STATUS MENTAL ANAK USIA REMAJA AWAL YANG MENGALAMI KEJADIAN

Download Status mental, remaja awal, broken home. DESCRIPTION. Keluarga merupakan taman pendidikan pertama, terpenting dan terdekat yang bisa dinikm...

0 downloads 559 Views 125KB Size
STATUS MENTAL ANAK USIA REMAJA AWAL YANG MENGALAMI KEJADIAN BROKEN HOME DI DESA SABRANG KECAMATAN AMBULU KABUPATEN JEMBER DIAH AYU PUSPITASARI 1212010007 SUBJECT : Status mental, remaja awal, broken home

DESCRIPTION Keluarga merupakan taman pendidikan pertama, terpenting dan terdekat yang bisa dinikmati anak. Broken home menyebabkan pertengkaran dan berakhir dengan perceraian. Hal ini yang akhirnya bisa membuat anak kehilangan pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status mental anak usia remaja awal (12-15 tahun) yang mengalami kejadian broken home di Desa Sabrang Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Metode penelitian ini menggunakan rancang bangun deskriptif. Populasi penelitian ini adalah semua remaja yang mengalami kejadian broken homedi Desa Sabrang Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember sejumlah 12 orang. Teknik sampling yang digunakan adalahtotal sampling sehingga besar sampel juga 12 orang. Variabel penelitian ini adalah status mental anak usia remaja awal yang mengalami kejadian broken home.Analisis data yang digunakan adalah Z score. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status mental anak usia remaja awal yang mengalami kejadian broken home di Desa Sabrang Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember tahun 2015 sebagian besar adalah sedang, yaitu58,3% responden. Perkembangan mental anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan peran orang tua dalam memperhatikan anaknya. Tenaga kesehatan harus melakukan pengembangan pelayanan keperawatan terutama pada anak dengan status mental rendah akibat kejadian broken home yang dialami keluarganya dengan memberikan konseling agar anak dapat menerima perceraian orang tuanya.

ABSTRACT Family is the first and the most important line of education that can be enjoyed by the children. Broken home caused fighting and ended in divorce. It will eventually make the children confused and lost during their transition period into adulthood. The aim of this research was to know the mental status of early age teenagers (12-15 years old) experiencing broken home in Sabrang Village AmbuluJember. This research method used descriptive design. The population of this research was all of early teenagers (12-15 years old) that experiencing broken home in Sabrang Village AmbuluJemberas many as 12people. Sampling technique used was total sampling thus the sample used were 12people. The variable of this research was mental status of early age teenagers (12-15 years old) that experiencing broken home. Data analyze used was Z score. The result of this reasearch was that the mental status of early age teenagers (12-15 years old) that experiencing broken home in Sabrang Village AmbuluJember almost a half was low, 40% respondents. Mental development of the children is influenced by the environment and parents’s role in taking care of their children. Health officer must increase nursing service especially to the children with low mental status by giving counselling so that accept they can take their parents divorce. Keywords: mental status, first age teenagers, broken home Contributor : 1. Eka Diah. K., SKM, M.Kes 2. Ns. Sunyoto, S. Kep. Date : 10 Juli 2015 Type Material: Laporan Penelitian Edentifier :Right : Open Document Summary :-

Latar Belakang Keluarga merupakan taman pendidikan pertama, terpenting dan terdekat yang bisa dinikmati anak. Dilingkungan keluargalah seseorang manusia mengenal nilai dan norma kehidupan dari mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa. Istilah broken home biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan dan biasanya anak-anak yang broken home biasanya dikaitkan karena kelalaian orang tua dalam mengurus anaknya atau keluarganya. Broken home menyebabkan pertengkaran dan berakhir dengan perceraian. Kondisi inilah yang bisa dibilang menjadi pemicu dan membuat anak menjadi murung, sedih yang berkepanjangan serta malu karena orang tuanya telah bercerai dan yang paling parah bisa membuat mereka melakukan hal-hal negatif seperti mulai mencoba rokok, narkoba dan minuman keras. Hal ini yang akhirnya bisa membuat anak kehilangan pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan(Rezky, 2010). Pendataan terakhir tahun 2013, di Indonesia jumlah peristiwa nikah menurun dari tahun lalu menjadi sebanyak 2.218.130 peristiwa. Namun tingkat perceraiannya meningkat menjadi 14,6 persen atau sebanyak 324.527 peristiwa. Pendataan di Jawa Timur tahun 2012

lalu kasus perceraian yang terjadi mencapai 81.672 kasus. Angka perceraian di Kabupaten Jember pada tahun 2013 yang mencapai 4.717 kasus (Kemenag, 2014). Broken home sangat berpengaruh besar pada mental seorang anak. Hal inilah yang mengakibatkan seorang anak jadi tidak ingin beprestasi. Hal ini juga merusak jiwa anak secara perlahan-lahan dan membuat mereka menjadi susah untuk diatur, tidak disiplin dan brutal. Hal ini menjadi pemicu dari suatu kerusuhan karena dia ingin mencari simpati dari teman-temannya bahkan dari para guru (Rezky, 2010). Berbagai faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan risiko kelainan mental, emosional dan perilaku pada remaja antara lain kompetensi individu,keluarga, kualitas sekolah dan karakteristik di level komunitas. Selain itu kesehatan mental remaja sangat dipengaruhi oleh perubahan fisik dan biologis, perubahan psikologis, perubahan sosiolingkungan yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya, dan masyarakat. Faktor-faktor tersebut cenderung memiliki efek kumulatif, dimana faktor risiko yang besar akan meningkatkan kemungkinan dampak negatif sedangkan sejumlah besar faktor protektif akan menurunkan kemungkinan terjadinya dampak negatif(Dinkes, 2011). Untuk menyikapi hal ini perlu diberikan perhatian dan pengerahan yang khusus agar mereka mau sadar dan mau berprestasi (Rezky, 2010).Orang tua harus mampu mengendalikan diri dalam menyikapi masalah ini, jangan sampai permasalahan mereka secara tidak langsung menjadi doktrin bumerang negatif yang akan berkembang dalam psikis anak. Orang tua hendaknya memberikan contoh yang baik pada anak dan harus lebih memperhatikan prestasi anak, menciptakan suasana harmonis dirumah, dengan lebih memperbanyak komunikasi antar anggota keluarga (Septiani, 2009).Peran perawat dalam hal ini diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan jiwa di komunitas dengan memberikan penyuluhan pada orang tentang perkembangan anak remaja yang dibesarkan dari keluarga yang utuh dan keluarga broken home dan akibatnya pada anak serta memberikan motivasi pada remaja untuk mengikuti kegiatan yang positif. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang status mental anak usia remaja awal (12-15 tahun) yang mengalami kejadian broken home di Desa Sabrang Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember.

Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan rancang bangun deskriptif. Populasi penelitian ini adalah semua remaja yang mengalami kejadian broken homedi DesaSabrangKecamatanAmbuluKabupatenJember sejumlah 12 orang. Teknik sampling yang digunakan adalahtotal sampling sehingga besar sampel juga 12 orang. Variabel penelitian ini adalah status mental anak usia remaja awal yang mengalami kejadian broken home.Analisis data yang digunakan adalah Z score.

Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki status mental sedang yaitu sebanyak 7 orang (58,3%). Status mental merupakan ilmu yang mengembangkan dan menerapkan seperangkat prinsip yang praktis dan bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesejahteraan psikologis dan bertujuan untuk mencapai dan mencegah gangguan mental serta ketidakmampuan menyesuaikan diri (Semiun,2006).

Dari hasil penelitian status mental responden yang rendah dan sangat rendah disebabkan karena ditinjau dari segi kecemasan, mereka cenderung merasa cemas akan masa depan mereka tanpa kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua, sering merasa gugup, murung, gelisah, tidak tahu harus berbuat apa akibat perceraian tersebut sehingga seringkali kehilangan kendali/emosi, suka menangis. Dari sisi depresi, mereka merasa tertekan dengan semua masalah yang dihadapi oleh orang tua mereka, bahkan sampai ada keinginan untuk bunuh diri karena tidak dapat menghadapi masalahnya. Anak merasa tertekan secara psikologis, karena memikirkan konflik yang dialami kedua orang tuanya, sehingga anak seringkali tidak mau ikut ayah atau ibunya, mereka lebih memilih ikut keluarga yang lain sekedar untuk melupakan dan menghindari permasalahan kedua orang tuanyaDari sisi kepuasan hidup, mereka merasa kurang puas dengan hidup mereka saat ini. Dari sisi afek positif, mereka merasa tidak ada hal baik dan membahagiakan yang bisa mereka rasakan sejak perceraian kedua orang tuanya, sehingga merasa hari-harinya tidak bahagia. Dari sisi keterikatan emosional, mereka merasa tidak disayangi dan tidak diinginkan oleh lingkungan. Responden dengan status mental sedang disebabkan jarak perceraian yang sudah lama sehingga mereka sudah bisa melupakan masalah orang tuanya, meskipun di waktu tertentu mereka masih mengingat kondisi keluarganya. Selain itu disebabkan karena ditinjau dari segi kecemasan, mereka kecemasan mereka tidak separah anak dengan status mental rendah/sangat rendah, kadang-kadang merasa gugup, murung, gelisah, kadang tidak tahu harus berbuat apa akibat perceraian tersebut sehingga terkadang mereka kehilangan kendali/emosi hingga menangis hanya disaat tertentu seperti mengingat masalah kedua orang tuanya. Dari sisi depresi, mereka merasa tertekan dengan semua masalah yang dihadapi oleh orang tua mereka, tapi tidak sampai ada keinginan untuk bunuh diri. Anak merasa tertekan secara psikologis, tapi masih bisa mengendalikan diri menghadapi konflik. Dari sisi kepuasan hidup, mereka merasa kadang kurang puas dengan hidup mereka saat ini. Dari sisi afek positif, mereka merasa hidupnya kadang senang kadang juga tidak, mereka dapat lebih bersantai dan menikmati hal-hal yang menarik daripada selalu memikirkan perceraian orang tuanya. Dari sisi keterikatan emosional, mereka merasa masih ada yang menyayangi mereka meskipun bukan dari orang tuanya. Responden dengan status mental tinggi dan sangat tinggi karena ditinjau dari segi kecemasan, mereka tidak merasakan kecemasan, tidak merasa gugup, murung, gelisah, mereka tahun harus berbuat apa sehingga mereka tidak kehilangan kendali/emosi hingga jarang menangis meskipun mengingat masalah kedua orang tuanya karena anak sudah lebih kuat menghadapi masalah. Dari sisi depresi, mereka tidak merasa tertekan dengan semua masalah yang dihadapi oleh orang tua mereka, apalagi keinginan untuk bunuh diri, sama sekali tidak terpikirkan oleh mereka, mereka merasa tidak ada yang menginginkannya mati karena masih dibutuhkan oleh orang lain. Dari sisi kepuasan hidup, mereka merasa merasa puas dengan hidup mereka saat ini, tidak menginginkan hal yang berlebihan. Dari sisi afek positif, mereka merasa hidupnya sering merasa senang, bahagia dan ceria. Mereka dapat lebih bersantai dan menikmati hal-hal yang menarik daripada selalu memikirkan perceraian orang tuanya. Dari sisi keterikatan emosional, mereka merasa mereka tetap dapat merasakan kasih sayang dari orang yang diikutinya, termasuk orang tua tiri bagi mereka yang orang tuanya sudah menikah lagi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 13 tahun yaitu sebanyak 7 orang (58,3).

Masa remaja identik dengan masa penentangan atau pemberontakan, terkait dengan berbagai perubahan yang harus dihadapi oleh remaja dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya (Dhamayanti, 2011). Perkembangan mental remaja dipengaruhi oleh faktor perubahan fisik dan biologis, perubahan psikologis, dan perubahan psiko-lingkungan. Pengaruh yang cukup kuat dalam perkembangan mental, emosional dan perilaku remaja adalah lingkungan sekolah.Risiko remaja mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar pada remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (Dinkes, 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan umur sangat mempengaruhi status mental remaja. Masa remaja identik dengan masa penentangan atau pemberontakan, terkait dengan berbagai perubahan yang harus dihadapi oleh remaja. Ada beberapa responden yang mengalami kecemasan karena beberapa alasan seperti merasa kesepian, gelisah, tidak tenang, sering murung dan bingung, kadang mereka merasa kuatir dan tegang atau penuh emosi. Mereka terlihat tertekan dengan masalah yang dihadapi, merasa stres bahkan sebagian kecil responden ada yang sampai ingin bunuh diri. Dari sisi kepuasan hidup mereka merasa kadang-kadang merasa puas dan kadang-kadang merasa kurang bahagia. Mereka merasa bahwa masa depan mereka tanpa harapan dan janji-janji yang bagus, tidak ada yang menarik dalam hidup mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden masih sekolah yaitu sebanyak 8 orang (66,7%). Pengaruh yang juga cukup kuat dalam perkembangan mental, emosional dan perilaku remaja adalah lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua yang berpotensi mempengaruhi kesehatan mental anak setelah lingkungan keluarga (IDAI, 2010). Remaja yang masih sekolah cenderung mempunyai status mental yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak sekolah karena dengan sekolah, remaja mempunyai banyak waktu untuk melakukan hal positif sehingga mengurangi waktu mereka untuk memikirkan kondisi keluarganya yang kurang baik akibat perceraian orang tuanya. Di lingkungan sekolah, remaja mempunyai teman yang sama-sama mempunyai pendidikan dan bisa menyikapi masalahnya dengan berbagi cerita pada temannya sehingga mengurangi beban pikiran mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden orang tuanya sudah bercerai dan tidak menikah lagi yaitu sebanyak 5 orang (41,7%). Tabel 4.4 menunjukkan bahwa hampir seluruh orang tua responden sudah bercerai lebih dari 1 tahun yaitu sebanyak 10 orang (83,3%). Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak ikut kedua orang tuanya yaitu sebanyak 8 orang (66,7%). Risiko remaja mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar pada remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (Dinkes, 2011). Orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan anak akan “ melarikan diri “ dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak (IDAI, 2010). Dengan perceraian dan permasalahan yang dialami oleh orang tuanya, remaja cenderung memilih untuk tidak tinggal bersama dengan orang tua mereka. Remaja lebih memilih untuk tinggal bersama keluarga yang lain terutama kakek neneknya, karena merasa di lingkungan keluarga dimana terdapat salah satu orang tuanya, akan semakin membuat mereka berpikir

bahwa keluarganya adalah keluarga yang paling buruk kondisinya dan dapat membuat perkembangan mental anak terganggu. Hasil penelitian Reiter et al (2013) tentang dampak perceraian dan kehilangan kontak dengan orang tua terhadap kesehatan mental remaja menunjukkan bahwa angka perceraian mengalami peningkatan tapi tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan emosional yang diobservasi. Perceraian berhubungan dengan penurunan kuantitas dan kualitas hubungan antara anak dengan orang tua (Taanila dalam Reiter 2013). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja yang mengalami perceraian orang tua tidak terganggu kesehatan mentalnya, hanya mengalami sedikit tekanan yang tidak mengganggu jika dibandingkan dengan remaja yang orang tuanya tidak bercerai dan masih berhubungan baik dengan orang tuanya. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dimana status mental remaja yang mengalami broken home dimana orang tuanya bercerai atau dalam proses perceraian tidak banyak mengganggu kesehatan mental remaja. Perbedaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bahwa penulis tidak meneliti tentang kehilangan hubungan/kontak dengan orang tua yang bercerai.

Simpulan Status mental anak usia remaja awal yang mengalami kejadian broken home di Desa Sabrang Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember tahun 2015 sebagian besar adalah sedang, yaitu 58,3% responden.

Rekomendasi Diharapkan responden dapat memahami, melihat dari sisi positif perceraian orang tuanya, meningkatkan pemahaman religi dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan agar jiwanya lebih tenang. Diharapkan untukmelakukan pengembanganpelayanankeperawatanterutamapadaanak dengan status mental rendah akibat kejadian broken home yang dialami keluarganya dengan memberikan konseling agar anak dapat menerima perceraian orang tuanya. Diharapkan untuk membekali anak didik dengan kemampuan melakukan konseling pada remaja untuk memotivasi remaja agar mengembangkan potensi diri dan tidak terbelenggu dengan masalah kedua orang tuanya. Diharapkan untuk melakukan pengembangan penelitian tentang status mental remaja dengan masalah sosial yang lain.

Alamat Correspondensi : E-mail : [email protected] Alamat : Dsn. Kebonsari Desa Sabrang Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember No. Hp : 085732573514