TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA

Download jaringan transportasi, pengembangan sistem jaringan kereta api, pengembangan sistem ..... Angkutan Jalan. Angkutan Kereta Api. 93,4. 0,4. ...

0 downloads 497 Views 187KB Size
TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB1 Ade Sjafruddin, Agus Salim Ridwan, Bambang Ismanto, Djunaedi Kosasih, Harun al Rasyid, Hedi Hidayat, Hisar Pasaribu, Idwan Santoso, Iwan P. Kusumantoro, Kusbiantoro, (*) Koordinator

Teknik Sipil Teknik Industri Teknik Sipil Teknik Sipil Teknik Sipil Teknik Sipil Teknik Penerbangan Teknik Sipil Teknik Planologi Teknik Planologi

; ; ; ; ; ; ; ; ; ;

Mahardi Sadono, Ofyar Z. Tamin (*), Pamudji Widodo, Partosiswoyo, Rudy H. Karsaman, Sri Hendarto, Suhono H. Supangkat, Titi L. Soedirdjo, Willy Tumewu,

Teknik Penerbangan Teknik Sipil Teknik Sipil Teknik Mesin Teknik Sipil Teknik Sipil Teknik elektro Teknik Sipil Teknik Sipil

Abstrak: Negara Republik Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan daerah yang sangat luas membutuhkan sistem transportasi yang efisien dan efektif dalam arti murah, lancar, cepat, mudah, teratur, dan nyaman baik untuk pergerakan manusia dan/atau barang. Tulisan ini menjelaskan beberapa tantangan di sektor transportasi yang akan dihadapi oleh Indonesia pada masa mendatang sebagai akibat dari adanya perubahan kebijakan global baik eksternal maupun internal berupa kebijakan globalisasi, isu otonomi, dampak krisis moneter, serta beberapa isu lainnya. Beberapa permasalahan transportasi yang dihadapi oleh Indonesia akan dibahas, begitu pula dengan potensi yang dimiliki Indonesia. Sumbangan pemikiran ITB mengenai penanganan masalah transportasi dikelompokkan pada masalah transportasi perkotaan dan masalah transportasi regional, nasional, dan internasional. Abstract: The archipelago form of Indonesia with its very wide area requires an efficient and effective transportation system in terms of cheap, smooth, fast, easy, regular and convenient, both for people and goods movement. This paper describes some of challenges in transportation sector that would be faced by Indonesia in the future due to the changes in global policy externally and internally such as: globalization, otonomy, monetary crisis effect and other issues. Some of transportation problems would be discussed as well as Indonesian’s potential to meet them. The discussion of ITB’s contribution in solving the transportation problems will be grouped urban, regional, national and international transportation problems.

1.

PENDAHULUAN

Masalah transportasi merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh banyak negara yang telah maju dan juga oleh banyak negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, baik di bidang transportasi perkotaan maupun transportasi regional antarkota. Terciptanya sistem transportasi yang dapat menjamin pergerakan manusia dan/atau barang secara lancar, aman, cepat, murah, dan nyaman merupakan tujuan utama pembangunan dalam sektor transportasi. Di negara Republik Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan daerah yang sangat luas, sangat dirasakan kebutuhan akan sistem transportasi yang efisien dan efektif dalam arti murah, lancar, cepat, mudah, teratur, dan nyaman untuk pergerakan manusia dan/atau barang. Setiap tahap pembangunan sangat memerlukan sistem transportasi yang efisien sebagai salah satu prasyarat guna kelangsungan dan terjaminnya pelaksanaan pembangunan tersebut. Jadi, pembangunan sektor transportasi harus direncanakan, 1

dipublikasikan dalam Proceedings ITB ‘Status, Prospek, dan Permasalahan Ipteks Menjelang Abad ke-21’, Suplemen Vol 32, No 2, 2000, hal 89−123, ISSN: 0125-9350.

Tim Transportasi ITB

89

dijabarkan, dan dilaksanakan secara terkoordinasi, terpadu, perkembangan dan perubahan tuntutan di masa mendatang.

dan

sesuai

dengan

Selain itu, adanya perubahan kebijakan globalisasi dunia seperti AFTA, APEC harus dicermati secara serius karena batas negara tidak lagi merupakan kendala utama dalam berbagai kegiatan ekonomi (perdagangan) yang sudah barang tentu akan sangat berpengaruh pada pengembangan kebijakan sistem transportasi di Indonesia. Penulisan makalah ini dimulai dengan memaparkan berbagai isu utama baik yang berkembang di luar maupun di Indonesia yang sangat berkaitan dengan sektor transportasi. Beberapa isu utama yang kami anggap penting yang perlu mendapat perhatian adalah: isu globalisasi, isu desentralisasi dan otonomi daerah, isu urbanisasi, isu integrasi antarmoda, dan isu teknologi transportasi, dan lain-lain. Masih banyak isu-isu lain yang harus tetap diperhatikan dan akan tetap dipertimbangkan dalam setiap pembahasan. Beberapa permasalahan transportasi di Indonesia akan dijelaskan pada bab 2 seperti: efisiensi sistem transportasi, perundangan dan regulasi, pendanaan, sumber daya manusia, keselamatan, aspek lingkungan, disiplin, penegakan hukum, dan energi. Pentingnya permasalahan transportasi ini dikemukakan adalah untuk dapat menjelaskan posisi sistem transportasi negara Indonesia pada masa sekarang dan usaha apa yang harus dilakukan untuk dapat menjawab seluruh isu-isu yang ada. Bab 3 akan menjelaskan mengenai kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia, dan pendanaan. Beberapa hal yang perlu dikaji adalah: kebijakan sektor transportasi, peran dan interaksi antarinstansi terkait, produk hukum, perundang-undangan, penegakan hukum, sistem pembiayaan, pentarifan, sumber daya manusia, arah pengembangan sistem kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia, dan sistem pembiayaan transportasi. Beberapa pembahasan mengenai sistem transportasi perkotaan akan diberikan dalam bab 4. Bab ini dimulai dengan menjelaskan mengenai isu perkembangan perkotaan serta implikasi permasalahannya, sistem angkutam umum perkotaan, manajemen lalu lintas termasuk: road pricing dan Intelligent Transport System (ITS), dan penanganan masalah lingkungan. Bab 5 akan menjelaskan sistem transportasi regional, nasional dan internasional yang meliputi: pentingnya keterkaitan antara kebijakan spasial (tata ruang) dengan sistem jaringan transportasi, pengembangan sistem jaringan kereta api, pengembangan sistem transportasi udara, pengembangan sistem transportasi laut, dan pengembangan konsep sistem transportasi antar moda. 1.1 Globalisasi Globalisasi dunia seperti AFTA, APEC, dan lain-lain yang dalam waktu dekat ini akan mulai diberlakukan perlu dicermati secara serius oleh pemerintah Indonesia. Hal ini disebabkan karena nantinya batas negara tidak lagi merupakan kendala utama dalam berbagai kegiatan ekonomi (perdagangan). Berbagai sektor yang terkait dengan transportasi merupakan kunci utama berhasilnya negara kita dalam mengantisipasi globalisasi tersebut. Sangatlah dibutuhkan suatu sistem transportasi nasional yang efisien dan efektif dengan teknologi transportasinya yang dapat berintegrasi sistem transportasi yang sudah beroperasi dengan negara lainnya. Negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan menambah permasalahan yang ada yang memerlukan penanganan segera. 1.2 Desentralisasi dan Otonomi Daerah Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah seperti dirumuskan pada UU No. 22 Tahun 1999[1] dan UU No. 25 Tahun 1999[2] mengenai Pemerintahan Daerah dan Perimbangan 90

TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Keuangan Pusat dan Daerah telah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur wilayahnya. Dalam kaitannya dengan azas desentralisasi pemerintahan, khususnya yang berkaitan pelimpahan wewenang mengenai pengaturan, pembinaan dan pelaksanaan dalam kebijakan sektor transportasi, perlu memperhatikan dampaknya kepada sektor terkait lainnya, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Di antaranya yang perlu diperhatikan adalah (i) aspek daya saing produk lokal pada skala nasional dan internasional, (ii) aspek pertahanan dan keamanan, (iii) aspek hubungan sosial-politik, serta (iv) aspek kesatuan dan persatuan. Dengan demikian, meskipun daerah otonom mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur wilayahnya, akan tetapi kebijakan nasional tetap dibutuhkan untuk mengatur dan mengarahkan berbagai persoalan yang berdampak makro. Kebijakan makro, khususnya pengaturan pelayanan transportasi antar daerah otonom, ataupun lintas daerah otonom khususnya dalam pendanaan, serta kewenangan pembinaan, membutuhkan peraturan yang berskala nasional yang memungkinkan arahan pemerintah pusat tetap dapat dilakukan, tanpa menghilangkan arti dan keberadaan pemerintah daerah otonom dalam memajukan daerahnya. 1.3 Urbanisasi Seperti di negara sedang berkembang lainnya, berbagai kota besar di Indonesia berada dalam tahap pertumbuhan urbanisasi yang tinggi akibat laju pertumbuhan ekonomi yang pesat sehingga kebutuhan penduduk untuk melakukan pergerakan pun menjadi semakin meningkat. Mobil sebagai kendaraan pribadi sangat menguntungkan, terutama dalam hal mobilitas pergerakannya. Jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di Indonesia diperkirakan meningkat dari tahun ke tahun akibat tingginya tingkat urbanisasi ini. Urbanisasi dan industrialisasi selalu terjadi secara bersamaan, terutama di negara yang beralih dari negara pertanian ke negara industri. Indonesia, pada tahun 1990-an, tergolong negara yang sedang bergerak menuju negara semi industri. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1950, kota yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa hanyalah Jakarta. Pada tahun 1970, kota Bandung dan Surabaya berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, dan pada tahun 1990 terdapat 8 kota di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, termasuk Medan, Semarang, Bogor, Ujung Pandang, dan Palembang. Tabel 1.1 Sensus penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan[3,4] Tahun 1920 1980 1990 2025

% 5,8 (2,88 Juta) 17,0 25,4 (46,48 Juta) 59,5

Tabel 1.1 memperlihatkan jumlah penduduk di Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan. Terlihat bahwa pada akhir tahun 2025 sekitar 60% orang akan tinggal di daerah perkotaan. Jika kita menganggap penduduk Indonesia pada tahun 2025 berjumlah 240 juta orang, akan ada 144 juta penduduk tinggal di daerah perkotaan. Sebagai ilustrasi lain, Jakarta pada tahun 1990 mempunyai penduduk 8,2 juta jiwa (17% dari total penduduk perkotaan di Indonesia). Mari kita bandingkan dengan penduduk kota besar lain di dunia pada tahun yang sama: New York (8,7%), Los Angeles (6,4%), Paris (8,7%), Bangkok (56,8%), Buenos Aires (41,3%), dan Seoul (38,7%). Terlihat persentase jumlah penduduk kota besar di negara maju cukup kecil, sedangkan di negara sedang berkembang sangat tinggi.

Tim Transportasi ITB

91

Tantangan bagi pemerintah negara sedang berkembang, dalam hal ini instansi dan departemen terkait serta para perencana transportasi perkotaan, adalah masalah kemacetan lalu lintas serta pelayanan angkutan umum perkotaan. Masalah kemacetan ini biasanya timbul pada kota yang penduduknya lebih dari 2 juta jiwa, yang sampai tahun 1996 telah dicapai oleh beberapa kota di Indonesia, seperti DKI-Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Yogyakarta. Pada akhir tahun 2000, diperkirakan kemacetan akan terjadi di beberapa kota lain seperti Semarang, Palembang, Ujung Pandang, Bogor, disusul kemudian oleh kota Malang dan Bandar Lampung. Sementara pada tahun 2020, hampir semua ibukota propinsi di Indonesia akan dihuni oleh sekitar 2 juta jiwa, yang berarti pada dasawarsa tersebut para pembina daerah perkotaan akan dihadapkan pada permasalahan baru yang memerlukan solusi yang baru pula, yaitu permasalahan transportasi perkotaan. Walaupun kota yang lebih kecil juga mempunyai masalah transportasi yang perlu pemecahan secara dini, pada umumnya masih dalam skala kecil dan tidak memerlukan biaya besar. Sektor pertanian konvensional secara perlahan terlihat semakin kurang menarik, dan tidak lagi diminati, terutama oleh generasi muda. Di sisi lain, perkotaan menawarkan banyak kesempatan, baik di sektor formal maupun informal. Ditambah lagi dengan tidak meratanya pertumbuhan wilayah di daerah pedalaman dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Hal ini menyebabkan tersedianya banyak lapangan kerja serta upah atau gaji yang tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah pedalaman. Semua ini merupakan daya tarik yang sangat kuat bagi para pekerja di daerah pedalaman. Pepatah mengatakan ada gula, ada semut. Namun, sebesar apa pun kota dengan segala kelengkapannya, pasti mempunyai batasan, yaitu daya tampung. Jika batas tersebut sudah terlampaui, akan terjadi dampak yang merugikan. Dalam konteks kota di Indonesia, fenomena kota bermasalah sudah mulai terlihat, yang diperkirakan akan terus berkembang menjadi persoalan yang semakin rumit, seiring dengan tingginya laju urbanisasi. Hal ini sulit dihindari karena daerah perkotaan sudah terlanjur dianggap sebagai penyedia berbagai macam lapangan pekerjaan. Tingginya urbanisasi secara tidak langsung dapat dikatakan akibat tidak meratanya pertumbuhan wilayah di Indonesia; antara daerah pedalaman dengan daerah perkotaan. Semakin besarnya perbedaan antara tingkat pertumbuhan wilayah tersebut menyebabkan semakin tingginya tingkat urbanisasi, yang pada gilirannya akan menimbulkan beberapa permasalahan perkotaan, khususnya transportasi. Orang yang melakukan urbanisasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama[5], yaitu a) orang yang mampu membeli tanah di dalam kota dan bekerja di dalam kota; b) orang yang bekerja di dalam kota, tetapi tinggal di pinggiran kota serta mampu membayar biaya transportasi; dan terakhir c) orang yang tidak mampu membeli tanah di dalam kota dan tidak mempunyai kemampuan untuk membayar biaya transportasi. Orang yang termasuk pada kelompok pertama tidak akan menyebabkan permasalahan yang berarti dalam hal mobilitas dan aksesibilitas karena jarak antara tempat tinggal dengan tempat bekerja yang cukup dekat. Orang yang tergolong pada kelompok kedua, yang persentasenya tertinggi di antara ketiga kelompok tersebut, sangat potensial menimbulkan permasalahan transportasi. Permasalahan tersebut terjadi setiap hari, yaitu pada jam sibuk pagi dan sore hari. Pada jam sibuk pagi hari terjadi proses pergerakan dengan volume tinggi, bergerak ke pusat kota untuk bekerja. Pada sore hari terjadi hal yang sebaliknya karena semua orang kembali ke rumahnya masing-masing. Permasalahan transportasi semakin bertambah sejalan dengan semakin bergesernya permukiman kelompok berpenghasilan menengah ke bawah ini jauh ke pinggir kota. 92

TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Kecenderungan ini terus berlangsung sejalan dengan semakin pentingnya daerah perkotaan yang menyebabkan harga tanah semakin mahal. Kelompok terakhir adalah kelompok yang tidak mampu membeli tanah di dalam kota serta tidak mampu pula membayar biaya transportasi sehingga terpaksa menempati ruang kosong di seputar kota secara ilegal. Implikasi yang timbul seterusnya adalah masalah permukiman kumuh yang bukan saja menyangkut masalah transportasi, tetapi sudah mengarah kepada masalah sosial, kesehatan, kejahatan, pendidikan, dan lain-lain. 1.4 Negara Kepulauan dan Sistem Transportasi Antar Moda Survei Asal−Tujuan Nasional yang dilakukan pada tahun 1995 memberikan indikasi tentang pola transportasi di Indonesia yang meliputi transportasi darat, sungai, laut, dan udara. Karena Indonesia negara kepulauan, tidak bisa dihindari perlunya pertukaran moda transportasi dalam suatu perjalanan, baik untuk penumpang maupun barang dari tempat asal menuju ke tempat tujuan. Biaya transportasi dari tempat asal ke tempat tujuan ini merupakan kombinasi dari biaya transportasi setiap moda ditambah dengan biaya transit dari suatu moda ke moda lainnya. Khusus untuk pergerakan barang (industri), sistem transportasi antarmoda terpadu merupakan sistem yang bertujuan melayani perdagangan dengan memberikan atau menawarkan kemudahan dalam menangani proses pengiriman barang. Kemudahan tersebut diarahkan kepada pengirim dan penerima barang (eksportir dan importir), untuk tidak lagi dibebani oleh kompleksitas yang dihadapi dalam menangani sendiri seluruh atau sebagian dari proses pengiriman barang tersebut. Hal ini akan lebih dirasakan bilamana pengiriman barang itu melibatkan lebih dari satu moda transportasi, sehingga dalam proses pelaksanaannya, barang akan melalui beberapa tahapan ‘penerimaan’ dan ‘penyerahan’, sejak penerimaan awal sampai pada penerimaan akhir (pembeli). Selain itu, karena keterbatasan peran setiap prasarana transportasi dalam menjangkau suatu wilayah secara menyeluruh, maka sistem integrasi antarmoda diharapkan dapat menanggulangi keterbatasan tersebut. Hal yang penting dalam integrasi antarmoda meliputi kondisi dan bentuk jaringan prasarana transportasi, titik simpul (temu) antara berbagai moda berupa terminal atau dermaga, yaitu tempat pergantian antarmoda yang satu dengan moda lainnya sehingga kontinuitas pergerakan orang atau barang dapat berlangsung dengan lancar. Di samping itu, faktor operasional juga sangat menentukan, khususnya bagi angkutan umum seperti ketersediaan moda dengan jadwal yang teratur dan terintegrasi antara satu moda dengan moda lainnya sehingga memudahkan pengguna jasa angkutan di samping tentunya pengaturan tarif yang terjangkau masyarakat luas. 1.5 Teknologi Transportasi Masa Mendatang 1.5.1 Kereta api Perkeretaapian di luar negeri menunjukkan kecenderungan untuk menaikkan kecepatan perjalanan kereta api sampai lebih dari 300 km/jam. Hal ini dimungkinkan karena lebar sepur yang diterapkan di luar negeri adalah 1.435 mm. Selain dari pada itu, maka kenyamanan dan keandalan perjalanan kereta api ditingkatkan secara terus-menerus. Dalam hal itu, keselamatan perjalanan kereta tetap diberi perhatian paling utama. Berkaitan dengan lebar sepur yang pada waktu ini diterapkan di Indonesia, yaitu 1.067 mm, maka P.T. Kereta Api Indonesia (Persero) perlu membatasi kecepatan maksimum kereta api sampai 120 km/jam. Ada usaha di Jepang untuk pada lebar sepur 1.067 mm meningkatkan kecepatan kereta api sampai lebih dari 120 km/jam. Tim Transportasi ITB

93

Teknologi maju yang telah diintroduksikan di Indonesia antara lain ialah penerapan bolsterless bogie, yang beberapa ciri khasnya ialah bogie tidak memiliki bolster, penerapan pegas udara sebagai pengganti pegas ulir, tidak lagi menerapkan penggantung ayun, karena fungsi penggantung ayun diambil alih oleh pegas udara. Contoh lain ialah penerapan motor asinkron dilengkapi dengan pengendaliannya yang cukup canggih pada kereta rel listrik. Perawatan jalan kereta api yang sejak berapa lama menggunakan tamping machine, beserta pemakaian kereta ukur modern merupakan dua langkah maju untuk memperoleh mutu jalan rel yang diperlukan guna menjamin suatu ride quality perjalanan kereta api yang baik. Sistem persinyalanpun mengalami dampak kemajuan teknologi. Pihak luar negeri menawarkan berbagai jenis teknologi baru. Pemilihan dan introduksi teknologi untuk Indonesia seyogyanya berpangkal pada pedoman berikut: seinovatif yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang direncanakan dan se-konservatif mungkin untuk menghindarkan risiko berkaitan dengan teknologi yang bersangkutan masih berada dalam taraf pengembangan. Berkaitan dengan hari depan perkereta-apian, maka berikut ini dikemukakan beberapa pandangan Prof. Dr. Ing. F. Frederich sebagai berikut: •

Pada akhir metamorfose timbul kendaraan rel bergandar dua yang panjang[6].



Hari depan perkereta-apian didasarkan atas prinsip mekanisme roda/rel. Perkereta-apian hari depan bukan merupakan perkereta-apian tanpa roda, melainkan perkereta-apian tanpa perangkat roda. Perkereta-apian hari depan pasti bukan merupakan Magnetschwebebahn (maglev)[7].

Pandangan di atas hendaknya digunakan sebagai masukan. Pemilihan teknologi seyogyanya dilandaskan pada hasil analisis mendalam yang kita peroleh antara lain berdasarkan studi pustaka secara terus-menerus. Sumber daya manusia yang dihasilkan oleh Program Magister Kereta Api−ITB diharapkan akan ikut berperan dalam rangka pemecahan berbagai masalah berkaitan dengan penerapan teknologi maju. 1.5.2 Trend teknologi transportasi udara Teknologi pesawat udara selama ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi material dan proses produksi, teknologi elektronika dan sistem informasi. Hal ini telah memungkinkan produksi dan operasi pesawat udara dengan ukuran yang semakin besar, terbang semakin cepat,jauh dan tinggi. Airbus dan Boeing telah mendiskusikan produksi pesawat dengan kapasitas 500−1000 penumpang, diatas kapasitas Boeing 747-400 yang beroperasi pasa saat ini. Diskusi juga dilakukan oleh konsorsium Eropa tersebut untuk memproduksi pesawat supersonic yang lebih besar dan terbang lebih cepat sebagai pengganti Concorde. Perkembangan teknologi eletronika penerbangan dan teknologi mesin propulsi telah memungkinkan operasi pesawat yang lebih efisien dan andal. Rute jarak jauh yang selama ini dikuasai pesawat berbadan lebar dengan 3−4 mesin, seperti: Boeing 747-400, Airbus A340 dan Boeing MD-11, sekarang telah diisi oleh pesawat bermesin dua seperti Boeing 777 dengan kemampuan terbang ETOPS (Extended Twin Engine Operation) sampai 3 jam. Kecenderungan pada masa depan adalah pesawat berbadan lebar dengan dua mesin akan mampu bersaing dengan pesawat bermesin empat pada rute jarak jauh ini. Teknologi komunikasi digital berbasis satelit juga telah mengubah wajah operasi penerbangan. ARINC Communication Addressing and Reporting System (ACARS) meningkatkan kemampuan komunikasi antar pesawat dengan stasiun darat dan dengan demikian mengurangi secara drastis beban kerja pilot. Pemanfaatan teknologi satelit dalam komunikasi dan navigasi dalam sistem Communication, Navigation, Surveillance/Air Traffic Management (CNS/ATM) telah memungkinkan layanan operasi penerbangan yang aman, andal dan lancar. Automatic 94

TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Dependent Surveillance (ADS) berbasis satelit GNSS (Global Navigation Satellite System) akan mampu memberikan liputan pengawasan yang lebih baik dibandingkan radar yang selama ini menjadi tumpuan. Penerapan teknologi data link yang semakin berkembangkan akan meningkatkan komunikasi data dan mengurangi ketergantungan akan sistem komunikasi suara dengan VHF. Sistem GNSS dengan augementasi lokal dan wide-area akan meningkatkan kemampuan approach dan pendaratan presisi pada bandara-bandara yang sibuk dan padat. Teknologi ini akan mengubah pola operasi dan layanan penerbangan oleh Air Traffic Control (ATC) dan airline, yang mampu meningkatkan kapasitas pelayanan dengan tingkat keamanan yang lebih baik. 2.

PERMASALAHAN TRANSPORTASI DI INDONESIA

2.1 Efisiensi Sistem Transportasi Hampir seluruh aspek kehidupan manusia modern dipengaruhi oleh transportasi, dan ini tercermin melalui adanya komponen biaya transportasi sebagai bagian dari seluruh harga barang, jasa, dan dari biaya rumahtangga sehari-hari. Besarnya komponen biaya transportasi ini sangat bervariasi dan untuk Indonesia pada umumnya komponen ini adalah terlalu besar, baik secara relatif dalam prosentasi, maupun secara absolut dalam nilai uang. Besarnya komponen ini disebabkan oleh kurang efisiennya satu atau lebih elemen dari sistem transportasi; efisiensi ini dapat diukur dari satu atau lebih tolok ukur seperti pemanfaatan sumberdaya, pemanfaatan energi, biaya operasi, nilai waktu, pencemaran lingkungan, keselamatan operasi, dan sebagainya. Di sektor agroindustri, yang menjadi salah satu andalan Indonesia, komponen transportasi ini dapat menentukan daya saing produk di pasaran regional maupun global, karena akumulasi dari biaya-biaya transportasi selama seluruh rangkaian kegiatan produksi dapat menjadi bagian yang dominan. Misalnya pada pengangkutan hasil panen di lapangan dengan prasarana dan sarana seadanya, seluruh biaya transportasi yang tinggi akan terbebankan pada hasil rendemen yang terbatas. Efisiensi sistem transportasi juga perlu dinilai dari kelonggaran dari elemennya di kondisi darurat. Gangguan tak terrencana pada salah satu elemen manapun sedapat mungkin jangan sampai mengacaukan ataupun melumpuhkan sistem transportasi, dengan mengidentifikasi dan mengatasi hubungan penting yang kritis. 2.2 Perundangan dan Regulasi Perundangan dalam bidang transportasi adalah relatif baru, seperti: UU Jalan 1980[8], UU Kereta Api 1992[9], UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 1992[10], UU Penerbangan 1992[11], UU Pelayaran 1992[12], dan UU Pelabuhan 1996[13]. Perundangan ini didukung oleh berbagai peraturan pelaksana, beserta regulasi teknis dan operasional. Bersama dengan perundangan lain yang berhubungan, seperti: UU Tata Ruang 1992[14] dan berbagai UU Perpajakan[15], perundangan telah mengatur garis besar kebijakan dalam bidang transportasi. Perundangan dan regulasi perlu disosialisasikan agar dipahami oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Ada indikasi bahwa ada ketidakkonsistenan dalam konsep, pengertian dan istilah, dan penerapan dalam kelompok perundangan ini, dan ini akan menyulitkan pekerjaan di lapangan. Perangkat hukum ini dapat mengendalikan pengembangan wilayah, subsidi dan otonomi, keadilan antara golongan ekonomi yang kuat dan yang lemah, serta persaingan yang sehat, untuk mencapai sasaran pembangunan nasional. Penerapan perkembangan dalam teknologi dan manajemen di bidang transportasi berlangsung secara berkelanjutan dan ini memerlukan pemutakhiran yang berkelanjutan juga dalam perangkat hukum. Dengan demikian perlu ada kesiapan dalam menghadapi berbagai kecenderungan seperti kerjasama regional dan Tim Transportasi ITB

95

globalisasi dalam transportasi, privatisasi pengusahaan, otonomi dalam kebijakan dan penyelenggaraan, pengutamaan aspek lingkungan dan keselamatan, dan perkembangan lanjutan lainnya. 2.3 Pendanaan Sektor Transportasi Pengadaan prasarana dan sarana transportasi meliputi investasi yang sangat besar, yang dapat disediakan oleh negara, pihak swasta, investasi pihak asing, ataupun gabungan. Sebagai negara yang berkembang maka dana yang tersedia adalah terbatas, sedangkan kebutuhan investasi untuk transportasi sangat mendesak agar tidak terjadi kemacetan dan tundaan yang menurunkan efisiensi sistem transportasi. Dengan demikian perlu dicari suatu perimbangan pendanaan antar berbagai sektor, yang akan menghasilkan pembangunan nasional yang optimum. Prasarana transportasi yang telah disediakan dengan dana yang besar dapat dianggap sebagai fasilitas sosial yang wajib disediakan oleh negara, atau pemanfaatan prasarana transportasi dapat dianggap sebagai suatu komoditas yang harus dibeli oleh pengguna, dengan atau tanpa subsisdi. Konsepnya berbeda antara berbagai moda transportasi di Indonesia, tetapi di negara lain konsep ‘the user pays’ sudah diterapkan secara makin konsisten, termasuk untuk menutupi nilai kemacetan dan pencemaran udara yang disebabkannya (‘the polluter pays’). Kebijakan terbaik untuk kondisi Indonesia perlu diidentifikasi, hanya saja bila biaya transportasi didasarkan pada suatu mekanisme pasar, maka ini dapat menjadi kurang adil bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomis. 2.4 Sumber Daya Manusia dalam Sektor Transportasi Sektor transportasi membutuhkan keahlian yang spesifik dalam perencanaan, perancangan, pembangunan, operasi, pemeliharaan, dan evaluasi dari prasarana dan sarana untuk berbagai moda transportasi. Akibat arus globalisasi maka ada kenyataan bahwa prasarana dan sarana transportasi mengacu ke suatu standar yang global, meskipun perekonomian Indonesia masih lemah. Standar yang global ini akan membutuhkan SDM yang berstandar global juga, dan ini membutuhkan diadakannya pendidikan, latihan, dan sertifikasi yang baku dalam seluruh bidang terkait. Ketersediaan tenaga ahli yang handal dalam bidang transportasi di Indonesia dirasakan sangat kurang jumlahnya. Keterbatasan jumlah ini akan merupakan peluang bagi tenaga asing untuk mengisi kekurangan, dan pemerintah harus mengantisipasinya. 2.5 Keselamatan Transportasi dan Aspek Lingkungan Sektor transportasi secara keseluruhan menyebabkan banyak korban dan biaya kecelakaan, dan juga banyak berkontribusi ke pencemaran lingkungan. Keselamatan transportasi dan aspek lingkungan sebenarnya merupakan aspek persepsi mutu yang ditentukan oleh masyarakatnya; makin tinggi kemakmuran suatu masyarakat, makin tinggi mutu yang diharapkannya, atau makin rendah toleransinya terhadap kecelakaan transportasi dan pencemaran lingkungan. Standar global yang relatif tinggi akan membuat keselamatan transportasi dan pencemaran lingkungan di Indonesia kurang dapat diterima, dan sebaliknya standar global yang tinggi oleh masyarakat umum Indonesia dapat dianggap sebagai suatu kemewahan dan pemborosan. Ini merupakan suatu dilema yang perlu diatasi agar sektor pariwisata, dan investasi dan kunjungan asing akan dapat berlangsung. Penyebab kecelakaan dan pencemaran lingkungan tidak merupakan suatu faktor yang tunggal yang mudah teridentifikasi, tetapi dapat merupakan akibat dari kondisi lain. 96

TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Penyelesaian masalah ini tidak terbatas pada sektor transportasi saja, tetapi membutuhkan pengendalian berbagai sektor lain juga. 2.6 Rendahnya Disiplin dan Tingkat Penegakan Hukum Rendahnya disiplin dan tingkat penegakan hukum di sektor transportasi dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kurang tepatnya kebijakan, tidak lengkapnya peraturan, kurangnya sosialisasi peraturan, kurang cocoknya peraturan, kurang tegasnya penegakan hukum, tidak atau kurang adanya sanksi atas pelanggaran, dan mungkin karena faktor budaya setempat. Transportasi langsung berhubungan dengan masyarakat sebagai pengguna, sehingga terkait dengan masalah psikologi dan sosiologi selain teknis. 2.7 Masalah Energi dalam Transportasi di Indonesia Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejalan dengan berlangsungnya pembangunan dari PELITA I sampai dengan PELITA terakhir, diikuti dengan pergeseran pada pola pemakaian energi. Pada awal PJP-I sektor pemakaian energi yang paling besar adalah sektor rumah tangga yaitu 47,1%, sedangkan sektor industri dan transportasi adalah 21,3% dan 31,6%. Namun demikian pada tahun terakhir PJP-I terjadi perubahan yaitu sektor industri menjadi sektor pemakai energi paling besar yaitu 38,0% sedangkan sektor lainnya yaitu transportasi 37,1% dan sektor rumah tangga 24,9%. Jika kecenderungan pemakaian di masa mendatang sama dengan PJP-I, maka setelah tahun 200, sektor transportasi akan menjadi sektor pemakai energi yang paling besar. Diperkirakan bahwa laju pertumbhan energi sektor transportasi dalam PJP-II adalah 8,7%, sedangkan untuk sektor lainnya adalah sektor industri (7,3%), sektor rumah tangga (5,2%) dan sektor komersial (10,0%). Pada umumya bahan bakar yang digunakan pada sektor transportasi adalah bahan bakar bensin dan solar yang kosumsi terbesar didominasi oleh moda transportasi darat. Sebagai gambaran, persentase pemakaian energi di sektor transportasi pada tahun 1996 dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Persentase pemakaian energi berdasarkan jenis moda[16] Moda Transportasi darat: Angkutan Jalan Angkutan Kereta Api Transportasi udara Transportasi Laut

% pemakaian energi 93,4 0,4 3,4 2,8

Kontribusi bahan bakar gas untuk sektor transportasi moda darat belum terlihat, oleh karena itu masih perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dari masih kurangnya jumlah tempat pengisian bahan bakar yang pada tahun 1997 hanya terdapat di lokasi kota Jakarta sebanyak 14 SPBG dan Surabaya 2 SPBG. Hasil perhitungan konsumsi bahan bakar, khususnya untuk moda angkutan jalan raya, pada 10 (sepuluh) kota besar menunjukkan bahwa kota Jabotabek mengkonsumsi sebesar 10.393.343 kliter, yang kemudian diikuti oleh kota besar lainnya. Hasil survei intensitas energi rata-rata di 10 kota besar menunjukkan bahwa Jabotabek merupakan yang terbesar. Meningkatnya penggunaan energi di sektor transportasi sebagai akibat pertumbuhan ekonomi terutama dirasakan di kawasan perkotaan yang disebabkan makin menguatnya konsentrasi penduduk di kota-kota besar. Pertumbuhan kendaraan yang cukup tinggi di kotakota besar di Indonesia tidak saja menimbulkan masalah kemacetan lalu lintas tetapi juga menimbulkan masalah lain seperti kecelakaan lalu lintas, kebisingan dan polusi udara. Polusi Tim Transportasi ITB

97

udara dapat berpengaruh terhadap keschatan seperti halnya iritasi terhadap pemafasan dan meningkatnya konsentrasi timah dalam darah sehingga mengakibatkan penurunan kemampuan mengkonsumsi oksigen. Dengan alasan seperti pada uraian diatas, adalah sangat perlu untuk. meningkatkan kegiatan diversifikasi dan konservasi energi antara lain melalui : 1. Meningkatkan pemakalan bahan bakar gas atau listrik pada kendaraan berukuran kecil (CC). 2. Perluasan jaringan distribusi jaringan stasiun-stasiun bahan bakar gas. 3. Meningkatkan pembangunan dan pengoperasian angkutan massal. 4. Perbaikan pengujian kendaraan bermotor. 5. Kampanye, penyuluhan mengenai pentingnya lingkungan udara bersih. Baik diversifikasi maupun konversi energi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi/operasi. Dalam kondisi sulit dewasa ini kedua langkah tersebut perlu dipertimbangkan.

1200 1000 800 600 400 200 0 1995

2000

R. Tangga

2005 Komersial

2010

2015

Transportasi

2020 Industri

Gambar 2.1 Pemakaian Energi Sektoral (1995-2020) Sumber: Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi, 1997[17] 3.

KELEMBAGAAN, PEMBIAYAAN

PENGEMBANGAN

SUMBER

DAYA

MANUSIA

DAN

Berbagai konflik yang terjadi pada kebijaksanaan transportasi di Indonesia erat kaitannya dengan kinerja sistem kelembagaannya. Upaya peningkatan kinerja sistim kelembagaan yang memadai, seperti ketentuan terkait dengan penegakan hukum dan perudangan, kemampuan dan kesiapan institusi, aspek kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, serta aspek kemampuan aspek pembiayaan. 3.1 Kajian Kebijakan Sektor Transportasi Pola kebijaksanaan transportasi yang telah diterapkan selama ini terkesan tambal sulam, sehingga tidak mampu mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi. Peraturan dan perudangan sebagai produk kebijaksanaan yang dikeluarkan suatu sistem kelembagaan terkait dengan transportasi kerap tertinggal dan tidak mampu mengimbangi pesatnya perkembangan pembangunan. 98

TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Pada sisi lain, kebijakan dalam bidang transportasi kerap dijadikan alat bagi kepentingan jangka pendek oleh kelompok ekonomi tertentu yang berkolusi dengan kekuasaan dan birokrasi yang seringkali mengorbankan masyarakat luas dan menghambat program pembangunan jangka panjang. Sisi kritis pada aspek pengelolaan dan kebijakan transportasi merupakan sisi lemah pada aspek kelembagaan. Terdapat 3 hal yang perlu disoroti berkaitan dengan aspek kelembagaan, yaitu: (i) kelemahan pada pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan, berkaitan dengan penegakan serta in-konsistensi peraturan dan perundangan, khususnya berkaitan dengan perijinan pembangunan berbagai kegiatan pembangunan (ii) kelemahan pada sistem organisasi, berkaitan dengan koordinasi antar instansi dan kemampuan sumber daya manusia yang melaksanakannya (iii) kelemahan pada sistem pendanaan yang berkaitan dengan pola pembebanan biaya, proses dan prosedur pembiyaan pembangunan, serta ketersediaan dana yang jauh dari memadai khususnya untuk pengembangan sarana dan prasarana transportasi Secara ringkas ketiga aspek seperti di atas membutuhkan perbaikan yang mendasar dalam rangka pembenahan permasalahan sektor transportasi. Untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan/strategi dibutuhkan pra-kondisi sebagai berikut: (i) adanya dukungan politik dan komitmen dari “stakeholders” terkait dari kalangan pemerintah, swasta, masyarakat umum; (ii) adanya dukungan sumberdaya manusia yang andal pada sistem organisasinya berikut kelengkapan ketentuan/aspek legal, kesiapan kelembagaan dan SDM serta dana yg dibutuhkan; (iii) adanya konsistensi dalam melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan organisasi/institusi dan sikap kepemimpinan (leadership) dalam menjalankan fungsi organisasi/ institusi. Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur wilayahnya, maka berbagai aturan dan kebijaksanaan yang bersifat lokal, maupun nasional perlu memperhatikan: (i) tingkat kepentingan dan skala dampak, (ii) aspek daya saing, khususnya dalam kerangka globalisasi, (iii) aspek pertahanan dan keamanan, (iv) aspek sosial-politik; Dasar pemikiran di atas perlu dijadikan pertimbangan dalam merumuskan perangkat kebijaksanaan yang dapat mengarahkan dan mempersiapkan pengembangan wilayah di seluruh pelosok nasional dalam menghadapi berbagai kecenderungan seperti arus globalisasi, perlunya kerjasama regional, privatisasi dalam berbagai sektor pelayanan publik, serta aspek keselamatan lingkungan. 3.2 Kajian Peran dan Interaksi Antar Instansi Terkait Salah satu masalah utama dalam pengelolaan transportasi adalah masalah koordinasi antar instansi yang terkait dengan transportasi. Berbagai persoalan transportasi, baik pada tingkat perkotaan ataupun regional dan internasional kerap terjadi sebagai akibat dari ketidakjelasan peran dan fungsi kelembagaan. Tumpang tindih kewenangan pada satu sisi, tetapi pada sisi lain terdapat ketidakjelasan tugas dan tanggung jawab, sehingga konflik terjadi justru pada tatanan perangkat peraturannya. Penetapan suatu institusi yang mempunyai kewenangan yang jelas dan mampu mengintegrasikan berbagai aspek dalam pengelolaan transportasi merupakan kebutuhan yang mendesak. Penetapan institusi dalam bentuk badan koordinasi, tidak selamanya dapat dijadikan sistem kelembagaan yang mapan, karena tidak mempunyai kewenangan yang jelas. Tumpang tindih kewenangan pada satu sisi, tetapi pada sisi lain terdapat ketidakjelasan tugas dan tanggung jawab, sehingga konflik terjadi justru pada tatanan perangkat peraturannya. Sudah saatnya dualisme kewenangan dihilangkan, dan keterpaduan serta Tim Transportasi ITB

99

sinkronisasi pada perencanaan, pelaksanaan serta pembinaan dapat diwujudkan secepatnya. Karenanya perlu dibutuhkan institusi yang jelas dan tegas akan menjadikan penegakan hukum dan peraturan dapat dilakukan dengan tegas pula, sesuai kewenangan institusi yang bersangkutan. Keterpaduan dan sinkronisasi pada perencanaan, pelaksanaan serta pembinaan juga harus disesuaikan dengan tuntutan otonomi daerah. Daerah otonom sebagai wilayah yang mempunyai kewengan mengatur daerahnya perlu dilihat sebagai bagian terpadu dari kebijaksanaan pembangunan sektor transportasi. 3.3 Kajian Produk Hukum, Perundangan, dan Penegakan Hukum Produk hukum, perundang-undangan dan penegakan hukum merupakan bagian terkait dengan sistem kelembagaan. Aspek ini merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan pelayanan transportasi. Berbagai konflik yang terjadi sering disebabkan oleh masalah lemahnya penegakan hukum dan peraturan, tidak konsistensinya ketentuan antarperaturan atau perundangan, serta kurang tegasnya penatapan sangsi pada berbagai kasus pelanggaran hukum dan peraturan. Sisi lain yang ikut menjadikan lemahnya sisi perundang-undangan dan penegakan hukum adalah persoalan transparansi penyusunan produk hukum dan penegakan hukum dan peraturan. Selain itu sosialisasi produk hukum, dan perundangan adalah aspek lain yang sangat penting untuk dilakukan, khususnya dalam rangka memadukannya dalam pola kehidupan sosial-budaya masyarakat, karena pada akhirnya masyarakatlah yang akan sangat menentukan keberhasilan penegakan hukum dan peraturan. Langkah sistematis sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja sistem kelembagaan dalam kaitannya dengan produk hukum, perundang-undangan dan penegakan hukum. Pertama adalah upaya meningkatkan ketegasan dalam penegakan hukum dan peraturan, selanjutnya aspek konsistensi dan transparansi dalam konsep dan pendekatan dalam merumuskan produk hukum dan peraturan merupakan langkah yang harus ditingkatkan. Kombinasi antara sosialisasi produk hukum dan peraturan merupakan bagian dari upaya meningkatkan pengetahuan dan pendidikan masyarakat, agar hukum dan peraturan dapat menjadi bagian integral dalam kegidupan masyarakat. Terakhir pendekatan teknologi dan sertifikasi merupakan langkah sistematik lainnya agar penegakan produk hukum dan peraturan dapat dilaksanakan secara memadai. 3.4 Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu mata rantai yang lemah dalam upaya mengembangkan pelayanan transportasi di Indonesia. Dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi, maka kebutuhan sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi berstandar global merupakan tuntutan yang sulit dielakan. Kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi pada berbagai tahap seperti perencanaan, perancangan, pelaksanaan pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, dan evaluasi untuk berbagai moda transportasi. Aspek lain terkait dengan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia adalah pada sistem organisasi, mengingat sistem organisasi berkaitan dengan kualitas dan kemampuan sumber daya manusia yang melaksanakannya. Kelangkaan tenaga andal di dalam negeri, baik kualitas maupun kuantitas, akan membuka peluang bagi masuknya tenaga kerja asing. Artinya kesempatan kerja bagi tenaga kerja dalam negeri menjadi berkurang. Hal ini tentunya perlu diantisipasi oleh pemerintah.

100 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia untuk mendukung pemberdayaan kelembagaan di pusat maupun daerah. Hal ini erat kaitannya dengan semakin meningkatnya tuntutan otonomi daerah dalam hal pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah. Pemerintah daerah otonom akan mempunyai wewenang dan tanggung jawab lebih besar pada era mendatang. Karenanya kebutuhan terhadap sistem pendidikan, pelatihan, serta sertifikasi baku perlu diterapkan pada berbagai bidang keahlian terkait dengan transportasi serta disesuaikan dengan berbagai tingkatan kebutuhan. Sertifikasi baku perlu dilakukan agar kualitas pada berbagai kualifikasi tenaga kerja mempunyai keahlian dengan mutu berstandar global dan internasional. 3.5 Kajian Ekonomi, Sistem Pembiayaan, serta Aturan Pentarifan Kebijaksanaan sistem pembiyaan dan aturan pentarifan merupakan kunci dari sistem pelayanan transportasi, di samping arahan kebijaksanaan ekonomi secara menyeluruh. Sebagai negara berkembang yang kerap memiliki berbagai keterbatasan dalam masalah pendanaan perlu penerapan sistempembiayaan dan pentarifan yang bijaksana. Penerapan sistem pembiayaan dan pentarifan yang bijaksana dalam arti pada satu sisi memihak kepada kepentingan masyarakat banyak, akan tetapi pada sisi lain memperhitungkan aspek keberlangsungan pelayanan transportasi dalam berbagai perspektif, baik yang menyangkut aspek lingkungan, ekonomi, maupun sosial. Pengembangan skema sistem pembebanan biaya yang lebih berkeadilan melalui sistem pembiyaan dan pentarifan dengan pendekatan komersial dan non-komersial/pelayanan sosial perlu dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat pada seluruh lapisan. Pada segmen pasar pelayanan transportasi, dimana kompetisi antar moda serta kemampuan ekonomi relatif rendah, maka kebijakan subsidi silang sebagai bentuk intervensi pemerintah untuk melindungi kalangan masyarakat ekonomi lemah perlu dilakukan. Demikian juga pada pelibatan partisipasi masyarakat umum dan swasta dalam pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana transportasi dapat dilakukan dengan memperhitungkan pemihakan yang jelas kepada masyarakat banyak. 3.6 Arah Pengembangan Sistem Kelembagaan, Sumber Daya Manusia dan Sistem Pembiayaan Transportasi Upaya-upaya peningkatan kinerja sistim kelembagaan yang memadai, tentunya terkait dengan faktor kesiapan institusi, kemampuan sumber daya manusia, serta aspek pembiayaanya. Dibutuhkan dukungan politik dan komitmen yang nyata dari berbagai pengambil keputusan untuk mewujudkan sistem kelembagaan sebagai salah satu pendekatan dalam rangka pemecahan masalah transportasi. Dalam masa resesi ekonomi, serta adanya reformasi pada berbagai lini, momentum ini seyogyanya dapat dimanfaatkan untuk memperkuat dukungan politik dan komitmen dari pengambil keputusan, untuk mengubah pola pikir yang selama ini lebih terkesan tambal sulam. Proses pengalihan keberpihakan ini butuh waktu, dan harus dimulai dari sekarang. Beberapa upaya terkait dengan arah pengembangan sistem kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia dan sistem pembiyaan transportasi adalah: (i)

kejelasan dalam tugas dan kewenangan lembaga dalam fungsi pembinaan dan fungsi pelaksanaan pelayanan transportasi,

(ii)

integrasi sistem kebijakan, sistem perencanaan dan sistem pendanaan,

(iii)

konsistensi dan ketegasan dalam penegakan peraturan dan perundangan,

Tim Transportasi ITB

101

(iv)

pelayanan sistem transportasi yang mampu menyeimbangkan perkembangan wilayah diseluruh pelosok,

(v)

pengembangan kebijaksanaan yang melibatkan aspek lingkungan seperti polusi udara, suara, pengembangan energi alternatif bebas lingkungan,

(vi)

pertimbangan aspek sosial perlu lebih dipertajam misalnya bagaimana disatu sisi melayani masyarakat lemah (miskin, tua, cacat, terisolir, terbelakang) dilain sisi juga masyarakat kuat (kaya, berpendidikan),

(vii) pengembangan kebijaksanaan transportasi yang mampu melindungi kepentingan dalam negeri pada suasana persaingan kompetitif dengan sistem transportasi global, (viii) peningkatan aspek keselamatan jasa pelayanan transportasi yang mampu melindungi keselamatan pergerakan penumpang dan barang. 4.

SISTEM TRANSPORTASI PERKOTAAN

4.1 Isu Perkembangan Perkotaan dan Implikasi Permasalahan Kota-kota di Indonesia telah berkembang dengan pesat dalam hal intensitas aktivitas sosioekonomi dan luas wilayah perkotaannya seiring dengan kemajuan ekonomi yang telah terjadi. Kecenderungan saat ini memperlihatkan bahwa di tahun-tahun yang akan datang perkembangan serupa akan terus terjadi. Pola aktivitas masyarakat berubah baik dalam hal jenis maupun kuantitasnya. Peningkatan jumlah pergerakan yang terjadi yang ditimbulkan oleh berkembangnya aktivitas masyarakat perkotaan menuntut penambahan prasarana transportasi perkotaan. Di samping itu, dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, tuntutan akan kualitas prasarana yang lebih baik juga meningkat. Sementara itu keterbatasan sumber daya menyebabkan penambahan prasarana transportasi perkotaan tertinggal dibanding peningkatan kebutuhan. Fenomena ini terjadi praktis di semua kota besar di Indonesia. Implikasinya adalah terjadinya kemacetan lalu lintas yang makin hari makin ekstensif sehingga aktivitas masyarakat terhambat, pemanfaatan prasarana dan sarana menjadi tidak efisien, tingkat keselamatan lalu lintas menurun, dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan lalu lintas bertambah. Isu utama perkembangan perkotaan yang signifikan dikaitkan dengan permasalahan transportasi didiskusikan dibawah ini.

Pertumbuhan Penduduk dan Urbanisasi Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata di Indonesia tergolong cukup tinggi meskipun cenderung menurun (rata-rata 2,32% per tahun pada tahun 1970-an menjadi 1,90–2,00% pada tahun 1990-an). Pertumbuhan penduduk khusus kawasan perkotaan ternyata jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 4,0% per tahun pada dekade terakhir[4,5]. Faktor penting yang mempengaruhi tingginya laju petumbuhan perkotaan adalah urbanisasi dalam arti perpindahan penduduk dari desa ke kawasan perkotaan dan perluasan wilayah perkotaan. Jumlah penduduk di suatu wilayah merupakan faktor utama pembangkit kebutuhan perjalanan sehingga konsekuensinya prasarana dan sarana transportasi yang ada perlu ditambah.

102 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Perkembangan Bentuk dan Kawasan Perkotaan Sistem tansportasi berperanan besar dalam menentukan bentuk perkotaan. Sistem jaringan transportasi yang optimum bagi suatu kawasan perkotaan diantaranya dipengaruhi oleh ukuran kawasan tersebut, jumlah dan distribusi spasial dari pusat aktivitas, serta kebijakan pengembangan sistem transportasinya sendiri. Perkembangan bentuk dan kawasan perkotaan yang diiringi dengan terbentuknya pusat aktivitas baru sebagaimana yang banyak dijumpai di kota besar di Indonesia mempengaruhi pola perjalanan penduduk, jumlah dan panjang perjalanan, dan biaya transportasi secara menyeluruh.

Perkembangan Jenis Aktivitas/Tata-Guna Lahan Perkembangan kawasan perkotaan bisa juga dilihat dari perubahan jenis aktivitasnya. Kecenderungan yang terjadi di kota Indonesia adalah perubahan kawasan perkotaan dari daerah pertanian menjadi daerah industri manufaktur, jasa, dan perdagangan. Perubahan ini berpengaruh terhadap kebutuhan jumlah perjalanan mengingat jumlah lapangan kerja per satuan luas di daerah industri jauh lebih besar daripada di daerah pertanian. Khusus mengenai indutri jasa dan perdagangan, secara umum juga diketahui bahwa tingkat bangkitan lalu lintas per lapangan kerjanya lebih tinggi daripada jenis tata-guna lahan lainnya.

Kebijakan Dekonsentrasi Planologis Perkembangan kota metropolitan, di Pulau jawa khususnya, sudah sedemikian pesat sehingga sudah mencapai tingkat jenuh dan permasalahan yang terjadi menjadi sangat kompleks serta makin sukar dikendalikan. Salah satu kebijakan tata-ruang yang diterapkan adalah dekonsentrasi planologis, yaitu upaya penyebaran fungsi pelayanan perkotaan ke kota di sekitarnya, misalnya konsep yang dikenal sebagai pengembangan kota satelit atau kota mandiri[18]. Dengan kebijakan ini diharapkan penduduk kota satelit tidak harus memenuhi seluruh kebutuhan akan pelayanan fungsi perkotaan dari kota utamanya, melainkan sebagian paling tidak bisa dipenuhi di kota satelit tersebut. Dari sisi lain, pembentukan kota satelit juga menuntut pengembangan jaringan transportasi yang ada karena sebagai bagian dari sistem metropolitan secara keseluruhan kota satelit itu perlu dihubungkan dengan kota utamanya dengan jaringan transportasi yang memadai baik fungsi maupun kapasitasnya.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-7% per tahun dalam dekade terakhir sebelum krisis moneter Juli 1997 menempatkan diri di antara negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Pertumbuhan ekonomi tersebut dimotori oleh kawasan perkotaan, terutama melalui sektor industri. Pertumbuhan ekonomi yang berarti peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat merupakan penyebab langsung dari pertumbuhan pemilikan kendaraan. Pada awal tahun 1990-an pertumbuhan pemilikan kendaraan, tak termasuk sepeda motor, di Indonesia secara nasional mencapai hampir 5% per tahun, namun di propinsi-proponsi tertentu dan di kota-kota besar bisa mencapai di atas 10% per tahun. Peningkatan pendapatan cenderung mengakibatkan meningkatnya jumlah kebutuhan perjalanan rata-rata per penduduk. Sementara itu, peningkatan pemilikan kendaraan (pribadi khususnya) mendorong peningkatan penggunaan kendaraan pribadi. Pada bagian berikut dibahas state of the art dan state of practice dari berbagai strategi transportasi perkotaan yang menjadi bahan diskusi yang terus berkembang[19,20,21]. Tim Transportasi ITB

103

4.2 Sistem Angkutan Umum Perkotaan Arus utama pemikiran transportasi perkotaan akhir-akhir ini adalah memberdayakan sistem angkutan umum untuk mencukupi kebutuhan mobilitas setelah sekitar tiga perempat bagian pertama pada abad ini memberikan pengalaman bahwa dominasi angkutan pribadi ternyata memberikan dampak yang makin sulit diatasi. Batasan-batasan sumber daya dan lingkungan tidak memungkinkan untuk terus mengakomodasi pertumbuhan kebutuhan angkutan pribadi yang tampaknya hampir tak terpuaskan. Dewasa ini proporsi penggunaan angkutan umum di kota-kota besar Indonesia diperkirakan sekitar 50% atau lebih. Sebagai perbandingan, proporsi penggunaan angkutan umum perkotaan terhadap total perjalanan kendaraan bermotor di negara lain adalah 2% di USA, 12% di UK, 14% di Perancis, 17% di Swiss, 27% di Spanyol, dan 46% di Jepang[22]. USA merupakan negara yang kebijakan transportasi dan industri kendaraannya memberi peluang terhadap penggunaan angkutan pribadi yang sangat dominan. Sedangkan negara Eropa umumnya memberikan perhatian yang cukup tinggi terhadap pengembangan sistem angkutan umum. Yang menarik adalah Jepang yang telah memberikan bukti penggunaan angkutan umum yang sangat signifikan meskipun tingkat kemakmuran dan kemajuan industri kendaraannya tidak kalah dibanding USA.

Keterpaduan Memperhatikan fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia, kebijakan transportasi di Indonesia hendaknya diarahkan agar sedapat mungkin tingkat penggunaan angkutan umum yang saat ini relatif tinggi bisa terus dipertahankan; mungkin akan sulit sekali untuk ditingkatkan kalaupun tidak dapat dikatakan tidak mungkin. Untuk mempertahankan tingkat penggunaan angkutan umum saat ini saja diperlukan usaha yang terpadu dan konsisten dari semua pihak terkait karena di masa mendatang kecenderungan peralihan ke angkutan pribadi akan makin kuat seiring dengan populasi yang akan terus bertambah dan kemakmuran yang meningkat. Kebijakan mendasar yang perlu diadopsi untuk mendorong daya tarik sistem angkutan umum adalah bagaimana menciptakan sistem angkutan umum perkotaan yang terpadu menyangkut berbabagai aspek dan stake holders yang terkait. Keterpaduan suatu sistem transportasi perkotaan paling tidak ditinjau dari sisi kebijakan, rencana dan program, pendanaan, dan pelayanan[22,23]. Keterpaduan sistem tersebut diarahkan agar meningkatkan kemudahan penggunaan oleh masyarakat, meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, meningkatkan interaksi antar kawasan, meningkatkan partisipasi masyarakat, termasuk peran swasta, dan menurunkan pencemaran lingkungan dan tingkat kecelakaan.

Hirarki Pelayanan Setiap moda angkutan umum mempunyai fungsi dan peranan masing-masing yang semuanya diperlukan dan berkomplementasi sebagai suatu sistem angkutan umum secara keseluruhan. Agar peranan ini bisa optimal diperlukan adanya suatu tatanan pengaturan yang biasa disebut sebagai hirarki pelayanan, dimana dalam hal ini angkutan yang berkapasitas rendah beroperasi didalam suatu wilayah tertentu dan merupakan pengumpan bagi kendaraan yang berkapasitas besar yang beroperasi di jalur-jalur utama perkotaan. Pada saat sekarang di perkotaan di Indonesia, konsep hirarki pelayanan ini masih belum diterapkan secara benar, sehingga seolah-olah semua moda kendaraan tadi beroperasi secara bersamaan di seluruh wilayah kota dan berkompetisi satu sama lainnya. Di sisi lain, dewasa ini ada dua argumen yang berkembang di bidang sistem angkutan umum perkotaan, terutama untuk kota-kota besar atau metropolitan. Yang pertama adalah pendapat bahwa sistem angkutan umum perkotaan ini harus mempunyai tulang punggung 104 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

angkutan umum massal yang berbasis jalan rel sebagai jawaban atas segala problematik transportasi perkotaan seperti mengurangi kemacetan di jalan, sehingga banyak sekali kotakota di dunia ini yang membangun dan mengoperasikan sistem ini. Di pihak lain, ada juga yang berpendapat bahwa sistem angkutan umum berbasis jalan rel ini bukan merupakan "obat mujarab" untuk memecahkan masalah transportasi perkotaan, dan hal ini malahan merupakan suatu kesiasiaan atau penghamburan dana saja[20]. Sehingga banyak studi yang dilakukan untuk membuktikan hal itu dengan menunjukkan kegagalan dari sistem tersebut seperti misalnya tidak terutilisasinya sistem yang menyebabkan kerugian terus-menerus dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia, dengan melihat pengalaman di tempat lain, mungkin kedua argumen tersebut harus betul-betul diperhatikan agar tidak terjerumus kedalam keputusan yang salah, karena pada saat ini Indonesia juga sedang berada pada tahapan yang cenderung memihak pada argumen yang pertama disatu pihak, sementara di pihak lain, kesiapan untuk mengoperasikan sistem angkutan massal berbasis rel ini masih banyak mempunyai masalah seperti misalnya kesiapan dana dan manajemen pengoperasiannya.

Deregulasi Deregulasi telah menjadi strategi yang dianggap sebagai jawaban yang relevan untuk meningkatkan pelayanan angkutan umum pada siatuasi akhir-akhir ini dimana penggunaan angkutan umum di berbagai kota dunia cenderung menurun sementara kemampuan Pemerintah makin terbatas. Semangat yang dikedepankan dalam deregulasi angkutan umum adalah mendorong peran swasta yang lebih besar dalam pengelolaan dan pengoperasian sistem angkutan umum, sedangkan pemerintah lebih menekankan peran sebagai enabler dan regulator, dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Dalam konteks deregulasi ini, isu tentang subsidi bagi angkutan umum tetap secara bijak mengingat tidak semua rute angkutan umum bisa menguntungkan. Sebagian rute mungkin tidak menguntungkan, tetapi dipertahankan dengan tingkat pelayanan yang memadai sebagai bagian transportasi perkotaan secara menyeluruh.

perlu disikapi dikategorikan tetap perlu dari jaringan

4.3 Manajemen Lalu lintas dan Kebutuhan Transportasi Memperhatikan perkembangan kota di Indonesia yang pesat, keterbatasan sumber daya untuk membangun prasarana transportasi yang diperlukan, serta kapasitas lingkungan yang terbatas untuk menerima seluruh dampak yang timbul, perlu diupayakan berbagai cara yang bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan prasarana yang ada. Dalam kaitan ini dikenal Manajemen Lalu lintas (MLL) dan Manajemen Kebutuhan Transportasi (MKT) yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem transportasi perkotaan dengan mempertimbangkan kondisi dan keterbatasan yang ada. Konsep MKT[24,25] telah diterapkan di berbagai kawasan perkotaan di dunia dengan maksud untuk mengurangi dampak dari lalu lintas terhadap sistem transportasi dan sistem perkotaan secara umum. Untuk mengatasi permasalahan lalu lintas yang efektifitasnya relatif untuk jangka pendek dan penanganannya biasanya bisa dilaksanakan segera dikenal konsep MLL. Konsep MLL umumnya diterapkan melalui pengaturan arus lalu lintas dan jika diperlukan disertai perbaikan minor terhadap prasarana yang ada.

Tim Transportasi ITB

105

Penerapan kebijakan MLL dan MKT perlu melihat cakupannya, yang dibedakan menurut jangka pendek, menengah, dan panjang. Strategi yang diterapkan hendaknya memperhatikan baik sisi permintaan maupun sisi penyediaan secara seimbang yang diantaranya berupa peningkatan pemanfaatan aset, pembatasan fisik, pengenaan pungutan, atau mendorong perubahan sikap sosial dan aspek perkotaan. Namun, implementasi strategi manajemen lalu lintas dan kebutuhan transportasi perlu mempertimbangkan aspek berikut: •

kondisi sosio-ekonomi masyarakat



kondisi sistem perkotaan dan transportasi serta rencana pengembangannya



kesiapan kelembagaan yang menyangkut seluruh pihak yang terkait, mulai dari instansi pemerintah pusat dan daerah, unsur swasta, badan/perusahaan transportasi, sampai masyarakat pengguna jasa transportasi.

Pemahaman atas aspek diatas diperlukan mulai dari prores perencanaan, perancangan, sampai operasionalnya. Perlu juga diperhatikan bahwa strategi yang terbukti efektif di negara maju belum tentu memberikan hasil yang serupa jika diterapkan di Indonesia mengingat kondisi sosio-ekonomi masyarakat, sistem transportasi dan perkotaan, serta kesiapan kelembagaan yang berbeda. Di samping itu, pengalaman di kota lain menunjukkan bahwa keberhasilan penerapannya seringkali ditentukan oleh kombinasi beberapa metoda yang mana masing-masing memberikan kontribusi positif, terutama di kota besar yang permasalahan transportasinya sudah demikian kompleks. 4.3.1 Peran road pricing sebagai salah satu sumber pendanaan Kemacetan lalu lintas di wilayah perkotaan telah menjadi begitu rutin dan cenderung makin ekstensif, baik dari sisi waktu maupun ruang. Dalam perjalanan waktu situasinya menjadi makin problematis yang dipicu oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan kemakmuran, dan perkembangan kota. Saat lalu lintas bertambah dan kemacetan kemudian terjadi, kehadiran setiap kendaraan memberikan kontribusi terhadap kondisi lalu lintas yang menjadi kurang lancar, sehingga menyebabkan tundaan, yang berarti suatu biaya, terhadap kendaraan lainnya. Namun, para pengemudi biasanya tidak merasakan konsekuensi yang berupa biaya tambahan ini yang sebenarnya sangat nyata dilihat dari sisi waktu, pemborosan bahan bakar, kerugian akibat pencemaran, dan sebagainya yang mempengaruhi baik pengguna jalan lainnya maupun masyarakat umum. Suatu cara untuk mengatasi masalah ini adalah menciptakan suatu mekanisme yang membuat pengemudi merasakan adanya biaya tersebut dan membebankan biaya tersebut kepadanya. Dengan memahami dan merasakan biaya yang sebenarnya ini dan dampaknya terhadap pengguna jalan lainnya, perilaku pengemudi akan terpengaruh, misalnya saja dengan menyesuaikan pola perjalanannya, atau pilihan rutenya, atau tindakan lainnya. Hal ini menjadi dasar konseptual dari sistem pungutan jalan (road pricing)[26]. Solusi yang dicari adalah bagaimana mengembangkan mekanisme pengenaan biaya yang sepadan dan bertingkat yang membuat pengemudi memperoleh persepsi yang benar dan membayar biaya ekonomi variabel sesuai dengan waktu perjalanannya. Dan, pendapatan yang diperoleh dari pengenaan biaya jalan tersebut jika digunakan untuk kepentingan pengguna jalan secara umum serta kebutuhan perjalanan terpengaruh sesuai dengan yang diinginkan, maka situasi akan bergerak ke arah peningkatan efisiensi dari pemanfaatan jaringan transportasi yang terbatas ini.

106 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Metoda dan Tujuan Pungutan jalan bisa dilakukan secara tidak langsung atau langsung. Cara tidak langsung dilaksanakan melalui pemilikan kendaraan yang bersifat fixed charges (misalnya pajak pembelian, pajak tahunan) dan pemakaian kendaraan yang bersifat variable charges (misalnya pajak bahan bakar, pajak suku cadang, biaya parkir, area licensing scheme). Cara langsung dilakukan dengan memperhitungkan waktu atau jarak aktual perjalanan kendaraan. Hal ini diantaranya bisa dilakukan melalui pungutan tol jalan secara manual pada titik tertentu di suatu ruas jalan, pungutan tol elektronis, atau automatic scanning yang secara lebih fleksibel membebankan biaya menurut waktu atau jarak (misalnya Electronic Road Pricing, magnetic card, smart card, odometer). Sedangkan tujuan umum dari kebijakan pungutan jalan adalah untuk memenuhi unsur pemerataan, yaitu distribusi pengaruh secara adil terhadap tiap kelompok pengguna, efisiensi pemanfaatan sumber daya, dan dapat diterima oleh setiap kelompok pengguna. Tujuan kebijakan pungutan jalan kemudian perlu diterjemahkan lebih lanjut sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai, misalnya memperoleh pendapatan, mengurangi polusi, mengurangi kemacetan, dan sebagainya. Cara yang ditempuh untuk mencapai sasaran perlu ditentukan dengan memperhatikan mekanisme pungutan, tarif, waktu, dan kategori kendaraan.

Distribusi Keuntungan Pungutan jalan akan memberikan tambahan pendapatan dan permasalahan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana memanfaatkan tambahan pendapatan ini. Prinsip dasar yang perlu disepakati adalah akumulasi pendapatan hendaknya dialokasikan untuk meningkatkan kondisi yang terkait dengan pemanfaatan jalan atau sistem transportasi. Keterkaitan ini akan ikut menentukan diterimanya skema pungutan jalan oleh masyarakat. Suatu usulan pendekatan yang dianggap paling layak dikenal sebagai “Goodwin’s rule of three”[26], yaitu: pendapatan dari pungutan jalan didistribusikan melalui melalui realokasi dari ruang jalan yang digunakan dan alokasi dari pendapatan yang diperoleh. Dalam usulan tersebut, realokasi ruang jalan direncanakan untuk digunakan untuk: •

Perbaikan lingkungan (misalnya untuk pejalan kaki) dan/atau



Penyediaan untuk tambahan lalu lintas yang tertarik akibat adanya pengurangan kecepatan tetapi tidak terhalang oleh adanya tambahan biaya (misalnya pengguna kendaraan berpenumpang banyak) dan/atau



Penyediaan untuk peningkatan kecepatan (misalnya untuk sistem manajemen lalu lintas dalam menangani kecenderungan pertumbuhan lalu lintas).

Sedangkan bagian dari pendapatan hendaknya digunakan untuk: •

Kebutuhan umum lokal (ditentukan sesuai rencana dan prioritas lokal) dan/atau



Pembangunan jalan baru (sesuai dengan prioritas lokal) dan/atau



Peningkatan efektivitas angkutan umum (melalui peningkatan tingkat pelayanan).

Pengalaman Sejumlah negara telah bergerak dalam penerapan biaya jalan tersebut dengan memanfaatkan teknologi yang beragam serta berbagai catatan tingkat keberhasilan. Indonesia memulai pengoperasian jalan tol tahun 1978 dengan dibukanya Jalan Tol Jagorawi; tarif tol dikenakan untuk pengembalian biaya pembangunan jalan tol tersebut. Di beberapa negara pengoperasian jalan tol telah dilakukan, diantaranya di Norwegia (Olso, Bergen, Trondheim), Perancis, USA, Singapore, Hong Kong, London, yang pendapatannya disamping dimaksudkan untuk peningkatan prasarana jalan juga untuk memperbaiki sistem Tim Transportasi ITB

107

transportasi secara umum, misalnya peningkatan angkutan umum dan fasilitas pejalan kaki, pengurangan kemacetan, pengurangan polusi akibat lalu lintas, dan pengurangan kecelakaan. 4.3.2 Intelligent Transport System (ITS)

Intelligent Transportation Systems (ITS)[27] mencakup suatu pengembangan teknologi yang berkaitan dengan inovasi atau aplikasi baru dari perkembangan mutakhir bidang komputer, komunikasi, sensor, pengolahan informasi, penyimpanan data, dan teknik penayangan untuk meningkatkan efisiensi dan tingkat keselamatan sistem transportasi (permukaan) dan untuk mengurangi dampak lingkungan yang merugikan. Jika memperhatikan perkembangan terakhir, istilah ITS merupakan terminologi yang bisa dianggap baku untuk menamakan suatu disiplin yang relatif baru. Terminologi lain yang sering digunakan adalah ATT (Advanced Transport Telematics). Pengembangan ITS bersangkutan dengan kenyataan bahwa penggunaan sistem yang ada hampir atau sudah mencapai kapasitasnya, sedangkan pembangunan baru dihadapkan pada kendala yang sangat ketat dalam hal ruang, dana, dan lingkungan. Tema pokok dari usaha dalam ITS oleh karena itu adalah memadukan secara lebih efisien dari berbagai komponen sistem informasi yang ada dengan memanfaatkan teknologi infromasi. Dan, tujuan dari ITS umumnya berupa: •

Meningkatkan keselamatan dengan mengurangi kejadian tabrakan dan jumlah serta tingkat keseriusan dari korban luka dan kematian akibat tabrakan;



Meningkatkan efisiensi dan kapasitas operasional dari sistem transportasi permukaan dengan mengurangi gangguan yang diakibatkan oleh lalu lintas serta meningkatkan tingkat pelayanan dan kemudahan bagi pergerakan penumpang, barang, dan kendaraan;



Mengurangi konsumsi energi dan biaya lingkungan yang berasosiasi dengan tundaan perjalanan dan kemacetan lalu lintas dengan menyediakan informasi yang cerdas dan tepat waktu serta tambahan pilihan perjalanan;



Meningkatkan produktivitas saat ini dan yang akan datang dengan mengurangi waktu dan biaya perjalanan bagi semua pengguna sistem transportasi permukaan, termasuk sektor usaha, operator, pengelola armada, dan individu; dan



Meningkatkan mobilitas personal dengan memperbaiki aksesibilitas dan menyediakan transportasi permukaan yang mudah dan andal bagi semua, individu termasuk para cacat dan warga berusia lanjut.

Usaha mengintegrasikan komponen sistem yang ada untuk mencapai suatu sistem terpadu yang efektif menyangkut integrasi fungsional (sharing informasi antara bergbagai fungsi yang berbeda), integrasi temporal (membuat informasi tersedia pada setiap saat selama siklus hidup dari prasarana), integrasi kelembagaan (sharing informasi secara efektif antara berbagai kelembagaan), dan integrasi data (mampu memperoleh data yang diperlukan dari berbagai sumber data). Beberapa kota di Indonesia telah menerapkan sejenis ITS dalam beberapa tahun terakhir ini, yaitu sistem pengaturan lampu lalu lintas ATCS (Area Traffic Control System) di Bandung dan Jakarta. Beberapa kota lainnya sedang dalam tahap diusulkan untuk menerapkan sistem tersebut. ATCS memungkinkan pengelolaan lampu lalu lintas pada suatu daerah tertentu secara terintegrasi dan adaptif terhadap perubahan arus lalu lintas dengan menggunakan detektor yang terpasang di badan jalan serta dengan bantuan sistem komunikasi dan komputer. 108 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Data lalu lintas real time ATCS sedang dikembangkan oleh Laboratorium Rekayasa Lalu lintas ITB agar bisa dimanfaatkan dalam konteks perencanaan transportasi kota[28]. Laboratorium Sinyal dan Sistem ITB[29] meneliti sistem informasi lalu lintas terpadu termasuk sistem deteksi lalu lintas dengan sinar infra merah yang merupakan langkah awal untuk pengembangan sistem informasi kendaraan serta sistem pengendalian lalu lintas jalan secara real time. 4.3 Dampak Lingkungan Dampak negatif dari transportasi yang makin dirasakan dengan berkembangnya transportasi adalah pencemaran lingkungan. Secara garis besar dampak yang terjadi berkaitan dengan pembangunan prasarana dan sarana, pengoperasian moda transportasi, jenis moda, dan teknologi yang digunakan. Diantara semuanya ini yang paling besar menimbulkan dampak adalah pengoperasian transportasi. Dampak yang ditimbulkan berupa polusi udara dari gas buang, kebisingan, getaran, gangguan pada pejalan kaki, gangguan pandangan, pemisahan, konsumsi lahan, sampah, dan pencemaran sumber air. Dari berbagai faktor lingkungan di atas polusi udara merupakan faktor yang langsung berdampak pada kehidupan masyarakat berupa gangguan kesehatan. Studi yang telah dilakukan di Indonesia maupun negara-negara lain. menunjukkan bahwa lalu lintas kendaraan bermotor terutama diperkotaan merupakan sumber pencemaran udara terbesar. Penelitian di kota-kota besar di Indonesia oleh LPM ITB (Soedomo dkk, 1992) melaporkan kontribusi emisi HC, NOx, CO dari transportasi masing-masing mencapai sekitar 70-88%, 3483%, dan 97-99% dari total sumber polusi udara. Komponen polusi udara lainnya yang berbahaya terutama bagi kesehatan anak adalah debu timbal (Pb). Hasil penelitian yang dilakukan Urbair-Bapedalda Jakarta[30] menunjukkan bahwa hampir 100% debu timbal dihasilkan dari sektor transportasi. Dampak dari debu timbal ini, menurut para peneliti dari Swiss Contack[31], secara medis 1 mikrogram dalam 1 meter-kubik udara terhadap anak yang berada pada tenggang waktu tertentu dapat menurunkan IQ sampai satu poin. Sementara di beberapa tempat di Jakarta kandungan debu timbal di udara sudah mencapai 25 mikrogram dan WHO memberi ambang batas untuk debu timbal (Pb) sebesar 0,5 mikrogram dalam 1 meter-kubik. Mengingat permasalahan lingkungan di atas pengendalian dampak lingkungan terutama yang berkaitan dengan sektor transportasi khususnya perkotaan perlu mendapat perhatian dari pemerintah, operator, maupun pengguna sarana transportasi. Dari segi kebijaksanaan maka konsep dan strategi transportasi berkelanjutan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan perlu diformulasikan dalam bentuk kebijaksanaan, peraturan dan sosialisasi yang lebih intensif. Sebagai contoh, kajian transportasi harus mempertimbangkan faktor lingkungan sebagai parameter pengendali seperti kajian kapasitas jalan perlu memperhatikan penerapan konsep kapasitas lingkungan terutama pada jaringan jalan perkotaan[32,33]. Dalam kapasitas lingkungan parameter yang diperhitungkan tidak hanya bersifat teknis operasional seperti jumlah dan komposisi kendaraan, karateristik geometri jalan tetapi juga parameterparameter lingkungan yang didasarkan pada persepsi/perilaku orang terhadap pengaruh dampak lingkungan, karateristik kendaraan maupun ambang batas lingkungan. Usaha pengendalian yang berkaitan dengan lingkungan saat ini seperti uji kelaikan kendaraan perlu diperketat dan dikembangkan tidak hanya pada kendaraan umum dan komersial tetapi juga kendaraan pribadi. Sehingga pengalaman kota-kota besar di Indonesia dengan permasalahan lalu lintas dan lingkungan terkait dapat dihindarkan atau dikurangi serta menjadi pelajaran bagi kota lainnya.

Tim Transportasi ITB

109

Tingkat dan skala gangguan terhadap lingkungan akibat transportasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu kondisi perekonomian, kebijakan dan struktur sektor transportasi, serta aspek operasional dari kegiatan transportasi. Usaha untuk menekan dampak lingkungan dari transportasi oleh karena itu harus mempertimbangkan faktor-faktor ini secara terpadu. Suatu contoh usaha yang dimaksudkan untuk menjawab permasalahan tersebut serta mengantisipasi perkembangan yang akan datang diantaranya adalah kebijakan yang digariskan Uni Eropa. Kebijakan Uni Eropa bagi masa depan lingkungan perkotaan mengusulkan tujuh konsep dasar pengembangan kota sebagai berikut: 1.

Mendorong kembalinya mixed use di wilayah perkotaan.

2.

Memperkuat identitas kota dengan menitikberatkan hubungan antara tempat-tempat dengan sejarahnya.

3.

Medorong regenerasi wilayah kota yang tak terpakai dibandingkan wilayah pinggiran kota.

4.

Mengurangi dampak dari transportasi.

5.

Mempertahankan kualitas ruang-ruang terbuka.

6.

Mendorong konservasi energi.

7.

Melibatkan warga negara dalam proses pengambilan keputusan.

5.

SISTEM TRANSPORTASI REGIONAL, NASIONAL DAN INTERNASIONAL

5.1 Pengembangan Hirarki Sistem Jaringan Transportasi yang Berbasis Tata Ruang GBHN 1998 mengamanatkan bahwa pembangunan transportasi diarahkan pada terwujudnya Sistem Transportasi Nasional yang andal, aman, nyaman, berkemampuan tinggi dan efisien. Secara indikatif, Sistem Transportasi Nasional yang dimaksud didefinisikan sebagai suatu tatanan yang teroganisasi dari perangkat keras, perangkat lunak dan sumber data manusia di bidang transportasi, yang meliputi transportasi darat, laut dan udara, serta penunjangnya yang saling berinteraksi, membentuk suatu jaringan transportasi secara nasional untuk menghasilkan jasa transportasi yang efektif dan efisien. Pembangunan sistem transportasi diarahkan pada dua tujuan utama yaitu: a.

pembangunan jaringan transportasi yang dikaitkan dengan upaya meningkatkan pelayanan terhadap sektor-sektor lain. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi melalui peningkatan efisien dan kualitas pelayanannya sehingga menunjang distribusi barang dan jasa, dan mendukung mobilitas manusia. Untuk maksud tersebut, perhatian lebih ditekankan pada peningkatan pelayanan antar moda transportasi, pengembangan dan pemantapan hirarki jaringan transortasi nasional, serta peningkatan kinerja pelayanan transportasi termasuk di dalamnya pembangunan SDM. Perhatian pembangunan transportasi pada upaya peningkatan pelayanan ini di titik beratkan pada wilayah yang sudah cukup berkembang, seperti kawasan perkotaan, kawasan budidaya atau kawasan khusus (pariwisata). Pada umumnya, kawasan dengan karakteristik tersebut berlokasi di kawasan barat Indonesia.

b.

Pembangunan jaringan transportasi yang diarahkan pada upaya mendorong pertumbuhan suatu wilayah (promoting), sehingga menjadi lebih serasi dan seimbang dengan pertumbuhan wilayah lain yang lebih maju. Implikasi dari pendekatan ini adalah perlunya menciptakan kapasitas prasarana yang lebih merata antar wilayah, antar kawasan di Indonesia melalui pembangunan jaringan transportasi dalam rangka

110 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

membuka keterisolasian wilayah. Hal ini antara lain dilakukan melalui pembangunan jaringan jalan baru, yang lebih dititik beratkan pada pencapaian sasaran perluasan jaringan dengan konstruksi sederhana. Disamping itu juga dibangun dermaga-dermaga sungai, penyeberangan dan laut, serta penyediaan angkutan perintis. Pada umunya pendekatan pembangunan transportasi yang demikian diarahkan pada awasan yang belum berkembang, daerah dan pulau terpencil yang sebagian besar berada di kawasan timur Indonesia. Pembangunan sistem transportasi yang berdimensi spasial itu dengan sendirinya perlu sejalan dengan kebijakan spasial. Kebijakan spasial tersebut diharapkan dijabarkan dalam rencana struktur dan pola tata ruang nasional yang terbagi ke dalam hirarki yang lebih kecil, yaitu RTRW Propinsi, RTRW Kabupaten/Kotamadya dan rencana wilayah yang lebih rinci. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengembangan dalam kaitannya dengan penataan wilayah nasional hendaknya juga mengarah kepada hierarki melalui pengembangan subsistem transportasi pada wilayah yang lebih kecil. 5.2 Pengembangan Sistem Jaringan Kereta Api 5.2.1 Peran kereta api Untuk memperoleh gambaran mengenai peran kereta di Indonesia, maka berikut ini dikemukakan suatu uraian seperti yang dikemukakan oleh Kepala Badan Litbang Departemen Perhubungan[34]. Pengembangan sistem jaringan transportasi jalan rel diarahkan untuk angkutan penumpang jarak jauh, angkutan barang massal dan untuk jaringan transportasi jalan rel di wilayah perkotaan diarahkan sebagai tulang punggung transportasi perkotaan khususnya di kotaraya seperti DKI Jakarta, Surabaya, dan Medan. Dalam hubungan tersebut pembangunan jaringan jalan transportasi jalan rel di Pulau Jawa diutamakan untuk angkutan penumpang massal jarak jauh. Sehingga diperlukan peningkatan kinerja lintas utama melalui jalur tambahan sekurang-kurangnya menjadi jalur ganda yang didukung sistem sinyal dan telekomunikasi yang andal dengan penggunaan energi listrik secara maksimal. Disamping itu juga perlu dilakukan pemanfaatan lintas cabang yang saat ini tidak berfungsi kembali dan dipadukan dengan sistem jaringan jalan yang ada, antara lain lintas cabang di Pulau Madura, sekitar Bandung, dan lain sebagainya. Selanjutnya pembangunan jaringan jalan transportasi jalan rel di Pulau Sumatera diarahkan untuk angkutan barang massal jarak jauh. Untuk itu diperlukan kesatuan jaringan jalan rel di Propinsi Sumatera Utara-Propinsi Sumatra Barat-Propinsi Sumatra Selatan-Propinsi Lampung kemudian dihubungkan dengan penyeberangan kereta api agar menyatu dengan sistem jaringan jalan rel di Pulau Jawa. Untuk pulau besar lainnya seperti di Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi diarahkan untuk perkeretaapian khusus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan sektornya masing-masing. Disadari bahwa untuk mewujudkan sistem jaringan transportasi jalan rel sebagaimana diuraikan dimuka membutuhkan dana yang sangat besar. Untuk itu maka investasi pembangunan perkeretaapian diarahkan dengan mengikutsertakan swasta baik swasta nasional maupun swasta asing. 5.2.2 Pedoman pengembangan moda transportasi kereta api Untuk usaha mengembangkan mode transport kereta api, maka dapat dipakai pedoman yang dikemukakan oleh Dr. B.S. Kusbiantoro[35]. Keunggulan kompetitif dari moda kereta api adalah daya angkut massal tinggi, penggunaan ruang rendah, pemakaian energi rendah, pencemaran lingkungan rendah, serta faktor keamanan tinggi. Dengan keunggulan ini, untuk transportasi regional, kereta api seyogyanya merupakan moda utama untuk wilayah yang padat penduduknya atau wilayah yang tinggi angkutan barangnya. Untuk wilayah perkotaan, Tim Transportasi ITB

111

kereta api seyogyanya juga merupakan moda utama untuk wilayah kota metropolitan khususnya dengan penduduk 2 juta atau lebih dan juga untuk kota-kota yang terkelompok dan saling terkait. 5.2.3 Pengembangan signifikan Beberapa pengembangan signifikan yang telah diraih pada waktu yang lalu adalah: •

Perumka menjadi PT. KAI (Persero)



Penerapan PSO, IMO dan TAC



Pengembangan pelayanan transport penumpang pada jalur rel Pada waktu akhir-akhir ini, maka Perumka telah mengintroduksikan kereta penumpang baru seperti: Argo Bromo, Argo Gede, Argo Bromo Anggrek, dan lain-lainnya.

5.2.4 Manufaktur INKA, LEN, PINDAD[36] Program transformasi industri dan teknologi yang dijalankan oleh PT.INKA adalah:

Tahap 1: Lisensi Teknologi Dari beraneka ragam desain gerbong barang dari hasil produksi PT. INKA sejak tahun 1982 sebanyak 1758 unit, PT. INKA telah berhasil mengekspor 150 unit gerbong datar peti kemas ke Malaysia pada tahun 1991. Sedangkan jumlah kereta penumpang yang telah diproduksi dan diretrofit sejak tahun 1984 sekitar 307 unit. Melalui program retrofit atau rehabilitasi setengah umur, dikenal berbagai desain kereta. Selain itu, PT. INKA mendapat bantuan teknis desain dari IPTN untuk melaksanakan modifikasi kereta kelas eksekutif.

Tahap 2: Integrasi Teknologi Tahap integrasi teknologi dilaksanakan oleh PT. INKA dengan program Co-design dan Comanufacturing. Produk unggulan untuk alih teknologi tersebut dipilih poduk dengan teknologi baru dan mempunyai nilai tambah lebih tinggi yaitu KRL generasi baru VVVF inverter untuk Proyek KA Jabotabek. Alih teknologi dari Konsorsium BN- Holec mencakup pola produksi progresif untuk 7 set (Phase I: 1991-1994) dan 25 set (Phase II: 1995-1998) dengan mitra kerja LEN-Industri yang membuat sistem kontrol listrik dan PINDAD yang merakit motor Traksi.

Tahap 3: Pengembangan Teknologi Sampai dengan saat ini belum ada produk unggulan dan produk masa depan yang konsisten untuk melaksanakan tahap 3. Namun melalui program Ristek dan pengembangan produk untuk memenuhi tuntutan pasar dan guna mempertahankan daya saing, PT. INKA melaksanakan inovasi produk baru seperti halnya desain kereta penumpang untuk kecepatan 120 km/jam untuk KA JS-950 Argo Bromo. Sementara ini terdapat beberapa alternatif produk unggulan untuk tranformasi tahap ke 3 antara lain jenis Kereta Rel Diesel Elektrik untuk angkutan antar kota jarak pendek dengan bogi tilting, lokomotif Diesel Elektrik dengan teknologi AC/AC dan produk masa depan lainnya. Mengingat adanya kebijakan dalam penentuan teknologi dan permasalahan pendanaan yang cukup kompleks, maka untuk saat ini produk KA JS-950 bisa dianggap termasuk program transformasi tahap ke 3. 5.2.5 Sumber Daya Manusia (SDM) Pengembangan SDM yang tepat yang dapat memenuhi ruang kerja, baik sebagai pelaksana, perencana dan pengembang Iptek perlu selalu diusahakan dan dirumuskan dengan baik. 112 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Pendidikan Diploma akan dapat menjadi benteng dari profesi Kereta Api, sedangkan pendidikan Sarjana dan Pasca Sarjana yang terkait yang diarahkan dengan baik akan dapat menjaga kemampuan Iptek dibidang perkeretaapian[37]. Jenis pendidikan seperti yang dikemukakan di atas sampai suatu tingkat tertentu telah dilaksanakan, antara lain berdasarkan kerjasama antara Perumka dan ITB. 5.3 Pengembangan Sistem Transportasi Udara Sistem transportasi udara memegang peranan khusus dalam pembangunan nasional. Karakterisitk kecepatan tinggi dengan jangkauan yang jauh merupakan karakterisitik yang tidak dimiliki oleh modus transportasi lainnya. Karakteristik tersebut sangat cocok dengan kondisi geografis di Indonesia yang terdiri atas kepulauan yang tersebar dengan bentangan yang luas dan dengan potensi-potensi ekonomi dan pusat-pusat pengembangan tersebar. Pengembangan sistem transportasi udara meliputi penyediaan sarana transportasi udara yang aman dan efisien, baik untuk manusia ataupun barang. Untuk angkutan manusia, sarana transportasi udara digunakan untuk perjalanan bisnis, wisata, dll. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, penyediaan angkutan udara mendatang lebih banyak ditujukan untuk mendukung pengembangan sektor pariwisata. Sedangkan untuk angkutan barang, pengembangan sarana transportasi udara ditujukan untuk pasokan bahan pokok untuk daerah-daerah yang, tidak terjangkau oleh modus transportasi lain, pengangkutan komoditi ekonomi yang mudah rusak atau kehilangan nilai jual, atau barang-barang yang bernilai jual tinggi baik untuk distribusi dalam negeri maupun internasional. Bisnis transportasi udara yang ada di Indonesia beragam mulai dari industri manufaktur, penyediaan jasa transportasi udara, industri perawatan, industri jasa bandara dan panduan lalu lintas udara, sampai dengan industri pendukung operasi baik penanganan pesawat udara di darat maupun catering. Dengan demikian kelesuan ekonorni yang diakibatkan oleh krisis moneter membawa dampak yang sangat luas baik terhadap bisnis transportasi udara sendiri, maupun pada bisnis-bisnis lain yang terkait. Menurunnya permintaan penerbangan mau tidak mau harus diikuti dengan menurunnya frekuensi penerbangan. Semua pihak mengalami penurunan pendapatan dari industri jasa perawatan, bandara, dan seterusnya. Sebagian besar investasi yang dilakukan dalam bisnis transportasi udara, khususnya penyediaan pesawat terbang dan suku cadang, didanai dengan mata uang asing sedangkan pendapatan untuk hampir semua bisnis transportasi udara dalam rupiah. Akibatnya, biaya operasi membengkak sedangkan pendapatan menurun. Pendapatan menurun karena daya beli masyarakat juga menurun. Dampak krisis moneter yang diikuti dengan krisis ekonomi merupakan pelajaran yang berharga tetapi sangat mahal bagi dunia bisnis secara keseluruhan, dan khususnya bisnis transportasi udara. Pelajaran berharga ini hendaknya tidak dilewatkan begitu saja dan dapat menjadi pengalaman dan pengetahuan berharga bila kita dapat memetik hikmahnya. 5.3.1 Keselamatan penerbangan Usaha pemotongan biaya operasi merupakan salah satu cara untuk mengurangi kerugian. Pemotongan biaya terutama dilakukan terhadap pos-pos pengeluaran yang tidak terkait secara langsung dengan proses produksi. Walaupun demikian usaha ini dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya suatu kecelakaan yang tentu saja tidak diinginkan. Suatu perusahaan harus menyadari bahwa suatu pemotongan biaya yang terkait dengan keselamatan penerbangan dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar. Organisasi sebagai unit harus dipandang sebagai suatu entitas dalam usaha pencegahan tumbuhnya bibit yang dapat menimbulkan suatu kecelakaan. Usaha pencegahan akan menjadi suatu usaha yang lebih murah. Untuk itu setiap unit dalam perusahaan dari atas Tim Transportasi ITB

113

sampai ke bawah harus aware terhadap keselamatan penerbangan. Keputusan manajemen yang baik harus betul-betul memperhatikan permasalahan implementasi, misalnya dengan mempertimbangkan aspek budaya yang berlaku dalam perusahaan. 5.3.2 Bisnis jasa penerbangan Pada bisnis jasa transportasi udara juga terjadi kontraksi pasar. Pasar yang selama ini dilayani menjadi semakin kecil. Mengkerutnya pasar tentu harus diimbangi dengan pengurangan pasokan agar tidak terjadi over capacity dan inefisiensi. Perusahaan penerbangan harus jeli melihat pasar-pasar baru atau melihat peluang untuk memanfaat kelebihan kapasitas yang ada. Dengan melihat perubahan pada pasar, termasuk pergeseranpergeseran titik-titik permintaan dan jenis barang yang diangkut. Pergeseran yang terjadi misalnya adalah terjadinya peningkatan daya beli pada kawasan-kawasan yang mengandalkan eksport yang umumnya komoditi pertanian. Untuk menumbuhkan kembali pasar, perusahaan jasa penerbangan harus dapat membuka pasar-pasar yang baru, dengan jenis perjalanan yang berbeda misalnya penerbangan wisata. Penerbangan wisata ini dapat dilakukan dalam bentuk penerbangan borongan. Dengan penerbangan borongan maka tarif dapat dengan lebih bebas ditetapkan antara kedua plhak dan biaya operasi tidak langsung akan lebih kecil. Usaha ini tentunya juga harus didukung dengan promosi pariwisata, pengembangan wisata, dan usaha peningkatan keamanan sehingga menimbulkan kepercayaan masyarakat internasional. 5.3.3 Industri manufaktur Bila perekonomian sudah membaik, kebutuhan dalam negeri akan pesawat udara cukup besar. Kebutuhan sarana transportasi udara ini tidak hanya untuk pesawat bertenaga jet, tetapi juga untuk pesawat bertenaga propeler. Masih banyak rute dalam negeri yang lebih layak secara teknis maupun ekonomis untuk dilayani dengan pesawat bertenaga propeler, misalnya yaitu rute pendek di Kawasan Indonesia Timur. Kemampuan Indonesia untuk memproduksi pesawat udara bermesin propeler sudah terbukti dengan mampu memproduksi pesawat udara propeler berkapasitas 40 tempat duduk (CN235) dan berkapasitas 60 tempat duduk (N250). Kemampuan untuk membuat pesawat sendiri dan menekan komponen impor sangat penting untuk dipelihara dan dikembangkan mengingat biaya pengadaan pesawat baru dengan impor akan sangat mahal. Kelesuan bisnis transportasi udara tentu menurunkan permintaan akan pesawat udara baru. Dalam kondisi permintaan akan pesawat baru yang lesu. Industri manufaktur diharapkan dapat berperan lebih banyak dalam pengadaan komponen pesawat terbang. Bisnis komponen pesawat udara ini bukanlah bisnis yang kecil. 5.3.4 Kebutuhan sumber daya manusia Seperti disebutkan sebelumnya, kelangkaan sumber daya manusia yang terampil dalam sektor transportasi udara merupakan masalah yang harus dipikirkan. Pasokan sumber daya manusia dalam sektor ini selama ini diberikan oleh beberapa perguruan tinggi, misalnya Jurusan Teknik Penerbangan ITB untuk tingkat sarjana S1/S2, dan Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP) Curug, Program Studi Aeronautika Politeknik ITB, serta Akademi Aeronautika dan Dirgantara Bandung (AADB) untuk tingkat D3. Kelangkaan para Sarjana Teknik Penerbangan pada industri transportasi udara nasional menjadi salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia untuk mampu bersaing secara internasional dalam penerapan teknologi canggih yang berkembang sangat cepat seperti teknologi transportasi udara. Industri transportasi nasional, baik airline, operator bandara dan panduan Ialu lintas udara, selama ini lebih banyak mempekerjakan para teknisi dan 114 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

operator dengan latar belakang pendidikan tingkat D3. Dengan latar belakang pendidikan seperti ini, mereka akan sulit melaksanakan pekerjaan yang menuntut kemampuan analisis, perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai penerapan teknologi canggih. Dalam hal ini, salah satu sumbangan ITB secara riil adalah memasok sumber daya manusia dalam tingkat sarjana teknik SI dan S2. Melalui kerjasama yang sinergis dengan perguruanperguruan tinggi swasta lain, maka kualitas sumber daya manusia terampil dalam sektor transportasi udara ini dapat ditingkatkan sehingga mampu bersaing secara global. Sampai saat ini, ITB telah berperan aktif sebagai pembina pendidikan bagi perguruan tinggi swasta ini, misalnya Sekolah Tinggi Penerbangan (STP) Curug serta AADB. 5.3.5 Kebijakan udara terbuka dan isu otonomi Sejalan dengan perkembangan perdagangan bebas dan globalisasi perekenomian, penerapan kebijakan ruang udara terbuka akan semakin dituntut sebagai akibat perkembangan dalam dunia ekonomi dan perdagangan. Kebijakan ini sebaiknya diterapkan secara bertahap pada penerbangan internasional, mulai dari penerbangan dengan kebebasan ketiga dan keempat, dan lambat laun juga memasuki pasar dengan kebebasan kelima, bahkan mungkin memasuki pasar domestik dengan pemberian ijin cabotage. Kebijakan ini akan meningkatkan potensi pasar regional dan domestik, sebagai imbas penerbangan internasional. Kapasitas ruang udara yang mungkin menjadi kendala, akan mampu ditingkatkan dengan penerapan CNS/ATM baru yang memungkinkan penerbangan bebas (free flight). Dengan mengantisipasi kecenderungan otonomi daerah, potensi daerah akan mampu dimaksimalkan dengan penerapan kebijakan ruang udara terbuka ini. 5.3.6 Peran pemerintah Saat ini, tarif ditetapkan oleh pemerintah yang bekerja sama dengan asosiasi penerbangan. Penetapan suatu suatu tarif memakan waktu yang cukup lama. Sementara itu keputusankeputusan manajemen termasuk tarif harus dilakukan dengan cepat (dan tepat), bila perusahaan harus tetap survive. Pembebasan penerapan tarif oleh airline secara bebas atau penetapan tarif oleh airline dalam suatu rentang tarif bagi perusahaan jasa penerbangan perlu mendapat perhatian untuk dikaji. Pembebasan tarif akan membuat perusahaan jasa penerbangan dapat menetapkan tingkat layanan dan strategi perusahaan dengan lebih baik. Kebijakan untuk membebaskan airline dalam penetapan tarif tentu saja harus diimbangi dengan kemudahan untuk memasuki bisnis layanan transportasi udara, termasuk memasuki suatu rute-rute baru. Apabila kebijakan tersebut dilaksanakan maka bisnis transportasi udara akan memasuki mekanisme pasar. Meskipun demikian fungsi sosial transportasi udara dapat terus dijaga dengan kebijakan-kebijakan tersendiri dari pemerintah. Dengan mekanisme pasar, airline akan menjadi lebih dewasa sebelum era keterbukaan dimulai (AFTA) sehingga pada saatnya airline mampu bersaing dengan airline asing. Peran pemerintah dalam bisnis transportasi udara menjadi berkurang. Pemerintah dapat berperan dalam membantu pendanaan, pengawasan keselamatan penerbangan dan perlindungan bagi konsumen. 5.4 Pengembangan Sistem Transportasi Laut 5.4.1 Permasalahan

Pelayaran Hal mendasar yang perlu segera dijawab adalah bagaimana mengefisienkan sisi operasional dari pelayaran nasional dan bagaimana memprofesionalkan perusahaan pelayaran. Untuk itu diperlukan langkah dan upaya dari pemerintah berupa : Tim Transportasi ITB

115



Meneruskan usaha pemberdayaan terhadap perusahaan pelayaran yang terpercaya (profesional) baik dari segi pemilikan kapal maupun pemeliharaannya.



Prosedur perijinan pendirian perusahaan pelayaran perlu ditinjau kembali, khususnya bahwa perusahaan diharuskan memiliki kapal sendiri dalam jumlah minimal tertentu.



Perlunya kelengkapan Peraturan Pemerintah yang mendukung UU No.21 1992 tentang Pelayaran seperti, Kenavigasian, Kepelautan dan sebagainya[12].

Bisnis Pelayaran Indonesia Menurunnya pangsa angkutan dalam negeri antara lain disebabkan karena alasan cabotage masih belum ditegakkan betul. Menegakkan asas ini membutuhkan kemauan politik yang tinggi dan memerlukan penegakan hukum yang terus menerus. Tantangan besar yang dihadapi masyarakat industri pelayaran nasional saat ini, yaitu bagaimana menaikkan peran serta dari kapal-kapal pelayaran nasional dengan menyusun strategi yang jelas di bidang pelayaran laut. Persoalan armada dan bisnis pelayaran di Indonesia yang terus menjadi sorotan tajam sebaiknya bukan cuma menjadi tanggung jawab departemen teknis atau pemerintah saja tetapi menjadi beban semua pihak dengan pemerintah tetap berperan sebagai regulator dan pengambil inisiatif. Pangsa yang kecil dan menurun ibarat seonggok puncak gunung es di lautan dengan beragam akar permasalahan yang perlu dipecahkan. Hanya dengan rangkaian aksi kolektif dari semua pihak yang dapat memecahkan akar persoalannya, antara lain dengan meningkatkan kerjasama antara pemilik barang dengan pemilik kapal dalam rangka meningkatkan daya saing. Kemudian, meningkatkan dukungan lembaga keuangan dalam pemilikan dan pengoperasian kapal.

Pemeliharaan Kapal Biaya pemeliharaan atau docking dan pengadaan kapal sangat menentukan kinerja armada nasional. Apalagi dengan berkepanjangannya krisis ekonomi, seperti saat, perlu ditingkatkan kemudahan dalam usaha teknis pemeliharaan kapal. Beberapa masalah yang dihadapi, mengenai ini: •

secara total biaya docking masih tinggi, karena waktu tunggu yang tinggi untuk mendapatkan suku cadang.



pembangunan kapal baru di Indonesia masih lebih mahal dibanding di luar negeri karena hampir 50% komponen yang diperlukan harus didatangkan dari luar negeri.

Peti Kemas Secara historis, Indonesia sangat terlambat dalam mengantisipasi era kontainerisasi dunia. Pada tahun 1982 konsep kontainerisasi ini baru dapat diterima di Indonesia. Di Tanjung Priok sistem kontainerisasi baru diterapkan pada tahun 1983. Diharapkan pada tahun 2000, Tanjung Priok dapat menangani kontainer 3-3,6 juta TEU’s dan di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 5,5 juta TEU’s untuk ekspor. Pergerakan di dalam negeri sendiri pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 1,5-2 juta TEU’s, potensi pasar yang tidak kecil jumlahnya. Pertumbuhan angkutan peti kemas di dunia cukup tinggi. Perkiraan pertumbuhan peti kemas di dunia sampai tahun 2005. Pertumbuhan hampir dua kali lipat kurang dari sepuluh tahun terjadi pada tahun 1997 dan tahun 2005 untuk wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia, lalu lintas peti kemas melalui tujuh pelabuhan peti kemas (Tanjung Priok, Surabaya, Belawan, Semarang, Palembang, Ujung Pandang dan Panjang) menunjukkan pertumbuhan tahunan dari tahun 1989 sampai 1993 adalah di atas 20 persen dan 116 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

diestimasikan selama 10 tahun ke depan pertumbuhan akan terus berlangsung dengan ratarata tahunan 18 persen. Di Jawa Barat misalnya, yang merupakan lalu lintas peti kemas terpadat mencapai 2.5 juta TEU’s di tahun 2000.

Efisiensi Pelabuhan

Efisiensi pelabuhan yang bervariasi, ada yang kelebihan kapasitas dan ada yang relatif sibuk dan padat, seusai ukuran kinerja dermaga (BOR). Belawan, misalnya sudah cukup tinggi (73%) menyusul Makasar, Tg. Perak dan Tg. Periuk. Sedangkan Lhok Semawe, Ambon, masih dalam kategori rendah, misalnya, masih di bawah 45%, ini perlu ditingkatkan utilisasinya. Di samping indikator dari sisi kinerja pelabuhan, dari sisi tarif pun bisa dilihat, daya saing pelabuhan yang ada. Sebagai contoh, kita tinjau pola distribusi biaya pengapalan barang ekspor dari Indonesia ke Eropa langsung dan melalui Singapura, dibandingkan via Tanjung Periuk, seperti pada gambar 5.1. Dari gambar 5.1 terlihat dua perbedaan besar dalam biaya di pelabuhan, yakni dari Singapura ke Rotterdam (43,2%) sedangkan biaya dari Tanjung Priok ke Rotterdam (65,0%). Perbedaan biaya ini merupakan biaya riil yang akan ditanggung oleh shipper bila ia memilih mengekspor barangnya langsung ke Eropa via Tanjung Priok dibandingkan via Singapura terlebih dahulu. langsung

HUTAN

Rp.5.140.000,00

PABRIK PENGOLAHAN

Rp.1.157.142,90

via Singapura

TANJUNG PRIOK

EROPA (ROTTERDAM)

Rp.725.500,00

Rp.616.800,00

Rp.2.570.000,00

SINGAPURA

Gambar 5.1 Pola Distribusi Biaya Total Ekspor dari Indonesia ke Eropa Langsung dan via Singapura[38] SUMBER: Penelitian Pengembangan Transportasi Laut Dalam Menghadapi Pasar Tunggal Eropa, Litbang Laut, Maret 1993

Keselamatan Pelayaran Peralatan komunikasi untuk di Indonesia sekarang ini masih berdasarkan aturan solas 74. Data mengenai rasio perbandingan jumlah musibah kapal dengan jumlah yang ditolong oleh SAR terlihat sangat mencolok dimana jumlah kecelakaan kapal selama tahun 1989-1995 sebanyak 1.211 sedangkan yang ditolong oleh SAR pada rentang waktu yang sama hanya 372, selisih yang tidak ditolong 839. Kelemahan komunikasi demikian tersebut belum dapat diatasi dengan sistem komunikasi radio sistem solas 74 dan oleh karena itu diperkenalkan sistem baru yang disebut Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS) yang dapat mempertemukan antara kebutuhan pertolongan dari SAR dengan kapal yang mengalami musibah dengan cepat dan tepat. Sistem ini telah dinyatakan berlaku secara internasional mulai tanggal 1 Pebruari 1992, untuk setiap kapal penumpang tanpa memandang ukuran dan kapal barang dengan isi kotor 300 Tim Transportasi ITB

117

GT ke atas. Di Indonesia penyediaan peralatan komunikasi masih diberlakukan secara bertahap yang tahap akhir paling lambat tanggal 1 Pebruari 1999.

SDM Sekarang telah diberlakukan STCW 1995 (Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafers), dimana setiap anak buah kapal (ABK) dan perwira kapal dengan ukuran di atas 500 DWT diwajibkan memiliki 7 bidang keterampilan dalam rangka keselamatan di laut serta pencemaran. Sekarang semua pendidikan kelautan harus sudah sepenuhnya memenuhi ketentuan STCW 1995 dan pada tanggal 1 Pebruari 2002 seluruh pelaut Indonesia yang saat ini sudah berlayar harus sudah memenuhi sepenuhnya ketentuan STCW Amandemen 1995. Apabila Indonesia tidak memenuhi kewajiban, atau terlambat di dalam penerapannya akan menyebabkan kehilangan pekerjaan bagi para pelaut Indonesia yang berjumlah kurang lebih 16.000 orang yang bekerja di kapal-kapal asing dan kemungkinan akan menyulitkan para pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar keluar negeri. Permasalahan lain dalam daya saing ABK di pasar internasional adalah disebabkan kurangnya kemahiran berkomunikasi dalam bahasa asing (Inggris). Penggalakan latihan bahasa Inggris dikalangan ABK perlu dilakukan untuk ini.

Dana Secara umum tingkat pertumbuhan GDP Indonesia sebesar 6,7% pertahun antara tahun 1987 sampai dengan 1993, dengan pertumbuhan tahun ke tahun meningkat dari 5,8% ke 7,5%. Bank dunia pada laporannya akhir-akhir ini menggunakan tingkat pertumbuhan GDP non-migas sekitar 7% per tahun antara 1995 sampai ke 2000. Namun sejak krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia masih belum pulih, apalagi mau tumbuh. Diperkirakan kecenderungan investasi baik dalam negeri maupun luar negeri akan melambat dan berkurang, selama belum ada tanda pemulihan ekonomi makro, hal ini tentunya akan berpengaruh kepada lalu lintas angkutan barang internasional maupun nasional.

Partisipasi Sektor Swasta Kerjasama pihak pemerintah dengan sektor swasta baru mulai digalakkan terutama dalam kaitannya dengan sektor transportasi laut. Perkembangan belakangan ini menunjukkan kerjasama dengan pihak ketiga (swasta) mulai dilakukan baik dari sektor penyelenggaraan angkutan penumpang dalam negeri, pembangunan dan pengoperasian pelabuhan hingga ke sektor non-pelabuhan seperti reklamasi pantai. Nilai kerjasama pembangunan prasarana dan sarana Pelindo II di wilayah DKI meningkat 190,374 juta rupiah di tahun 1994 menjadi sekitar 700,779 juta rupiah di tahun 1996. Secara total, investasi di Pelindo II di tahun 1996 sebesar 915,476 juta rupiah. Melibatkan pihak swasta merupakan salah satu jalan yang baik bagi pembangunan dimana keterbatasan dana merupakan kendalanya. Di bidang operasional, pihak swasta diharapkan dapat bertindak secara profesional yang dapat merangsang pertumbuhan pasar di sektor transportasi laut. Masalah yang masih dihadapi pemerintah adalah sisi legalitas atau hukum. Sisi ini merupakan kontrol langsung kepada pihak swasta agar berjalan sebagaimana mestinya. Kesiapan pemerintah memberikan peluang-peluang di sektor lainnya merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan peran swasta di tanah air. Pada akhirnya seluruh bidang akan dikuasai dan dijalankan oleh pihak swasta yang mengikuti mekanisme pasar. Pemerintah diperkirakan hanya membawahi bidang keselamatan pelayaran yang memang merupakan tugas dan tanggung jawab di bidang pelayanan masyarakat. 118 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

Hukum Masalah legalitas di Indonesia masih lemah dan lambat dibandingkan dengan kemajuan yang ada. Diakui memang untuk menyusun dan membahas sisi hukum memerlukan proses yang rumit dan memakan waktu yang cukup panjang. Untuk itu diperlukan kejelian dari pemerintah untuk memberikan prioritas bagi perangkat hukum yang diperlukan agar kita tidak tertinggal dan kecolongan oleh perkembangan yang pesat sekarang ini.

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pilot project penerapan sistem EDI ini akan dilakukan di Tanjung Priok mulai tanggal 1 April 1997 dimana sekaligus juga berlaku UU Kepabeanan secara penuh. Untuk itu tentunya diperlukan dukungan dari berbagai pihak khususnya perusahaan penunjang pelayaran Indonesia. Dukungan pemerintah untuk perusahaan ini sangat diperlukan dimana perusahaan ini dari segi modal maupun peralatan masih sangat terbatas sehingga masih kurang bersedia memanfaatkan sistem EDI. Di Indonesia, pelabuhan saat ini berada antara generasi I dan generasi II dimana hampir semua pelabuhan yang diusahakan di Indonesia merupakan feeder port karena hanya 20% barang ekspor dan impor yang menggunakan mother vessel. Untuk mengantisipasi hal ini, Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan teknologi tepat guna seperti pengelolaan alat bongkar muat peti kemas yang dapat melayani kapal Generasi II dan III. 5.4.2 Pemecahan masalah (i)

Persoalan bisnis angkutan laut yang dihadapi akhir-akhir ini perlu di selesaikan dengan aksi kolektif dari berbagai pihak. Pembenahan yang diperlukan adalah yang lebih bersifat struktural ketimbang usaha ad-hoc yang pasti tidak akan effektif dan sementara sifatnya.

(ii)

Perlu dibenahi kembali defenisi/legalisasi tentang perusahaan pelayaran, dengan kriteria yakni perusahaan harus memiliki kapal dalam jumlah tertentu.

(iii)

Masalah integrasi angkutan antar-moda khususnya transportasi laut dengan perangkutan darat (rel dan jalan) perlu segera ditangani keterpaduan sistemnya, khususnya di daerah Jawa Barat sebagai sentra produksi industri di tanah air. Kapasitas yang meningkat di sisi pelabuhan akan kurang efektif tanpa ditunjang oleh kapasitas dan kemampuan angkutan darat yang tersedia.

(iv)

Perlu rasionalisasi kegiatan investasi di sub-sektor perhubungan laut.

(v)

Perlu memaksimasi utilisasi pelabuhan yang kapasitasnya cukup berlebih, dan meningkatkan effisiensi pelabuhan yang tingkat utilisasinya cukup tinggi.

(vi)

Peningkatan kinerja pelabuhan perlu diusahakan dengan menambah fasilitas bongkar muat pelabuhan yang memadai. Bila fasilitas tsb. telah optimal dan masih terdapat congesti, perlu dipikirkan penambahan panjang dermaga.

(vii) Dalam rangka mempercepat pengiriman dan pemrosesan dokumen-dokumen pelayaran, usaha penerapan EDI perlu waktu peralihan dan penyesuain agar pihakpihak yang terlibat menjadi terbiasa. (viii) Pelayanan angkutan laut perlu ditingkatkan seperti usaha/business, dan cenderung lebih responsif terhadap keinginan konsumen. (ix)

Pemberian kesempatan dan peluang kerja sama dengan pihak swasta dalam mengelola bisnis transportasi laut dan kepelabuhanan, perlu disediakan informasi tentang peluang dan potensi usaha di sub-sektor transportasi laut secara lengkap. Pengumpulan

Tim Transportasi ITB

119

informasi semacam ini perlu diluangkan waktu yang lama, bila perlu dengan membentuk kelompok khusus untuk itu. (x)

Perlu dibentuk badan semacam port council yang bertugas sebagai badan pertimbangan yang menangani hal-hal strategis yang perlu dilaksanakan di pelabuhan yang terdiri dari beberapa unsur seperti perbankan, perdagangan, perusahaan pelayaran, dan keamanan.

(xi)

Usaha peningkatan mutu sumber daya manusia yang terlibat dalam bisnis transportasi laut perlu terus ditingkatkan dalam bentuk training-training baik di dalam maupun di luar negeri.

5.5 Pengembangan Konsep Sistem Transportasi Antar Moda Seperti telah dijelaskan pada subbab 1.4 bahwa untuk menekan biaya transportasi, baik untuk pergerakan penumpang maupun barang dalam sistem transportasi antarmoda yang terpadu, hal yang perlu diperhatikan adalah usaha penghematan biaya transit dari suatu moda ke moda lainnya. Untuk itu perlu dibangun fasilitas sarana dan prasarana di tempat perpindahan barang dan/atau penumpang agar dapat berlangsung dengan cepat, aman, murah, dan nyaman sehingga biaya transit dapat ditekan sekecil mungkin. 5.5.1 Tempat pertukaran moda Seperti telah diterangkan, untuk menunjang pengembangan suatu wilayah, peranan sektor industri perlu ditingkatkan dan dikembangkan, di samping sektor pertanian dan pertambangan dan lain-lainnya yang telah berperan sekarang. Hal yang penting dalam pengembangan industri yang sangat berkaitan dengan sistem jaringan transportasi adalah lokasi industri. Seperti diketahui, lokasi industri ditentukan dan sangat tergantung dari lokasi daerah pemasaran, lokasi daerah bahan mentah dan sistem jaringan transportasi yang ada. Lokasi industri yang optimal berada pada lokasi pertukaran moda untuk menghindari biaya transit. Tetapi, jika biaya transit tersebut dapat ditekan sekecil mungkin (misalnya dengan menggunakan peti kemas), lokasi industri dapat dipindahkan ke lokasi bahan mentah untuk menghindari biaya terminal sehingga total biaya transportasi dapat ditekan. Rencana ini tentu harus ditunjang oleh sumber daya manusia yang cukup kuantitas dan kualitasnya (keterampilan tertentu). Sumber daya manusia kadang-kadang masih merupakan kendala utama bagi pengembangan wilayah sehingga diperlukan usaha pemerintah untuk meningkatkan kecerdasan penduduk dengan melalui program pendidikan dan pelatihan secara intensif. Selain itu, tradisi atau kebiasaan setempat kadang-kadang kurang mendukung program pembangunan dan ini merupakan salah satu tambahan hambatan. 5.5.2 Peranan peti kemas dalam usaha menunjang perekonomian Peti kemas mempunyai kemampuan gerak yang mampu mencapai dua titik lokasi (tanpa bongkar muat) dalam suatu perjalanan yang tidak mungkin dilakukan dengan satu moda transportasi saja. Dengan kata lain, pengiriman barang dengan peti kemas dari suatu tempat di Indonesia ke New York akan dapat dilakukan dengan hanya menggunakan satu peti kemas yang sama, meskipun peti kemas tersebut dalam proses perjalanannya tidak dapat lepas dari ketergantungannya pada moda-moda transportasi yang ada, baik darat, laut maupun udara. Peranan transportasi laut dalam pengiriman peti kemas merupakan mata rantai transportasi yang utama dan tidak diragukan lagi kepentingannya. Hal ini memungkinkan pengguna jasa untuk memanfaatkannya guna melaksanakan pengiriman barang langsung dari pabrik ke tujuan akhir, tanpa dibebani oleh berbagai masalah dalam 120 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

proses angkutannya. Secara singkat, kompleksitas yang dihadapi akan dapat diatasi dengan menyerahkan pengurusan serta penyelesaian pengiriman barang kepada satu badan yang harus mampu melaksanakannya sesuai dengan ketentuan dan persyaratan jual beli, dan mengambil alih tanggung jawab atas barang sejak diterima dan diserahkan kepada penerima. Karena itu, sistem peti kemas dapat digunakan untuk mengurangi biaya transportasi, terutama jika sistem transportasi antarmoda terpadu digunakan. Secara umum, pengurangan total biaya transportasi bisa didapat dari yang berikut ini: a

Pengurangan biaya pengepakan Biaya dan waktu pengepakan tidak diper-lukan lagi karena peti kemas telah langsung siap untuk dimuat dan dikirim. Yang perlu diperhitungkan adalah biaya menyewa peti kemas tersebut.

b

Pengurangan biaya atas kerusakan barang Peti kemas terbuat dari bahan logam sehingga kerusakan barang dalam proses bongkar muat dapat ditekan sekecil mungkin.

c

Pengurangan kemungkinan barang hilang Peti kemas dilengkapi dengan sistem kunci yang kuat sehingga kemungkinan kehilangan barang dapat dikatakan tidak ada.

d

Pengurangan biaya asuransi Kerusakan barang dan kehilangan barang da-pat ditekan sehingga biaya asuransi pun secara otomatis dapat ditekan.

e

Pengurangan biaya pemeriksaan Biaya pemeriksaan dapat ditekan karena peti kemas bersifat seperti gudang yang dapat dipindah-pindah.

f

Pengurangan biaya transit dan transfer Peti kemas terbuat dari bahan lo-gam dan bersifat sebagai gudang yang dapat dipindah-pindah serta dapat langsung dimuat ke moda pengangkut (tidak memerlukan bongkar muat dan gudang), sehingga biaya transit dan transfer dapat ditekan. Tetapi, diperlukan investasi yang cukup besar untuk membeli peralatan bongkar-muat.

g

Pengurangan biaya servis pintu-ke-pintu Pengiriman barang dapat dilaku-kan dengan hanya menggunakan satu peti kemas yang sama dari tempat asal sampai ke tempat tujuan dan dapat dilakukan dengan hanya satu dokumen saja sejak diterima sampai dengan diserahkannya barang tersebut kepada penerima.

Tetapi, di samping keuntungan di atas, peti kemas juga mempunyai kekurangan yang perlu diperhatikan, yaitu beratnya sendiri yang besar. Hal ini jelas akan menimbulkan permasalahan jika peti kemas tersebut diangkut melalui transportasi jalan raya. Pengangkutan peti kemas yang begitu berat melalui jaringan jalan raya jelas akan cepat mengurangi waktu pelayanan konstruksi jalan raya tersebut. Pengurangan waktu pelayanan ini beragam, yang sangat tergantung pada total beban gandar kendaraan yang digunakan. Pengurangan waktu pelayanan mengharuskan konstruksi jalan raya secepatnya ditingkatkan kembali (pelapisan ulang) untuk memperpanjang usia pelayanannya. Program pemeliharaan jalan ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, penggunaan transportasi jalan baja (kereta api) untuk mengangkut peti kemas merupakan jawaban yang sangat tepat. Karena itu, dalam sistem transportasi antarmoda terpadu, peranan peti kemas sangat diperlukan karena dapat mengurangi biaya transportasi dan sekaligus mengurangi harga jual barang sehingga bisa lebih dapat bersaing (kompetitif) dengan produsen lainnya. 6.

PENUTUP

Beberapa tantangan di sektor transportasi yang akan dihadapi oleh Indonesia pada masa mendatang sebagai akibat dari adanya perubahan kebijakan global baik eksternal maupun internal berupa kebijakan globalisasi, isu otonomi, dampak krisis moneter, serta beberapa isu lainnya telah dijelaskan. Tulisan ini berisi beberapa sumbangan pemikiran ITB dalam usaha Tim Transportasi ITB

121

menangani permasalahan transportasi baik perkotaan maupun regional, nasional, dan internasional. Sumbangan pemikiran tersebut masih berupa beberapa usulan alternatif di mana para pembaca diharapkan dapat menentukan atau memilih usulan terbaik dengan mempertimbangkan kondisi, kriteria, asumsi lainnya yang mungkin belum terpikirkan oleh tim penulis. DAFTAR PUSTAKA 1.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah.

2.

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

3.

O.Z. Tamin, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Edisi I, Penerbit ITB, Bandung (1997).

4.

O.Z. Tamin, “Usulan Alternatif Pemecahan Masalah Transportasi Perkotaan di Kotamadya Bandung”, Buku Visi dan Misi Metropolitan Bandung 2020, 247−270, Pemda Kotamadya Dati II Bandung (1998).

5.

O.Z. Tamin, “Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Masalah Transportasi Perkotaan”, Majalah Ilmiah Analisis Sistem, Nomor 9, Tahun IV, 33−44 (1997).

6.

F. Frederich, “Der Zweiachser. Plädoyer fur ein vernachlässigtes Prinzip”, ZEV + DET Glasers Annalen 120 Nr. 6 (1996).

7.

F. Frederich, “Die Zukunft der Eisenbahn. Wunsche, Wege, Wirklichkeit”, ZEV-Glasers Annalen 110 Nr. 5, (1986).

8.

Undang-Undang No. 13 mengenai Jalan 1980.

9.

Undang-Undang No. 13 mengenai Kereta Api 1992.

10.

Undang-Undang No. 14 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 1992.

11.

Undang-Undang No. 15 mengenai Penerbangan 1992.

12.

Undang-Undang No. 21 mengenai Pelayaran 1992.

13.

Undang-Undang No. 21 mengenai Pelabuhan 1996.

14.

Undang-Undang No. 24 mengenai Tata Ruang 1992

15.

Undang-Undang No. 9 mengenai Perpajakan 1994.

16.

Departemen Pertambangan dan Energi Jakarta, “Survei dan Pengkajian Pemakaian Eneri di Sektor Transportasi”. Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi, Departemen Pertambangan dan Energi Jakarta (1998).

17.

Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi, “Perkiraan Kebutuhan Energi 1995-2020”. Proyek Pengembangan Sistem Perencanaan Energi Nasional, Jakarta (1997).

18.

O.Z. Tamin, “Pemecahan Kemacetan LaluLintas Kota Besar”, Journal Perencanaan Wilayah dan Kota, Volume 4, Jurusan Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung (1992).

19.

H.K. Blessington, ed., Urban Transport, The Institution of Civil Engineers (1995).

20.

OECD, Cities and Transport, Paris (1988).

122 TANTANGAN DAN PEMECAHAN MASALAH SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN ITB

21.

World Bank, “Sustainable Transport: Priority for Policy Reform”, World Bank Publication, Washington (1995).

22.

TRRL, The Demand for Public Transpor, Crowthorne, UK. (1980).

23.

O.Z. Tamin, “Strategi Peningkatan Pelayanan Angkutan Umum Sebagai Usaha Mengatasi Masalah Kemacetan di Daerah Perkotaan”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 8, Jurusan Teknik Planologi, ITB (1993).

24.

Luk, “Models for Travel Demand Management - A Review”, Road and Transport Research, Vol 1, No.3 (1992).

25.

O.Z. Tamin, “Konsep Manajemen Kebutuhan Transportasi (MKT) Sebagai Alternatif Pemecahan Masalah Transportasi Perkotaan di DKI-Jakarta”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB (1999).

26.

N.C. Lewis, Road Pricing, Theory and Practice, Thomas Telford (1994).

27.

C. Miles, “UTC Meets ITS”, Traffic Technology International ’98, Annual Review ’98 (1998).

28.

O.Z. Tamin etal. “Dynamic Origin Destination (OD) Matrices Estimation From Real Time Traffic Count Information”, The 3rd Journal of Eastern Asia Society for Transportasi Studies (1999).

29.

S.H. Supangkat etal. “Pengembangan Sistem Transportasi Cerdas (Intelligent Transport System)”, dalam Seminar Nasional “Visi Industri, Iptek, dan SDM dalam Pembangunan Infrastruktur Informasi Nasional. ITB, Bandung (1997).

30.

M. Soedomo etal., “Status Pencemaran Lima Kota Besar”, Laporan Penelitian, LPMITB (1992).

31.

Swiss Contact, “Program: Segar Jakartaku” (1997).

32.

H. Hidayat, Kajian Penerapan Konsep Kapasitas Lingkungan dalam Kapasitas Jalan Indonesia, LP-ITB (1999).

33.

OECD, Transport and The Environment, Paris (1988).

34.

S.H. Subagyo, “Sistem Transportasi Nasional: Konsep dan Arah Pengembangannya”, Badan Litbang Departemen Perhubungan dalam Prosiding Simposium & Diskusi Panel: Pendidikan dan Teknologi Perkeretaapian. ITB–Perumka. Bandung (19−20 September 1995).

35.

B.S. Kusbiantoro, “Peninjauan Kembali Target Pengembangan Perkeretaapian PJP II”, Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung dalam Prosiding Simposium & Diskusi Panel: Pendidikan dan Teknologi Perkeretaapian. ITB–Perumka. Bandung (19−20 September 1995).

36.

R. Diatmoko, “Perkembangan dan Prospek Rekayasa dalam Bidang Perkeretaapian di Indonesia”, Pusat Teknologi PT. INKA dalam Prosiding Simposium & Diskusi Panel: Pendidikan dan Teknologi Perkeretaapian. ITB–Perumka. Bandung (19−20 September 1995).

37.

A.S. Ridwan, “Visi dan Peranan Kereta Api dalam Sistem Transportasi Nasional” dalam Prosiding Simposium & Diskusi Panel: Pendidikan dan Teknologi Perkeretaapian. ITB−Perumka Bandung. (19−20 September 1995).

38.

Ditjen Perla, “Pengembangan Transportasi Lalut Dalam Menghadapi Pasar Tunggal Eropa” (1993).

Tim Transportasi ITB

123