STRES KERJA: PENYEBAB DAN ALTERNATIF

Download Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, ... tek...

1 downloads 524 Views 85KB Size
Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

STRES KERJA: PENYEBAB DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA

Lulus Margiati

Pengantar Stres atau stres kerja merupakan "penyakit" global yang bisa melanda siapa saja, setiap saat tanpa pandang bulu, apakah mereka laki-laki, perempuan, kaya atau miskin tidak terkecuali. Fakta menunjukkan bahwa dalam lingkungan kerja dimana seseorang berada, sebagian besar pernah mengalami stres, meski pada tataran yang paling ringan sekalipun. Kata stres seringkali digunakan untuk menunjuk gejala atau fakta yang kadang tidak sama atau bahkan beda sama sekali. Misal, bagi sebagian orang kata stres digunakan untuk menunjuk pada suatu keadaan fisis yang tengah dilanda berbagal tekanan yang tidak tertahankan dan melam paui batas ketahanannya. Sementara bagi yang lain digunakan untuk menunjuk gejala yang menghasilkan tekanan-tekanan itu. Bagi sebagian orang, stres adalah suatu kesatuan fisis yang berkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya, sedang bagi sebagian yang lain stres dianggap sesuatu yang bersifat subyektif dan hanya berhubungan dengan kondisi psikologis dan emosional seseorang. Ini berarti pengertian stres sangat konteks tual, tergantung dari latarbelakang penyebab dan sudut pandang kajian, serta solusi yang ditawarkannya. Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron dan Greenberg misalnya, mendefin isikan stres sebagai reaksi -reaksi emosional dan psisikologis yang terjadi pada situasi

dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya (Baron dan Greenberg, 1990:226). Aamodt (1991:259) memandangnya sebagai respon adaptif yang merupakan karaktetistik individual dan konsekuensi dan tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis. Berbeda dengan pakar di atas, Landy (1989) memahaminya sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemam puan memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya. Hammer dan Organ merumuskan: stress is difined by a set of circumstances under which an individual can not respond adequately or instrunmentally to environ mental stimuli, or can so respond only at the cost of excessive wear and tear on the organism --for example chronic fatigue, tension worry, physical damage, nervous breakdown, or loss of self esteem.

Dari beberapa pemahaman di atas menunjukkan stres merupakan tanggapan "patologis" manusia terhadap tekanan psiko logis dan sosial, baik dalam hubungannya dengan pekerjaan maupun dengan lingkung an sekitarnya. Pemahaman demikian tentu saja tidak lengkap, sebab hanya meng gambarkan satu sisi dari stres, yaitu kondisi responsif (penjawab). Padahal fenomena stres bukan hanya persoalan responsif belaka, melainkan juga kausatif (penyebab). Dengan kata lain, satu sisi stres dapat diletakkan sebagai variabel dependen yang perlu dijelaskan faktor-faktor penyebabnya; pada sisi lain stres dapat ditempatkan 71

Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

sebagai variabel independen yang menye babkan munculnya gejala lain. Dalam kajian ini, stres tidak hanya dicermati sebagai kondisi psikologis dan emosional akan tetapi sebagai kesatuan fisis; yang tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan juga non-pekerjaan (pengalaman/ peristiwa pribadi). Artinya, fokus perhatian akan diletakan pada faktor penyebab stres kerja, dan beberapa akibat yang ditimbul kannya. Dari situ dapat ditemukan beberapa altematif strategi solusi penanganan (mana jemen) stres kerja.

Faktor Penyebab Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor per sonal bisa berupa tipe kepribadian, peris tiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapapun faktor kedua tidak secara langsung ber hubungan dengan kondisi pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditempat kan sebagai sumber atau penyebab muncul nya stres. Secara umum dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cenderung muncul pada para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial di sini bisa berupa du kungan dari lingkungan pek erjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menun jukkan bahwa, para karyawan yang menga lami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari 72

keluarga, seperi orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga keti ka seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan, ketiadaan dukungan sosial tersebut menyebabkan perasaan tidak nyaman (baik di kantor maupun di rumah) yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. Kedua, tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di kantor. Hal ini berkaitan dengan bak dan kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya. Stres keria juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. Ketiga, pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan --atau dikonotasikan berkaitan -- dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai dari yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman yang tidak pada konteks nya. Dari banyak kasus pelecehan seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dan lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud hanya karena wanita. Stres akibat pelecehan seksual banyak ter jadi pada negara yang tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persa maan jenis kelamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindunginya (Baron and Greenberg:1990: 226 -232).

Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

Keempat, kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya str es kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky, 1992:669-674). Kelima, manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam perjaan ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seor ang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhimya akan menimbulkan stres (Minner, 1992:156 -161). Kcenam, tipe kepribadian. Seseorang dengan kepribadian tipe A cenderu ng mengalami stres dibanding kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah, sering merasa diburu -buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dari satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema

ketika harus mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dari pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan/sakit jantung (Minner, 1988:92 -94; Glass, 1989:391-396). Ketujuh, peristiwa/pengalaman pri badi. Stres (kerja) sering disebabkan penga laman pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak diingin kan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah (pelanggaran) hukum.Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stres paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Di samping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehan -hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk kategori ini (Baron dan Greenberg, 1990:232 -235). Bagi Davis dan Newstrom (1989:484 -486), stres kerja disebabkan: Pertama, adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres apabila banyaknya tugas ter sebut tidak sebanding dengan kemampuan -baik fisik maupun keahlian -- dan waktu yang tersedia bagi karyawan. Jika banyaknya tugas tidak disertai dengan kemampuan dan waktu yang memadai, maka akan cenderung menjadi penyebab munculnya stres kerja. Kedua, supervisor yang kurang pan dai. Seorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari-harinya biasanya di bawah bim bingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan , ia akan membimbing dan memberi penga 73

Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

rahan atau instruksi secara baik dan benar. Sebaliknya, dalam kasus supervisor kurang pandai dan mengusai tugas bawahan, maka ia kurang akurat dalam memberi bimbingan, pengarahan atau instruksi terhadap bawahan. Kondisi semacam inilah yang menjadikan stres bagi bawahannya. Ketiga, iklim politik kurang aman. Para karyawan membutuhkan keamanan dan kenyamanan bukan hanya di dalam lingkup intem perusahaan, tetapi juga keamanan dan kenyamanan di luar perusahaan. Oleh karen a itu, faktor keamanan politik dapat memberi sumbangan pada meningkatnya gejala stres. Situasi politik yang tidak aman, seorang karyawan tidak akan dapat menja -lankan tugas dengan rasa aman dan nyaman. Perasaan khawatir --terutama dalam waktu lama dan melibatkan kekerasan fisik-- dapat mengantarkan pada situasi stres. Keempat, terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan biasanya mempunyai "kemampuan" normal menyele saikan tugas kantor/perusahaan yang dibe bankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberi tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, karyawan seakan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tengat waktu yang ditetapkan atasan, sehingga kondisi ini menjadi stresor. Kelima, kurang mendapat tanggung jawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. Banyak kasus, atasan sering memberi tugas (kewajiban) kepada bawahannya tanpa di ikuti kewenangan (hak) yang m emadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi --kadang menyerahkan sepenuhnya-- pada atasan, dapat memicu orang berada dalam situasi stres. 74

Keenam, ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang baik, karya wan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta apa skope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran. Ambiguitas peran biasa terjadi saat dua perusahaan bergabung menjadi satu, pegawai nya sering merasa tidak pasti siapa yang harus mengerjakan tugas. Pegawai ragu -ragu mengerjakan karena takut sama dengan lain nya, bingung kepada siapa mengkonsul tasikannya jika ada permasala han. Ketujuh, perbedaan nilai dengan per usahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempu nyai prinsip tertentu yang harus diperjuang kan, baik prinsip yang berkaiatan dengan profesi yang digeluti (profesional) maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). Tidak jarang, prinsip para karyawan atau manajer berbenturan dengan prinsip atau prioritas yang dihadapi/dipilih perusahaan. Dalam kondisi ini , karyawan atau manajer mengalami konflik batin, antara mengedepankan prinsip pribadi dan prioritas yang menjadi target perusahaan. Kedelapan, frustrasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustasi memang bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang di duga berkaitan dengan frustasi kerja adalah terhambatnya promosi, ket idakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. Kesembilan, perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum. Situasi ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenj ang karir yang dilalui; atau mutasi pada per usahaan lain --meskipun dalam satu grup --

Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah perusahaan pertama. Kesepuluh, konfilk peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran, yaitu (1) konflik peran intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi ter hadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai, (2) konflik peran intrasender. Konflik peran ini kebanyakan terjadi pada karyawan --atau manajer- yang menduduki jabatan di dua struktur. Atau, para karyawan dan manajer yang posisinya berada di dua struktur. Akibatnya, jika masing -masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu altematif. Sementara itu stres juga dapat ber pengaruh pada fisik yang mengakibatkan gangguan-gangguan tertentu pada organ manusia. Quide dan Alkman (1987) menge mukakan pengaruhnya pada fisik: a. Sistim kardiovaskular, serangan jantung, tekanan darah tinggi, angina, arrhytmia dan migrain. b. Sistim pencemaan dan organ yang dipa kai, tukak, radang usus besar, sembelit. c. Stress dan kekebalan; infeksi, alergi, otoimunitas dan kanker. d. Sistim seletar dan maskular (rangka tubuh dan otot-otot):sakit pinggang, sakit kepala disebabkan ketegangan rematik, orang yang sering mengalami kecelakaan. Konflik, stres, perselisihan dan ketidakpuas an kerja dalam kehidupan sehari -hari dan lingkungan kerja tidak dapat dihindari. Kondisi-kondisi tersebut akan muncul dalam kehidupan manusia. Whyte (dalam Modul FISIP -UT, 1988) menyatakan tujuan organisasi manu sia selalu berada dalam konflik, dan harus

selalu berusaha mengatasinya. Stress tidak selalu mempunyai pengertian negatip. Keadaan stres pada kondisi tertentu dapat membuat karyawan menjadi lebih merasa tertantang berprestasi. Seorang karyawan yang dituntut menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang terbatas, mungkin akan stres. Stres yang dialami karyawan mungkin akan membuat lebih giat menyelesa ikan tugas. Stres dapat terjadi positip maupun negatip, tergantung jumlahnya. Jika tidak ada stres, tidak ada tantangan pekerjaan. Misal, jika tidak ada tuntutan untuk meng hasilkan suatu produk dalam waktu tertentu, karyawan tidak berusaha mengejar target . Penyebab Tekanan Psikologis Tekanan Organisasional Kurang diterima

Bentuk Tekanan Psikologis Frustasi

Adanya jenjang herarki

Kompetisi (persaingan) Konflik peranan

Kebingungan peran Kelebihan peran Perubahan

Cemas

Pengaruhnya pada perilaku Menimbulkan dorongan organisasi untuk bangkit Menimbulkan dorongan untuk merubah persepsi Melahirkan jawaban bersifat kreatif Agresi (langsung sedih atau menya-lurkan di saluran yang ada) Depresi Komunikasi berdasar ketakutan/ kecemasan Timbulnya afiliasi kelompok Alkoholisme Melarikan diri

Perilaku yang menunjukkan keruwetan

Hans Selye (1987) stres positip disebut eustres yang mendorong manusia lebih berprestasi, tertantang menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Akan tetapi ada juga stres berlebihan yaitu disebut distres. Umumnya distres menimbulkan gejala yang menimbulkan kerugian pada prestasi tenaga 75

Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

kerja sehingga menurunkan produktivitas kerjanya. Gejala distres melibatkan kesehat an fisik maupun psikis. Misalnya gairah kerja menurun, sering membolos atau tidak masuk kerja, tekanan darah tinggi, gangguan pada alat pencenakan.

Strategi dan Manajemen Stres Manajemen stres lebih daripada sekadar mengatasinya, yakni belajar menanggu langinya secara adaptif dan efektif. Hampir sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dicoba. Respon pertama dan banyak orang terhadap stres biasanya menyalakan rokok, meraih minuman keras, atau menenggak obat-obatan. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan, sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke cara cara yang lebih spesifik untuk mengatasi stresor tertentu, harus dipertimbangkan bebetapa pedoman umum untuk memacu perubahan dan penanggulangan. Pemaham an prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terut ama yang berkait dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Dalam hubungannya dengan tempat kerja, stres dapat timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari ketidakmampuan bekerja dengan baik dalam peranan tertentu karena kesalahpa haman tentang apa yang diperlukan dari peranan "bos" atau "bawahan". Atau bahkan dari sebab tidak adanya ketrampilan (khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekadar tidak menyukai seseorang dengan siapa anda harus bekerja secara dekat. 76

Perbedaan jenis kelamin pentin g sehubungan dengan bagaimana masalah ditangani di dalam banyak bidang kerja, dan tidak pernah lebih besar dibandingkan di sini. Bagaimana perilaku tertentu digambar kan akan sangat bergantung pada jenis kelamin orang yang bertindak dengan cara itu. Kita semua sadar, atau seharusnya sadar, bahwa apa yang dipandang sebagai asertif pada pria kerap dipandang agresif untuk wanita. Bahkan keagresifan pria akan diterima dalam keadaan tertentu, sedangkan pada wanita keagresifan biasanya di luar batas. Ini juga berarti perilaku yang dapat diterima dan yang tepat untuk menghadapi beberapa masalah ini mungkin bergantung pada apa anda seorang pria atau wanita. Memanajemen stres berarti membuat perubahan dalam cara anda berpikir dan merasa, dalam cara anda berperilaku d an sangat mungkin dalam lingkungan anda. Perubahan seperti ini mempengaruhi tidak hanya diri anda, tetapi juga orang dengan siapa anda bekerja. Walaupun mungkin tidak cocok untuk membicarakan semua perubahan yang anda buat atau ingin anda buat dengan orang di tempat kerja, diskusi tetap diperlukan. Sayang sekali, ternyata ada lebih banyak hal yang ditulis tentang politik kantor dan kemajuan di dalam persaingan ketimbang yang ditulis tentang hubungan yang positif di tempat kerja. Orang lain mungkin menjadi sumber stres, tetapi juga dapat menjadi sumber dukungan, hiburan dan kepuasan. Hubungan kerja yang baik dengan kolega dapat mengurangi stres sekaligus memberikan sumber dukungan dalam manajemen stres. Beberapa pekerjaan tampaknya mendorong bantuan timbal ba lik. Ironisnya, ini kerap merupakan pekerjaan dengan stres tinggi, seperti polisi, dimana citra macho dan "keras" dihargai. Tidak ada pekerjaan atau organisasi dimana hanya satu orang

Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

yang mengalami stres. Mengasumsikan anda satu-satunya orang yang khawati r bernada campuran yang tidak rasional dari kebo dohan dan keangkuhan. Karena penyakit dan masalah yang berhubungan dengan stres menyebabkan meningkatnya jumlah orang yang hilang, kebutuhan untuk menghadapi persoalan tersebut secara bertahap dihadapi. Dukungan dari individu atau kelom pok kolega mungkin datang dalam banyak samaran, yang berkisar dari bahu untuk menangis hingga bantuan positif dan advis. Keluhan yang konstan tanpa usaha untuk mengubah masalah tidak mempunyai efek dalam jangka panjang dan han ya menyebabkan perasaan umum berupa pesimisme, ketakberdayaan dan keputusaan; namun, mampu berbagi perasaan dengan orang didalam posisi yang sama dan mengetahui bahwa anda tidak sendirian adalah pelepas an yang penting dan sumber dukungan. Seperti dijelaskan sebelumnya, situasi stres tidak selamanya berdampak, khu susnya pada penampilan kerja. Stres bisa berdampak positip atau negatif tergantung pada reaksi karyawan dan sifat stres itu sendiri, apakah tergolong stres ringan atau berat. Oleh karena itu, bagi pihak manajer -termasuk karyawan itu sendiri -- dibutuhkan kiat-kiat khusus agar stres itu tidak menjurus pada hal-hal yang bersifat negatip, syukur kalau bisa berpengaruh pada peningkatan kinerja perusahaan. Setidaknya, dibutuhkan kiat-kiat tersendiri agar dampak negatip stres --dan situasi stres itu sendiri -- dapat dieleminasi. Dalam studi-studi stres, kiatkiat di atas disebut strategi manajemen stres atau strategi adaptasi stres. Secara umum strategi manajemen stres kerja dapat dikelompokkan menjadi: Pertama, taktik yang bersifat personal, yakni strategi yang dikembangkan secara pribadi atau individual. Strategi

individual ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: (1) melakukan perubahan reaksi perilaku atau perubahan reaksi kognitif. Artinya , jika seorang karyawan merasa dirinya ada kenaikan ketegangan, para karyawan tersebut seharusnya time out terlebih dahulu. Cara time out ini bisa macammacam, seperti istirahat sejenak namun masih dalam ruangan kerja; keluar ke ruang istirahat (jika menye diakan); pergi sebentar ke kamar kecil untuk mem basuh muka dengan air dingin atau ber wudlu bagi orang Islam; dan sebagainya. Atau, melakukan kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengendorkan ketegangan, seperti bercanda dengan teman sekerja, mendengarkan musik, nonton televisi; (2) Melakukan relaksasi dan meditasi. Kegiatan relaksasi dan meditasi ini bisa dilakukan di rumah pada malam hari atau hari-hari libur kerja. Dengan mela kukan relaksasi, karyawan dapat mem bangkitkan perasaan rileks dan nyaman. Dengan begitu, karyawan yang melaku kan relaksasi diharapkan dapat men transfer kemampuan dalam membang kitkan perasaan rileks ke dalam perusa haan di mana mereka mengalami situasi stres. Lebih jauh, jika para karyawan sudah mampu mentransfer perasaan rileks ke situasi stres di perusahaan, mereka mampu beradaptasi dengan perasaan-perasaan semacam itu. Dengan melakukan meditasi, para karyawan dapat memanfaatkan media meditasi itu untuk mendapatkan posisi yang pas dan enak. Beberapa cara meditasi yang biasa dilakukan adalah dengan menutup atau memejamkan mata, menghilangkan pikiran yang mengganggu, kemudian perlahan-lahan mengucapkan doa atau mantra yang dipercayai. Perlu diingat, dalam meditasi, posisi atau postur tubuh tertentu sangat diperlukan agar diperoleh 77

Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

kenyamanan dan memudahkan melaku kan hubungan transendental; (3) Melakukan diet dan fitnes. Beberapa cara yang bisa ditempuh adalah mengu rangi masukan atau konsumsi garam dan makanan mengandung lemak; memper banyak konsumsi makanan yang ber vitamin seperti buah-buahan dan sayursayuran, dan semacamnya; dan banyak melakukan olah raga, seperti lari secara rutin, tenis, bulu tangkis, dan sebagainya (Baron dan Greenberg, 1990:246 -248). Kedua, strategi berdasarkan organi sasi. Seperti yang telah diungkapkan dalam faktor penyebab stres, lingkungan organisasi mempunyai urunan yang cukup besar pada situasi stres kerja. Oleh karena itu untuk mengembangkan strategi organisasi, dibu tuhkan pemahaman menyeluruh tentang ka rakteristik organisasi terlebih dahulu, seperti komposisi kelompok kerja, penjadwalan kerja, hubungan antar karyawan, dan seba gainya (Ganster, 1988:412 -413). Manajemen stres melalui strategi organisasi dapat dilakukan dengan: (1) melakukan perubahan fungsi dan struktur organisasi, seperti melakukan desentralisasi. Desentralisasi ini dapat mengurangi stres pada pegawai karena para pegawai dapat berpartisipasi lebih banyak --dan secara aktif-- dalam proses pengambilan atau pembuatan keputusan, khususnya keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan dan bidang mereka. Dengan demikian, hal ini dapat mengu rangi rasa kurang percaya diri dan pe rasaan tidak mampu; (2) Melakukan perubahan pada pekerjaan pekerjaan tertentu. Sifat bisa bersumber dari perasaan bosan karena melakukan pekerjaan berulang-ulang. Karyawan yang melakukan pekerjaan yang sama dalam waktu lama akan bosan dan merasa tidak ada tantangan baru. Untuk 78

itu, perlu perubahan pekerjaan, misalnya melakukan pengayaan pekerjaan (usaha untuk mengembangkan/memperbanyak skope pekerjaan) atau melakukan pem batasan perpindahan kerja ke tempattempat yang tidak disukal karyawan; (3) melakukan program kesegaran asmani bersama, tentu saja yang dikelola secara resmi oleh pihak perusahaan, seperti lari bersama, clan sebagainya. Ketiga, strategi dukungan sosial. Untuk mengurangi stres kerja, dibutuhkan dukungan sosial terutama orang terdekat, seperti keluarga, teman sekerja, pemimpin atau orang lain. Agar diperoleh dukungan maksimal, dibutuhkan komunikasi yang baik pada semua pihak, sehingga dukungan sosial dapat diperoleh seperti dikat akan Landy (1989:625-627) dan Lieberman (Goldberger dan Breznitz, 1982:764-783). Karyawan dapat mengajak berbicara orang lain tentang masalah yang dihadapi, atau setidaknya ada tempat mengadu atas keluh kesahnya (Minner, 1992:163).

Beberapa Reaksi dan Akibat Sres Kerja Reaksi terhadap stres dapat merupakan reaksi bersifat psikis maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stres akan menunjukkan perubahan perilaku. Perubah an perilaku terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stres. Usaha me ngatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres (flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehan -hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan secara ber gantian, tergantung situasi dan bentuk stres. Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang mengalami stres antara lain: a. Bekerja melewati batas kemampuan b. Keteriambatan masuk kerja yang sering

Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

c. d. e. f. g.

Ketidakhadiran pekerjaan Kesulitan membuat keputusan Kesalahan yang sembrono Kelalaian menyelesalkan pekerjaan Lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri h. Kesulitan berhubungan dengan orang lain i. Kerisauan tentang kesalahan yang dibuat j. Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat pencemaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pemafasan.

Penutup Kajian diatas menunjukkan faktor-faktor penyebab stres kerja temyata kompleks. Agar penanganan stres kerja tepat sasaran dibutuhkan penelitian intensif sehingga dapat diketahui latarbelakang penyebabnya, dan dicari solusi paling tepat. Berikut ini ringkasan pencegah an stres, dan manajemennya yang dapat dilaku kan individu, organisasi dan masyarakat. 1. Individu  Pastikan kecocokan orang-pekerjaan yang baik atau buat penyesuaian yang perlu,  kembangkan kepercayaan dan sikap rasional dan bijaksana terhadap diri anda, prestasi anda dan pekerjaan anda  ubah perilaku anda sejalan dengan sikap anda yang baru, termasuk meninjau kembali prioritas,  kembangkan ketrampilan dan perilaku yang tepat untuk memungkinkan anda mengerjakan pekerjaan anda sesuai kemampuan terbaik anda,  kembangkan jaringan pendukung sosial yang baik, di tempat kerja maupun dengan keluarga dan teman  jaga kesehatan fisik anda sebaik mungkin melalui diet yang bijaksana, tidur, latihan jasmani dan seterusnya,  belajar rileks,

 belajar menggunakan waktu senggang secara bijaksana. 2. Organisasi  Desain kembali pekerjaan di mana perlu untuk menghilangkan stres yang tidak perlu,  berikan rasa keterlibatan,  berikan pelatihan yang lebih baik untuk pekerjaan, khususnya untuk promosi,  berikan nasihat atas masalah (kerja dan atau pribadi) dan dukungan tim kesejah teraan, staf kesehatan dan konseling,  buat transfer di dalam perusahaan atau pindah ke pekerjaan alternatif yang tidak menimbulkan stres,  berikan dukungan untuk pekerjaan yang bertanggungjawab, dan sumber daya yang memadai serta dukungan untuk semua pekerjaan,  berikan kursus manajemen stres. 3. Masyarakat  Tinggalkan mitos tentang "kekerasan" dan dorong kegiatan dan dukungan untuk berbagai perasaan,  tinggalkan citra "glamor" dan stres di dalam beberapa pekerjaan am ker ja yang panjang, banyak minum, perjalanan antar benua secara terus menerus, batas waktu yang ketat, dan seterusnya,  beralih dari kompetisi memperebutkan hadiah ke dorongan untuk kerja sama,  percaya bahwa stres dapat membunuh dan bersedia melakukan sesuatu terhadapnya.

Daftar Pustaka Aamodt, Michael G., Applied Industrial Organizational Psychology (Belmond: Wodsworth Publishing Company, 1991).

79

Lulus Margiati, “Stres Kerja:Latarbetakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 71-80

Baron, Robert A., and Gerald Greenberg, Behavior in Organization: Under standing and Managing the Human Side of Work, third edition, (Boston: Allyn and Bacon, 1990). Consumer Association, Living with Stress (London: Consumers Association, 1982). Davis, Keith, and John W. Newstrom, Human Behavior at Work: Organi zational Behavior (New York: McGraw-Hill Book Compan y, 1989). Dickson, A., A Woman in Your Own Right (London: Quartet Books, 1982). Gelb, M., Body Leaming (London: Aurum Press, 1983). Glass, David C., “Stress, Type A Behavior and Coronary Disease,” dalam Psychology of Work Behavior (California: Books/Cole Publishing Company, 1989). Landy, Frank J., Psychology of Work Behavior (California: Books/Cole Publishing Company, 1989). Lieberman, Morton A., "The Effects of Sosial Supports on Responses to Stress", dalam Leo Goldberger and Shlomo Breznitz, Handbook of Stress, Theoritical and Clinical Aspects (New York: The Free Press, 1982), hh. 764-783. Minner, John B., Industrial Organizational Psychology (New York: McGrawHill, Inc., 1992).

80

Minner, John B., Organizational Behavior: Performance and Productivity, (New York: Random House, Inc., 1988). Muchinsky, Paul A., Psychology Applied to Work: An Intruduction to Industrial and Organizational Psyehology, (Chicago: The Dorsey Press, 1992). Robertson, I., and N. Heather, Lets Drink to Your Health! A Self-help Guide to Drinking (Leichester: British Psychological Society, 1986).