KAJIAN ETNOGRAFI
1
Oleh:
Nurcahyo Tri Arianto Departemen Antropologi FISIP Unair
Studi Antropologi tentang Etnografi Indonesia Karya-karya antropologi dalam bentuk etnografi mempunyai sejarah yang panjang. Hal ini terutama berkaitan dengan sejarah perkembanagan antropologi, mulai dari kisah-kisah perjalanan para musafir hingga terbentuknya antropologi sebagai suatu ilmu. Berikut ini dikemukakan tulisan Melalatoa (1997:93-104) mengenai karya-karya Etnografi Indonesia. “Karya-karya etnografi tentang Indonesia dalam periode sebelum Perang Dunia II telah dibahas secara luas dan mendalam oleh Koentjaraningrat (1961) dalam bagian disertasinya tahun 1958. Karya-karya etnografi lama itu dinyatakan mengandung banyak kelemahan, karena sebagian Koentjaraningratnya adalah orang-orang yang tidak berkeahlian. Namun, diantara peneliti dan Koentjaraningratnya ada yang menghasilkan karya yang sangat penting pada zamannya, misalnya karya C. Snouck Hurgronje, A.W. Nieuwenhuis, A.C. Kruyt, dan lain-lain. C. Snouck Hurgronje menghasilkan karya etnografi tentang suku bangsa Aceh dan suku bangsa Gayo., A.W. Nieuwenhuis menulis tentang Dayak, dan A.C. Kruyt menulis tentang suku bangsa Toraja. Ketiga tokoh ini menghasilkan karya-karya yang mendalam berdasarkan penelitian lapangan dalam jangka waktu yang lama dengan menggunakan metode yang dianggap khusus pada masa itu. Penelitian dan karya dari para pakar ini membuktikan pula bahwa penelitian etnografi yang menghasilkan karya etnografi tidak lebih rendah dibandingkan dengan etnolog yang bekerja di belakang meja. Suatu karya etnografi yang baik tidak bisa dilakukan secara sambil lalu. Metode penelitian etnografi pun semakin berkembang, yang disertai pengetahuan tentang konsep-konsep dan teori-teori ilmiah. Sebaliknya dari hasil karya etnografi yang baik akan lahir teori-teori tertentu dalam ilmu Antropologi (Koentjaraningrat 1961; Glaser & Strauss 1967). Konsep-konsep yang dimaksud adalah konsep dalam ilmu Antropologi serta konsep-konsep terkait dari ilmu sosial lainnya, misalnya sosiologi, linguistik, psikologi, sejarah, ekonomi, politik, kesehatan, dan lain-lain. Konsep dari ilmu-ilmu tersebut akan menjadi acuan untuk memahami konsep-konsep yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang dikaji. Sebuah buku etnografi berisi bunga rampai etnografi singkat tentang sejumlah suku bangsa di Irian Jaya disunting oleh Koentjaraningrat dan Harsja W.Bachtiar (1963); sebuah buku bunga rampai etnografi lainnya tentang suku bangsa lain di Indonesia disunting oleh Koentjaraningrat (1971). Koentjaraningratan kedua buku ini menggunakan satu kerangka yang seragam untuk setiap suku bangsa. Deskripsi dalam etnografi singkat ini berdasarkan studi kepustakaan dari sumbersumber lama, yang tentunya tidak memadai karena kebudayaan itu sendiri selalu mengalami perubahan. Belakangan ini, Koentjaraningrat (1993) menulis dan menyunting sebuah buku bunga rampai etnografi khusus mengenai apa yang disebut “masyarakat terasing”. Sejak bagian akhir 1970-an, proyek IDKD (Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mulai meneliti dan menghasilkan karya-karya etnografi suku-suku bangsa di Indonesia. Proyek ini memilih dan meneliti paling tidak satu suku bangsa pada setiap propinsi. Penelitian itu dilakukan oleh tenaga-tenaga peneliti yang ada di masing-masing propinsi. Laporan penelitian dari setiap propinsi itu memang menunjukkan kualitas yang berbeda-beda. 1
Disampaikan dalam Pelatihan Metode Penelitian Sosial-Budaya bagi Guru-guru SMA, Selasa 21 Juni 2011, di Departemen Antropologi FISIP Unair. 1
Usaha Koentjaraningratan dan penerbitan buku Seri Etnografi dengan cakupan materi yang lebih luas telah dimulai. Upaya ini bermula pada satu proyek yang dibiayai oleh Pemerintah Belanda. Proyek ini direncanakan berkesinambungan, yang menghasilkan sebanyak mungkin etnografi suku-suku bangsa di Indonesia. Namun baru tiga kebudayaan suku bangsa yang telah diterbitkan, yaitu karya Melalatoa (1982), Koentjaraningrat (1984b), dan Tarimana (1993). Karya Melalatoa mengenai suku-bangsa Gayo dan Koentjaraningrat tentang suku bangsa Jawa adalah juga hasil kepustakaan, sedangkan karya Tarimana mengenai kebudayaan Tolaki merupakan hasil penelitian lapangan untuk disertasinya. Etnografi berfokus karya Tarimana ditunjang oleh kerangka teori tertentu. Hal yang sama tampak pada etnografi suku bangsa Sawu karya Kana (1975) yang juga hasil penelitian lapangan untuk disertasinya. Etnografi lain adalah tentang kebudayaan Sunda (Ekadjati, ed. 1984), kebudayaan Bugis-Makasar (Abdullah 1985), kebudayaan di Irian (Boelaars 1986), kebudayaan Dayak (Florus, eds. 1994), dan lain-lain”. (Melalatoa (1997:93-104). Indonesia merupakan negara prulalis, multikultur, atau multietnik dengan jumlah suku bangsa yang, barangkali, terbesar di dunia. Menurut Koentjaraningrat maupun Melalatoa, di Indonesia ada sekitar 577-660 suku bangsa, yang terutama dibedakan dari bahasa yang digunakannya. Berikut ini disajikan kutipan dari tulisan Budhisantoso (1991:11-62) tentang keragaman kebudayaan suku bangsa di Indonesia. “Bangsa Indonesia dapat berbangga bahwa masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk ini sangat kaya dengan kebudayaan. Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu merupakan modal utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk meningkatkan penghasilan devisa. Namun demikian tidaklah banyak orang yang mampu menjelaskan dengan jelas dan baik dimana kebhinekaan serta ketunggalan kebudayaan Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sesungguhnya apa yang dibanggakan oleh kebanyakan orang bahwa masyarakat bangsa Indonesia mempunyai aneka ragam kebudayaan yang berkembang di kepulauan Nusantara, memang tidak jauh dari kebenaran. Masyarakat bangsa Indonesia yang terdiri dari suku-suku bangsa yang besar maupun yang kecil itu masing-masing mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan berbangsa aktif mereka terhadap lingkungan pendukungnya masing-masing. Demikian aneka ragam kebudayaan yang berkembang di kepulauan Nusantara itu dihayati sebagai kerangka acuan dalam bersikap dan menentukan tindakan, serta sebagai tipe pengenal yang membedakan diri dari kelompok suku bangsa yang lain sebagaimana tercermin dalam hasil sensus yang pertama dan yang terakhir yang memuat tentang suku bangsa penduduk di Indonesia, yaitu sensus yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1930. Di dalam mengategorikan penduduk di Indonesia, pihak pemerintah Belanda antara lain menggunakan ukuran bahasa yang dipergunakan sehari-hari, adat kebiasaan, di samping ukuran wilayah persebaran serta golongan ras.” (Budhisantoso 1991:11-62). Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, diantaranya tercapat suku-suku terasing atau terisolir, yang menghuni pada berbagai tempat dengan latar geografis yang berbeda. Berikut dikemukakan pendapat dan deskripsi Koentjaraningrat (1993: 1-18) mengenai suku-suku terasing di Indonesia. Salah satu buku yang diedit Koentjaraningrat tentang suku terasing ini adalah “Masyarakat Terasing di Indonesia”, 1993, Jakarta: Gramedia. “Suku bangsa yang biasa disebut masyarakat ini di Indonesia menurut definisi Departemen Sosial RI kurang lebih berbunyi sebagai berikut : “…masyarakat yang terisolasi dan memiliki kemampuan terbatas untuk berkomunikasi dengan masyarakat-masyarakat lain yang lebih maju, sehingga karena itu bersifat terbelakang serta tertinggal dengan proses mengembangkan kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, keagamaan, dan ideologi…” (Depsos 1989:1). 2
Itulah sebabnya kebijaksanaan resmi dari pemerintah mengenai golongan penduduk ini adalah mengangkat mereka dari keterasingan mereka serta membangun masyrakatnya agar menjadi sama dengan masyarakat-masyarakat suku bangsa yang lain, dengan arah orientasi ke kebudayaan nasional Indonesia (Depsos 1988; 1988a; 1988b; 1988c; 1989; 1989a). Tidak mengherankan bahwa upaya pembangunan masyarakat dan seni budaya golongan penduduk yang untuk sebagian besar memang masih terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang mata pencaharian hidupnya berburu dan meramu, atau berladang di tengah hutan rimba secara berpindah-pindah ini, dilaksanakan oleh Departemen Sosial, berbeda dengan pemeliharaan dan pengembangan seni budaya suku-suku bangsa yang lain, yang dilaksanakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”. (Koentjaraningrat 1993: 1-18) Kebudayaan suku bangsa dapat pula disebut sebagai ‘kebudayaan lokal’ atau ‘kebudayaan daerah’. Pengertian lokal atau daeraah memang menunjukkan asal suku bangsa itu berdiam dan berkembang dalam rangka mengembangkan kebudayannya, sehingga kebudayaan itu bercorak khas yang berbeda dengan kebudayaan suku bangsa lainnya. Sekali lagi, Indonesia memang kaya dengan kebudayaan lokal atau daerah ini, yang menurut Melalatoa mempunyai andil dan potensi dalam pengembangan kevudayaan nasional. Berikut disajikan kutipan tulisan Melalatoa (1997: 249-259) tentang kebudayaan lokal, daerah, dan nasional. “Keanekaragaman masyarakat dan ‘kebudayaan daerah’ atau suku bangsa di Indonesia telah digolong-golongkan ke dalam sejumlah kategori dengan kriteria tertentu oleh para ahli. Macam-macam kategori itu didasarkan, misalnya pada besar kecilnya populasi pendukung budaya suku bangsa itu (lihat Suparlan, 1979); kategori adat atau 19 lingkaran hukum adat (adatrechtskringen) (Vollenhoven, 1918); kategori penutur bahasa termasuk dialeknya (Masinambow, 1987; Silzer, 1991); kategori masyarakat yang ada di pulau Jawa dan masyarakat di luar pulau Jawa (Geertz, 1971); kategori berdasarkan tipe-tipe sosial budaya yang menyangkut adaptasi ekologis, sistem dasar kemasyarakatan, dan gelombang pengaruh luar yang pernah dialami (Geertz,1967, Koentjaraningrat, 1983); masyarakat yang berdiam di desa dan kota (Redfield, 1956;Mattulada, 1985:59-60) “masyarakat terasing” dan “masyarakat yang tidak terasing” (lihat Depsos, 1987; Koentjaraningrat ed., 1993), dan lain-lain. Patut dikemukakan di sini adanya suku-suku bangsa yang sudah mengenal tradisi tulis. Suku bangsa yang mengenal tradisi-tulis, misalnya Jawa, Sunda, Bugis, Makassar, Melayu, Bali”. (Melalatoa 1997: 249-259).
Kajian Etnografi Etnografi atau ethnography, dalam bahasa Latin: etnos berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar; sehingga etnografi berarti melukiskan atau menggambarkan kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Oleh karena itu, etnografi merupakan: 1. pekerjaan antropolog dalam mendiskripsikan dan menganalisis kebudayaan, yang tujuan utamanya adalah memahami padangan (pengetahuan) dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari (perilaku) guna mendapatkan pandangan “dunia” masyarakat yang diteliti (Spradley 1997:3). 2. komponen penelitian yang fundamental dalam disiplin akademis antropologi (budaya), sehingga etnografi merupakan tipe khas dalam antropologi (Durrenberger 1996:421). Antropolog aliran kognitif berpendirian bahwa setiap masyarakat mempunyai sistem yang unik dalam mempersepsi dan mengorganisasi fenomena material, seperti benda-benda, 3
kejadian-kejadian, perilaku, dan emosi. Oleh karena itu kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, melainkan cara fenomena material tersebut diorganisasikan dalam pikiran (kognisi) manusia. Dengan demikian kebudayaan itu ada dalam pikiran manusia, yang bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena material tersebut. Tugas etnografer (peneliti etnografi) adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut (Marzali 1997:xv). 3. bentuk penelitian sosial-budaya yang bertipekan (Atkinson dan Hammersley 1994:248-249): a. studi mendalam (kualitatif) tentang keragaman fenomena sosial-budaya suatu masyarakat; b. pengumpulan data primer dengan pedoman wawancara; c. penelitian pada satu atau beberapa kasus secara mendalam dan komparatif; d. analisis data melalui interpretasi fungsi dan makna dari pemikiran dan tindakan, yang menghasilkan deskripsi dan analisis secara verbal. Berdasarkan konsep dan sejarah etnografi, maka karya etnografi dapat dibagi dalam beberapa tipe, yaitu meliputi etnografi: deskriptif/ positivisme, historis, simbolik/interpretif, struktural, dan kini/ kontemporer. Tipe-tipe karya etnografi biasanya ditulis berdasarkan atau berkaitan dengan paradigma dan teori yang dianut oleh antropolog dalam penelitian etnografinya. Berkaitan dengan tipe-tipe karya etnografi, menurut Ahimsa-Putra (1987: 6-22), kajaian etnografi adalah penelahaan atas berbagai etnografi di Indonesia, yang perhatiannya difokuskan pada gaya dan isi penulisan etnografi. Secara garis besar, Ahimsa-Putra membagi etnografi ke dalam 4 tipe, yaitu etnografi: (1) awam, (2) laci, (3) analisis, dan (4) kritis. Pembagian AhimsaPutra ini nampaknya sangat berbeda dengan pembagian tipe etnografi dari Jakobson (1991:1-25). Dalam membaca dan menganalisis etnografi, Jakobson membagi etnografi dalam 3 tipe, yaitu: (1) struktural, (2) simbolik, dan (3) organisasi.
Contoh Kajian Etnografi Deskriptif Etnografi deskriptif di sini dapat juga disebut sebagai etnografi positivisme, atau etnografi laci (menurut Ahimsa-Putra), yang menunjukkan ciri-ciri yang khas. Menurut paham positivis, ilmu pengetahuan adalah upaya memperoleh pengetahuan, yang bersifat prediktif dan eksplanatori mengenai dunia eksternal. Oleh karena itu, penganut positivis harus membagun dan menyusun teori, yang merupakan pernyataan yang sangat umum, yang menyatakan mengenai hubunganhubungan yang “reguler” (berulang kembali), yang ada dalam dunia ekternal tersebut, yang disebut dengan hukum atau dalil, yang membuatnya dapat memprakirakan atau memprediksi dan menjelaskan. Pandangan positivis menunjukkan bahwa sesuatu itu merupakan kasus/contoh/ perwujudan dari suatu keterulangan (regularity), sehingga dapat dibuat prakiraan. Tugas ilmu pengetahuan bukan untuk mencapai apa yang ada di balik gejala lewat pengetahuan inderawi 4
ataupun memberi pengetahuan tentang hal-hal yang tidak dapat diamati atau tidak empiris. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan harus bersifat empiris, yaitu dapat ditangkap oleh panca indera manusia, sehingga yang ada hanyalah regularity, karena di balik itu adalah metafisika. Penganut positivis berpandangan bahwa tidak ada ”necessary connection”, sehingga penjelasan kausal ditolak, karena yang ada hanya korelasi (kecenderungan), yaitu petunjuk adanya regularity (keajegan), bukan adanya hubungan sebab akibat (kausalitas). Hal ini menunjukkan adanya prediksi positif, sebagai bagian dari keajegan, karena itu harus ada bukti ermpiris. Jadi, ciri pokok dalam positivisme adalah: 1. Gejala-gejala sosial-budaya tidak berbeda dengan gejala alam. 2. Prosedur dalam ilmu pengetahuan alam dapat ditiru atau diadopsi untuk menjelaskan gejalagejala sosial-budaya. 3. Berusaha merumuskan lukisan-lukisan (law like generalization, predictive explanatory) tentang gejala-gejala sosial-budaya, karena dalam gejala alam ada regularity (keajegan). Berikut ini dikemukakan contoh (kutipan utuh) etnografi positivisme, yang diambil dari tulisan Melalatoa (1995: 493-498) tentang suku Madura. “MADURA adalah suatu kelompok etnik penduduk asal Pulau Madura, yang sebagian menetap juga di daerah pantai utara Jttwa Timur, dan sementara yang lain tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan lain-lain. Pulau Madura sebagai wilayah asal orang Madura terletak antara paralel 6 45' LS - 7 15 LS dan pada meredian 112 15' BT - 114 '05 BT. Luas puiau Madura adalah 547.514 ha atau 5475, 14 km2. Luas ini terbagi atas wilayah Kabupaten Sumenep seluas 18.448 ha, Kabupaten Pamekasan seluas 79.155 ha, Kabupaten Sampang 137.516 ha, dan Kabupaten Bangkalan seluas 142,435 ha. Pulau ini berada pada ketinggian antara 2 - 471 meter di atas permukaan laut. Temperatur rata-rata adalah 26,61 derajat Celcius; hujan tidak merata sepanjang tahun, dan musim kering kadang -kadang sangat lama di bagian timur. Sekitar 55 % dari luas pulau ini merupakan tanah kering, dan sekitar 10 % merupakan tanah kritis, padang alang alang, dan tanah pasir. Selebihnya adalah sawah (11 %), tegalan, hutan, kampung, kota, dan lain -lain, yang secara keseiuruhan pulau ini kurang air tanah dan terbilang kurang subur. Masyarakatnya sebagian besar adalah petani yang tergantung pada hujan. Demografi. Jumlah orang Madura menurut sensus penduduk tahun 1930 adalah 4,5 juta jiwa. Ini berarti sukubangsa Madura menempati jumlah ketiga terbesar jumlah anggotanya, sesudah suku-bangsa Jawa dan Sunda. Pada masa terakhir tidak dapat diketahui lag' jumlah mereka, apalagi mereka sudah tersebar ke berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa Timur di luar pulau Madura. Namun dalam sunber tertentu, ada perkiraan jumlah orang Madura sekitar 7,5 juta jiwa . Di Pulau Madura saja pada tahun 1974 penduduknya berjumlah 2.463.835 jiwa dengan kepadatan 450 jiwa per km2. Pada tahun 1986 jumlah penduduk Kabupaten Bangkalan : 708.784 jiwa, Kabup aten Sampang : 613.921 jiwa; Kabupaten Pemekasan : 584.243 jiwa, dan Kabupaten Sumenep : 897.680 jiwa, sehingga seluruhnya berjumlah 2.804.628 jiwa. Berdasarkan data di atas dapatlah dinyatakan, bahwa sebagian besar orang Madura berada di luar pulau Madura. Menurut catatan tahun 1974 jumlah penduduk pulau ini yang bukan orang asal Madura tidak banyak jumlahnya, tanpa bisa menyebutkan jumlah pasti dalam angka. Keturunan campuran Jawa -Madura terdapat di kabupaten Bangkalan. Sedikit turunan campuran Bali-Madura mendiami daerah Penggirpanas, Sumenep. Selain dari pada itu orang Bugis dan campuran Bugis-Madura berdiam di pulau Kangean. Campuran Banjar-Madura berdiam di pulau Karamian dan Masalembu. Keturunan Cina dan Arab tersebar di pantai utara dan timur pulau ini (Lihat Proyck Penelitian dan Pencatatan Kebudayuan Daerah, Adat Istiadat Daerah Jawa Timur, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978 ). Bahasa. Mereka memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Madura. Bahasa ini terkait erat dengan bahasa Jawa, yang termasuk keluarga bahasa Hesperonesian. Bahasa ini memiliki tingkat-tingkat bahasa (social levels of speech), sesuai dengan perbedaan status hubungan dari pemakainya. Tingkatan bahasa itu adalah gaya bahasa ngoko, yang biasa dipakai antara sesama kawan akrab, gaya bahasa madia yang dipakai dalam suasana resmi, dan gaya bahasa kromo yang dipakai dalam situasi saling menghormati. Bahasa Madura mewujudkan beberapa dialek, misalnya dialek Bangkalan, yang dipakai di kabupaten Bangkalan dan Sampang. Dialek Pamekasan dipakai oleh orang-orang di selatan Kabupaten Pamekasan dan Madura bagian 5
tengah. Dialek Sumenep dipakai oleh orang-orang di Kabupaten Sumenep. Selain itu ada dialek Girpapas dan dialek Kangean yang jumlah penuturnya tidak begitu banyak. Bahasa ini dipakai oleh orang Madura di pulau Madura, penduduk pulau Sapudi, penduduk kepulauan Kangean, orang-orang Madura di Surabaya, Bondowoso, Bajuwangi, Lumajang, Jember, Probolinggo, dan lain-lain. Pada masa yang lebih akhir telah terbit sebuah kamus bahasa Madura yang disusun oleh Asis Safioedin, Kamus Bahasa Madura-Indonesia (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977). Mata Pencaharian. Sebagian besar penduduk hidup dari petani tegalan dengan tanaman utama adalah jagung, dan sebagian lainnya bersawah. Jagung merupakan makanan pokok mereka. Tanaman penting lain ialah tembakau. Di tanah pekarangan, mereka bertanam pepaya, pisang, cabai. Daerah ini juga menghasilkan buah -buahan seperti jambu air, jeruk, salak, nangka. Mereka pun memelihara sapi, kambing, kuda, kerbau. Dari laut mereka menghasilkan ikan kakap, ekor kuning, tongkol, tenggiri, cumi-cumi, dan lain-lain. Penghasilan dari garam kini tidak begitu menonjol lagi. Sebagian orang Madura hidup dari laut dan telah mengembangkan teknologi mata pencaharian kenelayanan itu. Mereka juga adalah orang-orang yang berani bergulat dengan .laut. Ketangguhannya di laut mereka buktikan dengan jelajahannya ke pantai-pantai di Nusantara ini, sampai ke Malaysia, Filipina, Madagaskar, Australia, Cina. Mereka menangkap ikan selama berhari-hari di laut bebas, dengan menggunakan perahu gole'an yang berawak lebih dari lima orang. Mereka menggunakan jaring (pajang) yang panjang dan lebar. Cara menangkap ikan yang lain dengan bagan, bangunan bambu di tengah laut, menjaring kepiting (ajaring), menangkap ikan kecil-kecil di daerah pantai (ngreket), mencari kerang di dasar laut (ngaled), memancing (manceng), dan lain-lain. Teknologi. Teknologi yang dilukiskan di sini terbatas pada rumah, makanan, dan pakaian. Orang Madura di desa-desa mengenal beberapa macam bentuk rumah, yakni yang disebut model slodoran, model sedana, dan model sedanan. Model pertama (slodoran atau malang are) adalah rumah tanpa kamar; yang keseluruhan rumah itu terdiri dari ruang dalam rumah tanpa kamar, serambi depan, dapur, kandang sapi, dan langgar. Model kedua (sedana) rumah yang mempunyai ruang-ruang untuk kamar tidur, ada Salah satu motif batik Madura dapur, kandang sapi, dan langgar. Model ke tiga (sedanan) ada ruangan dalam tata warna yang sejuk untuk kamar, ruang dalam serambi belakang merupakan ruang tamu untuk wanita, ruang dalam serambi depan, serambi depan terbuka, yang khusus untuk ruang tamu pria, serambi belakang terbuka atau tertutup, pendopo (mandapa), dan langgar. (lihat : denah .....) Bentuk atap rumah ada yang disebut bentuk gandrih, dengan dua buah bubungan berendeng, yang menyerupai kepala sapi dengan tanduknya. Bentuk atap yang lain adalah sekodan, dengan empat tiang pokok. Bentuk atap pacenanan yang pada ujung atapnya diberi hiasan seperti seekor ular. Dalam hal makanan mereka mengenal nasi jagung (nase' jagung), ketela pohon yang dibuat makanan (nase' tenggang), yang keduanya dulu merupakan makanan utama. Makanan selingan adalah ketela (nase' tela), ubi-ubian, kacang-kacangan. Makanan dan minuman khusus adalah kerupuk besar dari tepung kanji (tangguk), kerupuk yang terbuat dari ketela pohon (krupu' tette), dodol ketan (jubada), ketan yang dibakar dalam bambu (lemmeng), tepung beras dengan gula merah (kocor), soto Madura, sate Madura, makanan dari kerang kecil (lorju'), dan lain-lain. Minuman yang agak khusus adalah minuman yang dibuat dari tepung beras dicampur rempah yang disebut gendir, minuman semacam serbat yang dinamakan poka', dan minuman yang bernama la’ang. Orang Madura memiliki busana yang menampilkan ciri sendiri. Pada masa lalu, busana berbeda antara satu golongan dengan golongan lain dalam masyarakatnya, misalnya orang kebanyakan, priyai, bangsawan. Busana wanita orang kebanyakan dikenal dengan baju sono atau baju kurung berwarna hitam; sarung poleng dengan warna hitam atau merah berbelang dengan warna menyolok. Busana kaum pria berupa baju pesa berwarna hitam, celana gomboran yang lebar berwarna hitam, ikat kepala (odeng), dan lain-lainnya. Wanita golongan bangsawan memakai baju sono berenda, berwarna hitam yang umumnya dari bahan beledru. Kaum prianya memakai baju taqwo dengan warna putih berkancing emas, mengenakan sarung plekat. Masih ada lagi variasi unsur-unsur pakaian yang menjadi simbol status golongan-golongan tadi di masa lalu. Organisasi Sosial. Prinsip keturunan orang Madura bersifat bilateral. Garis keturunan ditarik melalui pihak laki-laki maupun perempuan. Tetapi sistem pewarisan gelar, yang masih terdapat pada golongan bangsawan, berlaku secara patrilineal dan diwariskan hanya kepada anak laki-laki. Di Madura terdapat satuan kekerabatan yang disebut koren, yaitu beherapa keluarga yang menempati suatu pekarangan tertentu, terpisah dari koren yang lain. Suatu koren biasanya didiami oleh suatu keluarga sampai empat generasi, dengan rumah yang berjumlah tidak l ebih dari 10 buah. Kesatuan yang lebih besar daripada koren adalah kampung, yang namanya berbeda-beda antara satu daerah dengan di daerah lain. Di daerah pegunungan, kampung yang disebut kampong meji terdiri atas 20 rumah, yang didiami oleh lima generasi keturunan. Di daerah Sumenep, kampung yang disebut tanean lanjeng didiami oleh suatu keluarga besar, dengan rumah-rumah yang dibangun saling berhadapan. Selain itu, ada juga pamengkang, yaitu kampung yang terdiri atas paling banyak lima rumah yang didiami oleh tiga generasi 6
keturunan. Suatu desa di Madura dipimpin oleh seorang kepala desa (kelebun). Dalam menjalankan tugasnya, kelebun dibantu oleh tiga orang pembantunya, yaitu carek (juru tulis) yang membantu di bidang administrasi desa; modin yang membantu kepala desa dalam masalah keagamaan, misalnya perkawinan, perceraian, rujuk; dan apel yang mengepalai sebuah kampung. Selain tokoh -tokoh formal desa ini, tokoh agama Islam, kiyai dan santri, di Madura mempunyai peranan sangat besar. Mereka merupakan lapisan sosial tersendiri, yang kedudukannya sangat dihormati dalam masyarakat. Daur Hidup. Orang Madura pun mengembang-kan pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan tertentu dengan berbagai upacara dalam lingkaran hidup individu (daur hidup), mulai dari bayi masih dalam kandungan dan setelah kematian seseorang. Wanita yang sedang metagandung dipantangkan dalam hal makanan, tindakan, ucapan tertentu. Wanita hamil tidak boleh makan jenis ikan yang bersengat seperti kepiting, lele, karena dianggap mengandung racun. Cumi-cumi juga dipantangkan, karena dianggap akan mendapatkan kesulitan waktu melahirkan. Dilarang makan nenas dan durian yang bisa menyebahkan keguguran. Makan tebu akan menyebabkan pendarahan waktu bersalin. Demikian masih ada pantangan lain dalam ha l makanan, yang masing-masing punya latar belakang pengetahuan yang mnngkin diperoleh dari pengalaman. Pantangan lain berupa tindakan adalah larangan membunuh binatang, tidur melingkar, duduk diambang pintu, makan sambil menyangga piring, dilarang bersang gama pada malam Selasa, Rabu, Sabtu, dan Minggu, pada malam hari raya Idul Fitri, malam hari raya Idul Adha. Bagi suami dilarang mencari makanan hewan (aramba) bila isterinya hamil. Pantangan ini sesungguhnya hanya merupakan suatu kias agar suami jangan mencari wanita yang lain yang lebih muda ('daun muda'). Wanita hamil tidak boleh mengolok-olok orang cacat, tidak boehh bergunjing (san rasanan), dan lain-lain. Sebaliknya ada hanyak anjuran bagi wanita hamil. Dalam hal makanan dianjurkan makan kelapa yang dimakan bulan, agar anaknya cantik seperti bulan. Wanita hamil dianjurkan minum jamu secara teratur pada malam Senin dan Kamis. Pada waktu minum jamu gigi tidak boleh kelihatan dan tangan kiri melintang di atas buah dada sambil menghadap kiblat. Wanita hamil yang kebetulan melihat sesuatu yang tidak boleh dilihatnya harus nyebbut, mohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari hal itu, sambil mengelus perut dengan tangan kanan. Suami pun harus berlaku sopan dan ramah, dan lain-lain anjuran. Semasa mengandung ini ada satu upacara besar, yang disebut pelct kandung, yaitu pada waktu itu hamil tujuh bulan, di s a m p i n g ada upacara kecil pada bulan-bulan sebelumnya (lihat Ny. Adyaryani, Mengenai Adat dan Upacara Kelahiran di Madura, Surabaya, 1981). Menghadapi suatu kelahiran dan sesudah kelahiran banyak pengetahuan dan keyakinan yang mereka terapkan agar sang bayi dan ibunya selamat, yang juga dilukiskan oleh Ny. Adyaryani (1981) tersebut di atas. Upacara daur hidup lainnya adalah khitanan, khatam Al Qur'an, papar gigi, haid pertama, perkawinan, dan kematian. Khitanan ada yang mengikuti tata cara menurut adat, misalnya dengan menanggap wayang, si anak yang akan disunat diarak seperti penganten (mantan taddhuk). Kebanyakan orang, terutama di desa, menyelenggarakan sunatan itu dengan sederhana saja. Kalau ada anak yang khatam Qur'an, maka para tetangga dan kiyayi yang mengajarnya diundang untuk menghadiri selamatan. Anak itu disuruh mengaji dan para undangan mendengarkan, dan kemudian dibacakan doa. Kepada kiyayi tadi diberi hadiah (tor-ator), biasanya berupa bahan pakaian, sarong dan kopiah. Pada masa lalu, anak wanita yang mendapat haid pertama diadakan upacara. Selama tujuh hari tidak boleh menginjak tanah. Ia dimandikan dengan air wewa ngian, diminumkan bermacam jenis jamu, diberi pengetahuan tentang seks. Anak itu diberi tahu bahwa antara pria dan wanita yang tidak muhrim dilarang hersentuhan. Kehormatan wanita harus dipertahan-kan, dan lain-lain ajaran. Pada hari ke tujuh ketika haid itu sudah selesai, ada selamatan nasi ketan kuning dengan telor dan sambel yang disebut nase' ponar. Para gadis yang akan kawin giginya dipapar tanpa ada upacara. Adat Perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu unsur daur hidup yang penting pada hampir semua masyarakat, termasuk pada masyarakat Madura ini. Banyak aturan adat berdasarkan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang harus dilaksanakan dalam rangka suatu perkawinan. Menurut adat, tahap -tahap dalam proses perkawinan di Madura dimulai dengan mencari gadis bagi jodoh anak laki yang dise but nyalabar. Tahap ini dilanjutkan dengan menghubungi pihak wanita (narabas pagar), dan kalau dapat diterima dilanjutkan dengan pertunangan yang diikat dengan penyengset. Gadis yang akan memasuki jenjang perkawinannya harus menjalani pingitan selama 40 hari. Selama itu ia harus berada di dalam kamar, segala kebutuhannya diantar, dan wajib minum jamu dengan maksud agar kehadirannya di pelaminan akan bersinar. Akhirnya dilangsung kan ijab kabul yang sebelum dan sesudahnya diwarnai dengan tata cara adat, yang pada masa lalu penuh dengan hal-hal yang be rsifa t simbolis. Iring-iringan pengantin pria yang datang ke rumah penganten wanita disebut panganten ngekak sangger. Rombongan ini biasanya diiringi dengan suara musik hadrah. Mereka membawa barang-barang bawaan dari pihak pria yang disebut bangiban. Barang itu antara lain sepasang ayam dari kayu yang melambangkan tekad penganten pria dalam menempuh hidup haru. Kembang sekar mayang yang menggambarkan harapan terhadap kelimpahan rezeki, dan bawaan lain yang bersi fat simbolis yang mengandung harapan dan makna tertentu. Seusai ijab kabul, kedua penganten diwajibkan menganyam bambu (ngekak sangger), yang merupakan suatu perlambang saja. Kedua penganten akan menjadi anggota dan menyatu dalam dua 7
keluarga besar dan mereka harus menjalin hubungan demi kelestarian rumah tangganya. Sekarang sudah tidak lagi secara langsung menganyam bambu itu, tapi hanya sekedar meraba-raba anyaman hambu yang sudah tersedia (Kompas, 16-2-1992). Adat menetap nikah dalam ma s y a r a k a t ini cunderung memilih adat matrilokal. Hal ini berkaitan dengan adat yang men g h ar u sk a n orang tua membuat rumah bagi anak -anak perempuan-nya. Oleh sebab itu sesudah kawin, seorang isteri jarang yang ikut ke lingkungan suaminya. Rumah -rumah itu dibuat berjajar sesuai dengan jumlah anaknya di sebuah "halaman panjang" (tanian lanjang). Kelompok kerabat ini merupakan sebuah compound, kelompok keluarga yang berdiam dalam satu pekarangan. Seperti yang tampak di desa Lenteng Timur, Kecamatan Lenteng. Sumenep, di tanian lanjang ini semua rumah-rumah menghadap ke selatan yang berjajar dari barat ke timur. Di ujung barat biasanya berdiri sebuah langgar untuk tempat pertemuan keluarga atau tempat menjamu dan menginap tamu-tamu yang datang dari jauh. Bersama orang tuanya dan ana k yang lebih muda terus tinggal berurutan arah ke timur. Anak perempuan tertua, bagi masyarakat Madura, dipandang sebagai mewakili atau gantinya ibu tempat pulang atau berkumpulnya anak-unaknya, justru orang tua pun memang tinggal di sana. Sekarang pola letak rumah di tanian la n ja ng mulai berubah, antara lain karena terbatasnya tapak rumah itu (Kompas, 2 4 - 11992). Religi. Sebagian terbesar orang Madura adalah pemeluk agama Islam. Islam yang masuk ke Madura sekitarnya pertengahan abad ke-15, pengaruhnya amat kuat, baik dari perilaku masyarakatnya dan terlihat pula dari banyaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam. Bukti sejarah lain sebagai contoh saja adalah, sebuah mesjid Jami' dengan arsitektur yang indah didirikan tahun 1763 di Sumenep masih berdiri anggun sampai sekarang. Walaupun demikian, kepercayaan asli, yaitu kepercayaan terhadap kesaktian roh leluhur, makhluk halus, dan sebagainya. masih tersisa pada sebagian anggota masyarakatnya. Karapan Sa pi. Karapan sapi adalah salah satu perminan rakyat Ma dura. Orang Madura menyebut permainan itu k e r a b e n s a p e h . Pe r ma in an ini melombakan p a s a n g a n - p a s a n g a n sapi yang dik en da lik an oleh s e o ra n g 'jok i' yang disebut pe no mpa k . Pasangan sapi itu dilihat dan diukur kecepatan larinya dalam menempuh jarak sekitar 10 0- 1 50 meter. Menurut Ar ies Sudiono (Sinar Harapan, 5-9-1982) permainan ini konon telah ada pada masa raja Ar jaw ir a ja memerintah kerajaan Madura se kitar abad 1213 M. yang d ila k u k an oleh sekelompok petani setelah usai masa panen, dengan melombakan pasa ngan sapi itu dari satu pematang ke pematang sawah. Sekarang karapan sapi itu diselenggarakan di tempat yang telah disediakan lebih khusus. Permainan ini ada yang dilombakan antar desa untuk tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, atau antar kabupaten yang ada di pulau Ma d u r a , y a itu Kabupaten Bangkalan, Sumenep, Sampang, dan Pamekasan. Sistem pertandingan sudah diatur adanya babak penyisihan dan sampai babak final yang disebut babak peresan. Suatu p er lo mb aa n resmi biasanya disediakan hadiah bagi pemenangnya. Menurut Sudiono (1982) pada masa yang lebih akhir, pemerintah setempat mengeluarkan persyaratan di mana sapinya harus asli dari Madura, umur antara 3 -7 tahun, berat rata-rata 200 kg. dan tinggi 120 cm. Suatu peristiwa perlombaan karapan sapi biasanya menampilkan puluhan pasang yang berlangsung dari pagi sampai petang. Sebelum perlombaan dimulai, sapi-sapi itu diarak di sekitar arena dan dikenakan kostum 'warna-warni' dengan kombinasi warna khas Madura. Selama berlangsung acara itu ada iringan bunyi-bunyian seperti Sronen dan Sandur. Sronen melahirkan irama gabungan bunyi alat-alat musik kendang, cer-cer, kempol, kenong telo, gong, dan kejungan. Ketika sapi akan dilombakan, pasanganpasangan sapi itu terlebih dahulu "disatukan" dengan apa yang disebut pengenong. Pengenong itu terbuat dari kayu atau bambu yang menghubung-kan kedua sapi pada bagian lehernya. Alat ini menjepit dan terikat kukuh pada Karapan Karapan Sapi Sapi leher sapi, sehingga pasangan sapi itu tidak terpisah ketika sedang berlari dalam kecepatan yang tinggi. Pada pengenong itu terikat pula tiga potong kayu yang menjulur ke belakang di sela -sela badan kedua sapi, yang dinamakan keleles. Keleles berfungsi antara lain sebagai tempat berjuntai kaki 'joki' (penompak). Penompak berperan mengendalikan dan memacu pasangan sapinya agar berlari secepat mungkin. Upaya memacu sapi ini dengan cara melecut, bahkan menusuk-nusuk punggung sapi dengan benda tajam, seperti paku yang memang telah disediakan. Punggung sapi karapan itu memang biasanya penuh luka terkena tusukan jokinya yang mengharapkan sapinya berlari secepatnya dan menang. Selesai perlombaan luka pada punggung 8
sapi itu diobati dengan cabe, sambel, spiritus, dan lain -lain. Permainan karapan ini mempunyai macam-macam aturan, melahirkan berbagai kebiasaan, dengan latar belakang sistem pengetahuan dan kepercayaan tertentu.Hal itu melahirkan perilaku di kalangan pemilik sapi, kerabatnya, dan lingkungan sosial lain yang lebih luas. Aturan dan perilaku tadi terwujud pula pada orang-orang di sekitar arena dan bahkan di luar arena. Berbagai aktivitas di luar arena sudah dilakukan jauh sebelum perlombaan itu berlangsung. Perilaku berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan tadi sudah mulai tampak sejak adanya pemilihan sapi yang akan dipelihara untuk kerapan. Sapi karapan harus menunjukkan ciri-ciri tertentu. Ciri yang tampak lahir antara lain, jantan, kulit tipis, kaki kecil, lidah kencang, kuping keras, bulu merah. Di samping itu mereka juga memperhatikan pusar, ekor, telapak kaki (kokot) dengan ciri tertentu pula. Dengan ciri-ciri tersebut mereka berharap, sapi itu memiliki daya lari yang cepat. Oleh pemiliknya, sapi karapan itu biasa diberi nama. Nama-nama sapi yang pernah terkenal, misalnya : Si Bintang Madu, Indrajit, Cumpot, Timang Anak, Roket, Appolo, Si Krakap, Si Belis, Sebuyut, Seracun, dan lainlain. Pada nama itu sendiri, mereka menitipkan harapan agar sapinya berlari cepat dan menang. Memelihara sapi karapan bukanlah pekerjaan yang ringan bagi pemiliknya, meskipun pekerjaan itu meru pakan suatu kesenangan. Pemeliharaan itu menyebabkan adanya pengeluaran ekstra yang cukup besar dan menimbulkan kesibukan tertentu. Biaya yang dikeluarkan antara lain untuk membeli telor, bahan jamu seperti jahe, kunyit, laos, jeringo, dan lain-lain. Untuk sapi itu pun disediakan pisang dan gabah. Makanannya harus rumput yang bersih, pohon serta daun jagung. Semua itu untuk membuat sapi jadi sehat, langsing tubuhnya, tidak galak, dan cepat larinya. Jauh-jauh hari sebelum tiba hari perlombaan, pemilik sapi telah dikunjungi oleh para kerabat, te ma nte ma n , dan orang lain yang punya kepentingan tertentu. Biasanya mereka datang pada malam hari untuk mengobrol, memberi semangat bagi pemilik sapi, atau mengatur strategi dalam menghadapi perlombaan yang akan datang. Malam-malam seperti itu, pemilik sapi menyediakan tamunya makanan, minuman, rokok, dan lainlain. lnilah yang menambah besarnya pengeluaran esktra tadi. Pemilik sapi harus pula mengeluarkan biaya untuk selamatan yang diadakan beberapa hari sebelum hari perlombaan. Pada acara selamatan ini ada pembacaan doa, mengharap datangnya berkat dan keselamatan. Pada selamatan itu disyaratkan tidak memotong ayam atau daging sebagai !auk. Lauk yang dibenarkan adalah ikan, seperti bandeng, tongkol, pindang. Semua mempunyai alasan tersendiri bagi mereka. Menjelang perlombaan, pemilik sapi tertentu ada yang pergi nyekar ke kuburan selama beberapa hari, terutama pada malam hari. Semua itu merupakan sarana untuk menitipkan harapan agar sapinya menang. Kemenangan itu tentu menimbulkan kepuasan tersendiri, bahkan untuk mengangkat derajat di mata masyarakat lingkungannya. Orang Madura pada umumnya sangat menyenangi permainan ini. Di antara para penonton tidak jarang yang bertaruh, dan taruhannya ada yang mencapai jutaan rupiah; dan pihak yang berduit telah mencemari kemurnian permainan itu (Suara Pembaruan, 22-11-1991). Karapan sapi ini juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan untuk datang ke pulau Madura. Terbitan yang relatif baru untuk lebih jauh mengenali Madura antara lain dari karya Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman : Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (Jakarta, Gramedia, 1989)”. (Sumber: Melalatoa
1995: 493-498) Setelah membaca tulisan Melalatoa tentang suku bangsa Madura tersebut, menunjukkan adanya tata urut deskripsi etnografis yang sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (1998:2), isi dari sebuah karangan etnografi adalah suatu deskripsi mengenai kebudayaan etnik dari suatu suku bangsa secara holistik (keseluruhan). Seorang ahli antropologi yang mencari suatu kesatuan etnografi untuk dijadikan pokok penelitian dan pokok deskripsi etnografinya, tentu juga menghadapi masalah yang berbeda-beda dalam unsur-unsur kebudayaan yang dihadapinya. Selanjutnya, Koentjaraningrat (1998:3-4) mengemukakan bahwa bahan mengenai kesatuan kebudayaan suku bangsa di suatu komunitas dalam suatu daerah geografi, ekologi atau suatu wilayah administratif yang menjadi pokok deskipsi, biasanya dibagi ke dalam bab bab tentang unsur-unsur kebudayaan, sesuai dengan tata-urut yang baku, yang disebut "kerangka etnografi". Menurut Koentjaraningrat (1998: 5), untuk merinci unsur-unsur bagian dari suatu kebudayaan, sebaiknya dipakai daftar unsur -unsur kebudayaan universal, yaitu: (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistern ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) siste m 9
pengetahuan, (6) kesenian, dan (7) sistem religi. Karena unsur -unsur kebudayaan bersifat universal, maka dapat diperkirakan bahwa kebudayaan suku bangsa yang dideskripsi juga mengandung aktivitas adat-istiadat, pranata-pranata sosial, dan benda-benda kebudayaan yang dapat digolongkan ke dalam salah satu di antara ketujuh unsur universal. Para ahli antropologi dapat memakai sistem tata-urut dari unsur-unsur sesuai dengan selera dan perhatian mereka masing-masing. Buku-buku etnografi mengenai kebudayaan suku-suku bangsa di berbagai tempat di dunia umumnya memakai daftar unsur -unsur kebudayaan universal
sebagai
kerangka
etnografinya
(Koentjaraningrat
1998:5 -6).
Menurut
Koentjaraningrat (1998:6-7) sistem yang paling lazim dipakai adalah sistem dari unsur yang paling konkret ke yang paling abstrak. Dengan demikian selain unsur bahasa yang selalu diuraikan dalam bab yang paling depan, sebagai unsur yang dapat memberi identifikasi kepada suku bangsa yang dideskripsi, unsur yang dideskripsi kemudian adalah sistem teknologi. Sistem religi adalah unsur yang menempati tempat yang paling belakang. Pemikiran Koentjaraningrat mengenai “kerangka etnografi” tersebut bila dikaitkan dengan dasar pemikiran dari paradigma-paradigma yang ada, maka dapat dikatakan bahwa pemikiran Koentjaraningrat yang berkaitan dengan kebudayaan itu dapat digolongkan sebagai pemikiran positivisme. Meskipun Koentjaraningrat sendiri tidak menempatkan dirinya dalam salah satu aliran, yang dapat digolongkan ke dalam paradigma positivisme, karena Koentjaraningrat tidak pernah menyatakan secara jelas, baik secara implisit maupun eksplisit.
Bacaan yang dikutip Ahimsa-Putra, Heddy Shri 1987 “Etnografi Sebagai Kritik Budaya: Mungkinkah di Indonesia?, Jerat Budaya, 1(1): 1-29. 1997
“Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologis”, dalam EKM. Manisambow (ed,), Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta: AAI dan Yayasan Obor, hal.25-48. Budisantosa 1991 “Corak Kebudayaan Indonesia”. Studi Indonesia, 01:11-62. Koentjaraningrat 1993 “Pendahuluan”, dalam Koentjaraningrat, (ed.), Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia, hal. 1-18. Melalatoa, M. Junus 1995 Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997a “Kajian Etnografi dan Pembangunan di Indonesia”, dalam EKM. Mansinambow, (ed.), Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 93-104. 1997b “Muatan ‘Kebudayaan Daerah’ di Indonesia”, dalam M. Yunus Melalatoa, (ed.), Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Pamator, hal. 249-259.
---@---
10