STUDI SEKUEN STRATIGRAFI FORMASI PARIGI LAPANGAN C

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014 Gambar 1. Geologi Regional cekungan jawa barat utara (Martodjojo,1984, dalam Hapsari, 2004)...

6 downloads 527 Views 2MB Size
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

STUDI SEKUEN STRATIGRAFI FORMASI PARIGI LAPANGAN C CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT Agus Mulyana Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN ”Veteran” Yogyakarta

ABSTRAK Berdasarkan interpretasi elektrofasies dan lithofasies maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 fasies pada interval penelitian : Fasies Wackstone-Grainstone Coraline Reefal, Merupakan daerah pertumbuhan dari reef, yang sangat dipengaruhi oleh naik turunnya muka air laut dicirikan oleh relatif seragamnya litologi yang terbentuk yang terdiri dari batugamping wackstone-grainstone yang menunjukkan adanya peralihan energi dari energi rendah menuju ke energi yang tinggi. Fasies ini ditunjukkan dengan harga log GR yang relatif rendah, dengan pola log GR yang terlihat berbentuk Cylindrical. Fasies packstone-wackstone lagoonal, Merupakan daerah yang terisolir yang dibatasi oleh barrier, yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya muka air laut dicirikan oleh relatif seragamnya litologi yang terbentuk yang terdiri dari batugamping packstone-wackstone yang menunjukkan adanya peralihan energi dari energi tinggi menuju ke energi yang lebih rendah. Fasies ini ditunjukkan dengan harga log GR yang relatif tinggi, dengan pola log GR yang terlihat berbentuk Bell shape. Fasies ini diinterpretasikan terbentuk pada lingkungan lagoonal yang dicirikan oleh kehadiran mineral pirit. Fasies mudstone-grainstone tidal, Merupakan daerah pengendapan yang dipengaruhi oleh naik turunnya muka air laut, yang ditandai dengan diendapkannya batugamping mudstone-grainstone dan dibeberapa tempat diendapkan shale yang berselingan dengan batugamping. Dari data litologi fasies ini menunjukkan adanya peralihan energi dari energi rendah ke energi tinggi, keterdapatan grainstone pada fasies ini diasumsikan terbentuk akibat gelombang laut yang menghantam tubuh suatu reef, dan dijumpai disekitar patch reef maupun dibelakang barrier reef. Fasies ini ditunjukkan oleh harga log GR yang sedang sampai tinggi dengan pola log Funnel shape. Fasies ini diinterpretasikan terbentuk pada lingkungan tidal flat.

PENDAHULUAN Cekungan Jawa Barat Utara telah terbukti sebagai cekungan minyak bumi yang potensial. Kegiatan eksplorasi secara aktif sekali telah dilaksanakan di Cekungan Jawa Barat Utara dimana telah terjadi penemuan – penemuan terutama pada

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

struktur – struktur antiklin. Lapisan – lapisan utama yang berproduksi adalah batupasir dari Formasi Ekuivalen Talangakar dan Formasi Cibulakan, dan batugamping dari Formasi Ekuivalen Baturaja dan Parigi yang juga berproduksi minyak dan gas bumi. Suatu hal yang menarik ialah bahwa di kawasan daratan juga telah diproduksi minyak bumi dari batuan tuffa vulkanik dan breksi dari Formasi Jatibarang. Salah satu konsep eksplorasi yang dipakai dalam pengembangan lapangan adalah konsep sikuen stratigrafi. Konsep ini memberikan pemahaman terhadap proses–proses pengendapan dan faktor faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhinya. Pemahaman tersebut sangat berguna untuk menjelaskan dan menafsirkan kejadian, pelamparan, dan geometri fasies sedimentasi batuan yang bertindak sebagai reservoar hidrokarbon. GEOLOGI REGIONAL Menurut Pertamina (1994), Cekungan Jawa Barat Utara terletak di antara Paparan Sunda di bagian utara, jalur perlipatan Bogor di selatan, daerah pengangkatan Karimun Jawa di timur dan Paparan Pulau Seribu di barat. Cekungan Jawa Barat Utara ini dikenal pula sebagai Hidrocarbon Province. Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari tiga sub cekungan dari barat ke timur, yaitu sub Cekungan Ciputat, sub Cekungan Pasir Putih dan sub Cekungan Jatibarang. Masing-masing sub cekungan tersebut dipisahkan oleh tinggian. Tinggian Rengasdengklok memisahkan sub Cekungan Ciputat dengan sub Cekungan Pasir Putih. Tinggian Pamanukan dan Tinggian Kadanghaur memisahkan sub Cekungan Pasir Putih dengan sub Cekungan Jatibarang. Konfigurasi sub cekungan dan tinggian-tinggian ini sangat mempengaruhi penyebaran batuan sedimen Tersier, baik sebagai batuan induk maupun sebagai batuan reservoir. Sistem patahan blok terbentuk selama orogenesa kapur tengah hingga awal pliosen dan diperkirakan mengontrol struktur tersier di Cekungan Jawa Barat Utara. Adanya perbedaan pergerakan blok-blok selama masa pengendapan membentuk ketebalan sedimen yang berbeda-beda. Umumya patahan-patahan yang terjadi pada cekungan memotong sedimen-sedimen akhir Miosen .(Gambar 1)

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

Gambar 1. Geologi Regional cekungan jawa barat utara (Martodjojo,1984, dalam Hapsari, 2004)

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

Gambar 2.Kolom Stratigrafi Regional Cekungan Jawa Barat Utara (Pertamina, 1994)

Gambar 3. Lingkungan Pengendapan Cekungan Jawa Barat Utara (Pertamina 1994)

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

DASAR TEORI Sikuen Stratigrafi Stratigrafi sikuen didefinisikan sebagai studi mengenai hubungan batuan dalam kerangka kronostratigrafi terhadap lapisan (strata) yang berulang dan saling berhubungan secara genetik serta dibatasi oleh permukaan erosi atau non-deposisi dan keselarasannya yang sebanding (Posamentier et al, 1999). Unit startigrafi sikuen dikenal sebagai sikuen pengendapan (depositional sequence). Satu sikuen pengendapan terbentuk dari satu siklus perubahan relatif muka air laut. Karakteristik dari reservoar, fasies sedimentasi dan biofasies merupakan bagian pembentuk sikuen pengendapan dan batas permukaan sebagai pembatas sikuen deposisional dipengaruhi oleh perubahan relatif muka air laut dan suplai sedimen yang terekam pada variasi pola sedimentasi. Sikuen ini terdiri dari beberapa interval kunci (system tract dan parasequence) dan permukaan-permukaan (permukaan transgresi dan maximum flooding surface). Interval-interval dan bidang–bidang batas ini terbentuk akibat perubahan daur pada permukaan laut relatif, yang menciptakan sikuen yang berulang dan dapat diprediksi. Ketidakselarasan yang membatasinya dan keselarasan padanannya (correlatif unconformity) menyediakan suatu kerangka kronostratigrafi untuk memetakan dan mengkorelasi batuan-batuan sedimen. Suatu sikuen dinterpretasi diendapkan selama satu sealevel cycle, yaitu dari kecepatan turunnya permukaan laut yang paling besar. Faktor Pengontrol Pola Sedimen Dalam Sikuen  Faktor Tektonik Faktor tektonik akan berkaitan erat dengan naik turunnya cekungan sedimentasi (subsidence dan uplift). Penurunan (subsidence) dasar cekungan seolah olah terjadi penambahan akomodasi atau terjadinya kenaikan muka air laut relatif. Sebaliknya, apabila terjadi kenaikan (up lift) dasar cekungan maka yang terjadi adalah pengurangan akomodasi atau penurunan muka air laut relatif.  Pasokan Sedimen (sediment supply) Banyaknya pasokan sedimen dalam suatu cekungan akan berpengaruh terhadapat penyebaran dan ketebalan endapan sedimen serta mengontrol kedalaman suatu cekungan, perubahan tektonik daratan yang lambat dapat mengontrol asal pasokan sedimen siliklastik, perubahan pusat cekungan dapat menyebabkan berubahnya pasokan rata rata siliklastik dengan jelas sekali dalam suatu daerah. Perubahan Muka Air Laut Perubahan muka air laut dapat berubah naik atau turun dan berpengaruh pada daerah yang luas. Kenaikan muka air laut relatif adalah posisi muka air laut yang relatif naik terhadap bidang pengendapan mula mula dan dicirikan oleh onlap endapan pantai.  Iklim (climate) Iklim dapat mempengaruhi tipe tipe sedimen yang diendapkan, terutama endapan evaporit dan karbonat. Variasi iklim juga menyebabkan adanya variasi pada pasokan sedimen yang diendapkan pada suatu cekungan, misalnya pada musim hujan, pasokan sedimen akan lebih banyak pada musim kering

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

I

Unit Stratigrafi Dalam Sikuen Stratigrafi

Berdasarkan kronostratigrafinya secara garis besar stratigrafi sikuen dapat dikelompokkan menjadi beberapa unit sikuen pengendapan, meliputi parasequence, depositonal sequence dan system tract .  Parasikuen (parasequence) Parasikuen didefinisikan sebagai sekumpulan bed (bed sets) yang berhubungan secara genetis dan tersusun secara selaras serta dibatasi oleh marine flooding surface (flooding surface) atau surface lain yang korelatif dengannya. Pada posisi tertentu pada sikuen, parasikuen dapat dibatasi oleh batas sikuen di bagian atas maupun bagian bawahnya (Van Wagoner et al, 1990). Kumpulan dari parasikuen yang secara genetik berhubungan membentuk pola penumpukkan (stacking pattern) yang khusus serta dibatasi oleh major flooding surface dan keselarasannya yang sebanding disebut parasequence set (Van Wagoner et al, 1990). Pola penumpukkan parasequence set ini dapat berupa progradasi, agradasi atau retrogradasi. Progradasi adalah pola yang terbentuk jika masing-masing parasikuen memiliki kumpulan fasies yang lebih dangkal dibandingkan parasikuen dibawahnya atau dengan kata lain berpogradasi lebih jauh. Kondisi ini terjadi apabila tingkat sedimentasi melebihi pertumbuhan accomodation space. Pada penampang, pola ini dikenali dengan berpindahnya kontak antar fasies ke arah laut dari parasikuen di bagian bawah ke parasikuen di atasnya. mengilustrasikan suatu parasikuen set yang memiliki pola urutan vertikal progradasi. Pola agradasi terbentuk jika masing-masing parasikuen memiliki tingkat progradasi yang sama. Akibatnya, fasies yang terdapat pada masing-masing parasikuen relatif sama dan pada penampang tidak terlihat adanya perpindahan kontak antar fasies dari parasikuen satu ke yang lainnya. Kondisi ini terjadi apabila kecepatan sedimentasi sama dengan pertumbuhan accomodation space. Pola yang terakhir, yaitu retrogradasi terbentuk jika masing-masing parasikuen berprogradasi lebih jauh dibandingkan dengan parasikuen di atasnya. Kondisi ini diperoleh ketika kecepatan sedimentasi lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan accomodation space. Pada penampang, pola ini dikenali dengan adanya perpindahan kontak antar fasies ke arah darat pada masing-masing parasikuen dibandingkan dengan parasikuen dibawahnya. 

Sikuen Pengendapan

Sikuen pengendapan (depositional sequence), atau biasa disebut sikuen saja, didefinisikan sebagai kumpulan strata (parasequence) yang berhubungan secara genetis dan mengalami perubahan yang relatif selaras serta dibatasi oleh ketidakselarasan atau permukaan selaras yang korelatif dengannya. (Mitchum, 1977 dalam Van Wagoner et al, 1990). DATA DAN PEMBAHASAN Kelengkapan data merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan suatu penelitian. Dalam metode penyajian data sangat membutuhkan kemampuan individu yang didukung dengan teknologi dan informasi serta kelengkapan data baik data primer maupun data sekunder.

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014



Data Wireline Log

Pada penelitian ini digunakan 3 data log sumur yang ada pada Lapangan C yang terdiri dari sumur GBS-1, SBG-1, SBG-5, dan untuk daerah penelitiannya difokuskan pada Formasi Parigi pada tiap-tiap sumur yang ada. Data wireline log yang ada akan digunakan dalam penentuan litologi, penentuan satuan stratigrafi, penentuan marker stratigrafi, dan analisa fasies. Berdasarkan sumur yang ada diatas, dibuat lintasan korelasi yang menghubungkan tiap-tiap sumur sebagai berikut :

Gambar 4. Lintasan sumur daerah penelitian Dari lintasan tersebut dibuat penampang korelasi stratigrafi dan struktur yang akan menggambarkan kondisi bawah permukaan dari daerah penelitian. 

Data Seismik

Data seismik yang digunakan dalam penelitian ini adalah seismik 2D Lapangan C. Dari semua lintasan seismik yang ada, penelitian ini mengambil 18lintasan seismik, berupa 9 lintasan inline dan 9 Lintasan cross line dengan increment 10ms. Sumursumur pada daerah penelitian hampir seluruhnya berada pada lintasan-lintasan seismik tersebut. 

Data Cutting

Data cutting digunakan dalam membantu penentuan litologi, fasies serta analisa lingkungan pengendapan. Data cutting yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 2 sumur yang berada pada Lapangan C yakni sumur GBS dan sumur SBG. Interpretasi Litologi Analisa data log akan menghasilkan interpretasi litologi yang akan mewakili pada masing-masing sumur. Untuk interpretasi litologi menggunakan dua jenis data yang mampu memberikan gambaran litologi yaitu data wireline log sebagai data primer dan data cutting sebagai data sekunder. Interpretasi litologi dengan data log dapat dilihat dari pola-pola log pada log GR, log SP,log resistivitas, log neutron, log densitas maupun log sonic (Adi Harsono,1997). Interpretasi batugamping berdasarkan wireline log akan dicirikan dengan harga kurva GR sangat rendah, kurva log SP menjauhi garis Shale Base Line (SBL) yang menunjukkan sifat permeable. Untuk menentukan adanya kandungan fluida pada pori batugamping dapat dilihat dari adanya separasi positif antara log densitas

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

dan log neutron. (Adi Harsono, 1997). Lapisan telitian terbagi menjadi 2 yaitu batugamping terumbu dan batugamping klastik. Dalam hal ini peneliti menggunakan sumur SBG-1 karena dianggap mewakili sumur-sumur yang lain. Interpretasi batugamping terumbu dicirikan oleh kurva log GR rendah dan menunjukkan pola log blocky, kurva log SP yang menjauhi shale base line dan dengan pola log yang blocky yang menandakan adanya homogenitas litologi. Berdasarkan data cutting pada pola log blocky ini litologi yang berkembang adalah wackstone-packstone dan adanya kandungan koral yang menandakan bahwa litologi pada interval ini adalah batugamping terumbu. Interpretasi litologi ini juga diperkuat oleh cross plot yang dilakukan antara log DT vs NPHI, RHOB vs NPHI, RHOB vs DT, ILDvs NPHI, GR vs NPHI, dari hasil cross plot tersebut terlihat pengelompokkan yang menandakan bahwa litologi pada interval tersebut relatif seragam. Interpretasi batugamping klastik dicirikan oleh kurva log GR yang rendah dan adanya kuva log GR yang tinggi yang menandakan adanya kandungan radioaktif yang tinggi yang mengindikasikan adanya kandungan shale pada interval ini. pola log SP dicirikan oleh adanya perubahan kurva log dari rendah menjadi tinggi yang mengindikasikan keheterogenitasan litologi. Berdasarkan data cutting pada interval ini menunjukkan litologi mudstone-grainstone. Interpretasi litologi ini juga diperkuat oleh cross plot yang dilakukan antara log DT vs NPHI, RHOB vs NPHI, RHOB vs DT, ILDvs NPHI, GR vs NPHI, dari hasil cross plot tersebut terlihat pengelompokkan yang menandakan bahwa litologi pada interval tersebut relatif seragam.

Gambar 5. Interpretasi litologi data log dan data cutting sumur C1

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

Gambar 6. Cross plot NPHI vs GR

Gambar 7. Cross plot NPHI vs RHOB

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

Gambar 8. Cross plot DT vs RHOB

Gambar 9. Cross plot NPHI vs ILD

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

Gambar 10. Cross plot NPHI vs DT

Analisa Data Seismik  Well Seismic Tie Well Seismic Tieadalah suatu prosedur yang digunakan dalam mengintegrasikan data sumur dan data seismik. Prosedur ini bertujuan untuk meletakkan horison seismik (time domain) pada posisi kedalaman sebenarnya sehingga data seismik dapat dikorelasikan dengan data geologi lainnya yang umumnya di plot pada skala kedalaman. Terdapat banyak teknik pengikatan ini tapi yang umum digunakan adalah memanfaatkan synthetic seismogramdari hasil survei kecepatan (well velocity survey). (Gambar 11)  Analisa Fasies Dari seismic section yang dibuat, akan dijumpai pola-pola konfigurasi seismik yang berupa toplap, paralel, chaotic, mounded, onlap dan reflection free. Pola toplap diinterpretasikan sebagai kenaikan muka air laut secara berangsur-angsur dan diakhiri dengan maximum flooding surface.Pola parallel dapat kita jumpai pada daerah-daerah sayap (flank)dan pada bagian bawah sampai tengah tubuh karbonat pada Formasi Parigi, pola paralel ini diinterpretasikan sebagai platform karbonat (Brown, 1994). Sedangkan pola reflection free tampak pada platform karbonat sebagai akibat dari batuan yang homogen dan tebal. Pola mounded dijumpai pada bagian atas Formasi Parigi dan dibatasi pada bagian bawah dengan pola paralel den bagian atas oleh pola paralel sebagai kemenerusan dari pola toplap sebagai maximum flooding surface, pola mounded ini diinterpretasikan sebagai carbonate build-up. Dengan mengacu pada klasifikasi fasies seismik (brown, 1994), pola mounded ini diinterpretasikan terbentuk pada lingkungan reefs and banks. Pola onlap dijumpai pada sayap bagian atas sampai bagian bawah yang dibatasi oleh layer dengan amplitudo yang tinggi yang menunjukkan bahwa pada bagian yang memiliki amplitudo tinggi tersebut memilki densitas batuan dan kecepatan yang besar. Pola onlap yang terdapat pada bagian atas dari sayap (flank), merupakan

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

batas sekuen (SB) antara formasi Parigi dengan formasi Cisubuh. Pola-pola onlapjuga terdapat pada bagian bawah di sayap (flank), pola onlap tersebut diinterpretasikan terbentuk bersamaan dengan pola toplappada tubuh batuan karbonat pada saat kenaikan muka air laut yang berangsur-angsur. Pola onlap diinterpretasikan sebagai coastalonlap karena terbentuk bersamaan dengan kenaikan muka air laut.

Gambar 11. well seismic tie

Gambar 12. Sketsa seismik pada lintasan AGS-0608

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

Gambar 13. Sketsa seismik pada lintasan AGS-06 Ekspresi System Track Pada Kurva Log Perubahan muka air laut akan sangat mempengaruhi pola umum sedimentasi. Adanya kenaikan atau penurunan muka air laut akan menyebabkan penambahan atau pengurangan ruang sedimentasi. Pada saat kedudukan dasar cekungan tetap dan terjadi kenaikan muka air laut maka akan terjadi penambahan ruang sedimentasi, sedangkan jika penurunan muka air laut akan terjadi pengurangan ruang sedimentasi. Pengaruh muka air laut ini terekspresi pada perekaman data log sehingga dapat digunakan untuk analisa sistem pengendapan pada Lapangan C. Secara garis besar pada Lapangan C pada data log akan terlihat mengalami masa trangresi tetapi pada beberapa waktu diselingi oleh fase regresi. Fase trangresi ini mengalami puncaknya dengan ditandai adanya Maksimum Flooding Surface. Ini dicirikan oleh nilai kurva Gamma Ray yang tinggi dan ditemukan pada setiap sumur di Lapangan C. Maka dari kurva log dapat diambil kesimpulan beberapa system track yang mempengaruhi sistem pengendapan di Lapangan C (Gambar 14), yaitu :  Lowsatand System Track (LST) Pola Log LST umumnya yang dapat dilihat berbentuk blocky (cylinder). Hal ini menandakan bahwa pengendapan yang terjadi adalah agradasional, yaitu laju pertumbuhan terumbu sama dengan kenaikan muka air laut. Batas atas dari LST dapat ditarik pada kontak tajam antara batugamping dengan batulempung yang didefinisikan sebagai flooding surface. Pengendapan batugamping dicirikan oleh pola LST ini menunjukkan bahwa batugamping terbentuk pada saat kenaikan muka laut yang berangsur-angsur.  Transgresive System Track (TST) Pola Log TST dapat dilihat ditandai dengan bentuk bell shape. Batas TST dapat ditarik antara Transgresive surface pada bagian bawahnya dan maximum flooding surface pada bagian atasnya.

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

Gambar 14. Ekspresi sistem tract pada sumur C1  High Stand System Track (HST) Pola Log HST dapat dilihat ditandai dengan bentuk funnel. Batas HST dapat ditarik antara Maksimum Flooding surface pada bagian bawahnya dan sequence boundary pada bagian atasnya. Pengendapan batugamping dicirikan oleh pola HST ini menunjukkan bahwa batugamping terbentuk pada saat penurunan muka air laut relatif. Pemetaan Bawah Permukaan Pemetaan bawah permukaan dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai kondisi stratigrafi dan struktur geologi bawah permukaan, memperkirakan geometri batugamping dan Fasies, serta penyebaran fasies dan batugamping secara lateral, dalam bentuk peta topografi. Oleh karena itu, peta bawah permukaan yang dibuat adalah peta struktur kedalaman, peta ketebalan waktu (isocrhon).  Peta Struktur waktu Peta struktur waktu bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi pada daerah penelitian baik kondisi stratigrafi maupun kondisi struktur geologi yang berkembang. Pada daerah penelitian ini, penulis membuat dua peta struktur kedalaman yaitu peta struktur kedalaman pada SB dimana penyebaran batugamping pada fasa ini relatif berarah barat laut-tenggara (gambar 15), begitupun pada peta struktur kedalaman pada MFS arah penyebaran batugamping pada fasa tersebut relatif berarah barat laut-tenggara (gambar 16).

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

Gambar 15. Peta struktur waktu SB 1

Gambar 16. Peta struktur waktu MFS  Peta Ketebalan (Isochron) Peta ketebalan digunakan untuk melihat ketebalan dari batugamping daerah penelitian dalam satuan waktu. Terdapat dua peta isocrhon yaitu peta isocrhon dari top Parigi-MFS (SB2-MFS), dari peta ini didapatkan penebalan batugamping kearah timur laut dan mengalami penipisan pada arah relatif tenggara daerah penelitian

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

(gambar 17). Peta isocrhon MFS-base Parigi, dari peta ini didapatkan penebalan batugamping terdapat pada bagian timur timur-barat daerah penelitian (gambar 18).

Gambar 17. Peta isochron Top Parigi-MFS

Gambar 18. Peta isochron MFS-SB1

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan pada lapangan C dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :  Zonasi batuan karbonat dengan pendekatan sekuen stratigarfi menghasilkan 3 marker stratigrafi yaitu SB-2, MFS, dan SB-1. pada marker MFS ditandai oleh adanya perubahan pola log dari pola log cylindrical menjadi bell shape yang menandakan terjadi fese give-up carbonat Kendall,2003. Marker MFS ditentukan berdasarkan pola kurva log GR yang berubah dari bawah keatas secara tiba-tiba dari harga GR yang rendah – sedang kearah GR yang sedang tinggi yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan muka air laut secara cepat dan penyebarannya luas. Perubahan yang tiba-tiba ini akibat terjadinya kenaikan muka air laut relatif ditandai dengan diendapkannya lapisan shale. Marker SB-1 ditentukan berdasarkan pola kurva log GR yang berubah dari bawah keatas secara tiba-tiba dari harga GR yang sedang – tinggi kearah GR yang rendah yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan litologi dari yang imperpemeable yang diinterpretasikan sebagai shale ke litologi yang permeabel yang diinterpretasikan sebagai batugamping. Perubahan yang tiba-tiba ini akibat terjadinya erosi selama penurunan muka air laut relatif. Pada marker SB-2 ini merupakan batas Formasi antara Formasi Parigi yang merupakan daerah penelitian dengan Formasi Cisubuh.  Berdasarkan interpretasi elektrofasies dan lithofasies maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 fasies pada interval penelitian : - Fasies Wackstone-Grainstone Coraline Reefal Merupakan daerah pertumbuhan dari reef, yang sangat dipengaruhi oleh naik turunnya muka air laut dicirikan oleh relatif seragamnya litologi yang terbentuk yang terdiri dari batugamping wackstone-grainstone yang menunjukkan adanya peralihan energi dari energi rendah menuju ke energi yang tinggi. Fasies ini ditunjukkan dengan harga log GR yang relatif rendah, dengan pola log GR yang terlihat berbentuk Cylindrical. Fasies ini diinterpretasikan terbentuk pada lingkungan reefal yang merupakan daerah peralihan energi dari energi rendah menjadi energi tinggi. Pada fasies ini diidentifikasi sebagai proses aggradasi dimana proses kenaikan muka air laut sebanding dengan pertumbuhan terumbu (keep-up carbonate). Penyebaran secara lateral fasies ini adalah relatif berarah barat-timur. - Fasies packstone-wackstone lagoonal Merupakan daerah yang terisolir yang dibatasi oleh barrier, yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya muka air laut dicirikan oleh relatif seragamnya litologi yang terbentuk yang terdiri dari batugamping packstone-wackstone yang menunjukkan adanya peralihan energi dari energi tinggi menuju ke energi yang lebih rendah. Fasies ini ditunjukkan dengan harga log GR yang relatif tinggi, dengan pola log GR yang terlihat berbentuk Bell shape. Fasies ini diinterpretasikan terbentuk pada lingkungan lagoonal yang dicirikan oleh kehadiran mineral pirit yang menandakan terjadinya reduksi (pengurangan oksigen) yang mungkin diakibatkan oleh naiknya muka air laut (transgresi) dan adanya suspensi lempung yang terdapat pada fasies ini. Penyebaran secara lateral fasies ini adalah relatif berarah barat-timur.

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7, No. 1, Januari 2014

-



Fasies mudstone-grainstone tidal Merupakan daerah pengendapan yang dipengaruhi oleh naik turunnya muka air laut, yang ditandai dengan diendapkannya batugamping mudstone-grainstone dan dibeberapa tempat diendapkan shale yang berselingan dengan batugamping. Dari data litologi fasies ini menunjukkan adanya peralihan energi dari energi rendah ke energi tinggi, keterdapatan grainstone pada fasies ini diasumsikan terbentuk akibat gelombang laut yang menghantam tubuh suatu reef, dan dijumpai disekitar patch reef maupun dibelakang barrier reef.Fasies ini ditunjukkan oleh harga log GR yang sedang sampai tinggi dengan pola log Funnel shape. Fasies ini diinterpretasikan terbentuk pada lingkungan tidal flat.

Berdasarkan peta struktur yang telah dibuat maka morfologi batugamping relatif berarah timur laut-barat daya dengan penebalan relatif berarah timur laut-barat daya. Hal ini mempengaruhi migrasi hidrokarbon yang mengikuti bentukan morfologi batugamping.

DAFTAR PUSTAKA AAPG, 1972, Carbonate Rocks II: Porosity and Clasification of Reservoir Rocks. Asquith, George, and Daniel krygowsky Basic Well Log Analysis, AAPG Methods in Exploration Series, No. 16, 2004. Emery, dkk, 1996, sequence Stratigrafi. Schlumberger, 1989 Log Interpretation Principles/Application. Serra, O, Sedimentary Environment From Wireline Log. Walker G.R.,and James,N.P.,1992 Facies model respond to sea level change, Geological association of Canada, Love Printing Service Ltd,Ontario. Selley, C. Richard. 1985., Ancient Sedimentary Environments and their sub-surface diagnosis. Cornell University Press. Ithaca, New York. Nichols, G., 1999. Sedimentology Stratigraphy. Dept. Of Geology, Royal Holloway, University of London, Blackwell Science Ltd. Myers, K.J., and Emery, D., 1996, Sequence Stratigraphy, BP Exploration, Stockley Park, Uxbridge, London. Dunham, R. J. 1962. Classification of Carbonate Rock According to Depositional Texture. Classification of Carbonate Rock – A Symposium: AAPG Memoir One., p. 108 – 122. Crevello, Paul and Park, Robert K., 2005. Principles and Concepts of Carbonate Depositional Systems & Reservoirs. AAPG Equatorial Carbonates Field Seminar Handbooks. Brown,1994 Carbonate sedimentary facies The Aplication Christopher.G.St.C.Kendall,2004 A Framework of genetically related stratigraphic facies geometries and their bounding surface independent of thickness and time