TELAAH KRITIS ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN Sudarto Murtaufiq Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan Email :
[email protected]
Abstract: This article is aimed at elaborating a critical study of the philosophy of education in giving guiding principles and directives to knowledge concerning the aims of education by which they are actualized. Such a philosophy should necessarily give the basic principles to give an answer to the philosophical question, “What subject matter, experiences, and worthwhile activities are essential to realize the raison d’etre (reason for living) of the school?” For that reason, this article will focus more on eight major philosophies and theories of education:Idealism, Realism, Pragmatism, Perennialism, Essentialism, Progressivism, Reconstructionism, and Existentialism. These educational philosophical approaches are currently used in classrooms around the world and each of these schools has stood the test of time and has had a significant impact on the development of educational policies and practices; from curriculum development to teaching methods and from classroom management to evaluation techniques. Keywords: Philosophy of education; curriculum; experiences. Pendahuluan Fungsi penting filsafat pendidikan adalah untuk memberikan prinsip dan pijakan bagaimana mengaktualisasikan tujuan pendidikan. Filsafat tersebut tentu harus memberikan prinsip-prinsip dasar untuk memberikan jawaban atas pertanyaan filosofis, "pokok persoalan apa; pengalaman dan kegiatan yang bermanfaat seperti apa yang harus direalisasikan oleh sekolah atau lembaga pendidikan raison d'etre?"1 Kurikulum dianggap merupakan aspek penting dari ilmu pendidikan. Kurikulum adalah isi pendidikan. Kurikulum adalah media di mana filsafat kehidupan berubah menjadi kenyataan. Suatu kurikulum yang mengkonversi potensi menjadi tindakan, yang mencerminkan kebijaksanaan sekaligus temuan dari para pemikir, pendidik, dan peneliti di bidang pendidikan. Kurikulum dibutuhkan karena mencerminkan nilai-nilai masyarakat dan media di mana nilai-nilai itu ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kurikulum mencakup semua pengalaman dari peserta didik yang menjadi bagian dari tanggung jawab sekolah. Dalam arti luas, kurikulum dapat didefinisikan sebagai pengalaman terorganisir bahwa seorang siswa senantiasa berada dalam bimbingan dan pengawasan sekolah. Dalam arti yang lebih tepat dan terbatas, kurikulum adalah urutan sistematis mata pelajaran yang menjadi payung bagi proses belajar mengajar di sekolah.2 Dalam pandangan filsafat tradisional, tujuan utama pendidikan adalah transmisi dan pelestarian warisan budaya. Materi pelajaran disusun dalam hirarki, dengan memprioritaskan 1
Griese, A.A, Your Philosopby of Education: What is it? (Santa Monica, CA: Goodyear Publishing, 1981), 2. Lihat juga Brightman E.S., Introduction to Philosophy (New York: Henery Holt&Co., 1925), 9; Ducasse, C.J., Philosophy of Art (New York: Dial Press, 1929), 3. 2 Hargreaves, A., Changing Teachers, Changing Times: Teachers Work and Culture in the Postmodern Age (NewYork: Teachers College Press, 1994), 10.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
192
materi pelajaran yang dianggap lebih umum dan signifikan. Filsafat pendidikan yang muncul belakangan ini lebih menekankan pada proses pembelajaran. Kurikulum yang mengikuti ide ini memanfaatkan kegiatan dan proyek, pola eksperimental dan pemecahan masalah yang ditentukan berdasarkan kepentingan dan kebutuhan peserta didik.3 Sengaja penulis paparkan sekilas tentang kurikulum lebih awal, karena ia adalah pintu gerbang utama untuk mengetahui dan memahami aliran filsafat pendidikan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum. Selain itu, tulisan ini juga mengajak para pembaca untuk mengetahui dan memahami filosofi utama dan teori pendidikan; menganalisis filsafat dan teori-teori pendidikan utama dalam tiga aspek: tujuan, kurikulum, dan metode pengajaran; menjelaskan hubungan antara landasan filosofis pendidikan dan kurikulum.4 Arti Filsafat Filsafat dalam arti harfiah berarti cinta kebijaksanaan. Dalam arti luas, filsafat adalah upaya manusia untuk berpikir secara spekulatif, reflektif, dan sistematis tentang alam semesta di mana dia hidup dan hubungannya dengan alam semesta. Tampilannya yang luar biasa adalah upaya untuk mengevaluasi keseluruhan pengalaman manusia. Filsafat tidak menambahkan fakta-fakta baru untuk pengetahuan yang ada. Filsafat mengkaji fakta-fakta yang diberikan oleh para ilmuwan dan menganalisis makna, interpretasi, signifikansi dan nilai dari fakta-fakta tersebut. Kebanyakan akan menerima ide bahwa filsafat adalah penyelidikan yang sistematis dan logis akan kehidupan sehingga mampu membingkai gugusan ide-ide di mana pengalaman manusia dapat dievaluasi. 5 Jika pendidikan adalah untuk mempromosikan perubahan yang lebih baik, maka filsafat menentukan apa yang "baik" bagi sebagian masyarakat tertentu atau masyarakat secara keseluruhan. Filsafat pendidikan, dengan demikian, adalah aplikasi filsafat untuk mempelajari semua faktor yang mempengaruhi tujuan dan sasaran pendidikan, metode, isi dan organisasi dalam hal nilai-nilai manusia yang bisa mempengaruhi sifat dan tujuan mereka serta masyarakat secara luas.6 Ranah Filsafat Metafisika berkaitan dengan hakikat realitas dan eksistensi. Para idealis melihat kenyataan dalam terma nirmateri atau spiritual; para realis melihat kenyataan dalam suatu urutan objektif dalam filsafat pendidikan; metafisika mengkaitkan realitas dengan isi, pengalaman dan keterampilan dalam kurikulum. Ilmu-ilmu sosial dan alam adalah tempat yang baik untuk mengajarkan realitas kepada peserta didik.7 Epistemologi berkaitan dengan hakikat pengetahuan dan mengetahui dan berkaitan erat dengan metode pengajaran dan pembelajaran. Para idealis melihat mengetahui atau pembelajaran kognitif sebagai penyingkapan dari ide-ide yang laten dalam pikiran. Metode yang paling tepat adalah metode Socratik di mana guru merangsang siswa dengan mengajukan pertanyaan yang bertolak dari ide-ide yang tersembunyi dalam pikiran peserta 3
Ibid., 15. Nunn, T.P., Education: Its Data and First Principles (London, Edward Arnold, 1923) 5 Sellers, R.W., The Principles and Problems of Philosophy (New York: The Macmillan Co., 1926), 3. 6 Dewey, J., Democracy and Education (New York: Simon & Brown, 2011), 386. 7 Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy (New Delhi: Kanishka Publishers, 2002), 72-4, 78. 4
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
193
didik. Seorang guru yang menggunakan formula realis tentang sensasi dan abstraksi akan mengembangkan kegiatan kelas yang memanfaatkan rangsangan sensorik. Para pragmatis percaya bahwa orang belajar dengan berinteraksi dengan lingkungan; karenanya, pemecahan masalah adalah metode belajar-mengajar yang sangat tepat.8 Aksiologi berkaitan dengan nilai-nilai. Aksiologi terbagi ke dalam etika dan estetika. Etika bersinggungan dengan nilai-nilai moral dan aturan perilaku yang tepat. Estetika bersinggungan dengan nilai-nilai, dalam keindahan dan seni, guru dan masyarakat memberikan reward terhadap perilaku tertentu yang lebih disukai dan menghukum perilaku yang menyimpang dari konsep apa yang baik, benar dan indah. Para idealis dan realis sepakat bahwa baik, indah dan benar berlaku secara universal di semua tempat sepanjang masa sementara para pragmatis percaya bahwa nilai-nilai itu relatif dan bervariasi dalam waktu dan tempat.9 Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan 1. Idealisme Idealisme adalah filsafat yang menyatakan hakikat spiritual manusia dan alam semesta. Sudut pandang dasarnya menekankan pada roh manusia, jiwa atau pikiran sebagai unsur paling penting dalam hidup. Idealisme memandang bahwa baik, benar, dan indah secara permanen adalah bagian dari struktur alam semesta yang koheren, tertib, dan tidak berubah. Dalam idealisme, semua realitas direduksi menjadi satu substansi-roh yang fundamental. Materi itu tidak nyata. Hanya pikiran yang nyata. 10 Implikasi Pendidikan Idealisme: Tujuan Pendidikan – Pendidikan idealisme bertujuan untuk memberikan kontribusi pada pengembangan pikiran dan diri. Dengan demikian, sekolah harus menekankan kemampuan intelektual, moral, penilaian, estetika, realisasi diri, kebebasan individu, tanggung jawab individu dan kontrol diri. Kurikulum - Tubuh materi pelajaran yang ideasional dan konseptual ada pada mata pelajaran yang penting bagi realisasi perkembangan mental dan moral. Materi pelajaran harus dibuat konstan untuk semua. Matematika, sejarah, dan literasi berada dalam dalam satu relevansi karena semuanya tidak hanya kognitif tetapi sarat-nilai.11 Metodologi - Metode yang akan digunakan dalam proses pembelajaran harus mendorong akumulasi pengetahuan dan pemikiran dan harus menerapkan kriteria untuk evaluasi moral. Meskipun belajar adalah produk dari aktivitas peserta didik sendiri, namun proses pembelajaran harus dibuat lebih efisien dengan stimulasi yang berasal dari lingkungan guru dan sekolah. Guru idealis harus fasih dengan berbagai metode dan harus menggunakan metode tertentu yang paling efektif dalam memperoleh hasil yang diinginkan. Metode yang 8
Amélie Oksenberg Rorty, Philosophers of Education: Historical Perspectives (London & New York: Routledge, 1998), 13. Lihat juga Muirnead, J.H., The Elements of Ethics (London: John Murray, 1895), 33. 9 Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 41-2. Lihat juga Whitehead, A.N., Science and the Modern World (New York: The Macmillan Co., 1926), 126-27. Bandingkan pula John Dewey, Philosophy and Civilization (New York: G.P. Putnam's Sons, 1921), 6. 10 Ross, J.S., Ground Work of Educational Theory (London: George G. Harrap&Co., 1949). Lihat juga Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 87-88. 11 Nunn, T.P., Education: Its Data and First Principles (London, Edward Arnold, 1923), 221.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
194
disarankan adalah dengan (mengajukan) pertanyaaan dan diskusi, kuliah dan tentu saja, proyek, baik yang dilakukan secara individu atau kelompok.12 Hubungan guru - peserta didik. Guru harus baik secara mental dan moral dalam perilaku dan keyakinan. Guru harus melatih keterampilan kreatif dan memberikan kesempatan bagi pikiran peserta didik untuk menganalisis, menemukan, mensintesis dan menciptakan. Pesrta didik dianggap belum matang dan perlu mencari perspektif dalam kepribadiannya sendiri. Guru harus melihat perannya dalam membantu peserta didik untuk mewujudkan kepenuhan kepribadiannya sendiri.13 2. Realisme Realisme dapat didefinisikan sebagai posisi filosofis yang menegaskan 1) adanya tujuan dunia dan permulaan-permulaan di dalamnya; 2) kemampuan mengetahui objek sebagaimana ia ada dalam dirinya sendiri; 3 kebutuhan akan kesesuaian dengan realitas obyektif dalam perilaku manusia.14 Kaum realis mengacu unsur-unsur universal manusia yang tidak berubah terlepas dari waktu, tempat dan keadaan. Ini adalah watak universal yang membentuk unsur-unsur dalam pendidikan manusia. Menurut kaum realis, pendidikan mengandaikan pengajaran, pengajaran mengandaikan pengetahuan, pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah sama di mana-mana. Oleh karena itu, pendidikan di mana-mana harus sama.15 Implikasi Pendidikan Realisme Tujuan Pendidikan--Tujuan pendidikan adalah untuk memberikan siswa pengetahuan esensial yang ia butuhkan untuk bertahan hidup di alam. Kurikulum--Kaum realis percaya bahwa cara yang paling efisien dan efektif untuk mencari tahu tentang realitas adalah mempelajarinya melalui mata pelajaran yang terorganisir, terpisah, dan tersusun secara sistematis. Ini disebut pendekatan materi pelajaran pada kurikulum yang terdiri dari dua komponen dasar, tubuh pengetahuan dan pedagogi yang tepat yang sesuai dengan kesiapan peserta didik. Kurikulum seni liberal dan disiplin ilmu matematika terdiri dari sejumlah konsep terkait yang merupakan struktur dari disiplin tersebut.16 Metodologi--Guru diharapkan menjadi terampil baik dalam materi pelajaran yang ia ajarkan dan metode mengajarnya untuk peserta didik. Sekolah formal berarti transmisi pengetahuan dari para ahli untuk kaum muda dan yang belum dewasa. Tugas sekolah terutama adalah tugas intelektual. Peran kepala sekolah adalah untuk memastikan bahwa guru tidak terganggu oleh fungsi rekreasi dan sosial dalam melakukan tugas intelektual mereka dalam merangsang siswa belajar. Di tingkat SD, penekanan ada pada pengembangan keterampilan untuk membaca, menulis, berhitung dan kebiasaan belajar. Di tingkat menengah dan perguruan tinggi, tubuh pengetahuan yang dianggap mengandung kebijaksanaan umat manusia harus ditransmisikan secara otoriter. Siswa akan diminta untuk mengingat, menjelaskan, membandingkan, menafsirkan dan membuat kesimpulan. Evaluasi sangat 12
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 99-100. Ibid. Lihat juga Ross, James S. Groundwork of Educational Theory, 121. 14 Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 106. 15 Ibid., 107-110. 16 Ibid., 112-3. 13
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
195
penting, memanfaatkan ukuran objektif. Motivasi bisa dalam bentuk imbalan untuk memperkuat apa yang telah dipelajari.17 Hubungan guru - peserta didik. Guru adalah orang yang memiliki tubuh pengetahuan dan yang harus mampu mentransmisikannya kepada siswa. Ini semacam hubungan yang ditekankan dalam realisme. Pengajaran tidak harus mengindoktrinasi dan proses belajar mengajar harus berlangsung interaktif. Guru mengoptimalkan minat siswa dengan mengkaitkan materi pelajaran dengan pengalaman mereka. Guru menjalankan disiplin dengan memberikan imbalan (reward), dan mengontrol siswa dengan pelbagai aktivitas.18 3. Pragmatisme Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma, artinya 'sesuatu yang dilakukan, sebuah fakta yang dipraktekkan'. Doktrin ini menyatakan bahwa arti proposisi atau ide terletak pada konsekuensi praktisnya. Filsafat ini menekankan bahwa pendidikan telah sia-sia jika tidak melakukan fungsi sosial yang ditugaskan untuk itu.19 Kaum pragmatis mengklaim bahwa masyarakat tidak dapat memenuhi tugas pendidikan tanpa sebuah lembaga yang dirancang untuk tujuan tersebut. Sekolah harus menjaga hubungan intim dengan masyarakat jika ingin memainkan perannya dengan baik. Mereka juga menegaskan bahwa sekolah harus bertujuan untuk institusi khusus dengan tiga sasaran: (1) dirancang untuk mewakili masyarakat untuk anak dalam bentuk yang disederhanakan; (2) selektif secara kualitatif, jika tidak etis, mengingat ia merepresentasikan masyarakat untuk kaum muda; dan (3) bertanggung jawab dalam memberikan anak pemahaman yang seimbang dan benar-benar representatif dengan masyarakat.20 Implikasi Pendidikan Pragmatisme Tujuan Pendidikan. Tujuan pendidikan menurut kaum pragmatis adalah pengembangan total anak baik melalui pengalaman, kegiatan diri, atau belajar dengan melakukan (learning by doing). 21 Kurikulum - Kaum pragmatis menganggap bahwa kurikulum harus menawarkan pelajaran yang memberikan kesempatan bagi berbagai proyek dan kegiatan yang relevan dengan kebutuhan, kemampuan, dan minat serta kondisi sosial ekonomi peserta didik. 22 Metodologi - Kaum pragmatis percaya bahwa peserta didik harus menjadi pusat dari semua proses edukatif, suatu konsep berdasarkan prinsip Dewey bahwa pendidikan adalah kehidupan, pendidikan adalah pertumbuhan, pendidikan adalah proses sosial, dan pendidikan adalah konstruksi pengalaman manusia.23 4. Perenialisme "Hakikat manusia tidak pernah berubah; Oleh karena itu pendidikan yang baik juga tidak harus berubah". Kaum perenialis percaya bahwa ide-ide besar, yang telah berlangsung selama berabad-abad, masih relevan hingga saat ini dan semestinya menjadi fokus 17
Ibid., 115-6 Lihat Mackenzie, J.S., A Manual of Ethics (London: London University Tutorial Press Ltd., 1929) 19 John Dewey, Reconstruction in Philosophy (London: University of London Press Ltd., 1921), 38. 20 John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Oxford University Press, 1960), Introduction. Lihat juga Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 155-158. 21 Ibid. 22 Ibid., 160-1. 23 Ibid., 163. 18
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
196
pendidikan. Perenialisme adalah teori pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh prinsipprinsip realisme. Perenialisme memiliki pandangan yang konservatif / tradisional akan hakikat manusia dan pendidikan. Kaum perenialis berpendapat bahwa kebenaran bersifat universal dan tidak berubah, dan, karena itu, pendidikan yang baik juga universal dan konstan. 24 Tujuan Pendidikan - Bagi kaum perenialis, tujuan pendidikan adalah untuk memastikan bahwa siswa memperoleh pemahaman tentang ide-ide besar dari peradaban Barat. Ide-ide ini memiliki potensi untuk memecahkan masalah di era apapun. Kaum perenialis memandang tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan kekuatan pikiran. Mereka melihat tujuan universal pendidikan sebagai pencarian dan penyebaran kebenaran. Mereka menganggap sekolah sebagai lembaga yang dirancang untuk mengembangkan kecerdasan manusia.25 Robert Hutchins, juru bicara perenialisme yang paling artikulatif berpendapat bahwa pendidikan harus menumbuhkan kecerdasan serta pengembangan harmoni dari semua daya manusia. Tujuan utama pendidikan harus mengembangkan kekuatan pikiran. Dia juga menggambarkan pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mengembangkan daya intelektual. Kurikulum. Fokusnya adalah untuk mengajarkan ide-ide yang kekal, untuk mencari kebenaran abadi yang konstan, yang tidak berubah, sebagaimana dunia alam dan manusia sebagai yang paling penting, yang tidak berubah. Mengajar prinsip-prinsip yang tidak berubah ini adalah penting. Manusia adalah makhluk rasional, dan pikiran mereka perlu dikembangkan. Dengan demikian, Pengembangan intelek adalah prioritas tertinggi dalam pendidikan. Kurikulum berfokus pada pencapaian melek budaya, menekankan pertumbuhan siswa dalam disiplin abadi. Prestasi paling mulia dari manusia harus ditekankan - karya besar sastra dan seni, hukum atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Kaum perennialis memandang pendidikan sebagai proses berulang berdasarkan kebenaran abadi; dengan demikian, kurikulum sekolah harus menekankan tema-tema berulang kehidupan manusia. Kurikulum harus memuat pelajaran kognitif yang menumbuhkan rasionalitas dan studi moral, estetika, dan prinsip-prinsip agama untuk mengembangkan dimensi sikap. Kaum perenialis lebih memilih kurikulum materi pelajaran yang meliputi sejarah, bahasa, matematika, logika, sastra, humaniora, dan ilmu pengetahuan. 26 Filsafat pendidikan Robert Hutchins didasarkan pada premis bahwa hakikat manusia adalah rasional, dan pengetahuan menduduki kebenaran yang tidak berubah, mutlak, dan universal. Dia menekankan bahwa pendidikan harus bersifat universal karena rasionalitas hakikat manusia adalah universal. Hutchins menganjurkan kurikulum yang terdiri dari muatan-muatan yang permanen dan abadi. Dia sangat menganjurkan studi pada warisanwarisan klasik, atau karya-karya besar Peradaban Barat. Dia percaya bahwa membaca dan mendiskusikan buku besar berguna dalam mengembangkan intelek dan menyiapkan siswa untuk berpikir hati-hati dan kritis. Selain itu, ia juga menganjurkan studi tentang tata bahasa, retorika, logika, matematika, dan filsafat. 24
William Edwin Segall, Anna Victoria Wilson, Introduction to Education: Teaching in a Diverse Society (New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2004), 156. 25 Ibid. 26 Rosalinda A.San Mateo and Maura G. Tangco, Foundation of Education II: Historical, Philosophical, and Legal Foundation of Education (Quezon City: Katha Publishing Co., Inc., 2013), 78-9.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
197
Pendek kata, perenialisme mewakili pandangan teoritis konservatif yang berpusat pada otoritas tradisi dan warisan-warisan klasik. Di antara prinsip-prinsip utama pendidikan adalah: 1. Kebenaran adalah universal dan tidak tergantung pada keadaan tempat, waktu, atau orang; 2. Pendidikan yang baik melibatkan pencarian dan pemahaman tentang kebenaran; 3. Kebenaran dapat ditemukan dalam karya besar peradaban; dan 4. Pendidikan adalah latihan liberal yang mengembangkan intelek.27 Metode. Kurikulum pendidikan perenialis berpusat pada materi, menggambarkan pentingnya pada disiplin sastra, matematika, bahasa, sejarah dan humaniora. Kaum perenialis menunjukkan bahwa cara terbaik untuk mencapai pengetahuan abadi adalah melalui studi tentang karya-karya besar Peradaban Barat. Metode bisa dengan membaca dan mendiskusikan karya-karya besar yang, pada gilirannya, disiplin, disiplin pikiran. Guru, dengan demikian, harus menjadi orang yang sudah menguasai disiplin/materi, yang adalah seorang guru master dalam hal mengarahkan pada kebenaran dan tidak memiliki karakter tercela. Guru harus dilihat sebagai otoritas dan keahliannya tidak lagi dipertanyakan. Peran sekolah adalah melatih pribadi-pribadi intelektual yang suatu hari akan menjadi pelita harapan di masanya mendatang. Para pendukung filsafat pendidikan ini adalah Robert Maynard Hutchins yang mengembangkan program Karya Besar tahun 1963 dan Mortimer Adler, yang selanjutnya mengembangkan kurikulum ini didasarkan pada 100 buku besar peradaban barat. 5. Esensialisme Esensialisme adalah pendekatan tradisional pada pendidikan yang sering disebut sebagai "Kembali ke Dasar". Pada dasarnya, kaum esensialis berkepentingan dengan kebangkitan upaya dengan mengajarkan alat pembelajaran sebagai jenis yang paling tak terpisahkan dari pendidikan. Kaum esentialis percaya bahwa ada inti pengetahuan umum yang perlu ditransmisikan kepada siswa secara sistematis, disiplin. Penekanan dalam perspektif konservatif ini adalah pada standar intelektual dan moral yang harus diajarkan oleh sekolah. 28 Tujuan Pendidikan. Kaum esensialis menganggap tujuan pendidikan harus mengarahkan manusia pada terbentuknya lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri yang adil, terampil dan murah hati. Pembelajaran informal membantu, tapi ini seharusnya hanya pelengkap dan sekunder. Kaum esentialis percaya bahwa keterampilan, pengetahuan dan sikap yang dibutuhkan oleh individu yang bersesuaian dengan realitas kehidupan harus direncanakan secara sistematis. Mereka menekankan otoritas guru dan nilai kurikulum materi pelajaran.29 Kaum essensialis menyemaikan benih-benih program pendidikan mereka demi terbentuknya 1) sebuah kurikulum yang baik; 2) penekanan pada sastra, matematika, sejarah, dll; 3. nilai-nilai pendidikan prasangka; dan 4) pendidikan sebagai adaptasi individu pada pengetahuan mutlak yang ada secara independen dari individu. 30 Kurikulum. Inti dari kurikulum adalah pengetahuan and keterampilan esensial serta kekakuan akademis. Meskipun, filsafat pendidikan ini mirip dalam beberapa cara dengan 27
Ibid. William Edwin Segall and Anna Victoria Wilson, Introduction to Education, 156. 29 Deborah A. Harmon & Toni Stokes Jones, Elementary Education: A Reference Handbook (California: ABCCLIO, Inc., 2005), 46. 30 Lihat M.L. Dhawan, Philosophy of Education (New Delhi: Isha Books, 2005), 72-3. 28
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
198
perenialism. Kaum esentialis menerima gagasan bahwa kurikulum inti mungkin dapat berubah. Sekolah harus praktis, mempersiapkan siswa untuk menjadi anggota yang berharga dari masyarakat. Sekolah harus fokus pada fakta - realitas objektif di luar sana - dan yang "mendasar", melatih siswa untuk membaca, menulis, berbicara, dan menghitung dengan jelas dan logis. Sekolah seharusnya tidak mengatur atau mempengaruhi kebijakan. Siswa harus diajarkan kerja keras, menghormati otoritas, dan disiplin.31 Kurikulum esensialis termasuk disiplin tradisional mulai dari matematika, sejarah, ilmu pengetahuan alam, bahasa asing dan sastra. Pendidikan kejuruan dan filsafat dianggap tidak perlu. Kurikulum esensialis menekankan pentingnya nilai-nilai moral tradisional yang bisa mengantarkan siswa menjadi warga negara terhormat. Program akademik esensialis cukup ketat. Kaum esensialis percaya bahwa disiplin intelektual adalah fondasi penting kehidupan modern. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk menyalurkan akumulasi pengalaman manusia menjadi disiplin yang terorganisir, koheren dan tersendiri. Menguasai disiplin ilmu dasar ini akan memungkinkan siswa dalam memecahkan masalah pribadi, sosial dan kemasyarakatan.32 Di antara tema-tema umum ditemukan dalam sudut pandang kaum esensialis adalah: (1) kurikulum SD harus bertujuan untuk menumbuhkan keterampilan alat dasar yang berkontribusi terhadap literasi dan penguasaan perhitungan aritmatika; (2) kurikulum sekunder harus mengembangkan kompetensi dalam materi sejarah, matematika, ilmu pengetahuan, bahasa Inggris dan bahasa asing; (3) sekolah membutuhkan disiplin dan menghormati otoritas yang sah; dan (4) belajar membutuhkan kerja keras dan perhatian yang penuh disiplin.33 Metode. Ruang kelas tidak lebih dioreientasikan bagi guru dalam perhatiannya pada kepentingan siswa. Nilai tes prestasi didasarkan sebagai sarana mengevaluasi kemajuan. Maksud dari kurikulum esensialis adalah untuk membentuk siswa yang setelah lulus, akan memiliki keterampilan dasar, memiliki pengetahuan tentang berbagai mata pelajaran dan siap untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari ke dunia nyata. Kaum esensialis tidak percaya dalam membangun generalisasi dengan metode induksi yang lambat, melainkan dengan membimbing siswa dalam beberapa jam atau hari dalam penguasaan hukum dan prinsip-prinsip umum kemudian menggunakan hukum dan prinsipprinsip tersebut dalam pemecahan masalah yang segera dan mendesak. Kaum esensialis mengupayakan metode yang paling efektif dalam membentuk kebiasaan dan mengembangkan keterampilan; dengan demikian, latihan menyelesaikan soal-soal memiliki kedudukan yang penting di dalam kelas. Kaum esensialis menekankan perlunya mengajar siswa bagaimana berpikir sistematis dan efektif. Mereka percaya bahwa pemikiran yang efektif tidak dapat berlangsung dengan melihat dunia secara massal atau dengan mengangkat pengetahuan sedikit demi sedikit. Metode analisis yang sistematis dan sintesis sistematis harus digunakan; elemen penting 31
Ibid. Ibid. 33 Earle F. Zeigler and Harold J. Vanderzwaang, Physical Education: Progressivism or Essentialism (Campaign: Stipes Publishing Company, 1968), 67-71. 32
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
199
pengetahuan harus harus disusun dalam keutuhan bermakna, dengan memperhatikan keterkaitan masing-masing entitas tersebut. Kaum esensialis mengakui bahwa minat adalah kekuatan memotivasi yang kuat dalam belajar. Belajar, bagaimanapun, tidak harus benar-benar dihilangkan dari pendidikan anak. Dalam pandangan ini, guru harus dikembalikan ke otoritas instruksional. Mereka harus disiapkan dengan baik, dan bertanggung jawab atas kegagalan anak-anak dalam belajar. Instruksi harus diarahkan untuk pembelajaran yang terorganisir. Metode pengajaran harus berpusat pada tugas rutin, pekerjaan rumah, tilawah, dan seringnya memberikan tes dan evaluasi. Para pendukung esensialisme adalah: William Bagley, James D. Koerner, HG Rickover, Paul Copperman, dan Theodore Sizer.34 6. Progresivisme Teori pendidikan progresivisme ini berbeda dengan pandangan tradisional seperti esensialisme dan perenialisme. Gerakan Thailand adalah bagian dari gerakan reformasi umum yang mencirikan kehidupan Amerika di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan yang sering dikaitkan dengan pragmatisme John Dewey atau experimentalisme, menekankan pandangan bahwa semua proses belajar-mengajar harus berpusat pada kepentingan dan kebutuhan anak. Dalam "Demokrasi dan Pendidikan" Dewey, ia menguraikan bahwa pendidikan yang benar-benar progresif memerlukan filsafat berdasarkan pengalaman, interaksi orang dengan lingkungannya. Seperti filsafat eksperiensial seharusnya tidak menetapkan tujuan-tujuan eksternal, tapi, lebih tepatnya, produk akhir dari pendidikan adalah keberlangsungan pengalaman yang memperantarai arah dan kontrol pengalaman berikutnya. Sesungguhnya pendidikan progresif tidak mengabaikan masa lalu, tetapi menggunakannya untuk mengarahkan pengalaman masa depan.35 Tujuan Pendidikan. Tujuan pendidikan progresif adalah untuk memenuhi kebutuhan anak yang sedang tumbuh. Sekolah harus menjadi tempat untuk belajar yang menyenangkan.36 Kurikulum. Konten kurikulum berasal dari minat dan kecenderungan siswa. Metode ilmiah digunakan oleh pendidik progresif sehingga siswa dapat belajar materi dan peristiwa secara sistematis. Penekanannya adalah pada proses-bagaimana seseorang sampai pada suatu pengtahuan / pemahaman. John Dewey adalah pendukung utama aliran filsafat ini. Salah satu prinsipnya adalah bahwa sekolah harus memperbaiki cara hidup warga melalui pengalaman kebebasan dan demokrasi di sekolah-sekolah. Pengambilan keputusan bersama, perencanaan guru dengan siswa, topik-dipilih siswa. Buku hanyalah alat, bukan otoritas.37 Kaum progresif umumnya tidak tertarik dalam kurikulum yang sudah disiapkan dan dirancang untuk mentransmisikan pengetahuan kepada siswa. Sebaliknya, kurikulum itu bertolak dari minat dan kecenderungan anak sehingga pembelajaran akan aktif, menarik dan bervariasi. Isi materi pelajaran dilakukan oleh guru dan siswa sebagai proyek kelompok atau upaya kerjasama. Proyek siswa didasarkan pada pengalaman bersama mereka bersama 34
Ibid. Lihat John Dewey, Reconstruction in Philosophy, 38. 36 Deborah A. Harmon & Toni Stokes Jones, Elementary Education, 46. 37 Ibid., 47. 35
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
200
sehingga menolak hambatan baik kelas, ras, atau keyakinan. Guru bertugas sebagai fasilitator sedangkan siswa bekerja pada proyek-proyek mereka dan menyarankan cara lain untuk melakukan proyek tersebut.38 Pendidikan progresif meninggalkan warisan yang ditandai dengan: 1. Penekanan pada anak sebagai peserta didik, bukan pada materi pelajaran; 2. Penekanan pada anak sebagai pesrta didik, bukan pada ketergantungan buku teks dan hafalan; 3. Pembelajaran kooperatif, bukan pemblajaran kompetitif; 4. Tidak adanya rasa takut dan hukuman untuk tujuan disiplin. Metode. Kaum progresif percaya bahwa pendidikan harus fokus pada seluruh anak, bukan pada konten lain atau guru. Filsafat pendidikan ini menekankan bahwa siswa harus menguji ide dengan percobaan aktif. Belajar berakar pada pertanyaan peserta didik yang muncul melalui pengalaman. Belajar bersifat aktif, tidak pasif. Pesrta didik adalah pemecah masalah dan pemikir yang membuat makna melalui pengalaman individualnya dalam konteks fisik dan budaya. Guru yang efektif memberikan pengalaman sehingga siswa dapat belajar dengan melakukan.39 7. Rekonstruktionisme Sementara kaum progresif menekankan individualitas anak, maka kaum rekonstruktionis lebih peduli dengan perubahan sosial. Mereka percaya bahwa sekolah harus menghasilkan kebijakan dan kemajuan yang akan membawa reformasi tatanan sosial, dan guru harus menggunakan kekuasaan mereka untuk memimpin yang muda dalam program reformasi sosial. Kaum rekonstruktionis setuju filsafat pendidikan yang berbasis pada budaya dan tumbuh dari pola budaya tertentu terkondisikan oleh kehidupan pada waktu tertentu di tempat tertentu. Mereka percaya bahwa budaya adalah dinamis, bahwa manusia dapat membentuk kembali budaya-nya sehingga ia membuka kemungkinan optimal untuk pembangunan.40 Kaum rekonstruktionis mengatakan bahwa umat manusia dalam keadaan krisis budaya. Jika sekolah merefleksikan budaya mereka, maka pendidikan hanya akan menularkan penyakit sosial.41 Masyarakat harus merekonstruksi nilai-nilainya, dan pendidikan memiliki peran besar dalam menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai budaya dan teknologi. Adalah tugas sekolah untuk mendorong penyelidikan kritis terhadap warisan budaya dan menemukan unsur-unsur yang akan dibuang dan unsur-unsur yang harus diubah.42 Tujuan Pendidikan. Pendidikan, bagi kaum rekonstruktionis bertujuan membangkitkan kesadaran siswa tentang masalah sosial dan untuk secara aktif terlibat dalam pemecahan masalah. Guru dan sekolah harus memulai penyelidikan kritis terhadap budaya mereka sendiri. Sekolah-sekolah harus mengidentifikasi kontroversi dan inkonsistensi yang ada dan mencoba memecahkan masalah-masalah kehidupan nyata. Kaum rekonstruktionis percaya 38
H. Rohrs and V. Lenhart (Eds), Progressive Education Across the Continents (Frankfurt am Main: Peter Lang, 1995) 39 Wilfred Carr, The Routledge Falmer Reader in Philosophy of Education (London: RoutledgeFalmer, 2005) 40 Deborah A. Harmon & Toni Stokes Jones, Elementary Education, 48. 41 Ibid. 42 Ibid.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
201
bahwa sekarang ada kebutuhan untuk kemerdekaan internasional. Perang polusi dan nuklir tidak terbatas pada satu tempat tetapi dalam lingkup internasional. Kurikulum. Kurikulum rekonstruksionis harus mencakup unsur-unsur pembelajaran untuk hidup dalam lingkungan global. Dengan demikian, kaum rekonstruktionis mengusulkan kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan masalah nasional dan internasional sebagai alat untuk mengurangi konflik dunia. Sekolah, oleh karena itu, menjadi pusat kontroversi di mana siswa dan guru menekankan dan mendorong diskusi tentang isu-isu kontroversial dalam agama, ekonomi, politik dan pendidikan; diskusi ini tidak hanya latihan intelektual. Metode. Kaum rekonstruksionis umumnya akan berusaha untuk menginternasionalisasikan kurikulum sehingga peserta didik akan belajar bahwa mereka hidup di sebuah desa global. Sekolah dan guru menjadi insinyur sosial yang merencanakan tindakan untuk sampai pada tujuan yang ditetapkan. Metode kelas akan berorientasi pada masalah - siswa diminta untuk menyelidiki secara kritis warisan budaya. Guru serta siswa membahas isu-isu kontroversial dan mereka didorong untuk berkomitmen dan aktif dalam perubahan sosial. Siswa dan guru berpartisipasi dalam program perubahan sosial, pendidikan, politik dan ekonomi sebagai sarana pembaharuan budaya secara keseluruhan. Kelas menjadi laboratorium percobaan pada praktek sekolah yang akan memungkinkan manusia untuk menangani masalah krisis budaya akut dan disintegrasi sosial. 8. Eksistensialisme Eksistensialisme adalah cara melihat dan berpikir tentang kehidupan di dunia sehingga lebih memprioritaskan pada individualisme dan subjektivitas. Kaum eksistensialis percaya bahwa manusia adalah pencipta esensinya sendiri; ia menciptakan nilai sendiri melalui kebebasan memilih atau preferensi individual. Pengetahuan yang paling penting bagi manusia adalah pengetahuannya tentang realitas kehidupan berikut pilihan-pilihan hidup yang harus ia ambil. Pendidikan adalah proses manusia dalam mengembangkan kesadaran akan kebebasan memilih dan makna serta tanggung jawab.43 Tujuan Pendidikan. Pendidikan harus menumbuhkan intensitas kesadaran peserta didik. Mereka harus belajar untuk mengakui bahwa sebagai individu mereka secara terus-menerus, bebas, tanpa dasar, dan kreatif menentukan kebebasannya untuk memilih. Pendidikan harus peduli dengan pengalaman yang efektif, dengan unsur-unsur pengalaman yang subjektif dan personal. Tujuan pendidikan tidak dapat ditentukan di muka ataupun dipaksakan oleh guru melalui sistem sekolah. Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menentukan pendidikannya sendiri.44 Kurikulum. Mata pelajaran hanyalah alat bagi realisasi subjektivitas. Belajar tidak ditemukan dalam struktur pengetahuan maupun dalam disiplin yang terorganisir, tetapi dalam kesediaan siswa untuk memilih dan memberi makna terhadap subjek/mata pelajaran.45 Kesimpulan
43
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 169. Ibid., 176. 45 Ibid., 177. 44
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
202
Filsafat menyediakan kerangka bagi pengorganisasian sekolah dan kegiatan / proses belajar mengajar. Filsafat menjawab pertanyaan tentang tujuan sekolah, mata pelajaran, dan bagaimana siswa belajar. Filsafat adalah dasar atau titik awal dalam pengembangan kurikulum. Ada tiga cabang utama bidang filsafat yaitu metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Metafisika berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat realitas. Metafisika secara harfiah berarti "melampaui yang fisikal" dan berkaitan dengan pertanyaan seperti, "Apa itu realitas?" Metafisika adalah upaya untuk menemukan koherensi di seluruh bidang pemikiran dan pengalaman. Dalam dunia guru kelas, manajemen kelas mungkin paling banyak terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan metafisik. Epistemologi berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat pengetahuan. Epistemologis mencoba untuk menemukan apa yang terlibat dalam proses mengetahui. Apakah mengetahui merupakan jenis khusus tindakan mental? Dapatkah orang mengetahui segala sesuatu di luar objek-objek yang 'terindra'? Keyakinan epistemologis mengemuka dalam kebijakan kurikuler dan instruksional. Guru harus memahami bagaimana siswa belajar dan kurikulum macam apa yang mereka butuhkan. Aksiologi berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat nilai-nilai. Kajian terhadap nilainilai ini terbagi ke dalam etika (nilai-nilai moral dan perilaku) dan estetika (nilai-nilai dalam bidang keindahan dan seni). Guru kelas harus memutuskan etika yang bagaimana yang harus diajarkan di sekolah. Keyakinan etis guru mempengaruhi keputusan tentang disiplin dan penilaian. Estetika dapat mempengaruhi keputusan tentang jenis seni / artistik seperti apa yang harus menjadi bagian dari kurikulum. Ada delapan filsafat atau teori pendidikan: Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Perenialisme, Esensialisme, progresivisme, Rekonstruksionism, dan Eksistensialisme. Idealisme. Kaum idealis percaya bahwa kata materi terus berubah, bahwa ide-ide tidak hanya realitas sejati, dan bahwa ide-ide tak lekang oleh waktu. Guru idealis melihat mata pelajaran tertentu sangat berpengaruh dalam merangsang pemikiran dan mengembangkan identifikasi dengan warisan budaya. Tubuh intelektual yang ideasional dan konseptual pada mata pelajaran adalah untuk realisasi perkembangan mental dan moral. Mata pelajaran tidak boleh dibuat konstan untuk semua. Matematika, sejarah, dan sastra menduduki posisi penting karena semua itu tidak hanya kognitif tetapi sarat nilai. Realisme. Kaum realis mengacu pada unsur-unsur universal manusia yang tidak berubah terlepas dari waktu, tempat dan keadaan. Pendidikan mengandaikan pengajaran, pengajaran mengandaikan pengetahuan, pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah (berlaku) sama di mana-mana. Kaum realis percaya bahwa cara yang paling efisien dan efektif untuk mencari tahu tentang realitas adalah mempelajarinya melalui materi pelajaran yang terorganisir, terpisah, dan tersusun secara sistematis. Pragmatisme. Kaum pragmatis meyakini pentingnya penerapan pengetahuan praktis. Siswa di kelas pragmatis menunjukkan keberhasilan melalui keterampilan seperti pemecahan masalah dan penerapan metode ilmiah. Konstruktivisme didasarkan pada pragmatisme. Perenialisme. Perenialisme mewakili pandangan teoritis konservatif yang berpusat pada otoritas tradisi dan klasik. Di antara prinsip-prinsip utama pendidikan adalah: (1) kebenaran
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
203
itu universal dan tidak tergantung pada keadaan tempat, waktu, atau orang; (2) pendidikan yang baik melibatkan pencarian dan pemahaman tentang kebenaran; (3) kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya agung peradaban; dan (4) pendidikan adalah latihan liberal yang mengembangkan intelek. Esensialisme berfokus pada pengajaran pengetahuan akademik dan moral apapun yang diperlukan untuk anak-anak untuk menjadi warga negara yang produktif. Esensialisme adalah teori pendidikan konservatif dan muncul bertentangan dengan pendidikan progresif. Kaum essentialis mendesak agar sekolah kembali ke dasar-dasar. Mereka percaya pada kurikulum inti yang kuat dan standar akademik yang tinggi. Tujuan esensialisme adalah untuk mentransmisikan warisan budaya dan mengembangkan warga negara yang baik. Sekolah adalah tempat di mana anak-anak bisa mempelajari apa yang mereka perlu tahu, dan guru adalah orang yang dapat mengajarkan kepada siswa dalam hal-hal penting. Progresivisme sebagian besar didasarkan pada keyakinan bahwa pelajaran harus tampak relevan dengan minat dan kebutuhan siswa. Sehingga kurikulum sekolah progresif tersusun berdasarkan pengalaman personal, minat, dan kebutuhan para siswa. Guru adalah “guide on the side”, bukan “sage on the stage.” Kaum progresif mendukung strategi pembelajaran seperti pembelajaran kooperatif dan rangsangan di mana siswa menjadi aktor utama. Rekonstruksionisme adalah teori pendidikan yang menyerukan sekolah untuk mengajarkan orang untuk mengontrol lembaga dan harus diatur sesuai dengan cita-cita demokrasi. Kaum rekonstruksionist kontemporer memandang sekolah sebagai kendaraan untuk perubahan sosial. Siswa harus diajarkan menganalisis peristiwa dunia, mengeksplorasi isu-isu kontroversial, dan mengembangkan visi untuk dunia baru dan yang lebih baik. Eksistensialisme. Kaum eksistensialis percaya bahwa manusia adalah pencipta esensinya sendiri; ia menciptakan nilai-nilainya sendiri melalui kebebasan memilih atau preferensi individual. Jenis pengetahuan yang paling penting adalah tentang realitas kehidupan manusia dan pilihan yang setiap orang harus ambil. Pendidikan adalah proses mengembangkan kesadaran tentang kebebasan memilih dan makna serta tanggung jawab untuk pilihan seseorang. Subyek hanyalah alat bagi realisasi subjektivitas. Belajar tidak ditemukan dalam struktur pengetahuan maupun dalam disiplin yang terorganisir, tetapi dalam kesediaan siswa untuk memilih dan memberi makna terhadap subjek materi. Daftar Rujukan A.N., Whitehead, Science and the Modern World. New York: The Macmillan Co., 1926. Amélie Oksenberg Rorty, Philosophers of Education: Historical Perspectives (London & New York: Routledge, 1998. Brightman E.S., Introduction to Philosophy. New York,Henery Holt&Co., 1925. Carr, Wilfred, The Routledge Falmer Reader in Philosophy of Education. London: RoutledgeFalmer, 2005. Dewey, J., Democracy and Education. New York: Simon & Brown, 2011. Dhawan, M. L. Philosophy of Education. New Delhi: Isha Books, 2005. Ducasse, C.J., Philosophy of Art. New York: Dial Press, 1929.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
204
Griese, A.A, Your Philosopby of Education: What is it?. Santa Monica, CA: Goodyear Publishing, 1981. Hargreaves, A., Changing Teachers, Changing Times: Teachers Work and Culture in the Postmodern Age. NewYork:Teachers College Press, 1994. Harmon, Deborah A. & Jones, Toni Stokes. Elementary Education: A Reference Handbook. California: ABC-CLIO, Inc., 2005. Locke, John. An Essay Concerning Human Understanding. London: Oxford University Press, 1960. Mackenzie, J.S., A Manual of Ethics. London: London University Tutorial Press Ltd., 1929. Mateo, Rosalinda A.San. and Tangco, Maura G. Foundation of Education II: Historical, Philosophical, and Legal Foundation of Education. Quezon City: Katha Publishing Co., Inc., 2013. Nunn, T.P., Education: Its Data and First Principles. London, Edward Arnold, 1923/ --------Reconstruction in Philosophy. London, University of London Press Ltd., 1921. Rohrs H. and Lenhart, V. (Eds), Progressive Education Across the Continents. Frankfurt am Main: Peter Lang, 1995. Ross, J.S., Ground Work of Educational Theory. London: George G. Harrap&Co., 1949. Rusk, Robert R. Philosophical Bases of Education. London: University of London Press, 1956. Segall, William Edwin and Wilson, Anna Victoria. Introduction to Education: Teaching in a Diverse Society. New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2004. Sellers, R.W., The Principles and Problems of Philosophy. New York: The Macmillan Co., 1926. Sharma, Ram Nath. Textbook of Educational Philosophy. New Delhi: Kanishka Publishers, 2002. Zeigler, Earle F. and Vanderzwaang, Harold J., Physical Education: Progressivism or Essentialism (Campaign: Stipes Publishing Company, 1968.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014