SENI MEMIMPIN REPUBLIK Airlangga Pribadi Di tengah hiruk pikuk pelaksanaan Pemilihan Presiden 2009 yang begitu gegap gempita, saat ini kita menghadapi kenyataan terjadinya erosi politik yang mewujud pada menipisnya antusiasme dan kepercayaan publik terhadap proses politik yang tengah berlangsung. Apatisme publik tersebut berjalan seiring dengan hadirnya teater politik koalisi yang menghadirkan potret yang muram ketika partai politik semata‐ mata hadir menjadi instrumen elite untuk menggapai ambisi kuasanya para elite politik melupakan alasan mengada dari partai politik sebagai katalisator yang menghantarkan kehendak rakyat untuk diperjuangkan dalam wilayah politik bernegara. Koalisi‐koalisi politik hanya mempertontonkan dinamika perlombaan kepentingan sempit dari para elite politik. Dalam pertemuan koalisi politik partai‐partai yang mendukung tiga pasang kandidat yang akan berlaga pada pilpres nanti, tidak kita temukan perumusan platform bersama tentang bagaimana nilai‐nilai mendasar dalam kehidupan politik yang menyangkut kesejahteraan dan keadilan publik ditampilkan secara cerdas, ditafsirkan secara beragam, dan diartikulasikan melalui program‐ program konkret yang berpihak. Politik telah kehilangan makna fundamentalnya sebagai sarana perjuangan untuk meyakinkan warga negara bahwa kepentingan, hasrat, dan identitasnya akan terwadahi oleh saluran politik representasi. Meminjam ungkapan ironik dari sastrawan pemenang nobel Jose Saramago, pemilihan umum telah menjadi pintu pembuka bagi munculnya komedi absurd yang memalukan. Indikasi munculnya krisis politik representasi sebagai akibat dari apatisme politik publik tampil dalam berbagai fenomena. Catatan tentang tingginya angka persentase suara tidak memilih dalam Pilkada di beberapa provinsi seperti Jawa Timur, DKI, Jawa Barat dan Sumatera Utara berbanding lurus dengan jumlah suara tidak memilih sebesar lebih 49 juta jiwa yang terdaftar dalam DPT pada pemilihan legislatif lalu. Menanggapi erosi kepercayaan terhadap politik representatif dan ancaman krisis demokrasi, Russel J. Dalton (2004) dalam Democratic Challenges Democratic Choices 1
menjelaskan bahwa memudarnya kepercayaan rakyat terhadap para pemegang otoritas politik terutama para legislator dan institusi perwakilan, memberikan pengaruh terhadap keberlangsungan sistem demokrasi. Inisiatif sukarela dan aksi kolektif publik sebagai infrastruktur demokrasi akan melemah, seiring dengan meningkatnya skeptisisme publik terhadap kinerja politisi. Akibatnya warga negara tidak saja hanya menjadi penonton pasif namun juga hengkang dari wilayah publik, membiarkan dinamika politik elite berjalan tanpa hadirnya respek dari warga negara. Ketika ini terjadi, proses‐proses politik yang berlangsung antara kekuatan politik akan terpisah dari kehidupan warga negara. Krisis politik representasi tiba bersamaan dengan masa paceklik demokrasi. Berkembangnya sindrom apatisme politik warga negara ini, meminta kita untuk menginterogasi ulang karakter politik setelah lebih dari sepuluh tahun era reformasi berlangsung di negeri ini. Meluruhnya artikulasi politik ideologis yang selama ini dianggap sebagai capaian positif menuju stabilitas politik dari proses demokratisasi kita, jangan‐jangan adalah akar persoalan sesungguhnya dari lesunya arena politik kita. Mengingat seiring dengan terkikisnya orientasi ideologis dari segenap kekuatan politik yang ada, para agensi politik tidak memberikan pilihan‐pilihan politik yang bernas bagi publik. Apabila mengikuti prinsip dasar dari mazhab politik republikanisme yang membentang dari Aristoteles, Hannah Arendt sampai ke Muhammad Hatta maka kita akan meyakini bahwa wilayah politik akan berjalan sehat ketika digerakkan oleh nalar kolektif dan bertujuan untuk menghadirkan kebaikan bersama. Ketika wilayah politik dikelola melalui nalar privat dan bekerja untuk mengejar kepentingan diri, ia akan menciptakan irasionalitas dalam kolektifitas hidup bermasyarakat. Setelah 11 tahun reformasi berjalan dan hampir dua kali kepemimpinan republik dipilih langsung oleh rakyat, politik yang diabdikan bagi pemenuhan kehendak bersama agaknya belum menjadi pandu bagi perjalanan bangsa. Ketika arena politik semestinya diabdikan untuk pemenuhan kehendak bersama melalui proses deliberatif, realitas politik menunjukkan arah sebaliknya. Pengejaran kepentingan diri yang dimediasi oleh hubungan transaksional pasar telah menjadi karakter utama dari wajah perpolitikan kita. Seperti diuraikan Herry B. Priyono
2
(Kompas, 28/5/2009), pandangan neoliberalisme yang melihat hubungan manusia dalam seluruh wilayah kehidupan harus dijalankan seperti aktivitas manusia sebagai makhluk ekonomi, tanpa kita sadari telah berjalan menggerakkan pengelolaan kehidupan bernegara. Tarikan semangat neoliberalisme menggema dibanyak lini kehidupan. Dalam kehidupan berdemokrasi, politik representasi lenyap digantikan oleh politik transaksi, saat calon legislator menggunakan politik uang untuk memperoleh suara. Dalam pemenuhan kebutuhan publik, negara melepaskan tanggung jawab konstitusionalnya untuk menanggung biaya pendidikan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar, seperti terjadi pada UU BHP. Pada pengelolaan kehidupan kota, perencanaan tata ruang yang berorientasi kehidupan bersama digantikan oleh penataan kota yang ramah dan mengundang investasi modal sebesar‐besarnya. Ketika pengejaran kepentingan personal yang dimediasi oleh mekanisme pasar tampil menggantikan peran negara mengelola kehidupan publik, maka negara kerapkali membangun interaksi negatif dengan warganya. Pedagang kaki lima yang memenuhi hajat‐hidupnya seringkali khawatir dengan operasi pembersihan oleh aparat negara dengan dalih untuk memperindah kota. Para orang tua dengan tingkat ekonomi pas‐pasan yang mendambakan anaknya masuk perguruan tinggi, harus menghadapi kenyataan bahwa negara abai akan tanggung jawabnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Problem ekologis yang merugikan kepentingan bersama terkait persoalan banjir dikota‐kota besar sebagai akibat dari pengelolaan kota transaksional antara kaum penguasa dan pengusaha, sengaja dibiarkan oleh negara. Berbagai realitas dalam kehidupan publik tersebut, menunjukkan terjadinya perubahan pengelolaan tatanan politik dari prinsip res‐publica “kehendak publik menjadi panglima” menjadi res‐privata “kehendak personal menjadi panglima”. Kenyataan ini memberikan pembenaran tak terbantahkan akan tesis awal dalam tulisan ini. Ketika arena politik dan kehidupan publik digerakkan oleh rasionalitas kalkulatif dari kepentingan diri (self‐interest) maka kehidupan kolektif berjalan dan dikelola secara irasional. Ketika politik mengabdi pada kepentingan personal. kebebasan yang telah kita gapai kehilangan maknanya untuk merawat hidup bersama.
3
Nasion dan Republik Pada setiap perbincangan tentang nasion dan nasionalisme, kerapkali cakrawala pandangan kita terbatasi dalam pemahaman tentang kebangsaan yang klasik dan esensial. Wacana kebangsaan sering difahami sebagai pencarian sumber dan asal‐usul identitas sejati yang tak berubah, atau pandangan reduktif tentang persatuan yang menjadi selubung dari hasrat dan kepentingan untuk membangun kepemimpinan sentralistik yang memangkas keragaman. Dalam konteks demikianlah, maka nasionalisme kemudian terjebak dalam perjalanan absurd dengan menolak terhadap segala hal yang dianggap berbeda dan dianggap sebagai yang lain atas nama menjaga dan merawat jati diri bangsa. Dalam semarak perbincangan nasionalisme yang esensialis dan reduktif, tidak mengherankan wacana nasionalisme kemudian menjadi gagap saat menjawab tantangan krisis res (kedaulatan) publica (publik). Kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan sampai saat ini kemudian gagal memberikan refleksi kritis terhadap realitas empirik perjalanan keIndonesiaan yang memperlihatkan bagaimana anasir‐ anasir privat (kecenderungan pada fanatisisme kelompok maupun kepentingan dari kekuasaan kaum plutokratik) perlahan‐lahan menjadi kekuatan yang berdaulat (Res Privata) mengatasi kehidupan publik, dimana negara bekerja tidak lebih sebagai instrumen dan komite untuk melayani hasrat dan kepentingan mereka. Persoalan ini tidak dapat dilepaskan dan berawal dari absennya fondasi Res Publika yang jarang sekali diintegrasikan dalam perbincangan politik kebangsaan. Akibatnya ketika arena pembicaraan politik kering dari diskursus yang berusaha merumuskan kebaikan bersama, saat ikatan solidaritas kolektif antara warga negara terkikis oleh menguatnya hasrat pemenuhan kepentingan individu‐individu baik dalam ranah politik maupun ekonomi, dan sentimen fanatisisme kelompok serta kalkulasi ekonomi memporak‐porandakan fondasi hidup bersama, kita kehilangan pegangan untuk memberikan jawaban rasional yang berangkat dari kesadaran akan memori, sejarah, dan imajinasi politik yang dibagi bersama yang telah menempatkan kita sebagai warga negara dari nation‐state Indonesia.
4
Berpegang pada pandangan Anthony D. Smith (1986) dalam karyanya The Ethnic Origin of Nations, bahwa pembahasan tentang identitas nasional sangat terkait dengan kesinambungan reinterpretasi dan reproduksi atas pola nilai, kenangan historis, tradisi yang secara partikular membentuk kultur publik nasional yang tertanam dalam kesadaran tiap‐tiap warga negara. Salah satu hal yang kerapkali terlupakan saat kita menghadirkan kembali momen‐momen sejarah terkait dengan ikon, nilai dan gagasan dasar yang mengikat landasan kultural nasionalisme kita—mulai dari sapaan Bung, pekik merdeka, jalan Revolusi, pikiran‐pikiran yang membentuk landasan konstitusi kita, prinsip‐prinsip yang tertuang dalam Pancasila—bahwa kesemuanya bermuara pada imajinasi politik bersama untuk membangun Indonesia dengan karakter republik. Jalan politik republik yang telah dibangun oleh para founding father kita tidak hanya terkait dengan pemaknaan republik sebagai bentuk pemerintahan yang menolak monarki feodalistik, namun lebih dari itu di dalam jalan republik, aktivitas politik ditujukan untuk pemenuhan kebaikan bersama sehingga politik menjadi ibu dari setiap tindakan dari berbagai wilayah di ranah sosial, ekonomi maupun budaya. Rakyat memiliki kedaulatan yang memanifes dalam tindakan politik kewargaan yang aktif untuk memastikan pemerintah bekerja bagi kepentingan publik (self governing citizens), spirit solidaritas yang peka terhadap keragaman menjadi energi yang mengikat setiap warga negara didalam komunitas Indonesia, serta tegaknya aturan‐ aturan hukum (the rule of law) adil yang mengkondisikan pemenuhan kebebasan warga negara dan dapat memastikan tidak ada relasi tuan dan budak antara pemimpin dan rakyatnya dan korupsi kekuasaan berlangsung dalam pengelolaan negara (Philip Pettit 1997; Robertus Robert 2007). Republikanisme Muhammad Hatta Diantara para pemimpin dan tokoh‐tokoh pergerakan nasional, Muhammad Hatta adalah salah satu tokoh yang secara jelas dan lugas menekankan pandangan republikanisme sebagai ibu dari arah politik Indonesia. Fondasi republikanisme dalam pemikiran Muhammad Hatta muncul didalam tulisannya Ke Arah Indonesia Merdeka,
5
menurut Hatta “Indonesia Merdeka haruslah suatu Republik, yang bersendikan pemerintahan rakyat, yang dilakukan dengan perantaraan wakil‐wakil rakyat atau Badan perwakilan...dari wakil‐wakil rakyat dan badan perwakilan tersebut terpilihlah anggota pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara. Dan pemerintahan itu senantiasa takluk kepada kemauan rakyat”. Dari pandangan Muhammad Hatta tersebut terlihat bahwa proyek Indonesia bertujuan untuk memisahkan realitas Indonesia Merdeka yang sangat berbeda dan bertolak belakang dengan kondisi keterjajahan Indonesia. Dalam formasi kolonialisme, rakyat berada pada posisi terpinggir sebagai kaum paria diperintah oleh Tuan kolonial yang memimpin bagi kepentingan mereka sendiri. Setelah Indonesia merdeka, adalah rakyat yang menjadi tuan dalam arena politik dan sistem pemerintahan demokratis dengan berbagai instalasi politiknya yaitu lembaga perwakilan, pemerintahan dan kehendak rakyat sebagai sumbernya, dimana pemerintah maupun badan perwakilan menjadi penyelenggara yang bekerja untuk menjalankan urusan‐urusan yang menjadi kepentingan rakyat dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Imajinasi politik Hatta berusaha merealisasikan rakyat sebagai agensi otonom yang turut berperan dalam menjalankan kekuasaan yang bekerja untuk kepentingannya (self‐governing). Komitmen terhadap jalan republik dan politik yang bekerja bagi kepentingan rakyat, kembali ditegaskan oleh Hatta pada tahun 1946, ketika ia mengutarakan dalam karyanya Kedaulatan Rakyat, bahwa “politik dalam arti yang sebenarnya ialah perbuatan yang menimbulkan dalam hal‐hal kenegaraan kesejahteraan negara dan rakyat dalam dasar yang diyakininya”. Dari teks tersebut, maka dalam pandangan Hatta substansi politik adalah setiap tindakan yang mengabdi pada tujuan kebaikan bersama. Kerangka republikanisme Hatta memandang politik sebagai setiap tindakan yang dijalankan untuk pemenuhan kebaikan dan keadilan sosial bagi rakyat. Dalam konteks inilah maka politik adalah ibu dari setiap tindakan dalam relasi antara negara dan masyarakat sipil yang menjadikan pemenuhan kebaikan bersama sebagai tujuannya.
6
Tentunya klaim tentang kebaikan publik ini adalah istilah yang amat longgar, dimana setiap gagasan seperti liberalisme, neo‐liberalisme, fundamentalisme agama bahkan fasisme mengklaim bekerja untuk kepentingan rakyat. Namun demikian yang partikular dalam gagasan republikanisme terkait dengan prinsip self governing citizen, publicity, dan terjaminnya prinsip kebebasan warga negara dalam artian bebas dari dominasi (freedom as freedom from domination). Pertama, Dalam kerangka prinsip publicity, politik merupakan urusan publik, dimana ruang publik menjadi arena yang bersifat inklusif untuk mengajukan, menguji, mengkritik mempertanggungjawabkan setiap urusan publik dihadapan rakyat. Setiap warga negara Indonesia memiliki akses penuh terhadap urusan‐urusan publik dalam pandangan politik republikanisme. Setiap proses‐proses politik berlangsung dan mempertimbangkan kualitas argumen dan komunikasi rasional diantara warga negara untuk memenuhi kebaikan dan kehendak bersama. Tentunya hal ini amat berbeda dengan pandangan rational choice yang dipengaruhi gagasan neoliberalisme yang melihat politik sebagai arena kepentingan dimana wilayah demokrasi bekerja atas dasar logika pasar yang mempertemukan berbagai preferensi dalam pertukaran‐ pertukaran politik dan mengkondisikan instalasi demokrasi sebagai lembaga yang memfasilitasi persaingan antara kekuatan‐kekuatan elite bagi pemenuhan hasrat dari para aktor‐aktornya. Kedua, dalam kerangka republikanisme kualitas politik sangat ditentukan oleh keterlibatan aktif warga negara (active citizenship) dalam tindakan dan partisipasi politik untuk mengawal proses‐proses politik yang berlangsung agar tidak mengarah pada korupsi politik dan despotisme. Keterlibatan aktif warga negara dalam arena politik dimaksudkan agar arena politik bekerja untuk pemenuhan kebaikan dan keadilan sosial. Dalam konteks ini, politik republikanisme mengantisipasi agar arena dan proses politik tidak hanya menjadi arena tempat sirkulasi kepentingan dan kekuasaan politik dan menjadikan rakyat hanya menjadi penonton dalam proses‐ proses politik yang tengah berlangsung. Ketiga, kerangka republikanisme menekankan realisasi dari prinsip kebebasan non‐dominasi sebagai fondasi dari kebebasan yang menubuh dalam tiap‐tiap warga
7
negara. Pemahaman akan prinsip kebebasan non dominasi, menekankan bahwa yang fundamental adalah bukan persoalan bahwa tiap orang terbebas dari intervensi dari kekuatan di luar dirinya, namun yang lebih penting adalah bahwa tiap‐tiap orang sebagai warga negara terbebas dari aturan‐aturan hukum yang berjalan secara sewenang‐wenang terhadap diri mereka (arbitrary rules). Dalam konteks ini maka fondasi konstitusionalisme di mana landasan hukum beserta perangkat‐perangkat negara bekerja untuk pemenuhan kebebasan non dominasi dari setiap warga negara. Pandangan kebebasan dalam kerangka republikanisme ini, sangat berbeda dengan kerangka kebebasan dalam tradisi liberal yang berangkat dari pengutamaan kebebasan negatif. Dalam tradisi liberal, maka tiap tiap orang memiliki kebebasan yang tidak dapat dibatasi dan diintervensi terkait dengan tindakan‐tindakan yang mereka lakukan. Dalam pengertian kebebasan liberal misalnya kemerdekaan dalam aktivitas ekonomi dan kebebasan dari intervensi negara adalah bentuk dari realisasi kebebasan ekonomi yang harus dijunjung tinggi. Sementara tradisi kebebasan dalam pengertian non‐dominasi melihat bahwa dalam relasi ekonomi misalnya, tanggung jawab dan intervensi negara melalui regulasi yang dapat menjamin agar setiap pekerja tidak memiliki ketergantungan dan mengalami relasi Tuan dan Budak dengan pemilik modal/majikannya adalah bagian dari pemenuhan kebebasan non‐dominasi (Philip Pettit; 1997). Ulasan panjang tentang spirit republikanisme sebagai mutiara gagasan dari nasionalisme Indonesia bermaksud menunjukkan bahwa ketika kita menghadirkan kembali momen‐momen formatif pembentukan nasion Indonesia, nasionalisme dimaknai sebagai tindakan politik, dimana tiap‐tiap warga negara adalah pelaku aktif dari setiap tindakan politik baik oleh negara dan masyarakat sipil yang bekerja bagi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan warga negara. Dalam kata‐kata yang lebih tegas, dalam spirit republikanisme, rakyat menjadi jantung dari seluruh proses‐proses pembangunan yang berlangsung baik dalam wilayah ekonomi maupun politik.
8
Kejutan Doktrin Free Market Democracy Tekanan akan signifikansi politik republikanisme dalam memaknai nasionalisme di Indonesia ini sangat terkait dengan terjadinya realitas salah urus negara dan kebangkrutan kedaulatan rakyat yang mengiringi praktik politik drama sembilan tahun reformasi Indonesia. Hal ini tidak dpat dilepaskan dari persekutuan dua narasi besar ekonomi‐politik yang menjadi rezime pengetahuan dominan di negeri ini. Berkuasanya rezime pengetahuan demokrasi prosedural dan ideologi ekonomi neoliberalisme yang tampil dalam artikulasi wacana netralitas negara dalam arena pasar yang perlahan‐lahan tampil menjadi gagasan utama di era reformasi. Cara pandang, dan tindak laku dari sebagian besar elite‐elite politik maupun intelektual negeri menunjukkan dengan jelas bagaimana kita menjadi bagian dari orang‐orang yang merayakan gagasan demokrasi yang dibatasi semata‐mata sebagai sebuah pengaturan aransemen pelembagaan untuk membuat kebijakan dimana tiap‐ tiap orang dapat mencapai kekuasaan melalui kompetisi politik via pemilihan umum yang bebas. Sebuah gagasan politik demokrasi‐elitisme ala Schumpeterian yang tidak mempercayai kapasitas rasional warga negara untuk menentukan apa yang terbaik bagi negerinya dalam arena politik (David Beetham 1999). Adalah benar bahwa kita tidak dapat menjadikan demokrasi menjadi obat mujarab dari berbagai macam krisis yang berlangsung, dan demokrasi dalam dirinya sendiri tidak dapat mengabdi secara penuh terhadap tujuan pemenuhan kebaikan bersama dan keadilan sosial. Mengingat demokrasi adalah konsensus tentang aturan main dan mekanisme kelembagaan yang berlangsung untuk memfasilitasi kebebasan dan aktivitas politik dari warga negara. Namun demikian di tengah absennya pemaknaan terhadap politik sebagai tindakan dan keterlibatan warga negara untuk meralisasikan prinsip kebaikan bersama dan keadilan sosial di dalam Polis, kerangka demokrasi akan kehilangan fondasi utamanya sebagai instrumen dan prosedur untuk merealisasikan kedaulatan rakyat. Gagasan elitisme demokrasi ini kemudian bertemu dengan diskursus neo‐ liberalisme yang mempercayai kedaulatan pasar diatas institusi publik lainnya dan menghapus peran negara untuk berperan dalam arena ekonomi. Bagi kelompok
9
neoliberal negara tidak memiliki alasan apapun untuk masuk dan mencampuri pasar. Sementara pasar memiliki keleluasaan untuk mendasari dan mengarahkan dinamika sosial di level negara dan masyarakat. Asumsi tentang watak keras dan predatorisme dari negara yang muncul sebagai residu dari trauma 32 tahun dibawah otoritarianisme direproduksi sebagai pengetahuan baru oleh kalangan akademisi untuk menolak peran‐peran fundamental negara di wilayah sosial‐ekonomi. Sebelum mengulas panjang lebar tentang neoliberalisme, ada baiknya kita memahami prinsip‐prinsip dasar dari neoliberalisme seperti yang diutarakan Rachel S. Turner (2008) dalam karyanya Neo‐Liberal Ideology: History, Concept and Policies, sebagai gagasan yang berakar dari perspektif ekonomi liberal, neoliberalisme memiliki empat prinsip utama: Pertama, Neoliberalisme mempercayai bahwa rezime pasar bebas merupakan mekanisme yang tidak terelakkan dan paling efisien untuk mengalokasikan sumber daya dan menjaga kebebasan individu. Rezime neoliberalisme memberikan kerangka bagi arena ekonomi untuk membuat mekanisme pasar yang bersifat alamiah dan memproduksi tindakan sukarela tiap individu dalam interaksi ekonomi, mendorong efisiensi produk dan menjaga kebebasan. Kedua, rezime neoliberalisme berkomitmen terhadap terbangunnya Rechstaat (negara berdasarkan hukum). Dalam paradigma neoliberal, bahwa segala aktivitas dan basis legitimasi negara haruslah dideterminasi oleh prinsip otoritas hukum. Prinsip ini penting untuk menjaga kebebasan dan otonomi individu, baik dalam tatanan masyarakat yang terbuka dan ekonomi pasar bebas. Prinsip ketiga, bahwa negara dalam perspektif neoliberalisme memiliki otoritas untuk mengintervensi kehidupan sosialnya, namun intervensi tersebut haruslah sangat dibatasi. Para penganut neoliberalisme meyakini bahwa negara haruslah kuat namun wilayah aktivitasnya haruslah terbatas. Negara haruslah kuat dalam pengertian mampu mempenetrasikan dan menjalankan kebijakannya secara decisive namun dalam sisi lain ia haruslah terbatas. Peran‐peran negara bertujuan untuk menciptakan dan mengamankan tata aturan pasar bebas dan masyarakat yang terbuka. Keempat, neoliberalisme memberikan penghormatan tinggi terhadap hak milik privat. Dalam desain kebijakan
10
ekonomi hal ini kemudian mewujud pada proses privatisasi sektor‐sektor strategis ekonomi sebagai salah satu bagian utama dari pilar pendukung rezime pasar bebas. Dalam
perspektif
neoliberalisme,
pengedepanan
pengaruh
negatif
intervensionis negara ditampilkan dengan menyembunyikan watak amoral institusi pasar yang tidak bisa menentukan prioritas‐prioritas sosial yang berpihak pada kepentingan warga negara. Desain‐desain pengetahuan dominan inilah yang berjalan dan melegitimasi gerak perlahan kekuatan korporasi mengakuisisi otoritas di ruang publik dari tangan negara. Sehingga menjadikan Indonesia menjadi salah satu bagian dari negara yang disandera oleh kekuasan rezim korporatokratis dengan para elite‐elite politik lokal serta intelektual yang berperan menjadi tukang, preman dan makelar. Imbas dari bergulirnya demokrasi elitisme‐pasar bebas selama sembilan tahun era reformasi berimbas fatal bagi politik kerakyatan di negeri. Tampilnya gagasan demokrasi elitisme yang berkutat pada prosedural pelembagaan dan mengabaikan substansi politik sebagai ruang tempat warga negara dapat meyakinkan bahwa proses‐ proses politik yang berlangsung bekerja untuk kepentingan mereka; menjadikan realitas demokrasi di Indonesia menjadi arena tempat pertukaran dan sirkulasi kepentingan di kalangan elite‐elite politik lama untuk menjarah aset negara. Arena politik menjadi tempat yang dipadati oleh transaksi‐transaksi elite politik yang bahkan memberi ruang bagi tampilnya kekuatan elite‐elite lama yang mampu beradaptasi dengan kondisi baru demokratisasi. Hal ini sangat tampak dengan telanjang baik di level politik elektoral nasional maupun ditingkat lokal dalam momen‐ momen pilkada. Sementara pada sisi lain, ruang politik kepartaian maupun parlemen tidak memberikan cukup ruang dan sepi dari tampilnya agensi‐agensi politik dari akar rumput, maupun perdebatan politik yang menyangkut kepentingan warga negara. Struktur oligarki politik kepartaian yang berkuasa terutama di partai‐partai besar menjadikan partai tidak terhubung dengan kepentingan serta aspirasi rakyat banyak. Sementara kondisi ini juga menghambat proses regenerasi politik dan enggannya orang‐orang yang berkwalitas untuk memasuki partai politik. Realitas yang lebih subtil dan mendalam memperlihatkan bagaimana dibalik berbagai kebijakan politik negara yang anti keadilan sosial, kesejahteraan dan kemanusiaan yang adil dan
11
beradab ini, maka sebenarnya negara tengah bekerja bagi kepentingan kaum plutokratis (kekuatan ekonomi yang sangat‐sangat kaya dan mampu memastikan negara bekerja untuk melayani kepentingan mereka). Implementasi gagasan neoliberalisme yang menyandera negara sebagai bagian dari institusi ekonomi signifikan dan menjadikan pasar sebagai institusi utama dalam wilayah ekonomi; telah memberikan dampak yang buruk dan mengagetkan bagi rakyat Indonesia. Praktek‐praktek neoliberalisme yang berlangsung sejak penggulingan Presiden Allende di Chile pada tahun 1973 sampai invasi terhadap Irak pada tahun 2003 lalu dengan berbagai implementasi doktrinnya seperti pemangkasan peran negara, liberalisasi perdagangan, pembukaan pasar modal, deregulasi ekonomi telah menjelma menjadi bentuk kekuasaan baru yang secara brutal menekan dan menindas rakyat (David Harvey; 2007). Di Indonesia teror dan hentakan doktrin neoliberalisme yang mengguncang kehidupan rakyat banyak berlangsung diberbagai wilayah. Mulai dari perkembangan ekonomi politik energi yang memangkas peran negara, hancurnya ketahanan pangan dan sektor pertanian Indonesia akibat liberalisasi sektor pertanian, serta melemahnya kekuatan ekonomi kecil akibat dihantam oleh masuknya kekuatan ekonomi besar yang dilindungi oleh Undang‐Undang penanaman modal. Privatisasi berbagai sarana publik seperti telekomunikasi, air, listrik dan sarana pendidikan tanpa mempertimbangkan asas kepentingan publik. Peraturan regulasi perburuhan baik di level nasional maupun lokal yang justru tidfak memberikan status dan jaminan keamanan kerja bagi mereka. Beban hutang luar negeri yang begitu membengkak sampai 1200 trilyun pada tahun 2009, yang membebani anggaran negara untuk membayar hutang luar negeri dengan mengabaikan kewajiban negara untuk memfokuskan anggaran pada sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan bagi warga negara. Kesemua fenomena tersebut telah mengguncangkan kita bahwa ketika negara lepas tangan dari wilayah ekonomi, dan peran institusi publik sebagai kekuatan yang memiliki kapasitas untuk mengelola dan mendistribusikan akses dan hasil di arena ekonomi, maka proses‐proses ekonomi tidak lagi bekerja bagi pemenuhan kesejahteraan rakyat.
12
Praktek bongkar pasang pengelolaan negara yang berlangsung saat ini agaknya melupakan kita untuk melirik pengalaman yang berlangsung di negara‐negara lain. Amerika Latin adalah contoh jelas dari korban kebijakan neoliberalisme. Jauh dari membawa berkah, proyek demokrasi berbasis neoliberal memunculkan persoalan‐ persoalan serius bagi masyarakat Amerika Latin. Keberlangsungan praktek rezime neoliberalism di Amerika Latin selama pengalaman tiga gelombang periode (sejak tahun 1980‐an sampai paruh akhir tahun 1990‐an) membawa pada krisis sosial bagi masyarakat Amerika Latin. Reformasi ekonomi berbasis liberalisasi pasar bebas dan pemangkasan berbagai program sosial, alih‐alih membangun kultur produktif dan kompetisi justru memperluas kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin dan problema pengangguran (Tariq Ali; 2006). Kondisi sosial yang dihadapi oleh para petani dan buruh Amerika Latin pada paruh akhir tahun 1990‐an lebih buruk daripada sebelum tahun 1980‐an. Setidaknya di Amerika Latin sampai tahun 1998 tercatat kurang lebih 200 juta jiwa hidup dibawah garis kemiskinan. Selain itu, ketimpangan distribusi tanah juga berlangsung di negara‐ negara Amerika Latin. Secara politis, proses restrukturisasi ekonomi berbasis neoliberal mengakibatkan erosi kapasitas negara untuk mengelola krisis sosial akibat pembelahan sosial dan meluasnya perasaan tidak aman dan kriminalitas akibat frustasi dan kekecewaan yang tumbuh dari publik ketika negara tidak mampu melindungi warga dari kekuatan korporasi yang bersifat amoral. Pengalaman Amerika Latin selama dibawah bendera neoliberalisme secara faktual telah menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu dari negara‐negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia dengan diiringi keruntuhan otoritas politik negara untuk melindungi dan menjaga kepentingan bersama dari warganya. Memimpin Republik Saat merenungkan makna politik sebagai inisiatif merawat kebaikan bersama, penulis biografi Machiavelli asal Italia Maurizio Viroli (2002) dalam karyanya republicanism memperlihatkan kearifan pikiran politik sang pujangga yang selama ini terlupakan. Menurut tafsir Viroli, Machiavelli membedakan antara memerintah negara
13
dalam panggung pertarungan kekuasaan dengan memimpin republik pada wilayah politik. Dengan tidak menggunakan istilah politik dalam pertarungan kekuasaan merebut posisi elite negara dan menggunakan istilah politik dalam konteks seni memimpin republik, Machiavelli telah mempertahankan pemahaman akan aktivitas politik sebagai tindakan merawat keadaban publik. Sang penguasa yang sibuk untuk mengejar kekuasaan, menurut Machiavelli digerakkan oleh rasionalitas pemuasan kepentingan personal untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Elite dengan karakter seperti ini tidak memiliki kejujuran untuk menjaga kepentingan dan nilai‐nilai keadaban publik. Pada sisi yang berbeda, arena politik memerlukan hadirnya seorang pemimpin yang memiliki cita‐rasa seni memimpin republik, mengelola kepentingan bersama dengan menggunakan nalar kolektif. Aktivitas politik dalam kehidupan republik memerlukan hadirnya pemimpin berkualitas yang memiliki tiga prasyarat utama untuk dapat memimpin republik. Pertama, pemimpin republik harus dapat mewujudkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam praksis politik yang ia jalankan. Ketika merumuskan kebijakan dalam konteks kehidupan kebangsaan, sang pemimpin harus dapat menjaga keseimbangan antara tiga pilar utama yaitu institusi publik, masyarakat sipil dan arena pasar. Dalam relasi tiga institusi utama tersebut, pemimpin republik harus mampu membangun regulasi yang kuat agar pelaku‐pelaku ekonomi tidak melupakan komitmen sosialnya. Kedua, pemimpin republik harus memiliki wawasan yang arif dalam memaknai kebebasan. Kebebasan dalam tatanan publik yang berkeadaban bukanlah kebebasan tiap‐tiap orang untuk lepas dari sentuhan negara. Kebebasan dalam tatanan publik akan lebih bermakna ketika ditujukan untuk membangun tatanan yang bebas dari segala bentuk dominasi. Dominasi pasar yang membatasi komitmen institusi publik untuk mengelola kemaslahatan bersama, maupun dominasi kelompok tertentu yang memaksakan kehendaknya kepada khalayak publik haruslah disingkirkan dari tatanan politik republik. Ketiga, pemimpin republik semestinya memiliki kearifan untuk memahami bahwa kejayaan suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana para pengelola negara
14
melayani warganya. Ketika warga negara yakin bahwa para politisi maupun aparat negara bekerja untuk melayani kebaikan bersama, maka antusiasme dan semangat berpartisipasi dalam kehidupan republik akan mekar berkembang sejalan dengan ruang kebebasan yang selama ini diraih. * Bahan Diskusi Workshop “Konstitusionalisme dan Republikanisme” Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK‐Indonesia) Gedung Pusdiklat Kopertais, Ciputat, 11‐12 Desember 2009 REFERENSI Ali, Tariq, (2006), Pirates of the Carribean: Axis of Hope, London New York. Verso. Beetham, David, (1999), Democracy and Human Right, Polity Press. Dalton, Russel J., (2004), Democratic Challenges Democratic Choices, Oxford University Press. Harvey, David, (2007), A Brief History of Neoliberalism, Oxford University Press. Pettit, Philip, (1997), Republicanism: Theory of Freedom and Government, Oxford University Press. Robert, Robertus, (2007), Republikanisme dan Keindonesiaan, Marjin Kiri. Smith, Anthony D. (1986), The Ethnic Origin of Nations, Oxford. Turner, Rachel S., (2008), Neo‐Liberal Ideology: History, Concept and Policies, Edinburgh University Press. Viroli, Maurizio, (2002), Republicanism, New York. Hill and Wa.
15