TUMPANGSARI KEDELAI−JAGUNG, JARAK TANAM, DAN PUPUK

Download tanaman jagung dan kedelai di lahan pasang surut Desa Banyuurip, Banyuasin, Sumatera. Selatan, yang berlangsung dari ... pola tanam tumpang...

0 downloads 538 Views 134KB Size
TUMPANGSARI KEDELAI−JAGUNG, JARAK TANAM, DAN PUPUK HAYATI DI LAHAN PASANG SURUT Iin Siti Aminah1)*, Dedik Budianta2), Yakup Parto2) , Munandar2) , Erizal2) 1)

Mahasiswa S3 Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Dosen PNSD Universitas Muhammadiyah Palembang Jl. A. Yani 13 Ulu Palembang 2) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan *)email : [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui pengaruh sistem tanam tumpangsari tanaman jagung dan kedelai terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, 2) mempelajari efektivitas pemberian pupuk yang diperkaya dengan mikroba terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kedelai di lahan pasang surut Desa Banyuurip, Banyuasin, Sumatera Selatan, yang berlangsung dari bulan Mei 2012 sampai Oktober 2012. Penelitian menggunakan rancangan petak terbagi. Perlakuan pada petak utama adalah jarak tanam kedelai (K) di antara jagung (J) (100 x 30 cm/3K; 70 x 30 cm/2K; 40 x 30cm/1K) dan pemberian pupuk diperkaya mikroba (0, BioP, Azospirillum dan BioP+Azospirillum) dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan jarak tanam pada jagung berpengaruh tidak nyata pada tinggi, bobot berangkasan kering, bobot 100 biji dan hasil biji/petak, sedangkan pemberian pupuk yang diperkaya dengan mikroba berbeda nyata pada uji BNJ dengan hasil biji lebih tinggi 22,5% dibandingkan dengan pemberian pupuk NPK sebagai kontrol. Untuk tanaman kedelai, pengaturan jarak tanam dengan pemberian pupuk yang diperkaya dengan mikroba berpengaruh sangat nyata pada pertumbuhan dan hasil. Rata-rata nilai NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan) tumpangsari jagung−kedelai lebih besar dari satu, yang menunjukkan bahwa pola tanam tumpangsari jagung-kedelai menguntungkan dalam pemanfaatan lahan, khususnya pada lahan pasang surut. Kata kunci: jarak tanam, pupuk kaya mikroba, NKL

ABSTRACT Intercropping maize with soybean between spacing and biofertilization on tidal swamps. This study aimed to 1) identify and study the effect of cropping systems of corn and soybean intercropping on the growth and production of plants, 2) identify and study the effectiveness of the fertilizer that is enriched with microbes on the growth and production of corn and soybean crops were conducted in villages tidal Banyuurip, Banyuasin South Sumatra which lasted from May 2012 to October 2012. The experiment used Split-plot Design. The treatment was done in the main plot was the spacing of soybean (K) between maize (J) (100 x 30 cm/3K; cm/2K 70 x 30,40 x 30 cm/1K) and enriched microbial fertilizer (0, BioP, Azospirillum and BioP + Azospirillum) with three replications. The results showed that plant spacing on corn no real effect on height, weight berangkasan dry weight of 100 seeds and seed production plot-1, whereas enriched fertilizer with significantly different microbes at 0:01 HSD test with the higher seed production of 22.5% compared with the NPK fertilizer as a control. For soybean planting spacing with fertilizer enriched with microbes significant effect on the growth and yield. The average value of corn-soybean intercropping LER (Land Equivalent Ratio) greater than one, indicated that the pattern of intercropping corn-soybean planting favorable in land use especially in the tidal. Key words: distance plant, fertilizer enriched microbial, LER

734

Aminah et al.: Tumpangsari kedelai-jagung, jarak tanam, dan pupuk hayati

PENDAHULUAN Pengembangan pertanian lahan pasang surut merupakan langkah strategis dalam menjawab tantangan peningkatan produksi pertanian yang semakin kompleks. Dengan pengelolaan yang tepat melalui penerapan iptek yang sesuai, lahan pasang surut memiliki prospek besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif terutama dalam rangka pelestarian swasembada pangan, diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, serta pengembangan agribisnis wilayah (Abdurachman dan Ananto, 2000). Lahan pasang surut di Indonesia sekitar 20,13 juta ha, lahan tersebut memiliki kesuburan tanah yang rendah (Adimihardja et al. 2000; Maas, 2003; Masganti dan Yuliani, 2005) kendala yang spesifik yaitu pH rendah, adanya unsur beracun Al+ 3, Fe 2+, terlindinya basa Ca, Mg, dan K, kelarutan Al+ 3, Fe 2+ dan H+ yang tinggi, kahat akan unsur P, Cu, Zn, dan B (Dent 1986; Noor 2004), terlindinya endapan besi sulfida (pirit) dan sulfat masam yang tinggi yang dapat meracuni tanaman. Selain itu lahan pasang surut juga diketahui mempunyai variabilitas kesuburan tanah yang tinggi akibat perbedaan tipologi lahan dan luapan yang berbeda, oleh karena itu pemanfaatan lahan rawa pasang surut memerlukan pengelolaan yang spesifik, apabila terjadi kesalahan pengelolaan, maka perbaikannya memerlukan waktu lama dan biaya yang besar. Rata-rata produktivitas jagung diperkirakan meningkat 2,97%, sedangkan kedelai terjadi penurunan 1,07%. Penurunan ini terjadi karena turunnya luas panen 1,72% sedangkan produktivitas mengalami peningkatan 0,08 kw per ha atau 0,59% (BPS 2010). Produksi jagung Sumatera Selatan pada tahun 2010 sebanyak 125,80 ribu ton pipilan kering, naik 11,16% dibanding tahun 2009, sedangkan produksi kedelai Sumatera Selatan pada tahun 2010 sebesar 11,66 ribu ton biji kering, jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 14,87% dibandingkan tahun 2009. hal ini terjadi karena menurunnya luas panen dan produktivitas masing-masing 1,43 ribu ha (18,96%) dan 0,28 kw per ha (1,81%) (www.desamodern.com//r=site/conten/detail/4/2340). Jagung merupakan komoditas penting kedua setelah padi di lahan pasang surut yang diusahakan pada lahan tipe luapan C dengan sistem drainase dangkal (Ananto et al. 2000) sementara untuk kedelai dilakukan dengan sistem jenuh air pada varietas Tanggamus dengan kedalaman muka air 20 cm diperoleh produksi 4,63 t/ha (Ghulamahdi 2011). Melalui perbaikan pengelolaan lahan dan pemberian amelioran pada beberapa tipe luapan memberikan hasil panen jagung Sukmaraga pada tipe luapan C/D berupa panen pipilan 7,9 ton per ha (Hatta et al. 2009) sedangkan produksi kedelai varietas Wilis umumnya masih relatif rendah 1–1,5 ton per ha (Ramli et al. 1997). Salah satu cara dalam meningkatkan efisiensi lahan adalah pola tanam intercropping (tumpangsari). Tumpangsari adalah kegiatan penanaman dua atau lebih dari jenis tanaman pada lahan dan waktu yang relatif bersamaan atau hampir bersamaan dengan alasan utama adalah untuk meningkatkan produktivitas per satuan luas (Kassam 1976; Francis 1986 dan Sullivan 2003). terutama untuk mengatasi tanah bongkor setelah panen yang secara umum produksi padi 2–3 t/ha GKP dan hanya satu kali tanam dalam setahun IP = 100 (Susanto 2010). Keuntungan dalam pemanfaatan lahan pada tumpangsari yaitu sumberdaya pertumbuhan seperti cahaya, air, hara lebih efisien pada masing-masing yang ditumpangsarikan secara kompetitif seperti tingkat perkembangan kanopi, lebar dan tinggi kanopi, adaptasi kondisi radiasi, dan kedalaman perakarannya (Kipkemori et al. 1997)

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013

735

Kedelai merupatttkan tanaman kacang-kacangan yang mampu memfiksasi nitrogen bebas dari udara dengan bantuan bakteri Rhyzobium japonicum, sedangkan jagung merupakan tanaman yang efisien dalam penggunaan air, titik kompensasi CO2 rendah serta titik konpensasi cahaya yang relatif tinggi, sehingga peranan kedelai dalam pola tumpangsari dengan jagung dalam penyediaan unsur hara nitrogen (Coolman dan Hoyt 1993). Beberapa mikroorganisme seperti bakteri, fungi dan streptomycetes diketahui mempunyai kemampuan melarutkan P yang terikat dalam tanah (Subba Rao 1982). Selain itu bahan organik dapat meningkatkan P tersedia di dalam tanah karena dapat menghasilkan asam organik yang dapat meningkatkan kelarutan P (Sofyan et al. 2000), selain itu juga dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah (Boggs et al. 2000 dalam Noor 2006). Keuntungan secara agronomis dari pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dievaluasi dengan menghitung Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL). Indeks NKL secara umum didapatkan dengan membandingkan pola tumpang sari dengan monokultur, NKL>1 berarti menguntungkan (Kidane et al. 1990; Kipkemori et al. 1997; Li et al. 2001; Suwarto et al. 2005; Ghulamahdi et al 2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggap pertumbuhan dan hasil kedelai pada tumpangsari jagung–kedelai dengan pengaturan jarak tanam kedelai diantara tanaman jagung dengan pemberian pupuk yang diperkaya dengan mikroba.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di kebun petani desa Banyu Urip Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Karakteristik iklim: hujan tropis, dengan suhu rata-rata 27 oC, kelembaban relatif 87%, zona iklim Oldeman Agroklimat C, dengan musim hujan 5–6 bulan (>200 mm per bulan), 1–2 BK (<100mm per bulan); curah hujan rata-rata 2400 mm, MH terjadi bulan Oktober – April dan MK Mei – September, dengan ketinggian 0,5–2,25 dpl. Penelitian dilakukan bulan Mei sampai Oktober awal 2012. Kriteria analisis tanah (Hardjowigeno 1986) pH 4,54 (masam); C-organik 4,73% (tinggi); N-total 0,35% (tinggi), P-Bray I 40,20 ppm (sedang); K-dd 0,58 me/100g (sedang); Na 0,65 (sedang); Mg 1,17 (sangat rendah); KTK 30,45 (sangat tinggi); Al-dd 1,28 (dalam me/100g) (sangat rendah); % fraksi tekstur : pasir 25,93; debu 36,48; liat 37,59 (Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Unsri Juli 2012). Percobaan ini menggunakan benih kedelai Anjasmoro dan jagung Pioner, pupuk yang diperkaya dengan mikroba H1 yaitu hayati BioP (kandungan berbagai mikroba, unsur hara makro dan mikro), H2 Azospirillum (mengandung mikroba Azospirilum dan Azotobacter), H0 pupuk NPK sebagai kontrol. Penelitian ini disusun dengan Rancangan Petak Terbagi (Split plot Design). Sebagai petak utama adalah pola pola tanam baris kedelai di antara tanaman jagung, yaitu: masing-masing JK1 (100 x 30 cm/3K), JK2 (70 x 30 cm/2K) dan JK3 (40 x 30cm/1K). Sebagai anak petak pemberian pupuk yang diperkaya mikroba/hayati yaitu tanpa pupuk hayati (H0), (H1) BioP, pupuk hayati Azospirillum (H2) dan (H3) pupuk Hayati 1/2 (H1 + H2). Untuk menghitung NKL dilakukan percobaan secara monokultur jagung dan kedelai monokultur. Pemberian bahan amelioran dolomit 500 kg ha–1 (Prastowo et al., 1993) 2 minggu sebelum tanam secara ditebar sepanjang alur baris tanaman. Untuk dosis pupuk kimia 736

Aminah et al.: Tumpangsari kedelai-jagung, jarak tanam, dan pupuk hayati

yang dilakukan dengan cara tugal di kiri dan kanan lubang tanam. Sesuai dengan kebutuhan berdasarkan sifat kimia dan mineralisai tanah pada jagung dan kedelai N urea 300 kg ha–1 2/ 3 dosis pada saat tanam, KCl 150 kg ha–1. Sisa urea diberikan pada 4 minggu setelah tanam (modifikasi untuk tumpang sari dari Nursyamsi dan Suprihati 2005). Pemberian pupuk kandang 4 ton ha–1, SP36 100 kg ha–1 dan pupuk hayati H1 diberikan setelah fermentasi dosis 1 liter dengan pengenceran 6 liter selama 48 jam dengan pemberian disemprot setiap 10 hari hingga 12 MST, sedangkan pemberian pupuk hayati H2 diberikan sesuai dengan dosis aplikasi anjuran produsen yaitu 10 cc per liter per tanaman diberikan setiap 2 minggu hingga 10 MST (vegetatif akhir, mulai berbunga). Pemupukan monokultur jagung diberikan pupuk anjuran urea (43% N) 300 kg/ha, KCl (49,80% K2O) 50 kg/ha, sedangkan SP36 (36% P2O5) 50 kg/ha sedangkan kedelai monokultur 50 kg/ha urea, KCl 50 kg/ha dan 50 kg/ha SP36. Pengamatan pada penelitian ini meliputi pertumbuhan tinggi tanaman, komponen hasil dan hasil serta Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL) jagung dan kedelai menurut persamaan Mead dan Willey (1980) yaitu NKL = Yab/Yaa + Yba/Ybb di mana Yab= hasil tanaman a dalam sistem tumpangsari a dan b; Yba =hasil tanaman b dalam sistem tumpangsari a dan b; Yaa = hasil monokultur tanaman a dan Ybb = hasil monokultur tanaman b. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisis sidik ragam dengan program SAS yang dilanjutkan dengan uji BNJ taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengaturan jarak tanam dan pemberian pupuk yang diperkaya dengan mikroba pada tanaman jagung menunjukkan pengaruh tidak nyata baik pada pengaturan jarak tanam maupun pemberian pupuk mikroba dan interaksinya, sedangkan pada kedelai pengaturan jarak tanam berpengaruh sangat nyata pada tinggi tanaman, jumlah polong isi, berat berangkasan kering, serta berat 100 biji (gram), namun tidak terjadi interaksi baik pada pengaturan jarak tanam maupun pemberian pupuk hayati (Tabel 1). Tabel 1. Nilai F-hitung pengaruh perlakuan jarak tanam dan pupuk hayati terhadap tinggi tanaman terhadap tinggi tanaman, berat berangkasan kering, berat 100 biji pada jagung dan kedelai. Perlakuan

TTJ

BBK

BB

TTK

PI

BBK

BB

J

1,75tn

2,53tn

3,60tn

22,20**

5,69**

11,10**

3,45tn

H

3,01tn

2,24tn

1,53tn

3,60tn

5,56**

6,27**

5,83**

J*K

2,24tn

0,50tn

2,09tn

1,19tn

1,77tn

2,64tn

2,55tn

Keterangan: tn = berbeda tidak nyata; ** berbeda sangat nyata; TTJ=tinggi tanaman jagung; BBK=berat berangkasan kering;BB=berat 100 biji (gram).

Pemberian pupuk yang diperkaya mikroba merupakan alternatif input produksi budidaya tanaman khususnya kegiatan yang menyangkut pemupukan yang berkelanjutan. Tanah sulfat masam umumnya memiliki ketersediaan hara P dan K rendah, namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K nya tinggi, namun hal tersebut sulit diterapkan di lapangan karena rendahnya modal petani. Perlu dilakukan langkah untuk mendapatkan dosis yang optimum agar tercapai efisiensi yaitu melalui penguasaan teknologi agar efisi-

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013

737

ensi pengelolaan hara dan lahan dapat ditingkatkan untuk menunjang akselerasi peningkatan produksi pertanian. Pemupukan pada tanah sulfat masam memerlukan bahan pembenah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanah sehingga produktivitas lahan meningkat. Kandungan mikroba yang ada dalam pupuk hayati memiliki kemampuan mengatasi rendahnya P tersedia akibat pH yang sangat asam pada lahan pasang surut, sehingga dapat diserap oleh tanaman yang juga merupakan salah satu pemecahan masalah peningkatan efisiensi pemupukan P yang aman lingkungan sekaligus dapat menghemat penggunaan pupuk kimia (Saraswati dan Sumarno 2008). Walaupun pada perlakukan pengaturan jarak tanam pada jagung tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun terdapat kecenderungan semakin jarang jarak tanam maka semakin pertumbuhan dan hasil tanaman jagung (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh perlakuan jarak tanam dan pemupukan yang diperkaya mikroba pada tanaman jagung. Perlakuan

Tinggi (cm)

BBK (g)

BB (g)

Produksi (g/petak)

J2

234,7a

184,67ab

29,24a

1774,2a

J3

233,35a

162,83b

29,18a

1802,5a

H0

235,42ab

213,78

23,64a

1641b

H1

235,42ab

174a

28,73a

1428,9b

H2

232,11a

182,89a

29,67a

1752,2ab

H3

236,84b

191,33a

30,73a

2117,8a

Angka yang diikuti huruf berbeda pada perlakuan dan kolom yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata pada BNJ 0.01 J1 = 100 x 30 cm/3K; J2 = 70 x 30 cm/2K; J3 = 40 x 30 cm/1K. Jarak tanam kedelai 30 x 20cm; H0 = pupuk NPK; H1 = BioP; H2 = Azospirillum; H3 = 1/2(BioP+Azospirillum).

Hasil pipilan jagung masih rendah, namun pemberian pupuk kimia yang diperkaya mikroba hayati nyata lebih tinggi hasil pipilan dibandingkan dengan pemberian pupuk NPK (Tabel 2). Penelitian Wu et al (2005) menyebutkan bahwa selain dapat meningkatkan kesuburan tanah, pupuk hayati juga memacu pertumbuhan dan meningkatkan produksi jagung. Pupuk hayati juga berfungsi untuk menekan aktivitas Fe dan Al dengan mengikatnya dalam bentuk ikatan organik kompleks sehingga tidak meracun bagi tanaman (Tisdale dan Nelson 1975 dalam Raihan 2000). Produktivitas jagung tingkat petani pasang surut masih rendah dengan banyak faktor kendala, diantaranya dicirikan oleh kahat N, P dan K serta kemasaman tanah yang tinggi. Upaya untuk meningkatkan penampilan tanaman adalah dengan mengurangi faktor yang membatasi yaitu dengan pemupukan yang didasarkan pada pengetahuan yang mendasar tentang kemampuan suatu jenis tanah untuk menyediakan hara yang dibutuhkan oleh tanaman serta kemampuan untuk menyerap hara (Dahnke dan Olsen 1990). Untuk meningkatkan hasil yang lebih tinggi perlu diberikan pemupukan berimbang antara pupuk hayati dan pupuk an organik (Goenadi et al. 1995). Husen (2009) menelaah efektivitas pupuk hayati komersil, efektif meningkatkan tinggi jagung tetapi tidak nyata meningkatkan bobot tanaman, secara umum pupuk hayati cukup efektif meningkatkan beberapa aspek pertumbuhan vegetatif, namun efektivitasnya memerlukan waktu yang lama karena lambatnya respon tanaman karena diduga terkait dengan kondisi lahan yang selama ini menggunakan pupuk kimia. Edita (2010) pada 738

Aminah et al.: Tumpangsari kedelai-jagung, jarak tanam, dan pupuk hayati

tumpangsari jagung dengan kedelai menunjukkan bahwa pada kerapatan tanaman rendah (jarak tanam terbesar) tidak terjadi kompetisi baik interspesifik maupun intraspesifik. Tabel 3. Pengaruh perlakuan jarak tanam dan pemupukan yang diperkaya mikroba pada tanaman kedelai. Perlakuan

Tinggi (cm)

Polong isi (g)

BB (g)

BBK (g)

J1 J2 J3

84 a 91,28 a 91,5 a

16,08 a 12,71 ab 10,38 b

15 a 11,75 a 10,92 a

15,13 a 14,51 a 9,98 b

H0 H1 H2 H3

87,67 87,13 b 91,53 a 89,38a b

17,14 a 11,48 ab 9,20 ab 14,4ab

16,56 a 11,67 ab 8,78 b 13,22 ab

16,05 a 12,71 ab 10,2 b 13,87 ab

Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada perlakuan dan kolom yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata pada BNJ 0.01. J1 : 100x30cm/3K;J2: 70x30cm/2K; J3 40 x 30 cm/1K.Jarak tanam kedelai 30x20cm; H0: pupuk NPK;H1: BioP; H2: Azospirillum; H3 1/2(BioP+Azospirillum).

Pengaturan kerapatan tanaman atau populasi tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat menekan terjadinya kompetisi tanaman. Berdasarkan hasil analisis keragaman (Tabel 3) menunjukkan bahwa jarak tanam yang lebih luas akan meningkatkan tinggi tanaman. Hal ini disebabkan semakin luasnya jarak tanam akan semakin besar pemanfaatan sinar matahari untuk proses fotosintesa dan juga semakin luas kemungkinan untuk pertumbuhan sebagaimana yang dikemukakan Koswara (1982) menyatakan bahwa kerapatan tanaman mempengaruhi populasi dan koefisien penggunaan cahaya. Pada perlakuan pengaturan jarak tanam yang rapat pada kedelai antar tanaman akan berkompetisi dalam penggunaan air dan zat hara sehingga akan mempengaruhi hasil. Namun pada hasil kerapatan tanaman jagung terendah menyebabkan produksi kedelai semakin menurun, hal ini disebabkan penurunan hasil pada salah satu atau kedua tanaman dalam sistem tumpangsari disebabkan pengaruh penaungan dari salah satu tanaman oleh tanaman lainnya (Willey 1979). Potensi hasil pada sistem tumpangsari legum/non legum tergantung pada pola pertumbuhan, kebutuhan hara dan kesesuaian dari tanaman yang terlibat. Kemampuan pola tanam tumpangsari mampu memperbaiki tingkat kesuburan tanah melalui fiksasi Nitrogen pada tanaman legume dibandingkan dengan monokultur (Martine van Wolfswinkel 2004; Lithourgidis et al. 2011). Pola tanam tumpangsari, perkembangan pertumbuhan akar menjadi lebih penting terutama berkaitan dengan kemampuan akar bersaing untuk menyerap hara. Tanaman dengan perakaran luas akan lebih mampu bersaing dibandingkan dengan tanaman perakaran sempit. Handoko et al. (1978) melaporkan bahwa keberadaan kedelai dalam sistem tumpangsari mengurangi hasil biiji jagung H-6 dan kretek, masing-masing sebesar 10,03% dan 6,36%. Fakta menunjukkan bahwa persaingan dalam tanah yang menyangkut organ akar berpengaruh terhadap hasil tanaman. Pemberian pemupukan NPK dengan dosis 50% dosis anjuran yang diletakkan 15 cm secara larikan di antara jagung kedelai dapat mentolerir dampak persaingan tanaman jagung – kedelai (Zuchri 2006). Dengan kata lain dampak persaingan jagung–kedelai secara tumpangsari dapat diatur dan dikendalikan melalui penempatan dan dosis pemupukan.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013

739

NKL secara umum didapatkan dengan membandingkan pola tumpangsari dengan monokultur, NKL>1 berarti menguntungkan (Kidane et al. 1990; Kipkemori et al. 1997; Li et al. 2001; Suwarto et al. 2005). Tabel 4. NKL pada pemupukan diperkaya mikroba pada jarak tanam 70x30 cm dengan produksi (ton/ha). Perlakuan H0 H1 H2 H3

Monokultur Kedelai 1,94 2,21 1,98 2,19

Jagung 2,55 2,38 2,39 2,52

Tumpangsari Kedelai 1,25 1,48 1,5 1,54

Jagung 2,16 2,12 2,12 2,11

NKL 1,49 1,55 1,63 1,53

Dari hasil biji pada tumpangsari jagung dan kedelai serta monokultur jagung dan kedelai maka diperoleh NKL dengan pemberian pupuk hayati 1,63 lebih tinggi daripada dengan pemberian pupuk NPK dengan NKL 1,49 (Tabel 4).

KESIMPULAN Pemberian pupuk yang diperkaya mikroba/hayati pada tumpangsari kedelai di antara tanaman jagung di lahan pasang surut mampu memberikan hasil yang baik dan berbeda tidak nyata melalui pengaturan jarak tanam yang optimum dengan pemberian pupuk kimia yang diperkaya mikroba untuk keberlanjutan pertanian dengan peningkatan produksi baik pada jagung dan kedelai. Pola tumpangsari jagung kedelai pada lahan pasang surut bisa dilakukan pada musim kemarau dengan pengaturan jarak tanam dan pemberian pupuk hayati sehingga meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) > 200 dengan NKL >1.

DAFTAR PUSTAKA Abdurachman dan E.E. Ananto. 2000. Konsep Pengembangan Pertanian Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Sem Nas Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Bogor, 25–27 Juli 2000. 23 hlm. Adimihardja, A., L.I. Amien, F. Agusdan Djaenudin (Penyunting). 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Bogor. Puslit Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Coolman R.M., and G.D. Hoyt. 1993. Review: Increasing Sustainability by Intercropping. Hort technology. July/Sept. 1993 3 (3). Dent, D. 1986. Acid Phosphate Soils: A base lime for research and development. ILRP Publication 44 Wagenigen. The Netherland. Edita Dwi Jayanti. 2010. Model Tumpangsari jagung Manis (Zea mays saccarata) dengan kedelai (Glycine max (L) Merr) pada Berbagai Sistem Olah Tanah. Skripsi. Univ Hasanuddin. Makassar. Francis, C.A. 1986. Introduction Distribution and Importance of Multiple Cropping In Francis, C.A. (Editor) Multiple Cropping System. P 82–95. Mac Millan Publ. Co. New York. Ghulamahdi M, Melati M. Murdianto. 2009. Penerapan Teknologi Budidaya Jenuh Air dan Penyimpanan Benih Kedelai di Lahan Pasang Surut. Laporan akhir program Insentif Tahun 2009. Kementerian Riset dan Teknologi. Ghulamahdi, M. 2011. Best Practice dalam Budidaya Kedelai di Lahan Pasang Surut. Dep

740

Aminah et al.: Tumpangsari kedelai-jagung, jarak tanam, dan pupuk hayati

Agronomi dan Hortikultura Fakperta IPB. Kong Ilmu Pengetahuan Nas (KIPNAS) 2011. Goenadi, H.D., Siswanto dan Y. Sugianto. 2000. Bioactivation of Poorly Soluble Phosphate Solubibilizing Fungis. Soil Sci. Soc. Am J 64 : 927– 932. Hatta, M., B.H. Sunarminto, B.D. Kertonegoro dan E. Hanudin. 2009. Upaya pengelolaan dan perbaikan lahan pada beberapa tipe luapan untukmeningkatkan produktivitas jagung di lahan rawa pasang surut. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 9(1): 37–48. Husen E. 2009. Telaah Efektivitas Pupuk Hayati Komersil dalam Mewujudkan Pertumbuhan Tanaman. Kassam, A.H. 1973. In search for greater yields with mixed cropping in Northern Nigeria – A report on agronomic work. International Agricultural Research Report, Samaru, Nigeria. Kidane G.A., Adhonon, N., Legesse D., and Woldeyess. 1990. Cereal/Legume intercropping Research in Ethiopia. In Weddington, R.S., A.F.E. Palmer, and O.T. Edjeeds: Research methods for cereal/Legume intercropping. Proc of workshop on research methods for cereal/legume intercropping in Eastern and Southern Africa. Mexico, D.F. CIMMYT. Kipkemori, P.L. Wasike, V.W., Ooro, P.A., Riungu, T.C., Bor, P.K. and Rogocho, L.M. 1997. Effects of Intercropping Pattern on Soybean and Maize Yield in Central Rift Valley of Kenya. CYMMYT. Maas, A. 2003. Peluang dan konsukuensi pemanfaatan lahan rawa pada masa mendatang. Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fak Pertanian UGM, 19 Juli 2003. Yogyakarta. Masganti dan N.Yuliani. 2005. Status hara Tanah di daerah Sentra Produksi Padi Kabupaten Kapuas, Klaimantan Tengah. J. Tanah dan Air 6(1): 18–25. Noor. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. Penerbit Rajawali Press. Jakarta. 241 halaman. Nursyamsi, D. dan Suprihati. 2005. Sifat-sifat Kimia dan Mineralogi Tanah serta Kaitannya dengan Kebutuhan Pupuk untuk padi (Oryza sativa), Jagung (Zea mays) dan kedelai Glycine max). Bul Agron. (33) ( 3) 40–47. Ramli, R., A. Supriyo, M. Thamrin, H.Dj. Noor, H.R. Itjen M.Wilis. 1996. Sumber pertumbuhan Produksi Kedelai di Kalimantan Selatan. Balitra. Banjarbaru. Saraswati dan Suwarto. 2008. Pengaruh pupuk Hayati dalam Meningkatkan Efisiensi Pemupukan dalam Menunjang Keberlanjutan Produktivitas Tanah. J Sumberdaya lahan. 4 Desember 2007. Subha Rao, N.S. 1982. Biofertilizers in Agriculture. Oxford and IBH Publ. Co. New Delhi, Bombay, Calcutta. Sullivan. 2003. Intercropping Principles and production Practices: Agronomy System Guide. http://attra.ncar.org/attra-pub/PDF/intercrop.pdf. Diakses tanggal 11 Nopember 2011. Susanto, R.H. 2010. Pengembangan dan pengelolaan untuk Pertanian Berkelanjutan. Pidato Guru Besar Tetap Ilmu Tanah pada Fakultas Pertanian UNSRI. Palembang. 27/12/2010. Suwarto, S. Yahya, Handoko, M.A. Chozin. Kompetisi Jagung dan Ubikayu dalam Sistem Tumangsari. Bul Agron. 33(2): 1–7. Wiley, R.W. 1979. Intercropping-its importance and research needs. Part, Competition and Yield advantage. Field crop Abstr 32, 1–10. Wu S.C., Cao Z.H., Cheng K.C., Wong M.H. 2005. Effect of Biofertulizer Containing N Fixer and K Solibilizer and A M Fungi on Maize Growth;A Green House trial. 125: 155–166. Zuchri, A. 2006. Minimalisasi Dampak Kompetisi jagung–Kedelai Sistem Tumpanngsari melalui Pengaturan Penempatan dan dosis Pupuk N, P, K. Embryo 3(2): 71–82.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013

741