telaah atas konsep khitan bagi wanita - Portal Garuda

JURNAL STUDI GENDER & ANAK. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto. YINYANG. ISSN: 1907-2791. Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.222-233. TELAAH ATAS KONSEP KHIT...

6 downloads 436 Views 2MB Size
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

TELAAH ATAS KONSEP KHITAN BAGI WANITA Waliko *) *)

Penulis adalah Master of Arts (M.A.), dosen tetap Jurusan Komunikasi (Dakwah) STAIN Purwokerto.

Abstract: Circumcision practices actually an ancient tradition of human civilization, and recognized world religions, as Jewish, Christian, and Islam. Circumcision isn’t for boys, but also for girls. From medical perspective, circumcision for man, namely cutting penis tip skin is very positive. Beside to avoid dirt accumulation in penis, circumcision also purposed to give complete enjoyment for man when having sex with his wife. While circumcision for women haven’t proving medical benefit. From Islamic law’s perspective, circumcision has inconclusive position. Some fuqaha who have opinion that circumcision for boys and girls are an obligation. There’s also fatwa that it’s only obligation for boys, and as an honor for women (nor obligation or pious deed). Keywords: circumcision, women, Islamic law.

A. PENDAHULUAN Dalam era modern, dinamika-konstruktif yang dicapai oleh kaum perempuan pada berbagai lini kehidupan menunjukkan tingkat yang cukup menggembirakan. Diakui atau tidak, peran perempuan untuk mengekspresikan dirinya secara wajar, sekaligus memperoleh kesempatan yang sama di ranah publik dengan kaum laki-laki telah mendapatkan sejumlah legitimasi dan rasionalisasi yang dapat diterima oleh hampir semua pihak. Tradisi dan penafsiran keagamaan (Islam) yang awalnya cukup memojokkan kaum perempuan kini mengalami dekonstruksi epistemologis dan reformulasi pada tingkat praksis. Demikian juga, kesadaran kritis terhadap konstruksi sosiologis yang awalnya menguntungkan kaum laki-laki dengan tradisi patriarkhinya secara perlahan mulai berubah ke arah kesimbangan antara konstruksi patriarkhi dengan matriarkhi. Kenyataan ini pada akhirnya memudahkan bagi kreativitas tumbuh dan berkembangnya semangat kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Namun demikian, praktek-praktek masyarakat yang didasarkan atas doktrin keagamaan yang nyatanyata menindas terhadap perempuan masih bertahan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di antara data penindasan dan kekerasan terhadap perempuan yang dibicarakan dalam Konferensi Perempuan Sedunia Keempat di Beijing tahun 1995 lalu, misalnya, adalah khitan atau sunat bagi perempuan. Praktek sunat bagi perempuan ini dikenal dengan istilah female circumcision atau female genital mutilation (perusakan organ kelamin perempuan).1 Praktek khitan merupakan tradisi yang sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat dan diakui oleh agama-agama di dunia, misalnya, Yahudi, Kristen, dan Islam. Khitan ini tidak hanya diberlakukan bagi anak laki-laki semata, tetapi juga terhadap anak perempuan. Oleh karena praktek khitan perempuan yang telah mendapat legitimasi budaya dan agama tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sangat merugikan kaum perempuan, maka makalah ini dimaksudkan untuk menelusuri kembali konsep khitan bagi perempuan dari berbagai perspektif.

B. KHITAN DAN SEJARAHNYA Khitan, yang sering juga disebut “sunat”, berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti memotong.2 Maksud khitan di sini adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin. Pada laki-laki, pelaksanaan khitan dilakukan dengan cara memotong kulit yang menutup kepala penis (hasyafah), sedangkan khitan pada perempuan dilakukan dengan cara memotong bagian paling atas (kelentit) dari Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto

YINYANG Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.222-233

ISSN: 1907-2791

JURNAL STUDI GENDER & ANAK

kemaluan (faraj) perempuan. Di atas tempat masuknya penis sewaktu senggama, yang berbentuk seperti biji kurma atau jengger ayam jago.3 Khitan sebagai suatu kegiatan yang telah mentradisi di berbagai belahan dunia dan sampai sekarang masih dilaksanakan oleh penganut Yahudi, Islam dan sebagian penganut Kristen, ternyata bermula pada tradisi Nabi Ibrahim AS. Dialah orang yang pertama kali dikhitan. Dalam hadis shahih dinyatakan, Nabi Ibrahim AS dikhitan saat berusia 80 tahun. Hal ini diterangkan dalam hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: Artinya: “Nabi Ibrahim AS, kekasih Tuhan yang maha Pengasih melakukan syari’at khitan adalah umurnya melampaui 80 tahun, dan dia melaksanakan khitan tersebut di (atau) dengan qadum”(HR. Bukhari).

Hadis di atas menerangkan bahwa Nabi Ibrahim melakukan khitan dengan qadum. Kata ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan tanpa tasydid yang berarti nama tempat di daerah Syam. Sementara itu, ada ulama yang mengatakan dengan tasydid, yaitu alat yang dipakai oleh para tukang kayu yang lebih dikenal dengan kapak (Ibn Qayyim, 2001: 125). Alwi Shihab dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Islam Inklusif, menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS melakukan khitan sebagai simbol dan pertanda ikatan perjanjian suci (mistaq) antara dia dengan Allah. Sementara itu, bagi penganut Koptik Kristen dan Yahudi, khitan itu bukan hanya sebagai suatu proses bedah kulit bersifat fisik semata, tetapi juga menunjuk arti dan esensi kesucian. Khitan juga melambangkan pembukaan tabir kebenaran dalam ikatan perjanjian suci yang diikat antara Allah SWT dan Nabi Ibrahim AS, yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya. Selanjutnya, mereka mempertautkan antara khitan dan izin pembacaan kitab suci Taurat. Hal ini menandakan bahwa sebelum mendapat “kartu pengenal” atau “stempel Tuhan” berupa khitan untuk izin memasuki suatu daerah, ia tidak diperkenankan memasuki kawasan suci Kalam Ilahi dalam rangka perjumpaan dengan Tuhan sehingga ia melakukan dan mendapatkan simbol ikatan suci tersebut.4 Hal ini tidak ubahnya dengan pembaptisan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen. Menurut mereka, mencelupkan anakanak ke dalam air pembaptisan itu berarti telah menyucikan anak-anak tersebut dan resmi menjadi pengikut Nasrani. Tradisi khitan juga diberlakukan terhadap kaum perempuan Yahudi pada masa itu. Tujuannya sama, yaitu mengikat perjanjian suci seperti kaum laki-lakinya karena agama Ibrahim diturunkan untuk laki-laki dan perempuan. Dalam rekaman sejarah, perempuan yang pertama kali dikhitan adalah Siti Hajar. Menurut satu riwayat, ketika Siti Sarah memberikan izin kepada Nabi Ibrahim AS untuk menikahi Siti Hajar kemudian Siti Hajar hamil, Siti Sarah cemburu dan bersumpah akan memotong tiga bagian dari tubuh Siti hajar. Kemudian Nabi Ibrahim AS menyarankan Siti Sarah untuk melubangi kedua telinga dan menyunat Siti Hajar.5 Demikianlah awal mula praktek khitan di masa Nabi Ibrahim AS. Pelaksanaan khitan itu terusmenerus dilakukan oleh para rasul dan pengikut mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga sekarang. Para peneliti yang bekerja dalam ilmu antropologi telah menemukan data bahwa praktek khitan telah populer di masyarakat Mesir Kuno. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya mumi perempuan abad ke-16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan yang merusak alat kelamin perempuan). Bahkan, pada abad ke-2 SM, khitan perempuan dijadikan sebagai acara ritual dalam proses perkawinan.6 Dalam Revolusi Seksual Perempuan Obstetri dan Ginekologi dalam Tinjauan Islam karya Hassan Hathout

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto

YINYANG Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.222-233

ISSN: 1907-2791

JURNAL STUDI GENDER & ANAK

disebutkan bahwa pelaksanaan khitan perempuan telah berlangsung lama sebelum kedatangan Islam, terutama di lembah Nil, yaitu Sudan, Mesir dan Ethopia.7 Selain itu, banyak penelitian-penelitian lain yang menunjukkan bahwa khitan telah ditemukan pada bangsa pengembara, yakni bangsa Semit, Hamit dan Hamitoid di Asia Barat Daya dan Afrika Timur, beberapa bangsa Negro di Afrika Timur dan Afrika Selatan, serta Indonesia. Di Indonesia, benda kuno sebelum datangnya Islam dari Jawa Tengah yang tersimpan di Museum Batavia memperlihatkan zakar yang telah dikhitan. Demikian pula tradisi khitan yang dilakukan oleh suku Badui (suku Sunda asli) menunjukkan bahwa khitan telah ada sebelum Islam datang.8

C. BENTUK DAN TUJUAN KHITAN Khitan laki-laki yang telah membudaya di berbagai belahan dunia, dilaksanakan dalam bentuk yang hampir sama di semua tempat, yaitu pemotongan kulup penis (kulit kepala zakar) laki-laki.9 Adapun khitan bagi perempuan dilakukan secara berbeda untuk masing-masing tempat. Ada yang hanya sebatas membasuh ujung klitoris, ada yang membuang sebagian klitoris, dan ada yang membuang seluruh klitoris, bahkan ada pula yang sampai memotong labia minora (bibir kecil vagina) kemudian menjahit labia majora (bibir luar) setelah terlebih dahulu membuang seluruh klitoris. Tiga bentuk yang terakhir, lebih sering diistilahkan dengan Female Genital Mutilation (FGM). Female Genital Mutilation, menurut Nahid Tolibia dalam bukunya Female Genital Mutilation: a Call for Global Action, dapat dikategorikan menjadi dua (Nahid Toubia, 1993: 55): 1. Clitoridectomy, yaitu menghilangkan sebagian atau lebih alat kelamin luar. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: a. menghilangkan sebagian atau seluruh klitoris, dan b. menghilangkan klitoris dan sebagian bibir kecil vagina (labia minora); 2. Infibulation, yaitu menghilangkan seluruh klitoris serta sebagian atau seluruh labia minora, kemudian labia minora dijahit dan hampir menutupi seluruh vagina. Bagian yang terbuka hanya disisakan sedikit untuk pembuangan darah menstruasi, yang kadangkala hanya sekecil kepala batang korek api atau ujung kelingking. Jika perempuan tersebut menikah dan akan bersenggama (sexual intercouse), maka kulit tersebut dipotong atau dibuka kembali. Khitan secara umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan, tentu memiliki tujuan dan makna tersendiri. Menurut sebagian antropolog, khitan dilaksanakan untuk membedakan satu golongan dengan golongan lain, seperti halnya bangsa Sudan yang cenderung mentato pipi atau cenderung memotong salah satu gigi mereka. Sebagian lain berpendapat bahwa khitan dilakukan untuk menolak sihir. Sebagian lagi mengatakan, khitan adalah akidah agama, di mana seseorang mengorbankan sebagian anggota tubuhnya sebagai tebusan kesucian untuk boleh mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagian lain berpendapat, khitan hanya digunakan khusus bagi orang-orang bangsawan Yunani.10 Terlepas dari perdebatan para antropolog tersebut, secara medis khitan bagi laki-laki dengan pemotongan kulit kepala penis adalah sangat positif. Hal ini bertujuan untuk menghindari pengumpulan kotoran dalam kelamin. Khitan juga dimaksudkan untuk memberikan kenikmatan yang sempurna bagi laki-laki ketika berhubungan badan dengan istrinya. Kepala penis yang berkulup (tidak disunat) lebih sensitif daripada yang tidak berkulup (disunat). Dengan dibuangnya kulup tersebut akan memperlama berlangsungnya hubungan seksual (terhindar dari ejakulasi prematur) sehingga secara optimal laki-laki bisa menikmati pemenuhan kebutuhan biologisnya. Hal ini sejalah dengan komentar Sayyid Sabiq yang menyatakan bahwa:

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto

YINYANG Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.222-233

ISSN: 1907-2791

JURNAL STUDI GENDER & ANAK

“Khitan untuk lelaki adalah pemotongan kulit yang menutupi ujung kemaluan untuk menjaga agar di sana tidak berkumpul kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing, dan agar tidak mengurangi kenikmatan dalam bersenggama.”11

Di sisi lain, khitan bagi perempuan belum ditemukan keuntungannya secara medis. Selama ini, praktek pemotongan alat kelamin perempuan tidak terlepas dari makna kultural yang mempengaruhinya. Adanya mitos bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua yang tak pantas untuk mengekspresikan kebutuhan seksualnya. Hal ini menjadikan khitan perempuan sebagai salah satu cara untuk meredam dan mengebiri kebutuhannya itu. Menurut mitos-mitos yang dipercayai oleh masyarakat, perempuan tidak berhak menikmati kepuasan seksualnya. Kepuasan seksual perempuan hanyalah sebagai pelengkap kepuasan seksual lakilaki. Ini berarti bahwa perempuan tidak perlu dirangsang atau tidak perlu bergairah, apalagi menikmati orgasme. Untuk itulah, praktek khitan yang memotong klitoris sebagai organ seks perempuan yang paling sensitif dari rangsangan, dan memindahkan daerah erogen dari muka (klitoris) ke bagian yang tersembunyi (liang vagina) menjadi dibenarkan. Ini dimaksudkan agar perempuan mampu memberi kepuasan seksual kepada pasangan hidupnya. Praktek infibulation yang membuang klitoris serta menjahit labia majora dengan meninggalkan lubang sekecil kepala “korek api” saja dan kemudian harus dibuka kembali ketika malam pertama perkawinan, tampaknya memiliki muatan mitos bahwa perempuan sebagai pelayan laki-laki telah siap berkorban demi suaminya dan membuktikan bahwa dirinya masih suci. Perempuan tersebut tidak pernah melakukan persetubuhan sebelumnya, yang dibuktikan dengan belum rusaknya jahitan labia majora-nya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pembuangan klitoris dimaksudkan untuk menyetabilkan syahwat perempuan. Riset akademis menerangkan bahwa pada dasarnya khitan bermotifkan pencegahan terhadap pelanggaran seksual. Masyarakat Eropa pada abad ke-12 M menggunakan chastity belt (sabuk kesucian) untuk mengontrol pelanggaran seksual. Di belahan Timur, khususnya di Senegal, Mali, Somalia, Sudan, dan Mesir, pencegahan pelanggaran seksual ini dilakukan dengan memotong bagian tertentu dari kulit organ kelamin perempuan.12 Khitan perempuan tersebut dilakukan untuk mempersiapkan gadis menjadi dewasa, walaupun usia pelaksanaannya beragam. Di sebagian masyarakat, khitan perempuan dilakukan lebih awal, yakni ketika masih bayi. Sementara itu, di tempat lain, khitan perempuan dilakukan ketika usia perkawinan. Kira-kira usia 14 hingga 16 tahun yang secara sosial mereka diharapkan telah dewasa.13 Pelaksanaan khitan demikian sedikit banyak membuat perempuan menyimpan konflik batin. Di satu sisi, ia harus menerima penderitaan sebagai bagian kewanitaannya, dan di sisi lain ia ingin menyenangkan orangtua dan keluarganya agar diterima dan diakui menjadi anggota masyarakat secara “normal”.

D. KHITAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Mengenai hukum khitan, para fuqaha berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa khitan bagi anak laki-laki dan perempuan adalah wajib. Ada pula yang berfatwa, wajib bagi anak laki-laki saja, sedangkan bagi perempuan bukan wajib dan bukan pula sunah, melainkan hanya sebagai kehormatan. Wahbah al-Zuhaily, ahli fiqih kontemporer dari Syiria dalam ensiklopedi fiqihnya, al-Fiqg al-Islami wa Adillatuh, mendeskripsikan perbedaan ulama mazhab tentang hukum khitan sebagai berikut: “Khitan bagi laki-laki mengikuti madzhab Hanafi dan Maliki, adalah sunnah mu’akkah (sunat yang dekat dengan wajib), dan bagi perempuan adalah suatu kemuliaan yang kalau dilaksanakan dianjurkan tidak berlebihan sehingga tidak terpotong bibir vagina, agar ia tetap mudah merasakan kenikmatan jima’. Menurut Imam Syafi’i, khitan adalah wajib bagi laki-laki dan

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto

YINYANG Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.222-233

ISSN: 1907-2791

JURNAL STUDI GENDER & ANAK

perempuan. Sedangkan Imam Ahmad berkata bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan suatu kemuliaan bagi perempuan yang biasanya dilakukan di daerah-daerah panas.”14

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh ulama mazhab Hanafi dan Maliki untuk mendukung pendapatnya bahwa khitan perempuan hukumnya sunah adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah R.A.: Artinya: “Khitan itu disunahkan bagi laki-laki dan dimuliakan bagi kaum perempuan”(HR. Ahmad dan Baihaqi).

Menurut para pakar hadis, hadis ini dha’if dan munqati.15 Sekalipun hadisnya shahih, maka tetap mengisyaratkan sunah bukan wajib, sesuai dengan kata “memuliakan perempuan”. Adapun Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa khitan untuk laki-laki dan perempuan hukumnya wajib didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh al-Zuhri: Artinya:“Siapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah besar”(HR. Harb bin Ismail).

Husein Muhammad, salah seorang kiai pesantren yang serius menggeluti persoalan gender, dalam bukunya, Fiqih Perempuan, menjelaskan bahwa hadis ini menurut pendapat beberapa pakar hadis dan fiqih bisa dijadikan hujjah karena tingkat kesahihannya diragukan. Kalaupun hadis ini mau diterima, maka hal itu tidak bisa dipahami secara umum sehingga laki-laki dan perempuan masuk dalam objek perintah. Hal itu hanya berkaitan dengan khitan lelaki saja. Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab al-Talkhis al-Habir mengelompokan hadis di atas dengan hadis-hadis lain dalam bab “Perintah Nabi SAW kepada laki-laki yang masuk Islam untuk berkhitan”. Oleh karena itu, hadis ini tidak mengarah kepada khitan perempuan.16 Hadis lain yang dimungkinkan menjadi dasar khitan perempuan adalah sebagai berikut: Artinya: “Dari Ummu ‘Athiyah r.a, beliau berkata bahwa ada seorang juru sunat para wanita Madinah, Rasulullah saw besabda kepadanya: ‘Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami’. Dalam suatu riwayat Rasulullah bersabda: ‘Potong ujungnya saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami’(HR. Abu Daud).

Memperhatikan teks hadis Ummu ‘Athiyah di atas, mayoritas ulama mazhab tidak memahami, baik tersurat maupun tersirat tentang adanya perintah mengkhitan perempuan. Yang ada hanyalah tuntunan Nabi SAW kepada juru khitan perempuan agar mengkhitan dengan cara yang baik dan tidak merusak. Mungkin saja Rasulullah SAW tidak memperkenankan praktek khitan perempuan yang telah berjalan lama di Madinah tersebut, jika persyaratan itu tidak dipenuhi. Berkaitan dengan dalil-dalil yang terkait dengan khitan di atas, Sayyid Sabiq menegaskan bahwa, “Semua hadis yang berkaitan dengan perintah khitan perempuan adalah dha’if, tidak ada satupun yang shahih”.17 Begitu juga dengan Muhammad Syaltut yang menyatakan bahwa khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, tidak terkait dengan teks agama. Hal itu dikarenakan tidak ada nash al-Qur’an dan hadis shahih yang menjelaskan masalah ini.18 Kalau memang demikian, maka pertanyaan yang segera mengemuka adalah “Apakah dasar hukum bagi ulama yang tetap membiarkan berlangsungnya praktik khitan?” Dari beberapa pernyataan ulama fiqih tentang khitan, yang dijadikan dasar hukum adalah pertimbangan kemaslahatan. Khitan bagi laki-laki memang dapat mendatangkan manfaat yang besar, yaitu untuk menjaga kebersihan zakar (penis) dan mencegah timbulnya berbagai penyakit kelamin (veneral disease). Hal itu karena di balik kulup itu terdapat tempat yang subur untuk timbulnya penyakit kelamin, bahkan bisa mendatangkan penyakit kanker rahim bagi wanita yang disetubuhinya. Oleh karena itu, kulup yang menutupi kepala zakar harus dipotong dan dibuang. Dari sudut dan pertimbangan

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto

YINYANG Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.222-233

ISSN: 1907-2791

JURNAL STUDI GENDER & ANAK

inilah Islam mengharuskan khitan bagi laki-laki, yakni demi mendatangkan maslahah dan menghindari mafsadah. Dalam konteks ini, ada kaidah fiqih yang dikemukakan oleh Muhammad Syaltut: Artinya: “Membikin sakit orang yang masih hidup itu tidak boleh menurut agama, kecuali kalau ada kemaslahatan-kemaslahatan yang kembali kepadanya dan melebihi rasa sakit yang menimpanya”

Dengan demikian, bisa dipahami bahwa melukai anggota badan makhluk hidup seperti memotong sebagian organ seks bagi perempuan, hukum dasarnya adalah haram, kecuali kalau memang dengan hal itu terdapat kemaslahatan. Konkretnya, kita bisa menegaskan bahwa hukum asal khitan adalah haram karena termasuk kategori melukai anggota tubuh. Apabila laki-laki diperbolehkan khitan karena alasan pencapaian kemaslahatan yang lebih baik, maka pengambilan hukum khitan perempuan juga harus didasarkan pada alasan medis yang kuat. Jika ada alasan medis yang kuat, maka hukum khitan perempuan menjadi boleh. Sebaliknya, jika tidak ada alasan medis, maka hukum khitan perempuan kembali ke asalnya, yaitu haram.19 Demikian juga, apabila kepuasan seksual menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan hukum khitan laki-laki, maka penentuan hukum khitan perempuan juga harus didasarkan paa pertimbangan yang sama. Artinya, kepuasan dan kenikmatan seksual secara paralel adalah hak sekaligus kewajiban bagi suami dan istri.20 Dengan demikian, apabila praktek khitan akan menyebabkan perempuan tidak dapat atau kurang memperoleh kepuasan seksual, maka khitan tidak boleh dilaksanakan. Tampaknya, inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis Ummu ‘Athiyah di atas. Allahu a’lam bil-shawab!

E. PENUTUP Secara medis khitan perempuan belum menunjukkan tingkat validitas kebaikan (kemaslahatan) yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, khitan perempuan hampir-hampir mendatangkan resiko destruktif yang cukup berat, yaitu terbatasnya kemampuan perempuan untuk mencapai kepuasan hubungan suami isteri. Sementara itu, dari aspek normal-keagamaan, penyataan teologis (hadis Nabi) yang mendukung praktek khitan perempuan masih diragukan. Tradisi khitan perempuan berkemungkinan besar didasarkan atas mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, yang menganggap perempuan sebagai makhluk subordinasi dari laki-laki. Perempuan tidak boleh mendapatkan hak untuk mencapai kenikmatan dan kepuasan seksual. Perempuan hanyalah berkewajiban untuk melayani suaminya sehingga sang suami merasakan kepuasan seksualnya.

ENDNOTE 1 2

Alwi Shihab, Islam Inklusif, Cet. IX (Bandung: Mizan, 2001), hal. 274. Ahmad

Warson

Munawwir,

Progresif,1984), hal. 349. 3

Kamus

al-Munawwir

(Yogyakarta:

Pustaka

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari fi Syarah Shahih al-Bukhari, Juz 11

(Bairut: Dar al-fikr 1993), hal. 530. 4

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, “Tuhfah al-Maududi bi Ahkam al-Maulud,”

diterjemahkan oleh Fauzi Bahreisy, Mengantar Balita Menuju Dewasa, Cet. I (Jakarta, Wardoyo 2001), hal. 125. 5

Alwi Shihab, Islam Inklusif, hal. 275-276.

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto

YINYANG Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.222-233

ISSN: 1907-2791

JURNAL STUDI GENDER & ANAK 6

Ibn Qayyim, “Tuhfah al-Maududi bi Ahkam al-Maulud,” hal. 155.

Hassan Hathout, Revolusi Lentera Perempuan, Obstetri dan dalam Tinjauan

7

Islam (Jakarta: Remaja Rosdakarya,1996), hal. 54. 8

Ibid.

9

Elga Sarapung, dkk, Agama dan Kesehatan Reproduksi (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1999), hal. 118. 10

Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri’wa Falsafatuhu, Juz II (Beirut: Dar

al-Fikr, 1994), hal. 31. 11 12 13

Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Juz 1 (Kairo: Dar Al-Fikr,1987), hal. 36. Alwi Shihab, Islam Inklusif, hal. 276.

Nahid Taoubia , “Female Genital Mutilation: a Call for Global Action” (USA ;

United Nation Plaza,1993), hal. 276. 14

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-

fikr,1989), Juz III.1989), hal. 642. 15

Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan

Gender, Cet. I (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. 47. 16 17 18 19

Ibid., hal. 45-46.

Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, hal. 26.

Muhammad Syaltut, Al-Fatawa, Cet. III (Kairo: Dar al-Kalam, TT), hal. 302.

Said Muhamad Husein Fathullah, “Dunia al-Mar’ah” (Lebanon: Dar al-

Malak, 1997), diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Kadir al-Kaf, Dunia Wanita

dalam Islam, Cet. I (Jakarta: Lentera, 2002), hal. 73. 20

Fatimah Mernissi, Beyond the Veil (Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-

Wanita dalam Masyarakat Muslim Modern) (Surabaya: al-Fikr, 1997), hal. 92-107.

DAFTAR PUSTAKA Al-Jurjawi, Ali Ahmad. 1994. Hikmat al-Tasyri’wa Falsafatuhu. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. 2001. “Tuhfah al-Maududi bi Ahkam al-Maulud,” diterjemahkan oleh Fauzi Bahreisy, Mengantar Balita Menuju Dewasa. Jakarta: Wardoyo.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1993. Fath al-Bari fi Syarah Shahih al-Bukhari. Bairut: Dar al-Fikr Juz 11.

Al-Zuhaily, Wahbah. 1989. Al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-fikr,1989.

Fathullah, Said Muhamad Husein. 2002. “Dunia al-Mar’ah” (Lebanon: Dar al-Malak, 1997), diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Kadir al-Kaf, Dunia Wanita dalam Islam. Jakarta: Lentera.

Hathout, Hasan. 1996. Revolusi Lentera Perempuan, Obstetri dan dalam Tinjauan Islam. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Jmil, Asriati. 2001. “Sunat Perempuan dalam Islam: Sebuah Analisis Gender”, dalam Refleks: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Jakarta. Fak. Ushuludin IAIN Jakarta. vol. 3,No.2.

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto

YINYANG Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.222-233

ISSN: 1907-2791

JURNAL STUDI GENDER & ANAK

Mernissi, Fatimah. 1997. Beyond the Veil (Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam

Masyarakat Muslim Modern). Surabaya: Al-Fikr.

Muhammad, Husein. 2001. Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS.

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progresif.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqih al-Sunnah. Kairo: Dar Al-Fikr.

Serapung, Elga, et. Al. 1999. Agama dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Shihab, Alwi. 2001. Islam Inklusif. Bandung: Mizan.

Syaitut, Muhammad. TT. Al-Fatawa. Kairo: Dar al-Kalam.

Toubia, Nahid. 1993. “Female Genital Mutilation: a Call for Global Action.” USA: United Nation Plaza.

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto

YINYANG Vol.4 No.2 Jul-Des 2009 pp.222-233

ISSN: 1907-2791