SKRIPSI 16 JUNI CETAK

Download infeksi baru HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada orang berusia 15 ... HIV/ AIDS, sebab istilah “pasien AIDS” telah menimbulkan stigma di...

0 downloads 391 Views 38KB Size
BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang

Laporan Millenium Development Goals (MDGs) akhir tahun

2015

oleh

United

Nations

menunjukkan

jumlah

infeksi baru HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada orang

berusia

15

hingga

49

tahun

di

dunia

telah

mengalami penurunan sebanyak 44% selama rentang waktu 2001

hingga

2012.

Meskipun

demikian,

HIV

masih

merupakan masalah kesehatan yang relevan dan signifikan berpengaruh pada kesejahteraan dan kesehatan penduduk dunia, dimana hingga akhir tahun 2013, sebanyak 35 juta orang hidup dengan HIV (WHO, 2014). Berbeda dengan epidemiologi tingkat global, jumlah kumulatif

infeksi

HIV

di

Indonesia

justru

meningkat

secara tajam dari 7.195 kasus di tahun 2006 menjadi 76.879 kasus di tahun 2011 (Kemenkes, 2006 dan 2011). Indonesia dengan jumlah populasi penduduk 237,5 juta pada tahu 2010 memiliki estimasi prevalensi HIV pada penduduk berusia 15-49 tahun sebanyak 0,27% (Kemenkes, 2008-2014). Meskipun angka dibandingkan

dari

terkonsentrasi sekelompok

tersebut cukup kecil jika

total

populasi,

dengan

prevalensi

populasi

tertentu,

yang

jumlah

ini

tinggi

pada

yakni

kelompok

transgender (43%), pengguna narkoba jarum suntik (36%), pekerja seks wanita (7%) dan homoseksual (8%) (Kemenkes 2011, dalam Indonesian National AIDS Commission 2012), sehingga Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan epidemik

terkonsentrasi

(Indonesian

National

AIDS

Commission 2012). Namun terdapat perkecualian pada dua

1

provinsi, Barat,

yakni

dimana

populasi

Provinsi

Papua

prevalensi

sehingga

HIV

dan

Provinsi

mencapai

dikategorikan

Papua

2,4%

sebagai

total epidemi

populasi umum level rendah. Keadaan tersebut sebagaian besar disebabkan oleh hubungan seks yang tanpa pengaman (Kemenkes, 2006). Pengeluaran nasional total untuk AIDS mencapai US$ 56.576.587

pada

tahun

2006

dan

secara

bertahap

meningkat hingga mencapai US$ 69.146.880 pada 2010.

Investasi

total

Indonesia

tahun

meningkat

setiap

tahunnya dari 27% di 2006 menjadi 40% di tahun 2010 dari total pengeluaran. Dalam periode waktu yang sama, pengeluaran provinsi dan daerah meningkat sebanyak 2,5 kali lipat dari US $ 4,329,167 to US $ 10,935,417 (NAC, 2009-2010).

Beban

masalah

HIV

yang

tidak

berhasil

dikendalikan ini juga tercermin dari peningkatan angka mortalitas di Indonesia dari 1.300 jiwa ditahun 2001 menjadi 27.000 jiwa ditahun 2012 (UNAIDS, 2014). HIV merupakan virus yang akan bergabung dengan DNA penderita seseorang

(Baratawijaya, terinfeksi,

2004),

seumur

sehingga

hidup

ia

sekali

tidak

akan

terbebas dari infeksi. Infeksi ini tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala klinis tertentu pada awalnya, sebab penyakit ini memiliki “window periode” dan

fase

asimtomatik

(tanpa

gejala)

yang

relatif

panjang. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang

menjadi

AIDS

(Acquired

Immunodeficiency

Syndrome) pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir

semua

orang

yang

terinfeksi

HIV

menunjukkan

2

gejala

AIDS

dan

kemudian

meninggal

(Djoerban

dan

Djauzi, 2009). Istilah ODHA, yang merupakan akronim dari orang dengan HIV/AIDS, diperkenalkan untuk menyebut penderita HIV/AIDS, sebab istilah “pasien AIDS” telah menimbulkan stigma

di

masyarakat.

mengilustrasikan

Hal

tersebut

kompleksnya

secara

singkat

yang

dihadapi

masalah

ODHA. ODHA tidak hanya menderita secara fisik, namun juga rawan mengalami masalah psikis seperti stress dan gangguan

psikiatrik

diskriminasi

yang

yang

disebabkan

diberikan

oleh

stigma

masyarakat.

dan

Penelitian

menunjukkan bahwa prevalensi gangguan psikiatrik pada orang yang hidup dengan HIV/AIDS adalah antara 30%-60% (Goldenberg

dan

Boyle,

2013).

Berbagai

gangguan

psikiatrik yang sering menyertai HIV/AIDS antara lain depresi,

ansietas,

post

traumatic

stress

disorder

(PTSD), dan lain-lain (Chandra et al., 2005). Depresi merupakan keadaan psikiatrik yang paling umum pada orang dengan infeksi HIV (Fell et al., 1993). Diantara pasien-pasien yang depresi, 20% menunjukkan harapan untuk mati, dan 12% dilaporkan kadang-kadang muncul ide-ide suicide sedang 8% melakukan percobaan suicide (Chandra et al., 2005). Penyebab seperti depresi

pada

utama

depresi

sebagian

nampaknya

belum

besar

melibatkan

diketahui,

gangguan berbagai

namun

psikiatrik,

macam

faktor,

termasuk diantaranya genetik dan lingkungan. Studi pada kasus depresi yang berkembang di awal masa kanak-kanak menunjukkan lebih genetik

bahwa

merupakan (Rice,

transmisi pengaruh

2010

dalam

dari

orang

psikososial Halverson

et

tua

ke

anak

dibandingkan al.,

2015).

3

Depresi dapat terjadi tanpa stressor presipitan, namun berbagai

studi

telah

menunjukkan

beberapa

faktor

berperan cukup signifikan, sebagai contoh, kehilangan orang tua sebelum berusia 10 tahun meningkatkan risiko depresi

di

kemudian

hari.

dan

etiologi

epidemiologi memberikan

perhatian

Sebagian

khusus

besar

penelitian

yang

telah

dilakukan

pada

beberapa

faktor,

seperti usia, jenis kelamin, jenis kepribadian, prior history,

dan

adverse

life

events

(Halverson

et

al.

2015). Pendidikan faktor

yang

psikososial dapat

telah penting

seperti

berpengaruh

lama

dihipotesiskan

dalam

mempengaruhi

harga

pada

diri

(self

kejadian

sebagai karakter

esteem),

depresi.

Studi

yang yang

dilakukan Chevalier dan Feinstein (2006) menunjukkan bahwa

edukasi

secara

signifikan

mengurangi

risiko

depresi pada orang dewasa, khususnya pada perempuan. Kubzansky

dan

Sparrow

(1999)

mengemukakan

bahwa

penduduk Amerika dengan tingkat pendidikan lebih rendah dari SMA dua kali lipat lebih mungkin untuk mengalami stress jangka panjang dibandingkan dengan individu yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Penelitian dengan

tingkat

mengenai

korelasi

pendidikan

pada

kejadian

penderita

depresi HIV

yang

dilakukan oleh Gaynes et al. (2012), Shittu et al. (2013),

dan

secara

umum

Nomoto lebih

et

al.

(2015)

sedikit

ODHA

menunjukkan dengan

bahwa

tingkat

pendidikan lebih tinggi untuk mengalami depresi. Passos dan Souza (2015) menunjukkan bahwa level edukasi yang rendah berasosiasi dengan kualitas hidup buruk, yang pada akhirnya membuat pasien rentan terhadap depresi.

4

Penemuan-penemuan

di

menelaah

hubungan

kejadian

depresi

atas

mendorong

antara pada

tingkat

penderita

peneliti

pendidikan HIV/AIDS

untuk dengan

di

kliik

edelweid RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

B. Berdasarkan suatu

Perumusan Masalah

paparan

pertanyaan

di

penelitian,

atas,

dapat

dirumuskan

yaitu

“Apakah

terdapat

hubungan antara tingkat pendidikan dengan depresi pada pasien HIV/AIDS, khususnya di Poliklinik Edelweis RSUP. DR. Sardjito Yogyakarta?”

C.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan depresi pada pasien HIV/AIDS, khususnya di Poliklinik Edelweis RSUP. DR. Sardjito Yogyakarta.

D.

Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai hubungan antara depresi dan tingkat pendidikan pada ODHA, baik di dalam maupun di luar

negeri

merupakan

belum

beberapa

banyak

dilakukan.

penelitian

yang

Berikut

dapat

ini

ditemukan

penulis: 1. Gaynes

et

al.

Predictors Patients

of

on

(2012) Major

dalam

“Prevalence

Depression

Antiretroviral

in

Therapy

and

HIV-Infected

in

Bamenda,

a

Semi-Urban Center in Cameroon” meneliti epidemiologi depresi mayor pada pasien HIV sebanyak 400 subjek di Cameroon, Survey

menggunakan

Initiative

metode

dari

World

Composite

Mental

Health

International

5

Diagnostic Instrument buatan WHO. Hasil penelitian menunjukkan depresi

sebanyak

mayor.

tinggi,

yakni

mengalami

21%

Pasien lebih

depresi

pasien

pernah

dengan

dari

mayor

6

menderita

pendidikan

tahun,

sebanyak

lebih

dua

lebih mungkin

kali

lipat

dibandingkan pasien dengan pendidikan rendah. 2. Shittu

et

Correlates Living

al. of

with

(2013)

dalam

Depressive HIV/AIDS,

“Prevalence

Disorders

in

North

among

Central

and

Peo

ple

Nigeria”

meneliti prevalensi dan korelasi depresi pada pasien HIV/AIDS sebanyak 300 subjek di Nigeria, menggunakan metode

Patients

Sebanyak

56,7%

Prevalensi

Health

subjek

depresi

Questionnaire

memenuhi

paling

(PHQ-9).

kriteria

rendah

depresi.

ditemukan

pada

responden dengan tingkat pendidikan tinggi/tersier. 3. Nomoto

et

al.

disadvantage

(2015)

increasing

dalam

risk

for

Socioeconomic

depression

among

recently diagnosed HIV patients in an urban area in Brazil:

cross-sectional

antara

faktor

study

sosio-ekonomi

meneliti dan

korelasi

faktor-faktor

demografi lainnya dengan kejadian depresi pada 59 ODHA

di

Brazil.

Inventory

(BDI),

Menggunakan didapatkan

Beck

Depression

prevalensi

gejala

depresi sebanyak 61%. Didapatkan hasil bahwa faktor sosioekonomik

yang

buruk

seperti

level

edukasi

rendah berkorelasi dengan kualitas hidup buruk dan gejala depresi. 4. Passos

dan

Souza

(2015)

dalam

An

evaluation

of

quality of life and its determinants among people living

with

mengevaluasi

HIV/AIDS kualitas

from hidup

Southern dengan

Brazil

menggunakan

6

WHOQOL-HIV

Bref

pada

625

ODHA di

Brazil

Selatan.

Hasil analisis menunukkan level edukasi yang rendah berasosiasi dengan kualitas hidup buruk. 5. Penelitian oleh Annisa Latifah tahun 2014 berjudul “Hubungan

Depresi

dengan

Kualitas

Hidup

Penderita

HIV/AIDS di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta”.

Metode

sectional

study

Edelweis

RS.

yang

dengan

digunakan

sampel 115

Sardjito.

Hasil

yaitu

ODHA

cross

di

Klinik

didapatkan

bahwa

depresi berhubungan dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS, serta status pernikahan dan usia penderita mempengaruhi kualitas hidup.

E.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat

untuk

imbalan

dari

pendidikan

adalah

pendidikan,

untuk

khususnya

menunjukkan efek

yang

diberikan pendidikan formal pada kesehatan mental, terutama kaitannya dengan depresi. 2. Manfaat

untuk

kepustakaan

kesehatan

dan

menjadi

adalah data

untuk

memperkaya

pembanding

untuk

penelitian mengenai depresi pada ODHA di masa yang akan datang khususnya dalam hal kesehatan jiwa. 3. Manfaat

untuk

institusi

adalah

untuk

memberikan

informasi dan bukti ilmiah mengenai adanya hubungan antara

tingkat

pendidikan

pada

kejadian

depresi.

Hasil penelitian ini selanjutnya dapat menjadi dasar untuk mempengaruhi kebijakan dalam mengurangi biaya sosial depresi.

7