STIGMA KELUARGA TERHADAP PENDERITA SKIZOFRENIA

Download 12 Apr 2017 ... penelitian, informan memiliki stigma terhadap penderita skizofrenia. Proses stigma terjadi ... psikotik kronik lain 877 ora...

0 downloads 760 Views 381KB Size
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia

Stigma Keluarga terhadap Penderita Skizofrenia Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya dengan Pendekatan Sunrise Model *Risna,

Mudatsir, Hajjul Kamil, Syarifah Rauzatul Jannah, Teuku Tahlil

Magister Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia *Corresponding Author: [email protected]

Abstrak Penelitin ini bertujuan untuk menganalisis stigma keluarga terhadap penderita skizofrenia ditinjau dari aspek sosial budaya dengan pendekatan model konseptual Madeleine Leininger. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Informan dalam penelitian ini adalah keluarga dengan penderita skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Simpang Tiga Kabupaten Pidie Provinsi Aceh, teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling yaitu 6 informan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan tehnik observasi dan wawancara mendalam yaitu mengeksplorasi persepsi keluarga mengenai stigma terhadap penderita skizofrenia dengan pendekatan aspek budaya Madeleine Leininger. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik informan. Kedua, analisis tematik digunakan menganalisa data terkait persepsi keluarga terhadap penderita skizofrenia. Hasil penelitian, informan memiliki stigma terhadap penderita skizofrenia. Proses stigma terjadi mulai labeling, stereotip dan separation, kehilangan status (loss Status) dan diskriminasi tidak terjadi karena dukungan dan sikap keluarga yang positif. Aspek budaya yang dipertahankan yaitu pemahaman agama dapat digunakan sebagai mekanisme yang memperkuat dalam merawat penderita skizofrenia. Negosiasi budaya yaitu intervensi keperawatan untuk membantu keluarga dalam hal pengobatan yang sesuai terhadap penderita skizofrenia. Restrukturisasi budaya dilakukan pada perilaku keluarga yang tidak menerima kondisi penderita dengan perilaku yang tidak wajar dan menelantarkan penderita karena menganggap tidak produktif dan menambah masalah keluarga. Diharapkan keluarga dapat memberikan dukungan secara positif pada penderita skizofrenia agar terjadi pemulihan dan menghindari kekambuhan serta meningkatkan kemandirian penderita dalam kehidupan sehari-hari. Kata kunci: Stigma, Keluarga, Skizofrenia, Sosial Budaya, Sunrise Model Pendahuluan Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi Rumah Tangga (RT) yang pernah memasung Anggota Rumah Tangga (ART) dengan gangguan jiwa berat 14,3% dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0%. Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Riskesdas, 2013).

B121

Menurut Lestari dan Wardhani (2014), gangguan jiwa masih menjadi masalah serius kesehatan mental di Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama kebijakan kesehatan nasional, namun dari angka yang didapatkan dari beberapa riset nasional menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa di Indonesia masih banyak dan cenderung mengalami peningkatan. Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan jiwa yang ada di Provinsi Aceh. Di antaranya faktor biologi, seperti bawaan lahir. Kemudian ada juga faktor konflik dan bencana tsunami beberapa tahun silam. Hal ini juga dipengaruhi tidak adanya rumah rehabilitasi bagi penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh. Padahal, rumah rehabilitasi ini semacam tempat transisi bagi mereka sebelum berbaur dengan masyarakat setelah mereka dinyatakan sembuh. Karena tidak adanya tempat rehabilitasi tersebut, tidak sedikit penderita gangguan jiwa kambuh karena mereka langsung dikembalikan ke masyarakat. Menjadi permasalahan yang serius ketika pihak keluarga tidak mau menerimanya, sehingga jiwanya kembali terganggu (Riskesdas, 2013) Menurut Riskesdas (2013) bahwa prevalensi gangguan jiwa berat atau skizofrenia di Provinsi Aceh menurut kabupaten/kota (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20), Kabupaten Pidie menjadi urutan ke-5 tertinggi yaitu sebanyak 3,4%. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Pidie harus mendapat perhatian lanjut dalam mengidentifikasi serta penanganan penderita gangguan jiwa. Kabupaten Pidie merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Propinsi Aceh dengan jarak ke ibu Kota Propinsi yaitu 112 Km. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Pidie adalah 234.698 jiwa. Laporan kesehatan Jiwa di Kabupaten Pidie yaitu berdasarkan laporan terdata dari 26 Puskesmas dalam tahun 2016 jumlah penderita skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lain 877 orang, gangguan psikotik akut sebanyak 194 orang (Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2016). Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Simpang Tiga merupakan urutan ke-2 jumlah penderita terbanyak di Kabupaten Pidie, dengan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebanyak 160 kasus yaitu dengan kategori perawatan minimal care 65 Kasus, partial care 25 kasus, total care 30 kasus dan sisa lainnya mendapat pelayanan rehabilitasi oleh puskesmas. Dari keseluruhan kasus tersebut, menurut laporan ketua program kesehatan jiwa puskesmas setempat bahwa terdapat 3 (tiga) keluarga penderita yang mendiskriminasi penderita gangguan jiwa, 15 keluarga melakukan perawatan yang baik terhadap penderita dan terdapat 1 (satu) keluarga yang kurang memperdulikan penderita (Laporan Puskesmas Simpang Tiga, 2016). Berbagai upaya pencegahan dan penanganan telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pidie, namun permasalahan stigma terhadap penderita dengan gangguan jiwa tampaknya masih merupakan isu penting yang menjadi sorotan. Stigma keluarga dan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa seringkali menjadi hambatan dalam upaya menurunkan prevalensi penderita gangguan jiwa di Kabupaten Pidie. (Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2016) Hal penting juga disampaikan oleh Ahmedani (2011) untuk mengenali bahwa sebagian konseptualisasi stigma tidak fokus khusus pada kesehatan mental atau gangguan penggunaan narkoba (Crocker et al., 1998 dan Goffman, 1963) menyebutkan bahwa stigma relevan dalam konteks lain seperti terhadap individu dari berbagai latar belakang budaya termasuk ras, jenis kelamin, dan orientasi seksual. Dengan demikian, penting untuk memberikan definisi dari gangguan mental, yang juga termasuk gangguan penggunaan narkoba, sehingga dapat dipahami dalam kaitannya dengan stigma. Budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku dan persepsi seseorang terhadap individu dengan kesehatan mental. Disimpulkan bahwa pemahaman budaya terkait stigma sangat berdampak pada individu dengan kesehatan mental (Ahmedani, 2011).

B122

Pengaruh budaya sangat diperhatikan terutama dalam melaksanakan proses keperawatan. Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah Transcultural Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilainilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock (Tomey & Alligood, 2006). Menurut Leininger culture and social structure dimension atau culture care merupakan pengaruh dari faktor-faktor budaya tertentu (sub budaya) yang mencakup agama dan falsafah hidup, sosial dan keterikatan keluarga, politik dan legal, ekonomi, pendidikan, teknologi dan nilai-nilai budaya yang saling berhubungan dan berfungsi untuk mempengaruhi perilaku dalam konteks lingkungan yang berbeda (Tomey & Alligood, 2006). Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan (Tomey & Alligood, 2006). Persepsi keluarga dengan penderita gangguan jiwa yang sudah kembali kerumahnya dari rumah sakit masih menganggap kalau penderita adalah orang dengan gangguan jiwa, hal ini akan berakibat buruk bagi penderita sehingga mengindikasikannya kambuh dan harus di rawat kembali. Dampak negatif pada kesejahteraan psikologis yang mempengaruhi keseimbangan dan kepuasan hidup (Daniel et al., 2015). Berdasarkan penelitian Safliati (2011) mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa tidak mungkin mampu mengatasi masalah kejiwaannya sendiri. Individu tersebut membutuhkan peran orang lain disekitarnya, khususnya keluarganya. Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Sikap keluarga sangat penting karena berpengaruh terhadap kekambuhan pada pasien gangguan jiwa. Berdasarkan berbagai informasi di atas perlu kira dilakukan kajian mendalam mengenai stigma keluarga terhadap penderita skizofrenia. Oleh karena itu penelitin ini bertujuan untuk menganalisis stigma keluarga terhadap penderita skizofrenia ditinjau dari aspek sosial budaya dengan pendekatan model konseptual Madeleine Leininger. Bahan dan Metode Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi -deskriptif. Penelitian ini bertujuan: gambaran yang mendalam mengenai stigma keluarga terhadap penderita skizofrenia ditinjau dari aspek sosial budaya dengan pendekatan model konseptual Madeleine Leininger Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah keluarga dengan penderita skizofrenia. Jumlah sampel dalam penelitian adalah 6 orang informan dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan berdasarkan pertimbangan atau kriteria sebagai berikut: Mampu menceritakan pengalamannya dengan baik dan bersedia menjadi partisipan, telah bersama penderita minimal setahun, berusia 18 tahun ke atas, tidak sedang mengalami gangguan kejiwaan atau disorientasi dan tidak mengalami penyakit fisik. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara observasi, dokumentasi dan wawancara mendalam terhadap keluarga penderita gangguan jiwa serta percakapan secara informan. Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan di rumah penderita gangguan jiwa. Proses wawancara peneliti hentikan apabila informasi yang dibutuhkan sudah memadai.

B123

Instrumen yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah peneliti. Dalam proses wawancara penulis menggunakan pedoman wawancara. Serta dibutuhkan alat bantu yaitu alat tulis dan alat perekam. Hasil rekaman dari alat perekam dituliskan dalam bentuk transkrip wawancara. Analisa data dalam penelitian ini dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik informan. Kedua, analisis tematik digunakan menganalisa data terkait persepsi keluarga terhadap penderita gangguan jiwa (skizofrenia) ditinjau dari aspek sosial budaya. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian mengenai karakteristik partisipan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Keluarga Dengan Penderita Skizofrenia (n= 6) No 1

2

3

4

5 6 7

Katagori Usia a. Remaja Akhir: 17 – 25 b. Dewasa Awal: 26 – 35 c. Dewasa Akhir: 36 – 45 d. Lansia Akhir: 56 – 65 Pendidikan a. Tinggi : S1 b. Menengah : SMA c. Rendah : SD Status Perkawinan a. Menikah b. Belum Menikah Pekerjaan a. Pedagang b. Guru Ngaji c. Tani d. Tidak Bekerja Penghasilan keluarga a. >1. 950.000 b. < 1.950.000 Lama Merawat Penderita > 5 tahun Hubungan dengan Penderita a. Suami/Istri b. Saudara Kandung c. Keponakan

f

%

1 3 1 1

16.66 50 16.66 16.66

1 3 2

33 50 17

4 2

67 33

3 1 1 1

50 17 17 17

0 6

0 100

6

100

1 2 3

17 33 50

Budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku dan persepsi seseorang terhadap individu dengan kesehatan mental. Disimpulkan bahwa pemahaman budaya terkait stigma sangat berdampak pada individu dengan kesehatan mental. Pendidikan dan status bekonomi keluarga sangat mendukung keberhasilan pengobatan penderita. Pengaruh budaya sangat diperhatikan terutama dalam melaksanakan proses keperawatan. Culture and social structure dimension atau culture care merupakan pengaruh dari faktorfaktor budaya tertentu (sub budaya) yang mencakup agama dan falsafah hidup, sosial dan keterikatan keluarga, politik dan legal, ekonomi, pendidikan, teknologi dan nilai-nilai budaya yang saling berhubungan dan berfungsi untuk mempengaruhi perilaku dalam konteks lingkungan yang berbeda.

B124

Penelitian yang dilakukan terhadap informan sesuai dengan latar belakang budayanya. Proses pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada Leininger’s Sunrise models dalam teori keperawatan transcultural nursing Leininger yaitu (Tomey & Alligood, 2006) : 1. Faktor teknologi (technological factors) Yaitu berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan keluarga, bagaimana persepsi keluarga tentang penggunaaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan pada anggota keluarga dengan skizofrenia. 2. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (religious and Philosophical factors) Faktor agama yang peneliti kaji tentang agama yang dianut, kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan, berikhtiar untuk sembuh tanpa mengenal putus asa, mempunyai konsep diri yang utuh, status pernikahan, persepsi dan cara pandang keluarga terhadap kesehatan atau penyebab penyakit yang dialami penderita skizofrenia. 3. Faktor sosial dan keterikatan kekeluargaan (Kinship & Social factors) Yaitu pada faktor sosial dan kekeluargaan yang peneliti kaji tentang nama lengkap dan nama panggilan di dalam keluarga, umur atau tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam anggota keluarga, hubungan pasien dengan kepala keluarga, kebiasaan yang dilakukan rutin oleh keluarga misalnya arisan keluarga, kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat. 4. Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup (Cultural values & Lifeways) Yaitu hal-hal yang peneliti dapatkan berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan gaya hidup yaitu kebiasaan membersihkan diri, kebiasaan makan, makan pantangan berkaitan dengan kondisi sakit, dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari keluarga dan penderita skizofrenia. 5. Faktor kebijakan dan peraturan Rumah Sakit (Political and Legal factors) Peneliti mengkaji tentang kebijakan dan peraturan terkait pengobatan yang berlaku terhadap penderita skizofrenia. Keragaman cara pengobatan yang dilakukan keluarga terhadap penderita sangat berdampak terhadap kesembuhan. Keluarga lebih mendahulukan pengobatan tradisional daripada mencari pelayanan kesehatan. 6. Faktor ekonomi (Economical factors) Faktor ekonomi yang peneliti dapatkan antara lain pekerjaan informan dan penderita dan sumber biaya pengobatan untuk penderita skizofrenia. Status ekonomi keluarga menjadi factor dalam meningkatkan kondisi serta mempertahankan kesejahteraan keluarga. 7. Faktor pendidikan (Educational factors) Peneliti mengkaji latar belakang pendidikan pasien meliputi tingkat pendidikan pasien dan keluarga, serta jenis pendidikannnya. Hal penting juga disampaikan oleh Ahmedani (2011) untuk mengenali bahwa sebagian konseptualisasi stigma tidak fokus khusus pada kesehatan mental atau gangguan penggunaan narkoba (Crocker et al., 1998; Goffman, 1963) menyebutkan bahwa stigma relevan dalam konteks lain seperti terhadap individu dari berbagai latar belakang budaya termasuk ras, jenis kelamin, dan orientasi seksual. Dengan demikian, penting untuk memberikan definisi dari gangguan mental, yang juga termasuk gangguan penggunaan narkoba, sehingga dapat dipahami dalam kaitannya dengan stigma. Budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku dan persepsi seseorang terhadap individu dengan kesehatan mental. Disimpulkan bahwa pemahaman budaya terkait stigma sangat berdampak pada individu dengan kesehatan mental (Ahmedani, 2011). Stigma juga sebagai suatu kelompok perilaku atau keyakinan negatif yang memotivasi masyarakat untuk merasa takut, menolak, menghindar, dan mendiskriminasi ODGJ. Sedangkan bagi klien gangguan jiwa, stigma merupakan penghalang yang memisahkan mereka dengan masyarakat dan menjauhkan mereka dari orang lain (Stuart, 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan informan memiliki dispersepsi negatif terhadap penderita skizofrenia namun tidak ada perlakuan negatif kepada penderita baik itu dengan keluhan halusinasi, resiko perilaku kekerasan atau dengan menarik diri. Proses stigma terjadi mulai

B125

labeling, stereotip, separation saja, tidak sampai kehilangan status (loss status) dan diskriminasi. Proses stigma yang terjadi pada keluarga terhadap penderita skizofrenia tidak mengalami kehilangan status (loss status) dan diskriminasi karena dukungan dan sikap keluarga yang kaitannya pada pengkajian pemahaman agama dan falsafah hidup serta faktor sosial dan keterikatan keluarga menjadi pengaruh kepada keluarga bahkan masyarakat untuk tidak melakukan perlakuan yang tidak adil akibat stigmanya. Penderita tidak mengalami penurunan atau kehilangan status dimana keadaan tersebut dapat merugikan kehidupan sosial penderita. Penderita juga tidak memiliki batasan-batasan akses dalam kehidupan, mereka masih memiliki kesempatan yang sama dengan anggota keluarga dan masyarakat lainnya. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penderita tidak membuat keluarga menyingkirkan (mendiskriminasi) penderita dari hubungan sosial dan masyarakat. Pengalaman pribadi dalam merawat penderita, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta emosional merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap suatu objek. Apabila individu mempunyai sikap yang positif terhadap stimulus maka ia akan mempunyai sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu tersebut berada (Notoatmodjo, 2003). Chang et al. (2005) dalam penelitiannya mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka sikap yang ditunjukkannya kepada pasien gangguan jiwa pun semakin positif. Meski tingkat informan rata-rata menengah, namun informan mengetahui tentang kondisi penyakit yang diderita pasien adalah gangguan jiwa sehingga informan memberikan sikap yang positif terhadap pasien. Menurut Valerie et al. (2011) mendukung bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang mengenai gangguan jiwa maka level toleransi orang tersebut terhadap pasien gangguan jiwa pun semakin tinggi. Sebagian keluarga penderita masih menggunakan cara-cara non medis untuk menangani penderita skizofrenia. Salah satunya dengan membawa penderita ke pengobatan alternatif yaitu dukun. Anggapan lain yang masih ada dan dipertahankan oleh masyarakat adalah memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia adalah aib, sehingga harus disembunyikan. Keluarga lebih memilih untuk merahasiakan keberadaan penderita skizofrenia dari pada membawanya kerumah sakit untuk diberikan terapi penyembuhan. Perlakuan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma bahwa mereka mengalami penyakit yang berhubungan dengan supranatural yaitu mereka akan segera diberi pengobatan dengan memanggil dukun yang dapat mengusir roh jahat dari tubuh si penderita. Waktu penyembuhan tersebut bisa memakan waktu sebentar ataupun lama. Dampak yang ditimbulkan adalah bahwa gangguan jiwa yang terjadi pada penderita tersebut akan semakin parah tanpa pertolongan segera psikiater ataupun psikiatri. Sedangkan perlakuan pada orang yang menganggap gangguan jiwa adalah aib yaitu dengan cara menyembunyikan keadaan gangguan jiwa tersebut dari masyarakat. Mereka tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut ke profesional tetapi cenderung menyembunyikan atau merahasiakan keadaan tersebut dari orang lain ataupun masyarakat. Hal ini berdampak pada pengobatan yang terlambat dapat memperparah keadaan gangguan jiwanya.

3

Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat disekitar penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak jarang mengakibatkan penderita

B126

gangguan jiwa yang tidak tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat serta lingkungan. Tidak ada penyembuhan bagi penderita skizofrenia. Penanganan bagi penderita skizofrenia ditujukan untuk mengendalikan pola-pola perilaku yang ganjil seperti halusinasi dan waham, dan mengurangi resiko kekambuhan yang berulang-ulang (Nevid et al., 2005). Skizofrenia dapat ditangani simptom-simptomnya secara cukup efektif, namun penyembuhan masih jauh dari mungkin. Penelitian yang sudah dilakukan menunjukan bahwa perawatan yang sudah dilakukan di rumah sakit jiwa tidak banyak berguna untuk menghasilkan efek perubahan yang berarti dan bertahan lama. Bukti menunjukan tingkat perawatan kembali di rumah sakit jiwa atau hospitalisasi berkisar 40% - 50% setelah satu tahun dan lebih dari 75% setelah dua tahun (Davison et al., 2010). Kekambuhan yang terjadi pada penderita skizofrenia diakibatkan oleh salah satunya hubungan keluarga yang kurang harmonis dan tidak adanya dukungan sosial (Amelia & Anwar, 2013). Kurangnya kasih sayang dari orang terdekat, misal keluarga dan masyarakat juga dapat menjadi penyebab kekambuhan pada penderita skizofrenia semakin tinggi. Hal ini juga diungkapkan oleh Maslow yang mengatakan bahwa jika individu gagal memenuhi salah satu kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai maka individu tersebut tidak dapat naik ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, yakni kebutuhan akan harga diri yang didalamnya ada kepercayaan diri (Ariananda, 2015). Menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak mudah. Namun kita 7 perlu untuk berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan di masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya. Penanganan stigma tersebut memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu dimasyarakat dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut. Tidak semua keluarga dari penderita skizofrenia memberikan perlakuan yang kurang baik pada penderita skziofrenia. Terdapat beberapa keluarga yang memilih untuk memperhatikan keadaan penderita skizofrenia dengan mengusahakan pengobatan dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Selain mengusahakan pengobatan di rumah sakit jiwa, pihak keluarga juga mengusahakan dirinya untuk memiliki kemampuan melakukan aktivitas agar penderita menjadi mandiri. Terdapat penderita skizofrenia yang dapat membangun kembali kehidupanya dengan normal. Hal ini mampu dicapai oleh penderita skizofrenia yang mendapatkan perlakuan positif, misalnya orang tua yang rutin mengantar ke rumah sakit jiwa. Bentuk dukungan dari keluarga tersebut membuat penderita skizofrenia mampu membangun kepercayaan dirinya untuk sembuh, bahkan mampu mandiri melakukan aktivitas sehari-hari. Kesimpulan Informan memiliki stigma terhadap penderita skizofrenia ditinjau dari aspek sosial budaya dengan pendekatan model konseptual Madeleine Leininger. Proses stigma terjadi mulai 4 labeling, stereotip, separation saja, tidak sampai kehilangan status (loss status) dan diskriminasi. Budaya yang dipertahankan yaitu Pemahaman agama dapat digunakan sebagai mekanisme yang memperkuat dalam merawat penderita skizofrenia. Membantu keluarga untuk menghilangkan persepsi negatif yang mengatakan bahwa dalam pendekatan agama sangat melarang menelantarkan, menyakiti dan menolak anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan, seperti skizofrenia. Negosiasi budaya yaitu intervensi keperawatan untuk membantu keluarga dalam hal pengobatan yang sesuai terhadap penderita skizofrenia. Bukan perawatan hanya memenuhi

B127

kebutuhan dasar seperti makan dan tidur, tidak melakukan pengobatan lanjutan, tidak mengontrol obat bahkan tidak memberi dukungan kepada penderita dengan alasan penderita tidak mengganggu masyarakat. Restrukturisasi budaya dilakukan pada perilaku keluarga yang melihat kondisi penderita bila muncul gejala kekerasan akan melakukan pemasungan, merantai, mengucilkan bila tidak menerima kondisi penderita dengan perilaku yang tidak wajar dan bahkan menelantarkan penderita karena menganggap tidak produktif dan menambah masalah keluarga karena kekambuhan. Membawa penderita ke pengobatan tradisional seperti ke dukun yang seharusnya melakukan pengobatan terhadap penderita skizofrenia kepelayanan kesehatan jiwa. Daftar Pustaka Ahmedani, B. K. (2011). Mental Health Stigma: Society, Individuals, and the Profession. National Institutes of Health. J Soc Work Values Ethics. 8(2): 4-1-4-16 Amelia, D. & Anwar, Z. (2013). Relaps Pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. No. 01 Vol. 01. Hal 52-64 Ariananda, R. E. (2015) Stigma Masyarakat Terhadap Penderita Skizofrenia. Skripsi. Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Uiversitas Negeri Semarang Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Claire, L., O’Reilly, J., Simon, B., Patrick, J., Kelly, Timothy, F. & Chen. (2015). Exploring the relationship between mental health stigma, knowledge and provision of pharmacy services for consumers with schizophrenia. Journal Social and Administration Pharmacy, Autralia. University of Sydney Daniel, P. G., Fernando, M. & Arjan, E. R. B. (2015). Internalized mental illness stigma and subjective well-being: The mediathing role of psychological well-being. Journal Psychiatry. Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved Dinas kesehatan Kabupaten Pidie. (2016). Laporan Tahunan Kesehatan Jiwa, Bagian penanganan program kesehatan jiwa Kapungwe, A., S Cooper., J Mwanza., L Mwape., A Sikwese., R Kakuma., C Lund., AJ Flisher. & MhaPP Research Programme Consortium. (2010). Mental illness – stigma and discrimination in Zambia. African Journal of Psychiatry, Vol. 13 192-203 Lestari, W. & Wardhani, Y. F. (2014). Stigma Dan Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Berat Yang DiPasung. Naskah publikasi. Surabaya. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Li, Y. S., Chang, L. Y., Chaiw, Y. S., Chih, Y., Lin, Ming, J. & Yang. (2005). Community Attitude Toward The Mentally Ill : The Result of A National Survey Of The Thaiwanese Population. International Journal of Social Psychiatry, vol 51 (2) 174-188 Paul, H.L., Louanne, W. D., Debbie, M. W., Amy, S. & Nicole, B., (2006). Stigma, Social Function and Symptoms in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder : Associations across 6 months. Elsevier Psychiatry Research, 149 89-95 Stuart, G. W., (2009). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart, Edisi Indonesia pertama; Budi Anna Keliat dan jesika Pasaribu. Singapore . Elsevier Tomey, M.A., & Alligood, M. R. (2006). Nursing Treorists and Their Work , St. Louis Missouri, Mosby Elsevier. Valerie, S., Jairus, R., Kenneth, F., Edward, T., Asbury & Jennifer, B. (2011). Public Perception, Knowledge and Stigma towards People with Schizophrenia. Journal of Public Mental Health, Vol.10 Iss: 1 pp.45-56

B128