumlah tanaman contoh yang diamati tiap perlakuan adalah 12 tanaman. Rancangan percobaan yang digunakan dan cara penanaman sama seperti pada percobaan 4.2.3. Pengamatan peubah pada plantlet in vitro dan tanaman di lapangan sama seperti pada percobaan 4.2.3.

Karakter morfologi yang diamati di lapangan

hanya sampai fase vegetatif.

4.3.

Hasil

4.3.1. Regenerasi dan Multiplikasi pada SK 1. Eksplan memberikan respon dengan

membentuk

terhadap

perlakuan ZPT dalam media

sel yang meristematik atau embriogenik yang disebut

diferensiasi. Pada saat sel mengalami diferensiasi terjadi pembelahan sel yang sangat cepat karena adanya ZPT terutama sitokinin.

Sel dapat dipertahankan

pada fase diferensiasi melalui subkultur berulang pada media

yang sama

(Schwarz et al. 2005). Apabila eksplan mempunyai titik tumbuh dengan sel-sel

55

meristematis ditanam dalam media regenerasi yang tepat, maka sel tersebut dapat langsung beregenerasi membentuk tunas (Zhang dan Lemaux, 2005).

Sitokinin

bersama-sama auksin sangat berperan dalam pembentukan tunas (Mattjik, 2005). Eksplan sangat responsif dan langsung beregenerasi membentuk tunas dalam media mengandung 2,22-17,76 µM BAP. Penambahan 2,22 µM BAP menghasilkan tunas berukuran besar sementara penambahan 17,76 µM BAP menghasilkan tunas berukuran kecil dan kompak (Gambar 19). Eksplan dalam media BAP 2,22-17,76 µM menghasilkan 7-13 tunas/eksplan pada umur 8 MST dan tunas tersebut meningkat menjadi 13-26 tunas/eksplan pada umur 11 MST.

17,76 µM

8,88 µM

4,44 µM

2,22 µM

Gambar 19 Tunas yang tumbuh dalam media media BAP SK 1

Eksplan menunjukkan respon yang tinggi karena berasal dari mata tunas aksilar mahkota buah in vitro umur 4 minggu yang mempunyai titik tumbuh dengan selsel meristematis. Perlakuan BAP 8,88 µM menghasilkan tunas terbanyak yaitu 26,3 tunas, bila konsentrasi BAP ditingkatkan menjadi 17,76 µM jumlah tunas akan menurun. Jumlah tunas akibat perlakuan BAP 8,88 µM tidak berbeda nyata dengan BAP konsentrasi 4,44 µM, dan bila dibandingkan dengan kontrol maka penambahan BAP 8,88 µM dapat meningkatkan jumlah tunas 5,7 kali (Tabel 10). Sementara Imelda dan Erlyandari (2000) melaporkan dengan menggunakan nenas kultivar Queen klon Bogor pada umur 2 bulan dihasilkan 9 tunas dengan 4,44 µM BAP dan bila konsentrasi BAP ditingkatkan menjadi 8,88 µM BAP jumlah tunas turun menjadi 2. Imelda dan Erlyandari (2000) menginduksi eksplan

56

langsung ke media yang mengandung BAP, sedangkan pada percobaan ini eksplan berasal dari tunas yang tumbuh pada media inisiasi.

Prahardini et al.

(1995) dengan menambahkan 8 mg/l BA dan 0,5 mg/l GA3 pada media MS mendapatkan 9 tunas in vitro nenas Queen Blitar pada umur 5 bulan. Berdasarkan laporan

tersebut, berarti pada kultivar yang sama namun beda lokasi dan

perbedaan ZPT serta cara kerja didapatkan hasil perbanyakan tunas yang berbedabeda. Tabel 10 Jumlah tunas dalam media BAP SK1 dan media akar Konsentrasi BAP (µM )

2,22 4,44 8,88 17,76 Kontrol

Media BAP

Media akar

J. tunas 8 MST

J. tunas 11 MST

J. tunas 0 MST

7,1 10,7 12,8 10,8

13,4 21,9 26,3 22,4

6,1 10,0 11,7 10,9

c b a b

2,3

c b a b

c b a ab

Tunas besar 7 MST 6,0 11,3 13,9 13,8

c b a a

Tunas kecil 7 MST 3,3 8,2 16,8 20,4

d c b a

Tunas total 7 MST 9,8 19,5 30,9 34,2

c b a a

4,6

Keterangan: Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5% Jumlah tunas dalam media akar lebih sedikit dibandingkan jumlah tunas pada media BAP umur 11 bulan karena hanya separuh tunas yang dipindahkan ke media akar (Tabel 10). Tunas yang berasal dari perlakuan 8,88-17,76 µM BAP mampu menghasilkan tunas kembali sehingga jumlah tunas meningkat 3 kali lipat, sementara pada perlakuan BAP 2,22-4,44 µM

peningkatannya lebih

rendah. Peningkatan jumlah tunas ini diduga disebabkan oleh pengaruh BAP yang masih terbawa plantlet selama dalam media akar. Perlakuan kontrol tidak dipindah ke media akar karena selama dalam media MS0 pada umur 2 bulan sudah membentuk akar. Menurut Mattjik (2005), eksplan yang telah mengalami organogenesis membentuk tunas

akan disusul oleh pertumbuhan akar, sehingga terbentuk

tanaman secara utuh.

Dengan demikian tunas tersebut tidak

perlu diinduksi

dalam media pengakaran. Dalam penelitian ini, penambahan BAP 8,88-17,76 µM menyebabkan tunas tidak berakar, sedangkan

pada konsentrasi 2,22 µM BAP

tunas berakar sebanyak 41,6% dan pada konsentrasi 4,44 µM BAP tunas berakar

57

22,2%.

Oleh karena itu, perlu dilakukan induksi

akar dalam

media

MS+0,54 µM NAA. Pemindahan planlet ke media akar akan meningkatkan planlet berakar mencapai 90-99% untuk perlakuan 2,22-8,88 µM BAP sedangkan pada perlakuan 17,76 µM planlet yang berakar lebih sedikit yaitu 62,29% (Tabel 11). Hasil tetrsebut menunjukkan bahwa BAP lebih dari 8,88 µM menyebabkan perpanjangan tunas terhambat dan tidak berakar. Hal ini sesuai dengan pendapat Costa dan Dolan (2000) bahwa sitokinin yang tinggi akan menyebabkan perpanjangan tunas terhambat dan sulit berakar.

Pada tanaman lentil

(Lens culinaris) planlet yang berasal dari media mengandung 1,25 µM BAP atau 1,25 µM TDZ tidak membentuk akar pada saat disubkultur ke media MS tanpa ZPT (Fratini dan Ruiz, 2002). Pada penelitian ini planlet nenas yang berasal dari media mengandung 8,88 dan 17,76 µM BAP yang semula tidak berakar setelah disubkultur ke media akar MS+0,54 µM NAA dapat berakar. Jumlah akar dan panjang akar sangat dipengaruhi oleh konsentrasi BAP. Jumlah akar meningkat pada konsentrasi 2,22-4,44 µM BAP dibandingkan kontrol, tetapi pada konsentrasi 8,88-17,76 µM jumlah akar menurun. Jumlah daun semakin sedikit dengan meningkatnya konsentrasi BAP.

Penambahan 2,22-17,76 µM BAP

mengurangi panjang akar dibandingkan kontrol (MS tanpa ZPT) semakin tinggi konsentrasi BAP akar semakin pendek (Tabel 11).

Tabel 11 Pengaruh BAP SK 1 terhadap jumlah daun , jumlah akar, panjang akar dan tunas berakar Konsentrasi BAP (µM )

Saat aklimatisasi Jumlah daun

2,22 4,44 8,88 17,76

9,33 8,85 8,50 8,18

0 (Kontrol)

8,26

a ab bc c

Jumlah akar 3,55 3,10 2,47 2,15

Panjang akar (mm)

a b c c

19,22 a 19,30 a 14,34 b

2,24

Media BAP Tunas berakar (%)

10,19 c

98,61 98,98 90,60 62,29

33,67

98,97

a a a b

Tunas berakar (%) 41,6 22,2 0 0

a a a b

Keterangan: Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5%

58

4.3.2. Karakter Morfologi Tanaman Nenas Regeneran di Lapangan Perlakuan BAP pada SK 1 masih berpengaruh terhadap tanaman di lapangan pada fase vegetatif sampai umur 44 MST (Gambar 20). Tanaman yang berasal dari perlakuan BAP 2,22-4,44 µM mempunyai diamater tajuk, tinggi tanaman, panjang, lebar dan jumlah daun yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan BAP 8,88-17,76 µM. Penambahan BAP lebih dari 8,88 µM dapat menekan pertumbuhan vegetatif tanaman sehingga diameter tajuk dan tinggi tanaman, jumlah daun lebih sedikit, ukuran daun lebih kecil. Berdasarkan uji Barlet terhadap 4 karakter tersebut pada umur 44 MST tidak berbeda nyata, artinya keempat karakter tersebut seragam untuk masing- masing perlakuan BAP walaupun antar konsentrasi BAP berbeda. Tanaman mulai menghasilkan anakan pada umur 12 MST. Kemampuan tanaman menghasilkan anakan dipengaruhi BAP, yaitu semakin tinggi BAP persentase tanaman yang menghasilkan anakan semakin sedikit, demikian pula jumlah anakannya (Tabel 12).

Tabel 12 Pengaruh BAP SK 1 terhadap tanaman menghasilkan anakan dan jumlah anakan per tanaman Umur (MST)

12 15 21 27 33

Tanaman menghasilkan anakan (%)

Jumlah anakan/tanaman

Konsentrasi BAP (µM)

Konsentrasi BAP (µM)

2,22 2,33 3,88 16,28 60,94 69,53

4,44 1,23 3,09 13,13 65,00 72,50

8,88 1,98 2,54 9,74 45,88 57,51

17,76 1,60 2,55 3,79 29,48 41,04

2,22 1,00 1,00 1,45 4,98 6,89

4,44 1,00 1,00 1,18 3,59 6,98

8,88 1,30 1,20 1,32 3,52 5,80

17,76 1,00 1,00 1,20 2,04 4,23

Pada beberapa tanaman hasil perbanyakan in vitro mengalami perubahan genetik yang menyebabkan adanya variasi morfologi dan biokimia yang dikenal sebagai variasi somaklonal (Larkin dan Scowcroft, 1981). Pada penelitian ini, variasi yang muncul saat aklimatisasi adalah 2 tanaman variegata dan 1 tanaman roset dari 1200 tanaman (0,25%). Variasi di lapangan pada umur 33 MST adalah variegata daun, tanaman roset dan tanaman dengan lapisan lilin yang tidak menutupi seluruh permukaan daun (Tabel 13, Gambar 10).

Varian roset bisa

menjadi tanaman normal ketika ditanam di lapangan. Tanaman variegata ada

59

100

Tinggi tanaman (cm)

Diameter tajuk (cm)

120

80 60 40 20 0 80 70 60 50 40 30 20 10 0 70

Panjang daun (cm)

2,22 4,44 8,88 17,76

2,22 4,44 8,88 17,76

12

15

21

27

33

44

60 50 40 30

2,22 4,44 8,88 17,76

20 10 0

60 Jumlah daun

50 40 30 2,22 4,44 8,88 17,76

20 10 0 12

15

21 27 Umur (MST)

33

44

Gambar 20 Pengaruh BAP pada subkultur 1 terhadap diameter tajuk (A), tinggi tanaman (B), panjang daun (C) dan jumlah daun (D) di Lapangan

60

Tabel 13 Variasi tanaman nenas asal perbanyakan in vitro SK 1 pada 33 MST di lapangan Konsentrasi BAP (µM) 4,44 µM 8,88 µM 17,76 µM

Macam variasi Roset, variegata Roset, variegata Roset, variegata, lapisan lilin

Frekuensi variasi (%) 1.53 (3/196) 1,17 (4/343) 0,63 (4/633)

yang menjadi normal dan ada yang tetap variegata sampai menghasilkan buah atau sebaliknya, pada saat aklimatisasi normal ketika ditanam di lapangan menjadi variegata. Tanaman dengan 1-2 daun variegata (Gambar 10E) akan menjadi normal seiring dengan pertumbuhan tanaman, tetapi bila seluruh daun variegata maka variegata akan terus terbawa sampai tanaman berbuah (Gambar 21A). Anakan yang dihasilkan sebagian normal dan sebagian variegata (Gambar 21B). Tanaman regeneran yang berasal dari perlakuan tanpa ZPT dan 2,22 µM BAP tidak menunjukkan adanya variasi.

Hal ini menunjukkan penambahan BAP

0-2,22 µM tidak menginduksi munculnya variasi.

A

B

Gambar 21 Tanaman variegata pada fase generatif (A), anakan yang dihasilkan dari tanaman variegata (B) 4.3.3. Hasil, Mutu Fisik dan Kimiawi Buah Nenas Tanaman Regeneran SK 1 Tanaman nenas kultivar Queen klon Bogor asal kultur in vitro mulai berbunga (hanya satu tanaman) umur 11 bulan setelah tanam (BST) di lapangan atau 18 bulan sejak aklimatisasi. Pada umur 11 BST tanaman diinduksi dengan

61

etepon untuk pembentukan bunga, 40 hari kemudian 80% dari populasi yang ada telah berbunga. Pada umur 15 BST atau 23 bulan setelah aklimatisasi buah pertama dipanen. Tabel 14 menunjukkan bahwa pengaruh BAP pada SK 1 tetap terjadi sampai tanaman menjelang panen bahkan terhadap kualitas buah yang dipanen (Tabel 15). Tanaman asal perlakuan 2,22-8,88 µM BAP mempunyai

Tabel 14 Pengaruh BAP terhadap beberapa karakter pada fase tanaman nenas umur 15 bulan BAP (µM) 2,22 4,44 8,88 17,76

Keterangan:

Tan hidup (%)

Tan berbuah (%)

Buah normal (%)

93,89 ab 96,28 a 95,63 a 89,47 b

90,00 a 88,08 a 87,33 a 75,00 b

81,80 a 71,16 ab 60,64 ab 47,87 b

Mahkota tdk normal (%) 1,49 b 4,06 a 4,06 a 2,35 ab

generatif

Buah kecil (%) 16,75 c 24,78 b 35,30 ab 49,78 a

Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5%

Tabel 15 Rekapitulasi nilai karakter morfologi dan kualitas buah tanaman hasil perbanyakan in vitro SK 1 Karakter Jumlah suckers Jumlah shoots Jumlah slips Jumlah tunas total Jumlah daun Bobot mahkota+buah (g) Bobot buah tanpa mahkota (g) Bobot mahkota (g) Panjang buah (cm) Panjang mahkota (cm) Panjang tangkai buah (cm) Diameter tangkai buah (cm) Diameter hati (cm) Tebal daging buah (cm) Kedalaman mata (cm) Diameter buah pangkal (cm) Diameter buah tengah (cm) Diameter buah ujung (cm) pH Padatan terlarut total (%)

2,22 19,3 a 17,2 a 1,9 a 38,1 a 33,8 a 823,3 a 635,6 a 194,3 a 11,3 a 18,5 a 16,4 a 2,2 a 2,2 a 3,4 a 1,3 a 8,9 a 9,7 a 8,4 a 3,96 a 18,5 a

Konsentrasi BAP (µM/l) 4,44 8,88 17,76 14,4 b 12,5 b 11,3 b 10,5 b 8,1 bc 5,9 c 2,1 a 1,3 bc 0,6 c 26,9 b 21,8 bc 17,8 c 30,1 b 28,3 bc 25,2 c 820,9 a 677,4 b 615,0 b 627,8 a 508,4 b 431,5 b 193,3 a 168,5 b 184,1 ab 11,2 a 10,0 ab 8,7 b 18,4 a 18,3 a 16,5 b 16,3 a 15,7 a 16,0 a 2,1 ab 2,0 ab 1,8 b 2,2 a 2,2 a 2,0 b 3,4 a 3,2 b 3,1 b 1,3 a 1,2 b 1,2 b 8,8 a 8,2 b 8,0 b 9,7a 9,3 ab 8,9 b 8,4 a 7,9 b 7,6 b 3,95 a 3,94 a 3,97 a 17,6 ab 17,2 b 17,2 b

Populasi di lapang* 3,3 4,7 1,0 9 36,1 635,7 509,2 126,4 11,0 18,7 18,2 1,4 1,6 3,2 0,9 7,3 8,8 6,5 3,6 13,1

Keterangan : Angka dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5% * Tanaman dari tempat asal (Data diambil dari Sari, 2002)

62

A

B

C

D

Gambar 22 Buah berukuran tidak normal (A,B,C) dan buah berukuran normal (D)

Gambar 23 Berbagai bentuk mahkota buah tidak normal

63

daya hidup

dan respon terhadap induksi pembungaan yang lebih tinggi

dibandingkan tanaman asal perlakuan BAP 17,76 µM. Persentase buah normal dan buah kecil pada tanaman yang berasal dari perlakuan 17,76 µM BAP hampir sama.

Buah dianggap normal bila mempunyai panjang lebih dari 8 cm dan

jumlah mahkota buah satu, sedangkan buah kecil mempunyai panjang kurang dari 8 cm (Gambar 22). Mahkota tidak normal adalah mahkota buah lebih dari satu dalam satu buah atau tidak ada mahkota (Gambar 23). Tanaman asal perlakuan 2,22 dan 4,44 µM BAP menghasilkan buah lebih berat, lebih panjang, diameter tangkai buah lebih besar, mata lebih dalam , diameter pangkal buah lebih besar, jumlah suckers, shoot, slip dan tunas total yang lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya dan tanaman di tempat asal (Tabel 15). Tanaman hasil in vitro dengan 2,22-8,88 µM BAP mempunyai 7 karakter: bobot buah dan mahkota, bobot buah tanpa mahkota, diameter tangkai buah, diameter buah pangkal, tengah, ujung dan padatan terlarut total lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman standar sedangkan dengan BAP 17,76 µM BAP ada 3 karakter yang lebih baik (diameter pangkal dan ujung buah, padatan terlarut total) sedangkan 11 lainnya sama atau lebih rendah (Tabel 15). Berdasarkan uji Barlet, semua karakter yang diamati pada saat panen (Tabel 15) seragam kecuali karakter bobot mahkota untuk masing- masing perlakuan BAP dengan konsentrasi 2,22-17,76 µM. 4.3.4. Analisis Isozim Pola pita isozim dapat mengalami perubahan, menurut Cohen 1974 dalam Kester (1983) perubahan dapat diinduksi oleh agen internal atau eksternal seperti fase perkembangan, hormon dan faktor lingkungan.

Mekanisme perubahan

genetik melibatkan transfer informasi dari gen ke enzim. Genkov dan Ivanova (1995) melaporkan sitokinin 4-PU-30 menyebabkan perubahan pola pita isozim peroksidase pada planlet Carnation. Hal ini terjadi karena sitokinin dapat memodifikasi reaksi sehingga dihasilkan hidrogen peroksida atau mempengaruhi aktifitas enzim peroksidase secara langsung. Tanaman intraklonal nenas Queen dan Panare tidak berbeda berdasarkan pita isozim PER dan PGM (De Wald et al. 1988).

Bahan tanam yang berbeda

menunjukkan persamaan pola pita

isozim PER dan MDH pada nenas kultivar Smooth Cayenne (Mustikarini, 2005).

64

Hasil penelitian ini menunjukkan tanaman regeneran nenas asal kultur in vitro mempunyai kesamaan pada level biokimia berdasarkan 4 sistem enzim yaitu PER, EST, ADH dan MDH (Gambar 24). Pola pita dari keempat enzim tersebut sama antara tanaman asal perlakuan BAP SK 1, tanaman varian variegata dan tanaman kontrol (MS0) asal in vitro dan tanaman dari tempat asal eksplan. Enzim ACP tidak menghasilkan pita sedangkan enzim AAT

menghasilkan

pita yang kurang jelas. Pada tanaman anggrek Phalaenopsis, enzim AAT dan PGM dapat digunakan untuk membedakan varian dan tanaman normal dari (Chen et al. 1998).

Analisis isozim dengan cara bulk (mencampur ekstrak enzim)

mempunyai kelemahan yaitu bila ada variasi berupa hilangnya pita tertentu maka tidak akan terdeteksi, tetapi bila variasi berupa munculnya pita tertentu dapat terdeteksi. Bila dengan cara bulk menunjukkan

adanya perbedaan pola pita

maka dilanjutkan analisis enzim untuk masing- masing tanaman secara terpisah.

ADH

1

2

3

4

EST

5

6

7

8

1

2

3

PER

1

2

3

4

4

5

6

7

8

MDH

5

6

7

8

1

2

3

4

5

6

7 8

Gambar 24 Pola pita isozim ADH, EST, PER, MDH 1. BAP 2,22 µ? 2. BAP 4,44 µ? 3. BAP 8,88 µ? 4. BAP 17,76 µ? 5. kontrol (? S0) 6. tanmn dr tempat asal 7. tanaman variegata 8. BAP 4,44 µ? daun segar

65

4.3.5. Analisis RAPD DNA yang diperoleh mempunyai nilai OD berkisar 1,4-2,0 dan nilai tersebut tergolong baik untuk analisis RAPD (Sulandari dan Zein, 2003). Amplifikasi fragmen didapatkan dengan menggunakan 4 primer yaitu OPE 7, SBA 8, OPG 2 dan OPE 11. Dengan menggunakan primer OPG 2 (Gambar 25B) didapatkan pola pita yang sama antara tanaman tanaman dari tempat asal, tanaman in vitro (dalam media MS0 dan BAP) dan tanaman variegata. Tanaman normal hasil perbanyakan in vitro dan tanaman dari tempat asal menunjukkan pola pita monomorfik dengan menggunakan primer OPE 7, tetapi tanaman variegata menghasilkan pola pita polimorfik (Gambar 25A). Tanaman variegata 6 dan 8 menunjukkan

pola

pita yang

sama

dengan

tanaman normal, sedangkan

tanaman variegata lainnya ada satu (v1, v2, v4, v5, v7) atau 2 pita (v3) yang hilang. Tanaman variegata akibat perlakuan in vitro secara morfologi berbeda dengan tanaman normal, sebagian tanaman variegata mengalami perubahan

A

M

1

OPE 7

2

3

4

5

6

M

v1 v2

B

M

1

Gambar 25

v3

v4

v5

v6

v7 v8

v5

v6

v7

OPG 2

2

3

4

5

6

M

v1

v2

v3

v4

v8

Pola pita RAPD dengan primer OPE 7 (A) dan OPG 2 (B) 1. BAP 2,22 µ? 2. BAP 4,44 µ? 3. BAP 8,88 µ? 4. BAP 17,76 µ? 5. kontrol (? S0) 6. Tanm dr tempat asal v1-v8 tanaman variegata

66

materi genetik dan sebagian tidak mengalami perubahan (pola pita sama dengan tanaman normal). Primer OPE 11 dan SBA 8 menghasilkan pita polimorfisme namun pita pada beberapa tanaman tidak konsisten dan kurang jelas sehingga kedua primer belum dapat digunakan untuk analisis kestabilan genetik tanaman nenas hasil perbanyakan in vitro SK 1.

4.3.6. Regenerasi dan Multiplikasi SK 2 Perlakuan 4,44-17,76 µM BAP sebagian besar eksplan membentuk kalus nodularar yaitu 79-92% dengan 3-4 nodular dan 60,9% untuk perlakuan 2,22 µM BAP dengan 2,5 nodular (Gambar 26). Dalam media BAP SK 2 multiplikasi tunas total cukup tinggi tetapi sebagian besar (lebih dari separuh) tunas berukuran kecil dan kurus karena mengalami etiolasi dan tidak layak dipindahkan ke media akar. Hal ini terjadi karena jumlah tanaman per botol pada saat tanam terlalu banyak dan jumlah tunas total/botol sangat padat (34-90 tunas) sehingga terjadi persaingan terhadap nutrisi dan cahaya (Tabel 16).

80

(%)

Eksplan bernodul

100

60 40 20 0 0

2,22

4,44 BAP

8,88

17,76

Gambar 26 Pengaruh BAP terhadap eksplan berkalus nodular umur 12 MST

pada SK 2

Pada media akar masih terjadi multiplikasi yang cukup tinggi terutama untuk perlakuan 8,88 µM BAP tetapi sebagian besar tunas yang terbentuk tidak layak diaklimatisasi karena ukuran kecil dan mengalami etiolasi. Pada perlakuan

67

Tabel 16 Pengaruh BAP pada SK 2 terhadap jumlah tunas umur 12 MST Konsentrasi BAP ( µM) 2,22 4,44 8,88 17,76

Tunas 0 MST 7,27 c 11,08 ab 13,08 a 10,08 b

Tunas besar /eksplan 12 MST 3,21 a 3,10 a 2,30 b 3,42 a

Tunas total /eksplan 12 MST 5,21 b 8,52 a 5,34 b 8,43 a

0 (kontrol)

Tunas total 12 MST 34,08 c 89,75 a 65,33 b 78,25 ab

Tunas besar 12 MST 19,67 b 30,42 a 27,50 ab 35,08 a

Tunas kecil 12 MST 14,42 c 59,17 a 37,83 b 45,92 ab

2,54

Keterangan: Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5%

Tabel 17 Konsentrasi BAP µM 2,22 4,44 8,88 17,76

Pengaruh BAP SK 2 pada media akar terhadap jumlah tunas umur 10 MST Jumlah tunas 0 MST 13,36 c 23,83 b 24,27 b 29,91 a

Multiplikasi 3,10 2,84 4,62 2,89

Jumlah tunas saat aklimatisasi (10 MST) Tunas total

Tunas besar

Tunas kecil

41,37 c 68,75 b 112,33 a 86,42 a

21,82 c 34,17 b 48,92 a 42,33 ab

19,55 c 34,58 bc 63,42 a 44,08 b

Keterangan: Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5% 2,22 µM BAP dihasilkan tunas besar lebih banyak dibandingkan tunas kecil sedangkan pada perlakuan yang lain tunas kecil sama atau lebih banyak dibanding tunas tunas besar (Tabel 17). Pada saat aklimatisasi jumlah daun plantlet yang berasal dari media MS0 (kontrol) dan perlakuan BAP tidak berbeda namun panjang akar plantlet dengan adanya BAP menjadi lebih panjang dibanding kontrol (Gambar 27A, 27C). Perlakuan 4,44-17,76 µM BAP menurunkan jumlah akar sedangkan penambahan 2,22 µM BAP mempunyai akar lebih banyak dibanding kontrol (Gambar 27B).

68

8

4

Jumlah akar

5

Jumlah daun

10

6 4 2 0

Panj akar (cm)

A

3 2 1 0

0

2,22

4,44 BAP

8,88

17,76

0

2,22

4,44 BAP

8,88

17,76

B

0

2,22

4,44 BAP

8,88

17,76

70 60 50 40 30 20 10 0

C

Gambar 27 Pengaruh BAP SK 2 terhadap jumlah daun (A), jumlah akar (B) dan panjang akar (C) saat aklimatisasi

4.3.7. Karakter Morfologi Tanaman Regene ran SK 2 di Lapangan Pada SK 2, perlakuan BAP memberikan berpengaruh sama terhadap karakter morfologi tanaman di lapangan. Tanaman yang berasal dari perlakuan 2,22-17,76 µM BAP mempunyai diameter tajuk, tinggi tanaman, jumlah, lebar, dan panjang daun tidak berbeda (Tabel 18). Penambahan BAP 2,22-17,76 µM menghasilkan

tanaman mempunyai anakan hanya sedikit yaitu 3,33-16,67%

dengan 1,0-2,3 anakan/tanaman pada umur 33MST (Tabel 18). Variasi yang muncul pada tanaman regeneran SK 2 adalah tanaman roset dan tanaman berdaun variegata.

Tanaman roset terdapat pada tanaman hasil

perlakuan 2,22 dan 17,76 µM BAP, sedangkan tanaman variegata hanya terdapat pada perlakuan 17,76 µM BAP (Tabel 19). Tanaman roset pada umur 33 MST telah berubah menjadi normal namun pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat dibandingkan tanaman yang tidak mengalami roset.

69

Tabel 18 Pengaruh BAP pada SK 2 terhadap peubah vegetatif di lapangan Konsentrasi BAP (µM) Peubah Diameter tajuk (cm)

Tinggi tanaman (cm)

Lebar daun (mm)

Panjang daun (cm)

Jumlah daun

Tanaman menghasilkan anakan (%) Jumlah anakan

Umur (MST)

2,22

4,44

8,88

27 30 33 27 30 33 27 30 33 27 30 33 27 30 33 27 30 33 27 30 33

35,03 40,07 49,64 22,33 25,22 29,70 2,30 2,71 2,90 21,15 23,70 27,43 10,02 11,65 14,17 10,00 10,00 16,67 2 2 1,6

31,69 37,41 43,99 22,03 25,22 37,88 2,29 2,69 2,72 20,55 23,31 25,78 10,47 12,10 12,96 0 0 3,33 0 0 1

37,23 42,00 48,75 23,80 27,89 30,33 2,64 3,02 3,14 21,55 25,58 28,06 11,87 11,89 13,48 0 0 10 0 0 1,33

17,76 30,50 34,62 43,92 19,88 22,60 26,69 2,31 2,61 2,79 18,25 20,51 23,45 11,37 13,91 14,76 0 0 13,33 0 0 2,25

Tabel 19 Variasi pada tanaman SK 2 di lapangan umur 27 MST Variasi Tanaman roset Tanaman variegata

2,22 µM BAP 3,17 (2/63) 0

17,76 µM BAP 0,91 (1/110) 0,91 (1/110)

Analisis kestabilan genetik berdasarkan RAPD hanya dilakukan pada tanaman normal yang berasal dari perlakuan 0-17,76 µM. Primer OPG 2 dan OPE7 menghasilkan pola pita tidak berbeda dan pola pita tersebut juga tidak berbeda dengan pola pita tanaman regeneran normal SK 1 (Gambar 25).

4.3.8. Regenerasi dan Multiplikasi SK 3 Eksplan dalam media BAP 2,22-17,76 µM SK 3 menghasilkan 12-18 tunas/eksplan sedangkan kontrol (MS0) menghasilkan 1,2 tunas. Perlakuan 2,2217,76 µM BAP juga menghasilkan kalus nodular, semakin tinggi konsentrasi BAP maka bobot kalus nodular yang dihasilkan semakin tinggi (Tabel 20).

70

Tabel 20 Pengaruh BAP pada SK 3 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular pada umur 16 MST Konsentrasi BAP (µM) 2,22 4,44 8,88 17,76 0 (kontrol)

Tunas total /eksplan 12,30 15,75 18,00 13,73 1,19

Bobot kalus nodular (g)/eksplan 0,086 c 0,360 b 0,515 b 0,791 a 0

Keterangan: Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5% Dalam media akar, eksplan mampu membentuk tunas baru, perlakuan 17,76 µM BAP paling tinggi multiplikasinya (Tabel 21).

Tunas besar yang

berasal dari eksplan tunas dengan perlakuan 4,44-17,76 µM BAP tidak berbeda yaitu berkisar 38-44 dan perlakuan 2,22 µM BAP jumlah tunas besarnya lebih sedikit. Daun plantlet pada saat aklimatisasi berjumlah7-8 daun untuk perlakuan 2,22-17,76 µM BAP. Jumlah dan panjang akar plantlet perlakuan 2,22-8,88 µM BAP tidak berbeda namun pada konsentrasi lebih tinggi jumlah lebih sedikit dan akarnya lebih pendek. Jumlah akar plantlet dengan perlakuan 2,22-8,88 µM BAP berkisar 4-5 akar sedangkan panjang akar berkisar 38-41 mm.

Tabel 21 Pengaruh BAP SK 3 terhadap jumlah tunas dalam media akar umur 0 dan 14 MST Konsentrasi BAP (µM ) 2,22 4,44 8,88 17,76

Jumlah tunas 0 MST

Multiplikasi

18,83 ab 20,00 a 20,00 a 17,27 b

3,31 2,93 3,51 4,79

Jumlah tunas 14 MST Tunas total 62,36 ab 58,70 b 70,33 ab 82,67 a

Tunas besar

Tunas kecil

32,27 b 39,00 ab 38,83 ab 43,92 a

29,18 ab 19,70 b 32,33 ab 38,75 a

Keterangan: Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5%

4.3.9. Karakter Morfologi Tanaman Regeneran SK 3 di Lapangan Tanaman regeneran SK 3 dari perlakuan 2,22-17,76 µM BAP menunjukkan diameter tajuk, tinggi tanaman, jumlah, lebar dan panjang daun tidak berbeda (Gambar 28). Kemampuan menghasilkan anakan yang tertinggi

71

Diamater tajuk (cm)

100

A

80 60

2,22 4,44 8,88 17,76

40 20 0

B

30 25 20 15

2,22 4,44 8,88 17,76

10 5 0 30

Panjang daun (cm)

Tinggi Tanaman (cm)

35

C

25 20

2,22 4,44 8,88 17,76

15 10 5

Lebar daun (cm)

0 4

D

3 2

2,22 4,44 8,88 17,76

1 0 9

Gambar 28

15

21 Umur (MST)

27

33

Pengaruh BAP subkultur 3 terhadap diameter tajuk (A), tinggi tanaman (B), panjang daun (C) dan lebar daun (D) di lapangan

72

tertinggi pada tanaman dengan perlakuan 8,88 µM BAP. Jumlah anakan yang dihasilkan hampir sama untuk perlakuan 2,22-8,88 µM BAP sedangkan perlakuan 17,76 µM BAP menghasilkan anakan lebih sedikit (Tabel 22).

Tabel 22 Pengaruh BAP SK 3 terhadap jumlah anakan per tanaman Umur (MST)

25 27 33 35

Tanaman menghasilkan anakan (%)

Jumlah anakan

Konsentrasi BAP (µM)

Konsentrasi BAP (µM)

2,22

4,44

8,88

17,76

1,38 16,66 26,38 30,55

4,16 16,66 27,77 34,72

6,94 19,44 45,83 48,61

8,33 12,5 26,16 29,16

2,22 2,00 1,46 3,72 3,76

4,44

8,88

17,76

2,66 1,46 3,00 3,73

2,40 1,50 3,54 3,78

1,50 2,00 2,71 2,85

Variasi yang muncul di lapangan pada tanaman regeneran SK 3 terjadi pada semua perlakuan.

Variasi yang muncul sama dengan yang terjadi pada

subkultur 1 dan 2 yaitu tanaman roset dan tanaman berdaun variegata (Tabel 23). Tanaman roset dapat menjadi tanaman normal pada umur 25 MST. Tabel 23 Variasi pada tanaman regeneran SK 3 di lapangan umur 25 MST Variasi Tanm roset Tanm variegata

2,22 µM BAP 0,38 (1/259) 0,38 (1/259)

4,44 µM BAP

8,88 µM BAP

0,31 (1/321) 0,31 (1/321)

0 0,27 (1/368)

17,76 µM BAP 0,59 (2/335) 0,29 (1/335)

Analisis kestabilan genetik berdasarkan RAPD hanya dilakukan pada tanaman normal yang berasal dari perlakuan 0-17,76 µM BAP SK 3. Primer OPG 2 dan OPE 7 menghasilkan pola pita tidak berbeda dan pola pita tersebut juga tidak berbeda dengan pola pita tanaman regeneran normal SK 1 dan 2 (Gambar 25).

4.4. Pembahasan Eksplan pangkal tunas aksilar dari mahkota buah yang ditanam dalam media MS0 beregenerasi membentuk tunas aksilar lebih dari satu kemudian disusul pertumbuhan akar sehingga terbentuk tanaman lengkap. Eksplan dalam media MS0 kecepatan multiplikasinya semakin rendah dengan bertambahnya

73

frekuensi SK yaitu 4,6 tunas/eksplan pada SK 1 menjadi 1,19 tunas/eksplan pada SK 3.

Perubahan kecepatan

multiplikasi tersebut diduga disebabkan oleh

perubahan kandungan ZPT endogen. Pada awal tanam kandungan ZPT sitokinin dan auksin endogen eksplan masih tinggi dengan adanya subkultur pada media MS0 maka ZPT endogen semakin rendah sehingga multiplikasinya semakin rendah. Penambahan 4,44-17,76 µM BAP pada media akan meningkatkan kemampuan eksplan untuk multiplikasi menjadi 13-26 tunas/eksplan pada SK1, 5-8 tunas/eksplan pada SK 2 dan 13-18 tunas/eksplan pada SK 3. Perbedaan multiplikasi pada media mengandung BAP diduga bukan hanya ditentukan oleh frekuensi SK tetapi juga disebabkan oleh perbedaan jumlah eksplan/botol yang ditanam sehingga kecepatan multiplikasi pada SK 2 lebih rendah dibandingkan pada SK 1 dan SK 3. Pada SK 1 ditanam 1 eksplan/botol, SK 2 ditanam 10-13 eksplan/botol, dan pada SK 3 ditanam 5-6 eksplan/botol. Perlakuan 4,44-8,88 µM BAP menghasilkan tunas lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya. Eksplan yang ditanam dalam media tanpa sitokinin menghasilkan tunas aksilar sedikit karena hanya sitokinin endogen tipe adenin yang berikatan dengan reseptor yaitu cytokinin-binding protein (CBP). Dengan menambahkan BAP akan meningkatkan efek sitokinin karena lebih banyak terbentuk kompleks sitokinin tipe adeninreseptor (Nielsen et al. 1995). Dalam perbanyakan in vitro, subkultur berulang sering dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan produksi tunas dalam jumlah banyak.

Namun

subkultur berulang pada media mengandung BA akan menghambat pertumbuhan tunas, tetapi meningkatkan multiplikasi (Nielsen et al. 1995). Pada penelitian ini didapatkan subkultur berulang dalam media BAP dapat meningkatkan jumlah tunas, namun pada SK 3 dihasilkan tunas berukuran kecil-kecil sehingga agak sulit dipisahkan satu persatu dan dihasilkan kalus nodular. Hal tersebut terjadi karena subkultur berulang pada media BAP menyebabkan terjadinya akumulasi BAP (Yi et al. 1992 dalam Lakshmanan et al. 1997). Hasil yang sama terjadi pada tanaman Ixora coccinea, subkultur berulang pada media mengandung BAP dapat menyebabkan tunas kerdil dan kumpulan tunas abnormal, kelainan ini bisa dihindari bila setiap 3 kali subkultur, tunas ditanam dalam media basal selama

74

1 bulan (Lakshmanan et al. 1997). Pada tanaman nenas juga perlu dilakukan hal serupa, dengan tujuan untuk mengurangi kandungan sitokinin atau auksin yang tinggi dalam tunas. Pada SK 1, eksplan menghasilkan tunas dan tidak terbentuk kalus nodular tetapi pada SK 2, 79-90% eksplan pada perlakuan 4,44-17,76 µM BAP membentuk nodular dengan jumlah 3-4 nodular (Gambar 26). Pada SK 3 nodular yang terbentuk dari eksplan tunas semakin tinggi dengan semakin meningkatnya konsentrasi BAP (Tabel 20). Terbentuknya kalus pada SK 2 dan bobotnya meningkat pada SK 3 menunjukkan kandungan sitokinin pada eksplan semakin tinggi. Sitokinin dengan konsentrasi tinggi akan menghambat pembentukan tunas dan menginduksi kalus. Eksplan dalam media MS0 menghasilkan tunas dan akar secara spontan, namun dengan penambahan BAP 2,22-4,44 µM pembentukan akar terhambat, bahkan tidak terbentuk akar dengan penambahan BAP 8,88-17,76 µM. Dengan memindahkan tunas ke media pengakaran, tunas dari perlakuan 2,22-8,88 µM dan perlakuan 17,76 µM BAP, berturut-turut mampu membentuk akar 90-98% dan 62,29% (Tabel 11). Tunas yang berasal dari perlakuan BAP 2,22-8,88 µM SK 2 dan 3 dapat diinduksi membentuk akar dalam media MS0 + 0,54 µM. Perlakuan BAP pada perbanyakan in vitro masih nampak pengaruhnya pada tanaman di lapangan. Semakin tinggi konsentrasi BAP akan menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman regeneran SK 1 sehingga tanaman dari perlakuan 17,76 µM

lebih kecil dibanding perlakuan

lainnya (Gambar 20).

Karakter

morfologi pada fase vegetatif umur 44 MST untuk masing- masing perlakuan seragam berdasarkan uji Barlet. Pada SK 2 tanaman regeneran hasil perlakuan 2,22-17,76 µM BAP menunjukkan diameter tajuk, tinggi tanaman, jumlah, panjang dan lebar daun tidak berbeda.

Pada SK 3 tanaman regeneran

menunjukkan hasil yang sama seperti pada SK 2. Kemampuan tanaman nenas menghasilkan anakan pada kondisi normal berkaitan dengan umur dan ukuran tanaman. Tanaman dengan umur sama (saat tanam sama) bila ukuran tanaman berbeda maka tanaman yang berukuran besar lebih cepat menghasilkan anakan.

Pada kond isi tidak normal karena titik

75

tumbuhnya terganggu maka tanaman nenas Queen dapat menghasilkan anakan walaupun ukuran tanaman masih kecil. Dengan demikian dapat dilakukan stek mini pada tanaman regeneran untuk meningkatkan jumlah bibit di lapangan, seperti yang telah dilakukan pada tanaman kentang (Mattjik, 2005).

BAP

dengan konsentrasi 17,76 µM menekan pertumbuhan vegetatif dan kemampuan tanaman nenas kultivar Queen menghasilkan anakan.

Persentase tanaman

menghasilkan anakan dan jumlah anakan pada tanaman hasil SK 1, 2 dan 3 pada umur yang sama 33 MST berbeda-beda.

Perbedaan tersebut disebabkan

perbedaan umur bibit pada saat ditanam di lapangan. Bibit SK 1 berumur 7 bulan setelah aklimatisasi (BSA), SK 2 berumur 5,5 BSA, dan SK 3 berumur 2,5 BSA. Pertumbuhan vegetatif yang terhambat akibat pengaruh BAP saat multiplikasi in vitro berpengaruh terhadap mutu fisik dan kimiawi buah. Perlakuan BAP 2,22-4,44 µM menghasilkan pertumbuhan vegetatif lebih baik dan buahnya lebih berkualitas (bobot buah total, bobot buah tanpa mahkota, diameter tangkai buah, diameter buah dan padatan terlarut total) dibandingkan perlakuan lainnya dan tanaman dari tempat asal (Tabel 18). Berdasarkan uji Barlet, semua karakter yang diamati pada saat panen seragam, kecuali karakter bobot mahkota buah untuk masing- masing perlakuan BAP dengan konsentrasi 2,22-17,76 µM. Hal ini menunjukkan tanaman regeneran memberikan respon yang seragam terhadap perlakuan BAP selama dalam kondisi in vitro. Perbanyakan

klon atau kloning adalah regenerasi vegetatif dari satu

genotipe tunggal berupa satu tanaman, satu titik tumbuh, satu meristem atau satu eksplan. Perbanyakan klon berpotensi menghasilkan variasi berasal dari 4 sumber yaitu mutasi genetik (spontan atau induksi), perubahan susunan dan struktur kimera dari mutan yang ada, perubahan epigenetik dan infeksi sistemik oleh patogen (Kester, 1983). Hackett (1983) menyatakan sel meristem secara individu stabil tetapi kestabilan tersebut dapat mengalami modifikasi yang disebabkan oleh periode kultur yang panjang, jumlah subkultur dan media kultur. Tanaman pisang hasil in vitro dengan eksplan shoot-tip menunjukkan variasi 0-70% tergantung pada genotipnya (Vuylsteke et al. 1991). Variasi ya ng muncul pada pisang hasil in vitro yaitu saat matang buah, ukuran daun dan hasil (Vuylsteke et al. 1996), daun variegata (Vuylsteke et al. 1988). Pada penelitian ini, penambahan BAP

76

menginduksi variasi somaklonal karena perbanyakan pada MS0 sampai 3 subkultur tidak ada variasi pada tanaman regeneran.

Perbanyakan in vitro

tanaman nenas dengan 4,44-17,76 µM BAP SK 1, 2 dan 3 menginduksi variasi somaklonal berupa tanaman roset, tanaman berdaun variegata tetapi tidak terhadap kualitas buah. Bila menggunakan eksplan kalus nodular menghasilkan 3 varian yaitu tanaman roset, tanaman berdaun variegata dan tanaman kerdil. Variasi yang dihasilkan rela tif kecil yaitu 0-1,53% pada SK 1, 1,82-3,17% pada SK 2 dan 1,82-3,17% pada SK 3, sementara dengan menggunakan eksplan kalus nodular muncul variasi sebesar 0,50-4,76%.

Variasi yang terjadi dengan

menggunakan BAP dengan 3 kali subkultur masih dalam kisaran yang dapat ditoleransi. Variasi somaklonal yang dapat diterima pada nenas sebesar 5% Smith dan Drew (1990) sedangkan pada pisang sebesar 3-5% (Cote et al. 1993). Tanaman dengan 1-2 daun variegata, seiring dengan pertumbuhan daun yang baru tidak variegata dan pertumbuhan tanaman normal.

Bila variegata

terjadi pada seluruh daun maka variegata akan terus terbawa sampai tanaman berbuah bahkan sebagian anakan yang dihasilkan berdaun variegata. Tanaman roset dapat kembali menjadi tanaman normal seiring dengan waktu pertumbuhan. Pertumbuhan awal tanaman roset agak lambat dibanding tanaman normal. Varian tanaman roset dan tanaman variegata merupakan variasi epigenetik karena dapat berubah menjadi tanaman normal. Tanaman variegata yang muncul pada tanaman hasil perbanyakan in vitro tanaman nenas mungkin merupakan mutasi yang menyebabkan munculnya kimera. Kimera adalah satu tanaman yang mempunyai 2 atau lebih jaringan somatik yang berbeda secara genetik (Baur, 1909 dalam Broetjes dan van Harten. 1988).

Broetjes dan van Harten (1988) menyatakan

bahwa mutasi dapat terjadi pada semua jenis jaringan tetapi mutasi tunggal terbatas hanya pada satu sel. Jika sel yang sedang membelah dari meristem apikal mengalami mutasi maka dihasilkan sel-sel mutan yang menurun, besarnya tergantung pada posisi sel yang mengalami mutasi, jumlah total sel-sel apikal yang sedang membelah, dan kesesuaian sel-sel mutasi.

Jumlah daun variegata

pada satu tanaman berbeda-beda (satu sampai seluruh daun variegata). Perbedaan tersebut mungkin berhubungan dengan posisi jaringan yang mengalami mutasi. Broetjes dan van Harten (1988) membedakan 3 macam kimera yaitu sektoral,

77

meriklinal dan periklinal.

Kimera sektoal adalah kimera yang terjadi pada

sekolompok sel yang mewakili seluruh lapisan histogenik, meriklinal adalah mutasi yang terjadi hanya sebagian dari satu layer histogenik sedangkan periklinal adalah mutasi yang terjadi pada satu layer histogenik.

Dermen (1947 dalam

Broetjes dan van Harten, 1988), menyatakan meriklinal tidak stabil setelah satu atau beberapa siklus perbanyakan vegetatif, sedangkan periklinal akan stabil dengan perbanyakan vegetatif . Stabilitas klonal adalah faktor yang sangat penting dalam perbanyakan mikro secara komersial. Sementara teknik perbanyakan in vitro berpotensi menimbulkan variasi somaklonal, oleh karena itu protokol regenerasi tanaman sangat penting dievaluasi tingkat perubahan genetik yang terjadi selama proses kultur.

Analisis kestabilan genetik tanaman hasil perbanyakan in vitro SK 1

dengan penanda molekuler isozim PER, EST, ADH, MDH (Gambar 24) menunjukkan tidak ada perbedaan pola pita antara tanaman in vitro (kontrol dan penambahan 2,22-17,76 µM BAP) dan tanaman dari tempat asal. Walaupun pola pita yang dihasilkan sama belum dapat dipastikan diantara tanaman regeneran sama secara genetik karena analisis dengan cara bulk tidak dapat mendeteksi adanya pita yang hilang pada masing- masing tanaman. Tanaman regeneran SK 1, 2 dan 3 dengan morfologi normal secara genetik sama dengan tanaman kontrol in vitro dan tanaman dari tempat asal. Persamaan genetik ditunjukkan dengan persamaan pola pita hasil analisis RAPD dengan primer OPE 7 dan OPG 2. Delapan tanaman berdaun variegata menghasilkan pola pita sama dengan tanaman normal in vitro dan tanaman dari tempat asal dengan primer OPG 2 tetapi dengan primer OPE 7 ada 6 variegata yang menunjukkan pola pita berbeda yaitu satu atau dua pita tidak muncul. Berdasarkan hal tersebut berarti varian tanaman berdaun variegata yang berbeda secara morfologi

dengan

tanaman normal sebagian berbeda secara genetik.

Penyebab perubahan fenotipe pada tanaman regeneran adalah patah kromosom, perubahan basa tunggal, perubahan jumlah kopi sekuen DNA dan perubahan pola metilasi DNA (Scowcroft dan Larkin, 1988 dalam Hasmi et al. 1997). Analisis RAPD dengan primer OPE 7 dapat digunakan untuk mendeteksi adanya variasi somklonal pada tanaman nenas kultivar Queen klon Bogor.

78

4.5. 1

Kesimpulan dan Saran Penambahan BAP 4,44-8,88 µM dalam

media

MS + 1,61 µM NAA

menghasilkan 21,9-26,3 tunas/eksplan/11 minggu. Penambahan 2,22-8,88 µM BAP pada SK 1, 2 dan 3 tidak menghambat pembentukan akar pada media pengakaran. Penambahan BAP 17,76 µM menghambat pengakaran. 2

Tanaman regeneran SK 1 dengan perlakua n 2,22-4,44 µM BAP + 1,61 µM NAA menghasilkan pertumbuhan vegetatif dan kualitas buah yang lebih baik serta varian yang muncul rendah (1,53%) walaupun tingkat multiplikasinya lebih rendah dibandingkan BAP 8,88 µM. Kualitas buah yang

dihasilkan

seragam

kecuali

bobot

mahkota

tidak

seragam.

Penambahan 2,22-17,76 µM BAP pada SK 2 dan 3 menghasilkan tanaman regeneran dengan pertumbuhan seragam. 3

Penambahan BAP 2,22-17,76 µM + 1,61 µM NAA menginduksi terjadinya variasi somaklonal tanaman kerdil.

yaitu tanaman roset, tanaman berdaun variegata dan Tanaman roset dan tanaman kerdil berubah menjadi

tanaman normal dengan bertambahnya umur tanaman. Variasi yang terjadi pada SK 1,

SK 2, dan SK 3 berturut-turut sebesar 0-1,53%; 0-3,17%;

dan 0-88%. 4.

Perlakuan BAP 2,22-17,76 µM menghasilkan tanaman normal yang stabil berdasarkan analisis isozim: PER, EST, ADH dan MDH dan analisis RAPD dengan primer OPE 7 dan OPG 2. Primer OPE 7 dapat digunakan untuk membedakan tanaman normal dan tanaman varie gata. Tanaman variegata yang berbeda secara morfologi dengan tanaman normal sebagian berbeda secara genetik berdasarkan analisis RAPD dengan primer OPE 7. Perbanyakan in vitro

nenas kultivar Queen klon Bogor menggunakan

media MS+4,44 µM BAP+1,61 µM NAA

selama 11 minggu dilanjutkan

subkultur ke media pengakaran MS+0,54 µM NAA selama 4 minggu. Setelah 3 kali subkultur sebaiknya semua kultur diaklimatisasi dan diganti dengan eksplan baru yang diambil dari induk di lapangan.

Pada tanaman nenas rege neran

memungkinkan untuk dilakukan stek mini di rumah kawat atau rumah kaca.

79

V.

PENGARUH BAP DAN TDZ SERTA TEKNIK ETIOLASI DALAM PERBANYAKAN IN VITRO TANAMAN NENAS KULTIVAR SMOOTH CAYENNE

5.1. Pendahuluan Kultivar Smooth Cayenne merupakan kultivar utama dalam perdagangan internasional yaitu 70% dari produksi dunia dan 90% dari produksi tersebut digunakan untuk proses pengalengan (Coppens d’Eeckenbrugge et al. 2001). Pada banyak negara kultivar Smooth Cayenne merupakan kultivar utama yang ditanam dalam skala luas. Kultivar Smooth Cayenne berasal dari 5 tanaman yang dikoleksi Perrottet 1819 dari French Guiana dan selanjutnya diperbanyak secara vegetatif.

Kelebihan kultivar Cayenne adalah produksi tinggi, ukuran, bentuk,

tekstur, warna dan rasa buah sesuai sebagai bahan baku buah kalengan (Samson, 1980).

Kultivar Smooth Cayenne kurang sesuai sebagai buah segar karena

keasaman tinggi, asam askorbat rendah, flavour kurang menarik (Paull, 1997). Perbanyakan nenas secara in vitro telah dilakukan oleh banyak peneliti dan plantlet yang diperoleh jumlahnya bervariasi tergantung pada kultivar nenas, teknik multiplikasi dan ZPT yang digunakan.

Zepeda dan Sagawa (1981)

menghasilkan 3 tunas aksilar/bulan dengan menggunakan media ½ MS+ 1 mg/l BAP dan diperkirakan dalam 12 bulan dapat diproduksi 5 000 plantlet dari satu buah mahkota nenas. Kiss et al. (1995), dengan menggunakan teknik etiolasi dapat dihasilkan sekitar 1 521 plantlet/tahun dengan penambahan 20 µM kinetin atau 2 025 plantlet/tahun dengan penambahan 25 µM kinetin dari satu plantlet berakar. DeWald et al. (1988) memperoleh 40-85 plantlet/tunas aksilar/tahun pada nenas Smooth Cayenne. Perbanyakan in vitro dapat ditempuh denga n beberapa metode antara lain melalui: (1) multiplikasi tunas dari mata tunas aksilar, (2) multiplikasi tunas dari mata tunas adventif atau embrio baik secara langsung maupun tidak langsung (Gunawan, 1987). Multiplikasi tunas juga dapat dilakukan dengan menggunakan teknik etiolasi (Kiss et al. 1995). Teknik etiolasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk memproduksi tunas dengan memacu pertumbuhan tanaman (eksplan) yang diinkubasikan dalam ruang gelap (Kiss et al. 1995; Hartmann dan Kester, 1984). Penggelapan bertujuan untuk merangsang eksplan tumbuh memanjang sehingga buku-buku pada batang nenas bisa dipotong-potong dan

80

dijadikan sumber eksplan untuk multiplikasi tunas baru. Plantlet yang didapatkan dengan teknik ini diharapkan dapat menghindari munculnya variasi somaklonal. Penggunaan potongan buku sebagai sumber eksplan pada tanaman kentang dapat mempertahankan kestabilan genetik tanaman regeneran (Henszky dan Nagy, 1987 dalam Kiss et al. 1995). Naphtalene Acetic Acid (NAA) merupakan jenis auksin sintetik yang mempunyai sifat merangsang pertumbuhan dan berpengaruh terhadap fase pemanjangan tunas. GA3 berperan terutama dalam proses pemanjangan sel yang menyebabkan peningkatan perpanjangan ruas tanaman (Salisbury dan Ross, 1995). Penambahan 10 µM NAA dapat menghasilkan lebih dari satu tunas etiolasi/eksplan dan panjangnya 6-19 cm dengan 6-9 buku/tunas selama 30-35 hari di ruang gelap (Kiss et al. 1995).

Penambahan NAA dan GA3 diharapkan

dapat dihasilkan tunas etiolasi yang lebih panjang. Berdasarkan struktur kimia ada 2 kelompok sitokinin yaitu turunan adenin N6-benzylaminopurine (BAP) dan turunan fenilurea Thidiazuron N-phenylN’(1,2,3,thidiazol-5-yl)urea) (TDZ). BAP dan TDZ mempunyai respon fisiologi yang sama yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, diferensiasi dan pertumbuhan jaringan dan organ dan biosintesis klorofil (Murthy et al. 1996). Efektifitas BAP dan TDZ dalam menginduksi multiplikasi tunas berbeda-beda tergantung pada jenis tanamannya. Menurut George dan Sherrington (1984), BAP merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. BAP banyak digunakan dalam perbanyakan in vitro tanaman karena aktifitasnya tidak terlalu tinggi dibandingkan TDZ atau zeatin dan harganya relatif murah dibandingkan sitokinin yang lain. Penggunaan TDZ dalam perbanyakan in vitro nenas masih jarang dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah 1

Mempela jari pengaruh BAP terhadap multiplikasi tunas nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang

2

Mempelajari pengaruh TDZ, NAA terhadap multiplikasi tunas nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang

3

Mempelajari perbanyakan in vitro dengan teknik etiolasi pada nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang

81

5.2. Bahan dan Metode 5.2.1. Bahan Tanam Bahan tanam yang digunakan adalah mahkota buah (crown) nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang yang sudah masak (1/3 bagian buah berwarna kuning). Buah nenas berasal dari kebun petani di Pagak Subang, Jawa Barat.

5.2.2.

Metode Penelitian Penelitian dimulai bula n Juli 2002 sampai Agustus 2004. Penelitian

dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan di rumah kaca Pusat Kajian Buahbuahan Tropika IPB. Penelitian terdiri atas 3 percobaan yang terpisah yaitu: 1

Pengaruh BAP terhadap multiplikasi tunas nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang

2

Pengaruh TDZ, NAA terhadap multiplikasi

tunas nenas kultivar

Smooth Cayenne klon Subang 3

Perbanyakan in vitro dengan teknik etiolasi pada nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang

Alur kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 29.

1 BAP 5 taraf

BAP 5 taraf

17 MST

Media akar

Aklimatisasi

8 MST

17 MST

TDZ 4 taraf TDZ 4 taraf

2 MS0

17 MST

MS0

TDZ 4 taraf + NAA

18 MST

TDZ 4 taraf + NAA 17 MST

NAA dan GA 3

3 Gambar 29

10 MST

BAP 3 taraf 10 MST

Alur kegiatan penelitian nenas kultivar Smooth Cayenne 1 Pengaruh BAP terhadap multiplikasi tunas. 2 Pengaruh TDZ, NAA terhadap multiplikasi tunas. 3 Perbanyakan in vitro dengan teknik etiolasi

82

5.2.3. Pengaruh BAP terhadap Multiplikasi Tunas Nenas Kultivar Smooth Cayenne Klon Subang Konsentrasi BAP yang digunakan terdiri atas 0; 2,22; 4,44; 8,88; 17,76 µM yang ditambahkan dalam media MS + 1,61 µM NAA, untuk BAP 0 µM adalah media MS0. Setiap perlakuan terdiri dari 1 botol dan diulang 3 kali. Bahan tanam yang digunakan adalah mahkota buah nenas Smooth Cayenne yang berasal dari petani di Subang. Sterilisasi dilakukan seperti pada percobaan 3.2.3. Mata tunas aksilar yang dorman dari masing- masing mahkota buah diambil dan ditanam dalam media induksi (MI) yaitu media MS0 sampai muncul tunas sepanjang 2 cm (18 minggu). Tunas dipotong bagian ujungnya dan dibelah menjadi 2 bagian tetapi bagian dasarnya tidak terpotong kemudian ditanam pada media perlakuan (mengandung BAP). Eksplan dalam media perlakuan pada umur 17 minggu disubkultur ke media yang sama dan mengandung BAP sesuai perlakuan, kemudian pada umur 17 minggu dipindahkan ke media akar. Setelah 8 minggu dalam media akar plantlet diaklimatisasi.

Media aklimatisasi yang

digunakan adala h campuran pasir:pupuk kandang = 1:3. Peubah yang diamati adalah: jumlah tunas per eksplan, jumlah nodular, bobot kalus nodular pada saat subkultur dan jumlah tunas besar, tunas kecil, tunas total, jumlah daun, jumlah akar dan panjang akar saat aklimatisasi. Bobot kalus nodular 0,5 g terdiri atas 22 nodular. Data yang diperoleh dirata-rata dan tidak dilakukan uji F karena satuan percobaan terlalu sedikit. 5.2.4. Pengaruh TDZ dan NAA terhadap Multiplikasi Tunas Nenas kultivar Smooth Cayenne Klon Subang Percobaan terdiri atas 2 sub percobaan terpisah yaitu (1) pengaruh TDZ terhadap multiplikasi tunas dan (2) pengaruh TDZ dan NAA terhadap multiplikasi tunas. Pada percobaan 1. konsentrasi TDZ yang ditambahkan dalam media MS terdiri atas 0,23; 0,46; 2,27; 4,54 µM. Setiap perlakuan terdiri dari 1 botol dan diulang 4 kali. Percobaan 2. konsentrasi TDZ yang ditambahkan dalam media MS + 0,054 µM NAA terdiri atas 0,23; 0,46; 2,27; 4,54 µM. Setiap perlakuan terdiri dari 1 botol dan diulang 3 kali. Namun pada pengamatan sisa 2 botol.

83

Eksplan yang digunakan yaitu tunas in vitro hasil induksi dalam media MS0 umur 18 MST. Eksplan ditanam dalam media perlakuan (mengandung TDZ atau TDZ+NAA), pada umur 17 minggu separuh disubkultur ke media yang sama mengandung TDZ sesuai perlakuan dan sisanya disubkultur ke media MS0 sampai umur 17 minggu. Peubah yang diamati adalah: jumlah tunas per eksplan, jumlah nodular, bobot kalus nodular.

Bobot kalus nodular 0,5 g terdiri atas 22

nodular. Data yang diperoleh dirata-rata dan tidak dilakukan uji F karena satuan percobaan terlalu sedikit.

5.2.5. Perbanyakan In Vitro dengan Teknik Etiolasi pada Nenas kultivar Smooth Cayenne Klon Subang Percobaan terdiri atas 2 tahap yaitu (a) tahap induksi tunas etiolasi dan (b) tahap multiplikasi tunas. Tahap induksi tunas etiolasi terdiri atas 2 faktor yaitu konsentrasi NAA dan GA3 . Konsentrasi NAA ada 3 taraf yaitu 0; 5,37 dan 10,74 µM, sedangkan konsentrasi GA3 ada 3 taraf yaitu 0; 1,44 dan 2,88 µM. Rancangan yang digunakan adalah rancangan lengkap teracak (RLT) dengan 2 faktor. Terdapat 9 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 8 eksplan. Tahap multiplikasi tunas terdiri atas faktor tunggal yaitu konsentrasi BAP terdiri atas 8,88, 17,76 dan 26,64 µM. Rancangan yang digunakan adalah RLT dengan 1 faktor. Setiap perlakuan diulang 9 kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F, bila berbeda nyata dilanjutkan dengan DMRT pada taraf 5%. Bahan tanaman yang digunakan ialah pangkal batang tunas nenas kultivar Smooth Cayenne (Ananas comosus L. Merr.) klon Subang hasil perbanyakan in vitro umur 18 MST. Eksplan ditanam dalam media induksi dan diinkubasi pada tempat gelap bersuhu 26o C ± 2o C untuk menghasilkan tunas etiolasi. Tempat gelap yang digunakan adalah rak kultur yang ditutup dengan plastik hitam sehingga cahaya tidak dapat menembus ke dalam rak kultur. Tunas etiolasi umur 10 minggu dikeluarkan dari ruang gelap, selanjutnya dipotong dan setiap potongan terdiri dari 2 buku. Selanjutnya ditanam dalam media multiplikasi yaitu MS ditambah BAP (8,88, 17,76 dan 26,64 µM). Kultur diinkubasi selama 10 minggu pada suhu 23-25o C dan kondisi terang 16 jam.

84

Pengamatan dilakukan setiap minggu (1-10 MST) dengan peubah yang diamati adalah (a) Tahap induksi tunas etiolasi meliputi eksplan bertunas, jumlah tunas/eksplan, jumlah buku/tunas, diameter batang (= 2 mm dan < 2 mm), dan (b) Tahap multiplikasi tunas meliputi eksplan bertunas, jumlah tunas, dan jumlah nodular/eksplan. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan uji F, bila berbeda nyata dilakukan uji lanjut dengan DMRT pada taraf 5%.

5.2.

Hasil

5.2.1.

Peranan BAP dalam Regenerasi dan Multiplikasi Mata tunas dorman pada mahkota buah nenas kultivar Smoot Cayenne

tidak terlihat pada mahkota buah nenas kultivar Queen yang terlihat jelas. Eksplan yang menunjukkan gejala hidup sebanyak 18,6% dari 684 eksplan yang ditanam, sedangkan yang menghasilkan tunas relatif kecil yaitu 4,72% selama 17 minggu pada media MS0. Hal ini terjadi karena eksplan yang ditanam tidak mempunyai mata tunas dan tingkat kontaminasi yang tinggi terutama karena bakteri. Tunas yang tumbuh pada media MS0 sangat lambat yaitu waktu untuk dipindahkan ke media perlakuan perlu 18 minggu. Ini sangat berbeda dengan nenas kultivar

Queen yaitu tunas dapat dipindahkan pada umur 4 minggu.

Kultivar nenas yang berbeda (Smooth Cayenne dan Queen) memerlukan teknik sterilisasi yang berbeda dan kemampuan menghasilkan tunas dalam media MS0 juga berbeda.

Perbedaan kemampuan menghasilkan tunas pada media MS0

mungkin berhubungan dengan perbedaan kandungan ZPT endogen terutama sitokinin dan auksin diantara kedua kultivar. Diduga kandungan ZPT mata tunas aksilar nenas kultivar Queen lebih tinggi dibanding kultivar Smooth Cayenne. Penambahan 4,44-17,76 µM BAP dalam media 1,61 µM NAA pada SK 1 menginduksi munculnya kalus nodular pada umur 17 MST.

BAP 0-4,44 µM

menghasilkan 2-4 tunas/eksplan sedangkan pada BAP yang lebih tinggi akan menurunkan jumlah tunas.

Pada SK 2 multiplikasi tunas lebih tinggi

dibandingkan SK I. Tunas ya ng dihasilkan pada perlakuan 0-17,76 µM BAP SK 2 tidak berbeda yaitu 4-6 tunas/eksplan dan penambahan 2,22-17,76 µM BAP menghasilkan kalus nodular. Penambahan 17,76 µM BAP menghasilkan kalus nodular paling banyak yaitu 3,28 g (Tabel 24).

85

Tabel 24

Pengaruh BAP terhadap jumlah tunas dan kalus nodular saat subkultur tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang

Konsentrasi BAP (µM )

0 2,22 4,44 8,88 17,76

SK 1 Jumlah tunas 17 MST

SK 2 Bobot kalus nodular (g) 17 MST 0,00 0,00 0,03 0,07 0,07

2,67 3,33 2,33 1,00 1,33

Jumlah tunas 17 MST 6,00 5,22 5,22 4,75 5,83

Bobot kalus nodular (g) 17 MST 0,00 1,44 1,78 1,83 3,28

Pada media pengakaran, semua perlakuan menghasilkan akar pada umur 6 MST dan untuk perlakuan 8,88-17,76 µM BAP terjadi penambahan tunas bahkan untuk 17,76 µM BAP dapat mencapai 7 kali. Hal ini terjadi karena tunas dari perlakuan 17,76 µM BAP ukurannya kecil dan sulit dipisahkan dengan kalus nodular sehingga tunas yang terbentuk pada media akar sebagian berasal dari kalus nodular. Plantlet yang berasal dari perlakuan 17,76 µM BAP berukuran kecil dengan jumlah daun dan akar lebih sedikit serta panjang akar lebih pendek dibandingkan perlakuan lainnya pada saat aklimatisasi (Tabel 25). Tabel 25 Pengaruh BAP terhadap jumlah tunas pada saat aklimatisasi dari media pengakaran Konsentrasi BAP (µM ) 0 2,22 4,44 8,88 17,76

Jumlah tunas/eksplan Besar Kecil Total 1,00 1,33 1,00 2,00 7,00

0 0 0 1 8

1,00 1,33 1,00 2,00 15,00

Jumlah daun 13,50 14,67 16,33 15,33 9,33

Jumlah akar

Panjang akar (mm)

6,50 6,00 9,00 6,67 3,67

87,00 46,67 56,67 63,33 43,33

5.2.3. Peranan TDZ dan NAA dalam Regenerasi dan Multiplikasi Perlakuan 2,27-4,54 µM TDZ pada 8 MST dapat membentuk, tunas namun tunas tersebut selanjutnya hanya membentuk kalus nodular pada umur 17 MST. Perlakuan 0,23-0,46 µM TDZ menghasilkan tunas dan kalus nodular, sedangkan pada konsentrasi lebih tinggi hanya terbentuk 26).

Eksplan yang disubkultur pada

kalus nodular (Tabel

media TDZ yang sama tidak dapat

menghasilkan tunas dan hanya membentuk kalus nodular. Perlakuan 0,23 dan 4,54 µM TDZ menghasilkan bobot nodular sama yaitu 2,3 g (Tabel 27). Tetapi

86

bila eksplan disubkultur ke media MS0 terjadi multiplikasi tunas dan peningkatan bobot kalus nodular dan nodular yang dihasilkan tetap embrionik dan tidak diinduksi dengan 0,23-2,27 µM TDZ

mengalami pencoklatan. Eksplan yang

dilanjutkan subkultur ke media MS0 dapat menghasilkan 17,8-23,8 tunas/eksplan (Tabel 28).

Tabel 26 Pengaruh TDZ SK 1 terhadap jumlah tunas dan kalus nodular tanaman nenas Smooth Cayenne klon Subang Konsentrasi TDZ (µM) 0,23 0,46 2,27 4,54

SK 1 (17 MST) Jumlah tunas/eksplan Bobot kalus nodular(g)/eksplan 4,25 0,23 2,00 0,19 0,00 0,36 0,00 0,19

Tabel 27 Pengaruh TDZ SK 2 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang Konsentrasi TDZ (µM) 0,23 0,46 2,27 4,54

Jumlah tunas 0 MST 17 MST 2,75 0 0,50 0 0,00 0 0,00 0

Bobot kalus nodular (g) 0 MST 17 MST 0,07 2,28 0,14 0,93 0,12 1,45 0,09 2,33

Tabel 28 Pengaruh TDZ SK 2 dalam media MS0 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang Konsentrasi TDZ (µM) 0,23 0,46 2,27 4,54

Jumlah tunas 0 MST 17 MST 1,50 23,00 1,00 19,50 0,00 23,75 0,00 17,75

Bobot kalus nodular (g) 0 MST 17 MST 0,16 0,66 0,09 0,28 0,24 1,08 0,12 0,83

Perlakuan TDZ dikombinasi dengan 0,054 µM NAA dapat menginduksi eksplan membentuk tunas dan kalus nodular (Tabel 29). Pada SK 2 dengan media TDZ+NAA, perlakuan 0,23 µM TDZ masih dapat menghasilkan tunas, sedangkan pada TDZ yang lebih tinggi tidak menghasilkan tunas tetapi menghasilkan kalus nodular yang embriogenik dan tidak mengalami pencoklatan

87

(Tabel 30). Subkultur pada media MS0 dapat menginduksi pembentukan tunas yang tinggi pada perlakuan 0,46 µM TDZ yaitu 15 tunas. Perlakuan 2,27-4,54 µM TDZ mampu menghasilkan tunas (4,0-5,5 tunas) dan kalus nodular yang tinggi yaitu (1,0-2,1 g), kalus nodular ini berpotensi untuk menghasilkan tunas dengan memindahkannya ke media MS0 (Tabel 31). Tabel 29. Pengaruh TDZ+NAA SK 1 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular nenas kultivar Smooth Caye nne klon Subang TDZ µM + 0,054 µM NAA

Jumlah tunas/eskplan

0,23 0,46 2,27 4,54

2,00 1,50 2,50 0,50

Bobot kalus nodular (g)/eksplan 0,14 0,13 0,19 0,19

Tabel 30 Pengaruh TDZ+NAA SK 2 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang TDZ µM + 0,054 µM NAA 0,23 0,46 2,27 4,54

Jumlah tunas 0 MST 17 MST 1,00 2,50 0,50 0,00 1,00 0,00 0,50 0,00

Bobot kalus nodular (g) 0 MST 17 MST 0,11 1,90 0,08 1,05 0,09 2,85 0,09 2,70

Tabel 31 Pengaruh TDZ+NAA SK 2 dalam media MS0 terhadap jumlah tunas dan bobot kalus nodular nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang TDZ µM + 0,054 µM NAA 0,23 0,46 2,27 4,54

Perbanyakan in

Jumlah tunas 0 MST 17 MST 1,00 2,00 1,00 15,00 1,50 4,00 0,00 5,50

vitro nenas

Bobot kalus nodular (g) 0 MST 17 MST 0,02 0,05 0,04 0,05 0,10 2,10 0,10 1,03

kultivar Smooth Cayenne klon Subang

dengan menggunakan 0,23-2,27 µM TDZ dilanjutkan dengan subkultur ke MS0 dapat menghasilkan 19-24 tunas/eksplan

selama 34 minggu.

Dengan

menambahkan 0,054 µM NAA pada 0,23-2,27 µM TDZ dapat dihasilkan 2-15 tunas/eksplan selama 34 minggu.

88

5.2.4.

Perbanyakan dengan Teknik Etiolasi

5.2.4.1. Tahap Induksi Tunas Etiolasi Pertumbuhan eksplan ditandai dengan pembengkakan dan pemanjangan pangkal batang, selanjutnya tunas tumbuh memanjang membentuk ruas dan buku diikuti pembentukan daun. Pembengkakan pada eksplan tidak selalu diikuti dengan pemanjangan pangkal batang yang akan tumbuh menjadi tunas. Pembengkakan tersebut dapat diikuti dengan perkembangan lain meliputi pembentukan tunas disertai akar (tunas berakar) atau pembentukan akar saja. Gambar 30 menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tunas etiolasi.

NAA 5,37 µM 0 MST

NAA 5,37 µM 4 MST

NAA 5,37 µM 8 MST

Gambar 30 Induksi tunas etiolasi nenas Subang pada 0, 4 dan 8 MST Penambahan GA3 berpenga ruh nyata terhadap eksplan bertunas pada awal pengamatan (1-2 MST) sedangkan NAA tidak berpengaruh. Perlakuan GA3 dan NAA secara terpisah menghasilkan eksplan bertunas 81- 90% pada umur 7 MST (Gambar 31A,B). I nteraksi antara NAA dan GA3 berpengaruh terhadap jumlah tunas pada 3, 6 - 10 MST. Jumlah tunas tertinggi (3,3 tunas/eksplan) pada umur 10 MST dihasilkan oleh perlakuan 5,37 µM NAA + 0 µM GA3 berbeda nyata dibanding perlakuan lainnya. Media mengandung NAA 5,37-10,74 µM dapat meningkatkan jumlah buku menjadi 6,37 buku, sedangkan penambahan GA tidak berpengaruh terhadap jumlah buku (Gambar 32A,B). Perlakuan NAA dan GA3 secara terpisah mempengaruhi pembentukan akar dari eksplan bertunas. Penambahan NAA hingga 10,74 µM meningkatkan eksplan bertunas berakar, sementara penambahan GA3 hingga 2,88 µM menurunkan eksplan bertunas

berakar (Tabel 32).

Hal ini menunjukkan

bahwa pengaruh NAA berlawanan dengan GA3 . Batang tanaman sebagai organ

89

vegetatif sangat menentukan ketegaran tanaman. Penambahan NAA 10,74 µM

Eksplan bertunas (%)

juga dapat meningkatkan persentase diameter batang besar(Tabel 33).

NAA (µM) 100 80 60 40 20 0

0 5,37 10,74 1

2

3

4

5

6

7

8

Umur (MST)

Eksplan bertunas (%)

A

GA3 (µM)

100 80 60 40 20 0

0 1,44 2,88 1

B

2

3

4

5

6

7

8

Umur (MST)

Jumlah buku

Gambar 31 Pengaruh NAA (A) dan GA3 (B) terhadap eksplan bertunas

8

NAA (µM)

6

0

4

1,44

2

2,88

0

A

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Jumlah buku

Umur (MST)

GA3 (µM)

8 6 4 2 0

0 5,37 10,74 1

B

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Umur (MST)

Gambar 32 Pengaruh NAA (A) dan GA3 (B) terhadap jumlah buku

90

Tabel 32 Pengaruh NAA dan GA3 terhadap eksplan bertunas tidak berakar dan bertunas berakar pada umur 7 MST Konsetrasi NAA (µM)

GA 3 (µM )

0 5,37 10,74

Eksplan bertunas tidak berakar (%) 86,40 a 46,34 b 40,83 b

0 1,44 2,88 Keterangan : Nilai yang diikuti huruf pada DMRT 5%.

Eksplan bertunas berakar (%) 13,59 b 53,65 a 59,16 a

43,12 b 56,88 a 59,78 ab 40,21 ab 70,67 a 29,33 b yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

Tabel 33 Pengaruh NAA terhadap diameter batang pada umur 7 MST Konsentrasi Diameter Batang NAA (µM) = 2 mm (%) < 2 mm (%) 0 66,42 a 33,58 a 5,37 78,76 ab 21,24 ab 10,74 86,99 b 13,00 b Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.

5.2.4.2.

Taha p Multiplikasi Tunas Pada tahap multiplikasi tunas, eksplan yang digunakan adalah tunas aksilar

yang ada pada buku tunas etiolasi hasil perbanyakan pada tahap induksi tunas etiolasi. Eksplan bertunas ditandai dengan pembengkakan bagian buku setelah 7-14 hari, diikuti pembentukan kalus nodular atau langsung membentuk tunas, selanjutnya tunas tumbuh diikuti dengan berkembangnya daun.

Gambar 33

menunjukkan pembentukan dan perkembangan plantlet dari buku tunas etiolasi. Persentase eksplan bertunas menurun dengan meningkatnya konsentrasi BAP.

Eksplan sangat responsif terhadap BAP pada umur 1-4 MST ditandai

dengan peningkatan pembentukan tunas yang cepat selanjutnya relatif stabil (Gambar 34A). Perlakuan 8,88-17,76 µM BAP menghasilkan eksplan bertunas 92-96% pada 6 MST, sedangkan perlakuan 26,64 µM BAP hanya 84% yang bertunas. Perlakuan BAP 17,76 µM menghasilkan 3 tunas, sedang perlakuan lainnya 2,1-2,6 tunas pada umur 10 MST (Gambar 34B). Disamping membentuk tunas, eksplan juga membentuk kalus nodular. Kalus nodular berpotensi tinggi diinduksi untu membentuk tunas. Pada 9-10 MST, bobot kalus nodular tertinggi dihasilkan oleh konsentrasi 17,76 µM BAP (Tabel 34).

91

A

B

C

D

E

F

Gambar 33 Pertumbuhan dan perkembangan tunas etiolasi dalam media BAP A Tunas menembus daun B Tunas tidak menembus daun C, D Satu buku menghasilkan 2 tunas E Eksplan dengan 2 buku F Tunas menghasilkan kalus nodular

Tabel 34 Pengaruh BAP terhadap jumlah kalus nodular Umur

Konsentrasi BAP 8,88 µM 17,76 µM 26,64 µM 8 MST 0,05 b 0,64 a 0,69 a 9 MST 0,12 b 1,30 a 0,55 ab 10 MST 0,00 a 1,38 a 0,42 a Keterangan: Nilai yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

92

Eksplan bertunas (%)

BAP (µM)

100 80

8,88

60

17,76

40

26,64

20 0 1

2

3

5

6

7

8

Umur (MST)

A Jumlah tunas

4

BAP(µM)

4

8,88

3 2 1

17,76 26,64

0 1

2

B

3

4

5

6

7

8

9

10

Umur (MST)

Gambar 34 Pengaruh BAP terhadap eksplan bertunas (A) dan jumlah tunas (B)

5.3.2. Pembahasan Secara alami jumlah propagul yang dihasilkan oleh nenas kultivar Smooth Cayenne dan Queen menunjukkan perbedaan. Nenas kultivar Smooth Cayenne menghasilkan propagul lebih sedikit dibanding nenas kultivar Queen. Induksi tunas dari mata tunas aksilar mahkota buah nenas kultivar Smooth Cayenne dalam media MS0 dihasilkan sedikit tunas (4,72%) dan waktu ya ng dibutuhkan lebih lama (18 minggu) dibandingkan kultivar Queen. Selain itu, tingkat kontaminasi yang terjadi tinggi terutama disebabkan oleh bakteri. disebabkan cara sterilisasi tidak efektif dan dalam ditambahkan sitokinin dengan konsentrasi rendah.

Hal ini mungkin media induksi perlu

Bila dibandingkan dengan

induksi tunas pada nenas kultivar Queen dengan menggunakan metode sterilisasi dan media yang sama, terdapat perbedaan hasil.

Ini menunjukkan kultivar

berbeda mempunyai respon berbeda terhadap komposisi media yang sama sehingga perlu cara yang berbeda dalam sterilisasi dan komposisi media induksi. Perbedaan kultivar diduga mempunyai perbedaan kandungan sitokinin dan auksin endogen.

93

Eksplan nenas

kultivar Smooth Cayenne

pada media mengandung

0-4,44 µM BAP + 1,61 µM NAA menghasilkan tunas lebih banyak dibanding media dengan konsentrasi BAP yang lebih tinggi. Selain itu pada konsentrasi BAP lebih dari 4,44 µM mulai terbentuk kalus nodular.

Dengan melakukan

subkultur pada media yang sama, multiplikasi tunas dan bobot kalus nodular meningkat.

Eksplan dalam media tanpa BAP dapat menghasilkan 6 tunas pada

SK II dan tidak menghasilkan kalus nodular (Tabel 24). Pada tahap induksi, multiplikasi mata tunas kultivar Smooth Cayenne sangat rendah dan diduga disebabkan oleh kandungan sitokinin dan auksin yang rendah pada mata tunas aksilar. Pada saat ditanam pada media mengandung BAP, kisaran konsentrasi yang mendorong multiplikasi tunas sempit yaitu 0-4,44 µM dan konsentrasi BAP lebih dari 4,44 µM menghasilkan kalus nodular. Berarti tunas yang dihasilkan pada tahap induksi telah mampu meningkatkan kandungan sitokinin, hal ini dibuktikan dengan penambahan BAP 4,44 µM telah menginduksi kalus nodular. Dengan melakukan subkultur pada media BAP multiplikasi tunas dan bobot kalus nodular meningkat, sementara subkultur pada media tanpa BAP multiplikasi tetap meningkat dan tidak dihasilkan nodular. Berdasarkan penjelasan di atas diduga tunas hasil induksi secara in vitro pada media MS0 mampu mensintesis ZPT sehingga tidak perlu ditambahkan dari luar atau ditambahkan dengan konsentrasi lebih rendah dari 2,22 µM BAP. Dugaan tersebut didukung hasil penelitian Mercier et al. (2003), potongan daun nenas dalam media MS0 terdeteksi adanya BA dan IAA setelah

9 hari pada bagian basal daun. Sementara itu, dalam media

MS + 0,5 NAA + 0,1 BA dihasilkan BA dan IAA dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Respon eksplan terhadap TDZ hampir sama dengan BAP. TDZ dengan konsentrasi 0,23-0,46 menginduksi tunas dan kalus nodular sedangkan pada konsentrasi lebih tinggi hanya menginduksi kalus nodular (Tabel 26). Eksplan yang disubkultur pada media TDZ yang sama tidak membentuk tunas dan dihasilkan banyak kalus nodular (Tabel 27), tetapi bila dipindahkan ke media MS0 akan terjadi regenerasi tunas dalam jumlah banyak dan tetap dihasilkan lebih sedikit kalus nodular (Tabel 28). Respon eksplan terhadap TDZ + NAA sama seperti yang terjadi terhadap TDZ (Tabel 29, 30, 31).

94

Dengan adanya

tambahan NAA pada media TDZ dapat mengurangi nekrosis kalus tetapi jumlah tunas yang dihasilkan lebih sedikit. Hasil di atas menunjukkan bahwa penggunaan TDZ dalam perbanyakan in vitro nenas cukup sekali sebagai induksi tunas selanjutnya disubkultur pada media tanpa ZPT untuk mengurangi akumulasi sitokinin (Mok et al., 1987). Hal ini terjadi karena : 1) TDZ dapat mendorong konversi ribonukleotida ke bentuk ribonkleosida yang secara biologi lebih aktif (Capelle et al. 1983), 2) TDZ dapat menstimulasi sintesis sitokinin tipe adenin endogen atau menghambat degradasi sitokinin karena TDZ resisten terhadap enzim sitokinin oksidase (Thomas dan Katterman, 1986) 3) mampu merubah sisi aktif sitokinin (Mok et al. 1987) sehingga sitokinin tipe adenin tidak dapat berikatan dengan reseptor (Nielsen et al. 1993). dibutuhkan untuk

Konsentrasi TDZ yang

menginduksi tunas lebih rendah dibandingkan BAP karena

TDZ lebih resisten terhadap enzim sitokinin oksidase, lebih stabil dan lebih aktif dibanding BAP (Mok et al. 1987) Penggunaan BAP dan TDZ dalam multiplikasi nenas kultivar Smooth Cayenne menghasilkan respon sama yaitu keduanya menghasilkan tunas dan kalus nodular.

Tunas yang diperoleh dengan menggunakan TDZ lebih banyak

dibandingkan BAP

namun keduanya menghasilkan sedikit tunas yaitu

6-24 tunas/eksplan/8 bulan.

Adanya kalus nodular akan menghasilkan tunas

adventif, dan menurut Karp (1989) dalam Skirvin et al. (1994) tunas adventif menunjukkan variasi yang lebih besar dibanding tunas aksilar. Keseragaman genetik dapat dipertahankan dengan menggunakan bagian tunas aksilar sebagai eksplan dalam perbanyakan in vitro (George dan Sherrington, 1984). Perbanyakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne menggunakan BAP dan TDZ

kurang

efisien dan menginduksi

pembentukan kalus nodular maka

dilakukan perbanyakan dengan teknik etiolasi. Perbanyakan dengan teknik etiolasi menunjukkan sebagian besar eksplan yang ditanam mampu menghasilkan tunas pada umur 1 MST baik pada tahap induksi tunas etiolasi maupun multiplikasi tunas. Sedangkan pada penelitian Kiss et al. (1995) dihasilkan tunas etiolasi pada media MS + 10 µM NAA umur 10-14 hari setelah tanam (HST) dan pada tahap multiplikasi dengan media N6 + BA atau kinetin eksplan mampu menghasilkan tunas sekitar umur 20-25 HST.

95

Istilah etiolasi menunjukkan respon tanaman terhadap kondisi kekurangan cahaya yang ditandai dengan pemanjangan batang.

Ciri-ciri tanaman yang

mengalami etiolasi adalah ruas batang memanjang, warna batang pucat dan transparan (bening), daun menguning dan mudah rontok, plantlet tidak tegar, tidak terbentuk klorofil dan akar tumbuh lambat (Yusnita, 2003; Rahardi, 1997; Puspita, 2001). Pada tahap induksi tunas etiolasi dihasilkan tunas dengan ciri-ciri yaitu ruas batang memanjang (pada keadaan normal ruas batang tidak terlihat), warna batang putih pucat, daun kecil dan pucat.

Jumlah tunas etiolasi yang

dihasilkan lebih dari satu tunas per eksplan yaitu 3-4 tunas (mean 3,30) yang berasal dari media kombinasi NAA 5,37 µM + 0 µM GA3 dengan jumlah buku berkisar 5-7 buku per tunas (mean 6,37). Hal ini sesuai dengan penelitian Kiss et al. (1995) yaitu penambahan konsentrasi NAA 10 µM pada media MurashigeSkoog (MS) memberikan respon yang cukup baik dalam menghasilkan lebih dari satu jumlah tunas per eksplan nenas kultivar Smooth Cayenne de Oriental dan Espenola Raja dengan

7 buku per tunas.

Perlakuan auksin NAA 5,37 µM

menghasilkan tunas etiolasi tertinggi sedangkan pada konsentrasi 10,74 µM akan menurun. Hal ini terjadi karena auksin mempunyai pengaruh yang luas dalam pertumbuhan dan morfogenesis tanaman diantaranya mendorong pertumbuhan memanjang batang dan koleoptil, menghambat pemanjangan akar, mendorong pembelahan sel batang tetapi menghambat pembelahan tunas lateral. Konsentrasi optimal untuk pemanjangan batang 1-10 µM, pada konsentrasi lebih tinggi akan menghambat pertumbuhan karena auksin akan menginduksi produksi etilen dan menekan pemanjangan (Taiz dan Zeiger, 1991). Pemberian NAA meningkatkan eksplan bertunas berakar sedangkan pemberian GA3 menurunkan eksplan bertunas berakar. Perlakuan NAA juga meningkatkan persentase diameter batang besar = 2 mm. Perlakuan GA3 tidak berpengaruh terhadap produksi tunas etiolasi bahkan menurunkan persentase tunas berakar, padahal menurut Taiz dan Zeiger (1991) GA sangat berperan dalam menginduksi pemanjangan batang melalui peningkatan pemanjangan dan pembelahan sel berkaitan dengan meningkatnya mitosis di meristem subapikal. Hal ini diduga karena pada kondisi gelap kandungan dan aktifitas GA menurun

96

bahkan tidak berfungsi walaupun ada penambahan GA eksogen. Kohler (1966 dalam Moore, 1979) melaporkan kandungan GA pada tanaman Pisum sativum kerdil dan tinggi yang dikecambahkan pada kondisi dibawah cahaya lebih tinggi dibandingkan kecambah etiolasi. Selain itu aktifitas GA berkurang karena proses sterilisasi dalam autoklaf. Beyl (2005) menyatakan GA sangat sensitif terhadap panas, setelah diautoklaf dapat kehilangan 90% aktifitas biologisnya. Pada tahap multiplikasi tunas, potongan batang tunas etiolasi yang berwarna kuning pucat akan berubah menjadi hijau dan membengkak setelah ditanam pada media mengandung BAP. Perubahan warna terjadi karena sitokinin menstimulasi pematangan kloroplas dalam terang dan mendorong sintesis protein fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991). Tunas etiolasi terlihat kuning pucat karena proplastid berkembang menjadi etioplas yang mengandung karetonoid tetapi tidak mensintesis klorofil atau enzim struktural yang dibutuhkan untuk pembentukan sistem tilakoid kloroplas dan alat-alat fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991). Jumlah tunas yang dihasilkan pada tahap multiplikasi 2-3 tunas per eksplan (mean 2,93), setiap eksplan terdiri atas 2 buku. Asra et al. (2000) melaporkan bahwa senyawa BAP efektif menekan efek dominansi apikal dan menyebabkan pertumbuhan tunas pada kultur in vitro nenas kultivar Queen. Menurut Pierik (1987), sitokinin 1-10 mg/l mampu mendorong pembentukan tunas tetapi menghambat pembentukan akar. Berdasarkan penelitian Kiss et al. (1995) penambahan kinetin hingga 20 µM dapat menghasilkan jumlah tunas sebesar 13 plantlet per eksplan, setiap eksplan terdiri dari 7 buku pada nenas kultivar Smooth Cayenne de Oriental dan Espenola Raja. Kalus nodular merupakan sekelompok sel pada tempat tertentu dalam kalus yang menyerupai sel kambium, sering disebut meristemoid (Wattimena et al. 1992). Multiplikasi diduga berasal dari sel di sekeliling nodular yang membelah membentuk nodular baru, namun secara pasti belum dipelajari lebih jauh asal multiplikasinya. George dan Sherrington (1984) menyatakan bahwa pertumbuhan eksplan secara in vitro diatur oleh interaksi dan keseimbangan antara media dengan hormon endogen yang terdapat pada eksplan. Mufa’adi (2003) melaporkan bahwa pemberian 4,44 µM BAP tanpa auksin pada daun dewa (Gynura procumbens Back.) dapat menyebabkan pembentukan kalus. Hal ini

97

disebabkan pengaruh kandungan auksin endogen yang terbawa oleh eksplan dari media perbanyakan dan berinteraksi dengan BAP kemudian membentuk kalus. Secara umum jumlah tunas yang dihasilkan pada tahap induksi tunas etiolasi sebanyak 3-4 tunas/eksplan dengan 4-7 buku/tunas yang digunakan sebagai bahan perbanyakan pada tahap multiplikasi tunas.

Pada

tahap

multiplikasi tunas dihasilkan rata-rata jumlah tunas yaitu 2-3 tunas/eksplan, setiap ekspla n terdiri dari 2 buku. Sehingga total tunas yang dihasilkan dengan teknik etiolasi adalah ±1 296 plantlet/tunas/tahun.

5.4. Kesimpulan dan Saran 1 Media MS0 tidak sesuai sebagai media induksi tunas nenas kultivar Smooth Cayenne. Penambahan BAP 2,22-17,76 µM dalam media MS + 1,61 µM NAA dengan 2 kali subkultur dihasilkan 4-6 tunas/eksplan/8 bulan. 2

Penambahan TDZ 0,23-4,54 µM dilanjutkan subkultur ke media MS0 menghasilkan 17-24 tunas/eksplan/8 bulan dan bila ditambahkan 0,054 µM NAA dihasilkan 2-15 tunas/eksplan/8 bulan. Subkultur berulang pada media mengandung TDZ hanya menghasilkan kalus nodular dan tidak menghasilkan tunas.

3 Kombinasi perlakuan NAA 5,37 µM + 0 µM GA3 merupakan perlakuan terbaik

pada

tahap

induksi

tunas

etiolasi

dengan

menghasilkan

3-4 tunas/eksplan dan 5-6 buku/tunas. Pada tahap multiplikasi tunas, pemberian BAP 17,76 µM menghasilkan 2-3 tunas/eksplan, setiap eksplan terdiri dari dua buku.

Dengan teknik

etiolasi dapat dihasilkan 1 296

plantlet/tunas/tahun. Dalam media induksi mata tunas aksilar nenas kultivar Smooth Cayenne sebaiknya ditambahkan sitokinin dengan konsentrasi rendah agar didapatkan lebih banyak tunas sebagai sumber eksplan.

Perbanyakan in vitro nenas kultivar

Smooth Cayenne sebaiknya menggunakan teknik etiolasi dengan 4 tahap, tahap induksi menggunakan MS + NAA 5,37 µM selama 10 minggu, tahap penyesuaian tunas etiolasi terhadap cahaya 1 minggu, tahap multiplikasi dengan menggunakan MS + 17,76 µM BAP + 1,61 µM NAA dan tahap pengakaran menggunakan MS + NAA 0,54 µM.

98

VI.

PEMBAHASAN UMUM

6.1. Peran Sitokinin dalam Perbanyakan In Vitro Perbanyakan tanaman nenas dengan teknik in vitro lebih efisien dengan menghasilkan bibit lebih banyak, cepat dan seragam dibandingkan perbanyakan tradisonal dan modifikasinya. Perbanyakan in vitro nenas kultivar Queen klon Bogor melalui organogenesis langsung dalam media MS + 2,22-8,88 µM BAP + 1,61 µM NAA menghasilkan rata-rata 26 tunas/eksplan/3 bulan atau 17 576 tunas/eksplan per tahun. Nenas kultivar Smooth Cayenne klon Subang dengan menggunakan teknik etiolasi secara in vitro menghasilkan 1 296 tunas/eksplan per tahun.

Sementara itu dengan perbanyakan secara alami, nenas klon Bogor

menghasilkan 8-12 anakan/tanaman per tahun (Sari, 2002; Apriyani, 2005) sedangkan nenas kultivar Smooth Cayenne menghasilkan 2-3 anakan/tanaman per tahun (Purseglove, 1972; Coppens d’Eeckenb rugge et al. 2001). Modifikasi teknik perbanyakan

tradisional menghasilkan

15-256 bibit/sucker per tahun

(Selamat, 1996). Tanaman regeneran klon Bogor hasil perlakuan dengan 2,22-4,44 µM BAP menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang cepat dan seragam.

Kualitas

buah yang dihasilkan lebih baik dibandingkan buah dari tanaman di tempat asalnya. Penggunaan TDZ dan BAP menginduksi munculnya variasi somaklonal dengan kisaran yang dapat ditoleransi yaitu berturut-turut sebesar 1,9-2,52% dan 1,82-3,17%.

Menurut Cote et al. (1993); Smith dan Drew (1990) variasi yang

dapat ditoleransi sebesar 3-5%. Variasi yang muncul adalah tanaman berdaun variegata, tanaman roset dan tanaman kerdil. Tanaman roset dan tanaman kerdil dapat berubah

menjadi tanaman normal seiring dengan bertambahnya umur

tanaman dan tanaman mampu menghasilkan buah. Tanaman variegata mampu menghasilkan buah dan rasanya tidak berubah.

Tanaman regeneran dengan

morfologi normal menunjukkan kestabilan genetik berdasarkan analisis RAPD dengan primer OPG 2 dan OPE 7 dan analisis sistem enzim PER, ADH, MDH dan EST. Tanaman variegata yang berbeda secara morfologi dengan tanaman normal menghasilkan pita monomorfik berdasarkan analisis RAPD dengan primer OPG 2 tetapi dengan primer OPE 7 menghasilkan 33 % pita polimorfik.

99

Kultivar Queen dan Smooth Cayenne menunjukkan respon yang berbeda pada tahap induksi tunas (MS0) dan media multiplikasi dengan menggunakan BAP dan TDZ. Media MS0 sesuai untuk induksi tunas nenas kultivar Queen klon Bogor dan tidak cocok untuk kultivar Smooth Cayenne klon Subang. Perbedaan ini diduga berhubungan dengan perbedaan kandungan sitokinin dan auksin endogen pada mata tunas aksilar mahkota bua h yaitu ZPT endogen nenas kultivar Queen lebih tinggi dibandingkan nenas kultivar Smooth Cayenne. Dalam media induksi nenas kultivar Smooth Cayenne perlu ditambahkan sitokinin agar dapat dihasilkan tunas lebih cepat dan jumlah tunas lebih banyak ZPT sitokinin ditambahkan dalam media agar terjadi multiplikasi tunas. Hasil penelitian menunjukkan, penambahan BAP dan TDZ meningkatkan multiplikasi tunas dibandingkan dalam media tanpa ZPT. Hal ini disebabkan tunas yang tumbuh dalam media tanpa sitokinin diinduksi oleh sitokinin endogen yang konsentrasinya rendah karena hanya sitokinin tipe adenin yang berikatan dengan reseptor (Nielsen et al. 1995). Jenis dan konsentrasi sitokinin sangat menentukan keberhasilan multiplikasi tunas. Pembentukan tunas secara spontan menggunakan BAP dengan konsentrasi 2,22 µM sedangkan bila menggunakan TDZ dengan konsentrasi 4,54 x 10-3 µM. Hasil yang sama terjadi pada induksi embriogenesis somatik kacang tanah, yaitu konsentrasi optimal TDZ 10 µM sedangkan BAP 50 µM (Victor et al. 1999), konsentrasi optimal TDZ 100 nM dalam multiplikasi tunas teh sedangkan BAP 10 µM (Mondal et al. 1998). Konsentrasi TDZ yang dibutuhkan lebih rendah karena: 1) TDZ resisten terhadap enzim sitokinin oksidase, lebih stabil dan lebih aktif (Mok et al. 1987), 2) TDZ dapat mendorong konversi ribonukleotida ke bentuk ribonukleosida yang secara biologi lebih aktif (Capelle et al. 1983), 3) TDZ dapat menstimulasi sintesis sitokinin tipe adenin endogen atau menghambat degradasi sitokinin karena TDZ resisten terhadap enzim sitokinin oksidase (Thomas dan

Katterman, 1986).

Walaupun TDZ lebih efektif dalam menginduksi tunas nenas klon Bogor secara spontan namun jumlah tunas yang dihasilkan lebih sedikit dan lebih lama dibandingkan penggunaan BAP. Penambahan TDZ 4,54 x 10-3 µM menghasilkan 5 tunas/eksplan/25 minggu sedangkan penambahan 4,44 µM BAP menghasilkan 26 tunas/eksplan/11 minggu. TDZ dengan konsentrasi 4,54 x 10-1 µM

100

menghasilkan 36 tunas/eksplan/25 minggu, namun sebagian besar tunas tersebut berasal dari regenerasi kalus nodular.

Regenerasi tunas melalui kalus sering

menginduksi variasi somaklonal karena kalus akan merangsang munculnya enzim penginduksi stress dan produk sampingan khusus (McClintock, 1984 dalam Skirvin et al. 1994).

Jadi perbanyakan nenas klon Bogor lebih sesuai

menggunakan BAP daripada TDZ. Perbanyakan nenas kultivar Smooth Cayenne dengan menggunakan BAP dan TDZ melalui organogenesis kurang efektif karena menginduksi pembentukan kalus nodular dan menghasilkan sedikit tunas yaitu 6-24 tunas/eksplan/8 bulan. Adanya kalus nodular akan menghasilkan tunas adventif, dan menurut Karp (1989 dalam Skirvin et al. 1994) tunas adventif menunjukkan variasi yang lebih besar dibanding tunas aksilar. Keseragaman genetik dapat dipertahankan dengan menggunakan bagian tunas aksilar sebagai eksplan dalam perbanyakan in vitro (Geoege dan Sherrington, 1984). Oleh karena itu dilakukan perbanyakan dengan teknik etiolasi.

Metode teknik etiolasi dilakukan dengan 2 tahap, yaitu tahap

induksi tunas etiolasi dalam media MS0 + 5,37 µM NAA selama 10 minggu dalam ruangan gelap dan tahap multiplikasi dengan menggunakan MS0 + 17,76 µM BAP dan tahap pengakaran MS0 + 0,54 µM NAA.

Dengan teknik ini

dihasilkan tanaman regeneran yang diharapkan stabil karena tunas yang dihasilkan berasal dari tunas aksilar yang ada pada buku tunas etiolasi. Rice et al. (1992), menyatakan variasi somaklonal pada meristem tunas atau mata tunas aksilar dapat ditekan karena derajat stabilitasnya tinggi dan lebih plastis. Perbanyakan dengan teknik etiolasi menghasilkan 1 296 plantlet/eksplan/tahun. DeWald et al. (1988) memperoleh hasil plantlet yang berbeda untuk kultivar nenas berbeda yaitu kultivar PRI-67 menghasilkan 300-350 plantlet/mata tunas aksilar/13 bulan dan kultivar Smooth Cayenne menghasilkan 40-85 plantlet/mata tunas aksilar/13 bulan. Sitokinin BAP dan TDZ menghambat pembentukan akar secara spontan pada konsentrasi yang berbeda, yaitu BAP dengan

konsentrasi 17,76 µM

sedangkan TDZ dengan konsentrasi 4,54 x 10-2 µM. Akar dapat diinduksi dengan mensubkulktur ke media pengakaran yaitu MS + 0,54 µM NAA untuk yang berasal dari BAP, sedangkan yang berasal dari TDZ sebelumnya disubkultur ke

101

media MS0 2 kali atau lebih tergantung konsentrasi TDZ yang digunakan pada tahap induksi baru selanjutnya disubkultur ke media akar. Sitokinin bersinergi dengan auksin dalam menstimulasi pembelahan sel dan bersifat antagonis dengan auksin dalam mengontrol inisiasi akar dalam kultur jaringan dan proses dominansi

apikal (Binns, 1994).

Sitokinin dan auksin

sebagai modulator pembelahan sel dan diperlukan untuk mendorong pertumbuhan sel.

Sitokinin akan menginduksi kompleks enzim yang berperan sebagai pusat

pengatur siklus sel. Kompleks enzim terdiri atas sub unit katalitik yang disebut cyclin-dependent kinase (CDK) dan subunit regulator yang disebut cyclin (Stals et al. 2000). Aktifitas kompleks enzim CDK/cyclin akan mengaktifkan proses siklus pada tahap transisi antara gap 2 dan mitosis (G2/M). Dua titik utama dalam siklus sel adalah transisi antara G1/S dan G2/M (Meszaros et al. 2000). Subkultur berulang pada media mengandung TDZ menyebabkan tidak terbentuk tunas dan hanya menginduksi kalus nodular berlebihan, kalus tersebut bila tidak disubkultur ke media MS0 akan mengalami nekrosis. Hal tersebut disebabkan akumulasi sitokinin, dan akumulasi dihilangkan dengan melakukan subkultur ke media tanpa ZPT agar terjadi regenerasi dan multiplikasi tunas (Mondal et al. 1998).

Sedangkan nekrosis disebabkan oleh adanya etilen.

Sintesis etilen dapat diinduksi oleh TDZ dan luka potongan eksplan ((Khadafalla dan Hattori, 2000). Pada tanaman teh yang diinduksi dengan TDZ dapat disubkultur 6 kali dalam media MS0 dan tetap terjadi multiplikasi tunas (Mondal et al. 1998).

Subkultur

berulang

pada media mengandung BAP akan

meningkatkan pembentukan tunas (Nielsen et al. 1995; Mondal et al. 1998) Nielsen et al. (1995) mengajukan hipotesis mengenai model aksi sitokinin TDZ dan BAP dengan

menggunakan tanaman Miscanthus X ogiformis

‘Giganteus’. Reseptor sitokinin yang disebut cytokinin-binding protein (CBP) mempunyai 2 situs pengikatan yaitu satu untuk sitokinin tipe adenin dan satu untuk sitokinin tipe fenilurea.

Pengikatan sitokinin tipe adenin ke CBP

menginduksi pembentukan tunas (Tamas, 1987 dalam Nielsen et al. 1995), menghambat pembentukan akar dan memperpendek batang (George, 1993 dalam Nielsen et al. 1995). Penambahan sitokinin eksogen akan meningkatkan efek sitokinin karena banyak sitokinin tipe adenin yang berikatan dengan CBP.

102

Subkultur berulang pada media mengandung TDZ menurunkan tunas yang terbentuk karena pengikatan TDZ ke CBP menyebabkan perubahan konformasi tempat pengikatan sitokinin tipe adenin sehingga sitokinin tipe adenin tidak dapat berikatan dengan CBP efek sitokinin tertekan.

Sedangkan subkultur berulang

pada media mengandung BAP akan meningkatkan pembentukan tunas disebabkan oleh meningkatnya pengikatan sitokinin tipe adenin dengan CBP.

6.2. Variasi Somaklonal pada Perbanyakan In Vitro Variasi somaklonal merupakan mutasi yang dapat terjadi pada gen resesif atau dominan, karakter yang diatur gen tunggal atau poligen dan efek epigenetik (Broertjes & VanHarten, 1988). Pada penelitian ini dihasilkan variasi fenotipe yang terdiri atas: tanaman roset, tanaman variegata dan tanaman kerdil. Di lapangan tanaman roset dan tanaman kerdil dapat berubah menjadi tanama n normal seperti tanaman di tempat asalnya. Kedua varian mungkin merupakan variasi somaklonal yang disebabkan efek epigenetik. Dal Vesco et al. (2000) dalam Feuser et al. (2003) menyatakan jika fenotipe tanaman berubah menjadi seperti tanaman standar disebut epigenetik. Tanaman variegata terjadi karena sel-sel yang mengalami mutasi tersebar pada jaringan tanaman (Broertjes & VanHarten, 1988) dan adanya mutasi DNA kloroplas yang mempengaruhi ekspresi gen yang berhubungan klorofil (VanHarten, 1988). Mutasi gen kloroplas menyebabkan daun tanaman strawberi hasil perbanyakan in vitro berwarna kuning (Hugesh 1989). Variasi somaklonal juga terjadi pada tanaman peach (Hashmi et al. 1997), bit (Munthali et al. 1996), strawberi (Nehra et al. 1994), pisang (Vuylsteke et al. 1996). Frekuensi variasi somaklonal bergantung pada banyak faktor yaitu spesies, genotipe, tipe eksplan (Feuser et al. 2004), komposisi media, kondisi fisik kultur dan umur kultur (Vasil & Vasil 1980 dalam Feuser et al. 2004).

Variasi

somaklonal dapat disebabkan oleh modifikasi jumlah kromosom dan struktur, metilasi, perubahan struktur dan susunan genom, atau substitusi nukleotida (Evans et al. 1984). Cecchini et al. (1992) melaporkan pada tanaman regeneran Pisum sativum terjadi peningkatan metilasi DNA dan penurunan kandungan DNA.

103

Metilasi yang terjadi pada DNA yang mengkode gen aktif akan menyebabkan gen tersebut menjadi tidak aktif, sehingga terjadi keragaman (Jayasankar, 2005). Hasil penelitian menunjukkan, tanaman nenas kultivar Queen klon Bogor hasil perbanyakan in vitro dengan penambahan BAP 2,22-17,76 µM pada media MS + 1,61 µM NAA tidak menunjukkan perbedaan pola pita dari 4 sistem enzim yaitu PER, MDH, EST dan ADH. Teknik ana lisis isozim dapat digunakan untuk mendeteksi adanya variasi somaklonal pada tanaman nenas (Feuser et al. 2003), bit (Munthali et al. 1996). Feuser et al. (2003) melaporkan dapat mendeteksi adanya variasi somaklonal pada tanaman regeneran nenas kultivar Amarelinho sebesar 0,67% dengan menggunakan 4 sistem enzim PGI, PGM, PER dan MDH. Tanaman regeneran dengan morfologi normal yang berasal dari perlakuan BAP 2,22-17,76 µM SK 1, 2 dan 3 tidak menunjukkan perbedaan pola pita berdasarkan analisis RAPD secara bulk dengan primer OPG 2 dan OPE 7. Tanaman variegata yang berbeda secara morfologi dengan tanaman normal menghasilkan pita monomorfik berdasarkan analisis RAPD dengan primer OPG 2 tetapi dengan primer OPE 7 menghasilkan 33 % pita polimorfik.

Variasi

somaklonal dapat dideteksi dengan analisis RAPD yang ditandai dengan hilang atau munculnya satu atau lebih pita hasil amplifikasi (Feuser et al. 2003) dan perbedaan ukuran fragmen (Hashmi et al. 1997). Jika marker RAPD muncul pada satu tanaman sedangkan pada tanaman yang lain tidak, hal ini menunjukkan adanya perbedaan sekuen pada bagian tertentu. Hilangnya pita atau frgamen tidak terampliflikasi dapat disebabkan adanya perubahan basa tunggal atau perbedaan sekuen secara lengkap antara 2 tanaman (William et al. 1990). Shoyama et al. (1997) menyatakan, pada tanaman regeneran ginseng tidak ditemukan adanya variasi somaklonal berdasarkan analisis RAPD dengan 21 primer. Feuser et al. (2003) melaporkan dapat mendeteksi variasi somaklonal tanaman nenas kultivar Amarelinho hasil perbanyakan in vitro sebesar 7,5% dengan menggunakan 4 primer yaitu OPA 9,10, 11, 13. Penelitian ini dapat perbanyakan in

vitro tanaman

nenas

menghasilkan metode

klon Bogor secara efisien melalui

organogenesis langsung menggunakan media MS + 4,44 µM BAP + 1,61 µM NAA dengan hasil 10 650 tunas/eksplan/tahun dengan variasi hanya sebesar 1,53%.

Metode perbanyakan

yang

sesuai unt uk nenas

104

kultivar Smooth

Cayenne klon Subang dengan teknik etiolasi, yaitu tahap induksi tunas etiolasi dengan media MS + 5,37 µM NAA selama 10 minggu, dan tahap multiplikasi dengan menggunakan MS + 17,76 µM BAP. Teknik etiolasi nenas klon Smooth Cayenne dapat menghasilkan 1 296 plantlet/eksplan/tahun

105

VII. KESIMPULAN

1

Perbanyakan tanaman nenas dengan teknik in vitro lebih efisien dengan menghasilkan

bibit lebih

banyak, cepat dan seragam dibandingkan

perbanyakan tradisional dan modifikasinya. Variasi somaklonal yang muncul rendah, varian tanaman roset dan tanaman kerdil berubah menjadi normal dengan bertambahnya umur tanaman serta dapat menghasilkan buah normal. 2

Nenas kultivar Queen dan Smooth Cayenne menunjukkan respon berbeda dalam media induksi tunas (MS0) dan media multiplikasi mengandung BAP dan TDZ, sehingga sistem perbanyakan in vitro nenas kultivar Queen dan Smooth Cayenne berbeda.

3

Nenas kultivar Queen dalam media induksi lebih cepat dan lebih banyak menghasilkan tunas dibandingkan kultivar Smooth Cayenne. BAP dan TDZ menunjukkan berulang

pengaruh berbeda terhadap multiplikasi tunas.

Subkultur

pada media BAP akan meningkatkan jumlah tunas sedangkan

subkultur berulang pada media TDZ hanya menghasilkan kalus nodular. Perlakuan TDZ dilanjutkan subkultur ke media MS0 dapat dihasilkan banyak tunas. TDZ lebih efektif dibandingkan BAP dalam menginduksi tunas secara langsung nenas kultivar Queen.

BAP dan TDZ tidak efektif untuk

perbanyakan in vitro melalui organogenesis kultivar Smooth Cayenne, lebih baik menggunakan teknik etiolasi. 4

Penambahan 2,22-17,76 µM

BAP dan 0,23-0,46 µM TDZ menginduksi

munculnya tanaman variegata, tanaman roset dan tanaman berdaun kecil dan kaku dengan frekuensi 1,98-2,52%. Tanaman roset dan tanaman berdaun kecil dan kaku dapat tumbuh menjadi tanaman normal. Perlakua n 4,44 µM BAP menghasilkan tanaman regeneran dengan pertumbuhan vegetatif dan kualitas buah lebih baik dan seragam dibanding tanaman dari tempat asal. Variasi yang muncul sebesar 1,53%. 5 Tanaman regeneran nenas kultivar Queen dengan morfologi normal menunjukkan kestabilan genetik berdasarkan analisis RAPD dengan primer OPG 2 dan OPE 7 dan analisis sistem enzim PER, ADH, MDH dan EST. Tanaman variegata yang berbeda secara morfologi dengan tanaman normal

106

menghasilkan pita monomorfik berdasarkan analisis RAPD dengan primer OPG 2 tetapi dengan primer OPE 7 menghasilkan 33 % pita polimorfik.

REKOMENDASI 1

Perbanyakan nenas kultivar Queen klon Bogor menggunakan media MS0 + 4,44 µM BAP + 1,61 µM NAA selama 11 minggu dilanjutkan dengan pengakaran pada media MS0 + 0,54 µM NAA selama 7 minggu. Teknik perbanyakan tersebut dihasilkan 10 650 tunas/eksplan/tahun. Subkultur bisa dilakukan 3 kali dan selanjutnya disubkultur ke media MS0 untuk dijadikan sebagi sumber eksplan.

Tanaman regeneran di lapangan lebih vigor dan

menghasilkan buah dengan kualitas lebih baik serta seragam.

Variasi

somaklonal yang muncul rendah yaitu 1,53%. 2

Perbanyakan nenas kultivar Smooth Cayenne menggunakan teknik etiolasi dengan 4 tahap, yaitu tahap induksi tunas etiolasi dalam media MS0 + 5,37 µM NAA selama 10 minggu, tahap penyesuaian tunas

etiolasi terhadap

cahaya selama 1 minggu, tahap multiplikasi dengan menggunakan MS0 + 17,76 µM BAP dan tahap pengakaran MS0 + 0,54 µM NAA. Teknik etiolasi menghasilkan 1 296 plantlet/eksplan/tahun.

107

DAFTAR PUSTAKA

Adam WT. 1983. Application of isozymes in tree breeding. Di dalam: Tanksley SD, Orton TJ. editor. Isozymes in Plant Genetic and Breeding. Part A. Elsevier. Amsterdam. P. 381-399. Ahloowalia BS, Prakash J, Savangikar VA, Savangikar C. 2004. Plant tissue culture. International Atomic Energy Agency. Austria. P.3-10. Akasaka Y, Daimon H, Mii M. 2000. Improved plant regeneration from cultured leaf segments in peanut (Arachis hypogeae L.) by limited exposure to thidiazuron. Plant Sci. 156:169-175. Al-Zahim MA, Ford-Lloyd BV, and Newbury HJ. 1999. Detection of somaclonal variation in garlic (Allium sativum L.) using RAPD and cytological analysis. Plant Cell Report 18:473-477. Anonim. 2001. Data base Pasar International Hortikultura. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura. Deptan. Jakarta. hlm. 5279 Apriyani, SI. 2005. Analisis keragaman nenas koleksi PKBT berdasarkan penanda morfologi dan penanda RAPD (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bo gor. 57 hlm. (Tidak dipublikasi) Aradhya MK, Zee F, Manshardt RM. 1994. Isozyme variation in cultivated and wild pineapple. Euphytika 79:87-99. Asra R, Netty WS, Dawair Z. 2000. Respon meristem mahkota nenas (Ananas comosus L. cv. Queen) terhadap penambahan BAP pada medium MS. J. Agr. Univ. Jambi, 4(2):39-42. Bartholomew DP. Criley RA. 1988. Tropical fruit and beverage crops. Di dalam: Nickell LG, editor. Plant Regulating Chemicals. CRC Press, Inc. Florida. Beyl CA. 2005. Getting started with tissue culture: media preparation, sterile technique, and laboratory equepment. Di dalam: Trigiano RN, Gray JD, editor. Plant Development and Biotechnolgy. CRC Press. New York. p.19-38. Binns AN. 1994. Cytokinin accumulation and action: biochemical, genetic and molecular approaches. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 45: 173-196. Broentjes C, Van Harten AM. 1988. Applied Mutation Breeding for Vegetatively Propagated Crops. Elsevier. Amsterdam-Tokyo. P. 29-43

108

Brand MH, Kiyomoto R. 1997. The induction of tissue proliferation- like characteristics in in vitro cultures of Rhododendron ‘Montego’. HortScience 32:989-998. Capelle SC, Mok DWS, Kirchner SC. 1983. Effects of thidiazuron on cytokinin autonomy and the metabolism of N6-(2-isopentenyl)[8- 14 C] adenosin in callus tissue of Phaseolus lunatus L. Plant Physiol 81:681-683. Cecchini E, Natali L, Cavallini A, Durante M. 1992. DNA variations in regenerated plant of pea (Pisum sativum L.). Theor Appl Genet 84:874879. Chang C, Chang W. 2000. Effect of thidiazuron on bud development of Cymbidium sinense Willd in vitro. Plant Growth Regul. 30:171-175. Chen Y, Piluek C. 1995. Effect of thidiazuron and N6-benzylaminopurine on shoot regeneration of Phalaenopsis. Plant Growth Regul. 16:99-101. Chen WH, Chen TM, Fu YM, Hsieh RM, Chen WS. 1998. Studies on somaclonal variation in Phalaenopsis. Plant Cell reports. 18:7-13. Collins JL. 1968. Pineapple. Botany, Cultivation and Utilization. Leonard Hill. London. 294 p Coppens d’Eeckenbrugge G, Leal F, Duval MF, Malezieux E. 2001. Pineapple. Di dalam: Rasdan MK, editor. Topical Plant Breeding. Sciencia Publisher, Inc. CIRAD. USA. P. 402-424. Cote FX, Sandoval JA, Marie Ph, Auboiron E. 1993. Variations in micropropagated bananas and plantain: Literatur Survey. Fruits 48 (1): 15-22. Debener, T. 2002. Molecular Markers as a tool for analyses of genetic relatedness and selection in ornamentals. Di dalam: Vainstein A, editor. Breeding for Ornamentals : clasiccal and molecular Approaches. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. p. 47-83. Deng ZN et al. 1995. Identification of in vivo and in vitro lemon mutants by RAPD markers. J. Hort Sci. 70:117-125. DeWald MG, Moore GA, Sherman WB, Evans MH. 1988. pineapple plants in vitro. Plant Cell Report 7: 535-537

Production of

Doyle JJ, Doyle JL. 1987. Isolation of plant DNA from fres tissue. Focus 12: 13-15.

109

Durante M, Geri C, Grivard J, Guille E, Parenti R, Buiatti M. 1983. Variation in DNA complexity in Nicotiana glauca tissue culture. I Pith tissue dediferentiation in vitro. Protoplasma 114:114-118 Ernst R. 1994. Effect of thidiazuron on in vitro propagation of Phalaenopsis and Doritaenopsis (Orchidaceae). Plant Cell Tissue Organ Culture 39:273275. Evans DA, Sharp WR, Media-Filho HP. 1984. Somaclonal and gametoclonal variation. Amer. J. Bot. 71:759-774 Feuser S, Meler K, Daquinta M, Guerre MP, Nodari RO. 2003. genotypic fidelity of micropropagated pineappple (Ananas comosus) plantlets assesed by isozyme and RAPD. Plant Cell Tissue Organ Culture 72: 221227. Fiorino P, Loreti F. 1987. Propagation of fruit trees by tissue culture in Italy. HortScience 22:353-358. Firoozabady E, Gutterson N. 2003. Cost-efffective in vitro propagatio n methods for pineapple. Plant Cell Rep 21:844-850. Fratini R, Ruiz MR. 2002. Comparative study of different cytokinins in the induction of morphogenesis in lentil (Lensculinaris medik.). In Vitro Cell Dev. Biol. Plant. 38:46-51. Genkov T, Ivanova I. 1995. Effect of cytokinin-active phenylurea derivative on shoot multiplication, peroxidase and superoxide dismutase activities of in vitro culture Carnation. BULG. J. Plant Physiol 21: 73-83. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Handbook and Directory of Comercial Laboratories. Exegetic Ltd. Eversley England. 709p. Ghesquiere M. 1984. Enzymes polymorphism in oil palm (Elaieis quineensis Jacq) I. Genetic control of nine enzyme systems. Oleagineux. 39:561574. Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, PAU Bioteknologi, IPB. Bogor. 252 hal. Hackett WP. 1983. 18:840-844.

Phase change and intraklonal variability. HortScience

Hadiati S, Murdaningsih HK, Baihaki A, Rostini N. 2002. Variasi pola pita dan hubungan kekerabatan nanas berdasarkan analisis isozim. Zuriat 2: 65-72.

110

Hare PD, van Staden J. 1994. Cytokinin oxidase: biochemical feature and physiological significance. Physiologia Plantarum 91: 128-136. Hartman HD, Kester DE. 1984. Plant Propagation Principle and Practice. Prentice-Hall of India Private Limited. New delhi. 662p. Hashmi, G., R. Huettel, R. Meyer. L. Krusberg and F. Hammerschlag. 1997. RAPD analysis of somaclonal variants derived from embryo callus cultures of peach. Plant Cell Reports 16:624-627. Hugesh JA. 1989. Strawberry june yellow-a review. Plant pathology 38:146160. Huetteman CA, Preece JE. 1993. Thidiazuron: a potent cytikinin for woody plant tissue culture. Plant Cell Tissue Organ Culture 33: 105-119. Hwang SC, Ko WH. 1986. Somaclonal variation of banana and screening for resistance to Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ, DeLange EA, editor. Banana and Plantain Breeding Strategies. Austral. Centre Intl. Agr. Res. Proc. Ser. 21. Canberra. p.151-156. IBPGR. 1986. Genetic resources of tropical and sub-tropical fruits and Nuts. Rome. p. 26-29. Imelda, M, Erlyandari F. 2000. Perbanyakan in vitro nanas Bogor (Ananas comosus (L.) Merr.) melalui proliferasi tunas. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi III, Cibinong, 7-9 Maret 2000. LIPI. Bogor. hlm. 443-448 Jayasankar S. 2005. Variation in tissue culture. Di dalam Trigiano RN, Gray JD, editor. Plant Development and Biotechnolgy. CRC Press. New York. p.301-310. Kaeppler SM, Kaeppler HF, Rhee Y. 2000. Epigenetic aspect of somaclonal variation in plants. Plant Molecular Biology. 42:251-269. Karp A. 1989. Can genetic instabilty be controlled in plant tissue culture? Nwsl. Intl. Assn. Plant Tissue Culture 58:2-11. Khadafalla MM, Hattori K. 2000. Ethylene inhibitors enhance in vitro root formation on faba bean shoots regenerated on medium containing thidiazuron. Plant growth Regulation 32: 59-63. Kester DE. 1983. The clone in horticulture. HortScience 18 (6): 831-837 Kevers C, Gasper T. 1985. Vitrification of carnation in vitr: changes in ethylene production, ACC level and capacity to convert ACC to ethylene. Plant Cell Tissue Organ Culture 4:215-223.

111

Kiss E, Kiss J, Gyulai G, Heszky LE. 1995. A novel method for rapid micropropagation of pineapple. HortScience 30:127-129. Koch G, Jung C. 1997. Phylogenetic relationships of industrial chicory varieties revealed by RAPDs and AFLPs. Agronomie 17:323-333. Konan NK, Schopke C, Carcamo R, Beachy RN, Fauquet C. 1997. An efficient mass propagation system for cassava (Manihot esculenta Crantz) based on nodal explants and axillary bud-derived meristems. Plant Cell Reports 16: 444-449. Lakshmanan P, Lee CL, Goh CJ. 1997. An effcient in vitro method fr mass propagation of a woody ornamental Ixora coccinea L. Plant Cell Reports 16:572-577. Larkin PJ, Scowcrft WR. 1981. Somaclonal variation – a novel source of variability from cell cultures for plant improvement. Theor Appl Genet 60:197-214. Mattjik NA. 2005. Peran Kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. 102 hal. Mercier H, Souza BM, Kraus JE, Hamasaki RM, Sotta B. 2003. Endogenous auxin and cytokinin contents associated with shoot formation in leaves of pineapple cultured in vitro. Braz. J. Plant Physiol 15: 107-112. Meszaros T, Miskolozi P, Ayaydin F, Pettko-Szandtner A, Peres A, Magyar Z, Horvath GV, Bako L, Feher A, Dudits D. 2000. CDK-related protein kinases in plants. Plant Molecular Biology. 43:607-620 Mhatre M, Soneji J, Rao PS. 2002. Pineepple: high efficiency in vitro regeneration, field performance and PCR/RAPD evaluation of regenerants. Abstracts from 4th Symposium (Hawai). Mok MC, Mok DWS. Turner JE, Mujer CV. 1987. Biological and biochemical effect of cytokinin active phenylurea derivatives in tissue culture systems. HortScience 22:1194-1200. Mondal TK, Bhattacharya A, Sood A, Ahuja PS. 1998. Micropropagation of tea (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) using thidiazuron. Plant growth Regulation. 26: 57-61. Moore TC. 1979. Biochemistry and Physiology of Hormones. Springer-verlag, New York Heidelberg Berlin. 274p.

112

Mufa’adi A. 2003. Pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan IAA terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman daun dewa (Gynura procumbens (Back.) (Skripsi). Jurusan budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasi) Munthali MT, Newbury HT, Ford-Lloyd BV. 1996. The detection of somaclonal variant of beet using RAPD. Plant Cell Report 15 (7):474-478. Murthy BNS, Murch SJ, Saxena PK. 1995. Thidazuron induce somatic embryogenesis in intack seedling of peanut (Arachis hypogea L.): endogenous growth regulator levels and significance of cotyledons. Physiol Plant 94: 268-276. ----------------, Victor J, Singh RP, Fletcher RA, Saxena PK. 1996. In vitro regeneration of chickpea (Cicer arietinum L.): stimulation of direct organogenesis and somatic embryogenesis by thidiazuron. Plant Growth Regul 19:233-240. Mustikartini ED. 2005. Analisis pola hubungan antara morfologi, isozim dan fitohormon pada berbagai bahan perbanyakan vegetatif nenas subang (Tesis). Sekolah Pascasarjana, institut Pertanian Bogor. 57 hlm. (Tidak dipublikasi) Nakasone HY, Paull RE. 1999. Tropical Fruits. CAB International. p.292-327 Nehra NS, Karta KK, Stushnoff c, Giles KL. 1994. Effect of in vitro propagation methods on field performance of two strawberry cultivars. 107-115. Euphytica 76:107-115 Newbury HJ, Ford-Lloyd BV. 1993. The use of RAPD for assesing variation in plants. Plant Growth Regulation. 12: 43-51. Nickell, L.G. 1988. Plant growth regulating chemicals Vol. II CRC Press. Boca Raton, Florida. P. 3-11. Nielsen JM, Hansen J, Brandt K. 1995. synergis of thidiazuron and benzyladenin on axillary shoot formation depends on sequence of application in Miscanthus X ogiformis ‘Giganteus’. Plant Cell Tissue Organ Culture 41:165-170. Orton TJ. 1984. Somaclonal variation: Theoritical and practical considerations. Di dalam Gustafson JP, Editor. Gene Manipulation and Plant Improvement. Plenum Press, New York. p. 427-468. Paull RE. 1997. Pineapple. Di dalam: Mitra SK, Editor. Post Harvest Physiology and Storage of Tropical and Subtropical Fruits. CAB International. p. 123-143.

113

Petty GJ, Stirling GR, Bartholomew DP. 2002. Pest of Pineapple. Di dalam: Pena JE, Sharp JL, Wysoki M, Editor. Tropical Fruit Pest and Pollinators. CABI Publishing. 157-195 Pierik RLM. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Publisher. Netherland.

Martinus Nijhoff

Ploetz RC, Zentmyer GA, Nishijima WT, Rohrbach KG, Ohr HD. Compendium of Tropical Fruit Diseases. APS Press. P. 45-68.

1996.

Poerwanto R. 2003. Peran manajemen budidaya tanaman dalam rangka peningkatan ketersediaan dan mutu buah-buahan. IPB. Bogor. 86 hal. Prahardini PER, Sudaryono T, Soertini S, Santi A. 1995. Pengaruh benzyl adenin dan asam giberelat terhadap pertunasan in vitro nanas. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi III, Cibinong, 7-9 Maret 2000. LIPI. Bogor. hlm. 208-218 Purseglove JW. 1972. Tropical crops. Monocotyledons I. Longman Group Limited. London. P. 75-91. Puspita I. 2001. Pengaruh media preservasi dan lama penyimpanan gelap terhadap kemampuan tumbuh kentang (Solanum tuberosum) (skripsi). Jurusan budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasi) Rahardi FK, Harry AW. 1997. Kamus Pertanian Umum. Penebar Swadaya. Jakarta. 533 hlm. Rangan TS. 1984. Pineapple. Di dalam: ammirato PV, Evans DA, Sharp WR, Yamada Y, Editor. Hand book of Plant Cell Culture Volume 3. P. 373382. Rice RD, Alderson PG, Ranchhod A. 1992. Micropropagtion:Principles and commercial practice. Di dalam: Fowler, MW, Warren GS, editor. Plant Biotechnology. Pergamon Press. Tokyo. p. 129-150. Roose ML. 1988. Isozymes and DNA restriction fragmen length polimorphisms in citrus breeding and systematics. Proceedings of the International Society of Citriculture 1: 155-165. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan III. Terjemahan Lukman DR, Sumaryono. ITB. Bandung. Hlm. 33-64 Sambrook, J., E.F. Fritish and T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York. P. 568-600. Samson, JA. 1980. Tropical Agriculture Series Tropical Fruit. Published in the United State of America by Longman Inc. New YORK. P. 163-183.

114

Sari, RN. 2002. Analisis keragaan morfologi dan kualitas buah populasi nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) Queen di empat desa kabupaten Bogor. (Skripsi). Jurusan budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 40 hlm. (Tidak dipublikasi). Schwarc OJ, Sharma AR, Beaty RM. 2005. Propagation from Nonmeristemtic Tissue:Organogenesis. Di dalam: Trigiano RN, Gray JD, editor. Plant Development and Biotechnolgy. CRC Press. New York. p.159-172. Selamat, M.M. 1996. Pineapple nursery setup and production on peatland areas. Proceedings of the international conference on tropical fruits, Malaysia, 23-26 Juli 1996. MARDI. Malaysia. Skirvin RM. 1978. Natural and induce variation in tissue culture. Euphytica 27: 241-266. ---------------, McPheters KD, Norton M. 1994. Sources and frequency of somaclonal variation. HortScience 29:1232-1237. Shoyama Y, Zhu X, Nakai R, Shiraishi S, Kohda H. 1997. Micropropagation of Panax notoginseng by somatic embryogenesis and RAPD analysis of regeneratd planlets. Plant Cell Rep. 16:450-453. Smith MK, Drew RA. 1990. Current application of tissue culture in plant propagation and improvement. Austral. J. Plant Physiol. 17:267-289. -------------, Ko HL, Hamil SD, Sanemski GM. 2002. Pineapple Transformation: Managing Somaclonal Variation. Proceedings of the International Symposium on Tropical and Subtropical Fruits. Vol 1. Acta Hort 575: 69 -74. Stals H, Casteels P, Montagu MV, Inze D. 2000. Rgeulation of cyclindependent kinases in Arabidopsis thaliana. Plant Molecular Biology. 43:583-593. Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Pusat Penelitian Biologi. LIPI. 125 hal. Suttle JC. 1985. Involvement of ethylene in the action of the cotton defoliant thidiazuron. Plant Physiol 78: 272-276 Taiz L, Zeiger E. 1991. Plant Physiology. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. 559p. Teng WL. 1997. An Alternative propagation method of Ananas through nodule culture. Plant Cell Report. 16: 454-457

115

Thomas JC, Katterman FR. 1986. Cytokinin activity induce by thidiazuron. Plant Physiol 81:681-683. Van Harten AM. 1988. Mutation breeding of vegetatively propagated ornamentals. Di: dalam Broentjes C, Van Harten AM, editor. Applied Mutation Breeding for Vegetatively Propagated Crops. Elsevier. Amsterdam- Tokyo. P 105-127. Victor JMR, Murch SJ, Krishna Raj S, Saxena PK. 1999. Somatic embryogenesis and organogenesis in peanut: The role of thidiazuron and N6-benzylaminopurine in the induction of plant morphogenesis. Plant Growth Regulation 28:9-15. Vuysteke DR, Swennen RL, Wilson GF, De Langhe EA. 1988. Phenotypic variation among propagated plantain (Musa spp.cv. AAB). Scientia Hort. 36:79-88. ----------------, Swennen RL, De Langhe EA. 1991. Somaclonal variation in plantains (Musa spp., ABB group) derived from shoot-tip culture. Fruits 46:429-439. ----------------, Swennen RL, De Langhe EA. 1996. Field performance of somaclonal variants of plantain (Musa spp.,AAB group). J.Amer.Soc.Hort. Sci. 121:42-46. Wakasa K. 1979. Variation in plant defferentiated from the tissue culture of pineapple. Jpn J. Breed. 29:13 Wattimena GA, Gunawan LW, Armini NM. 1992. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar universitas, Institut Pertanian Bogor. 305 hlm. Wee YC, Thongtham MLC. 1997. Ananas comosus L. Merr. Di dalam:. Verheij EWM, Coronel RE, editor. Buah-buahan yang Dapat Dimakan. Prosea. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Weeden NF, Wendel JF. 1989. Genetic and plant isozymes. Di dalam: Soltis PS and Soltis, editor. Isozymes in Plant Biology. Diocorides Press. Portland, Oregon. p.46-72. Werbrouck SPO, Debergh PC. 1994. Apllied aspecct of regeneration. 6A. Micropropagation. Di dalam: Dixon RA, Gonzales RA, editor. Plant Cell Culture. A practical approach. Oxford University Press. P. 127-135. William JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Raflaski JA, Tingey SV. 1990. DNA polymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucl Acid Res 18:6531-6535

116

Yee E, Kidwell KK, Sills GR, Lumpkin TA. 1999. Diversity among selected Vigna angularis (Azuki) Accessions on the basis of RAPD and AFLP markers. Crop Sci. 39:268-275. Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta. 92 hlm. Zhang S, Lemaux PG. 2005. Molecular aspect of in vitro shoot organogenesis. Di: dalam Trigiano RN, Gray JD, editor. Plant Development and Biotechnolgy. CRC Press. New York. p.173-172. Zepeda C. Sagawa Y. 1981. In Vitro Propagation of Pineapple. Hortscience 16:495 Zip M. 1991. Quality of micropropagated plants-vitrification. In Vitro Cell Dev Biol 27:64-69.

.

117

Sripaor S, Marchannt R, Power JB, Davey MR. 2003. Plant regeneration by embryogenesis and organogenesis in commercial pineapple (Ananas comosus L.). In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant. 39: 450-454.

Gribaudo I, Fronda A. 1991. Effect of Thidiazuron on grapevine axillary buds cultivated in vitro. HortScience 36:1083. Firoozabady E, Moy Y. 2004. Regeneration of pineapple palnts via somatic embryogenesis and organogenesis. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant. 40: 67-74.

118

Lampiran 4 Komposisi bahan kimia untuk pewarnaan isozim Jenis enzim

Bahan

Jumlah

Peroksidase (PER)

3-amino-9 ethylcarbazole 0,1 M CaCl2 30% H2 O2 0,05 Natrium asetat (pH 5)

50 mg 2 ml 0,2 ml 95 ml

Malate dehydrogenase (MDH)

NAD MTT PMS 1 M Tris-HCl (pH 8) Air

30 15 5 20 70

mg mg mg ml ml

Alkohol dehydrogenase (ADH)

NAD MTT PMS 1 M Tris-HCl (pH 8) etanol (absolut)

30 15 5 20 70

mg mg mg ml ml

Aspartat aminotransferase (AAT)

Asam aspartat Asam a – ketoglutarat Fast Blue BB salt

250 mg 150 mg 150 mg

Acid phosphatase (ACP)

Fast Garnet GBC salt 100 mg Buffer Natrium asetat (pH 5) 100 ml 0,1 M CaCl2 2 ml 1% a – naphthyl acid phosphatse 2 ml

Esterase (EST)

Larutan fosfat (NaH2 PO4 ) Larutan fosfat (NA2HPO4) Fast Blue RR salt 1% a – naphthyl acetate

148

250 250 150 2

mg mg mg ml

Perbanyakan alami/stek: lama, bibit sedikit dan tidak seragam

ZPT Kultivar Frekuensi subkultur Teknik regenerasi

Tidak efisien

Perbanyakan in vitro: cepat, bibit banyak, seragam dan stabil ???

Multiplikasi tinggi

Metode perbanyakan in vitro standar

Efisien bila

Masalah Variasi somaklonal: • Epigenetik • genetik

Evaluasi kestabilan genetik berdasarkan pengamatan karakter morfologi, isozim dan RAPD Gambar 1 Kerangka studi perbanyakan in vitro tanaman nenas dan analisis kestabilan genetik

Tanaman regeneran stabil secara genetik dan seragam

Perbanyakan in vitro tanaman nenas

Kultivar Queen klon Bogor

Kultivar Smooth Cayenne klon Subang

Pengaruh TDZ terhadap multiplikasi dan kestabilan genetik

Pengaruh BAP subkultur 1 terhadap multiplikasi, kualitas buah dan kestabilan genetik

Pengaruh BAP terhadap multiplikasi

Pengaruh TDZ, NAA dan IAA terhadap multiplikasi

Pengaruh BAP subkultur 2 terhadap multiplikasi dan kestabilan genetik

Pengaruh TDZ dan NAA terhadap multiplikasi

Pengaruh BAP subkultur 3 terhadap multiplikasi dan kestabilan genetik

Perbanyakan teknik etiolasi dengan menggunakan NAA, GA3 dan BAP

Penelt 1

Penelt 2

Tanaman regeneran seragam dan stabil Gambar 2 Alur pelaksanaan penelitian

Penelt 3