TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pencernaan pada Ternak Ruminansia ' Pencemaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang dialami
oleh bahan makanan di dalam alat pencernaan. Proses pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan dengan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya. Menurut Sutardi (1980) proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis (di dalarn mulut), secara fermentatif (oleh enzimenzim yang berasal dari mikroba rumen) dan secara hidrolitis (oleh enzim-enzim pencernaan hewan induk semang). Lokasi (posisi) proses pencernaan fermentatif bervariasi antar jenis ternak. Posisi tersebut akan menentukan karakteristik pakan yang sesuai untuk jenis ternak bersangkutan. Organ pencernaan pada temak ruminansia terdiri atas 4 bagian penting, yaitu: mulut, perut, usus halus dan organ pencernaan bagian belakang (hind gut). Perut ternak ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut buku), dan abomasum (perut sejati). Dalam studi fisiologi pencernaan ternak ruminansia, rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal (single organ) dengan sebutan retikulorumen. Omasum disebut sebagai perut buku karena dipenuhi oleh lembaran jaringan (tissu leaves), yaitu sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut ada penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit, serta ada produksi amonia dan mungkin asam lemak terbang (Forbes dan France, 1993). Termasuk organ pencernaan bagian belakang adalah sekum (cecum), kolon (colon) dan rektum (rectum). Pada organ pencernaan bagian belakang tersebut juga terjadi aktivitas fermentasi. Namun, belum banyak informasi yang terungkap tentang peranan fermentasi pada organ tersebut, yang terletak setelah organ penyerapan utama.
Proses pencernaan fermentatif di dalam retikulo-rumen terjadi amat intensif dan dalam kapasitas yang sangat besar. Proses pencernaan tersebut terletak sebelum usus halus (organ penyerapan utama). Hal tersebut sangat menguntungkan, karena:
(1) {akan dapat diubah dan disajikan dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap, (2) ternak ruminansia menjadi mampu memanfaatkan pakan serat dalam jumlah lebih banyak dan lebih efisien. Sebaliknya, pada ternak kuda, babi dan ayarn proses'pencernaan fermentatif terjadi setelah usus halus, yaitu di sekum (hind gut fermenter). Karena itu kelompok ternak ini memerlukan pakan yang lebih bermutu (lebih rendah kadar serat) dibandingkan dengan pakan ternak ruminansia. Pada sistem pencernaan ternak ruminansia terdapat suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakan di tahan untuk sementara di dalam rumen. Pada masa hewan tersebut beristirahat, pakan dari dalam rumen lalu dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi) untuk dikunyah kembali (proses remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selan-
jutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen (microbial attack). Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta, inokulasi digesta dan penyerapan nutrien. Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untuk pergerakan digesta meninggalkan reti kulorumen vmelalui recikulo-omasal oriJice. Pada proses pencernaan fermentatif di dalam rumen karbohidrat struktural berupa serat (selulosa dan hemiselulosa) dan karbohidrat sederhana yang fermentabel (gula, pati) mengalami fermentasi anerob oleh mikroba rumen menjadi asam-asam lemak terbang (VFA), gas metan (CH,) dan gas karbon dioksida (CO,). Sebagian VFA akan diserap melalui dinding rumen, lalu masuk ke dalam aliran darah dan menjadi sumber energi utama bagi sel-sel tubuh. Menurut Sutton (1986) pada ternak
ruminansia asam lemak terbang meliputi sekitar 50% dari energi pakan yang tercerna. Meskipun kontribusi proses pencernaan fermentatif tersebut cukup besar, etapi pada tahap tersebut sebagian energi pakan ada yang terbuang sebagai gas metan dan 4
panas fermentasi. Aktivitas pengunyahan dan ruminasi di dalam mulut membantu perombakan pakan secara mekanis. Selain itu aktivitas tersebut juga merangsang proses sekresi cairan 'saliva dari mulut. Pada sapi produksi saliva sangat banyak, dapat mencapai 180 literlhari pada ransum hijauan berkualitas baik (Church, 1988), dan kondisinya lebih alkalis (pH8.2). Saliva tersebut merupakan sumber cairan buffer utama untuk stabilisasi ekosistem rumen. Selain berperan sebagai bufer, manfaat lain saliva adalah bagian dari siklus nitrogen, sebagai lubrikan (pelicin) dan berperan dalam ekonomi air. Sekitar 70% nitrogen dalam saliva ada dalam bentuk urea. Ukuran rumen dan retikulum sangat besar, dapat mencapai 15-2296 dari bobot tubuh ternak (Sutardi, 1981). Jumlah tersebut meliputi sekitar 75% dari seluruh volume organ pencernaan ternak ruminansia (Van Soest, 1982). Retikulorumen dihuni oleh macam-macam mikroba. Dari segi pencernaan zat-zat makanan, peranan rumen memberi andil sekitar 40-70% dari angka kecemaan bahan organik ransum (Hvelplund dan Madsen, 1985). Karena itu rumen dan retikulum (forestomachs) merupakan bagian yang' sangat penting dari organ pencernaan ruminansia. Rumen dihuni oleh tidak kurang dari 4 jenis mikroorganisme anerob, yaitu bakteri, protozoa, fungi (jamur) dan virus (Preston dan Leng, 1987). Dua jenis mikroorganisme yang disebut pertama telah lama dipelajari dan diungkap peranannya dalam fermentasi rumen dan manfaatnya sebagai pemasok nutrien untuk hewan induk sernang. Akhir-akhir ini studi tentang mikroba rumen mulai memperhatikan peranan fungi anerob (anaerobic fungi), misdnya Neocallimastixfrontalis, Sphaero-
monas communis dan Piromonas commutis. Peranan fungi rumem dalarn pencemaan pakan diperkirakan cukup berarti, terutama pada kelompok temak yang mendapat ransum tinggi kadar serat. 6
Kehadiran fungi di dalam rumen diakui sangat bermanfaat bagi kecernaan fraksi serat dalam pakan. Fungi dapat membentuk koloni pada jaringan lignoselulosa partikel pakan (Fonty et al., 1990). Dengan cara demikian fungi menjadi mikroba pelopor dalam aktivitas selulolitik di dalam rumen. Rhizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel serat tanaman, sehingga menciptakan akses bagi mikroba (bakteri) dan enzim selulasenya untuk mencema serat. Namun, masih banyak aspek yang perlu diungkap ten tang peranan fungi rumen, terutama menyangkut aspek kuantitas dan kualitasnya sebagai sumber nutrien untuk hewan induk semang. Bakteri merupakan mikroba rumen yang paling banyak jenisnya dan lebih beragam macam substratnya. Selain itu populasinya sangat tinggi, yaitu 10''
-
10"
cacahan sel per gram isi rumen (Yokoyama dan Johnson, 1988). Berdasarkan macam substrat yang disukainya bakteri rumen dapat dikelompokkan sebagai bakteri pencerna selutosa (misalnya Rurninococcus. albus), pencema hemiselulosa (Buryn'vibrio jibrisolvens), pencerna pati (Bacteroides amylophilus), pencerna gula (Lactobacillus ruminus) dan bakteri pengguna produk sekunder (pemakai laktat). Sekitar 38 % bakteri rumen memilikf aktivitas proteolitik. Protozoa rumen lebih sedikit populasinya, yaitu l d - 106 cacahan sel per ml isi rumen (Yokoyama dan Johnson, 1988), tetapi dari segi jumlah biomassa temyata cukup besar. Produk fermentasi yang dihasilkan protozoa termasuk asam asetat, asam butirat, asam iaktat, gas karbon dioksida dan gas hidrogen (Russell dan Hespell, 1981). Protozoa lebih menggemari substrat yang fermentabel (pati, gula dan bakteri). Karbohidrat fermentabel dalam rumen akan dengan cepat diamankan
(ditelan) oleh protozoa. Proses tersebut ternyata ada manfaatnya, yaitu memperlambat proses konversi karbohidrat menjadi asam laktat oleh bakteri rumen, sehingga rumen terhindar dari penurunan pH secara drastis. #
Akumulasi asam laktat dan penurunan pH rumen akan mengganggu keselunthan sistem rumen. Pada keadaan tersebut populasi Streptococcus bovis dan Lactobacilli meningkat pesat. Russell dan Dombrowski (1980) memperlihatkan melalui
kuItivasi kultur murni daIam kemostat, bahwa S. bovis dan Lactobacillus vitulinus lebih toleran terhadap kondisi pH yang rendah. Secara kontinyu sesungguhnya sistem rumen mendapat pasokan bufer bikarbonat dan fosfat yang berasal dari saliva. Meskipun demikian pada keadaan tertentu seperti tersebut di atas kapasitas bufer (buffering capacity) dapat terlampaui. Banyaknya jenis mikroorganisme rumen dan masing-masing mikroorganisme memiliki produk fermentasi intermedier dan produk fermentasi akhir yang bermacam-macam, menyebabkan kehidupan di dalam rumen menjadi sangat kompleks. Terdapat interaksi atau interrelasi yang luas antar mikroorganisme di dalam rumen. Bentuk interelasi tersebut dapat berupa ketergantungan akan substrat, saling menguntungkan, kompetisi substrat atau berupa hubungan yang merugikan. Studi tentang ekologi mikroba rumen umumnya masih dipusatkan pada dua aspek utama, yaitu pengendalian populasi mikroba rumen dan peningkatan peranan mikroba rumen dalam mencerna pakan .
Pasokan Zat-Zat Makanan untuk Ternak Rurninansia Pakan ternak ruminansia biasanya dikelompokkan menjadi pakan hijauan dan pakan konsentrat. Sampai saat ini belum ada definisi yang mantap tentang batasan pakan hijauan dan pakan konsentrat. Namun, biasanya yang dianggap sebagai
kelompok pakan hijauan (roughages) adalah jenis rumput-rumputan, tanaman leguminosa, aneka jerami, silase dan limbah serat tanaman. Pakan hijauan biasanya berciri amba (bulky) dan tinggi kadar serat (fibrous). Karena itu pakan hijauan cenderung memiliki nilai kecernaan energi dan kepadatan energi yang rendah. Termasuk kelompok pakan konsentrat meliputi produk biji-bijian dan limbah pengolahannya serta jenis bungkil-bungkilan. Pakan konsentrat umumnya berciri rendah kadar serat dan lebih kaya fraksi isi sel. Keadaan tersebut menyebabkan nilai kecernaan energi pakan konsentrat cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan energi pakan hijauan. Karena perbedaan yang kontras tersebut maka nisbah pakan hijauan dan konsentrat dalam ransum erat hubungannya dengan pasokan energi untuk proses-proses biologis ternak. Pada tabel-tabel komposisi pakan informasi kandungan energi pakan dinyatakan dalam bentuk energi tercerna (DE), energi termetabolisasi (ME), energi netto (NE) atau dalani satuan TDN (total digestible nutrients). Namun, informasi tersebut
biasanya tidak dilengkapi dengan data konsumsi bahan keringnya. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam penyusunan ransum, terutama menyelaraskan kebutuhan energi ternak dengan kemampuan konsumsi bahan keringnya. ~esulitanmenjadi semakin besar pada daerah tropik, karena umumnya pakan hijauan yang tersedia berkualitas rendah. Fraksi karbohidrat dalam ransum ternak ruminansia sangat dominan, dapat berkisar 60 - 75 % dari bahan kering ransum (Sutardi, 1980). Komponen karbohidrat tersebut dapat berasal dari isi sel (misalnya gula dan pati) dan dinding sel (misalnya selulosa dan hemiselulosa). Ternak ruminansia mampu memanfaatkan fraksi serat pakan (selulosa dan hemiselulosa) karena sistem pencernaannya dilengkapi retiku-lorurnen (forestomachs), yaitu tempat berlangsungnya proses fermentasi
anerob oleh mikroba rumen. Di dalarn retikulo-rumen karbohidrat struktwal mengalami perombakan yang sangat intensif menjadi produk yang dapat diserap dan dicerna di usus halus. 4
Kebutuhan zat-zat makanan pada ternak ruminansia dipenuhi dari 3 sumber, yaitu: (1) zat-zat makanan hasil fermentasi dalam rumen, (2) zat-zat makanan asal pakan yang 1010s degradasi rumen, dan (3) dari mikroba mmen yang tercerna di dalam'organ pencernaan pascarumen. Pada ternak yang mendapat ransum dengan bahan utama pakan serat berkualitas rendah (low quality roughages), maka pasokan zat-zat makanan lebih diharapkan berasal dari mikroba rumen dan produk fermentasi (asam lemak terbang). Pada kondisi tersebut sebagian besar asam-asam amino yang sampai hi usus halus berasal dari mikroba rumen. Menurut Sniffen dan Robinson (1987) sumbangan protein asal mikroba rumen terhadap kebutuhan asam-asam amino ternak ruminansia dapat mencapai 40 - 80%. Selain untuk deposisi protein tubuh, asam amino juga merupakan bahan baku sintesis glukosa melalui proses glukoneogenesis. Sumbangan asam amino terhadap kebutuhan glukosa dapat mencapai 36% (Bergman, 1983). Asam lemak terbang (VFA) hasil proses fermentasi di dalam rumen telah diketahui merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Menurut Ensminger et ul. (1990) sumbangan energi yang berasal dari asam lemak terbang dapat mencapai 60 - 80% dari kebutuhan energi pada ternak ruminansia. Hampir semua VFA yang diproduksi diserap di mmen, retikulum dan omasum. Hanya sedikit VFA yang sampai di abomasum (Fahey dan Berger, 1988). Karena itu pada ternak yang mendapat ransum pakan serat berkualitas rendah ada 2 aspek penting yang perlu ditingkatkan, yaitu aspek fermentabilitas pakan dan aspek pertumbuhan mikroba rumen.
Asam asetat yang diserap melalui dinding rumen sebagian kecil dikonversi menjadi badan keton (ketone bodies). Tetapi sebagian besar asam asetat (80%)bisa sampai dihati dan masuk peredaran darah tanpa mengalami oksidasi. Selanjutnya 4
sebagian asam asetat dioksidasi lewat siklus TCA (tricarboxylic acid) atau digunakan untuk proses lipogenesis (Fahey dan Berger, 1988). Selama proses penyerapan
-
melalui epitel rumen asam propionat (2 5 96) dikonversi menjadi asam laktat, dan sisanya masuk ke aliran darah portal (Elliot, 1980). Sebagian besar asam propionat yang sampai di hati dikonversi menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis. Untuk mencapai pasokan asam-asam amino yang seimbang ke usus halus maka komposisi asam-asam amino asal pakan yang 1010s degradasi haruslah saling melengkapi dengan asam-asam amino asal mikroba rumen. Dengan demikian maka informasi komposisi asam-asam amino mikroba rumen perlu diketahui. Pada kenyataannya data komposisi asam-asam amino mikroba rumen cukup bervariasi. Namun, Clark et al. (1992) berhasil menyajikan hasil review komposisi bakteri rumen dari
35 percobaan yang melibatkan 441 sampel bakteri rumen. Hasil tersebut diperlihatkan pada Tabel 1. Peningkatan fermentabilitas pakan berserat tinggi dapat diupayakan dengan memberikan beberapa perlakuan pendahuluan (pretreatment) pada pakan. Sebagai contoh, misaln ya dengan pe!rlakuan
kimia (perlakuan alkali, amoniasi), perlakuan
biologi (fermentasi oleh berbagai jenis mikroorganisme erob atau anerob), dan perlakuan fisik (penggilingan, pembuatan pellet, dan pemanasan pada tekanan tinggi). Metode-metode tersebut sudah banyak dikaji dan telah memperlihatkan hasil yang cukup baik. Namun, penerapan metode-metode tersebut secara komersial masih menghadapi ban yak kendala dan harus segera dipadukan dengan usaha meningkatkan fermentasi rumen.
a
nbel 1. Komposisi Asam-Asarn Amino W r i Rumen Asam Amino
Minimum
Maksimum
Rataan
(g1100g asarn amino) 4
Arginin
3.8
6.8
5.1
Histidin Isoleusin
1.2 4.6
3.6 6.7
Leusin
5.3
9.7
Lisin
4.9
9.5
Metionin Fenilalanin Treonin Valin -
1.1 4.4 5.0 4.7
4.9 6.3 7.8 7.6
Alanin
5-0
8.6
Asam aspartat
10.9
13.5
Asam Glutamat Glisin Prolin Serin Tirosin
11.6
14.4
5.0 3.4
7.6 5.3 5.4
2.0 5.7 8.1 7.9 2.6 5.1 5.8 6.2 7.5 12.2 13.1 5.8 3.7
3.9
7.7
2.4
4.6
4.9
Al-Ani dan Smith (1988) melaporkan bahwa perlakuan kimia yang disertai
dengan autoclave terhadap bagas tebu dapat meningkatkan nilai kecernaan in vitro sampai 75 % . Hasil serupa diperlihatkan Sutardi (1994) bahwa teknologi amoniasi dapat meningkatkan manfaat pakan. Selain cara kimia, fisik dan biologi, fermentabilitas pakan ada kemungkinan dapat diperbaiki melalui optimasi bioproses dalam rumen, dalam arti menciptakan kondisi ekologi yang mendukung bioproses dan diikuti dengan penyediaan semua nutrien prekursor dalam jumlah yang cukup untuk
pertumbuhan mikroba rumen yang optimal. Untuk pertumbuhan mikroorganisme yang optimal, semua nutrien prekursor harus tersedia dalam konsentrasi yang optimum di dalam rumen. Nutrien tersebut termasuk energi (dalam bentuk ATP), nitrogen, asam-asam amino, mineral dan vitamin. Huber dan Kung (1981) menyatakan bahwa efisiensi fermentasi dan sintesis protein mikroba rumen dapat dimaksimumkan bila semua prekursor tersebut tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini berarti bahwa suplementasi suatu nutrien harus diselaraskan dengan ketersediaan nutrien lainnya. Kecernaan pakan serat dalam rumen pada dasarnya adalah kerja enzim-enzim pencerna serat yang diproduksi oleh mikroba rumen. Untuk mencerna fraksi serat dalam pakan, ternak ruminansia sepenuhnya tergantung kepada peranan mikroba rumen. Sebagai kelompok ternak mamalia, ternak ruminansia tidak memproduksi enzim-enzim yang dapat menghidrolisis selulosa atau hemiselulosa. Mengingat peranan strategis enzim-enzim mikroba rumen tersebut, maka optimasi biofermentasi rumen melalui peningkatan konsentrasi enzim relatif terhadap substrat harus menjadi sasaran utama. Peningkatan konsentrasi enzim di dalam rumen reIatif terhadap jumlah substrat (serat) di harapkan dapat meningkatkan laju kecernaan atau perombakan substrat. Dapat diupayakan 2 pendekatan untuk meningkatkan produksi atau konsentrasi enzim di dalam rumen, yaitu dengan meningkatkan populasi mikroba rumen penghasil enzim (pendekatan kuantitatif) dan melalui rekayasa genetik mikroba rumen (pendekatan kualitatif) untuk mendapatkan strain mikroba rumen yang mampu menghasilkan enzim lebih banyak. Selama lima tahun terakhir rekayasa genetik mikroba rumen mulai memperlihatkan hasil menggembirakan, meskipun masih menghadapi banyak kendala dalam pengembangan.
Metabolisme Karbohidrat daiam Rumen Pakan ternak ruminansia sebagian besar berupa kompleks polimer, misalnya selulosa, hemiselulosa, pati, pektin dan protein. Bentuk yang demikian kompleks e
menyebabkan pakan ruminansia memiliki nilai kelarutan (solubility) yang rendah. Pada sisi lain, mekanisme transport nutrien pada bakteri rumen ternyata hanya mampu mengangkut nutrien-nutrien yang terlarut dengan bobot molekul yang rendah
re us sell dan Hespell, 1981).
Karena itu proses pemanfaatan pakan di dalam rumen
terlebih dahulu diawali kerja enzim-enzim ekstraseluler yang merombak partikel pakan (kompleks polimer) menjadi bentuk monomernya atau senyawaan-senyawaan yang berbobot molekul rendah. Enzim ekstraseluler bekerja pada permukaan partikel pakan. Dengan demikian luas permukaan partikel pakan yang terbuka terhadap akses enzim-enzim pencernaan menjadi faktor yang sangat penting. Berlandaskan pada fenomena tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sifatsifat fisik dan sifat-sifat kimia pakan akan sangat erat kaitannya dengan aspek potensi degradasi pakan di dalam rumen. Sifat-sifat fisik pakan meliputi aspek keambaan (bulkiness), daya menyerap air (water regain capacity) dan aspek kelarutan (solubility). Ketiga sifat-sifat fisik tersebut erat kaitannya dengan aspek degradasi pakan (Sutardi er al., 1994).
Sifat-sifat kimia pakan meliputi komposisi kimia nutrien,
kapasitas tukar kation (cation kxchange capacity) dan kapasitas penyangga (buffering capacity) . Laju pertumbuhan mikroba dalam rumen sangat tergantung kepada ketersediaan karbohidrat . Laju pencemaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu produksi protein mikroba rumen. Selain sebagai sumber kerangka karbon, karbohidrat adalah sumber energi untuk mikroba, dalam bentuk ATP (adenosine tryphosphate). Selain produk utama fermentasi, dalam proses metabolisme karbohidrat di
dalam rumen dilepaskan energi dalam bentuk ATP, CH, dan panas fermentasi. Dua bentuk energi yang disebut terakhir tidak bermanfaat bagi ternak. Pertumbuhan mikroba rumen proporsional terhadap jumlah ATP yang dihasilkan dari katabolisme *
sumber energi. Nilai Y,
diperkenalkan oleh Bauchop dan Elsden (1960), untuk menyata-
kan gram bahan kering biomassa sel yang terbentuk per mol ATP yang digunakan. Nilai,,Y
mencapai sekitar 29-30 untuk mikroba rumen yang dikultur pada substrat
yang berupa monomer (Hespell and Bryant, 1979). Namun, untuk media sederhana dengan substrat karbohidrat dan garam organik nilai,Y
berkisar 20-29. Selain itu
nilai YATptersebut temyata dipengaruhi juga oleh laju dilusi (dilution rate) cairan rumen. Semakin tinggi laju dilusi nilai Y,,
cenderung semakin tinggi (Isaacson et
al. , 1975). Karbohidrat dalam pakan dapat dikelompokkan menjadi karbohidrat struktura1 (fraksi serat) dan karbohidrat nonstruktural (fraksi yang mudah tersedia). Proporsi karbohidrat nonstruktural erat sekali hubungannya dengan laju pencemaan karbohidrat. Meskipun demikian kelompok pakan yang tinggi fraksi seratnya (pakan serat) ada juga yang sangat fermentabel di dalam rumen. Namun, pada umumnya banyak yang memerlukan pengolahan terlebih dahulu untuk meningkatkan fermentabilitasnya, terutama untuk mirontokkan ikatan lignoselulosa yang sulit dicerna. Selulosa adalah rantai lurus dan panjang ikatan 0-1,4 unit glukosa dan biasanya dalam bentuk kristal. Sedangkan hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida yang terdiri atas rantai lurus silosa dan sejumlah arabinosa, asam uronat dm galaktosa. Prins dan Clarke (1980) serta Bergman (1983) membagi karbohidrat menjadi monosakarida dan turunannya (glukosa, fruktosa dan silosa), oligosakarida yaitu 2
-
10 unit sakarida (sukrosa, rafinosa, staciosa, fruktosa rantai pendek) dan polisakari-
da (pati, fruktosa, selulosa dan hemiselulosa). Karbohidrat memiliki nilai kelarutan yang tinggi di dalam air, sehingga memudahkan proses pemanfaatannya. Proses metabolisme yang berlangsung di dalam retikulorumen sangat kom4
pleks. Partikel pakan, yang terutama berupa polimer kahhidrat, mengalami degradasi (hidrolisis) yang sangat intensif menjadi bentuk monomer. Bentuk monomer tersebut oleh mikroba rumen difermentasi menjadi pimvat melalui lintasan Embden Meyerhof dan lintasan pentosa fosfat. Piruvat adalah bentuk produk intermedier yang akan segera dimetabolis untuk membentuk produk utama pencemaan fermenta&ifdalam rumen, yaitu asam-asam lemak rantai pendek. Asam-asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids) biasa disebut asam lemak terbang (volatile fatty acids = VFA). Dalam rangkaian proses biokimia tersebut dihasilkan bermacam gas yang
sesungguhnya tidak bermanfaat bagi ternak. Pada ransum tinggi hijauan maka proporsi molar VFA dalam rumen berhubungan erat dengan proporsi molar produksi VFA netto (Sutton, 1980). Dalam keadaan demikian laju produksi total VFA dan individual VFA (VFA production rate) dapat diukur dengan infusi hanya asam asetat berlabel. Termasuk dalam komponen asam lemak terbang rumen adalah asam asetat (CH,COOH), asam propionat (CH,CH,COOH), asam butirat (CH,(CH,),COOH), asam valerat (CH,(CH,),COOH) dan asam-asam lemak rantai cabang (asam irobutirat, 2-metilbutirat, dan isovalerat). Asam-asam lemak rantai cabang berasal dari katabolisme protein. Produk gas fermentasi meliputi gas CO,, gas CH, dan gas hidrogen. Pada temak kambing produksi gas CO, sekitar 90 liter dan Gas CH, (gas metan) sekitar 30 liter per hari (Czerkawski, 1986). Gas-gas tersebut dikeluarkan dari dalam rumen melalui proses eruktasi. Stoikiometri reaksi fermentasi karbohidrat (heksosa) menjadi tiga produk fermentasi utama di dalam rumen dapat diseder-
hanakan sebagai berikut (Orskov dan Ryle, 1990):
+ 2C02 + 4H+,
C6HI2O6+ 2H20
> ZCH,COOH
C6H1206+ 2H+,
> 2CH,CH2COOH + 4H20
C6H1206
4H+2
+ CO,
> CH,(CH2),COOH > CH,
+ 2C02 + 2H+,
+ 2H20
Tampak jelas dari stoikiometri reaksi tersebut di atas bahwa pada proses sintesis asam asetat banyak dihasilkan gas hidrogen. Dernikian pula halnya pada proses sintesis asam butirat. Sebaliknya pada proses sintesis asam propionat, gas hidrogen banyak yang digunakan. Gas hidrogen bersama dengan gas CO, merupa-
kan prekursor untuk sintesis gas metan. Gas metan sesungguhnya tidak bermanfaat bagi hewan induk semang. Berdasarkan proses tersebut maka pola fermentasi rumen yang mengarah kepada sintesis asam propionat jelas akan lebih menguntungkan dari segi efisiensi penggunaan energi pakan, karena dengan demikian produksi gas metan
akan cenderung berkurang. Secara skematis proses degradasi dan fermentasi karbohidrat pakan di dalam rumen sapi diperlihatkan pada Gambar 1 (Russell dan Hespell, 1981). Pada fermentasi dalam rumen asam asetat diproduksi paling banyak, yaitu dengan laju sekitar 20 - 25 mol per hari pada sapi perah. Laju produksi asam propionat sekitar 113 dari laju produksi asam asetat. Asam butirat diproduksi sekitar 10% dari VFA total, sedangkan asam valerat dan isovalerat masing-masing sekitar 1% dari VFA total (Forbes dan France, 1993). Ransum berbahan dasar hijauan akan memberikan nisbah AsetatIPropionat lebih besar dibandingkan dengan ransum berbahan dasar konsentrat.
Polimer Karbohidrat (Selulosa, pati, pektin Hemiselulosa/silan)
I
Sakarida ~ederhana (Selobiosa, maltosa, sukrosa, silobiosa, heksosa, pentosa) I
H2
Format
I c
>
Asetil CoA
->
> I
Laktat
I*
Kaproat Valerat
I
H2 + CO2
==4
*
Asetat , Butirat
Suksinat
Gambar 1. Skema Fermentasi Karbohidrat dalam Rumen. *) Produk akhir yang terakumulasi di rumen
Pada kondisi pola produksi VFA utama dalam cairan rumen 65 % asetat, 25 % propionat, dan 10% butirat, maka energi berasal dari heksosa (pakan) yang muncul dalam bentuk asam lemak terbang mencapai 75 %. Sisanya akan muncul sebagai produksi gas metan 12.4 % , sebagai panas fermentasi 6.4%, dan sekitar 6.2 % dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai sumber energi dalam bentuk ATP (adenosine tri phosphate) (Clark dan Davis, 1983). Hal tersebut mencerminkan bahwa mikroba rumen memproduksi asam lemak terbang (VFA) bukan hanya untuk kepentingannya saja, melainkan juga sebagai proses 'electron sink' dalam menjaga potensial redoks dalam rumen (Sutardi, 1995), sehingga tetap berada dalam kisaran yang layak bagi perkembangan mikroba rumen. Potensial redoks dalam tumen sangat mempengaruhi laju pertumbuhan bakteri dan protozoa.
vitro aspek tersebut selalu dipertimbangkan.
Karena itu pada pada setiap studi in
Berbagai proses anabolis di dalam tubuh ternak memerlukan energi dalam bentuk glukosa. Pada ternak ruminansia glukosa bisa disintesis dari sumber-sumber bukan karbohidrat, yaitu dari asam ternak atau dari asam-asam amino melalui proses 4
glukoneogenesis. Komponen asam lemak terbang yang termasuk glukogenik, yaitu dapat menjadi glukosa atau prekursor glukosa, adalah asam propionat. Asarn asetat dan asam butirat tidak termasuk kelompok metabolit yang glukogenik. Brskov (1977) mengemukakan suatu konstan ta yang disebut sebagai non-glukogenic ratio (NGR). NGR secara sederhana dimmuskan sebagai berikut :
+ 2 Butirat + Valerat Propionat + Valerat
Asetat NGR =
Nilai NGR tersebut erat hubungannya dengan produksi gas metan. Makin tinggi angka NGR maka produksi gas metan makin besar (korelasi positif). Produk fermentasi (VFA) di dalam rumen diserap melalui epitel rumen dan rnenjadi sumber energi utama pada ternak ruminansia. Sebagian mikroba yang tumbuh dalam rumen bersama digesta akan bergerak (passage) ke abomasum untuk selanjutnya mengalami pencernaan enzimatis dan penyerapan. Untuk mendukung proses metabolisme di atas, pergerakan dan kontraksi dinding rumen sangat berperan. Pergerakan dan kontraksi tersebut membantu proses pengadukan digesta dan inokulasi partikel pakan, ruminasi, dan pergerakan digesta ke abomasum.
Metabolisme Protein dalam Rumen Protein pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis menjadi asam-asam amino dan oligopeptida. Selanjutnya asam-asam amino mengalami katabolisme lebih lanjut dan dihasilkan amonia, VFA dan CO,- (Sutardi, 1976). Amonia menjadi
sumber nitrogen utama untuk sintesis dc novo asam amino pada mikroba rumen. Dalam proses tersebut juga diperlukan asam-asam lemak rantai cabang (branchedchain amino acids) dan rantai lurus (straight-chain amino acids). Proses metabolismk tersebut mengungkapkan bahwa nutrisi protein ternak ruminansia sangat tergantung pada proses sintesis protein mikroba rumen. Banyak upaya telah dilakukan untuk mengetahui secara tepat kebutuhan protein bagi ternak ruminansia. Beberapa model telah diajukan untuk menduga angka kebutuhan tersebut sebagai pedoman penentuan lcadar protein di dalam ransum. Kebutuhan asam-asam amino ternak ruminansia dipenuhi dari protein pakan yang 1010s degradasi di dalam rumen tetapi masih tercerna dan terserap di dalam usus. Selain itu asam-asam amino untuk ternak induk semang juga berasal dari protein mikroba rumen yang tercerna dan terserap di dalam usus serta berasal dari cadangan protein tubuh (endogenous protein). Umumnya model-model yang disusun para ahli nutrisi ruminansia melihat bahwa asam-asam amino yang terserap berasal dari dua sumber yang disebut pertama. Protein mikroba rumen mempunyai kualitas yang sangat baik, dan menurut Sniffen dan Robinson (19'87) sumbangan protein asal mikroba rumen terhadap kebutuhan asam-asam amino ternak ruminansia mencapai 40-80%. Fraksi nitrogen total asam-asam amino (total amino acids nitrogen = TAAN) yang masuk tisus halus sebagian besar berasal dari protein mikroba rumen. Hasil review Clark et al. (1992) didapat bahwa sekitar 59% nitrogen bukan amonia (nonammonia nitrogen = NAN) yang lewat ke duodenum sapi perah berasal dari mikroba rumen. Umumnya komposisi asam-asam amino digesta di duodenum serupa dengan komposisi asam-asam amino protein mikroba. Hal ini berarti bahwa keberhasilan memacu laju pertumbuhan mikroba (sintesis protein mikroba) rumen akan sangat besar pengaruhnya terha-
dap pemenuhan kebutuhan asam amino bagi ternak.
Pada ternak ruminansia sebagian protein yang masuk ke dalam rumen mengalami perombakan (degradasi) oleh enzim proteolitik yang diproduksi oleh mikroba rumen. Enzim protease ini terdiri atas eksopeptidase dan endopeptidase. Spesies ~ibrhbacter,Butyrivibrio, dan S e l e n u ~ o wadalah bakteri rumen yang paling tinggi aktivi tas proteolitiknya (Chalupa, 1975). Enzim protease bakteri rumen termasuk lekat pada sel (cell bound), tetapi berada pada bagian permukaan sel. Karena itu ada akses langsung kepada substrat. Proses degradasi protein di dalam rumen tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang positip atau negatip. Pada situasi tertentu proses degradasi protein diperlu-
kan untuk mencukupi kebutuhan arnonia bagi mikroba rumen dan pada situasi yang lain (misalnya protein pakan berkualitas tinggi) laju degradasi diharapkan tidak terlalu tinggi. Bahkan terhadap protein pakan berkualitas tinggi sering dilakukan proteksi agar tahan terhadap degradasi rumen. Karena itu beberapa ahli nutrisi ternak ruminansia menganggap bahwa degradabilitas protein @rotein degradability) merupakan salah satu tolok ukur yang penting dan harus diperhitungkan dalam mengevaluasi kualitas protein pakan ternak ruminansia. Berdasarkan anggapan tersebut pendekatan untuk menduga kebutuhan protein ternak ruminansia berdasarkan protein kasar tercerna (digestible crude protein) menjadi kurang begitu relevan. ARC (1984) mengusulkan bahwa dalam pendugaan kebutuhan protein harus tercakup jumlah protein pakan dapat didegradasi dalam rumen (yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba yang maksimum) dan jumlah protein pakan yang 1010s degradasi (undegraded dietary protein) (yang diperlukan untuk melengkapi asam amino asal mikroba rumen), sehingga terpenuhi kebutuhan ternak. Terhadap perotein yang 1010s degradasi masih diperlukan evaluasi lebih lanjut, terutarna terhadap kecernaannya oleh enzim proteolitik di organ pasearumen dan keseimbangan asam-asam aminonya.
'
Menurut Buttery (1976) jumlah protein pakan yang mengdami perombakan cukup banyak dan laju perombakan tergantung pada kelarutan protein dan laju aliran digesta (rate of digesta passage). hriasi derajat ketahanan protein terhadap degradasi dleh mikroba rumen sangat besar. Madsen dan Hvelplund (1985) meneliti degradasi protein 38 jenis bahan konsentrat dan 44 jenis hijauan secara in vivo, in
vitro dun in sacco (nylon bag) dan mendapatkan bahwa degradasi protein bahanbahan*yang diteliti bervariasi antara 12-9096. Berdasarkan tingkat ketahanan terhadap degradasi rumen, pakan sumber protein dapat dikelompokkan sebagai sumber protein mudah degradasi (soluble), sumber protein tahan degradasi (bypass) Perombakan protein oleh enzim proteolitik di dalam rumen menghasilkan peptida -dm asam-asam amino. Produk ini sebagian besar akan mengalami katabolisme lebih lanjut (deaminasi) sehingga dihasilkan amonia (NH,). Amonia asal perombakan protein pakan tersebut sangat besar kontribusinya terhadap pul amonia rumen. Kenyataannya diperlukan kisaran konsentrasi amonia tertentu untuk memaksimumkan laju sintesis protein mikroba. Karena itu kelarutan dan degradabilitas protein pakan sangat penting untuk diketahui. Proses proteolitik dan deaminasi asam-asam amino menghasilkan amonia diduga bersifat konstitutif, dalam arti tidak ada kontrol metabolik. Degradasi protein
dan deaminasi terhadap asam amino akan terus berlangsung, walaupun telah tejadi akumulasi amonia yang cukup tinggi di dalam rumen (Sutardi, 1976). Penambahan urea dalam ransum tidak ada efek terhadap pengurangan degradasi protein pakan (0rskov et a!. , 1974). Manfaat proses proteolitik tidak hanya memberi pasokan amonia untuk mikroba, tetapi juga pasokan peptida. Menurut Chalupa (1975) beberapa spesies bakteri rumen menggunakan peptida secara langsung untuk sintesis protein. Sebagai contoh, suplementasi trypticme (sumber peptida) dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba (Gorosito et al. , 1985).
Sekitar 82 % spesies mikroba rumen mampu menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein. Diperkirakan pada mikroba rumen tersebut tidak terdapat sistem (mekanisme) transport untuk mengangkut asam amino ke dalam sel fubuhnya. Bryant (1974) mengatakan bahwa mayoritas bakteri rumen dapat menggunakan amonia sebagai sumber nitrogennya. Lebih lanjut ditambahkan oleh Schaefer et ul. (1980) bahwa bakteri rumen adalah pengguna amonia yang paling efisien. Ikhtisar degradasi protein di dalam rumen dan peranan protein pakan dan protein asal mikroba rumen dalam memperkaya persediaan protein pada usus disajikan pada Gambar 2.
-
D a l a m rumenI-,
1
I
1--~alam u s u s 4
PROTEIN PAKAN
I
2
' 1 DP
e
4
ASAM AMINO
> -
MP 5
ASAM KETO ALFA
-I
PROTEIN MIKROBA
c
>
C02 >
>
CH4
VFA
Gambar 2. Ikhtisar Degradasi Protein di dalam Rumen (Sutardi, 1979).
Memperhatikan gambar tersebut dapat dipahami dengan mudah bahwa perbaikan nutrisi protein ternak ruminansia dapat ditempuh melalui meningkatkan
pasokan protein asal mikroba (microbial protein = MP) dan protein asal pakan yang 4
1010s degradasi (dietary protein = DP). Suatu sumber protein tidak tahan terhadap degradasi mungkin hanya akan memberikan masukan protein berupa protein mikroba saja kepada hewan induk semang. Sebaliknya pemberian protein yang tahan degradasi, di 'samping protein mikroba, hewan induk semang juga akan mendapat pasokan protein asal pakan, sehingga pasokan asam-asam amino bagi penyerapan oleh usus menjadi lebih banyak (Sutardi, 1979). Sering terjadi bahwa pertumbuhan mikroba rumen dibatasi oleh ketersediaan energi, tetapi pada keadaan tertentu amonia atau sumber nitrogen lainnya dapat menjadi lebih defisien dibandingkan dengan energi. Sebagai contoh, ketika ternak diberi ransum yang mengandung sumber energi mudah difermentasi cukup tinggi dan proteinnya sulit didegradasi di dalam rumen, maka amonia, asam-asam amino dan peptida mungkin menjadi defisien untuk pertumbuhan mikroba rumen (Clark et al., 1987). Untuk ransum seperti ini perlu ditambahkan sumber nitrogen agar pertumbu-
han mikroba rumen tidak terhambat. Amonia adalah sumber nitrogen yang utama dan sangat penting untuk sintesis protein mikroba rumen. Konsentrasi amonia di dalam rumen merupakan suatu besaran yang sangat penting untuk dikendalikan, karena sangat menentukan optimasi pertumbuhan mikroba rumen. Suatu penelitian in vitro dengan sistem fermentasi kultur kontinyu (menggunakan cairan rumen sapi) yang dilakukan Satter dan Slyter
(1974)memperlihatkan bahwa produksi protein mikroba rumen mencapai laju yang maksimum pada konsentrasi amonia 5 mg% atau setara dengan 3.57 mM. Peningkatan konsentrasi amonia di atas nilai tersebut tidak ada pengaruh berarti terhadap
peningkatan produksi protein mikroba rumen. Penelitian lain (in vivo) yang dilakukan oleh Mehrez et al. (1977) pada ternak domba memperlihatkan hasil yang berbe-
da. Konsentrasi amonia yang lebih tinggi diperlukan untuk memaksimumkan laju fermkntasi, yaitu sebesar 23.5 mg % atau setara dengan 16.78 mM. Penggunaan NPN sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroba rumen akan efektif pada keadaan ransum rendah kadar protein, dan cukup tersedia energi'serta mineral. Clark dan Davis (1980) mengemukakan bahwa alasan pembe-
rian NPN pada sapi perah adalah mengurangi keharusan memberi suplementasi protein pada keadaan protein ransum rendah. NPN akan digunakan lebih efisien apabila ditambahkan dalam jumlah sedikit pada ransum yang rendah protein dan tinggi energi. Efisiensi penggunaan NPN menurun dengan semakin meningkatnya taraf NPN, dengan semakin tingginya kadar protein ransum dan dengan semakin rendahnya energi ransum. Huber dan Kung (1981) menyatakan bahwa untuk memaksimumkan efisiensi fermentasi dan sintesis protein mikroba rumen semua prekursor harus tersedia dalam konsentrasi yang optimum, yang berarti bahwa pembemberian NPN harus diselaraskan dengan ketersediaan bahan-bahan lain untuk pertumbuhan mikroba rumen. Menurut Coppock et aI. (1976) pembatas utama efisiensi penggunaan urea adalah terlalu cepatnya urea melepaskan amonia begitu kontak dengan enzim urease di dalam cairan rumen. Bloomfield et al. (1960) mendapatkan bahwa kecepatan pelepasan amonia dapat mencapai 4 kali lebih cepat daripada kecepatan penggunaannya oleh mikroba rumen. Studi in vivo (Spires dan Clark, 1979) memperlihatkan bahwa pemberian 0.4 gram urea per kilogram bobot badan pada sapi, dapat meningkatkan pH rumen, total amonia dalam rumen serta konsentrasi amonia dan glukosa dalam darah. Umumnya semua parameter tersebut akan mencapai puncak sekitar 2 jam
setelah pemberian urea pada ternak. Penelitian Manik dan Sastradipradja (1989) yang mencobakan pemberian singkong yang telah mengalami perlakuan pemanasan basah (heat-moisture treated cassava) dalam ransum mengandung urea kepada ternak kambing, memperlihatkan bahwa upaya mempercepat ketersediaan energi dalam ransum yang mengandung urea sangat bermanfaat bagi kegiatan fermentasi. Upaya tersebut meningkatkan prekursor glikogen yang berarti peningkatan glukoneogenesis, 'flux' glukosa, ketersediaan energi dapat termetabolisasi (ME) dan mendukung proses anabolis dalam tubuh. Hasil ini menegaskan kembali bahwa sedapat mungkin bahan-bahan yang diperlukan untuk kegiatan sintesis diusahakan tersedia dalam jumlah yang cukup dan dalam waktu yang bersamaan. Pengendalian efek pemberian urea terhadap konsentrasi amonia di dalam rumen, dapat dilakukan dengan peningkatan frequensi pemberian urea. Penelitian Campbell et al. (1963) menunjukkan bahwa peningkatan frequensi pemberian urea dari 2 kali menjadi 6 kali per hari dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak. Hasil tersebut menambah bukti bahwa ketersediaan semua nutrien prekursor untuk sintesis protein hams diusahakan bersamaan.
Peranan Sulfur pada h t r i s i Ternak Ruminansia Ternak ruminansia melalui kerjasama dengan mikroorganisme di dalam rumennya, dapat memanfaatkan bentuk sulfur anorganik dengan efisien. Sulfur anorganik tersedia dalam harga yang murah. Mineral sulfur termasuk unsur yang sangat menarik dalam studi nutrisi ruminansia. Mineral sulfur telah diketahui sangat diperlukan untuk pertumbuhan mikroba rumen dan nutrisi ternak induk semang. Tiga jenis asam amino penting (metionin, sistin dan sistein) mengandung mineral
sulfur. Selain itu sulfur rnerupakan komponen vitamin (tiamin dan biotin). Kadar sulfur dalam biomassa mikroba rumen dapat mencapai sekitar 8 glkg bahan kering mikroba dan sebagian besar terdapat dalam protein (Bird, 1973). 6
Jumlah sulfur dapat meliputi sekitar 0.15% jaringan tubuh (NRC,1988). Kekurangan konsumsi sulfur pada ternak ruminansia ternyata tidak ada ciri-ciri defisiensi yang spesifik. Tetapi biasanya defisiensi akan tercerminkan pada rendahnya prestasi produki ternak. Produk budidaya pertanian yang menggunakan pupuk rendah sulfur cenderung memiliki kadar sulfur rendah. Penelitian-penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa berbagai bentuk sumber sulfur dapat digunakan ternak ruminansia, termasuk sulfur anorganik. ~eski~u beberapa h jenis bakteri rumen memerlukan asam amino mengandung sulfur untuk pertumbuhannya, sulfida tetap dianggap sebagai sumber sulfur utama untuk sintesis protein mikroba rumen. Asam-asam amino mengandung sulfur disintesis de
novo dari pul sulfida rumen. Suplementasi sulfur anorganik dalam ransum terutama ditujukan untuk mendukung sintesis de novo asam-asam amino tersebut. Mikroba rumen dapat menggunakan sulfur organik dan anorganik untuk sintesis asam-asam amino mengandung sulfur (Sulfur Containing Amino Acids = SCAA) pada pembentukan protein mikroba (Kandylis, 1984). Berbagai bentuk garam sulfat (misalnya amonium sulfat, natrium sulfat dan kalsium sulfat), metionin dan hidroksi analognya merupakan sumber sulfur yang baik. Sebaliknya sulfur elemental ternyata memiliki efisiensi pemanfaatan yang rendah (Bouchard and Conrad, 1973; Kahlon et al., 1975). Nilai relatif ketersediaan berbagai senyawaan sumber sulfur dibandingkan dengan asam amino L-metionin dapat dilihat pada Tabel 2 (Kahlon et al., 1975). Angka-angka tersebut diperoleh dari pengukuran secara in vitro dan tolok ukur yang
digunakan adalah sintesis protein mikroba rumen. Metionin dijadikan tolok ukur mengingat formyl methionine-transfer RNA diperlukan pada tahap awal (inisiasi) sintesis protein dalarn sel. Dengan demikian sangat mungkin bahwa sintesis protein 6
mikroba akan proporsional terhadap jumlah metionin yang tersedia bagi mikroba rumen. Pada tabel tersebut tampak bahwa sulfur anorganik dalam bentuk garam sulfat (amonium sulfat dan kalsium sulfat) memiliki angka ketersediaan relatif sangat tinggi. Nilai relatif ketersediaannya hampir mendekati L-metionin dan bahkan melebihi DL-metionin. Sulfur dalam bentuk garam sulfat harganya sangat murah. Hasil tersebut semakin meyakinkan bahwa untuk ternak ruminansia tambahan sulfur tidak perlu dalam bentuk bahan organik yang mahal. Sulfur elemental memiliki ketersediaan relatif amat rendah. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh nilai kelarutannya yang rendah di dalam cairan rumen (Hungate, 1966) Tabel 2. Ketersediaan ReIatif Berbagai Sumber Sulfur Diukur Berdasarkan Sintesis Protein in vitro Sumber Sulfur
Ketersediaan (%)
L-metionin DL-metionin
t
Analog hidroksi metionin (MHA) Kalsium sulfat Natrium sulfat Amonium sulfat Natrium sulfida Sulfur elemental
Sebelum atom sulfur dapat terinkorporasi ke ddam bentuk senyawaan organik, terlebih dahulu hams berubah menjadi bentuk sulfur tereduksi. Sulfur dalarn bentuk sulfat (SO:-)
di dalam rumen akan segera mengalami reduksi mmjadi bentuk
sul&a (s2-), karma sistem rumen adalah organ pereduksi. Sintesis & now SCAA terutama menggunalcan sumber sulfur dari pul sulfida rumen. Hal tersebut tercermin dari singkatnya waktu paruh (t,,,) sulfida di dalam rumen. Waktu paruh sulfat di dalam 'rumen hanya 10 - 12 menit (Bray, 1969). Bahkan menurut Anderson (1956) bentuk sulfat akan habis (completely disappeared) dalam 2 jam. Menurut McMeniman et al. (1976) sulfur dalam protein mikroba dapat seluruhnya berasal dari pul
-
sulfida pada saat pemberian ransum bebas protein. Umumnya sekitar 53 57% sulfur mikroba rumen berasal dari pul sulfida rumen (Gawthome and Nader, 1976). Jika di dalam rumen tersedia sulfur tereduksi dalam bentuk %S maka senyawaan tersebut dapat b bereaksi dengan 0-acetylserine membentuk sistein dan asam asetat. Proses tersebut melibatkan kerja enzim sistein sintetase. Secara sederhana proses tersebut disajikan pada persamaan reaksi berikut (Conn n al., 1987):
(0-asetil serin)
(Asetat)
(Sistein)
Pada tanaman dan mikroorganisme sistein merupakan sumber sulfur yang utama untu k pemben tu kan metionin melalui proses transulfurilasi. Sistationin dan homosistein adalah produk antara dari proses tersebut. Penggunaan sumber nitrogen bukan protein (NPN)dalam jumlah tinggi untuk mensubstitusi pakan sumber protein dapat mengakibatkan keterbatasan mineral sulfur
dalam ransum. Pada keadaan tersebut suplementasi sumber sulfur harus dipertimbangkan. Thomas et al. (1954) menggunakan ransum murni (purified diets) berhasil memperlihatkan bahwa keterbatasan sulfur berakibat penggunaan NPN menjadi tidak efisien. Akan tetapi penambahan sulfur dalarn bentuk sulfat dapat mengatasi masalah defisiensi sulfur tersebut. Fungi anerob termasuk jenis mikroba rumen p e n m a serat. Pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kadar sulfur di dalam ransum. Gulati et a f . (1985) melaporkan bahwa populasi hngi dalam rumen meningkat drastis pada ransum yang disuplementasi sulfur. Peningkatan populasi fungi itu juga diikuti peningkatan kecernaan serat sebesar 16% . Penelitian Akin et al. (1983) memperlihatkan ha1 yang sama, bahwa dalam rumen domba yang mengkonsumsi Digitaria peMi yang diberi pupuk sulfur terdapat jumlah koloni fungi dan sporangia lebih banyak dibandingkan dengan domba yang mendapat D. pentu'i yang tidak dipupuk. Pada penelitian tersebut angka kecernaan bahan kering juga meningkat. Selain itu, percobaan metabolis oleh Qi et al. (1992) pada kambing dengan 3 jenis ransum yang masing-masing mengandung sulfur 0.16, 0.26, dan 0.36% bahan kering memperlihatkan bahwa kecernaan ADF (Acid Detergent Fiber) meningkat. Kecernaan ADF pada ke tiga ransum tersebut berturut-turut 16.8, 26.0, dan 29.2%. Peningkatan kefernaan ADF dalam percobaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh perbaikan pertumbuhan mikroba rumen, terutama fungi. Pada kondisi in vivo suplementasi sulfur berpengaruh positif terhadap aliran protein dari rumen dan nilai retensi nitrogen (Durand dan Komisarczuk, 1988). Penelitian pada ternak sapi yang memperoleh ransum murni (Slyter et al., 1986) diperoleh hasil bahwa penambahan sulfur dapat meningkatkan cacahan total
bakteri rumen. Dengan ransum yang sama pada ternak domba diperoleh informasi
yang lebih spesifik, yaitu bahwa penambahan sulfur nyata meningkatkan popufasi bakteri selulolitik. Data penelitian tersebut memperkuat bukti keeratan hubungan antara sulfur dengan pemmaan fraksi serat pakan. *
Informasi di atas menunjukkan bahwa suplementasi sulfur baik dalam bentuk organik maupun anorganik menjanjikan banyak manfaat, terutama pada ternak ruminansia yang mendapat pakan serat berkualitas rendah. Pada keadaan tersebut, suplementasi sulfur dapat memacu pertumbuhan fungi dan bakteri rumen. Fungi rumen bersama-sama bakteri selulolitik diharapkan peranann ya untuk lebih intensif mencerna pakan serat.
protozoa dan Penggunaan Lernak Sebagai Agensia Defaunasi Populasi protozoa di dalam rumen pada kondisi normal sekitar lo6 sellml cairan rumen. Jumlah tersebut dipengaruhi oleh ransum dan meliputi sekitar 40% dari total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966). Berbeda dengan bakteri rumen, protozoa tidak mampu secara langsung menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen. Sumber nitrogen untuk pertumbuhan protozoa selain berasal dari protein pakan juga berasal dari bakteri rumen yang dimangsanya. Sekitar 50% dari nitrogen yang dikonsumsi protozoa tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk amonia dan asam-asam amino. Biomassa protozoa dalam rumen dapat mencapai 50% dari total biomassa t
seluruh mikroba rumen (Jouany, 1991). Biomassa protozoa tersebut bervariasi, tergantung jenis ransum yang dimakan ternak induk semang. Menurut Russell dan Hespell (1981) dan Bird (1991) populasi protozoa rumen umumnya didominasi oleh species ciliata. Species flagellata biasanya banyak terdapat pada anak sapi (calves), sebelum populasi species ciliata berkembang pesat. Species ciliata dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu holotrika (cilia ada
di sekitar tubuhnya) dan oligotrika (cilia hanya ada di sekitar mulut). Kelompok holotrika memiliki morfologi yang sederhana, meliputi Zsotricha dan Dasytn'cha, dengan sumber energi utama berupa pati dan gula. Sebaliknya, kelompok oligotrika :
memiliki bentuk yang kompleks dan diduga memiliki aktivitas selulolitik. Namun aktivitas selulolitik tersebut masih dipertanyakan. Ada dugaan bahwa aktivitas sdulolitik protozoa berasal dari bakteri yang dimangsanya. Kelompok oligotrika meliputi specie; Entodiniwn, Epidiniwn, Diplodinium, dan Ophyroscol[c. Ada 2 pendapat yang bertentangan mengenai keberadaan protozoa di dalam rumen. Sebagian ahli nutrisi ruminansia menganggap bahwa protozoa tidak esensial dalam sistem rumen. Alasannya bahwa usaha mengkultur bakteri rumen dalam medium tanpa keberadaan protozoa ternyata dapat berhasil baik. Kehadiran protozoa bah kan cenderung merugikan , karena protozoa dapat memangsa bakteri . Akibatnya populasi bakteri rumen (mikroba rumen yang utama) menjadi tertekan. Keadaan seperti itu akan lebih serius pada ternak yang mendapat ransum rendah kadar gula dan pati. Pada keadaan demikian protozoa tidak memperoleh makanan yang layak baginya. Makanan utama protozoa adalah karbohidrat yang mudah larut atau yang fermentabel. Akibatnya untuk kelangsungan hidupnya protozoa banyak yang memangsa bakteri rumen. Nolan er al. (1989)'menyatakan bahwa efisiensi pertumbuhan mikroba rumen akan meningkat dan aliran protein asal mikroba rumen serta protein pakan ke organ pencernaan pascarumen akan lebih banyak bila protozoa tidak ada. Pernya-
taan ini juga didukung oleh tinjauan Merchen dan Titgemeyer (1992), yang menyatakan bahwa defaunasi dapat meningkatkan aliran protein kasar ke organ pencemaan pascarumen sebesar 18% . Rinciannya adalah peningkatan protein asal bakteri rumen sebesar 14 % dan peningkatan protein bukan berasal dari bakteri sebesar 25 % .
Beberapa manfaat defaunasi terhadap produksi dan parameter metabolisme rumen disajikan pada ?trbel 3. Pada ternak domba yang mendapat ransum rendah kadar protein dan tinggi I
kandungan energi, defaunasi dapat meningkatkan pertumbuhan, produksi wol dan efisiensi penggunaan ransum. Peningkatan produksi tersebut tanpa diikuti peningkatan konsumsi bahan kering ransum (Bird, et al., 1979). Secara in vitm Demeyer dan van Nevel (1979) memperlihatkan bahwa sintesis protein mikroba pada cairan rumen yang berasal dari domba didefaunasi 33% lebih tinggi dibandingkan dengan sintesis protein mikroba pa& domba yang tidak defaunasi. Tabel 3. Pengaruh Defaunasi Rumen terhadap Pertumbuhan Ternak, Konsumsi dan Parameter Rumen Peubah
Ternak
Pertumbuhan (glhari)
Sapi
Bird & Leng (1978)
Domba
Bird & Leng (1984)
Domba
Bird & Leng (1984)
Domba
Bird (1991)
Domba
McNabb et at.(1988)
Domba
Ushida et aL.(1988)
Konsumsi BK (ghari) Amonia rumen (mgN/l)
Faunasi Defaunasi Sumber Pustaka
Domba N-Mikroba (glkg BOFD') Degradasi protein "(%)
Domba
Rowe et al. (1985)
Domba
Meyer et d.(1986)
Domba
Jouany (1991)
Keerangan: *) bahan organik terfermentasi di m e n . **) Rataan dari 4 macam pakan: tepung ikan, bungkil keiapa bungkil kedele dan lupih.
Sumbangan atau andil biomassa protom rumen bagi nutrisi temak induk semang pada kenyataannya tidak begitu besar artinya. Weller dan Pilgrim (1974). Bird et al. (1990) menyimpulkan bahwa sebagian besar biomassa protozoa tidak tersedia bagi pencernaan di usus. Alasan yang w i n g dikemukakan adalah bahwa protozoa cenderung tertahan (retained) di dalam rumen, sehingga memiliki nilai 'turn over' yang lambat (Leng et a!. , 1986). Hanya sebagian kecil saja protozoa yang mengalir ke organ pasca rumen (lower digestive tract). Dengan demikian peranan protozoa sebagai pemasok nutrien untuk hewan induk semang pada situasi tertentu memang pantas dipertanyakan. Pendapat kedua yang menyatakan bahwa kehadiran protom di dalam rumen diperlukan, didasarkan pada peranan protozoa dalam mempertahankan pH rumen. Peranan tersebut dilaksanakan secara tidak langsung melalui "pengamanan" -hidrat fermentabel (Readily Fermentable Carbohydrate = RFC). Protozoa rumen biasanya segera menyimpan (menumpuk) karbohidrat yang mudah larut (soluble carbohydrates) asal pakan ke dalam tubuhnya. Melalui kebiasaan tersebut protozoa akan mencegah laju konversi RFC yang begitu cepat menjadi asam laktat oleh bakteri rumen. Konversi RFC yang terlalu cepat menjadi asam akan berakibat pada penurunan pH rumen yang drastis. Penurunan pH secara drastis amat berbahaya bagi bakteri rumen, terutama bakteri selulolitik. Sesungguhnya proses penurunan pH secara drastis seperti diuraikan di atas hanya berlaku (sangat bermanfaat) pada kelompok ternak yang memperoleh ransum bagus (fermentabilitas tinggi), yang banyak mengandung gula dan pati. Pada keadaan lain, misalnya ransum dengan bahan utama pakan serat berkualitas rendah, persoalan tersebut tidak terlalu serius sehingga peranan protozoa tidak menonjol.
pakan serat berkualitas rendah akan lebih baik bila protozoa dihilangkan dari sistem rumen. Pengurangan sebagian atau penghilangan seluruh populasi protozoa di dalam rumen disebut defaunasi. I
Aktivitas protozoa memangsa bakteri di dalam rumen tidak hanya mempunyai arti negatif saja, melainkan ada pula segi positifnya. Manfaat positifnya adalah proses tersebut akhirnya memberi pasokan nitrogen (amonia, asam-asam amino dan peptida) dan asam-asam lemak rantai cabang yang merupakan hasil lisis bakteri. Metabolit tersebut diperlukan untuk pertumbuhan bakteri rumen.
Karena itu pada
ternak yang mengalami defaunasi harus diperhatilcan secara cermat aspek kecukupan pasokan nitrogen dan asam-asam lemak bercabang tersebut. Untuk bahan defaunasi (defaunating agent) berbagai produk komersial agensia defaunasi telah banyak beredar. Sebagai contoh misalnya Teric GN9 dan Allcanat 3SL3. Produk-produk tersebut memang dapat mengurangi atau menghilangkan
secara keseluruhan populasi protozoa dari dalam sistem rumen, akan tetapi cukup berbahaya apabila pemakaiannya tidak sesuai dengan takaran yang disarankan. Mengingat sistem rumen yang sangat kompleks dan peranan protozoa di dalam rumen, maka penerapan defaunasi sebaiknya mempertimbangkan 3 ha1 berikut, yaitu: (1) tidak berbahaya (beracun) bagi temak, (2) efek yang mengganggu terhadap bakteri dan fungi rumen hat?us minimal, dan (3) tidak perlu menghilangkan seluruh populasi protozoa. Mengingat ada peranan protozoa di dalam rumen maka defaunasi parsial (partial defaunation) mungkin akan lebih baik dibandingkan dengan defaunasi sempurna (complete defaunation). Sebagai alternatif agensia defaunasi yang jauh lebih aman dapat digunakan bahan-bahan alami, misalnya minyak kelapa atau daun kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis). Newbold dan Chamberlain (1988) memperlihatkan secara in vivo
bahwa pemberian minyak kelapa (coconut oil) sebanyak 100 mllhari pada domba dapat menghilangkan protozoa dalam cairan rumen. Penelitian tersebut mencermin-
kan ada efek toksik minyak kelapa terhadap protozoa rumen. Hasil serupa baru-baru *
ini juga diperlihatka. oleh Jalaludin (1994), bahwa penggunaan rninyak Wapa dapat menekan sebagian protozoa. Penurunan populasi protozoa rumen akibat penggunaan lemak dalam ransum (Sutton et al., 1983; Newbold dan Chamberlin, 1988) ternyata berpengamh positif terhadap efisiensi sintesis protein mikroba rumen (Klusmeyer et al., 1991). Hal tersebut mungkin disebabkan terjadinya penurunan daur ulang (recycling) nitrogen bakteri rumen. Daur ulang nitrogen bakteri merupakan bagian dari siklus pemang-
saan (engulfment) bakteri rumen oleh protozoa.
-
Fraksi lemak di dalam ransum ruminansia umumnya sekitar 2 5% bahan kering, separuh diantaranya berupa asam lemak ('Pamminga dan Doreau, 1991). Penggunaan lemak di dalam ransum ternyata dapat mempengaruhi sistem fermentasi rumen. Sebagai senyawaan tidak polar (nonpolar compound), lemak tidak mudah (tidak segera) larut dalam medium cairan runsen. Kerena itu lemak cenderung berasosiasi dengan partikel pakan dan mikroba rumen (Pantoja, et al., 1994). Bentuk asosiasi tersebut cenderung berupa penutupan permukaan secara fisik (physical mating) oleh iemak.
,
Bakteri rumen memiliki kemampuan lipolisis yang kuat sehingga dengan cepat dapat menguraikan lemak yang menyelimutinya. Produk hidrolisis lemak dalam rumen adalah asam lemak bebas, gliserol dan galaktosa. Gliserol dan galaktosa selanjutnya menjadi bahan sintesis VFA (propionat dan butirat). Sebaliknya, protozoa tidak memiliki aktivitas lipolitik sebaik bakteri. Menurut Thmminga dan Doreau (1991) protozoa hanya terlibat banyak pada hidrolisis fosfolipid. Akibatnya
pada keadaan sistem rumen banyak lemak, maka aktivitas metabolik protozoa menjadi amat terganggu. Pada kondisi tersebut banyak protozoa yang kurang mampu bertahan hidup. 1
Pengaruh penutupan secara fisik permukaan partikel pakan oleh lemak selalu diduga sebagai salah satu penyebab turunnya nilai kecemaan bahan kering ransum, terutama pada kecernaan fraksi seratnya. Penutupan tersebut menghalangi atau menurunkan akses langsung enzim-enzim pencernaan atau mikroba rumen kepada partikel pakan. Karena itu penggunaan lemak terlalu tinggi dalam ransum temak ruminansia sangat mengganggu kecernaan zat makanan. Pengaruh penggunaan lemak di dalam ransum ternak ruminansia, selain yang telah diuraikan di atas, adalah dapat menekan produksi gas metan (Holster and Young, 1992). Penurunan produksi gas metan diduga karena ada pengalihan gas hidrogen untuk hidrogenasi asam-asam lemak. Proses hidrogenasi asam-asam lemak terjadi secara alami dalam rumen, segera setelah proses hidrolisis lemak.
Peranan Isoacids dalam Pertumbuhan Mikroba Rumen Mikroba rumen selain merupakan sumber nutrien berkualitas tinggi bagi ternak ruminansia juga berperan mencerna pakan, sehingga perlu selalu dipacu pertumbuhannya. Untuk sintesis protein mikroba rumen juga diperlukan asam-asam lemak rantai cabang (branched-chain fatty acids = BCFA) sebagai prekursor. Asam-asam lemak rantai cabang meliputi asam isobutirat (LC,), asam Zmetilbutirat (2Me-C,), dan asam isovalerat (i-C,) (Bryant, 1974; Russell dan Sniffen, 1984). Asam-asam lemak tersebut bersama dengan rantai lurus asam valerat (n-valerate) sering disebut sebagai isoacids (Felix et al., 1980) atau VFA karbon-4 (C,) dan VFA karbon-5 (C,). Rantai lurus valerat (n-valerate) merupakan produk fermentasi
karbohidrat. Asam-asam lemak rantai cabang di dalam rumen diperoleh dari hasil proses dekarboksilasi dan deaminasi asam-asam amino rantai cabang (branched-chain amino #
acids = BCAA) di dalam rumen. Asam isobutirat, 2-metilbutirat, dan isovalerat berturut-turut berasal dari asam amino valin, isoleusin, dan leusin. Dalam proses biosintesis ketiga asarn amino tersebut selalu dibahas bersamaan karena keserupaan bent& alipatik serta ada interelasi dalam tapak jalan sintesis. Secara sederhana proses deaminasi dan dekarboksilasi asam-asam amino rantai cabang dapat digambarkan seperti berikut (Andries et al., 1987; yang diadaptasi dari Demeyer, 1976):
> RCOCOOH + NH3 + 2H+
R-(3H(NH2)COOH + H20 RCOCOOH
+
H20
> RCOOH
+ C02 + 2H+
R = (CH,),CH-(valin) =
(CH,),CHCHi(leusin)
= CH,CH,CH(CH,)-(isoleusin)
-
Isoacids merupakan metabolit yang selalu terdapat di dalam cairan rumen dan sangat esensial bagi sekelompok bakteri tertentu. Karena i tu usaha-usaha untuk rnengkultur mikroba rumen di dalam media buatan (misalnya berbagai lamtan nutrien atau ekstrak ragi) tanpa mengikutsertakan cairan rumen cenderung kurang berhasil. Kelompok bakteri rumen yang sangat memerlukan asam-asam lemak rantai cabang adalah bakteri selulolitik (Fibrobactersuccinogenes, Ruminococcus albus,
Ruminococcusj7avefaciens), bakteri sakaroliti k (Bacteroidesruminicola, Butyrivi-
briojibrisolvens, Selenomonas ruminantium), Methanobacterium ruminantium dan Succinimonas amylolytica (Baldwin dan Allison, 1983).
Asam-asam lemak rantai cabang di dalam rumen sebagian besar berasal dari produk fermentasi (perombakan) protein ransum. Karena itu meskipun mikroba selulolitik dikenal menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen utama, protein *
(true protein) dalam ransum selalu lebih unggul dibandingkan dengan urea dalam memacu kecernaan serat (McAllan and Smith, 1983). Selain itu mikroba rumen yang mengalami lisis di dalam rumen juga menyumbang terhadap pul asam-asam lemak'berantai cabang di dalam rumen. Apabila pasokan dari dua sumber tersebut tidak mencukupi maka diperlukan suplementasi sumber asam-asam lemak bercabang untuk memacu pertumbuhan mikroba. Kekurangan pasokan isoacids dapat terjadi pada salah satu dari 4 keadaan berikut: (1) Pada masa ternak mengalami perlakuan defaunasi. Pada ternak yang mengalami defaunasi bakteri rumen lebih banyak yang sampai ke organ pascammen, sehingga bakteri rumen yang mengalami lisis oleh protozoa berkurang. Bakteri rumen yang mengalami lisis merupakan salah satu sumber isoacids. (2) Pada saat ransum yang dikonsumsi rendah kadar proteinnya , (true protein). Protein pakan merupakan sumber isoacids yang utama. (3) Apabila protein ransum ternyata tahan terhadap degradasi di dalam rumen. (4) Apabila masa retensi komponen solid (digesta) di dalam rumen sangat pendek. Masa retensi digesta yang singkat menyebabkan hanya sedikit protein pakan dan protein mikroba yang sempat terdegradasi. Penelitian Miura et al. (1980) mengungkap bahwa diperlukan masa retensi selama 36 jam agar proses lisis bakteri dapat menaikkan konsentrasi isoacids dalam cairan rumen. Asam isobutirat, isovalerat dan 2-metilbutirat merupakan sumber kerangka karbon bagi bakteri untuk biosintesis asam-asam amino rantai cabang, berturut-turut valin, leusin dan isoleusin. Informasi ini terungkap dari penelitian Allison dan
Bryant (1963) dengan menggunakan perunut radiokarbon
("c). Hasil penelitian
Sutardi (1976) yang menggunakan asam amino berlabel radioisotop 14C sebagai perunut, memperlihatkan bahwa terdapat karbon dari asam-asam amino rantai 4
cabang terinkorporasi ke dalam protein mikroba rumen. Inkorporasi karbon yang berasal dari asam amino leusin, isoleusin dan valin ke dalam protein mikroba rumen berturut-turut sebesar 31, 25, dan 29%. Hasil tersebut secara kuantitatif membuktikan bahwa kerangka karbon bercabang sangat diperlukan untuk pertumbuhan mikroba di dalam rumen. Huber dan Kung (1981) menyatakan bahwa penarnpilan produksi ternak sapi yang mendapatkan ransum mengandung urea tinggi (high urea diets) masih dapat ditingkaikan dengan suplementasi isoacids. Peningkatan produksi terjadi karena nitrogen yang ditambahkan dapat dimanfaatkan dengan lebih efisien apabila cukup tersedia kerangka karbon bercabang. Pada ransum yang banyak mengandung N P N , kerangka karbon bercabang sangat potensial untuk menjadi faktor pembatas pertumbuhan mikroba rumen. Pada situasi yang demikian maka suplementasi isoacids selalu direkomendasikan.
#
Laju penggunaan nitrogen yang meningkat pada penggunaan isoacids tercermin dari turunnya konsentrasi amonia dalam medium fermentasi pada peneli tian Gorosito et al. (1985). Data tersebut diperlihatkan pada 'Ribel 4. Pada tabel tersebut tampak jelas bahwa peningkatan protein sel mikroba dan kecernaan dinding sel berasosiasi dengan penurunan konsentrasi amonia cairan rumen. Berarti untuk mengimbangi pertumbuhan mikroba rumen yang meningkat, laju penggunaan nitrogen meningkat. Dengan demikian maka pada ransum yang banyak menggunakan pakan serat dan NPN (nitrogen bu kan protein), sangat diperlukan suplementasi kerangka karbon bercabang untuk pertumbuhan mikroba rumen dan memacu proses
fermentasi. Informasi tersebut semakin meyakinkan bahwa teknologi amoniasi atau penggunaan NPN lainnya harus dipadukan dengan penambahan pasokan kerangka karbon bercabang. *
Penambahan asam isovalerat, asam isobutirat atau asam Zmetilbutirat masing-masing dapat meningkatkan kecemaan fraksi serat (dinding sel) pakan. Peningkatan kecemaan fraksi serat pakan memberikan garnbaran bahwa kelompok mikroba selulolitik pencema serat sangat diuntungkan oleh suplementasi rantai karbon bercabang tersebut. Keberhasilan memacu pencemaan fraksi serat pakan adalah arnat n b e l 4. Pengaruh Suplementasi Asam Lemak Bercabang terhadap Kecernaan Dinding Sel dan Konsentrasi Amonia Asam Lemak Terbang
Tmnpa Suplementasi
Campuran isoacids
Kecemaan' Dinding Sel
Konsentrasi' Amonia
Protein Se12 Mikroba
(mglliter) 177.8
(mglliter) 148.0
185.0
146.4
162.1
169.9
153.4
138.1
149.5
177.1
153.2
180.4
Keterangan: 1. Gorosito et al. (1985). 2. Russell and Sniffen (1984).
strategis pada nu trisi ruminansia di daerah tropis, karena fraksi serat dalam formulasi ransum sangat tinggi. Pada tabel tersebut tampak bahwa suplementasi rantai karbon lurus n-valerat tidak memberikan efek yang berarti terhadap ke tiga peubah, yang mencerminkan bahwa n-valerat tidak menjadi faktor pembatas pertumbuhan mikroba rumen.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pada tabel tersebut tam@ bahwa penambahan salah satu jenis kerangka karbon bercabang atau campuran ketiga jenis kerangka karbon bercabang tersebut memberikan hasil yang sama dilihat dari angka 4
kecernaan dinding sel. Fenomena tersebut cukup menarik untuk diungkap secara kuan ti tatif. Kemungkinan terdapat proses inter-konversi antar kerangka karbon bercabang di dalam sistem rumen. Dalam skema yang disajikan Umberger (1978), a-ketoisovalerat selain sebagai prekursor valin ternyata bisa membentuk leusin, rnelalui rute "a-ketoisovalerat - a-isopropilmalat - 8-isopropilmalat - a-ketoisokaproat - leusin".