REFORMASI BIROKRASI DAN KKN1 - PERPUSTAKAAN HUKUM

Download dipengaruhi oleh kultur "patron-client relation- ship". Perkembangan sikap dan perilaku masyarakat di Indonesia merupakan contoh sikap dan ...

0 downloads 428 Views 167KB Size
REFORMASI BIROKRASI DAN KKN 1 Oleh : Prof. Dr. Romli Atmasasmita2

A

Refonnasi Birokrasi Sejak era reformasi tahun 1998 dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dilanjutkan dengan Ketetapan MPR Tahun 2000, Ieiah dilaksanakan reformasi dalam bidang hukum, ekonomi, politik dan Hak Asasi Manusia. Reformasi birokrasi luput dari perhatian pemerintah ketika itu, namun demikian Pemerintah bersama-sama DPR Rl hasil reformasi telah menetapkan UU Rl Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN dan lnstruksi Presiden Rl Nomor 30 Tahun 1998 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada masa pemerintahan SBYBudiono, lnpres tersebut diganti dengan In pres Rl Nomor 5 tahun 2004 yang diganti dengan lnpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan sampai saat ini belum ada lnpres baru yang dikeluarkan. Komitmen politik pemerintahan SBY-Budiono tersebut diperkuat dengan ditetapkannya UU Rl Nemer 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelelaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, untuk melengkapi UU Rl Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Rl Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Rl Nemer 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Untuk

menggenapkan pilar negara hukum yang demokratis, Ieiah dHetapkan UU Rl Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan lnfonmasi Publik. UU Rl Nomor 28 Tahun 1999 bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN melalui penerapan prinsip kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, prepersionalitas, prefesienalitas dan akuntabilitas. Dalam undang-undang ini diatur mengenai Hak dan Kewajiban Penyelenggara Negara antara lain berkewajiban melaperkan harta kekayannya dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat; tidak melakukan perbuatan kerupsi, kolusi dan nepetisme. Dalam UU tersebut kemudian diatur peran serta masyarakat; kemudian diperkuat UU Rl Nomor 31 Tahun 1999 yang Ieiah diubah dengan UU Rl Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kerupsi. Perkuatan dimaksud sangat tepa! karena awal perilaku koruptif berada pada birekrasi sehingga melengkapi strategi pencegahannya telah ditetapkan UU Rl Nemer 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Semua langkah hukum pemerintah tersebut telah diperkuat dengan sistem ~check and balances~ yang memadai melalui pembentukan Komisi Ombudsman Nasional serta Komisi Kepolisian, Kemisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial. Bahkan dalam pemerintahan SBYBudiono, berdasarkan Keputusan Presiden Rl

Makalah Disampaikan pada, "Forum Dialog Nasion a I Hukum dan Non-Hukum"; Diselenggarakan BPHN Tanggal5-7 Oktober 2011, di Hotel Bidakara Jakarta Guru Besar Unpad/Anggota Tim Forum Dialog Nasional BPHN

Ma"alah Hukum Nasional

Nomor 37 Tahun 2009 telah dibentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dengan tugas pokok melakukan koordinasi dengan Lembaga Negara dan Penegak Hukum dan Profesi. Merujuk reformasi birokrasi yang telah dilaksanakan pemerintah sejak 13 (tiga belas) tahun yang lalu, sangat jelas bahwa reformasi hukum (baca undang-undang) telah berhasil

kecuali

reformasi

dalam

tata

kelola

pemerintahan yang baik (good governance). Apakah reformasi birokrasi itu? Reformasi itu sendiri identik dengan perubahan menuju

kepada kemajuan dalam bidang tertentu. Reformasi itu sendiri sejatinya adalah perubahan cara pandang atau nilai-nilai lama kepada cara pandang atau nilai-nilai baru tentang sesuatu masalah yang secara nyata tidak membawa kemajuan dalam arti lebih banyak mudarat daripada kemaslahatannya. Perubahan cara pandang atau nilai-nilai baru tersebut tidak terlepas dari banyak faktor baik faktor internal di dalam negeri maupun faktor ekstemal dari perkembangan internasional. Dalam konteks reformasi di Indonesia sejak tahun 1998 perubahan tersebut banyak dipengaruhi oleh perubahan rezim pemerintahan otoritarian kepada pembentukan rezim demokrasi secara khusus dalam bidang ekonomi secara nyata dipengaruhi oleh kepentingan masyarakat internasional dengan pe~anjian perdagangan bebasnya. Reformasi birokrasi dalam kaitan ini seharusnya diartikan perubahan sistem dan manajemen pemerintahan dari tertutup kepada sistem dan manajemen yang dilandaskan pada akuntabilitas, profesionalitas, integritas, dan keterbukaan kepada publik. Pertanggungan jawab aparat birokasi dalam negara hukum demokrasi tidak cukup hanya kepada atasan saja melainkan juga kepada publik selaku pemangku kepentingan yang diakui hak-haknya oleh UUD 1945 dan UU. Perubahan "mindset" tersebut dalam negara hukum demokratis berbeda dengan negara hukum nondemokratis dan otokrasi sehingga sejak tahun 1998 Indonesia memasuki masa transisi di seluruh sektor kehidupan bangsa dan negara. Keadaan masa transisi ini banyak menimbulkan peristiwa konkret baik dalam

bidang ekonomi, hukum, sosial dan budaya yang mencerminkan anomali, atau bahkan skeptis atau pesimis akan kemampuan dan keberhasilan melampaui masa ini sebaikbaiknya bagi kepentingan bangsa dan negara. Optimisme hanya berada pada mereka yang benar bertanggung jawab atas nasib bangsa ini di masa yang akan datang. Di luar dua pandangan ini ada pandangan lain yang mempertahankan status-quo sistem dan manajemen otoritarian yang telah terlanjur dinikmati hasilnya bagi segelintir orang tetapi miskin visi, misi dan loyalitas kepada bangsa dan negara. Reformasi birokrasi yang dimaksud sejalan dengan Tap MPR No. XI Tahun 1998 dan turunannya adalah perubahan terakhir yang saya sebut tadi. Reformasi birokrasi tanpa reformasi hukum sangat mustahil karena setiap kebijakan dalam penataan sistem dan manajemen pemerintahan harus didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku apapun objek yang diatur dalam perundang-undangan tersebut. Reformasi hukum juga tidak akan berhasil mencapai sasaran secara tepat guna dan berhasil guna jika tidak dilandaskan pada politik hukum yang bersendikan asas-asas, kaidah, dan perwujudannya melalui lembagalembaga serta proses-proses yang teratur. Politik hukum dimaksud tidak akan berjalan jika tanpa kekuasaan yang dapat menjalankannya baik dengan atau tanpa paksaan, dan sebaliknya, kekuasaan tersebut harus tetap berjalan dalam rambu-rambu hukum (UU) yang berlaku. Mengapa? Karena hakikat Kekuasaan menurut Mochtar Kusumaatmadja, adalah cenderung akan haus kekuasaan lagi tanpa batas. 3 Persoalan pelik mengenai hubungan hukum dan kekuasaan adalah bagaimana caranya mengatur dan mencegah jalannya kekuasaan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam reformasi birokrasi bukan sekedar melahirkan UU Rl Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, akan tetapi bagaimana menjaga dan memelihara harkat dan martabat penyelenggara negara dalam sistem birokrasi di Indonesia yang mengutamakan etika dalam sistem dan manajemen pemerintahan di segala bidang. Semua perilaku pejabat publik yang

MochtarKusumaatmadja,"Fungsi Dan Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional": Binacipta.

Majalah Hukum Nasional

diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 sesungguhnya berintikan etika bukan hukum

yang saya maksud di atas.4

4.

Penyimpangan prosedur

7.67%

5.

Tidak kompeten

4.47%

Reformasi birokrasi juga telah diperkuat di dalam Strategi Nasional dan Rencana Aksi

6.

Permintaan uang,barang dan jasa 3.99%

7.

lidak patut

2.99%

Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

8.

Tidak memberikan pelayanan

2.64%

(STRANAS PPK) 2011-2014, yaitu sebagai berikut: 1.

Peningkatan Akuntabilitas dan Keterbukaan lnformasi;

2. Penguatan sistem pelayanan dan Pendisiplinan Pengembangan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia; 3.

Peningkatan Anggaran dan Remunerasi;

4.

Transparansi Penanganan Perkara Dalam kenyataannya, praktik reformasi

birokrasi masih mengalami ketertinggalan dibanding dengan reforrnasi di bidang polltik,

ekonomi dan hukum. Birokrasi pemerintah yang tidak efisien menjadi salah satu faktor penghambat utama dalam melakukan aktivitas bisnis di Indonesia. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sendiri mengakui kenyataan di atas dengan mengatakan sebagai berikut: "Sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat, pemerintah belum dapat memberikan pelayanan prima bagi investor yang berbisnis atau akan berbisnis di lndonesia". 5 Pernyataan Menteri di atas diperkuat oleh survei Litbang Kompas diolah dari Laporan Ombudsman Rl Triwulan IV (JanuariDesember) 2010 yang menunjukkan laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku pejabat publik di sejumlah lnstansi dengan kategori perilaku sebagai berikut: 1.

Penundaan berlarut-larut

50.31%

2.

Penyalahgunaan wewenang

16.97%

3.

Keberpihakan

10.99%

Sedangkan jumlah instansi terlapor bervariasi dan terbanyak lnstansi Pemda (31.13%); Kepolisian (21.20%); Pengadilan (13.63%); Badan Pertanahan Nasional (8.44%); Kementerian (7.92%); BUMN/D (5.54%); Kejaksaan (3.61%); TNI ( 1.41%); Perbankan (1.32%); Komisi Negara (1.06%); PTN (0.97%); Non-Kementerian, DPR Rl( 0.18%) lainnya (2.55%). Laporan Ombudsman Rl tahun 2010 (diolah Kompas) menguatkan penilaian lembaga survei internasional dan penggiat anti korupsi yang menempatkan Indonesia dalam posisi negara terkorup. Dalam dua tahun terakhir, lndeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia versi Transparency International (TI) berada pada peringkat angka 2.8 dengan ranking 110 dari sekitar 178 negara pada tahun 2009 dan pada peringkat angka 2.8 dengan ranking 110 dari 180 negara terkorup (2010), Political & Economic Risk Consultancy Ltsd (PERC), menilai Indonesia dengan IPK 8.32 (2009) dan 9.10 (201 0) dan menempatkannya sebagai negara terkorup di Asia, berada di bawah Vietnam dan Filipina. Merujuk pada data Laporan Triwulan IV Ombdusman Rl tersebut di atas, tampak bahwa, suap menempati posisi terendah (6) dibandingkan dengan penyalahgunaan wewenang sehingga laporan triwulan IV Ombudsman Rl tersebut berbeda dengan data perkara suap yang ditangani Kejaksaan dan KPK yaitu lebih banyak pelanggaran Pasal 5 (suap aktif) dan Pasal 11 (suap pasif) dibandingkan dengan tindak pidana korupsi murni (ada unsur kerugian negara) yang diatur

Pasal 34 UU Rl Nomor 25 Tahun 2009: Pelaksanaan Dalam Menyelenggarakan Pelayanan Publik Harus Berperilaku Sebagai Berikul: Adil Dan Tidak Diskriminatif, Cermat, Santun Dan Ramah,Tegas, Andal Dan Tidak Memberi Putusan Berlarut-larut, Profesional, Tidak Mempersulit, Patuh Pada PerintahAtasan Yang Sah Dan Wajar, Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Akuntabilitas Dan lntegritas lnstitusi Penyelenggara, Tidak MembocorKan lnformasiAtau Dokumen Yang Wajib Dirahasiakan Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku, Terbuka Dan Mengambil Langkah Yang Tepat Untuk Menghindari Benturan Kepentingan, Tldak Menyalahgunakan Sarana Dan Prasarana Serta Fasilitas Pelayanan Publik, Tidak Memberikan lnformasi Yang Salah Atau Menyesatkan Dalam Menanggapi Permintaan lnformasi Serta Proaktif Dalam Memenuhi Kepentingan Masyarakat, Tidak Menyalahgunakan lnformasi, Jabatan, Dan/Atau Kewenangan Yang Dimiliki,Sesuai Dengan Kepantasan Dan Tidak Menyimpang Dengan Prosedur. Harian Kompas Tanggal20 September 2011 him. 5.

Ma-alah Hukum Nasional

dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Rl Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Rl Nomor20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Laporan tersebut di atas membuktikan bahwa reformasi birokrasi masih merupakan pekerjaan rumah pemerintah sejak sekarang dan lima tahun yang akan datang. Kelima belas contoh mengenai kepatutan

perilaku penyelenggara negara tersebuto di atas sejatinya dapat dikembalikan kepada beberapa sifat masyarakat modern yang sampai saat ini dalam sistem birokrasi di ldonesia yang masih merupakan cita-cita (das so/len) atau masih dalam proses; yaitu sebagai berikut: •

Kejujuran (honesty);



Efisiensi (efficient);



Bertepat waktu (punctuality);



Keteraturan (orderliness);



Kerajinan (diligence);



Sifat he mat (thrifty);



Rasional dalam pikiran dan mengambil keputusan;

Kemampuan untuk menangguhkan konsumsi (adanya perspektif masa depan).' Sifat-sifat masyarakat modern sebagaimana dikemukakan di atas seharusnya dapat diwujudkan jika perllaku birokrasi memberikan contoh dan teladan yang baik kepada bawahannya, bukan sebaliknya. Merujuk berbagai laporan kine~a birokrasi Indonesia tersebut di atas membuktikan pula bahwa masalah reformasi birokrasi bukan terletak pada masalah perundang-undangan saja melainkan masalah dalam tataran implementasi dan konsistensi aparatur penyelenggara negara dalam mematuhi asasasas dan tata kelola pelayanan publik sebagaimana telah diatur dalam UU tentang pelayanan publik termasuk sistem pengawasan baik pengawasan internal maupun eksternal.

Dalam konteks implementasi tersebut di atas diperlukan pemahaman yang sama antara penyelenggara negara dan peran pelaksana kontrol eksternal termasuk masyarakat tentang fungsi dan peranan penyelenggaraan negara. Fungsi dan penyelenggaraan negara selain pelaksana adminstrasi pemerintahan juga menciptakan iklim birokrasi yang sehat. Berkaitan dengan implementasi ketentuan pelayanan publik dan sistem pengawasan tersebut maka penjelasan teoritikal hukum diperlukan untuk menemukan solusi dari masalah yang dihadapi dalam reformasi birokrasi. Fungsi dan peranan hukum (undangundang) sebagai sarana pembaruan masyarakat dan birokrasi (a tool of social and bureucratic engineering)8 , sebut Model Hukum Pembangunan Jilid II; relevan dengan kultur birokrasi Indonesia yang masih banyak dipengaruhi oleh kultur "patron-client relationship". Perkembangan sikap dan perilaku masyarakat di Indonesia merupakan contoh sikap dan perilaku birokrasi yang korup sebagai contoh, perilaku suap dan gratifikasi yang telah merupakan tindak pidana sampai saat ini sulit dihilangkan dari interaksi masyarakat dan penyelenggara negara pada seluruh lapisan birokrasi dari pusat sampai ke daerah. Dalam konteks inilah, tepat kiranya kekhawatiran Satjipto Rahardjo (Aim) dengan mengutip pendapat Olati, dampak negatif dari konsep hukum sebagai rekayasa sosial, yaitu te~adinya "dark-engineering"9 • Kondisi "dark engineering" dari fungsi hukum dalam masyarakat hanya dapat te~adi jika dari pihak masyarakat sendiri beranggapan bahwa semua produk kebijakan pemerintah termasuk undang-undang/perpres dll sama sekali tidak pro-rakyat. Persepsi masyarakat ini cocok dengan pemikiran aliran postmodernisme 10 yang merupakan referensi lahirnya teori chaotic hukum 11 dan teori Dekonstruksi hukum. 12 Pandangan aliran postmodernisme selalu bertolak belakang dengan pandangan rasionalisme hukum dan

lihat Catalan Kaki Nomor 4 Mochtar Kusumaatmadja; Op.Cit. him. 12 RomliAtmasasmita, "Model Hukum Pembangunan Dan Model Hukum Pembangunan Generasi II", Dalam "Giobalisasi Dan Kejahatan Bisnis"; Prenada; Cetakan Ke 1; 2010; him. 9-19. Satjipto Rahardjo, "Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia"; Genta Publishing; 2009; him. 3 " Christopher Butler,".Postmodemisme"; Oxford University Press; 2002 11 Charles stamford, "The Disorder Of Law: A Critique Of Legal Theory"; Blasil And Blackwil, Oxford, 1998 "' Dikulip Dari J.M.Balkm,"Deconstructive Practiceand Legal Theory"; 96 Yale law Journal743 (1987)

Majalah Hukum Nasional

perkembangan evolusi termasuk perkembangan sistematika hukum. Pandangan ini cenderung memahami keberadaan hukum dalam masyarakat secara skeptis dan pesimis, dan puncak dari dua sikap tersebut adalah apa yang disebut dengan nihilisme hukum. Kekhawatiran Satjipto Rahardjo mengenai penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial semakin nyata mengingat kelima belas perilaku yang dianggap pantas dan wajib dilaksanakan oleh penyelenggara negara dalam UU Pelayanan Publik masih merupakan masalah dan tantangan yang belum dapat diselesaikan sampai saat ini. Fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional saat ini dan ke depan adalah memberikan jaminan agar perubahan sikap dan perilaku baik penyelenggara negara dan masyarakat; dapat berjalan tertib dan teratur sehingga diharapkan dapat menciptakan sistem birokrasi yang sehat, berwibawa dan bebas KKN. Sikap dan perilaku penyelenggara negara dan masyarakat secara timbal balik merupakan conditio sine qua non dalam mencapai cita-cita sistem tata kelola pemerintah yang baik dan bebas KKN; apakah dapat dipenuhi dalam kurun waktu lima atau sepuluh tahun ke depan, sangattergantung dari banyak hal, antara lain, remunerasi diikuti rasionalisasi jumlah PNS; merrit-system dalam promosi dan mutasi serta demosi Penyelenggara Negara; sistem rekrutmen yang transparan, profesional dan akuntabel, dan kebijakan yang konsisten dan tidak diskriminatif dalam pelaksanaan "reward and punishmenf' terhadap pelanggaran setiap UU oleh penyelenggara negara. Faktor kondisional yang mempengaruhi pencapaian sistem birokrasi yang sehat, berwibawa dan bebas KKN tersebut di atas memerlukan komitmen politik pemerintah yang kuat, berani dan didukung oleh seluruh elemen bangsa termasuk partisipasi publik yang sadar hukum.

B. Mewujudkan Sistem Birokrasi yang Sehat, Berwibawa dan Bebas KKN melalui Perundang-undangan Reformasi birokrasi dalam sistem pencegahan dan pemberantasan KKN berada

pada bagian hulunya sedangkan penghukuman berada pada bagian hilimya sehingga dapat dikatakan bahwa reformasi birokrasi merupakan strategi pencegahan dan penghukuman merupakan strategi pemberantasannya. Oua strategi tersebut merupakan conditio sine qua non keberhasilan menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa be bas KKN. Dua strategi terse but sama pentingya tidak ada nilai lebih satu dari yang lainnya karena seberapa besar komitmen dan tindakan penghukuman dilaksanakan tetap saja tidak akan pernah selesai selama reformasi birokrasi tidak dituntaskan dengan sebaik-baiknya; ibarat "air (kotor) selalu mengalir dari hulu ke hilir bukan sebaliknya". Sejak awal pengetahuan kita tentang hukum yang dipengaruhi oleh ajaran Kelsen, tidak pernah kita ketahui bahwa fungsi dan peranan hukum termasuk pencegahan; yang diketahui sejak lama adalah bahwa hukum pidana sebagai alat pemaksa kepatuhan melalui sanksi yang sejalan dengan pandangan Austin bahwa hukum adalah perintah penguasa. Dalam konteks pandangan ahli hukum tersebut maka hukum tidak selalu mendapat tempat di dalam perasaan keadilan masyarakat luas. Konsep hukumAustin dan Kelsen yang disebut Hart sebagai primary rules atau perintah penguasa tidak akan efektif menurut Hart, jika tidak diperkuat secondary rules yang meliputi: rules of recognition; rules of change, dan rules of adjudication. 13 Dalam konteks pembangunan nasional khususnya reformasi birokrasi, jika masih ada persepsi di kalangan elit birokrasi dan elit politik bahwa produk undang-undang hanya berlaku untuk masyarakat luas tetapi tidak bagi dirinya sendiri; jelas merupakan persepsi yang keliru karena masih mempertahankan secara total pandangan Kelsen dan Austin tentang konsep Hukum yang kini telah tidak cocok dengan zamannya. Hart menolak pandangan kedua ahli hukum tersebut dan menganggap cacat karena konsep hukum sebagai perintah penguasa, tidak ada kepastian hukum, bersifat statis, dan tidak efisien. 14 Atas dasar pertimbangan dari berbagai pandangan ahli hukum ini, konsep hukum (UU) yang diharapkan memperkuat

n H.L.A.Hart,"The Concept Of Law"; Oxford University Press; 1994; him. 91-99 " Hart, Op.Cit him. 91-92

Majalah Hukum Nasional

reformasi birokrasi adalah, hukum pembangunan yang mengandung prinsip bahwa, (1) hukum harus dipandang sebagai sarana yang dinamis dalam mengatur hubungan interaksi penyelenggara negara dengan masyarakat luas; (2) hukum harus mempertimbangkan realitas interaksi kedua aktor penyelenggaraan negara tersebut dan secara konkret mencegah terjadinya cacat hukum (Hart); (3) hukum harus dipahami sebagai undang-undang atau yurisprudensi atau kedua-duanya; (4) sentral kekuasaan bukan pada pembentukan undang-undang akan tetapi pada putusan pengadilan dengan asumsi bahwa undang-undang rentan terhadap pengaruh kepentingan politik sedangkan putusan pengadilan selalu dibuka dan terbuka untuk kepentingan publik.

Kesepahaman elit politik dan elit birokrasi dalam membangun pemerintahan merupakan kunci keberhasilan pembentukan hukum dan penegakan hukum yang sejalan dengan prinsip negara hukum yang demokratis yaitu: penegakan hukum (rule of law), perlindungan HAM (protection of human rights) , dan akses publik terhadap keadilan (access to justice). Kesepahaman ini tampak bel urn terwujud baik pada pemerintahan Sukamo sampai saat ini. Persoalan mendasar pada tataran kebijakan konsepsional baik aspek politik, hukum dan HAM tampaknya tidak dapat diwujudkan karena pemahaman yang sangat lemah pengambil kebijakan mengenai dua pendekatan penting dalam proses pembentukan perundangundangan yaitu pendekatan proporsionalitas maupun pendekatan subsidiaritas. 16

Dalam konteks reformasi birokrasi yang merupakan strategi pencegahan, fungsi hukum tidak lebih dari memperkuat dan mengawasi etika dan tanggung jawab profesi penyelenggara negara semata-mata; hukum bersifat ultimum remedium. Letak kesulitan fungsi dan peranan hukum dalam konteks pengawasan dan perkuatan etika dan tanggung jawab penyelenggara negara tersebut adalah masih ada perbedaan pendapat para ahli hukum Indonesia tentang tanggung jawab hukum penyelenggara negara; apakah kebijakan pemerintah khusus penyelenggara negara termasuk ranah hukum administrasi negara atau ranah hukum pidana. Perdebatan ini sering terjadi dalam kasus korupsi terkait perpajakan dan pengadaan barang dan jasa. 15

Kedua pendekatan tersebut terbukti kurang dipertimbangkan secara hati-hati dalam proses legislasi di Indonesia karena tampaknya perencanaan pembentukan perundangundangan didasarkan pada kebutuhan yang bersifat sektoral dan sering bersifat adhoc tanpa memperhatikan persinggungannya dengan sektor lain yang relevan. Peristiwa tumpang tindih dan "over-regulasi~ secara empirik membuktikan kelemahan prolegnas dalam mengkaji dua pendekatan di atas. Dampak negatif ikutan dari kelemahan ini adalah kerugian selalu menjadi beban pencari keadilan dan pada masyarakat luas, bukan pada aparatur penyelenggara negara. Contoh, UU Rl Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian UangY UU Rl Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menetapkan 7(tujuh) asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

Kerancuan pemahaman tanggung jawab kebijakan pemerintah dilatarbelakangi oleh eforia pergerakan reformasi total di Indonesia yang lahir sebagai reaksi dan konsekuensi legis dari sistem otoritarian selama orde baru. "

UU Rl Tentang Ketentuan Umum Dan Tala Cara Perpajakan Tidak Jelas MengaturApakah Sanksi Oalam UU Tersebut Merupakan Ranah Hukum Administrasi Atau Ranah Hukum Pidana. UU Rt Nomor 17 Tahun 2006 Tenlang Perubahan UU Rl Nomor 10 Tahun 1995 Tenlang Kepabeanan,Tidak JelasApakah Sanksi Di Dalam UU Tersebul Termasuk Ranah Hukum PidanaAtau Hukum Administratif '" Meminjam Pendapat Remmelink, Asas Proporsionalitas Dicontohkan Mengapa Harus Membakar Lumbung Padi Untuk Membunuh Seekor Tikus; Asas Subsidiaritas Dimaksud Adalah Kebijakan Perundang-undan9an Harus Rasional Dan Mempertimbangkan Risiko Terkecil Sebagai Dampak Ditetapkannya Suatu Perundang-undangan. Bandingkan Kedua Asas Pembentukan Hukum Pidana lni Dengan Asas Pembentukan Perundang-undangan Yang Diatur Dalam UU Rl Nomor 12Tahun 2011. 11 Pasal26 Jo Pasal23 s.d. Pasal25 Yang Memerintahkan Lembaga Penyedia Jasa Keuangan Untuk Melaksanakan Penundaan Transaksi Keuangan Selama 5 (Lima) Harl Dang an Alasan (A) Nasabah Melakukan Transaksi Yang Diduga Menggunanakan Haria Kekayaan yang Berasal DariT1ndak Pidana; (B)Memiliki Rekening Untuk Menampung Haria Kekayaan Tersebut; (C) DiketahuiAtau Patut Diduga Menggunakan Dokumen Palsu. Inti Kelemahan Ketentuan lni Dari Sisi Asas Proporsionalitas Dan Subsidiaritas; Adalah Pelimpahan Wewenang Kepada Lembaga Penyedia Jasa Keuangan Untuk Melakukan "Customer Due Diligence{CDD)"" Bukan Hanya "Know Your Customer"" Dan Wewenang Untuk Me nunda Transaksi Keuangan Seorang Customer Dengan TigaAiasan Terse but Yang Rentan Terhadap Penyalahgunaan Wewenang Serta Berdampak Buruk Tertladap lklim lnvestasi Di Dalam Negeri Dan Aktivitas Perbankan Secara Menyeluruh.

Majalah Hukum Nasional

a.

Kejelasan tujuan;

b.

Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c.

Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d.

Dapat dilaksanakan;

e.

Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f.

Kejelasan rumusan; dan

g.

keterbukaan.

Ketujuh asasMasas tersebut tampak mendahulukan kepentingan "pemilik kekuasaan" daripada kepentingan warga negara yang akan menjadi subjek bukan objek dari pengaturan dalam suatu perundangundangan. Misalnya, dalam UU tersebut tidak dimuat asas per1indungan HAM khususnya asas non-retroaktif sebagai asas fundamental bagi seluruh bidang hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 dan Perubahannya. 18 Jika meminjam pendapat John Austin dan Kelsen, maka UU Rl Nomor 12 Tahun 2011 masih menganut paham "hukum adalah perintah penguasa" dan tampaknya sulit dikemudian hari dengan undang-undang ini untuk mewujudkan cita-cita "hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat dan birokrasi" dan cita-cita Satjipto Rahardjo, "hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya; hukum harus bernurani". Saya berpendapat bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya memuat juga asas-asas perlindungan HAM sebagaimana saya usulkan di atas karen a HAM merupakan hak dasar yang melekat pada setiap manusia dan bukan pada tempatnya dicantumkan hanya sebagai materi muatan suatu peraturan perundangundangan.19

Merujuk pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, upaya mewujudkan reformasi birokrasi menuju kepada pembentukan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pembentukan perundangM undangan bukan solusi dari masalah birokrasi dan masih memer1ukan sarana prasarana yang didukung dengan teknologi informasi yang modern seperti sisminbakum di kantor Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM, e-ktp dan eMgovernment yang telah dilaksanakan di beberapa pemerintah daerah. Penggunaan sarana informasi teknologi ini merupakan terobosan baru dan seharusnya telah dipersiapkan dan direncanakan sejak te~adinya reformasi tahun 1998. Penguatan reformasi birokrasi melalui perundang-undangan tanpa dukungan teknologi informasi khusus di bidang pelayanan publik secara serius dengan sistem dan mekanisme pengawasan yang ketat tidak akan berhasil menciptakan sistem dan tatakelola pemerintahan yang baik (good overnance). Dalam konteks penggunaan sarana teknologi informasi modern dapat dikatakan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah mengubah "mindset" ketertututpan dan arogansi sektoral yang intinya perubahan sikap dan perilaku yang hanya tunduk dan taat pada sarana lain selain perundang-undangan. Contoh, reformasi birokrasi di dalam pemerintahan Gina saat 1n1 lebjh mengutamakan strategi pencegahan dengan teknologi informasi untuk menghilangkan perilaku dimaksud melalui satu atap pelayanan publik untuk berbagai keperluan masyarakat seperti pembayaran listrik, ledeng, pajak, SIMI STNK dan lain-lain. Strategi pencegahan melalui sarana teknologi tersebut mengikuti sistem pencegahan korupsi di Korea Selatan sehingga dicegah sedini mungkin pejabat publik terjebak dan terjerumus ke dalam perbuatan koruptif.

"' UU Rl Nomor 37 Tahun 2009 Tentang Keimigrasian, Pasal13 Ayat (2) Jo Pasal 11 Ayat (1) Huruf C Tentang Pencegahan, Tidak Ada Kepastian Bates Waktu Pencegahan Yang Diperintahkan Oleh Jaksa Agung Merupakan Ketentuan Yang Mengabaikan Segi Perlindungan HAM Seseorang Tersangka/Terdakwa/Terpidana. " Pasal6 UU Rl Nomor 12 Tahun 2011 Ayat (1 ): Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Harus Mencerminkan Asas: A.Pengayoman, B.Kemanusiaan, C.Kebangsaan.D.Kekeluargaan. E.Kenusantaraan.F.Bhinneka Tunggal lka:GKeadilan.H.Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan.l Ketertiban Dan Kepastian Hukum; Dan/Atau Keseimbangan,Keserasian Dan Keselarasan.

Ma"alah Hukum Nasional

Strategi tersebut dilaksanakan dengan penguatan, merrit-system, reward and punishment tanpa pandang bulu, dan penegakan hukum (UU Anti Korupsi) yang konsisten jika terbukti ada suap. Di Hongkong sistem pencegahan dalam sistem pemerintahan khusus bidang pelayanan publik diperkuat dengan sistem remunerasi yang sangat baik yaitu gaji seorang pegawai

negeri sama besar dengan pegawai swasta bahkan gaji seorang polisVjaksa dan ICAC (KPK Hongkong) sama dengan seorang direktur sebuah BUMN. Akhimya penutup dari uraian ini, saya per1u menegaskan bahwa dalam rangka melaksanakan reformasi birokrasi di Indonesia untuk mencegah KKN , reformasi birokrasi tidak dipahami sebagai, "a means to an end, akan tetapi harus dipahami sebagai "an end in itself'

Ma"alah Hukum Nasional