UMUR FORMASI KEBO BUTAK BERDASARKAN ... - Repository UGM

31 Okt 2014 ... Abstrak. Banyaknya perbedaan pendapat mengenai umur pengendapan Formasi Kebo Butak di daerah Bayat membuat daerah ini menarik untuk di...

14 downloads 676 Views 3MB Size
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

M4P-07

UMUR FORMASI KEBO BUTAK BERDASARKAN NANOFOSIL GAMPINGAN DAERAH BAYAT, KAB. KLATEN, PROVINSI JAWA TENGAH Akmaluddin1*, Rikzan Norma Saputra1 1

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2 Bulaksumur Yogyakarta, *Email : [email protected] Diterima 20 November 2014

Abstrak Banyaknya perbedaan pendapat mengenai umur pengendapan Formasi Kebo Butak di daerah Bayat membuat daerah ini menarik untuk diteliti. Formasi Kebo Butak telah diketahui berumur Oligosen akhir – Miosen awal dengan menggunakan fosil foraminifera, namun penelitian terbaru melaporkan Formasi Kebo Butak sudah diendapkan sejak Eosen Tengah (zona P11). Perbedaan umur yang sangat kontras tersebut dirasakan perlu untuk melihat kembali umur Formasi Kebo Butak dengan metode mikrofosil yang lain. Penilitian ini bertujuan untuk mengevaluasi umur pengendapan Formasi Kebo Butak dengan menggunakan nanofosil gampingan dengan mengambil sampel pada lokasi yang sama dengan peneliti terdahulu yang menggunakan foraminifera. Penelitian mengambil lokasi pada jalur Tegalrejo-Cermo (Baturagung) dan Karangnongko Desa Jarum. Hasil pengamatan nanofosil gampingan pada jalur Tegalrejo memperlihatkan kelimpahan spesies Cyclicargolithus floridanus, Sphenolithus ciperoensis dan Dictyococcites bisecta yang masuk ke dalam zona NN1 (Miosen awal). Jalur Cermo yang merupakan kemenerusan jalur Tegelrejo memperlihatkan kehadiran Discoaster druggii yang merupakan penciri untuk zona NN2. Jalur Karangnongko atau peneliti terdahulu menganggap sebagai jalur Kalinampu yang dinyatakan berumur Eosen Tengah oleh peneliti terdahulu, ternyata menghasilkan umur Miosen Awal atau zona NN1 yang dicirikan melimpahnya spesies Sphenolithus conicus. Lapisan terbawah dari jalur Karangnongko memperlihatkan kemunculan Sphenolithus heteromorphus dan Sphenolithus belemnos yang merupakan penciri umur NN4. Adanya umur batuan yang tua (NN1) menindih lapisan batuan muda (NN4) yang terjadi di Jalur Karangnongko merupakan bukti adanya sesar naik Baturagung. Hasil pengamatan nanofosil di daerah penelitian menunjukkan pengendapan Formasi Kebo Butak terjadi pada Miosen awal atau pada zona NN1-NN4. Hal ini memperlihatkan bahwa awal pengendapan Formasi Kebo Butak jauh lebih muda yaitu Miosen Atas, dalam penelitian ini juga tidak ditemukan adanya indikasi spesies yang berumur Eosen Tengah seperti yang telah disampaikan oleh peneliti terdahulu. Kata kunci: Biostratigrafi, Nannofosil, Formasi Kebo Butak, Pegunungan Selatan.

Pendahuluan Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupun sudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan namun kondisi geologi daerah tersebut masih belum dapat terungkap secara maksimal (Bothe, 1929; Bemmelen, 1949; Sumosusastro, 1959; Sumarso dan Ismoyowati, 1975; Rahardjo, 1983; Toha dkk., 1994; Rahardjo, 2007; Surono, 2009; Akmaluddin, 2011; Novita, 2012). Hal tersebut terbukti dengan masih banyaknya pendapat baru yang berbeda muncul untuk mencoba mengungkap kondisi geologi Pegunungan Selatan. Banyaknya pendapat baru mengenai kondisi geologi di Pegunungan Selatan muncul karena semakin banyaknya data yang

874

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

didapat di daerah tersebut seiring dengan munculnya singkapan-singkapan baru disamping semakin banyaknya penelitian yang dilakukan di daerah yang dahulu belum pernah diteliti. Penelitian mengenai penentuan umur pembentukan formasi ini menjadi menarik dikarenakan terdapatnya perbedaan pendapat mengenai umur pembentukan formasi ini oleh beberapa peneliti pendahulu yang melakukan penelitian mengenai penentuan umur Formasi Kebobutak seperti Bothe (1929), Ismoyowati (1979), Surono dkk. (2006), Akmaluddin (2011), dan Novita (2012). Bothe (1929) menduga bahwa Formasi Kebobutak terbentuk pada Miosen Awal hingga Miosen Tengah atau setara dengan Zona NN1 - NN9 (Martini, 1971). Sumarso dan Ismoyowati (1975) melakukan penelitian pada jalur Sungai Tegalrejo (Jalur Sungai Cermo) dan mengamati kandungan foraminifera kecil yang ada pada jalur tersebut. Dari pengamatannya tersebut didapatkan 5 zona foraminifera plangtonik (Blow, 1969), yaitu Zona P 21 / N 2, Zona P 22 / N 3, Zona P 23 / N 3, Zona N 4, dan Zona N 5. Zona – zona tersebut menunjukkan umur Oligosen Tengah hingga awal Miosen Awal. Rahardjo (2007) melakukan pengamatan kandungan foraminifera plangtonik pada sampel dari Gunung Pegat, Watugajah, dan Pututputri. Dari pengamatan tersebut dijumpai asosiasi spesies Globigerina ciperoensis, Catapsydrax dissimilis, dan Globigerinoides primordius yang menunjukkan Zona P 24 – N 4 atau setara dengan umur Oligosen Akhir – Miosen Awal. Surono dkk. (2006) melakukan pengamatan kandungan nannofosil gampingan pada sampel batuan Formasi Kebobutak dari Perbukitan Jiwo Timur dan didapatkan spesies Sphenolithus moriformis, S. heteromorphus, S. conicus, S. belemnos, Coccolithus miopelagicus, Helicosphaera carteri, dan H. euphratis. Asosiasi tersebut menunjukkan Zona NN 3 atau pada umur Miosen Awal. Akmaluddin (2011) melakukan penelitian terhadap kandungan fosil foraminifera di jalur Sungai Tegalrejo / Sungai Cermo (sama dengan alur Tegalrejo Bawah – alur Tegalrejo Atas pada penelitian ini) bagian bawah, tengah, dan atas. Di sampel bagian bawah dijumpai spesies Catapsydrax dissimilis, Globigerina tripartita, G. binaiensis, G. venezuelana, dan Globorotalia nana. Awal kemunculan dari G. primordius yang dijumpai pada sampel bagia atas menunjukkan Zona P 22 atau Akhir Oligosen (Blow, 1969). Sedangkan pada bagian tengah menunjukkan kehadiran spesies Globigerina ampliapertura, G. venezuelana, G. praebulloides, G. binaiensis, dan G. sellii yang menunjukkan zona P 20 atau Oligosen Tengah (Blow, 1969). Sedangkan pada bagian paling atas dari jalur penelitian dibatasi oleh akhir kemunulan dari G. ampliapertura yang menandakan umur N 5. Pada jalur Sungai Tegalrejo tersebut juga dijumpai spesies rombakan berumur Eosen (akmaluddin, 2011). Novita (2012) membuat biozonasi Formasi Kebobutak di Daerah Kalinampu dan sekitarnya berdasarkan kandungan foraminifera plangtonik dan didapatkan 13 biozona yang menunjukkan Zona P 11 – N 5 yang setara dengan umur Eosen Tengah – Miosen Awal.

Data dan Metodologi Tiga belas (13) conto batuan telah dipilih dan diambil pada tiga lintasan: Tegalrejo, Cermo dan Karangnongko (Gambar 1). Pengukuran stratigrafi dilakukan dengan menggunakan metode tongkat Jacob. Pengukuran stratigrafi dilakukan dengan sekala 1:10 pada jalur yang mengandung batuan bersifat karbonatan dan dengan sekala 1:100 pada jalur yang tidak mengandung batuan yang bersifat karbonatan. Pengambilan sampel batuan dilakukan bersamaan dengan pengukuran stratigrafi terukur. Sampel yang diambil diutamakan yang bersifat karbonatan dan berukuran butir halus. Conto batuan tersebut dipreparasi dengan metode smear slide kemudian diamati dibawah mikroskop polarisasi dengan perbesaran 1000x. Pengamatan setiap slide dilakukan sebanyak 200 medan pandang. Dari hasil pengamatan, memperlihat kelimpahan nannofosil yang beragam mulai jarang sampai melimpah. Dalam 875

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

penentuan umur, penulis memperhatikan awal kemunculan dan atau akhir kemunculan dari spesies nannofosil.

Hasil dan Pembahasan Biostratigrafi Jalur Tegalrejo-Cermo Delapan (8) conto batuan telah dipilih dan diambil pada lintasan Tegalrejo - Cermo untuk dilihat kelimpahan nanofosilnya. Pengukuran stratigrafi pada lintasan ini menghasilkan total ketebalan 510m (Gambar 3), yang terdiri dari litologi batupasir tufan, tuf, serpih dan napal tufan. Nanofosil di jalur ini dijumpai dengan kelimpahan jarang sampai melimpah dengan pengawetan yang baik. Pemuncalan awal dari spesies Discoaster druggii pada jalur ini tepatnya pada jalur Cermo dijadikan biodatum untuk membagi zona di jalur Tegalrejo-Cermo. Berdasarkan biodatum Discoaster druggii maka jalur ini dapat dibagi menjadi dua zona (Tabel 1 dan Gambar 3), yaitu Zona Sphenolithus conicus / NN1 dan Zona Discoaster druggii / NN2, pada umur Miosen Awal.

Zona Sphenolithus conicus / NN 1 Zona ini ditandai dengan awal kemunculan dari Sphenolithus conicus sedangkan bagian atas dari zona ini ditandai dengan awal kemunculan dari Discoaster druggii. Zona ini diwakili oleh sampel T1, T2, T4, dan T6. Asosiasi fosil yang dijumpai di dalam zona ini adalah Coccolithus pelagicus, Cyclicargolithus abisecta, Cyclicargolithus floridanus, Dictyococcites bisecta, Discoaster adamanteus, Discoaster deflandrei, Reticulofenestra dictyoda, Sphenolithus arthurii, Sphenolithus cf. moriformis, Sphenolithus ciperoensis, Sphenolithus moriformis, Sphenolithus small, dan Sphenolithus villae. Pada zona ini dijumpai tiga spesies rombakan, yaitu Reticulofenestra minuta, Reticulofenestra umbilica, Sphenolithus predistentus. Zona Sphenolithus conicus ini dapat disebandingkan dengan Zona Triquetrorhabdulus carinatus/ Zona NN 1 (Martini, 1971) atau dengan Zona Triquetrorhabdulus carinatus (Subzona Cyclicargolithus carinatus) - Zona Discoaster deflandrei / Zona CN 1 (Subzona CN 1a CN 1b) (Okada dan Bukry, 1980). Zona ini mempunyai umur absolut 21 juta tahun yang lalu hingga 24 juta tahun yang lalu (Okada dan Bukry, 1980). Durasi dari zona ini adalah 3 juta tahun(Okada dan Bukry, 1980). Zona Discoaster druggii / NN 2 Zona ini ditandai dengan awal kemunculan dari Discoaster druggii, yang diwakili oleh sampel C1, C3, dan C4. Asosiasi spesies yang dijumpai di zona ini adalah Coccolithus miopelagicus, Coccolithus pelagicus, Coronocyclus nitiscens, Cyclicargolithus abisecta WISE, Cyclicargolithus floridanus, Discoaster adamanteus, Discoaster deflandrei, Discoaster variabilis, Reticulofenestra dictyoda, Sphenolithus ciperoensis, Sphenolithus conicus, Sphenolithus moriformis, dan Sphenolithus small. Pada zona ini dijumpai tiga spesies rombakan, yaitu Cyclicargolithus marismontium, Reticulofenestra minuta, Reticulofenestra umbilica. Zona ini dapat disebandingkan dengan Zona Discoaster druggii/ Zona NN 2 (Martini, 1971) atau dengan Zona Triquetrorhabdulus carinatus (Subzona Discoaster druggi) – Zona Sphenolithus belemnos / Zona CN 1 (Subzona CN 1c) – Zona CN 2 (Okada dan Bukry, 1980). Zona ini mempunyai umur absolut 18 juta tahun yang lalu hingga 21 juta tahun yang lalu (Okada dan Bukry, 1980). Durasi dari zona ini adalah 3 juta tahun (Okada dan Bukry, 1980).

876

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Biostratigrafi Jalur Karangnongko, Jarum Enam (6) conto batuan telah dianalisa kandungan nanofosil di jalur ini. Kelimpahan nanofosil menunjukkan sedang sampai melimpah dengan pengawetan fosil yang baik. Terdapat dua zonasi yang umurnya cukup jauh berbeda di jalur ini, yaitu zona NN1 dan zona NN4 (Tabel 2 dan Gambar 4), dengan posisi terbalik secara stratigrafis. Zona Sphenolithus conicus / NN 1 Zona ini menempati bagian atas dari pengukuran stratigrafi di Dusun Karangnongko, Desa Jarum, Bayat. Melimpahnya spesies Sphenolithus conicus dan Cyclicargolithus abisecta pada pengamatan empat conto batuan mengindikasikan bahwa daerah ini masuk kedalam zona NN1 atau zona Sphenolithus conicus. Spesies lain yang dijumpai di zona ini adalah Sphenolithus moriformis, Discoaster deflanfrei, Cyclicargolithus floridanus, dan Coccolithus pelagicus. Martini (1971) menyatakan zona NN1 dibatasi oleh pemuncalan akhir dari Helicosphaera recta dan batas atas ditandai dengan pemunculan awal druggii. Zona NN1 ini ekuivalen dengan zona CN1 Okada & Bukry (1980), dimana batas bawah ditandai dengan akhir kemunculan dari Sphenolithus ciperoensis dan akhir kemuculan Reticulofenestra bisecta. Zona Sphenolithus heteromorphus / NN 4 Zona ini ditandai dengan pemunculan awal dari spesies Sphenolithus heteromorphus, disamping itu juga dijumpai spesies Sphenolithus belemnos. Kehadiran kedua spesies index ini menunjukkan pada zona Sphenolithus heteromorphus atau NN4 zona Martini (1971). Asosiasi spesies lain pada zona ini yaitu: Discoaster druggii, Discoaster variabilis, Cyclicargolithus abisecta, Cyclicargolithus floridanus dan Coccolithus pelagicus. Martini (1971) menyatakan bahwa zona NN4 ditandai dengan pemunculan akhir dari Sphenolithus belemnos dan dinamakan sebagai Zona Helicosphaera ampliaperta. Zona NN4 ekuivalen dengan zona CN3 oleh Okada & Bukry (1980), yang ditandai dengan pemunculan awal dari Sphenolithus heteromorphus dan dinamai dengan Zona Helicosphaera ampliaperta. Umur absolut dari pemunculan awal Sphenolithus heteromorphus oleh Okada & Bukry (1980) yaitu 15 juta tahun yang lalu.

Diskusi Pada jalur Tegalrejo-Cermo, pengamatan nanofosil menghasilkan umur pada zona NN1-NN2 (Martini, 1971). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang diteliti oleh Sumarso & Ismoyowati (1975) yang menghasilkan zona foraminifera N2-N5 (Blow, 1969), atau ekuivalen dengan zona NP25-NN2 Martini. Nannofosil jalur Karangnongko menghasilkan umur Miosen Awal pada kisaran NN1-NN4. Spesies yang dijumpai pada jalur Karangnongko bagian bawah menunjukkan spesies yang sama seperti yang dijumpai oleh Surono dkk (2006) dengan umur yang sama juga yaitu NN4. Dari hasil pengamatan nanofosil pada dua jalur, Tegalrejo-Cermo dan Karangnongko, menghasilkan umur pada rentang Miosen Awal atau di zona NN1-NN4 Martini (1971). Di jalur Karangnongko bagian bawah dijumpai kontak antara napal tufan dengan Formasi Kebo Butak (Gambar 2). Napal Karangnongko ini mempunyai ciri fisik putih dengan ketebalan 3 meter, cirri fisik ini sangat berbeda sekali dibandingkan dengan napal/serpih yang ada pada Formasi Kebo Butak yang umumnya mempunyai ciri abu-abu kehijauan. Secara umur juga menunjukkan perbedaan umur yang sangat kontras dimana Napal Karangnongko berumur NN4 sedangkan Formasi Kebo Butak diatasnya berumur NN1. Umur yang lebih tua menumpang diatas umur batuan yang lebih muda 877

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

mengindikasikan kemungkinan kontak keduanya sebagai kontak sesar dan menjadi bukti akan adanya sesar naik di Pegunungan Selatan.

Kesimpulam Berdasarkan data di lapangan dan hasil laboratorium, maka bisa disimpulkan: 1. Umur Pembentukan Formasi Kebobutak berkisar antara NN1 hingga NN 4, atau pada Kala Miosen Awal. 2. Biozonasi daerah penelitian dapat dibagi ke dalam tiga zona, yaitu  Zona Sphenolithus conicus / NN1 zona Martini (1971), ekuivalen dengan zona CN1a-CN1b Okada & Bukry (1980) atau N4 zona foraminifera Blow (1969).  Zona Discoaster druggii / NN2 zona Martini (1971), ekuivalen dengan zona CN1c Okada & Bukry (1980) atau N5 zona foraminifera Blow (1969)  Zona Sphenolithus heteromorphus / NN4 zona Martini (1971), ekuivalen dengan zona CN3 Okada & Bukry (1980) atau N7 zona foraminifera Blow (1969). 3. Terdapat satuan Napal tufan dengan umur NN4 yang disebut sebagai Napal Karangnongko yang secara ciri fisik dan umur berbeda sekali dengan napal atau serpih yang ada pada Formasi Kebo Butak. 4. Kontak antara Napal Karangnongko dengan Formasi Kebo Butak diperkirakan sebagai kontak sesar naik.

Daftar Pustaka Bothe, A.CH.G. 1929. Jiwo Hills and Soutern Range, Excurcion Guide. IVth Pacific Sci. Cong, Bandung. Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia Vol I A. Government Printing Office, Amsterdam. Sumosusastro, S. 1956. A Contribution to The Geology of Eastern Djiwo Hills and The Southern Range in Central Java. Department of Geology, Faculty of Science, University of Indonesia. Sumarso dan Ismoyowati, T. 1975. Contribution to The Stratigraphy of The Jiwo Hills and Their Southern Surroundings (Central Java). Dalam : IPA 4th Annual Convention Proceedings. Rahardjo, W. 1983. Paleoenvironmental Reconstruction of the Sedimentary Sequence of The Baturagung Escarpment Gunung Kidul Area Central Java. Proceedings PIT XII Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Yogyakarta 6-8 Desember 1983. Hal 135 - 140. Toha, B., dkk. 1994. Geologi Daerah Pegunungan Selatan: Suatu Kontribusi. Dalam : Proceedings Geologi dan Geoteknik P. Jawa, Sejak Akhir Mesozoik hingga Kuater. Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta. Hal. 19 – 36. Rahardjo, W. 2007. Foraminiferal Biostratigraphy of Southern Mountains Tertiary rocks, Yogyakarta Special Province. Seminar dan Workshop Potensi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah, Yogyakarta. Surono. 2008. Litostratigrafi dan Sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan. Dalam : Publikasi Khusus Geologi Pegunungan Selatan Bagian Timur, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi, Pusat Survei Geologi, Bandung. Hal. 15 – 25. Surono. 2009. Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dalam : Publikasi Khusus Geologi Pegunungan 878

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Selatan Bagian Timur, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi, Pusat Survei Geologi. Hal. 1 – 13. Akmaluddin. 2011. Cenozoic Chronostratigraphy and Paleoceanography of Southern Mountains Central Java, Indonesia. A Thesis (Dr.Eng), Kyushu University, Fukuoka. (tidak dipublikasikan). Novita, D. 2012. Biozonasi Formasi Kebo Bagian Bawah Daerah Kalinampu dan Sekitarnya Bayat Jawa Tengah. Tugas Akhir Tipe Skripsi, Jurusan Teknik Geologi UGM, Yogyakarta. (tidak dipublikasikan). Martini, E. 1970. Standard Tertiary and Quartenary Calcareous Nannoplankton Zonation, Edizioni Tecnoscienza, Rome, Italy. Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocen to Recent Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy, Bronnimann, P. and Renz, H.H. eds., Proceedings of The First International Conference on Planktonic Microfossil, Geneva 1967, Leiden, E.J. Brill. Vol. I Okada, H. dan Bukry, D. 1980. Supplementary Modification and Introduction of Code Numbers to the Low - Latitude Coccolith Biostratigraphic Zonation, Elsevier Scientific Publishing Company, USA. Surono, Hartono, U., dan Permanadewi, S. 2006. Posisi Stratigrafi dan Petrogenesis Intrusi Pendul, Perbukitan Jiwo, Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jurnal Sumber Daya Geologi, XVI (5). Hal. 302 – 311.

879

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Tabel 1. Biozonasi nanofoisil pada jalur Tegalrejo-Cermo

Tabel 2. Biozonasi nanofosil pada jalur Karangnongko, Desa Jarum

880

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 2. Singkapan kontak Formasi Kebo Butak dengan Napal Karangnongko, dengan umur yang berbeda, diduga sebagai bukti adanya sesar naik.

881

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 3. Kolom stratigrafi dan sebaran nanofosil di Jalur Tegalrejo-Cermo.

882

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 4. Kolom stratigrafi dan sebaran nanofosil pada Jalur Karangnongko

883

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

884

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

885