STUDI POLA PENYESUAIAN DIRI MAHASISWA LUAR JAWA DI UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI MALANG Zuni Mitasari1, Yuswa Istikomayanti2 Program Studi Pendidikan Biologi / Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang Alamat Korespondensi : Jl. Telaga Warna Blok C, Malang, Telp (0341) 565500/ Fax (0341) 565522, Universitas Tribhuwana Tunggadewi E-mail: 1)
[email protected], 2)
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penyesuaian diri mahasiswa luar Jawa yang kuliah di Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data diambil dengan metode purposive sampling dengan instrumen penelitian berupa angket dan wawancara. Berdasarkan data penelitian diperoleh informasi bahwa mahasiswa luar Jawa mengalami culture shock di tahun pertama kuliah di Malang. Masalah yang dialami yaitu berkaitan dengan, 1) finansial, 2) kesulitan bahasa, 3) makanan, 4) suhu dan iklim. Upaya-upaya penyesuaian diri yang dilakukan yaitu dengan aktif menjalin komunikasi dan berelasi dengan mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus. Banyaknya teman yang berasal dari daerah yang sama dan keikutsertaan dalam organisasi mahasiswa dapat membantu mempercepat penyesuaian diri mahasiswa yang berasal dari luar Jawa. Kata kunci: Luar Jawa, Mahasiswa, Penyesuaian Diri, UNITRI 1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan ragam budaya, agama, suku, dan adat istiadat. Hal tersebut didukung dengan letak geografis Indonesia yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Tingginya tingkat gerak sosial-geografis memungkinkan terjadinya kontak budaya diantara penduduk Indonesia [1]. Interaksi antar budaya dialami oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang mengambil pendidikan tinggi di kota-kota besar Indonesia. Beberapa kota besar di Indonesia yang dijadikan tujuan utama untuk melanjutkan studi tingkat perguruan tinggi, yaitu Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, dan Malang. Kota-kota pendidikan tersebut memiliki banyak pilihan universitas maupun sekolah tinggi dengan sarana dan prasarana yang lengkap, tempat dan iklim yang kondusif sebagai tempat belajar, dan juga memiliki daya saing dan prestasi yang membanggakan. Universitas Tribhuwana Tunggadewi (UNITRI) merupakan salah satu perguruan tinggi swasta yang terletak di Kota Malang. Mahasiswa kampus ini sangat beragam baik ditinjau dari asal daerah, agama, suku, bahasa, dan budaya sehingga bisa merepresentasikan keberagaman rakyat Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada awal tahun masuk ajaran baru ada banyak mahasiswa baru yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, terutama berasal dari Indonesia timur. Mahasiswa UNITRI berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua bahkan dari negara tetangga, yaitu Timor Leste. Malang merupakan salah satu Kota Pendidikan di Jawa Timur yang memiliki iklim yang kondusif dan nyaman untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Mahasiswa yang berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia ini menyebabkan dinamika sosial dan budaya yang tinggi. Para pelajar inilah yang membentuk keanekaragaman budaya dan muncul nuansa multikultural baik di lingkungan kampus maupun suasana di lingkungan tempat tinggal mereka. Malang khususnya kampus UNITRI dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia karena dapat ditemukan sejumlah mahasiswa dengan berbagai macam latar belakang budaya dengan berbagai macam karakter yang mencerminkan kekhasan budaya tanah air. Para mahasiswa baru yang pertama kali merantau ke daerah baru berpotensi mengalami culture shock. Culture shock merupakan suatu bentuk tekanan dan kecemasan yang dialami oleh 796
SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
orang-orang ketika berpindah ke suatu tempat dengan kondisi sosial dan budaya yang baru [2]. Seseorang yang pergi ke suatu tempat baru dan menetap dalam jangka waktu tertentu akan menghadapi tantangan hidup berupa keadaan lingkungan yang baru dan asing. Contohnya adalah mahasiswa dari luar pulau Jawa yang memiliki lingkungan dan budaya yang sangat berbeda kemudian melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi di pulau Jawa. Culture shock dapat menyebabkan seseorang mengalami kebingungan terhadap lingkungannya dan menimbulkan emosi negatif [3]. Seseorang yang mengalami culture shock akan merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau tidak mengetahui cara mengerjakan sesuatu di lingkungan yang baru, secara umum ini dialami oleh mahasiswa baru pada awal kedatangan di lingkungan yang baru. Mahasiswa luar Jawa harus berusaha menyesuaikan diri atau melakukan tindakan adaptif untuk menghadapi masalah dan tekanan dengan melakukan proses penyesuaian diri terhadap keadaan masyarakat dan budaya di tempat baru. Upaya dan pola penyesuaian diri mahasiswa mahasiswa sangat beragam sesuai dengan kepribadian, jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, lingkungan dan status sosial ekonomi [4]. Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru yang memungkinkan adanya banyak tuntutan agar dapat memahami budaya di tempat baru. Respon yang terjadi tidaklah cepat karena ada perbedaan bahasa, adat istiadat, dan cara berkomunikasi yang memerlukan waktu tidak singkat [1]. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam melakukan penyesuaian diri karena perlu mempelajari dan memahami secara terus-menerus. Informasi mengenai culture shock diperlukan karena faktor tersebut dapat mempengaruhi kegiatan belajar mengajar mahasiswa. Selain itu hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan kajian institusi dalam merancang kegiatan pendidikan dan kemahasiswaan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengetahui penyebab terjadinya culture shock mahasiswa luar jawa yang menempuh pendidikan di UNITRI, 2) mengetahui dampak terjadinya culture shock, dan 3) mengetahui pola penyesuaian diri mahasiswa luar jawa dalam menghadapi culture shock. Berdasarkan permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul “Studi Pola Penyesuain Diri Mahasiswa Luar Jawa di Universitas Tribhuwana Tunggadewi”. 2. METODE Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Populasi dalam penelitian adalah mahasiswa UNITRI yang berada pada tahun pertama kuliah (angkatan 2016) sedangkan sampel penelitian berjumlah 79 orang mahasiswa. Gambaran data penelitian berdasarkan asal daerah mahasiswa, yaitu Nusa Tenggara Timur (63 responden), Kalimantan (9 responden), Maluku (4 responden), Papua (2 responden), Timor Leste (1 responden). Jika ditinjau dari agama yang dianut mahasiswa, maka ada tiga kelompok agama, yaitu Katholik (44 responden), Kristen (20 responden), dan Islam (15 responden). Metode yang digunakan dalam penentuan sampel yaitu purposive sampling, yaitu secara sengaja menentukan suatu kriteria dengan tujuan agar peneliti memperoleh manfaat dari pengetahuan dan pengalaman dari kelompok yang menjadi sampel penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan, yaitu teknik aksidental karena populasi penelitian tidak dapat ditentukan sebelumnya secara pasti sehingga menjadikan siapa saja yang dianggap cocok sebagai sumber data. Instrumen penelitian yang digunakan berupa angket dan hasil wawancara. Penelitian ini dilaksanakan antara bulan Maret sampai Juni 2017 di UNITRI. Survei penelitian dilakukan terhadap mahasiswa yang memiliki syarat-syarat responden penelitian, yaitu 1) mahasiswa UNITRI yang berasal dari luar Jawa 2) belum pernah tinggal menetap di kota Malang sebelumnya, 3) sedang menjadi mahasiswa untuk program studi di UNITRI dengan lama studi minimal 1 semester dan berada pada tahun pertama perkuliahan (semester awal), dan 4) tidak memiliki keluarga yang tinggal menetap di kota Malang. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyesuaian memiliki arti yang sangat luas dan umum digunakan dalam berbagai konteks yang mengandung arti manajemen perilaku dalam kaitannya dengan lingkungan [5]. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai istilah yang mengacu pada kemampuan individu dalam bersosialisasi Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017
797
dengan lingkungannya dan sekaligus melihat sejauh mana peran individu tersebut dalam lingkungan masyarakat. Seseorang yang dapat menyesuaikan diri akan merasakan nyaman secara psikologis dengan hal-hal yang ada pada lingkungan barunya. Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang berjalan dinamis dan bertujuan untuk tingkah laku seseorang agar tercipta hubungan yang baik antara individu dengan lingkungannya. Penyesuaian diri yang dihadapi oleh mahasiswa perantauan menyangkut aspek akademis dan non-akademis, anatara lain aspek psikologis, seperti rasa rindu ingin pulang (homesick) dan jarak geografis dari keluarga, aspek kultural seperti harus menyesuaikan diri terhadap norma sosial yang baru dan juga interaksi antara dosen dan mahasiswa yang berbeda pengalaman orientasi nilai, seperti jarak kekuasaan (power distance), selain itu juga faktor cuaca dan makanan [3]. Kriteria kemampuan adaptasi mahasiswa dijabarkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kualifikasi Kemampuan Adaptasi Mahasiswa No Kriteria Interval 1 Sangat Tinggi 76%-100% 2 Tinggi 51%-75% 3 Sedang 26%-50% 4 Rendah 0%-25%
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh diketahui bahwa rata-rata kondisi culture shock yang dialami oleh mahasiswa yaitu sebesar 60% (kategori tinggi) dan faktor-faktor yang menyebabkannya sebesar 48% (kategori sedang) meskipun demikian kemampuan adaptasi mahasiswa juga tergolong tinggi yaitu sebesar 51%. Kemampuan adaptasi mahasiswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adaptasi dengan persentase sebesar 54% (kategori tinggi). 3.1 Penyebab Terjadinya Culture Shock pada Mahasiswa Luar Jawa Setiap mahasiswa yang memasuki budaya baru akan mengalami penyesuain diri dalam bentuk interaksi sosial. Hal mendasar yang dialami mahasiswa baru dai luar Jawa adalah kesulitan sosial antara mahasiswa tersebut dengan penduduk asli di tempat baru [3]. Selama kurun waktu proses penyesuain diri tersebut, mahasiswa akan mengalami beberapa tahap penyesuaian diri dalam menghadapi culture shock. Beberapa aspek yang dapat menyebabkan culture shock berdasarkan hasil angket dn wawancara terhadap informan, yaitu: 1. Faktor Internal Pengaruh intrapersonal dalam diri Individu, seperti keterampilan komunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, kemampuan bersosialisasi dan ciri karakter individu, toleransi dan kemandirian berada jauh dari keluarga berpengaruh pada besar kecilnya terjadi penyebab culture shock. Informan yang tidak memiliki saudara yang dikenal di Malang cenderung mengalami culture shock yang cukup tinggi karena kurangnya informasi terkait lingkungan baru maupun kondisi perkuliahan di Malang, khususnya di UNITRI. Kurangnya persiapan dalam menghadapi budaya baru dapat mengakibatkan timbulnya masalah ketidaknyamanan secara luas dan lebih kompleks [1]. 2. Faktor Eksternal Culture shock dapat terjadi lebih cepat jika budaya di tempat baru semakin berbeda dari daerah asal. Pebedaan tersebut diantaranya perbedaan sosial, budaya, adat istiadat, agama, iklim, makanan, bahasa, pendidikan, serta aturan dan norma-norma sosial [1].
a. Linearitas jurusan SMA/SMK dan kuliah Ada mahasiswa yang kesulitan memahami materi kuliah dikarenakan ketidaksesuaian jurusan waktu di SMA dengan jurusan yang diambil di kuliah. Misalnya, waktu SMA masuk jurusan bahasa sedangkan kuliah mengambil Program Studi Agribisnis. Mereka harus mempelajari matakuliah Kimia, Biologi, maupun Fisika yang termasuk ke dalam rumpun IPA. Hal tersebut
798
SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
b.
c.
d.
e.
f.
g.
dapat menyebabkan stres bagi mahasiswa dan juga berdampak pada proses dan hasil belajar mahasiswa. Bahasa Bahasa dan logat yang berbeda menyebabkan mahasiswa kesulitan dalam berinteraksi dengan teman-temannya. Kesulitan dalam pemahaman bahasa dapat mengakibatkan sulitnya komunikasi antar individu dan pada akhirnya akan memicu stres. Volume suara mahasiswa dari lar Jawa yang cenderung tinggi juga terasa asing bagi mahasiswa dari Jawa yang terbiasa dengan volume suara yang cenderung rendah. Ekonomi Berdasarkan infomasi yang didapat dari informan mereka menyampaikan bahwa sebagian besar mata pencaharian orang tua mereka adalah petani sehingga mereka harus belajar mengatur uang kuliah agar dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Tidak adanya laptop dan komputer juga menjadi salah satu kendala karena mahasiswa kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas dosen. Pada akhirnya informasi cukup sulit untuk diperoleh. Sosial budaya Adat istiadat Jawa yang berbeda jauh dengan adat istiadat daerah asal informan mau tidak mau mengharuskan mereka mengikuti semua peraturan yang sudah ditetapkan jika melanggar aturan maka mereka akan menerima sanksi oleh masyarakat. Meskipun begitu informan menyampaikan bahwa masyarakat Malang yang termasuk ke dalam suku Jawa sangat ramah dan bahasanya halus. Selain itu, lingkungan sangat tertib dan masyarakatnya pun juga sopan. Lingkungan akademik Lingkungan di perguruan tinggi sangatlah berbeda jauh jika dibandingkan dengan kehidupan sekolah. Mahasiswa baru harus aktif mencari informasi terkait dengan kegiatan awal perkuliahan. Perencanaan perkuliahan dengan sistem Satuan Kredit Semester (SKS) dan juga penjadwalan matakuliah menggunakan Kartu Rencana Studi (KRS) pada akhirnya mengharuskan mahasiswa baru harus aktif membaca dan bertanya. Mahasiswa baru cenderung merasa gelisah, cemas, atau bahkan takut jika mereka ketinggalan informasi. Makanan Makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi culture shock. Kebiasaan, pola, dan juga menu makanan menjadi kendala mahasiswa baru yang berada di Malang. Mahasiswa baru harus melakukan penyesuaian diri terhadap hal ini. Informan lebih cenderung menyukai memasak makanan sendiri karena dapat menyesuaikan dengan selera. Pola, jenis, rasa dan porsi makan setiap orang sangat berkaitan erat dengan kultur dimana ia tinggal. Oleh karena itu, ketika individu tersebut berada di daerah baru dengan pola, jenis, rasa dan porsi makan yang berbeda, maka akan mengalami kekagetan dan frustasi yang mengarah pada terjadinya culture shock [1]. Ketidak cocokan dalam pola, jenis, rasa, dan pori makanan ini seringkali dapat mengakibatkan keluhan penyakit pencernaan. Iklim dan cuaca Wilayah Malang termasuk ke dalam wilayah pegunungan yang beriklim dingin. Hal tersebut menjadi masalah bagi mahasiswa baru yang berasal dari luar Jawa. Jika diabaikan maka dapat menimbulkan berbagai macam penyakit seperti batuk, demam, dan flu bahkan penyakit alergi.
3.2 Dampak Culture Shock yang Dialami Mahasiswa Luar Jawa Stres merupakan suatu keadaan dimana seorang individu mengalami tekanan atau tuntutan agar dapat melakukan penyesuaian diri, misalnya tuntutan untuk beradaptasi dengan budaya baru dengan melakukan perubahan sikap dan tingkah laku ketika berada dan tinggal di daerah baru [6]. Adanya berbagai tekanan dan tuntutan tersebu, seorang individu akan berupaya untuk mencari cara untuk menghadapinya. Terdapat enam aspek yang menjadi ciri terjadinya culture shock, yaitu 1) Ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, 2) Perasaan kehilangan keluarga, teman, status, dan kepemilikan, 3) Penolakan terhadap dan dari orang-orang di lingkungan yang baru, 4) Adanya kebingungan mengenai peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri, 5) Tidak menyukai kenyataan adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai atau norma Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017
799
dan sopan santun antara daerah asal dan daerah baru, dan 5) Perasaan tidak berdaya yang disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru [7]. Culture shock yang dialami oleh mahasiswa baru dapat menyebabkan perasaan tidak menyenangkan dan menimbulkan frustasi dengan tingkat tekanan yang berbeda-beda antar individu. Berdasarkan data diperoleh informasi bahwa lebih dari 50% mahasiswa yang disurvei merasakan beberapa hal berikut. a. Merasa tegang saat memasuki wilayah yang berbeda dengan budaya asal b. Merasa asing dan sendiri berada di lingkungan yang baru c. Merasa tidak dihargai oleh orang di lingkungan baru d. Lebih tersinggung apabila ada yang menyinggung budaya asal e. Selalu sedih / menangis karena jauh dari keluarga f. Sangat ingin pulang ke rumah dan bertemu keluarga dan teman-teman di rumah (homesickness) g. Merasa tidak diterima oleh orang-orang lokal di budaya yang baru h. Merasa kehilangan orang-orang yang telah dikenal sebelumnya i. Merasa budaya asal lebih baik daripada budaya baru j. Merasa kehilangan jati diri selama berada di lingkungan baru k. Orang- orang di lingkungan baru membentuk suatu stereotip (pandangan negatif) terhadap nilainilai budaya asal l. Merasa takut akan keamanan diri karena perbedaan latar belakang budaya m. Merasa tertekan setelah pindah ke Malang n. Merasa sedih berada di lingkungan yang tidak familiar 3.2 Pola Penyesuaian Diri Mahasiswa Luar Jawa di Universitas Tribhuwana Tunggadewi Pada dasarnya, setiap individu memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri tetapi setiap individu memiliki tingkat kemampuan penyesuaian diri yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan proses penyesuaian diri dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, diantaranya faktor personal, finansial, sosial, dan pendidikan [8]. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Khawaja dan [9] bahwa stres yang dialami oleh mahasiswa berkaitan dengan isu finansial, akomodasi, akademik, dan juga lingkungan. Akibatnya, stres ini berdampak signifikan terhadap penyesuaian diri mahasiswa [10]. Mahasiswa yang memiliki stres tinggi akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri, begitu juga sebaliknya [3]. Beberapa peneliti mengelompokkan penanggulangan stres menjadi empat katagori, yaitu 1) memutuskan menghadapi target stres secara langsung, 2) menghindari hal-hal atau situasi yang dapat memicu stres, 3) mengurangi dampak stres melalui aktivitas religius, dan 4) memutuskan menerima hidup apa adanya [11]. Penyesuaian diri seorang mahasiswa yang merantau di Malang berkaitan erat dengan kemandiriannya, artinya semakin tinggi tingkat kemandirian mahasiswa maka semakin tinggi pula tingkat penyesuaian diri mahasiswa baru yang merantau tersebut [12]. Pada dasarnya seseorang yang berada pada lingkungan baru akan mengalami beberapa fase culture shock dengan empat tingkatan (Gambar 1). Keempat tingkatan tersebut membentuk pola ucurve [13] yaitu. a. Fase optimistik / honeymoon Fase ini berisi perasaan gembira, rasa penuh harapan baru, dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Pada fase ini informan merasa senang dan antusias karena dapat kuliah di Jawa meskipun mereka belum pernah ke Malang sebelumnya. b. Fase masalah kultural Fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai muncul, misalnya karena kesulitan dalam berbahasa. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah tahap krisis dalam culture shock. Mahasiswa merasa bingung dan tercengang dengan sekitarnya, sehingga menimbulkan frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten. Pada fase ini mahasiswa akan menemui banyak perbedaan dalam bahasa dan logatnya baik di lingkungan kampus maupun lingkungan tempat tinggal mereka. c. Fase penyembuhan 800
SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Fase ketiga ini orang mulai mengerti dan memahami budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dan menemukan cara dalam menghadapi budaya baru. Pada tahap ini informan mempunyai waktu yang berbeda-beda dalam menghadapi budaya baru. Pada akhir semester satu mereka masih menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Meskipun demikian, rata-rata informan sudah tidak merasa khawatir dengan lingkungan mereka tetapi sampai pada semester kedua mereka masih terus belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya. d. Fase perbaikan Pada fase keempat orang telah memahami elemen kunci dari budaya barunya seperti nilai-nilai, adat istiadat, pola komunikasi, dan keyakinan. Pada tahap ini sebagian kecil mahasiswa tahun pertama sudah merasa nyaman tinggal di Malang. Hal ini didukung oleh keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan sehingga memiliki teman yang banyak dan ikut kegiatan sesuai bakat minatnya. Semakin banyak interaksi sosial maka mahasiswa baru akan lebih mudah melakukan penyesuaian diri.
Gambar 1 : Keempat Tahapan dalam Culture Shock U-Curve
Berdasarkan data dari informan diperoleh informasi bahwa 84% mahasiswa melakukan upaya untuk mengatasi culture shock dengan cara aktif menjalin komunikasi dan berelasi dengan teman-temannya baik di dalam maupun di luar kampus. Selain itu banyaknya teman-teman yang berasal dari daerah sama serta keikutsertaan dalam himpunan organisasi daerah asal juga membantu dalam mempercepat kemampuan adaptasi mahasiswa baru. Bahasa merupakan kendala kedua yang dialami oleh mahasiswa baru. Mereka harus belajar memahami Bahasa dan logat teman-teman dari berbagai macam daerah. Interaksi yang terjadi selama pembelajaran di kelas melalui berbagai macam model dan metode pembelajaran yang digunakan oleh dosen dapat mebantu mereka dalam beradaptasi. Pemilihan kelompok secara heterogen juga merupakan salah satu upaya dalam menyatukan keberagaman mahasiswa dalam satu kelas. Upaya penyesuaian diri mahasiswa baru tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yang berperan penting, yaitu. a. Kemampuan berbahasa jawa b. Tingkat kepercayaan diri dalam memulai berkomunikasi dengan orang lain c. Ketergantungan untuk selalu berkumpul dengan teman yang berasal dari daerah yang sama d. Keinginan dalam eksistensi diri e. Keaktifan bertukar informasi dengan lingkungan baru. f. Kecemasan dan rasa canggung bertemu dengan orang lokal (Malang) g. Ketakutan dalam berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan baru h. Rasa memiliki lingkungan yang baru [14]. Adaptasi terhadap culture shock akan berlangsung baik jika mahasiswa baru tersebut memiliki kepekaan kultural. Kepekaan tersebut dapat diasah melalui kemauan untuk berpikir dalam pola pikir mereka. Kepekaan terhadap budaya tersebut merupakan modal yang sangat besar dalam Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017
801
membangun toleransi, rasa pengertian yang akan tercipta antara mahasiswa perantau dengan budaya masyarakat setempat. Kesimpulannya, culture shock yang terjadi pada setiap individu yang merantau berbeda-beda terkait sejauh mana culture shock dapat mempengaruhi hidupnya [1]. Semakin tinggi interaksi sosial maka semakin rendah tangkat culture shock yang dialami oleh mahasiswa luar Jawa yang kuliah UNS Surakarta begitu juga sebaliknya. Interaksi sosial yang baik dapat mengurangi dampak culture shock yang dialami oleh individu. Interaksi sosial tersebut antara lain menerima, berusaha memahami, dan toleransi terhadap budaya baru dengan sikap terbuka. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari aturan-aturan sosial yang berlaku di lingkungan budaya yang baru [15]. 4. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa mahasiswa baru yang berada di tahun pertama perkuliahan mengalami culture shock. Setiap mahasiswa mempunyai waktu yang berbeda-beda dalam beradaptasi. a. Penyebab terjadinya culture shock pada mahasiswa luar jawa ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi keterampilan komunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, kemampuan bersosialisasi dan ciri karakter individu, toleransi dan kemandirian. Sedangkan faktor eksternal, yaitu linearitas jurusan SMA/SMK dan kuliah, Bahasa, ekonomi, sosial budaya, lingkungan akademik, makanan, serta iklim dan cuaca. b. Dampak culture shock yang dialami mahasiswa luar jawa, yaitu merasa tegang saat memasuki wilayah yang berbeda dengan budaya asal, merasa asing dan sendiri berada di lingkungan yang baru, merasa tidak dihargai oleh orang di lingkungan baru, lebih tersinggung apabila ada yang menyinggung budaya asal, selalu sedih / menangis karena jauh dari keluarga, sangat ingin pulang ke rumah dan bertemu keluarga dan teman-teman di rumah (homesickness), merasa tidak diterima oleh orang-orang lokal di budaya yang baru, merasa kehilangan orang-orang yang telah dikenal sebelumnya, merasa budaya asal lebih baik daripada budaya baru, merasa kehilangan jati diri selama berada di lingkungan baru, merasa takut akan keamanan diri karena perbedaan latar belakang budaya, merasa tertekan setelah pindah ke Malang, dan merasa sedih berada di lingkungan yang tidak familiar. c. Pola penyesuaian diri mahasiswa luar Jawa di Universitas Tribhuwana Tunggadewi, yaitu mahasiswa melakukan upaya untuk mengatasi culture shock dengan cara aktif menjalin komunikasi dan berelasi dengan teman-temannya baik di dalam maupun di luar kampus. Selain itu banyaknya teman-teman yang berasal dari daerah sama serta keikutsertaan dalam himpunan organisasi daerah asal juga membantu dalam mempercepat kemampuan adaptasi mahasiswa baru. Penelitian mengenai pola penyesuain diri mahasiswa ini merupakan penelitian dasar yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian-penelitian pendidikan selanjutnya di UNITRI. Analisis mengenai culture shock ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan objek penelitian mahasiswa yang heterogen dari segi agama, bahasa, dan adat istiadat. Penelitian selanjutnya yang dapat dikembangkan diantara mengenai gaya belajar, model-model pembelajaran, multiple intelegensi, dan lain-lain. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3]
802
Devinta, M., Hidayah, N., dan Hendrastomo, G. 2015. Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Sosiologi. 1-15 Odera, P. 2003. Culture Shock in A Foreign Land: Rwandan Experience. [Online]. Dari: journals.sfu.ca/kigali/viewarticle.php?id=8 -.[Diakses pada 29 September 2017]. Hutapea, B. 2014. Stres Kehidupan, Religuisitas, dan Penyesuaian Diri Warga Indonesia sebagai Mahasiswa Internasional. Jurnal Makara Hubs-Asia, 18(1): 25-40.
SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
[4]
[5] [6] [7]
[8]
[9] [10] [11] [12]
[13] [14] [15]
Niam, E.K. 2009. Koping terhadap Stres pada Mahsiswa Luar Jawa yang Mengalami Culture Shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jurnal Ilmiah Berkala Indigenous, 11(1): 69-77. Chouhan, V.L & Salini, V. 2006. Coping Strategies for Stress and Adjustment among Diabetics. Journal of The IndianAcademy of Applied Psychology, 32(2): 106-111. Nevid, J.S., Rathus, S.A. dan Beverly Greene. 2002. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga. Oberg, K. 2006. Cultural Shock: Adjusment to New Cultural Environments. [Online]. Dari: http://www.transkulturellepsychiatrie.de/pdf/cu29,2+3_2006_S%20142146%20Repr%20O berg%20%25.pdf. [Diakses pada 29 September 2017]. Gajdzik, P.K. 2005. Relationship between Self-efficiacy Beliefs and Sosio-cultural Adjustment of International Graduate Students and American Graduate Students. [Online]. Dari: https://baylorir.tdl.org/baylorir/bitstream/handle/2104/2682/Gajdzik%2BFinalDissertation. pdf?sequence=5. [Diakses pada 20 Mei 2016]. Khawaja, N.G. & Dempsey, J. 2008. A Comparison of International and Domestic Tertiary Student in Australia. Australian Journal of Guidence & Counselling, 18(1): 30-46. Skowron, E.A., Wastern, S.R., & Azen, R. 2004. Differentiation of Self-modian Collage Gives any Adjustment. Journal of Counseling & Development, 8(2): 62-82. Baqutayan, S.M.S. 2011. The Importance of Religious Orientation in Managing Stress. International Journal of Psychological Studies, 3(1): 113-121. Anggraini, E.N. 2013. Hubungan antara Kemandirian dengan Penyesuaian Diri pada Mahasiswa Baru yang Merantau di Kota Malang. [Online]. Dari: http://psikologi.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/jurnal-ERINA.pdf). [Diakses pada 25 Mei 2016]. Samovar, dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Bandung: CV Alfabeta. Pyvis, D & Chapman, A. 2005. Culture Shock and The International Student ‘offshore’. Journal of Research in International Education, 4(1): 23-42. Hasibuan, R.M.W., Wiyanti, S., dan Karyanta, N.A. 2014. Hubungan antara Interaksi Sosial dengan Culture Shock pada Mahasiswa Luar Jawa di Universitas Sebelas Maret Surakarta. [Online]. Dari: https://eprints.uns.ac.id/22730/. [Diakses pada 25 September 2017].
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017
803