SELEKSI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA UNTUK PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT EMBUN BULU (Pseudoperonospora cubensis) PADA TANAMAN MENTIMUN
ETIKA AYU KUSUMADEWI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRAK ETIKA AYU KUSUMADEWI. Seleksi Plant Growth Promoting Rhizobacteria untuk Pengendalian Hayati Penyakit Embun Bulu (Pseudoperonospora cubensis) pada Tanaman Mentimun. Dibimbing oleh SURYO WIYONO. Embun bulu merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman buah dan sayur di Indonesia. Penyakit embun bulu pada Cucurbitaceae disebabkan oleh pseudofungi Pseudoperonospora cubensis. Pada penelitian ini digunakan tanaman mentimun sebagai model tanaman penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk eksplorasi dan seleksi plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) untuk pengendalian hayati penyakit embun bulu (P. cubensis) pada tanaman mentimun. Isolasi PGPR dari akar tanaman mentimun, paria, dan jagung dilakukan teknik pengenceran berseri dilanjutkan pencawanan pada media TSA. Pra seleksi dilakukan dengan perendaman benih mentimun dan ditanam pada media WA. Isolat yang dipilih adalah isolat yang meningkatkan pertumbuhan kecambah mentimun. Isolat terpilih yaitu T5, T6, T8, J8, dan P14 digunakan pada uji selanjutnya, yaitu perendaman benih ke dalam isolat terpilih lalu ditanam pada polybag. Percobaan pertama diamati aspek agronomis, percobaan kedua dilakukan inokulasi patogen P. cubensis lalu diamati masa inkubasi, kejadian penyakit, dan keparahan penyakit. Sebagai pembanding adalah formulasi komersial Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa yang diperoleh dari Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, serta kontrol air steril. Perlakuan yang diberikan terdiri atas 7 perlakuan yaitu aplikasi PGPR dan kontrol. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dan data yang diperoleh ditabulasi dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan Statistical Analysis System (SAS) for windows versi 9.1.3, lalu dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Secara umum, bakteri isolat P14 meningkatkan pertumbuhan tanaman, meliputi diameter batang, jumlah daun, bobot basah dan bobot kering akar. Bakteri isolat J8 meningkatkan diameter batang tanaman. Seluruh perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Perlakuan J8, P14, dan PB memperlambat munculnya gejala penyakit embun bulu. Perlakuan T6, J8, P14, dan PB dapat mengurangi tingkat keparahan penyakit dengan tingkat penekanan berturut-turut yaitu 47.56%, 36.48%, 33.86%, dan 49.82%
Kata kunci: embun bulu, Pseudoperonospora cubensis
plant
growth
promoting
rhizobacteria,
SELEKSI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA UNTUK PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT EMBUN BULU (Pseudoperonospora cubensis) PADA TANAMAN MENTIMUN
ETIKA AYU KUSUMADEWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
: Seleksi Plant Growth Promoting Rhizobacteria untuk Pengendalian
Hayati
Penyakit
Embun
Bulu
(Pseudoperonospora cubensis) pada Tanaman Mentimun Nama Mahasiswa
: Etika Ayu Kusumadewi
NRP
: A34070011
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc. Agr. NIP 19690212199203 1 003
Diketahui, Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. NIP 19640204 19902 1 002
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Mei 1989. Penulis merupakan anak bungsu dari dua bersaudara, dari pasangan Adi Joko Purnomo dan Sumirah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Pucungbedug, sekolah menengah pertama di SLTP Negeri 1 Mandiraja, dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Bawang. Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada kurikulum berbasis mayor-minor. Setelah masa Tingkat Persiapan Bersama di IPB, penulis masuk mayor Departemen Proteksi Tanaman (Fakultas Pertanian) dan minor Ekonomi Pertanian (Fakultas Ekonomi dan Manajemen). Penulis berperan aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM-A) periode 2008/2009 dan Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman periode 2009/2010. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan, yaitu sebagai Bendahara 1 olahraga dan seni Faperta (SERIA) tahun 2009, divisi acara pada Green Competition HPT, PJK pada Masa Perkenalan Fakultas Pertanian (MPF) tahun 2009, dan PJK pada Masa Perkenalan Departemen Proteksi Tanaman tahun 2009. Penulis juga pernah dipercaya untuk menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Biologi Patogen, Pengendalian Hayati dan Pengelolaan Habitat, Dasar-dasar Proteksi Tanaman, dan Ilmu Penyakit Tumbuhan Dasar.
PRAKATA Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Seleksi Plant Growth Promoting Rhizobacteria untuk Pengendalian Hayati Penyakit Embun Bulu (Pseudoperonospora cubensis) pada Tanaman Mentimun.” Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah berjasa dalam memberi bimbingan, dukungan, dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc. Agr. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis. 2. Dr. Endang Sri Ratna selaku dosen penguji tamu yang telah memberi masukan dan bimbingan kepada penulis. 3. Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, MSc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 4. Ayahanda Adi Joko Purnomo dan Ibunda Sumirah yang selalu memberi perhatian yang tak terputus, bimbingan, dukungan moral dan spiritual, doa, serta masukan kepada penulis, Kakak penulis Hendrawan Setyo Purwanto dan Fransisca Fitri Kusumawardhani, serta seluruh keluarga besar. 5. Teman-teman PTN 44 khususnya Alchemi Putri JK, Nur’asiah, Nur’ Izza FH, kakak kelas, adik kelas, dan seluruh dosen PTN. 6. Anggota laboratorium Mikologi Tumbuhan (bapak Dadang Surachman, bapak Fajar Rianto, Mba Dian Safitri, Ka Alfian, Mba Arni, M. Julyanda, Veronica) yang telah membantu selama bekerja di laboratorium. 7. Suryana Sanjaya, Amd. dan keluarga besar Sanjaya yang telah membantu dari awal penelitian hingga akhir, serta memberikan semangat terusmenerus kepada penulis, serta seluruh pihak yang telah berjasa yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Akhir kata, skripsi ini penulis serahkan dengan penuh rasa bangga dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai penambah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Proteksi Tanaman. Amiin..
Bogor, Oktober 2011
Etika Ayu Kusumadewi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
x
PENDAHULUAN .................................................................................... Latar Belakang .............................................................................. Tujuan Penelitian ........................................................................... Manfaat Penelitian .........................................................................
1 1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... Penyakit Embun Bulu pada Cucurbitaceae ................................... Gejala Penyakit Embun Bulu ........................................................ Epidemiologi dan Penyebaran Patogen Embun Bulu ................... Pengendalian Penyakit Embun Bulu ............................................. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) ..........................
3 3 3 4 4 6
BAHAN DAN METODE ......................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... Bahan dan Alat .............................................................................. Metode Penelitian .......................................................................... Isolasi Bakteri .................................................................... Uji Pendahuluan ................................................................ Penghitungan Kerapatan Bakteri ........................... Seleksi Awal Bakteri Rizosfer terhadap Kecambah Mentimun ............................................. Uji Reaksi Hipersensitif ......................................... Uji Gram dan Penyimpanan PGPR ....................... Pengaruh PGPR terhadap Pertumbuhan Tanaman Mentimun tanpa Inokulasi Patogen ................................... Penyiapan Media Tanam ....................................... Perendaman Benih Mentimun ............................... Penanaman Benih Mentimun ................................. Pengaruh PGPR terhadap Penyakit Embun Bulu Pada Tanaman Mentimun .................................................. Analisis Data .................................................................................
8 8 8 8 8 9 9
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. Hasil Seleksi Awal Bakteri Rizosfer terhadap Kecambah Mentimun ........................................................ Uji Reaksi Hipersensitif ......................................... Uji Gram PGPR ..................................................... Pengaruh PGPR terhadap Pertumbuhan Tanaman tanpa Inokulasi Patogen .....................................................
14
9 9 10 10 10 10 11 11 13
14 15 16 16
vii
Pengaruh PGPR terhadap Penyakit Embun Bulu .............. Masa Inkubasi ........................................................ Kejadian Penyakit dan Keparahan Penyakit .......... Bobot Tanaman, Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Dan Diameter Batang pada Tanaman yang Diinokulasi Patogen ............................................... Pembahasan ...................................................................................
21 22 23
25 28
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. Kesimpulan .................................................................................... Saran ..............................................................................................
32 32 32
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
33
LAMPIRAN ..............................................................................................
35
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perlakuan PGPR yang diujikan .....................................................
11
2
Hasil Seleksi Awal Bakteri Rhizosfer Terhadap Kecambah Mentimun ....................................................
14
3
Hasil Pengujian Reaksi Hipersensitif PGPR .................................
15
4
Tinggi Tanaman Mentimun pada Berbagai Perlakuan PGPR ............................................................
18
Diameter Batang Tanaman Mentimun pada Berbagai Perlakuan PGPR ....................................................
18
Pengaruh PGPR terhadap Rata-rata Jumlah Daun, Panjang Daun, dan Volume Akar Tanaman Mentimun ................
19
Pengaruh PGPR terhadap Rata-rata Bobot Basah Tajuk dan Akar Tanaman Mentimun .......................................................
20
Pengaruh PGPR terhadap Rata-rata Bobot Kering Tajuk dan Akar Tanaman Mentimun .......................................................
21
Masa Inkubasi Penyakit Embun Bulu pada Berbagai Perlakuan PGPR ....................................................
22
Pengaruh PGPR terhadap Kejadian Penyakit Embun Bulu pada Tanaman Mentimun ..............................................................
24
Pengaruh PGPR terhadap Keparahan Penyakit Embun Bulu pada Tanaman Mentimun ..............................................................
25
Pengaruh PGPR terhadap Rata-rata Bobot Basah Tajuk dan Akar Tanaman setelah Inokulasi Patogen .....................................
26
Pengaruh PGPR terhadap Rata-rata Bobot Kering Tajuk dan Akar Tanaman setelah Inokulasi Patogen .....................................
26
Pengaruh PGPR terhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, dan Diameter Batang Tanaman Mentimun Setelah Inokulasi Patogen .............................................................
26
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
DAFTAR GAMBAR
1 2
3 4
Halaman Hasil Pengujian Seleksi Awal terhadap Kecambah Mentimun ....... 15 Hasil Pengujian Reaksi Hipersensitif Bakteri T5, T6, T8, J8, P14 dan Kontrol terhadap Daun Tembakau setelah Inkubasi Selama 24 Jam ...........................
16
Perbandingan Akar Tanaman Mentimun pada Berbagai Perlakuan .................................................................
21
Gejala Penyakit Embun Bulu 4 HSI pada Berbagai Perlakuan .......
23
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penyakit embun bulu merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman buah dan sayur di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh patogen dari kingdom Chromista, kelas Oomycetes (Tjahjadi 1989). Mentimun, melon, dan paria merupakan jenis buah dan sayur yang termasuk ke dalam famili Cucurbitaceae. Seperti halnya tanaman lain, tanaman dari famili Cucurbitaceae juga rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. Serangan penyakit embun bulu sangat perlu diwaspadai karena selain mengganggu pertumbuhan juga dapat menurunkan hasil produksi panen. Penyakit embun bulu pada Cucurbitaceae disebabkan oleh patogen Pseudoperonospora cubensis Rostow. Penyakit ini dapat menurunkan kualitas dan hasil panen 80% hingga 90% (Lebeda 1991). Gejala yang muncul adalah daun terlihat kering, membusuk, lalu mati dengan cepat (Wang et al. 2008). Selain itu, terdapat bercak kuning agak bersudut karena terbatas oleh tulang daun, jika diamati dengan seksama pada bagian bawah daun terdapat kumpulan spora dan tangkai spora menyerupai bulu (Prabowo 2009). Beberapa cara pengendalian penyakit embun bulu telah dilakukan, diantaranya yaitu penggunaan fungisida, pencabutan bagian sakit, sanitasi, serta pengendalian menggunakan agens hayati yaitu dengan perendaman benih (seed treatment) ke dalam formulasi bakteri antagonis. Akan tetapi, belum ditemukan pengendalian yang secara efektif dapat mengendalikan penyakit embun bulu akibat P. cubensis. Teknologi yang memungkinkan untuk dikembangkan dan relatif aman adalah
pengendalian hayati dengan pemanfaatan plant growth
promoting rhizobacteria (PGPR). PGPR
adalah
bakteri
pengoloni
akar
yang
memberikan
efek
menguntungkan terhadap pertumbuhan tanaman. Pada beberapa penelitian, PGPR telah diteliti mampu memacu pertumbuhan tanaman dan menginduksi ketahanan tanaman sehingga dapat mencegah serangan patogen. Salah satu upaya menginduksi ketahanan tanaman adalah melalui pemanfaatan aktivitas bakteri pemacu pertumbuhan tanaman atau plant growth
2 promoting rhizobacteria (PGPR) (Marwoso 2005). Hingga saat ini penggunaan PGPR di Indonesia sebagai biostimulan dan bioprotektan untuk meningkatkan produksi pertanian masih sangat sedikit, walaupun PGPR berpotensi sangat besar dalam meningkatkan produksi pertanian (Khalimi & Wirya 2009). Penelitian mengenai pemanfaatan PGPR sebagai biostimulan dan bioprotektan sangat penting dilakukan dalam usaha untuk meningkatkan produksi pertanian yang ramah lingkungan.
Penelitian ini menggunakan tanaman mentimun sebagai
model tanaman penelitian.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk eksplorasi dan seleksi plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) untuk pengendalian hayati penyakit embun bulu (P. cubensis) pada tanaman mentimun.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat diketahui jenis PGPR yang dapat digunakan untuk pengendalian hayati penyakit embun bulu (P. cubensis) pada tanaman mentimun secara efektif.
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Embun Bulu pada Cucurbitaceae Penyakit embun bulu pada Cucurbitaceae disebabkan oleh patogen Pseudoperonospora cubensis (Rostow). P. cubensis termasuk ke dalam kingdom Chromista, filum Oomycota, kelas Oomycetes, ordo Peronosporales, famili Peronosporaceae (Volgmayr 2008). Patogen tersebut merupakan parasit obigat yang hanya mampu bertahan pada inang yang masih hidup. Umur spora dari P. cubensis sangat pendek, tidak melebihi 48 jam dan dalam banyak kasus tidak lebih dari beberapa jam setelah terlepas dari sporangiofor (Lebeda & Cohen 2010). Gejala Penyakit Embun Bulu Menurut Semangun (1989), gejala yang ditimbulkan oleh penyakit embun bulu adalah pada permukaan atas daun terdapat bercak-bercak kuning agak bersudut karena dibatasi tulang daun. Pada cuaca lembab pada permukaan bawah daun terdapat kumpulan spora dan tangkai spora menyerupai bulu berwarna keunguan. Gejala lanjut dari penyakit ini dapat mengakibatkan daun menjadi busuk, mengering, dan mati. Pada beberapa Cucurbitaceae, gejala yang tampak akibat P. cubensis berbentuk tidak teratur, bercak lesio berwarna kuning dan dibatasi tulang daun. sedangkan di melon dan semangka, bercak tidak dibatasi oleh urat daun dan lebih melingkar dan tidak teratur (Lebeda & Cohen 2010). Ukuran bercak primer bervariasi antara 3 mm-10 mm. Selama berkembang, bercak menyatu dan membentuk bercak yang lebih besar, dan mungkin akhirnya menutupi seluruh permukaan daun. Ketika konsentrasi inokulum tinggi dan inang dalam keadaan rentan, gejala dapat berupa bercak yang tidak teratur, khlorosis, bahkan lesio nekrosis (Lebeda & Cohen 2010). Gejala pertama muncul 3-4 hari setelah inokulasi pada kerapatan spora 103 spora/cm2 daun (Cohen & Eyal 1977 dalam Lebeda & Cohen 2010).
4 Epidemiologi dan Penyebaran Patogen Embun Bulu Patogen P. cubensis merupakan parasit obligat yang dapat hidup hanya dengan adanya tanaman inang. Daerah yang ditanami tanaman mentimun sepanjang tahun dapat menjadi sumber inokulum utama penyakit embun bulu. Patogen dipancarkan oleh angin, hujan, dan adanya kontak dengan pekerja maupun alat-alat yang digunakan (CABI 2005 dalam Prabowo 2009). Lamanya masa inkubasi dari penetrasi sampai gejala eksternal terlihat yaitu 4-12 hari. Masa inkubasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, banyaknya inokulum virulen, dan resistensi/kerentanan tanaman inang (Lebeda & Widrlechner 2003). Pada tahap awal proses infeksi, suhu yang paling sesuai adalah 25°C-30°C di siang hari dan 10°C-15°C pada malam hari (Palti & Cohen 1980 dalam Lebeda 2010). Kelembaban yang rendah dan kondisi permukaan daun yang kering optimal untuk penyebaran spora dari patogen embun bulu. Sementara suhu dan cahaya kurang mempengaruhi proses penyebaran spora (Cohen 1981 dalam Lebeda 2010). Menurut Lebeda (2010), media penyebaran spora P. cubensis yang paling utama adalah melalui angin, dimana spora dapat menyebar dalam jarak yang jauh. Faktor penyebaran yang lain adalah melalui percikan air. Pengendalian Penyakit Embun Bulu Pengendalian penyakit embun bulu sering dilakukan untuk mencegah patogen P. cubensis muncul dan berkembang sehingga tidak menimbulkan kerugian ekonomi. Shtienberg et al. (2010) dalam Lebeda (2010) menyatakan bahwa Phytophthora infestans pada tomat dan P. cubensis pada mentimun dapat dikendalikan dengan menggunakan mulsa plastik. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh keadaan suhu siang dan malam yang tidak sesuai untuk sporulasi dan perkembangan P. cubensis setelah penggunaan mulsa. Secara kimia, pengendalian patogen embun bulu pernah dilakukan dengan aplikasi formulasi tembaga (Cu) dan fungisida berbahan aktif dithiocarbamat (Lebeda 2010). Fungisida tersebut mencegah perkecambahan dan produksi spora patogen. Akan tetapi, cara tersebut efektif jika aplikasi dilakukan sebelum terjadinya infeksi. Selain itu, resiko terjadinya resistensi patogen terhadap fungisida sangat besar. Menurut Lebeda (2010), resistensi pertama
5 terhadap phenilamides terjadi di Israel pada tahun 1979, hanya dua tahun setelah pengenalan metalaxyl untuk pengendalian P. cubensis. Beberapa pengendalian penyakit embun bulu secara botani pernah dilakukan oleh para peneliti. Sebagai contoh penggunaan ekstrak daun kering Inula viscosa yang terbukti efektif terhadap beberapa cendawan patogen, termasuk cendawan penyabab penyakit embun bulu P. cubensis (Wang et al. 2004 dalam Lebeda 2010). Ekstrak ini bersifat anticendawan dan menghambat perkecambahan spora. Selain itu, menurut Portz et al. (2008) dalam Lebeda (2010), zat allicin volatil antimikroba (diallylthiosulphinate) dari bawang putih (Allium sativum), pada konsentrasi 50-1000 µgml-1, mengurangi keparahan dari P. cubensis pada mentimun sekitar 50%-100%. Pengendalian secara botani sebagai salah satu bagian dari pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan salah satu upaya dalam mengurangi penggunaan pestisida, sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan (Lebeda & Cohen 2010). Pengendalian hayati adalah semua kondisi atau praktik yang berpengaruh terhadap penurunan daya tahan atau kegiatan patogen tanaman melalui interaksi dengan agensia organisme hidup lainnya (selain manusia), yang menghasilkan penurunan keberadaan penyakit yang disebabkan oleh patogen (Soesanto 2008). Menurut Umesha et al. (1998), bakteri rhizosfer Pseudomonas fluorescens teruji mampu menekan penyakit embun bulu pada Pennisetum glaucum (pearl millet) dengan perlakuan benih. Perlakuan benih juga mampu meningkatkan kemampuan berkecambah dan dapat mencegah terjadinya sporulasi patogen penyebab penyakit embun bulu pada Pennisetum glaucum yang disebabkan oleh Sclerospora graminicola Sacc. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang pengendalian penyakit embun bulu menggunakan PGPR. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Niranjan et al. (2003) yang menunjukkan bahwa perlakuan bakteri Bacillus pumilus INR7 dapat melindungi tanaman Pennisetum glaucum dari penyakit embun bulu hingga 57%, diikuti perlakuan bakteri B. pumilus SE34 dan B. subtilis GBO3, dengan tingkat penekanan masing-masing 50% dan 43%. Dalam bentuk formulasi tepung, PGPR Bacillus pumilus INR7 mampu menekan hingga 67%,
6 Bacillus pumilus SE34 menekan hingga 58%, diikuti bakteri B. subtilis GB03 sebesar 56%. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Menurut Fernando et al. (2005) dalam Khalimi & Wirya (2009), adanya dampak negatif dari pestisida maka dibutuhkan teknologi baru untuk meningkatkan
produksi
pertanian
yang
lebih
aman.
Teknologi
yang
memungkinkan untuk dikembangkan dan relatif aman adalah pemanfaatan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). PGPR adalah bakteri pengoloni akar yang memberikan efek menguntungkan terhadap pertumbuhan tanaman. PGPR merupakan rhizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman. Bakteri tersebut mampu mengkoloni perakaran tanaman dengan baik, sehingga akar dapat menyerap sekresi mikroba yang bermanfaat bagi pertumbuhan akar dan mempengaruhi invasi patogen (Soesanto 2008). Secara umum, mekanisme PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah (1) biostimulan, PGPR mampu menghasilkan atau mengubah konsentrasi hormon tanaman seperti asam indolasetat, asam giberelin, sitokinin, dan etilen atau prekursornya (1-aminosiklopropena-1-karboksilat deaminase) di dalam tanaman, tidak bersimbiotik dalam fiksasi N2, melarutkan fosfat mineral, memengaruhi pembintilan atau menguasai bintil akar; (2) bioprotektan, PGPR memberi efek antagonis terhadap patogen tanaman melalui beberapa cara yaitu produksi antibiotik, siderofore, enzim kitinase, parasitisme, kompetisi sumber nutrisi dan relung ekologi, menginduksi ketahanan tanaman secara sistemik (Khalimi & Wirya 2009). Menurut Kloepper (1991) pengaruh PGPR terhadap tanaman secara umum yaitu sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Kelompok Pseudomonas sp. menghasilkan pengkelat Ca2+ yang berguna sebagai pengendalian biologi dan bagi pertumbuhan tanaman. Beberapa strain PGPR memacu pertumbuhan tanaman secara langsung dengan memproduksi metabolit yang merangsang pertumbuhan tanaman sendiri dari mikroflora tanah. Beberapa PGPR dapat digunakan sebagai agens biokontrol untuk menekan atau mencegah serangan patogen. PGPR dapat memproduksi berbagai macam zat kimia yang mampu membatasi serangan patogen ke tanaman secara tidak
7 langsung. Zat kimia tersebut adalah siderofor, IAA (Indole acetic acid), antibiotik, molekul-molekul kecil, dan berbagai macam enzim (Glick & Pasternak 2003). Bacillus dan Pseudomonas sebagai kelompok PGPR merupakan genus yang paling banyak diteliti dan berpotensi tinggi sebagai agens pengendali penyakit tanaman. Keduanya dilaporkan mampu menekan patogen secara langsung dengan mengeluarkan senyawa antibiotik dan induksi ketahanan sistemik pada tanaman (Wardanah
2007).
Selain
itu,
bakteri
Pseudomonas
fluorescens
dapat
memproduksi IAA (indole acetic acid) yang merupakan senyawa pemacu pertumbuhan tanaman (Dey et al. 2004).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian
dilaksanakan
di
Laboratorium
Mikologi
Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai bulan Juli 2011. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel tanah rizosfer yaitu sekitar perakaran tanaman sehat di antara tanaman yang terserang embun bulu, media triptone soya agar (TSA), water agar (WA), media luria bertani (LB), gliserol 40%, KOH 3%, aquades, formulasi komersial PGPR yang mengandung bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa dengan merek dagang “Actigrow” produksi PT. Agrotech Sinarindo. Alat-alat yang digunakan adalah cawan petri, tabung reaksi, labu erlenmeyer, jarum inokulasi, tabung eppendorf, laminar air flow, autoklaf, vortex, mikroskop compound, pipet mikro, spektrofotometer, shaker, haemacytometer, polybag, dan penggaris.
Metode Penelitian Isolasi Bakteri Tanah diambil dari perakaran tanaman sehat di sekitar pertanaman yang terserang penyakit embun bulu. Sampel tanah diambil dari sekitar perakaran tanaman mentimun, paria, dan jagung. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada tanah yang menempel pada perakaran tanaman. Sampel tanah tersebut lalu dimasukkan sebanyak 10 g ke dalam labu erlenmeyer yang telah diisi 90 ml air steril dan dikocok selama 15 menit. Suspensi yang dihasilkan diambil 1 ml dengan pipet mikro dan diencerkan berseri hingga pengenceran 10-7. Masingmasing seri pengenceran tersebut diambil sebanyak 0,1 ml dan dicawankan pada media TSA. Koloni bakteri yang tumbuh dimurnikan berdasarkan bentuk dan warna koloni pada media TSA.
9 Uji Pendahuluan Penghitungan Kerapatan Bakteri Bakteri diambil sebanyak 1 lup lalu dibiakkan ke dalam media LB 5 ml. Kemudian suspensi tersebut dikocok selama 24 jam. Setelah itu suspensi diencerkan berseri hingga 10-8, masing-masing pengenceran diukur nilai OD (optical density) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 610 nm dan dicawankan sebanyak 0,1 ml ke media TSA. Hal ini bertujuan untuk mengetahui nilai OD saat kerapatan bakteri 107 cfu/ml, sehingga mempermudah metode percobaan selanjutnya Seleksi Awal Bakteri Rizosfer terhadap Kecambah Mentimun Seleksi awal dilakukan dengan merendam benih mentimun ke dalam suspensi bakteri. Bakteri diambil sebanyak 1 lup dari media TSA, lalu dibiakkan pada media LB dan dikocok selama 24 jam. Suspensi bakteri diukur tingkat kekeruhannya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 610 nm hingga diperoleh OD 0,25 atau kerapatan bakteri ±107 cfu/ml. Benih mentimun direndam selama 1 jam di dalam suspensi bakteri, lalu ditanam pada media WA di dalam cawan petri lalu diinkubasi selama lima hari. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali, satu cawan berisi 10 benih mentimun. Selanjutnya dilakukan pengukuran panjang batang dan panjang akar. Dari uji tersebut, diambil lima bakteri terbaik yang bersifat nonpatogen dan memacu pertumbuhan batang dan akar. Bakteri yang menekan daya kecambah dan pertumbuhan kecambah berpotensi menjadi patogen sehingga tidak digunakan pada uji selanjutnya. Uji Reaksi Hipersensitif PGPR Terpilih Pengujian reaksi hipersensitif bakteri dilakukan pada daun tembakau (Suwanto 1996). Bakteri dibiakkan pada LB dan dikocok 24 jam, lalu disuntikkan ke daun tembakau sebanyak 1 ml. Bakteri yang mempunyai sifat patogen akan menimbulkan gejala nekrosis pada daun tembakau. Pengamatan dilakukan 24 jam setelah inokulasi.
10 Uji Gram dan Penyimpanan PGPR Terpilih Uji gram pada bakteri digunakan untuk mengetahui jenis gram positif atau negatif suatu bakteri. Pengujian gram menggunakan KOH 3% yang diletakkan pada gelas preparat, lalu dicampurkan bakteri sebanyak satu lup. Gram ditentukan dengan melihat ada atau tidaknya lendir dari campuran bakteri dan KOH 3%. Jika terdapat lendir maka bakteri tergolong ke dalam gram negatif. Jika tidak terbentuk lendir maka bakteri tergolong ke dalam gram positif. Bakteri yang bersifat nonpatogen yaitu T5, T6, T8, J8, P14 (Tabel 2) dibiakkan ke dalam media LB dan dikocok selama 24 jam. Selanjutnya diambil sebanyak 0,5 ml ke dalam tabung eppendorf lalu ditambah gliserol 40%. Selanjutnya biakan disimpan pada suhu -4°C.
Pengaruh PGPR terhadap Pertumbuhan Tanaman Mentimun tanpa Inokulasi Patogen Penyiapan Media Tanam Media untuk perlakuan adalah tanah dan kompos (masing-masing dengan perbandingan 2:1). Selanjutnya tanah dimasukkan ke dalam polybag dan disiram terlebih dahulu supaya lembab sebelum digunakan sebagai media tanam. Perendaman Benih Mentimun Perlakuan yang diujikan adalah perendaman benih ke dalam suspensi bakteri T5, T6, T8, J8, dan P14 yaitu bakteri yang diperoleh dari seleksi awal, sebagai pembanding adalah kontrol tanpa perlakuan bakteri dan PB yaitu PGPR yang telah diformulasi komersial oleh PT. Agrotech Sinarindo yang merupakan formulasi kombinasi bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa. Bakteri diambil sebanyak 1 lup dari media TSA, lalu dibiakkan pada media LB dan dikocok selama 24 jam. Suspensi bakteri diukur tingkat kekeruhannya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 610 nm hingga diperoleh OD 0,25 atau kerapatan bakteri ±107 cfu/ml. Benih mentimun direndam selama 1 jam di dalam suspensi bakteri. Perlakuan benih dengan PGPR dilakukan untuk pengolonian PGPR seawal mungkin pada akar, sehingga akan mencegah pengolonian akar oleh mikroba patogen (Khalimi & Wirya 2009).
11 Penanaman Benih Mentimun Penanaman dilakukan di dua lokasi, percobaan pertama penanaman bertujuan untuk mengukur pengaruh perlakuan PGPR terhadap aspek agronomis, sedangkan percobaan kedua penanaman bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan PGPR terhadap masa inkubasi, kejadian penyakit, keparahan penyakit embun bulu, dan aspek agronomis. Benih yang telah direndam di dalam suspensi bakteri dengan kerapatan 7
±10 cfu/ml selama 1 jam lalu ditanam di dalam polybag yang berisi tanah steril. Pengujian dilakukan dengan 7 perlakuan (Tabel 1). Masing-masing perlakuan dilakukan dalam 3 blok sebagai ulangan, dan masing-masing ulangan terdiri dari 5 unit tanaman. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan setelah tanaman berumur 12 HST (hari setelah tanam) hingga 32 HST. Pemeliharaan dilakukan dengan menyiram tanaman setiap hari untuk menjaga tanah tetap lembab. Ajir dipasang setelah tanaman berumur satu minggu. Parameter yang diamati yaitu tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, panjang daun, volume akar, serta bobot basah dan bobot kering tanaman. Tabel 1 Perlakuan PGPR yang diujikan Percobaan
Perlakuan yang diujikan
K
benih tanpa perlakuan bakteri (kontrol)
T5
bakteri T5
T6
bakteri T6
T8
bakteri T8
J8
bakteri J8
P14
bakteri P14
PB
Pseudomonas fluorescens + Bacillus polymixa
Keterangan: T= bakteri dari perakaran tanaman mentimun, J= bakteri dari perakaran tanaman jagung, P= bakteri dari perakaran tanaman paria, K= kontrol
Pengaruh PGPR terhadap Penyakit Embun Bulu pada Tanaman Mentimun Inokulum P. cubensis diperoleh dari pertanaman mentimun di Kelurahan Situgede, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor. Inokulasi patogen dilakukan setelah tanaman berumur 20 HST, dimana daun pertama hingga daun ketiga telah terbuka sempurna. Daun mentimun yang bergejala dikerok untuk mendapatkan spora dari
12 P. cubensis, lalu dicampur dengan air steril untuk mendapat suspensi spora. Suspensi diencerkan hingga mendapatkan kerapatan spora 9,25 x 104 spora/ml. Kerapatan spora dihitung menggunakan haemacytometer. Suspensi spora dengan kerapatan 9,25 x 104 spora/ml lalu disemprotkan ke permukaan atas dan permukaan bawah daun mentimun sebanyak 25 ml/10 tanaman. Tanaman diinkubasi dalam suatu ruang yang setelah diukur memiliki suhu minimum 24,5ºC dan suhu maksimum 35ºC, dengan kelembaban minimun 33% dan kelembaban maksimum 90%. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan parameter yang diamati yaitu masa inkubasi, kejadian penyakit, dan keparahan penyakit. Sedangkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan bobot tanaman diukur setelah 32 HST atau hari terakhir pengamatan. Rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Sinaga 2006):
Kejadian penyakit =
Keparahan penyakit =
∑nivi
x 100%
NV
keterangan: ni = jumlah tanaman dengan skor ke-i vi = nilai skor penyakit dari i = 0, 1, 2, 3, 4, 5 N = jumlah tanaman yang diamati V = skor tertinggi Skor yang digunakan adalah sebagai berikut: Skor 0 1 2 3 4 5
Luasan bercak (%) 0 0 50
x 100%
13 Analisis Data Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL). Data penelitian ditabulasi dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan Statistical Analysis System (SAS) for windows versi 9.1.3, lalu dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Seleksi Awal Bakteri Rizosfer terhadap Kecambah Mentimun Tabel 2 Hasil seleksi awal bakteri rizosfer terhadap kecambah mentimun Perlakuan T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T10 T12 T9 J1 J5 J6 J7 J8 P2.2 P5 P6 P2.1 P2.3.1 P7 P10 P12 P13 P14 K
Rata-rata panjang batang (cm) 2.30 ± 0.77 2.54 ± 1.31 3.03 ± 1.20 4.19 ± 0.98 4.26 ± 1.18 3.70 ± 1.10 3.98 ± 1.35 3.97 ± 1.81 3.44 ± 1.71 2.99 ± 1.22 2.81 ± 1.04 3.19 ± 1.75 3.40 ± 1.04 3.28 ± 1.37 4.44 ± 1.07 3.63 ± 1.29 3.93 ± 1.82 3.91 ± 0.90 2.11 ± 0.81 3.53 ± 1.44 2.09 ± 0.37 2.21 ± 0.56 2.73 ± 1.28 3.80 ± 1.54 4.54 ± 1.12 3.15 ± 1.00
Rata-rata panjang akar (cm) 3.56 ± 0.98 3.70 ± 1.77 3.98 ± 1.48 5.43 ± 1.64 5.45 ± 1.50 4.38 ± 2.06 4.49 ± 1.74 4.41 ± 2.36 4.28 ± 1.07 3.69 ± 1.58 3.76 ± 1.57 3.51 ± 2.01 4.62 ± 1.56 4.65 ± 1.61 4.44 ± 1.57 4.86 ± 1.94 4.22 ± 1.94 4.91 ± 1.26 3.36 ± 1.07 4.48 ± 1.71 3.34 ± 0.92 3.05 ± 0.95 3.42 ± 1.68 5.48 ± 2.38 6.58 ± 2.18 4.86 ± 2.13
Keterangan: T= bakteri dari perakaran tanaman mentimun, J= bakteri dari perakaran tanaman jagung, P= bakteri dari perakaran tanaman paria, K= kontrol
Isolat yang digunakan adalah 25 isolat yang diperoleh dari tanah rizosfer. Hasil dari seleksi awal bakteri terhadap kecambah mentimun adalah diperoleh lima jenis bakteri yang tidak bersifat patogen dan dapat memacu pertumbuhan kecambah mentimun dibandingkan dengan kontrol. Kelima bakteri tersebut yaitu bakteri T5, T6, T8, J8, dan P14 (Tabel 2). Pada awal pengujian, parameter daya berkecambah juga diamati. Akan tetapi, seluruh benih yang ditanam dapat berkecambah dengan baik (100%). Oleh karena itu, parameter yang digunakan
15 untuk memilih bakteri yang baik adalah dengan mengukur panjang batang dan panjang akar kecambah. Dengan cara mengukur panjang batang dan panjang akar, maka dapat diketahui bakteri yang dapat memacu pertumbuhan atau menghambat pertumbuhan jika dibandingkan dengan pertumbuhan benih kontrol.
a
b
c
d
e
f
Gambar 1 Hasil Pengujian seleksi awal terhadap kecambah mentimun: a. kontrol, b. T5, c. T6, d. T8, e. J8, f. P14 Uji Reaksi Hipersensitif Setelah dilakukan uji hipersensitif, kelima bakteri (T5, T6, T8, J8, P14) tidak menimbulkan bercak nekrosis pada daun tembakau (Tabel 3 & gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa kelima bakteri yang diperoleh dari pengujian sebelumnya tidak bersifat patogen terhadap tanaman. Kelima bakteri tersebut digunakan untuk pengujian selanjutnya. Tabel 3 Hasil pengujian reaksi hipersensitif PGPR Perlakuan T5 T6 T8 J8 P14 K
Patogenisitas -
Keterangan: T= bakteri dari perakaran tanaman mentimun, J= bakteri dari perakaran tanaman jagung, P= bakteri dari perakaran tanaman paria, K= kontrol, (-)= tidak timbul bercak nekrosis
16
Gambar 2 Hasil pengujian reaksi hipersensitif bakteri T5, T6, T8, J8, P14 dan kontrol terhadap daun tembakau setelah inkubasi selama 24 jam Uji Gram PGPR Terpilih Berdasarkan hasil pengujian menggunakan KOH 3%, dapat digolongkan bakteri hasil eksplorasi ke dalam dua golongan, yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Pada bakteri T5, T6, dan T8 terdapat lendir yang lengket dan kental saat dicampurkan dengan KOH 3%. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri gram negatif. Sedangkan bakteri J8 dan P14 merupakan bakteri gram positif karena tidak menghasilkan lendir saat dicampur dengan KOH 3%. Pengaruh PGPR terhadap Pertumbuhan Tanaman tanpa Inokulasi Patogen Pada percobaan pertama benih mentimun ditanam lalu diukur aspek agronomisnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh aplikasi bakteri PGPR terhadap pertumbuhan tanaman. Dari hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman, diperoleh bahwa perlakuan bakteri PGPR yang diberikan tidak berbeda nyata berdasarkan hasil analisis ragam (anova) dengan uji Duncan (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan bakteri yang diaplikasikan terhadap benih mentimun tidak dapat memacu tinggi tanaman. Hasil pengamatan terhadap diameter tanaman menunjukkan adanya perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap diameter batang tanaman mentimun (Tabel 5). Bakteri P14 memiliki pengaruh yang paling nyata dalam memacu perkembangan diameter batang dari umur tanaman 19 HST hingga 31 HST.
17 Bakteri J8 memberi pengaruh nyata terhadap pertambahan diameter tanaman dari umur 24 HST hingga 31 HST. Bakteri T8 hanya menunjukkan perbedaan nyata saat tanaman berumur 24 HST. Sedangkan perlakuan bakteri yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam memacu perkembangan diameter berdasarkan hasil sidik ragam (anova) dengan uji Duncan.
Tabel 4 Tinggi tanaman mentimun pada berbagai perlakuan PGPR Perlakuan T5 T6 T8 J8 P14 PB K
Tinggi tanaman (cm) 12 HST 15 HST 20.27 ± 2.39a 24.82 ± 2.99a 19.43 ± 2.11a 23.84 ± 3.31a 19.30 ± 2.04a 24.39 ± 3.12a 18.69 ± 1.88a 24.36 ± 3.21a 19.55 ± 2.36a 24.72 ± 3.48a 19.11 ± 1.97a 24.46 ± 3.47a 19.42 ± 1.98a 24.54 ± 2.75a
18 HST 31.49 ± 3.84a 30.85 ± 5.04a 31.92 ± 3.85a 30.45 ± 4.28a 31.32 ± 4.81a 32.22 ± 4.56a 31.38 ± 5.63a
Perlakuan T5 T6 T8 J8 P14 PB K
21 HST 39.74 ± 7.16a 38.59 ± 8.59a 39.53 ± 7.05a 36.69 ± 6.21a 38.87 ± 7.42a 39.70 ± 7.25a 39.93 ± 7.56a
Tinggi tanaman (cm) 24 HST 27 HST 49.76 ± 11.85a 62.69 ± 17.56a 47.54 ± 12.93a 58.61 ± 17.41a 50.07 ± 12.66a 61.15 ± 17.73a 45.65 ± 8.27a 56.71 ± 11.82a 49.66 ± 10.86a 63.14 ± 15.35a 50.27 ± 11.03a 61.80 ± 12.86a 49.82 ± 10.82a 60.97 ± 14.31a
30 HST 77.02 ± 19.55a 72.31 ± 19.65ab 74.35 ± 18.20ab 66.21 ± 11.18b 73.25 ± 15.32ab 73.01 ± 16.24ab 71.97 ± 14.35ab
Sumber bakteri: T= bakteri dari perakaran tanaman mentimun, J= bakteri dari perakaran tanaman jagung, P= bakteri dari perakaran tanaman paria, PB= formulasi komersial Pseudomonas fluorescens & Bacillus polymixa, K= kontrol. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Tabel 5 Diameter batang tanaman mentimun pada berbagai perlakuan PGPR Perlakuan T5 T6 T8 J8 P14 PB K
19 HST 5.48 ± 0.49ab 5.36 ± 0.46b 5.53 ± 0.37ab 5.51 ± 0.34ab 5.76 ± 0.49a 5.34 ± 0.38b 5.35 ± 0.36b
21 HST 5.83 ± 0.46b 5.79 ± 0.44b 5.84 ± 0.39b 5.80 ± 0.42b 6.25 ± 0.41a 5.79 ± 0.41b 5.62 ± 0.33b
Diameter batang (mm) 24 HST 26 HST 5.97 ± 0.53bc 6.04 ± 0.52bc 5.98 ± 0.54bc 5.96 ± 0.66bc 6.17 ± 0.45b 6.09 ± 0.52bc 6.15 ± 0.47b 6.23 ± 0.57b 6.61 ± 0.51a 6.62 ± 0.59a 5.93 ± 0.43bc 5.99 ± 0.56bc 5.79 ± 0.44c 5.77 ± 0.46c
29 HST 6.11 ± 0.49bc 6.08 ± 0.58bc 6.10 ± 0.49bc 6.29 ± 0.60b 6.66 ± 0.60a 5.96 ± 0.55bc 5.85 ± 0.47c
31 HST 6.23 ± 0.51bc 6.18 ± 0.57bc 6.26 ± 0.53bc 6.41 ± 0.51ab 6.71 ± 0.58a 6.10 ± 0.48bc 5.97 ± 0.43c
18
Sumber bakteri: T= bakteri dari perakaran tanaman mentimun, J= bakteri dari perakaran tanaman jagung, P= bakteri dari perakaran tanaman paria, PB= formulasi komersial Pseudomonas fluorescens & Bacillus polymixa, K= kontrol. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
19 Pengamatan terhadap jumlah daun pada akhir pengamatan (32 HST), menunjukkan bahwa pada perlakuan bakteri P14 rata-rata jumlah daun berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya perlakuan perendaman benih dengan bakteri P14 dapat memacu pertumbuhan daun. Pada perlakuan lain yaitu T5, T6, T8, J8, dan PB tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah daun (Tabel 6). Pada pengamatan terhadap panjang daun, seluruh perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak memberi pengaruh terhadap panjang daun (Tabel 6). Sedangkan pada pengamatan volume akar, hanya perlakuan P14 yang berbeda nyata dengan perlakuan yang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan bakteri P14 dapat mempengaruhi volume akar (Tabel 6). Perakaran pada tanaman mentimun dengan perlakuan P14 memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan bakteri yang lain (Gambar 3). Tabel 6 Pengaruh PGPR terhadap rata-rata jumlah daun, panjang daun, dan volume akar tanaman mentimun Perlakuan
Jumlah daun
Panjang daun (cm)
Volume akar (ml)
T5
10.47 ± 1.73ab
10.79 ± 0.83a
12.00 ± 3.46b
T6
10.13 ± 1.68ab
10.39 ± 0.99a
13.17 ± 6.93b
T8
10.20 ± 1.37ab
10.85 ± 1.09a
13.33 ± 1.53b
J8
10.27 ± 1.28ab
10.38 ± 0.76a
21.00 ± 2.64ab
P14
10.93 ± 1.22a
10.86 ± 0.65a
28.50 ± 10.5a
PB
10.60 ± 1.24ab
10.57 ± 0.74a
18.00 ± 7.55ab
K
9.87 ± 0.74b
10.47 ± 0.94a
13.83 ± 3.88b
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
20 Pengamatan juga dilakukan terhadap bobot basah dan bobot kering tajuk dan akar. Berdasarkan pengukuran bobot basah tajuk, terlihat penambahan bobot pada perlakuan P14, J8, dan PB, meskipun tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan (α= 5%) (Tabel 7). Sedangkan pada beberapa perlakuan terdapat penurunan bobot basah, tetapi tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan efek negatif terhadap tanaman. Pada pengukuran bobot basah akar, terlihat bahwa perlakuan P14 memberikan pengaruh yang nyata dapat menambah bobot akar dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 7). Pada perlakuan J8 dan PB terlihat bobot akar bertambah meskipun tidak begitu berbeda dengan kontrol. Pada beberapa perlakuan bobot basah akar lebih kecil daripada kontrol, tetapi tidak beda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan dengan taraf nyata 5%. Tabel 7 Pengaruh PGPR terhadap rata-rata bobot basah tajuk dan akar tanaman mentimun Perlakuan
Bobot basah (g) Tajuk
Akar
T5
92.46 ± 3.76a
8.04 ± 3.32b
T6
93.38 ± 21.41a
9.71 ± 6.54b
T8
93.33 ± 17.98a
9.88 ± 0.52b
J8
101.21 ± 5.51a
16.33 ± 3.26ab
P14
112.33 ± 1.25a
23.35 ± 13.00a
PB
100.87 ± 11.02a
13.03 ± 8.00b
K
99.44 ± 11.69a
10.92 ± 3.32b
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Selain pengukuran terhadap bobot basah tajuk dan akar, pengamatan juga dilakukan terhadap bobot kering tajuk dan akar. Dari hasil pengamatan, bobot tajuk tertinggi pada perlakuan P14 meskipun tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 8). Pada beberapa perlakuan yaitu T5, T6, T8, menunjukkan bobot yang lebih rendah daripada kontrol. Akan tetapi, hasil tersebut tidak berbeda nyata berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (α= 5%).
21 Pada pengamatan terhadap bobot kering akar, terlihat bahwa perlakuan P14 menyebabkan pertumbuhan akar meningkat sehingga bobot keringnya berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 8). Sedangkan perlakuan PGPR yang lain menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Tabel 8 Pengaruh PGPR terhadap rata-rata bobot kering tajuk dan akar tanaman mentimun
Bobot kering (g)
Perlakuan
Tajuk
Akar
T5
5.65 ± 1.47b
0.91 ± 0.81b
T6
5.59 ± 2.19b
0.88 ± 0.74b
T8
5.86 ± 1.61b
0.78 ± 0.37b
J8
6.89 ± 0.93ab
1.60 ± 0.86ab
P14
8.44 ± 1.83a
2.42 ± 1.77a
PB
7.43 ± 0.58ab
1.25 ± 0.59b
K
6.62 ± 1.41ab
0.97 ± 0.81b
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
a
b
c
d
e
f
g
Gambar 3 Perbandingan akar tanaman mentimun pada berbagai perlakuan: a. P14, b. PB, c. Kontrol, d. T6 , e. J8, f. T5 , g. T8 Pengaruh PGPR terhadap Penyakit Embun Bulu Pada percobaan kedua, benih mentimun ditanam dengan berbagai
perlakuan PGPR lalu dilakukan inokulasi patogen P.cubensis pada saat tiga daun terbawah telah membuka sempurna (20 HST). Spora patogen P. cubensis dipanen dari daun yang bergejala yang diambil dari lapang. Kerapatan spora dihitung
22 menggunakan haemacytometer hingga kerapatan spora yang diperoleh yaitu 9,25 x 104 spora/ml. Lalu dilakukan pengamatan terhadap masa inkubasi, kejadian penyakit, keparahan penyakit, dan aspek agronomis pada akhir pengamatan. Masa Inkubasi Pengamatan masa inkubasi dilakukan setiap hari, dan dicatat waktu gejala pertama muncul pada tanaman. Pada perlakuan T5, T6, T8, dan kontrol, gejala penyakit embun bulu muncul pada 4 hari setelah inokulasi (HSI). Sedangkan pada perlakuan J8, P14, dan PB, gejala muncul pada 6 HSI (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa masa inkubasi pada perlakuan J8, P14, dan PB lebih lama daripada perlakuan yang lain. Gejala penyakit embun bulu yang muncul setelah inokulasi yaitu terdapat bercak berwarna kuning kecoklatan agak bersudut karena dibatasi tulang daun (Gambar 4). Tabel 9 Masa inkubasi penyakit embun bulu pada berbagai perlakuan PGPR Perlakuan
Masa inkubasi (hari setelah inokulasi)
T5
4
T6
4
T8
4
J8
6
P14
6
PB
6
K
4
Keterangan: T= bakteri dari perakaran tanaman mentimun, J= bakteri dari perakaran tanaman jagung, P= bakteri dari perakaran tanaman paria, PB= formulasi komersial P. fluorescens & B. polymixa, K= kontrol
23
a
b
c
d
e
f
g
Gambar 4 Gejala penyakit embun bulu 4 HSI pada berbagai perlakuan: a.Kontrol, b. T5, c. T6, d. T8, e. J8, f. P14, g. PB Kejadian dan Keparahan Penyakit Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kejadian penyakit, pada perlakuan T5, T6, T8, dan kontrol, gejala muncul pada 4 HSI (Tabel 10). Sedangkan pada perlakuan J8, P14, dan PB gejala belum muncul pada 4 HSI. Pada pengamatan 6 HSI dan 9 HSI, kejadian penyakit yang muncul tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diujikan tidak dapat menghambat terjadinya penyakit pada tanaman secara nyata, tetapi tetapi mampu menunda munculnya gejala penyakit (Tabel 10).
24 Tabel 10 Pengaruh PGPR terhadap kejadian penyakit embun bulu pada tanaman mentimun Perlakuan
Kejadian penyakit (%) 4 HSI
6 HSI
9 HSI
T5
56.67 ± 20.81ab
100.00 ± 0.00a
100.00 ± 0.00a
T6
40.00 ± 20.00b
86.67 ± 11.55a
86.67 ± 11.55a
T8
73.33 ± 23.09a
100.00 ± 0.00a
100.00 ± 0.00a
J8
0 ± 0.00c
85.00 ± 13.23a
85.00 ± 13.23a
P14
0 ± 0.00c
73.33 ± 30.55a
86.67± 23.09a
PB
0 ± 0.00c
73.33 ± 23.09a
80.00 ± 20.00a
100.00± 0.00 a
100.00 ± 0.00a
K
76.67 ± 25.17a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Selain pengamatan terhadap persen kejadian penyakit, pengamatan juga dilakukan terhadap persen keparahan penyakit. Pengamatan dilakukan dengan mengamati tingkat keparahan penyakit menurut skor yang telah ditentukan sebelumnya. Berdasarkan penghitungan, pada 4 HSI tingkat keparahan penyakit terendah adalah pada perlakuan J8, P14, dan PB yaitu sebesar 0%. Selain itu, pada perlakuan T6 juga menunjukkan bahwa keparahan penyakit lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol (Tabel 11). Pada pengamatan 6 HSI, keparahan penyakit lebih rendah daripada kontrol hampir di semua perlakuan kecuali perlakuan T5. Sedangkan pada pengamatan 9 HSI, menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit pada perlakuan T6, J8, P14, dan PB berbeda nyata dengan kontrol. Nilai rata-rata persen keparahan penyakit pada perlakuan-perlakuan tersebut secara umum lebih rendah daripada kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan T6, J8, P14, dan PB dapat menekan keparahan penyakit.
25 Tabel 11
Perlakuan
Pengaruh PGPR terhadap keparahan penyakit embun bulu pada tanaman mentimun Keparahan penyakit (%) 4 HSI
6 HSI
9 HSI
14.76 ± 2.84ab
14.76 ± 2.84abc
T5
4.76 ± 4.01ab
T6
2.67 ± 2.20b
8.45 ± 6.40cd
10.22 ± 7.50bc
T8
5.72 ± 4.41a
12.86 ± 7.14cd
15.71 ± 6.72ab
J8
0 ± 0.00c
9.52 ± 5.67cd
12.38 ± 6.84bc
P14
0 ± 0.00c
8.44 ± 6.00cd
12.89 ± 6.88bc
PB
0 ± 0.00c
6.67 ± 5.63d
9.78 ± 7.06c
6.16 ± 4.27a
17.95 ± 9.18a
19.49 ± 8.80a
K
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Bobot Tanaman, Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, dan Diameter Batang pada Tanaman yang Diinokulasi Patogen Pengamatan aspek agronomis pada percobaan kedua dilakukan pada 32 HST. Dari hasil pengamatan terhadap bobot basah tanaman yang sebelumnya telah diinokulasi patogen P. cubensis, perlakuan tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap bobot basah tajuk (Tabel 12). Sedangkan pada pengamatan bobot basah akar, terdapat satu perlakuan yang berbeda nyata yaitu perlakuan J8. Bobot akar dari perlakuan J8 lebih besar dan berbeda nyata dari kontrol dan perlakuan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan bakteri J8 memberikan pengaruh terhadap perkembangan akar tanaman mentimun. Pengamatan dilakukan juga terhadap bobot kering tajuk dan akar. Berdasarkan hasil pengamatan, semua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering tajuk dan akar (Tabel 13). Berbeda pada pengamatan bobot basah akar dimana perlakuan J8 memiliki bobot basah akar tertinggi dan berbeda nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan air yang lebih tinggi saat dalam keadaan basah, sehingga saat dilakukan proses pengeringan lebih banyak kandungan air yang menguap sehingga mempengaruhi bobot kering akar tanaman pada perlakuan J8.
26 Tabel 12 Pengaruh PGPR terhadap rata-rata bobot basah tajuk dan akar tanaman setelah inokulasi patogen Perlakuan T5 T6 T8 J8 P14 PB K
Bobot basah (g) Tajuk 27.83 ± 10.03a 26.11 ± 2.78a 24.30 ± 2.29a 29.65 ± 2.78a 26.85 ± 1.92a 25.97 ± 8.15a 21.17 ± 5.04a
Akar 1.57 ± 0.61ab 1.43 ± 0.19ab 1.20 ± 0.16ab 1.61 ± 0.15a 1.47 ± 0.35ab 1.37 ± 0.41ab 1.13 ± 0.29b
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Tabel 13 Pengaruh PGPR terhadap rata-rata bobot kering tajuk dan akar tanaman setelah inokulasi patogen Perlakuan T5 T6 T8 J8 P14 PB K
Bobot kering (g) Tajuk 1.86 ± 0.82a 1.65 ± 0.08a 1.64 ± 0.19a 2.03 ± 0.41a 1.88 ± 0.29a 1.59 ± 0.52a 1.33 ± 0.27a
Akar 0.097 ± 0.05ab 0.090 ± 0.01ab 0.057 ± 0.01b 0.097 ± 0.01ab 0.107 ± 0.04a 0.080 ± 0.00ab 0.070 ± 0.01ab
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Tabel 14 Pengaruh PGPR terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, dan diameter batang tanaman mentimun setelah inokulasi patogen Perlakuan T5 T6 T8 J8 P14 PB K
Tinggi tanaman (cm) 53.11 ± 9.68a 52.23 ± 13.74a 50.34 ± 11.07a 58.62 ± 10.19a 51.70 ± 12.55a 53.99 ± 12.67a 49.53 ± 13.86a
Jumlah daun 5.71 ± 1.14ab 5.33 ± 1.39ab 5.07 ± 0.92ab 5.93 ± 0.99a 5.60 ± 1.05ab 5.33 ± 1.34ab 4.85 ± 0.99b
Diameter batang (mm) 4.38 ± 0.43a 3.80 ± 0.62bc 3.77 ± 0.85bc 4.10 ± 0.56abc 4.08 ± 0.48abc 4.15 ± 0.57ab 3.65 ± 0.57c
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
27 Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, dan diameter batang tanaman mentimun. Pengamatan aspek agronomis pada percobaan kedua ini dilakukan pada 32 HST. Pada pengamatan terhadap tinggi tanaman, semua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman. Sedangkan pada pengamatan jumlah daun, perlakuan J8 memberikan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya perlakuan menggunakan bakteri J8, dapat memacu bertambahnya jumlah daun pada tanaman mentimun. Pada pengamatan yang dilakukan terhadap diameter batang, perlakuan T5 dan PB berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 14). Perlakuan T5 dan PB memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perlakuan lain. Hal ini menunjukkan bahwa kedua perlakuan tersebut dapat memacu pertumbuhan diameter batang tanaman mentimun.
Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan pada seleksi awal bakteri rizosfer terhadap kecambah mentimun, diperoleh lima bakteri yang meningkatkan pertumbuhan kecambah dan tidak menghambat perkecambahan yaitu T5, T6, T8, J8, dan P14 (Tabel 2 & gambar 1). Selain itu, kelima bakteri tersebut tidak menimbulkan nekrosis setelah dilakukan uji reaksi hipersensitif terhadap tembakau (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut tidak berpotensi menjadi patogen tanaman, sehingga bakteri tersebut dapat diujikan lebih lanjut pada tanaman mentimun. Menurut Suwanto (1996), pengujian reaksi hipersensitif terhadap tanaman tembakau dilakukan untuk melihat potensi suatu mikroorganisme (bakteri) bersifat patogen atau non-patogen. Apabila timbul bercak nekrosis maka suatu bakteri memiliki potensi sebagai patogen tanaman. Apabila tidak terjadi bercak nekrosis maka bakteri tidak bersifat patogen. Bakteri T5, T6, dan T8 merupakan bakteri gram negatif berdasarkan uji gram menggunakan KOH 3% karena menghasilkan lendir yang kental pada saat pencampuran, sedangkan bakteri J8 dan P14 merupakan bakteri gram positif. Lendir yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif merupakan hasil dari perusakan dinding sel dan pembebasan DNA yang merupakan suatu persenyawaan yang kental (Fahy & Persley 1983). Perlakuan perendaman benih mentimun dilakukan dengan tujuan agar bakteri dapat mengoloni benih dan akar lebih awal. Perendaman benih dilakukan ke dalam suspensi bakteri T5, T6, T8, J8, P14, serta sebagai pembanding adalah kontrol air steril dan PB yaitu formulasi komersial yang merupakan gabungan bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa, lalu benih ditanam dalam polybag. Menurut Chrisnawati et al. (2009) dalam Handini (2011), kombinasi antara Bacillus spp. Bc 26 dengan P. fluorescens Pf 101 mampu meningkatkan bobot kering daun nilam. Berdasarkan pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman mentimun dari 12 HST hingga 32 HST tanpa inokulasi patogen, seluruh perlakuan tidak dapat menambah tinggi tanaman (Tabel 4), panjang daun (Tabel 6), bobot basah tajuk (Tabel 7), dan bobot kering tajuk (Tabel 8). Pada pengamatan diameter batang, bakteri J8 dan P14 memiliki kemampuan meningkatkan pertumbuhan diameter
29 batang tanaman (Tabel 5). Selain itu, tanaman dengan perlakuan bakteri P14 memiliki jumlah daun yang nyata lebih banyak daripada kontrol. Bakteri P14 juga mampu meningkatkan pertumbuhan akar yang ditandai dengan meningkatnya volume akar (Tabel 6), bobot basah akar (Tabel 7), dan bobot kering akar (Tabel 8). Perakaran pada tanaman mentimun dengan perlakuan P14 memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan bakteri yang lain (Gambar 3). Menurut Khalimi & Wirya (2009), secara umum dapat dilaporkan bahwa perbedaan yang nyata antara benih kedelai yang diberi perlakuan PGPR dengan benih yang tidak diberi perlakuan menunjukkan bahwa aplikasi PGPR dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Van Loon et al. (1998) dalam Khalimi & Wirya (2009) yang menunjukkan bahwa perlakuan tanaman tomat dengan rhizobacteria (PGPR) menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dan lebih besar. Salah satu mekanisme PGPR dalam memacu pertumbuhan tanaman adalah sebagai biostimulan, dimana PGPR mampu menghasilkan atau mengubah konsentrasi hormon tanaman seperti asam indolasetat, asam giberelin, sitokinin, dan etilen atau prekursornya (1-aminosiklopropena-1-karboksilat deaminase) di dalam tanaman, tidak bersimbiotik dalam fiksasi N2, melarutkan fosfat mineral, mempengaruhi pembintilan atau menguasai bintil akar (Khalimi & Wirya 2009). Menurut Glick & Pasternak (2003), keuntungan dari mekanisme PGPR dibedakan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Keuntungan secara langsung pada tanaman mencakup mampu memfiksasi nitrogen dan memberikannya pada tanaman, meningkatkan ketersediaan atau menyimpan besi dan fosfor dari tanah, menyediakan mineral-mineral tersebut dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tanaman, mensintesis enzim yang dapat mengatur tingkat hormon etilen tanaman, dan mensintesis fitohormon seperti auksin, sitokinin, atau giberelin yang memicu perkembangbiakan sel tanaman. Pengamatan terhadap masa inkubasi, kejadian penyakit, dan keparahan penyakit dilakukan pada tanaman dengan perlakuan bakteri dan telah diinokulasi patogen P. cubensis untuk mengetahui pengaruh PGPR terhadap penyakit embun bulu pada tanaman mentimun. Pada perlakuan bakteri hasil isolasi tanah rhizosfer,
30 digunakan pembanding yaitu kontrol dan PB yang merupakan formulasi komersial gabungan antara Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa. Handiyanti (2010) menyatakan bahwa kombinasi antara P. fluorescens Pf10 dengan B. subtilis B12 bersifat kompatibel atau sinergis. Kombinasi antar kedua agens biokontrol tersebut mampu menekan perkembangan penyakit busuk lunak pada anggrek. Berdasarkan
pengamatan,
perlakuan
J8,
P14,
dan
PB
mampu
memperlambat masa inkubasi yaitu gejala muncul pada pengamatan 6 HSI. Secara umum, hal ini sejalan dengan pertumbuhan tanaman yang baik pada perlakuan J8 dan P14. Berbeda dengan perlakuan T5, T6, T8, dan kontrol yaitu gejala muncul pada pengamatan 4 HSI (Tabel 9). Kejadian penyakit pada pengamatan 4 HSI terlihat bahwa pada perlakuan T6, J8, P14, dan PB lebih rendah dan berbeda nyata dengan kontrol. Akan tetapi, pada pengamatan 6 HSI dan 9 HSI kejadian penyakit tidak berbeda nyata pada semua perlakuan (Tabel 10). Perlakuan T6, J8, P14, dan PB dapat memperkecil tingkat keparahan penyakit pada 4 HSI hingga 9 HSI (Tabel 11). Glick & Pasternak (2003) menyatakan bahwa keuntungan PGPR secara tidak langsung terjadi ketika mikroba bermanfaat mencegah pertumbuhan patogen yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
normal
tanaman.
PGPR
menghasilkan
siderofor
yang
menghasilkan strain bermanfaat untuk mencegah perkembangan fitopatogen. Menurut Umesha et al. (1998), bakteri rhizosfer Pseudomonas fluorescens teruji mampu menekan penyakit embun bulu pada Pennisetum glaucum (pearl millet) dengan perlakuan benih. Perlakuan benih juga mampu meningkatkan kemampuan berkecambah dan dapat mencegah terjadinya sporulasi patogen penyebab penyakit embun bulu pada Pennisetum glaucum yang disebabkan oleh cendawan Sclerospora graminicola Sacc. Penelitian yang dilakukan Niranjan et al. (2003) menunjukkan bahwa perlakuan bakteri Bacillus pumilus INR7 dapat melindungi tanaman Pennisetum glaucum dari penyakit embun bulu hingga 57%, diikuti perlakuan bakteri B. pumilus SE34 dan B. subtilis GBO3, dengan tingkat penekanan masing-masing 50% dan 43%. Dalam bentuk formulasi tepung, PGPR Bacillus pumilus INR7
31 mampu menekan patogen penyebab embun bulu hingga 67%, Bacillus pumilus SE34 menekan hingga 58%, diikuti bakteri B. subtilis GB03 sebesar 56%. Hasil pengamatan aspek agronomis pada tanaman yang diinokulasi patogen sedikit berbeda dengan pengamatan pertumbuhan tanaman tanpa inokulasi patogen. Hal ini diduga ada pengaruh negatif dari aktifitas patogen terhadap pertumbuhan tanaman. Selain itu, adanya perbedaan lingkungan tanam antara pertanaman tanpa inokulasi patogen dengan pertanaman dengan inokulasi patogen juga diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman maupun perkembangan PGPR. Soesanto (2008) menyatakan bahwa B. subtilis mengalami kesulitan utama yaitu pengendalian sering sangat beragam dengan hasil sangat berbeda di lokasi yang berbeda dan pengaruh metabolit sekunder yang dihasilkan P. fluorescens
pada umumnya menunjukkan keberhasilan di laboratorium,
sedangkan di lapangan belum tentu berhasil. Salah satu cara untuk meningkatkan potensi PGPR dalam menekan perkembangan penyakit yaitu dengan menambah frekuensi aplikasi agens biokontrol pada tanaman sehingga memungkinkan semakin tingginya kolonisasi PGPR pada akar. Keaktifan PGPR dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: potensi kelembaban, tekanan oksigen, suhu, pH, kandungan lempung, daya larut ion, dan tahap organik tanah (Soesanto 2008). Hasil pengamatan terhadap aspek agronomis pada tanaman dengan perlakuan PGPR dan inokulasi patogen diperoleh bahwa seluruh perlakuan tidak memberi pengaruh pada bobot basah tajuk (Tabel 12), bobot kering (Tabel 13), dan tinggi tanaman (Tabel 14). Perlakuan J8 berpotensi memacu pertumbuhan akar yang ditandai dengan tingginya bobot basah akar (Tabel 12) dan mampu memacu pertumbuhan daun sehingga jumlah daun yang tumbuh semakin banyak (Tabel 14). Diameter tanaman dapat bertambah pada perlakuan T5 dan PB (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan T5 dan PB dapat memacu perkembangan diameter tanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan enam bakteri yang diaplikasikan terhadap benih mentimun, secara umum bakteri isolat P14 dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, meliputi diameter batang, jumlah daun, bobot basah dan bobot kering akar. Bakteri isolat J8 dapat meningkatkan diameter batang tanaman. Seluruh perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Perlakuan J8, P14, dan PB dapat memperlambat munculnya gejala. Perlakuan T6, J8, P14, dan PB dapat mengurangi tingkat keparahan penyakit dengan tingkat penekanan berturutturut yaitu 47.56%, 36.48%, 33.86%, dan 49.82%.
Saran Perlu dilakukan penambahan frekuensi aplikasi bakteri PGPR untuk menambah keberadaan bakteri di dalam tanah sehingga berpotensi lebih tinggi menjadi agens biokontrol. Untuk melihat kemampuan adaptasi bakteri PGPR, perlu dilakukan percobaan di lapang serta perlu dilakukan identifikasi untuk mengetahui spesies bakteri PGPR.
DAFTAR PUSTAKA Dey R, Pal KK, Bhatt DM, Chauhan SM. 2004. Growth promotion and yield enhancement of peanut (Arachis hypogaea L.) by application of plant growth-promoting rhizobacteria. Microbiol Res 159: 371. Fahy PC, Persley GJ. 1983. Plant Bacterial Diseases: A Diagnostic Guide. Australia: Academic Press. Glick BR, Pasternak JJ. 2003. Moleculer Biotechnology. Ed ke-3. Washington DC: ASM Press. Hadioetomo. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta: UI Press. Handini ZVT. 2011. Keefektifan bakteri endofit dan plant growth promoting rhizobacteria dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat. Handiyanti M. 2010. Potensi Bacillus spp. dan Pseudomonas fluorescens sebagai agens pengendali penyakit busuk lunak bakteri (Erwinia carotovora) pada anggrek Phalaenopsis [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hossain MA, Karim MR, Begum S, Haque MA. 2002. Effect of cephalexin on sex expression, fruit development and yield of cucumber (Cucumis sativus L.). J Biol Sci 2(10): 656-658. Khalimi K, Wirya GNAS. 2009. Pemanfaatan plant growth promoting rhizobacteria untuk biostimulants dan bioprotectants. Ecotrophic 4(2): 131‐135. Kloepper JW. 1991. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria as biological control agents of soilborne diseases. Di dalam: Petersen JB, editor. The Biological Control of Plant Diseases. Proceedings of The International Seminar ‘Biological Control of Plant Diseases and Virus Vectors; Tsukuba, 17-21 September 1990. Japan: NARC. hlm 142-148. Lebeda A, Cohen Y. 2010. Cucurbit downy mildew (Pseudoperonospora cubensis): biology, ecology, epidemiology, host-pathogen interaction and control. Eur J Plant Pathol 129:157–192. Lebeda A, Widrlechner MP. 2003. A set of Cucurbitaceae taxa for differentiation of P. cubensis pathotypes. J Plant Dis 110: 337–349. Lebeda A. 1991. Resistance in muskmelons to Czechoslovak isolates of Pseudoperonospora cubensis from cucumbers. Sci Hort 45: 255–260. Marwoso E. 2005. Pemanfaatan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman (plant growth-promoting rhizobacteria) untuk mengendalikan virus daun kecil kacang panjang (Cowpea little leaf virus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
34 Niranjan RS, Chaluvaraju G, Amruthesh KN, Shetty HS, Reddy MS, Kloepper JW. 2003. Induction of growth promotion and resistance against downy mildew on pearl millet (Pennisetum glaucum) by rhizobacteria. Plant Dis 87:380-384. Prabowo DP. 2009. Survei hama dan penyakit pada pertanaman mentimun (Cucumis sativus L.) di desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rukmana HR. 1994. Budidaya Mentimun. Yogyakarta: Kasinus. Rukmana HR. 2005. Bertanam Sayuran di Pekarangan. Yogyakarta: Kasinus. Semangun H. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press. Sinaga MS. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Depok: Penebar Swadaya. Soesanto L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sumpena U. 2001. Budidaya Mentimun Intensif, dengan Mulsa, Secara Tumpang Gilir. Jakarta: Penebar Swadaya. Suwanto A. 1996. Karakteristik Pseudomonas fluorescens B29 dan B39: profil DNA genom, uji hipersensitivitas, dan asai senyawa bioaktif. Bogor: Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Tjahjadi N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Kanisius. Umesha S, Dharmesh SM, Shetty SA, Krishnappa M, Shetty HS. 1998. Biocontrol of downy mildew disease of pearl millet using Pseudomonas fluorescens. Crop Prot 17(5): 387-392. Voglmayr H. 2008. Progress and challenges in systematics of downy mildews and white blister rusts: new insights from genes and morphology. Euro J Plant Pathol 122: 3–18. Wang N, Yajun MA, Yang CY, DAI GH, Wang ZZ. 2008. rDNA sequence analysis of pathogens of Cucumber downy mildew and Cucumber powdery mildew. Front Agric China 2(3): 317-320. Wardanah T. 2007. Pemanfaatan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman (plant growth promoting rhizobacteria) untuk mengendalikan penyakit mosaik tembakau (Tobacco mosaic virus) pada tanaman cabai [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
36
a
b
c
e
d
Lampiran 1 Bakteri PGPR hasil eksplorasi: a. T5, b. T6, c. T8, d. J8, e. P14
a
f
b
g
c
e
d
h
j
i
u
z
v
w
aa
k
l
m
p
q
r
x
n
s
o
t
y
ab
Lampiran 2 Hasil uji seleksi awal berbagai bakteri rhizosfer terhadap kecambah mentimun: a. Kontrol, b. T2, c. T3, d. T4, e. T10, f. T8, g. T7, h. T6, i. T5, j. T12, k. Kontrol, l. T9, m. J1, n. J5, o. J6, p. J7, q. P6, r. P2.2, s. P5, t. J8, u. Kontrol, v. P2.1, w. P2.3.1, x. P7, y. P10, z. P12, aa. P13, ab. P14
37
a
b
Lampiran 3 a. Sporangiofor, dan b. spora Pseudoperonospora cubensis
a
b
Lampiran 4 a. Tanaman mentimun umur 5 HST, b. Tanaman mentimun umur 31 HST