TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Download 31 Mar 2017 ... 4 Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal. VISI. “Menjadi unit terpercaya dalam perumusan kebijakan fis...

0 downloads 404 Views 4MB Size
TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL 2016: Titik Balik Perekonomian Indonesia EDISI I / MARET 2017

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

1

EDISI I / Maret 2017 Foto Sampul : Kawasan Perkantoran SCBD, Jakarta TEKF diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dengan periode publikasi dwi-bulanan dan memuat mengenai perkembangan kebijakan ekonomi, fiskal, dan keuangan terkini.

Diterbitkan oleh: Badan Kebijakan Fiskal. Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal. Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro. Editor: Yoopi A, Noeroso L. Wahyudi, Syaifullah, Wahyu Utomo, Purwitohadi, Thomas N, Suharto H, Ferry I, Syahrir Ika. Redaktur Pelaksana: Dalyono, Adriyanto. Dewan Redaksi: Taufan Pamungkas, Indra Budi, Abdul Aziz, Fathul Kamil, Yusuf Munandar, Dwi Anggi Novianti, Bhayu Purnomo Desain Grafis: Bramantiyo, Rizki Saputri, Johan Zulkarnain. Foto Sampul/Foto Ilustrasi: Bagus Handoko/Fakhri Rizki Saputra Sekretariat: Puguh, Fajar, Innes Clara, Dhoni, Adi Triyono. Alamat Redaksi: Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jalan Dr. Wahidin Raya Nomor 1 Jakarta 10710. www.fiskal.kemenkeu.go.id

2

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Tinjauan

EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL Edisi I / Maret 2017

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

3

VISI

4

“Menjadi unit terpercaya dalam perumusan kebijakan fiskal dan sektor keuangan yang antisipatif dan responsif untuk mewujudkan masyarakat Indonesia sejahtera”.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

KATA PENGANTAR Mengarungi arus global yang masih penuh gejolak dan masih cenderung mengalami perlambatan, Indonesia justru telah mampu menemukan titik balik perbaikan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2016 mencapai 5,02 persen (yoy), didukung oleh kekuatan konsumsi domestik yang sehat. Terjalinnya sinergi kebijakan yang mendukung pertumbuhan dan stabilitas juga turut menciptakan fundamental ekonomi yang sehat di tengah peristiwa global seperti Brexit, pemilihan umum Presiden AS, serta normalisasi suku bunga AS. Di sisi fiskal, pemerintah terus membangun kebijakan yang efektif antara lain dengan melakukan konsolidasi fiskal untuk menjaga kredibilitas APBN. Selain itu, reformasi struktural dan penguatan fundamental ekonomi juga terus dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisasi risiko-risiko dari gejolak global, serta untuk memperkuat momentum pemulihan ekonomi ke depan. Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi I Tahun 2017 mengambil tajuk 2016: Titik Balik Perekonomian Indonesia yang merefleksikan dinamika perekonomian Indonesia selama tahun 2016, sekaligus menggambarkan optimisme atas kinerja ekonomi ke depan. Tinjauan ini merupakan terbitan dwi-bulanan yang menyajikan data-data dan informasi terkini mengenai ekonomi makro dan kebijakan fiskal. Diharapkan, materi yang terangkum dalam Tinjauan ini dapat menjadi referensi bagi para pemangku kepentingan dan masyarakat luas dalam memahami kondisi ekonomi dan kebijakan fiskal terkini. Dengan pemahaman tersebut, para pemangku kepentingan dan masyarakat dapat memberikan quality control terhadap kebijakan yang disusun pemerintah. Hal ini sejalan dengan visi Badan Kebijakan Fiskal sebagai unit perumus kebijakan fiskal yang terpercaya, antisipatif, dan responsif. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Indonesia-Australia Government Partnership Fund yang telah mendukung kelancaran terbitnya Tinjauan ini. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami butuhkan untuk perbaikan ke depan. Selamat membaca. Maret 2017 Suahasil Nazara Kepala Badan Kebijakan Fiskal

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

5

DAFTAR ISI Kata Pengantar

5

Daftar Isi

6

Abreviasi

7

Ringkasan Eksekutif

8

Executive Summary

10

Bagian I: Tinjauan Perkembangan Ekonomi Makro

13

A. Pertumbuhan Ekonomi Global 2016 Terendah Sejak Krisis 2008

14

B. Tahun 2016 Menjadi Titik Balik Perbaikan Ekonomi Indonesia

18

C. Aktivitas Penanaman Modal Terus Tumbuh Positif

22

D. Stabilitas Ekonomi yang Terjaga Serta Keseimbangan Eksternal yang Membaik

24

E. Pemulihan Ekonomi dan Amnesti Pajak Mendorong Penguatan Kinerja Perbankan

30

F. Seluruh Sektor IHSG Mencatatkan Kinerja Positif Pada Penutupan 2016

33

Bagian II: Analisis Kinerja APBN 2016 dan Arah Kebijakan APBN 2017

39

Realisasi APBNP 2016 Mencerminkan Kredibilitas Pengelolaan Anggaran

40

Realisasi Asumsi Ekonomi Makro Tahun 2016

40

Kinerja APBN 2016

41

Pelajaran Dari 2016

48

Lampiran Data Ekonomi Makro dan APBN

53

A. Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro 2016

54

B. Data Penyerapan APBN Tahun 2014-2015

55

C. Data Penyerapan APBN Tahun 2016

56

6

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

ABREVIASI 7DRR Alutsista APBN

: : :

APBNP

:

AS BBM BLU BOPO

:

bps BPS Brexit BUMN CAR CPO DAK

: : : : : : : :

(suku bunga) 7-Day Reverse Repo

LTV

Alat Utama Sistem Persenjataan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran Pendapatan dan

Migas NIM NPL OPEC

: : : :

Belanja Negara Perubahan

DAU DPK

: : :

Loan to Value Minyak dan Gas Net Interest Margin Non Performing Loan Organization of the Petroleum Exporting Countries

Amerika Serikat Bahan Bakar Minyak Badan Layanan Umum Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional basis points Badan Pusat Statistik British Exit Badan Usaha Milik Negara Capital Adequacy Ratio Crude Palm Oil Dana Alokasi Khusus

PDB Permenhub PMA PMDN PMN PMTB PNBP PPh PPN PT PTKP ROA SBN

Dana Alokasi Umum Dana Pihak Ketiga

SDA SILPA

Dewan Perwakilan Rakyat

SPN TEPRA

DPR

: :

GEP

:

Global Economic Prospect

HBKN

Hari Besar Keagamaan Nasional

ICP

: :

Indonesian Crude Price

The Fed

IHSG

:

Indeks Harga Saham Gabungan

TKDD

IMF

:

International Monetary Fund

JKN

:

Jaminan Kesehatan Nasional

K/L

:

LDR LNPRT

: : : : : : : : : : : : : : : : :

Produk Domestik Bruto Peraturan Menteri Perhubungan Penanaman Modal Asing Penanaman Modal Dalam Negeri Penyertaan Modal Negara Pembentukan Modal Tetap Bruto Penerimaan Negara Bukan Pajak Pajak Penghasilan Pajak Pertambahan Nilai Perseroan Terbatas Penghasilan Tidak Kena Pajak Return on Asset Surat Berharga Negara Sumber Daya Alam Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Surat Perbendaharaan Negara Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi APBN dan APBD

:

The Federal Fund Rate Transfer ke Daerah dan Dana Desa

UMKM

:

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

UU

:

Undang-Undang

Kementerian/Lembaga

VA

:

Volt-ampere

:

Loan to Deposit Ratio

WEO

Lembaga Non-Profit yang

yoy ytd

: :

World Economic Outlook

:

Melayani Rumah Tangga

:

year on year year to date

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

7

RINGKASAN EKSEKUTIF Tahun 2016 adalah tahun momentum pemulihan ekonomi dan peningkatan kredibilitas kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan fiskal. Konsolidasi target penerimaan dan belanja menjadi langkah kunci di dalam mewujudkan APBN yang kredibel, realistis, dan menjadi fondasi yang kuat dalam formulasi APBN tahun-tahun berikutnya. Meskipun efisiensi belanja dilakukan, APBN tetap ekspansif dengan pelaksanaan program pembangunan infrastruktur prioritas. Di samping itu, penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia juga turut memberikan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi. Koordinasi serta bauran kebijakan yang tepat antara pemerintah dan Bank Indonesia berperan optimal di dalam pengendalian harga yang tercermin dalam tingkat inflasi yang lebih terkendali. Pertumbuhan ekonomi global di tahun 2016 masih mengalami perlambatan, dan diperkirakan berada dalam titik terendahnya sejak krisis keuangan global di tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan hanya mencapai 3,1 persen, sebelum meningkat menjadi 3,4 persen di tahun 2017. Tahun 2016 juga ditandai oleh beberapa peristiwa yang memberi tekanan pada ekonomi dunia dan memiliki potensi risiko di jangka menengah seperti Brexit, hasil pemilihan presiden AS, kenaikan suku bunga acuan AS, dan berlanjutnya moderasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Di saat perekonomian global masih mengalami perlambatan, Indonesia justru telah menemukan titik balik pemulihan setelah dalam empat tahun sebelumnya mengalami perlambatan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2016 tercatat sebesar 5,0 persen (yoy), meningkat dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 4,9 persen (yoy). Permintaan domestik masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, di tengah kinerja ekspor dan impor yang masih tumbuh negatif. Konsumsi Pemerintah mencatatkan pertumbuhan negatif yang antara lain dilatarbelakangi oleh adanya langkah efisiensi terhadap belanja yang kurang produktif. Sementara itu, dengan terjaganya komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan program infrastruktur membuat APBN tetap memberikan kontribusi positif terhadap sisi investasi. Di sisi produksi, seluruh sektor mampu mencatatkan pertumbuhan positif, termasuk sektor pertambangan yang pada tahun sebelumnya mengalami kontraksi sebagai akibat dari turunnya harga komoditas. Pemulihan sektor pertambangan membuat pertumbuhan ekonomi daerah penghasil komoditas seperti Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Papua meningkat di tahun 2016. Adapun Pulau Jawa sebagai pusat aktivitas industri nasional tetap mampu tumbuh stabil seiring dengan kinerja sektor industri pengolahan yang tetap terjaga. Selain pertumbuhan ekonomi yang meningkat, stabilitas ekonomi nasional juga tetap kokoh dengan terkendalinya inflasi serta nilai tukar rupiah. Prospek ekonomi Indonesia ke depan juga semakin baik yang ditandai oleh tetap tingginya arus investasi baik langsung maupun portofolio. Dukungan pemerintah terus diperkuat terhadap perbaikan iklim investasi dengan berlanjutnya peluncuran paket-paket kebijakan ekonomi. Ke depan pemulihan ekonomi diperkirakan akan berlanjut, ditandai dengan sinyal perbaikan kondisi eksternal seperti ekspor dan impor yang mulai tumbuh positif terutama sejak triwulan keempat tahun 2016.

8

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Melalui langkah penurunan target penerimaan pajak yang lebih realistis serta konsolidasi anggaran, kredibilitas APBNP 2016 terjaga dengan defisit yang terkendali di kisaran 2,46 persen. Target penerimaan negara yang lebih terukur menciptakan kepastian dan kepercayaan publik terhadap APBN, serta meminimalisasi terjadinya deviasi pada realisasi anggaran. Penerimaan perpajakan di tahun 2016 tumbuh 3,5 persen, antara lain didukung oleh kontribusi dari penerimaan Amnesti Pajak. Sedangkan efisiensi anggaran dilakukan secara terukur dengan menyasar pada belanja yang kurang produktif. Kebijakan tersebut dapat diimplementasikan secara efektif ditandai dengan Kementerian/Lembaga (K/L) yang dapat menyerap seluruh pagu anggaran setelah penghematan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal juga berlangsung lancar yang antara lain tercermin dari realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang tinggi dan melebihi Belanja K/L. Di tengah momentum pemulihan ekonomi seperti saat ini, APBN yang kredibel akan menjadi instrumen katalisator bagi pertumbuhan dan pembangunan. Hal ini sudah tercermin di dalam APBN 2017 yang ekspansif namun dengan basis yang lebih realistis. Meskipun demikian, beberapa tantangan perlu dihadapi seperti pencapaian target penerimaan perpajakan terutama dengan akan berakhirnya program Amnesti Pajak. Keberhasilan program Amnesti Pajak di tahun 2016 diharapkan dapat memperbesar basis perpajakan ke depan. Pemerintah juga telah menyiapkan beberapa langkah strategis lanjutan seperti pembentukan Tim Reformasi Perpajakan dan Tim Penguat Reformasi Kepabeanan dan Cukai. Tim ini memiliki tugas yang krusial dalam memastikan berjalannya reformasi perpajakan yang komprehensif di sisi administrasi dan kebijakan perpajakan. Hasil positif yang ingin dicapai adalah meningkatnya kepatuhan perpajakan dan optimalisasi penerimaan pajak.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

9

EXECUTIVE SUMMARY 2016 is marked as the momentum of economic recovery, in line with the government’s effort to increase the credibility of fiscal policies. Lowered revenue target and consolidated spending policies were a key step to secure and maintain State Budget’s credibility so the formulation of the Budget in the subsequent years can be calculated from a more realistic basis. Although the government has done several efficiency policies regarding the government spending, the State Budget remained expansionary to support the implementation of priority projects such as infrastructure development. Interest rate cuts by the Bank of Indonesia have also provided support for economic growth. In addition, appropriate coordination and policy mix between the government and Bank of Indonesia have played important role to maintain the price stability, so that the inflation rate remained under control. Global economic growth in 2016 is estimated to be at the lowest point since the global financial crisis in 2008. The global economy is projected to grow at only 3.1 percent, before rising to 3.2 percent in 2017. Several events which occurred in 2016 such as Brexit, the result of the United States presidential election, increasing Federal Fund Rate, and continuing China’s economic growth moderation have put some pressures on the global economy and brought the potential risks in the medium term. In contrast to the slowdown in global economy, Indonesia’s economic growth has found a turning point. After several years of slowdown, in 2016 Indonesia’s economic growth has rebounded to 5.0 percent (yoy), an increase compared to 4.9 percent (yoy) growth in 2015. Domestic demand remained to be the backbone of the economic growth, opposite to the negative performance of exports and imports. Although the government consumption recorded a negative growth, it is partly due to the efficiency measures undertook by the government to reduce the less productive spending. Meanwhile, the government commitment to implement the infrastructure program, reflected by increasing infrastructure allocation in the State Budget, built a positive contribution to the investment side. On the production side, the entire sectors were able to record positive growth, including the mining sector, which in the previous year contracted as a result of the lower commodity prices. Recovery in the mining sector has driven increase in economic growth in the commoditybased regions such as Sumatra, Kalimantan, Maluku, and Papua. Java as the center of national industrial activity was still able to grow steadily in line with the stable performance of manufacturing sector. In addition to economic growth improvement, the soundness of the national economy is also highlighted by stable inflation and exchange rate. Indonesia's economic prospects are also promising, characterized by a higher investment flows both direct investment and portfolio investment. The government support is also strengthened to improve the investment climate by continuing the launch of economic policy packages. Economic recovery is expected to sustain, given some signs of improvement in the external conditions such as exports and imports, particularly since the end of 2016.

10

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Through the lowered revenue target and consolidated spending policies, the credibility of the 2016 Revised Budget is preserved, with deficit maintained under control at 2.46 percent. A more realistic revenue target will create certainty and improve confidence of people over the State Budget. It will also minimize the realization deviation of the Budget. Tax revenue in 2016 grew by 3.5 percent, among others supported by contributions from the Tax Amnesty. In the other side, the efficiency of the budget is done by targeting the less productive spending. The policy could be well implemented, marked by the ability of line ministries to absorb the whole budget ceiling after efficiency measure. Fiscal decentralization were also implemented optimally, reflected by higher realization of Transfer to Regions and Village Fund which exceeded the line ministries spending. Amid the momentum of economic recovery, a credible State Budget will be the appropiate instrument and catalyst for growth and development. This has already been reflected in the 2017 State Budget that remains expansionary, but still formulated with a more realistic calculation basis. However, several challenges remain and need to be addressed. One of the challenges is to formulate necessary policy to achieve the tax revenue target especially after the Tax Amnesty program coming to an end. The government has set up several strategic measures such as the establishment of the Tax Reform Team and Customs and Excise Reinforcement Team. These teams have a crucial task in ensuring a comprehensive tax reform, in both the administration and policy sides. These efforts are expected to result in an increase of the tax payers’ compliance and revenue optimization.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

11

12

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

BAGIAN I TINJAUAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO Pertumbuhan ekonomi global tahun 2016 diestimasikan menjadi tingkat pertumbuhan ekonomi paling rendah sejak krisis ekonomi tahun 2008. Sebaliknya, ekonomi Indonesia mengalami peningkatan dengan pertumbuhan 5,0 persen (yoy). Pencapaian ini diperkuat dengan kesehatan fundamental yang terjaga yang ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi antara lain inflasi yang terjaga rendah, nilai tukar yang stabil, neraca perdagangan yang membaik.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

13

A. Pertumbuhan Ekonomi Global 2016 Terendah Sejak Krisis 2008 Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Global (kiri) dan Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara (kanan) (dalam persen, yoy) 8

5,4

6,8

7 6

4,2 3,5

3,3

3,4

3

3,2

3,4

3,6

5 4

3,1

3 1,9

2

2,2 1,8 1,1

1 0

AS

2018f

2017f

2016

2015

2014

2013

2012

2011

2010

2009

2008

-0,1

2016 Q1

Zona Euro

Inggris Jepang Tiongkok

2016 Q2

2016 Q3

2016 Q4

Sumber: Bloomberg dan WEO IMF

Pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2016 diestimasikan menjadi tingkat pertumbuhan ekonomi paling rendah sejak krisis ekonomi tahun 2008. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh International Monetary Fund dan World Bank, masing-masing dalam rilis mereka di bulan Januari 2017, yakni World Economic Outlook (WEO) dan Global Economic Prospect (GEP). Dalam WEO, ekonomi global tahun 2016 diestimasikan tumbuh sebesar 3,1 persen, setelah pada tahun 2015 mampu tumbuh hingga 3,2 persen. Sementara itu, GEP mengestimasi pertumbuhan ekonomi global tahun 2016 sebesar 2,3 persen, lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2015 sebesar 2,7 persen. Selain masih berlanjutnya pelemahan permintaan global, beberapa peristiwa ekonomi penting juga menandai tahun 2016. Peristiwa tersebut antara lain Brexit, berlanjutnya perlambatan ekonomi Tiongkok, pemilihan presiden AS, kenaikan suku bunga The Fed, dan pemberlakuan kebijakan demonetisasi di India. Peristiwa-peristiwa dimaksud selain akan mempengaruhi upaya pemulihan global jangka pendek, juga diperkirakan membawa potensi risiko di jangka menengah. Brexit Referendum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Inggris pada tanggal 23 Juni 2016 menghasilkan keputusan keluarnya negara tersebut dari keanggotaannya di Uni Eropa.

14

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Keputusan tersebut membuat kerja sama perdagangan yang melibatkan Inggris harus ditinjau ulang. Sebelumnya, setiap perjanjian kerja sama perdagangan yang dibuat dengan Inggris tidak dilakukan secara bilateral, namun melalui Uni Eropa. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa membuat semua perjanjian perdagangan yang melibatkan Inggris menjadi tidak berlaku. Proses Brexit diperkirakan akan memakan waktu dua tahun hingga Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa. Brexit disinyalir menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi Zona Euro pada tahun 2016. Pada tahun dimaksud, ekonomi Zona Eropa tumbuh sebesar 1,7 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 1,9 persen. Perlambatan tersebut diperkirakan akan berlanjut di tahun 2017, yakni melambat 0,1 percentage point dibanding tahun 2016. Namun demikian, pada tahun 2018, pengaruh Brexit lebih terlihat dari penurunan pertumbuhan ekonomi Inggris dibandingkan pertumbuhan ekonomi Zona Euro. Inggris diperkirakan tumbuh 1,5 persen pada 2017 dan melambat menjadi 1,4 persen pada 2018. Perlambatan Ekonomi Tiongkok Tiongkok tengah menerapkan kebijakan rebalancing dengan menggeser mesin pertumbuhan ekonominya dari berbasis investasi menjadi berbasis konsumsi domestik. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengalami pelemahan. Pada tahun 2016, ekonomi Tiongkok tumbuh melambat sebesar 6,7 persen. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok diperkirakan masih akan terus melambat hingga tahun 2017 dan 2018. Di sisi keuangan, kondisi Tiongkok juga terlihat cukup rentan. Pada pekan pertama 2016, Otoritas Tiongkok menghentikan perdagangan di pasar keuangannya sebanyak dua kali akibat anjloknya bursa saham hingga lebih dari 11 persen. Hal tersebut dipicu oleh kekhawatiran investor atas penerapan kebijakan devaluasi Yuan. Kekhawatiran terhadap devaluasi Yuan tersebut, berlanjut sejak Yuan mulai efektif ditetapkan sebagai bagian dari Special Drawing Right (SDR) pada Oktober 2016. Berdasarkan ketentuan IMF, mata uang yang tergabung dalam anggota SDR harus mengikuti mekanisme pasar (floating exchange rate). Tiongkok yang selama ini menganut fixed exchange rate, dengan mata uang yang di-peg ke dolar AS, harus melepaskan ketentuan tersebut dan beralih ke mekanisme pasar. Meskipun devaluasi Yuan dapat mendorong ekspor, hal ini berpotensi meningkatkan risiko bagi peminjam dalam bentuk valuta asing. Pada gilirannya, beban utang luar negeri korporasi akan meningkat. Selain pasar saham dan keuangan, potensi bubble di pasar properti Tiongkok juga patut diwaspadai. Pada Desember 2016, kenaikan harga rumah di Tiongkok mencapai 12,4 persen (yoy). Perlambatan ekonomi Tiongkok berdampak kepada perekonomian global dan regional. Bagi Indonesia, perlambatan ekonomi Tiongkok dapat berpengaruh melalui saluran perdagangan, investasi, dan keuangan. Pemilihan Presiden dan Kenaikan Suku Bunga Acuan AS AS telah menggelar pemilihan presiden pada 8 November 2016 yang dimenangkan oleh pasangan Donald Trump-Mike Pence dari Partai Republik. Pada masa kampanye, pasangan

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

15

terpilih tersebut cukup mengundang kontroversi dengan arah kebijakan perdagangan terproteksi serta pengetatan imigrasi. Dalam pidato inagurasinya, Presiden Trump cukup tegas mengenai arah kebijakannya yang berfokus ke sisi domestik. Hal ini membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi AS naik dari estimasi 1,6 persen di tahun 2016 menjadi 2,3 persen dan 2,5 persen, masing-masing di tahun 2017 dan 2018. Namun demikian, jika AS benar-benar menerapkan kebijakan perdagangan terproteksi, hal tersebut dapat memberikan tekanan di sektor perdagangan global yang pada akhirnya melemahkan pertumbuhan ekonomi. Salah satu isu yang mengemuka dalam arah kebijakan ekonomi pemerintahan AS ialah proteksionisme. AS telah menyatakan tidak akan ikut dalam TPP, serta berencana menaikan tarif impor barang dari Meksiko dan Tiongkok masing-masing sebesar 30 persen dan 45 persen. Dampak kepada Indonesia dari kebijakan proteksionisme, jika terlaksana, lebih bersifat indirect melalui transmisi ekonomi Tiongkok. Selain dampak pada pertumbuhan, ekspor Indonesia ke Tiongkok yang sebagian besar adalah bahan baku menunjang manufaktur, dikhawatirkan akan terdampak jika impor Tiongkok ke AS menurun. Dampak lainnya yang mungkin terjadi ialah di sektor keuangan yang sifatnya rentan terhadap sentimen, serta pergerakan nilai tukar sebagai akibat penyesuaian harga. Di sisi keuangan, kenaikan yield AS yang terjadi pasca pemilu presiden AS, menyebabkan kondisi keuangan di negara-negara berkembang menjadi cukup ketat. Pada Desember 2016, The Fed telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan dari rentang 0,25-0,5 persen menjadi 0,5-0,75 persen. Kenaikan ini diiringi dengan kecenderungan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi pada tahun 2017 sehingga berpotensi meningkatkan biaya pinjaman di pasar keuangan global. Prospek adanya percepatan normalisasi suku bunga AS di tahun 2017, yang diperkirakan mencapai dua atau tiga kali kenaikan, juga berpotensi menciptakan pembalikan arus modal (portfolio outflow) lebih lanjut, khususnya dari negara berkembang. Dampak lebih lanjut dari perubahan kebijakan moneter AS tersebut yakni terjadinya depresiasi nilai tukar pada beberapa negara. Demonetisasi India India mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016. Pada tahun tersebut, pertumbuhan diestimasikan sebesar 6,6 persen, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun 2015 sebesar 7,6 persen. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh kebijakan demonetisasi yang diterapkan oleh India dan dampak perubahan tahun dasar penghitungan PDB. Kebijakan demonetisasi di India telah menyebabkan adanya keterbatasan likuiditas, mengingat perekonomian India masih memiliki sektor informal tinggi yang mengandalkan transaksi kas. Namun, dampak dari demonetisasi diperkirakan akan bersifat temporer dan perekonomian India akan kembali tumbuh tinggi di tahun 2017 dan 2018. Meski terkoreksi hingga 0,4 percentage points dari proyeksi sebelumnya, pertumbuhan ekonomi India pada tahun 2017 dan 2018 diperkirakan akan meningkat, masing-masing menjadi 7,2 persen dan 7,7 persen.

16

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Outlook Perkembangan Ekonomi Global 2017 Secara umum, aktivitas perekonomian global pada tahun 2017 diproyeksi akan pulih dan mencapai 3,4 persen. Peningkatan pertumbuhan beberapa negara besar seperti AS dan India serta kawasan ASEAN diperkirakan akan mendorong aktivitas perdagangan tahun 2017-2019. Namun demikian, pemulihan sektor perdagangan hanya akan berlangsung moderat, mengingat prospek ekonomi global masih kurang kondusif, investasi global masih lemah, dan risiko ketidakpastian kebijakan yang utamanya berasal dari AS dan Eropa masih tinggi. Risiko dari berbagai peristiwa ekonomi lain yang telah dijelaskan sebelumnya juga berpotensi memberikan tantangan bagi pertumbuhan global di tahun 2017.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

17

B. Tahun 2016 Menjadi Titik Balik Perbaikan Ekonomi Indonesia Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2016 mencapai 5,02 persen (yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi tahun 2016 utamanya ditopang oleh komponen konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh relatif stabil sepanjang tahun 2016. Sementara dari sisi lapangan usaha, seluruh sektor mampu mencatatkan pertumbuhan positif di tahun 2016, ditopang oleh sektor industri yang tumbuh stabil, sektor jasa yang tumbuh relatif tinggi, serta sektor pertambangan yang mulai tumbuh positif. Tabel 1. Pertumbuhan PDB tahun 2016 meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya (dalam persen, yoy) Q1

Q2

2015 Q3

Q4

Y

Q1

Q2

2016 Q3

Q4

Y

Kons. RT dan LNPRT

4,7

4,7

5,0

5,0

4,8

5,0

5,1

5,0

5,0

5,0

Kons. Pemerintah

2,9

2,6

7,1

7,1

5,3

3,4

6,2

-2,9

-4,0

-0,1

Komponen Pengeluaran

PMTB

4,6

4,0

4,9

6,4

5,0

4,7

4,2

4,2

4,8

4,5

Ekspor

-0,7

-0,3

-0,9

-6,4

-2,1

-3,3

-2,2

-5,6

4,2

-1,7

-2,6

-7,4

-6,6

-8,7

-6,4

-5,1

-3,2

-3,7

2,8

-2,3

4,8

4,7

4,8

5,2

4,9

4,9

5,2

4,9

5,0

5,0

Impor PDB Sumber: BPS

Konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi tahun 2016. Konsumsi rumah tangga tumbuh rata-rata sebesar 5,0 persen didorong oleh pertumbuhan komponen makanan dan minuman, dan transportasi. Komponen ini juga merupakan pembentuk konsumsi yang terbesar. Dilihat dari perkembangan indikatornya, kenaikan konsumsi rumah tangga sejalan dengan kenaikan pada indeks keyakinan konsumen, indeks penjualan eceran, dan penjualan kendaraan. Tingkat inflasi yang relatif stabil juga turut menjaga daya beli masyarakat. Selain konsumsi rumah tangga, konsumsi LNPRT juga meningkat seiring dengan persiapan dan pelaksanaan kampanye pilkada serentak di 101 daerah pada triwulan keempat 2016. PMTB tumbuh relatif stabil sepanjang tahun meskipun sedikit melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Pertumbuhan PMTB ditopang oleh peningkatan komponen barang modal kendaraan yang terus tumbuh sepanjang tahun, terutama pada triwulan keempat. Komponen peralatan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun impor juga turut mendukung kinerja pertumbuhan PMTB. Namun, pertumbuhan PMTB sedikit tertahan oleh pelemahan pertumbuhan komponen bangunan seiring dengan pelemahan pertumbuhan sektor konstruksi serta realisasi belanja modal Pemerintah Pusat yang menurun pada semester kedua. Sementara itu, pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh negatif pada tahun 2016. Secara triwulanan, pertumbuhan negatif terjadi pada triwulan ketiga dan keempat karena adanya penyesuaian anggaran belanja nonproduktif. Pada saat yang bersamaan, realisasi belanja

18

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

pemerintah pada semester kedua tahun 2015 sangat tinggi sehingga basis perhitungan menjadi sangat tinggi. Pada tahun 2016, komponen belanja yang mengalami penurunan pertumbuhan adalah belanja bantuan sosial dan belanja barang. Secara lebih detail, penurunan belanja bantuan sosial mengalami pertumbuhan negatif karena adanya penyesuaian dalam penyaluran alokasinya. Namun demikian, APBN tetap menjadi motor penggerak perekonomian melalui peningkatan belanja produktif seperti Belanja Infrastuktur, Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Desa, dan Penyertaan Modal Negara (PMN). Ekspor dan Impor mengalami perbaikan yang cukup signifikan pada semester kedua 2016 seiring dengan kenaikan harga beberapa komoditas internasional. Kedua komponen ini tumbuh positif di triwulan keempat 2016 setelah tujuh triwulan sebelumnya mengalami kontraksi. Perbaikan ekonomi beberapa negara mitra dagang juga menjadi faktor positif yang mendorong kinerja perdagangan internasional. Ekspor Indonesia ke negara mitra dagang utama seperti AS dan Jepang mengalami peningkatan yang cukup signifkan. Ekspor barang nonmigas tumbuh signifikan hingga 7,7 persen pada triwulan akhir 2016. Peningkatan juga terjadi pada ekspor jasa seiring dengan kenaikan jumlah wisatawan mancanegara. Sementara dari sisi impor, pertumbuhan impor barang nonmigas dan jasa mengalami peningkatan di akhir tahun. Beberapa komoditas yang mengalami peningkatan impor antara lain mesin, plastik, kendaraan, gula, dan perangkat optik. Dari sisi lapangan usaha, pada tahun 2016 seluruh sektor mencatatkan kinerja positif (Tabel 2). Kinerja sektor primer menunjukkan perbaikan seiring dengan tren peningkatan harga komoditas baik tambang maupun perkebunan yang terjadi pada paruh kedua 2016. Sektor pertambangan dan penggalian mampu kembali mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 1,1 persen, setelah mengalami kontraksi sebesar 3,4 persen pada 2015. Kinerja sektor ini terutama ditopang oleh produksi tambang migas yang meningkat dengan dukungan penambahan kapasitas produksi di beberapa lapangan migas, khususnya di Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu. Selain itu, peningkatan produksi pada tambang bijih dan konsentrat logam khususnya tembaga juga turut berkontribusi positif terhadap kinerja sektor pertambangan. Di sisi lain, pertumbuhan sektor pertanian secara umum mengalami perlambatan bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh cuaca yang kurang kondusif bagi produksi. Hal tersebut tercermin dari perlambatan kinerja subsektor perikanan, dan fluktuasi pertumbuhan tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura. Sektor sekunder atau industri pengolahan tumbuh stabil di tahun 2016. Pertumbuhan sektor industri utamanya ditopang oleh subsektor industri makanan dan minuman serta industri kimia dan farmasi. Namun kinerja sektor industri sedikit melemah di triwulan keempat 2016. Hal ini disebabkan oleh kontraksi pada industri batubara dan pengilangan migas serta beberapa industri nonmigas, terutama industri karet, barang dari karet dan plastik serta industri mesin dan perlengkapan. Pelemahan ini seiring dengan penurunan pertumbuhan indeks produksi, baik indeks Industri Besar dan Sedang maupun Industri Mikro dan Kecil.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

19

Sektor tersier yang antara lain meliputi jasa-jasa secara umum mampu tetap tumbuh tinggi pada tahun 2016. Tiga sektor jasa mencatatkan pertumbuhan tertinggi yaitu sektor informasi dan komunikasi, sektor jasa keuangan dan asuransi, serta sektor transportasi dan pergudangan. Pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi didukung oleh perluasan infrastruktur teknologi komunikasi serta peningkatan kebutuhan data dan internet. Selain itu, adanya persiapan Pilkada turut meningkatkan pendapatan dari iklan, media online, radio, dan media cetak terutama pada triwulan keempat. Sektor jasa keuangan dan asuransi masih tumbuh cukup tinggi mencapai 8,9 persen meskipun mengalami perlambatan di triwulan keempat akibat penurunan pertumbuhan kredit serta perlambatan kinerja jasa perantara keuangan. Sementara sektor transportasi dan pergudangan tumbuh cukup kuat ditopang oleh peningkatan jumlah penumpang maupun pengiriman barang, terutama angkutan udara. Tabel 2. Kinerja seluruh sektor ekonomi pada tahun 2016 mencatatkan pertumbuhan positif (dalam persen, yoy) Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran Transportasi & Pergudangan Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Jasa-jasa lainnya PDB

2015

2016

Q1

Q2

Q3

Q4

Y

Q1

Q2

Q3

Q4

Y

3,8 0,6 4,1 6,0 3,8 5,8 9,7 8,6 5,1

6,5 -3,6 4,2 5,4 1,6 5,9 9,3 2,6 6,5

2,9 -4,4 4,6 6,8 1,4 7,3 10,6 10,4 4,7

1,6 -6,0 4,4 7,1 3,7 7,7 9,2 12,8 5,5

3,8 -3,4 4,3 6,4 2,6 6,7 9,7 8,6 5,4

1,5 1,2 4,7 6,8 4,1 7,9 7,6 9,3 5,9

3,4 1,2 4,6 5,1 4,1 6,9 9,3 13,6 5,4

3,0 0,3 4,5 5,0 3,6 8,3 9,0 9,0 4,4

5,3 1,6 3,4 4,2 3,9 7,9 9,6 4,2 3,6

3,3 1,1 4,3 5,2 3,9 7,7 8,9 8,9 4,8

4,8

4,7

4,8

5,2

4,9

4,9

5,2

5,0

4,9

5,0

Sumber: BPS

Dilihat dari perkembangan komposisi sumber pertumbuhan, terdapat indikasi adanya pergeseran struktur ekonomi dari sektor sekunder (industri) ke sektor tersier (jasa). Sumbangan sektor tersier khususnya sektor jasa keuangan, transportasi dan komunikasi terus meningkat, sedangkan sumbangan dari sektor industri dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan.

20

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Q3

Q4

Y

Q1

Grafik 2. Indikasi adanya pergeseran struktur ekonomi dari sektor sekunder ke sektor tersier (dalam persen, yoy) 13,4

13,4

13,3

13,5

13,5

11,6

11,0

9,8

7,6

7,2 20,5

Pertanian

21,5

21,0

21,1

21,0

9,3

9,5

9,9

10,2

10,4

Industri

13,2

13,2

13,4

13,3

13,2

Konstruksi

Pertambangan

Perdagangan* 28,8

29,4

30,0

31,2

31,7

2012

2013

2014

2015

2016

Sumber: BPS

Jasa Lainnya

Pada tahun 2016, kawasan barat Indonesia masih menjadi penyumbang pertumbuhan terbesar dengan porsi yang cenderung menurun. Hal tersebut mengindikasikan adanya sedikit pergeseran aktivitas ekonomi ke kawasan timur Indonesia. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh kawasan MalukuPapua sebesar 7,5 persen, disusul oleh Sulawesi dan Bali-Nusa Tenggara yang masing-masing tumbuh sebesar 7,4 persen dan 5,9 persen. Sementara itu, Jawa tumbuh relatif stabil diatas 5,5 persen seiring dengan stabilnya kinerja sektor industri. ss

Perekonomian kawasan yang berbasis komoditas seperti Sumatera, Kalimantan, dan MalukuPapua juga mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya seiring dengan peningkatan harga komoditas seperti batu bara, minyak, CPO dan karet terutama pada semester kedua 2016.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

21

C. Aktivitas Penanaman Modal Terus Tumbuh Positif Capaian realisasi investasi tetap menunjukkan pertumbuhan di tengah perlambatan ekonomi global dan regional. Realisasi investasi tahun 2016 mencapai Rp612,8 triliun, meningkat 12,4 persen dibandingkan dengan tahun 2015. Realisasi ini terdiri dari Rp216,2 triliun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Rp 396,6 triliun Penanaman Modal Asing (PMA). PMDN tumbuh relatif tinggi sebesar 20,5 persen (yoy), namun pertumbuhan PMA mengalami perlambatan yaitu hanya sebesar 8,4 persen (yoy). Secara kumulatif, total realisasi penanaman modal mencapai 103,0 persen dari target investasi tahun 2016. Penguatan PMDN di tahun 2016 salah satunya didukung oleh implementasi kebijakan Amnesti Pajak yang turut menciptakan iklim investasi yang kondusif di Indonesia. Realisasi investasi sepanjang tahun 2016 memberikan dampak berganda. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, terjadi peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 1.392.398 orang. Capaian realisasi investasi juga menunjukan kepercayaan investor kepada kondisi fundamental perekonomian Indonesia yang terjaga dengan baik. Pertumbuhan realisasi ini tak lepas dari implementasi berbagai kebijakan kemudahan investasi dan perbaikan iklim usaha yang dilakukan secara berkesinambungan. Tabel 3. Pertumbuhan Realisasi Penanaman Modal 2016 (dalam persen, yoy)

Realisasi

Triwulan IV

2016

yoy

qoq

yoy

PMDN

25,8

4,5

20,5

PMA

2,1

1,6

8,4

Total

9,6

2,6

12,4

Sumber: BKPM

Sektor industri manufaktur masih menjadi sektor yang paling diminati oleh investor. Sektor tersebut meliputi subsektor Industri Kimia Dasar dan Farmasi, Industri Logam Dasar, serta Industri Makanan. Sepanjang tahun 2016, sektor industri manufaktur mencatatkan realisasi investasi sebesar Rp335,8 triliun atau sebesar 54,8 persen dari total realisasi investasi nasional.

Pertumbuhan realisasi investasi di sektor industri manufaktur didukung oleh mulai beroperasinya tiga Kawasan Industri prioritas, yaitu Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumatera Utara; Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah; dan Kawasan Industri Bantaeng, Sulawesi Selatan di tahun 2016. Sementara itu, realisasi investasi di sektor primer dan tersier masing-masing sebesar Rp89,0 dan Rp188,0 triliun, dengan kontribusi masing sebesar 14,5 dan 30,7 persen dari total realisasi investasi nasional tahun 2016. Dari wilayah tujuan investasi, provinsi di Pulau Jawa masih mendominasi realisasi penanaman modal tahun 2016. Realisasi investasi tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan porsi sebesar 17,2 persen dari total investasi tahun 2016. Di peringkat kedua adalah Jawa Timur dengan porsi investasi sebesar 11,9 persen, diikuti oleh DKI Jakarta dan Banten dengan porsi investasi masing-masing sebesar 9,6 dan 8,5 persen. Provinsi Sumatera Selatan masuk dalam lima besar wilayah tujuan investasi di tahun 2016 dengan porsi sebesar 7,6 persen. Kenaikan realisasi investasi di Sumatera Selatan disumbang oleh industri kertas PT Pulp and Paper Mills

22

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

yang mulai beroperasi tahun 2016. Porsi investasi di wilayah-wilayah luar Jawa adalah Sumatera 19,2 persen, Kalimantan 11,2 persen, Sulawesi 8,4 persen, serta Maluku dan Papua 5,0 persen. Sedangkan porsi penanaman modal untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara masih relatif kecil yaitu hanya 2,7 persen dari total realisasi investasi. Sepanjang tahun 2016, Singapura masih menjadi negara asal PMA terbesar di Indonesia dengan jumlah nominal dan porsi yang semakin meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Total realisasi PMA dari Singapura yaitu sebesar 9,2 miliar dolar AS atau 31,7 persen dari total. Di peringkat kedua adalah Jepang dengan realisasi sebesar 5,4 miliar dolar AS dengan porsi 18,4 persen. Investasi dari negara Tiongkok dan Hong Kong naik signifikan dibandingkan dengan tahun 2015 dan masuk ke dalam lima besar dengan nilai investasi masing-masing sebesar 2,7 miliar dolar AS (9,2 persen) dan 2,2 miliar dolar AS (7,8 persen). Di posisi kelima ditempati Belanda dengan total realisasi sebesar 1,5 miliar dolar AS (5,1 persen).

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

23

D. Stabilitas Ekonomi yang Terjaga Serta Keseimbangan Eksternal yang Membaik Inflasi Laju inflasi sepanjang tahun 2016 tercatat sebesar 3,02 persen (yoy, ytd) atau berada di rentang bawah sasaran inflasi sebesar 4+1 persen. Laju inflasi tahun tersebut merupakan yang terendah, dan berada di bawah historis dalam lima tahun terakhir yang sebesar 5,63 persen. Dilihat dari sisi kontribusi, komponen harga diatur pemerintah yang rendah dan bahkan mengalami deflasi merupakan faktor utama yang mampu mengendalikan laju inflasi. Harga minyak mentah dunia yang rendah dan nilai tukar yang stabil berdampak pada terjaganya harga komoditas energi domestik, dan bahkan mendorong pemerintah untuk melakukan penurunan harga BBM dan tarif listrik di bulan April 2016. Kebijakan tersebut juga diikuti oleh penurunan tarif angkutan umum melalui Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2016 dan Permenhub Nomor 38 Tahun 2016. Dengan adanya berbagai kebijakan penurunan harga dan tarif, di bulan April 2016 terjadi deflasi komponen harga diatur pemerintah yang terendah dalam lima belas tahun terakhir. Selanjutnya deflasi komponen tersebut terus terjadi pada enam bulan berikutnya, sehingga kontribusinya pada tahun 2016 menjadi sebesar 0,01 persen, atau terendah dalam enam tahun terakhir. Grafik 3. Komponen Pembentuk Inflasi hingga Desember 2016 (dalam persen, ytd)

1,7

1,8

1,1

3,02

1,6

0,7

2,11

1,0

2,59

-0,21

-0,18

0,01

Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agu-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Inti

Harga diatur Pemerintah

Harga Bergejolak

Umum

Sumber: BPS

Selain kebijakan penurunan harga dan tarif energi, upaya pemerintah dalam mengantisipasi adanya gejolak harga terutama pada masa Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) juga mampu mengurangi tekanan inflasi. Upaya-upaya yang dilakukan meliputi operasi pasar, pasar murah, perbaikan infrastruktur untuk mendukung jalur distribusi, serta menjamin ketersediaan pasokan, terutama bahan pangan pokok masyarakat. Laju inflasi komponen inti mengalami perlambatan sepanjang tahun 2016 sebagai dampak perlambatan ekonomi global. Hal ini ditunjukkan oleh kontribusi kumulatif inflasi inti terhadap inflasi umum yang tercatat sebagai yang terendah dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun kontribusi inflasi inti turun, daya beli masyarakat cukup terjaga yang terlihat dari angka kontribusi kumulatif komponen inti yang relatif lebih besar dari kontribusi komponen non-inti.

24

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Sepanjang tahun 2016, kontribusi inflasi komponen inti terutama berasal dari kelompok pengeluaran perumahan dan makanan jadi, antara lain kontrak dan sewa rumah serta nasi dan gula pasir. Secara keseluruhan komponen inti telah menyumbang inflasi sebesar 1,83 persen sejak awal tahun 2016. Di tahun 2016, komponen harga bergejolak juga relatif terjaga dan tercatat lebih rendah dibandingkan rata-rata lima tahun terakhir. Hal ini antara lain ditunjang oleh cukup terjaganya pasokan dan normalnya tren permintaan masyarakat sepanjang tahun 2016. Di samping itu, penurunan harga komoditas energi, terutama BBM juga mempengaruhi pergerakan harga pangan karena mengurangi biaya logistik dan distribusi. Meskipun demikian, pada triwulan keempat 2016, kontribusi inflasi kumulatif sempat mengalami kenaikan karena curah hujan tinggi yang berpengaruh pada produksi dan pasca panen komoditas hortikultura. Sampai dengan akhir tahun 2016, inflasi komponen harga bergejolak memberikan sumbangan inflasi kumulatif sebesar 1,14 persen. Laju inflasi di tahun 2017 akan tetap dijaga pada rentang sasaran yang telah ditetapkan, yaitu sebesar 4+1 persen, meskipun beberapa risiko membayangi. Faktor yang dapat memberikan risiko tekanan inflasi, terutama pada komponen harga bergejolak adalah perubahan iklim (La Nina). Namun, tekanan ini diperkirakan cenderung minimal karena mulai normalnya curah hujan di awal tahun. Pemerintah akan terus berupaya memitigasi risiko tekanan inflasi meskipun komitmen reformasi kebijakan fiskal, terutama pada kebijakan subsidi dan kebijakan di sektor energi, tetap berlanjut.

Suku Bunga dan Nilai Tukar Dalam rangka memperkuat operasi moneter, Bank Indonesia mengubah suku bunga acuan dari BI Rate menjadi 7-day reverse repo (7DRR) yang mulai berlaku sejak 19 Agustus 2016. BI Rate yang sebelumnya setara dengan suku bunga 12 bulan, digantikan oleh 7DRR yang setara dengan suku bunga operasi moneter 7 hari. Perubahan suku bunga acuan ini turut memberikan ruang yang lebih besar bagi Bank Indonesia dalam mengelola likuiditas dan melengkapi reformasi struktural untuk meningkatkan permintaan domestik. Melalui 7DDR, transmisi perubahan kebijakan moneter dapat berlangsung lebih cepat sehingga kebijakan moneter dapat lebih efektif. Semenjak digunakannya 7DRR, Bank Indonesia telah melakukan penurunan suku bunga sebanyak 50 bps hingga mencapai 4,75 persen, guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Penurunan suku bunga tersebut dilakukan di tengah inflasi yang rendah, nilai tukar yang relatif stabil, serta menyempitnya transaksi berjalan. Dengan stabilitas ekonomi yang relatif terjaga, Bank Indonesia memiliki ruang untuk menstimulasi permintaan domestik di tengah ekonomi global yang belum kondusif. Langkah moneter Bank Indonesia tersebut memberikan persepsi positif dan turut mendorong momentum peningkatan pertumbuhan ekonomi di tahun 2016 dan tahun-tahun ke depan. Sinyalemen positif tersebut juga terkonfirmasi dari peningkatan outlook peringkat utang Indonesia oleh Fitch dari stable menjadi positive pada Desember 2016.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

25

Selain merubah suku bunga acuan, Bank Indonesia juga melakukan bauran kebijakan yang akomodatif namun tetap menjaga stabilitas. Bank Indonesia telah menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebanyak 150 bps dalam satu tahun terakhir. Penurunan GWM membuat suku bunga deposito (deposit rate) turun hingga 128 bps dan tingkat deposito naik 10 persen. Sementara penurunan suku bunga acuan belum direspon dengan efektif, ditandai dengan suku bunga pinjaman (lending rate) masih naik sebesar 78 bps. Masih tingginya risiko yang tercermin dari NPL yang masih tinggi disinyalir menjadi salah satu penyebab penurunan suku bunga acuan belum diikuti oleh penurunan lending rate. Sementara itu dalam rangka menjaga stabilitas di tengah ekspansi moneter, Bank Indonesia juga memperkuat kebijakan makroprudensial antara lain melalui penguatan sistem monitoring dan protokol manajemen krisis. Selain itu, kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan pada non kas dalam rangka mendukung keuangan inklusif. Adapun langkah Bank Indonesia di dalam melakukan stabilitas nilai tukar diarahkan dengan tetap menjaga konsistensi rupiah dengan fundamentalnya, baik melalui intervensi langsung di pasar valuta asing atau melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Rupiah mengalami sedikit penguatan karena fundamental ekonomi Indonesia yang baik. Dibandingkan dengan tahun 2015, rata-rata nilai tukar rupiah per dolar AS di tahun 2016 menguat tipis sebesar 0,63 persen, menuju Rp13.307. Hal ini terjadi antara lain karena besarnya aliran modal masuk ke Indonesia yang Rp124 triliun atau 80 persen lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Aliran dana asing tersebut masuk ke pasar saham sebesar Rp16,17 triliun dan pasar obligasi pemerintah sebesar Rp107,29 triliun. Dari sisi domestik, menguatnya aliran modal dimaksud antara lain disebabkan oleh berjalan baiknya program terobosan Amnesti Pajak. Namun demikian, arus modal masuk tersebut sedikit banyak tertahan oleh langkah antisipasi investor terhadap kenaikan tingkat suku bunga The Fed dan seiring dengan hasil pemilu presiden di AS. Dengan dukungan fundamental ekonomi dalam negeri yang kuat, dinamika global ini pada akhirnya dapat diredam dengan baik sehingga pergerakan rupiah tetap stabil. Grafik 4. Pergerakan rupiah secara umum menguat hingga Desember 2016 (per 1 dolar AS)

14.500 14.000

Harian

Rata-Rata Bulanan

13.889 13.516

13.500 13.000

13.420

13.193

13.418 13.311

13.355 13.116 13.165

13.180

13.118

13.017

12.500 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16 Jun-16 Jul-16 Aug-16 Sep-16 Oct-16 Nov-16 Dec-16 Sumber: Bank Indonesia, diolah

26

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Pemerintah akan terus berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan untuk memitigasi risiko volatilitas arus modal asing. Persepsi investor secara umum masih positif terhadap Indonesia, meskipun terdapat beberapa tantangan yang perlu diwaspadai. Dari sisi domestik, kinerja investasi sebagai salah satu komponen yang diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekonomi, diharapkan dapat semakin meningkat. Hal ini sangat tergantung tidak hanya pada pemerintah tetapi juga pada swasta. Selain itu, perkembangan perekonomian global juga menjadi perhatian pemerintah, utamanya dalam merespons ekspektasi kondisi likuiditas global yang semakin ketat seiring dengan rencana kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan akan terjadi sebanyak tiga kali di tahun 2017. Meskipun terdapat tantangan, dengan kondisi perekonomian yang stabil dan terus membaik serta didukung dengan berbagai kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah maupun Bank Indonesia, diharapkan kinerja nilai tukar rupiah dan suku bunga domestik dapat terjaga dengan baik dan stabil.

Neraca Perdagangan Indonesia Di tengah perlambatan ekonomi global yang masih berlanjut, kinerja ekspor impor Indonesia tahun 2016 menunjukkan tren perbaikan. Pada akhir periode 2016, persentase pertumbuhan bulanan nilai ekspor dan impor telah memasuki wilayah positif setelah dalam beberapa triwulan mengalami kontraksi. Faktor pendorong perbaikan pertumbuhan perdagangan di akhir tahun tersebut antara lain adanya kenaikan nilai ekspor sektor manufaktur yang didukung oleh pergerakan harga komoditas yang mulai naik, terutama pada komoditas mineral dan barang tambang. Grafik 5. Tren pertumbuhan ekspor impor di sepanjang tahun 2016 menunjukkan perbaikan (dalam persen) 40

Ekspor Kumulatif, yoy

Impor Kumulatif, yoy

Ekspor, yoy

Impor, yoy

20 0 -20

Dec-16

Nov-16

Oct-16

Sep-16

Aug-16

Jul-16

Jun-16

May-16

Apr-16

Mar-16

Feb-16

Jan-16

Dec-15

Nov-15

Oct-15

Sep-15

Aug-15

Jul-15

Jun-15

May-15

Apr-15

Mar-15

Feb-15

Jan-15

-40

Sumber: BPS, data diolah s

Meskipun pertumbuhan ekspor impor sudah positif di akhir tahun 2016, namun nilai totalnya masih lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun 2016 secara kumulatif ekspor tercatat sebesar 144,43 miliar dolar AS atau turun 3,95 persen dibanding tahun 2015 yang mencapai 150,37 miliar dolar AS. Sementara impor mencapai 135,65 miliar dolar AS atau turun 4,94 persen dibandingkan tahun 2015 dengan nilai 142,69 miliar dolar AS. Faktor harga masih menjadi penyebab utama dari penurunan nilai ekspor dan impor secara keseluruhan di tahun 2016, meskipun ada peningkatan pada sisi volume.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

27

Neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif mencatatkan surplus sebesar 8,78 miliar dolar AS di tahun 2016. Nilai tersebut lebih tinggi dibanding surplus neraca perdagangan di tahun sebelumnya yang sebesar 7,67 miliar dolar AS. Surplus neraca perdagangan Indonesia di tahun 2016 ditopang oleh peningkatan surplus neraca nonmigas dan defisit neraca migas yang mengecil. Grafik 6. Surplus neraca perdagangan tahun 2016 lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 (dalam juta dolar AS) 3000

Non Migas

Migas

Neraca Perdagangan

2000 1000 0 -1000

Dec-16

Nov-16

Oct-16

Sep-16

Aug-16

Jul-16

Jun-16

Apr-16

May-16

Mar-16

Feb-16

Jan-16

Dec-15

Nov-15

Oct-15

Sep-15

Aug-15

Jul-15

Jun-15

May-15

Apr-15

Mar-15

Jan-15

Feb-15

-2000

Sumber: BPS, data diolah s

Surplus neraca nonmigas mencapai 14,42 miliar dolar AS yang terutama didukung oleh sektor manufaktur. Ekspor manufaktur mencapai 109,76 miliar dolar AS dengan kontribusi 76,0 persen terhadap total ekspor. Nilai ekspor manufaktur tersebut tumbuh 2,9 persen (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Sementara sektor tambang dan pertanian masing-masing menyumbang sebesar 12,56 persen dan 2,38 persen. Kinerja kedua sektor tersebut masih negatif dengan pertumbuhan masing-masing -39,0 persen (yoy) dan -6,6 persen (yoy). Adapun komoditas ekspor nonmigas utama tahun 2016 antara lain bahan bakar mineral, mesin/peralatan listrik, dan perhiasan/permata, dengan negara tujuan ekspor terbesar yakni AS, Tiongkok dan Jepang. Sementara komoditas impor nonmigas utama adalah mesin/peralatan listrik, plastik dan barang dari plastik, serta bahan kimia organik. Grafik 7. Perkembangan Ekspor Sektoral (a) dan Penggunaan Impor Berdasarkan Penggunaan (b) (dalam juta dolar AS) 14.000

12000

12.000

10000

10.000

8000

8.000

6000

Bahan Baku

6.000

Manufaktur

4.000 Barang Modal

(a) Sumber: BPS, data diolah s

28

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Nov-16

Sep-16

Jul-16

May-16

Sep-15

Jul-15

Nov-15

(b)

Mar-16

Barang Konsumsi

0

May-15

Nov-16

Sep-16

Jul-16

Jan-16

Mar-16

Nov-15

Sep-15

Jul-15

May-15

Jan-15

Mar-15

0

May-16

Pertambangan

Jan-16

2.000

Pertanian

Jan-15

2000

Mar-15

4000

Sementara itu, perbaikan defisit migas terjadi seiring dengan optimalisasi kilang lama dan pengoperasian kilang baru. Kilang yang baru dioperasikan oleh Pertamina pada tahun 2016 yaitu kilang Trans Pacific Petroleum Indotama di Tuban, Jawa Timur, dan Residual Fluid Catalytic Cracker di Cilacap, Jawa Tengah. Dengan beroperasinya kedua kilang ini, impor premium diperkirakan mengalami penurunan sekitar 30 persen dan impor minyak diesel berkurang 40 persen dari kebutuhan impor migas dalam negeri, atau berkurang sekitar 2 miliar dolar AS pertahun. Sepanjang tahun 2016, neraca perdagangan Indonesia dengan mitra dagang utama dalam kondisi relatif stabil. Amerika dan Jepang masih menjadi negara tujuan ekspor utama bagi Indonesia dengan nilai surplus sekitar 12 miliar dolar AS. Di tengah perlambatan ekonomi global, capaian ini merupakan sebuah kinerja yang baik. Sementara itu, neraca perdagangan dengan mitra dagang utama lainnya, yakni Tiongkok masih mencatatkan defisit meskipun dalam tren penurunan defisit. Di sisi lain, perdagangan dengan Singapura terus menunjukkan pelebaran defisit. Tiongkok dan Singapura merupakan penyumbang defisit perdagangan terbesar dengan total 17 miliar dolar AS. Dari sisi impor, impor barang konsumsi masih dapat mencatatkan pertumbuhan positif di tengah impor bahan baku dan barang modal yang masih terkontraksi. Adanya impor alutsista yang berupa amunisi, dan impor gandum di awal tahun 2016 telah mendorong tingginya nilai impor barang konsumsi sepanjang tahun 2016. Impor barang konsumsi tercatat mencapai 12,35 miliar dolar AS, atau tumbuh sebesar 13,5 persen (yoy). Sementara impor bahan baku dan barang modal masih tumbuh negatif masing-masing sebesar 5,7 persen dan 9,6 persen. Pertumbuhan negatif ini selain dipicu oleh aktivitas ekspor yang belum pulih juga sedikit banyak dipengaruhi oleh optimalisasi bahan baku dan barang modal dalam negeri untuk kegiatan industri. Meskipun demikian, sinyal perbaikan impor bahan baku dan barang modal sudah terlihat dengan pertumbuhan defisit yang terus mengecil ditopang oleh kinerja sektor manufaktur yang stabil. Grafik 8. Pertumbuhan Impor Kumulatif per komponen Grafik 9. Neraca Perdagangan dan Mitra Dagang tahun 2016 Utama (dalam persen, yoy)

(dalam miliar dolar)

Sumber: BPS, data diolah

Tiongkok

Jepang

Singapura

Desember*

Oktober

November

Agustus

September

Dec

Oct

Nov

Sep

Aug

Jul

Jun

May

Apr

Feb

Mar

Jan

-40,0

Juli

Barang Modal

Juni

Januari

Bahan Baku

-20,0

Mei

0,0

April

Barang Konsumsi

20,0

Maret

40,0

Februari

1,2 0,8 0,4 0,0 -0,4 -0,8 -1,2 -1,6

60,0

Amerika Serikat

Sumber: BPS, data diolah

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

29

E. Pemulihan Ekonomi dan Amnesti Pajak Mendorong Penguatan Kinerja Perbankan Grafik 10. pertumbuhan kredit di tahun 2016 mengalami perlambatan dibandingkan dengan tahun 2015 (dalam persen) 16,00 11,00 6,00 1,00 Jan

-4,00

Feb

Mar

Apr

Mei KMK

Jun

Jul

KI

KK

Ags

Sep

Okt

Nov

Des

Kredit

j

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Secara umum, pertumbuhan kredit di tahun 2016 mengalami perlambatan dibandingkan dengan tahun 2015. Meski sempat menguat pada bulan November (8,46 persen), namun pertumbuhan kredit kembali melemah pada Desember 2016 dengan mencatatkan pertumbuhan 7,87 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut masih didominasi oleh penyaluran kredit dalam rupiah yang mencapai 9,15 persen (yoy), sementara kredit valuta asing hanya tumbuh sebesar 0,92 persen (yoy). Upaya untuk mendorong kenaikan pertumbuhan kredit telah dilakukan melalui kenaikan permintaan pembiayaan, penurunan suku bunga kredit, dan peningkatan kegiatan promosi yang dilakukan oleh perbankan menjelang akhir tahun. Di tengah ketidakpastian global, pertumbuhan kredit tahun 2016 tersebut cukup mampu menunjukkan baiknya fundamental perekonomian Indonesia. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit tahun 2017 akan mencapai 10-12 persen, seiring dengan perkiraan membaiknya perekonomian Indonesia. Grafik 11. Sektor Pertambangan masih menjadi sektor dengan NPL terbesar (dalam persen, besar bubble: porsi kredit)

Pertumbuhan

45,00

Listrik, Gas, Air 3,11

25,00 Pinjaman multiguna Pertanian 6,52 10,71 5,00 0,00

1,00

Perdagangan 19,38

Industri Pengolahan 17,63

2,00

3,00

Pertambangan 2,98 Transportasi 6,00 5,00

4,00

Konstruksi Transportasi

Pertanian Industri Pengolahan

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

30

7,00

8,00

Non Performing Loan (NPL)3,86

-15,00 Listrik, Gas, Air Perdagangan

Konstruksi 4,90

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Pertambangan Pinjaman multiguna

Berdasarkan jenis penggunaannya, kredit konsumsi mencatatkan pertumbuhan tertinggi. Pada Desember 2016, kredit konsumsi mencapai 8,76 persen (yoy), disusul kredit investasi dan kredit modal kerja, yang masing-masing tumbuh sebesar 8,65 persen (yoy) dan 6,93 persen (yoy). Secara sektoral, kredit sektor listrik, gas, dan air menjadi sektor dengan realisasi penyaluran kredit tertinggi pada bulan Desember 2016, yaitu sebesar 36,21 persen (yoy). Tingginya pertumbuhan kredit sektor listrik tersebut terutama didorong oleh adanya proyek listrik 35.000 megawatt yang digulirkan oleh pemerintah. Sementara itu, kredit sektor pertambangan masih mengalami pertumbuhan negatif. Selain, sektor ini juga memiliki rasio kredit bermasalah tertinggi, mencapai lebih dari 7 persen. Di samping itu, penurunan pertumbuhan sektor transportasi, gudang, dan komunikasi masih berlanjut sejalan dengan meningkatnya kredit bermasalah di sektor tersebut sejak awal tahun 2016. Namun, penyaluran kredit pada sektor tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan di tahun 2017 mengingat sektor transportasi, gudang, dan komunikasi merupakan salah satu sektor prioritas penyaluran kredit. Secara spasial, pertumbuhan kredit tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan pertumbuhan mencapai 30,92 persen (yoy). Tingginya pertumbuhan tersebut didorong oleh kenaikan penyaluran kredit kepada pelaku UMKM sejak pertengahan tahun 2016. Sementara itu, Kalimantan Timur masih menjadi provinsi dengan tingkat kredit bermasalah tertinggi sebagai akibat dari kenaikan kredit bermasalah di sektor pertambangan. Pulau Jawa, masih menjadi pusat penyaluran kredit terbesar dengan proporsi sebesar 74,46 persen dari keseluruhan total kredit. Sejak awal tahun 2016, proporsi kredit Pulau Jawa cenderung mengalami sedikit penurunan di mana pada bulan Januari 2016 mencapai 74,68 persen. Grafik 12. DPK membaik di triwulan keempat 2016 (dalam persen) 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 -5,00 Jan

Feb Giro

Mar

Apr Tabungan

May

Jun

Jul

Aug

Simpanan Berjangka

Sep

Oct

Nov

Dec

Dana Pihak Ketiga

j

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Program Amnesti Pajak berhasil memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Sampai dengan 27 Desember 2016, dari total dana repatriasi Amnesti Pajak sebesar Rp143 triliun, terdapat sekitar Rp89,6 triliun yang masuk ke perbankan nasional. Dana hasil repatriasi yang masuk ke sektor perbankan turut mendorong tumbuhnya DPK pada triwulan akhir 2016. Selain itu, meningkatnya pertumbuhan DPK juga didorong oleh keputusan bank untuk menaikkan suku bunga deposito pada awal triwulan keempat 2016, sebagai akibat dari likuiditas yang cenderung mengetat. Hingga akhir Desember 2016, DPK di

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

31

perbankan mencapai Rp4.837 triliun atau tumbuh 9,60 persen (yoy). Pertumbuhan DPK tersebut didominasi oleh giro yang tercatat sebesar 13,84 persen, sementara tabungan dan simpanan berjangka mencatatkan pertumbuhan masing-masing sebesar 11,16 persen dan 6,46 persen. Membaiknya pertumbuhan kredit dan DPK turut meningkatkan kinerja perbankan secara umum. Rasio kredit bermasalah (NPL) turun menjadi 2,93 persen pada bulan Desember 2016. Dari sisi permodalan, industri perbankan dinilai masih sangat mampu untuk mengantisipasi berbagai potensi risiko yang ada. Hal ini terlihat dari besaran Capital Adequacy Ratio (CAR) yang masih berada jauh di atas ketentuan minimum sebesar 8,0 persen. Efisiensi dan profitabilitas perbankan relatif stabil, terlihat dari rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan Return on Assets (ROA) yang menurun tipis. Likuiditas mulai melonggar ditopang oleh masuknya dana repatriasi program Amnesti Pajak di akhir tahun 2016. Tabel 4. Indikator kinerja perbankan masih relatif sehat (dalam persen) Indikator Umum Aset (T Rp) DPK (T Rp) DPK (%, yoy) Kredit (T Rp) Kredit (%, yoy) LDR (%) NPL (%) CAR (%) BOPO (%) NIM (%) ROA (%)

Jan 6.096 4.385 6,79 3.983 9,59 90,95 2,73 21,75 84,86 5,63 2,51

Feb 6.119 4.438 6,89 3.968 8,24 89,50 2,87 21,93 84,22 5,47 2,29

Mar 6.168 4.469 6,44 4.000 8,71 89,60 2,83 22,00 82,96 5,55 2,44

Apr 6.181 4.478 6,18 4.007 7,95 89,52 2,93 21,95 82,30 5,56 2,38

Mei 6.243 4.508 6,53 4.070 8,34 90,32 3,11 22,41 82,36 5,60 2,34

2016 Juni Juli 6.362 6.350 4.574 4.585 5,90 5,93 4.168 4.130 8,89 7,74 91,19 90,18 3,05 3,18 22,56 23,19 82,23 81,37 5,59 5,59 2,31 2,35

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

32

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Agu 6.383 4.610 5,58 4.146 6,83 90,04 3,22 23,26 81,31 5,59 2,36

Sept 6.466 4.605 3,15 4.212 6,47 91,71 3,10 22,60 81,02 5,65 2,38

Okt 6.460 4.653 6,46 4.216 7,44 90,77 3,22 23,19 81,26 5,65 2,41

Nov 6.582 4.734 8,40 4.285 8,46 90,70 3,18 23,04 80,64 5,62 2,37

Des 6.730 4.837 9,60 4.377 7,87 90,70 2,93 22,93 82,22 5,63 2,23

F. Seluruh Sektor IHSG Mencatatkan Kinerja Positif Pada Penutupan 2016 Grafik 13. Pergerakan IHSG Selama Tahun 2016 (dalam indeks) 5600 5400 5200 5000 4800 4600 4400 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16 Jun-16 Jul-16 Aug-16 Sep-16 Oct-16 Nov-16 Dec-16 Sumber: Bloomberg

Di tengah kondisi dan kebijakan perekonomian domestik dan global yang penuh dengan tantangan, indeks harga saham gabungan (IHSG) di tahun 2016 masih membukukan kinerja positif. Pada penutupan tahun 2016, IHSG mencatatkan pertumbuhan 15,32 persen (ytd), lebih baik dibandingkan kinerja di tahun 2015 yang mengalami pertumbuhan negatif 12,13 persen. Kinerja yang positif ini ditopang oleh rata-rata volume transaksi harian yang sebesar Rp4,08 triliun, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp3,71 triliun. Jika dibandingkan dengan indeks kawasan, kinerja IHSG termasuk yang terbaik. Saham Indonesia membukukan pertumbuhan tahunan tertinggi kedua setelah Thailand. Kinerja IHSG sepanjang 2016 diwarnai beberapa kali tekanan, baik yang dipicu oleh faktor domestik maupun global. Tekanan dimulai sejak awal tahun 2016 pasca kenaikan tingkat suku bunga The Fed pada bulan Desember 2015. Tekanan tersebut berlanjut hingga pekan terakhir Januari. Setelah itu, tekanan berangsur-angsur mereda walaupun tren positif indeks masih terbatas. Tekanan lanjutan tercatat dialami pada pekan kedua bulan Juni dimana IHSG dan sebagian besar indeks global mengalami penurunan menjelang referendum Brexit. Hal tersebut diikuti tekanan harian yang cukup dalam pada hari diumumkannya hasil referendum yang memutuskan Inggris keluar dari Uni Eropa. Namun demikian, tekanan tersebut hanya bersifat harian akibat kepanikan pelaku pasar atas hasil referendum yang di luar ekspektasi. Selanjutnya, kinerja IHSG berangsur pulih mengingat eksposur sektor keuangan dan perdagangan Indonesia dengan Inggris relatif kecil. Kondisi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya UU tentang Amnesti Pajak oleh DPR pada tanggal 28 Juni 2016 yang berhasil turut meredam tekanan lebih dalam pada IHSG. Bahkan, penetapan UU tersebut dapat dikatakan menjadi titik balik IHSG dari tekanan yang dialami pasca kenaikan suku bunga The Fed pada akhir 2015. Hal ini terlihat dari pertumbuhan positif indeks yang cukup signifikan ditopang oleh meningkatnya arus modal masuk investor nonresiden. Pada bulan Agustus 2016, IHSG kembali mengalami tekanan karena pernyataan hawkish Janet Yellen atas rencana kenaikan suku bunga acuan yang disampaikan dalam Jackson Hole Symposium. Di dalam pernyataannya, Yellen menggarisbawahi bahwa peluang kenaikan suku

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

33

bunga acuan pada tahun 2016 semakin besar. Tekanan dirasakan semakin dalam memasuki bulan terakhir periode pertama Amnesti Pajak (September 2016) di mana partisipasi wajib pajak masih jauh dari harapan. Hal ini terlihat dari jumlah uang tebusan dan dana repatriasi yang masih minim. Namun demikian, kondisi tersebut berbalik menjelang hari terakhir bulan September, IHSG kembali membukukan kinerja positif seiring meningkatnya jumlah uang tebusan dan repatriasi. Selain Amnesti Pajak, kinerja IHSG juga didukung oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga 2016 yang berada di atas ekspektasi. Di tengah sentimen positif dari domestik, kinerja IHSG kembali tertahan oleh perkembangan kebijakan AS. Hasil pemilihan Presiden AS pada bulan November 2016 yang dimenangkan oleh Donald Trump, memberikan sentimen negatif bagi sektor keuangan emerging markets, termasuk Indonesia. Sebagaimana disampaikan di dalam kampanyenya, Trump akan menerapkan belanja fiskal yang ekspansif serta menyediakan insentif perpajakan, yang diperkirakan akan berdampak pada pelebaran defisit fiskal AS. Dampak lanjutan dari kebijakan tersebut adalah kenaikan ekspektasi inflasi AS dan kenaikan yield surat utang negara, yang pada gilirannya akan diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan the Fed. Kondisi ini kurang menguntungkan bagi sektor keuangan Indonesia yang selama ini menikmati arus modal masuk dari AS pasca penetapan quantitative easing pada 2008 lalu. Tekanan yang dialami oleh indeks pasca pemilihan presiden AS tersebut masih berlanjut hingga pekan ketiga Desember 2016, diikuti arus keluar yang cukup signifikan. Grafik 14. Pergerakan Saham Beberapa Negara

Grafik 15. Pergerakan Saham Negara-Negara ASEAN

(dalam indeks, 1 Januari 2016=100)

(dalam indeks, 1 Januari 2016=100)

130

130

120

120

110

110

100

AS (S&P 500)

AS (DJIA)

Jepang

Indonesia

Malaysia

Inggris

Jerman

Indonesia

Thailand

Filipina

Dec-16

Oct-16

Nov-16

Sep-16

Aug-16

Jul-16

Jun-16

May-16

Apr-16

Mar-16

Jan-16

Dec-16

Oct-16

Nov-16

Sep-16

Jul-16

Aug-16

Jun-16

May-16

Apr-16

80

Feb-16

70

Mar-16

90

Jan-16

80

Feb-16

100

90

Singapura

Sumber: Bloomberg, data diolah

Kinerja Sektoral Pada penutupan transaksi perdagangan saham tahun 2016, semua sektor mencatatkan kinerja positif dibandingkan tahun 2015. Sektor yang mencatatkan kinerja pertumbuhan paling tinggi adalah sektor pertambangan, diikuti industri dasar dan aneka industri. Kinerja emiten sektor pertambangan mulai membaik sejak awal tahun seiring tren penguatan harga minyak yang didorong oleh rencana OPEC untuk mengupayakan pembatasan tingkat produksi. Rencana tersebut akhirnya disepakati dalam pertemuan OPEC pada bulan Desember 2016. Di samping itu, kinerja emiten pertambangan juga didukung oleh kenaikan harga komoditas lain, misalnya

34

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

batubara. Pasca penetapan kebijakan Pemerintah Tiongkok untuk membatasi impor batubara karena adanya pergeseran kebijakan dari investasi ke konsumsi dalam negeri, di tengah situasi pasokan yang berlebih dan sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi polusi udara tampaknya tidak berdampak terlalu besar terhadap harga batubara. Hal ini ditunjukkan oleh masih meningkatnya harga batubara. Kinerja sektor pertambangan didukung pula oleh emiten penghasil nikel yang mengalami kenaikan harga cukup signifikan. Grafik 16. Kinerja Indeks Global 2016 (dalam indeks) Indonesia

15,3

Thailand

19,8

Korea

3,3

AS (DJIA)

13,4

AS (S&P 500)

9,5

Malaysia

-3,0

Inggris

14,4

Singapura

-0,1

Hongkong

0,4

Jepang -20,0

0,4 -15,0

-10,0

-5,0

0,0 2015

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

2016

Sumber: Bloomberg

Sektor industri dasar dan aneka industri juga mengalami perbaikan kinerja. Hal ini didorong oleh perkembangan ekonomi domestik yang menguat pada triwulan ketiga 2016 dan sinergi kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perbaikan kinerja tersebut dapat terlihat pada sektor properti dan infrastruktur di mana kinerja emiten industri semen, beton, dan pendukung lain, misalnya produsen besi dan aluminium, terdorong oleh pembangunan infrastruktur yang intensif dilakukan oleh pemerintah dan pelonggaran kebijakan Loan to Value (LTV) oleh Bank Indonesia. Selain itu, kondisi perekonomian yang mengalami tren pertumbuhan positif, juga mendorong kinerja harga saham emiten yang bergerak di sektor aneka industri, antara lain produsen kendaraan bermotor dan pendukungnya, tekstil, dan bahan kimia dasar. Kinerja sektor keuangan masih positif, terutama pasca penetapan kebijakan Amnesti Pajak. Melalui mekanisme repatriasi, kebijakan tersebut berhasil meningkatkan likuiditas pasar keuangan Indonesia, terutama menjelang bulan Desember 2016. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan the FED sebesar 25 bps pada bulan Desember 2016 tidak terlalu memberikan

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

35

dampak negatif di pasar. Hal ini disebabkan karena kebijakan tersebut telah diperkirakan sebelumnya sehingga pasar telah mengambil langkah antisipatif. Tabel 5. Indikator kinerja perbankan masih relatif sehat (dalam persen) Sektor Keuangan Manufaktur Konsumsi Infrastruktur Perdagangan Properti Aneka Industri Industri Dasar Pertambangan Pertanian IHSG

Perkembangan Bulanan (%) Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Juni

Juli

Agst

(0.7) 7.1

0.5

2.3

5.7

(1.0)

(3.0)

0.2

2.7

7.1

1.0

(0.7)

2.2

1.7

(0.7)

0.5

2.3

(3.0)

0.7

1.3

2.6

(0.2)

3.9

3.7

1.6

(5.0)

3.1

3.1

1.2

(2.3)

0.7

3.4

2.7

7.8

4.5

Okt

Nov

Des

6.0

0.8

0.6

(6.7)

12.6

18.2

6.2

(0.6)

1.4

(5.0)

15.2

18.8

(0.1)

5.1

(1.5)

0.6

(5.7)

9.5

12.6

3.3

6.2

(3.7)

(0.2)

-2.7

(5.9)

3.6

7.6

(1.3)

2.5

0.6

(0.1)

(2.0)

1.9

(5.2)

(3.4)

1.3

2.6

1.3

6.6

3.0

1.2

(0.3)

0.0

(5.8)

3.1

5.5

(4.5)

0.0

4.9

4.9

4.7

0.9

(0.1)

(7.2)

21.6

29.6

2.6

(0.2)

3.9

3.7

(7.1)

3.0

5.7

12.5

1.2

5.7

(0.5)

30.5

32.0

(1.7)

6.5

8.0

10.9

(2.9)

8.6

12.3

(1.6)

(0.4)

13.7

4.5

68.9

70.7

4.2

(2.7)

10.4

(1.9)

(3.2)

(1.4)

0.9

5.7

(4.1)

0.8

1.4

7.7

8.4

0.2

2.8

1.8

0.7

(0.3)

3.0

4.0

3.3

(0.4)

1.1

(5.0)

11.3

15.4

 ) Urutan berdasarkan kapitalisasi pasar Sumber: Bloomberg, diolah

36

Ytd

Sept

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Halaman ini sengaja dikosongkan

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

37

38

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

BAGIAN II ANALISIS KINERJA APBN 2016 DAN ARAH KEBIJAKAN APBN 2017 Penyesuaian asumsi ekonomi makro yang realistis, penetapan target penerimaan negara yang realistis, dan konsolidasi belanja merupakan faktor pendorong terciptanya kredibilitas APBN. Kredibilitas ini merupakan fondasi untuk mendorong ketahanan fiskal dalam jangka menengah dan membangkitkan optimisme masyarakat.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

39

Realisasi APBNP 2016 Mencerminkan Kredibilitas Pengelolaan Anggaran Secara umum, pengelolaan makro fiskal pada tahun 2016 relatif terjaga dan sesuai dengan target pemerintah dalam APBNP. Lebih lanjut, kondisi ekonomi makro yang mampu dikelola dengan baik terefleksikan dalam beberapa indikator perekonomian seperti pertumbuhan ekonomi yang masih cukup tinggi; pertumbuhan sektoral yang positif; inflasi yang terkendali pada tingkat rendah; nilai tukar rupiah yang relatif stabil; dan lifting minyak yang sesuai target. Pengelolaan fiskal yang terjaga direfleksikan dalam beberapa indikator utama yakni defisit anggaran dan rasio utang terhadap PDB yang terkendali dalam batas aman, serta keseimbangan primer yang terus membaik meskipun masih negatif. Pengelolaan makro fiskal yang baik tersebut memberikan sinyal positif dan menumbuhkan optimisme terhadap perkembangan perekonomian ke depan. Realisasi Asumsi Ekonomi Makro Tahun 2016 Tabel 6. Asumsi Ekonomi Makro 2016 Indikator Pertumbuhan Ekonomi Inflasi SPN 3 Bulan Nilai Tukar ICP Lifting Minyak Lifting Gas

Satuan persen (yoy) persen (yoy) persen dolar AS dolar AS per barel ribu barel per hari (ribu barel setara minyak per hari)

2015 4,9 3,4 6,0 13.392 49 778 1.195

2016 APBNP Realisasi 5,2 5,0 4,0 3,0 5,5 5,7 13.500 13.307 40 40 820 829 1.150 1.184

2017 APBN 5,1 4,0 5,3 13.300 45 815 1.150

Sumber: Kementerian Keuangan

Pertumbuhan ekonomi tahun 2016 mencapai 5,02 persen (yoy), lebih baik apabila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 4,9 persen. Walaupun tingkat capaian tersebut berada di bawah target yang ditetapkan dalam APBNP 2016, namun masih sejalan dengan Outlook APBNP 2016 sebesar 5,0 persen. Adapun sektor domestik masih menjadi mesin pendorong utama pertumbuhan ekonomi di tahun 2016. Laju Inflasi pada tahun 2016 mencapai 3,02 persen, lebih rendah apabila dibandingkan dengan asumsi APBNP 2016 sebesar 4,0 persen dan angka Outlook APBNP 2016 sebesar 3,5 persen. Tingkat inflasi yang terkendali tersebut terutama didukung oleh harga komoditas dunia yang masih rendah, ketersediaan pasokan bahan kebutuhan pokok yang lebih stabil, serta diselesaikannya proyek-proyek infrastruktur yang mendukung kelancaran jalur distribusi. Rata-rata suku bunga SPN 3 bulan pada tahun 2016 mencapai 5,7 persen, sedikit lebih tinggi apabila dibandingkan dengan APBNP 2016 sebesar 5,5 persen. Adanya tekanan sektor keuangan global memberikan pengaruh terhadap pergerakan imbal hasil domestik. Namun di sisi lain, sentimen positif investor masih tetap terjaga antara lain disebabkan oleh kinerja perekonomian nasional yang lebih baik dibandingkan negara lainnya di kawasan regional, inflasi yang relatif rendah dan terkendali, nilai tukar rupiah yang lebih stabil, serta adanya

40

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

kebijakan pengampunan pajak. Selain itu, masih diterapkannya program quantitative easing, terutama di kawasan Eropa dan Jepang, juga turut mendorong aliran modal masuk ke Indonesia pada tahun 2016. Rata rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di sepanjang tahun 2016 mengalami apresiasi apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2016, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp13.307 per dolar AS, sedangkan pada tahun 2015 mencapai Rp13.392 per dolar AS. Capaian ini sesuai dengan target Outlook APBNP 2016 yang ditetapkan sebesar Rp13.300 per dolar AS. Realisasi rata rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada tahun 2016 mencapai 40,2 dolar AS per barel, sesuai dengan APBNP 2016 sebesar 40 dolar AS per barel. Realisasi tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai 49,2 dolar AS per barel. Realisasi harga ICP tersebut seiring dengan harga komoditas global yang masih cukup rendah di tahun 2016. Hal tersebut selain disebabkan oleh permintaan global yang belum pulih, juga dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti sentimen pasar, kondisi geopolitik, kemampuan produksi beberapa negara penghasil minyak, faktor kekuatan mata uang AS, dan moderasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Realisasi lifting minyak dan gas pada tahun 2016 melebihi target yang ditetapkan dalam APBNP 2016. Realisasi rata-rata lifting minyak pada tahun 2016 mencapai 829,2 ribu barel per hari melebihi asumsi pada APBNP 2016 sebesar 820 ribu barel per hari. Sementara lifting gas mencapai 1.179,6 ribu barel setara minyak per hari, lebih tinggi apabila dibandingkan dengan asumsi pada APBNP 2016 sebesar 1.150 ribu barel setara minyak per hari. Realisasi lifting minyak tersebut terutama dipengaruhi oleh adanya tambahan produksi dari pengoperasian penuh lapangan Banyu Urip. Untuk terus menjaga lifting migas, pemerintah terus berupaya meningkatkan hasil produksi baik melalui optimalisasi fasilitas produksi, perawatan sumur, maupun penerapan teknologi produksi yang tepat guna. Selain itu, pembangunan infrastruktur gas juga terus didorong dalam rangka meningkatkan pemanfaatan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, baik untuk industri, transportasi, maupun rumah tangga. Kinerja APBN 2016 Kebijakan konsolidasi fiskal dalam bentuk penyesuaian target penerimaan dan efisiensi belanja memberikan dampak positif terhadap kredibilitas fiskal. Kebijakan konsolidasi juga menjadi salah satu pendorong untuk meningkatkan kepercayaan publik, tanpa mengesampingkan peran APBN sebagai instrumen untuk menstimulasi perekonomian. Melalui penyesuaian target penerimaan yang lebih realistis serta upaya efisiensi belanja yang tepat dan terukur, defisit APBNP 2016 mampu dijaga pada tingkat 2,46 persen terhadap PDB. Tingkat defisit tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan Outlook APBNP 2016 sebesar 2,50 persen dan masih di bawah batas yang diizinkan dalam undang-undang sebesar 3,0 persen.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

41

Tabel 7. Postur APBNP 2016 dan Realisasinya

A.

B.

C. D. E.

Deskripsi (dalam triliun rupiah) Pendapatan Negara I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Pajak 2. PNBP II. Hibah Belanja Pemerintah I. Pemerintah Pusat 1. Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) 2. Belanja Non K/L II. Transfer Ke Daerah dan Dana Desa 1. Transfer Ke Daerah 2. Dana Desa Keseimbangan Primer Surplus/Defisit % terhadap PDB Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri

APBNP

Outlook

1.786,2 1.784,2 1.539,2 245,1 2,0 2.082,9 1.306,7 767,8 538,9 776,3 729,3 47,0 (105,5) (296,7) (2,35) 296,7 299,3 (2,5)

1.582,9 1.580,9 1.320,2 260,7 2,0 1.898,6 1.195,3 672,0 523,3 703,3 659,1 44,2 (126,4) (315,7) (2,50) 315,7 319,1 (3,4)

Realisasi Sementara 1.551,8 1.546,0 1.283,6 262,4 5,8 1.859,5 1.148,6 677,6 471,0 710,9 664,2 46,7 (124,9) (307,7) (2,46) 330,3 344,9 (14,6)

% thd APBNP 86,9 86,6 83,4 107,1 290,0 89,3 87,9 88,3 87,4 91,6 91,1 99,4 118,4 103,7

% thd Outlook 98,0 97,8 97,2 100,7 290,0 97,9 96,1 100,8 90,0 101,1 100,8 105,7 98,8 97,5

111,3 115,2 584,0

104,6 108,1 429,4

Sumber: Kementerian Keuangan

Realisasi sementara Penerimaan Perpajakan mencapai Rp1.283,6 triliun, atau lebih rendah Rp255,6 triliun dari APBNP 2016, dan lebih rendah Rp36,6 trilliun dari perkiraan dalam Outlook. Kebijakan terobosan Amnesti Pajak yang dilakukan di tahun 2016, memberikan kontribusi positif terhadap penerimaan sebesar Rp109,4 triliun. Dengan didukung oleh penerimaan dari kebijakan Amnesti Pajak tersebut, penerimaan perpajakan mampu tumbuh 3,5 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2016. Tabel 8. Target dan Realisasi Penerimaan Perpajakan Tahun 2016 Penerimaan Perpajakan (triliun Rupiah) 1. PPh Migas 2. Pajak Non-Migas a. PPh Non-Migas b. Pajak Pertambahan Nilai c. Pajak Bumi dan Bangunan d. Pajak Lainnya 3. Bea dan Cukai a. Cukai b. Bea Masuk c. Bea Keluar Total

2015 LKPP % thd Audited APBNP 49,7 100,3 1.011,2 81,2 552,6 87,7 423,7 73,5 29,3 109,6 5,6 47,5 179,6 92,1 144,6 99,2 31,2 83,9 3,7 30,9 1.240,4 83,3

APBNP 36,3 1.318,9 819,5 474,2 17,7 7,4 184,0 148,1 33,4 2,5 1.539,2

2016 Outlook Realisasi (Penghematan) Sementara 33,4 35,9 1.105,8 1.069,0 664,4 630,9 416,3 410,5 17,7 19,4 7,4 8,2 181,0 178,7 146,1 143,5 32,4 32,2 2,5 3,0 1.320,2 1.283,6

Sumber: Kementerian Keuangan

42

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

% thd APBNP 98,8 81,1 77,0 86,6 109,8 10,1 97,2 96,9 96,5 119,9 83,4

% thd Outlook 107,5 96,7 95,0 98,6 109,8 110,1 98,8 98,2 99,5 119,9 97,2

Selain memberikan kontribusi positif bagi penerimaan, program Amnesti Pajak 2016 juga merupakan sebuah kesuksesan apabila ditinjau dari aspek nilai harta yang diungkap serta jumlah peserta yang mengikuti program tersebut. Program Amnesti Pajak di tahun 2016, yang diikuti oleh 616.358 wajib pajak, telah menghasilkan deklarasi harta sekitar Rp4.296,3 triliun yang sebagian besar berasal dari deklarasi dalam negeri. Sementara nilai harta yang direpatriasi sebesar Rp140,4 triliun. Kebijakan Amnesti Pajak membangkitkan optimisme pengelolaan dan penegakan peraturan perpajakan yang lebih baik, karena melalui program ini diperoleh data dan informasi sebagai modal yang berharga untuk perluasan basis data perpajakan serta peningkatan penerimaan pajak yang berkesinambungan. Program Amnesti Pajak membuka pintu bagi peningkatan kualitas penerimaan perpajakan di masa yang akan datang. Secara umum penerimaan pajak sepanjang tahun 2016 masih terpengaruh oleh faktor perlambatan ekonomi global dan rendahnya harga komoditas. Hal ini tercermin dari Penerimaan Pajak Nonmigas yang hanya tumbuh sebesar 4,9 persen, jika mengeluarkan penerimaan dari Amnesti Pajak. Kegiatan perdagangan internasional yang masih mengalami kontraksi memberikan dampak negatif terhadap penerimaan PPN, khususnya yang berasal dari impor. Selain itu, beberapa insentif perpajakan seperti kenaikan PTKP juga memberikan dampak pada penurunan penerimaan PPh. Namun, diperkirakan kebijakan kenaikan PTKP akan memberikan kontribusi positif melalui kenaikan konsumsi masyarakat yang pada gilirannya akan mendorong kenaikan penerimaan dari PPN. Tabel 9. Target dan Realisasi Penerimaan PNBP 2016 PNBP (triliun Rupiah) 1.

2. 3. 4. Total

Penerimaan SDA a. SDA Migas b. Non Migas - Pertambangan Minerba - Panas Bumi - Kehutanan - Perikanan Pendapatan Bagian Laba BUMN PNBP Lainnya Pendapatan BLU

2015 LKPP % thd Audited APBNP 101,0 78,2 22,8 17,7 0,9 4,2 0,1 37,6 81,7 35,3 255,6

84,9 96,1 60,7 55,8 151,2 88,2 13,7 101,9 90,7 152,9 95,0

APBNP

90,5 68,7 21,8 16,5 0,6 4,0 0,7 34,2 84,1 36,3 245,1

2016 Outlook Realisasi (PengSementara hematan) 83,1 65,5 61,3 44,9 21,8 20,6 16,5 15,5 0,6 0,9 4,0 3,8 0,7 0,4 34,2 37,1 107,1 117,3 36,3 42,4 260,7 262,4

% thd APBNP 72,3 65,4 94,2 93,8 147,9 94,8 52,2 108,7 139,5 117,3 107,0

% thd Outlook 78,8 73,2 94,2 93,8 147,9 94,8 52,2 108,7 109,5 117,0 100,6

Sumber: Kementerian Keuangan

Penerimaan SDA yang berada di bawah target mampu diimbangi oleh komponen-komponen PNBP lainnya, sehingga secara keseluruhan realisasi PNBP berada di atas target. Di tahun 2016, realisasi Penerimaan SDA sebesar Rp65,5 triliun atau hanya sekitar 72,3 persen terhadap APBNP dan 78,8 persen terhadap Outlook. Meskipun realisasi produksi migas melampaui asumsi makro APBNP 2016, namun harga komoditas yang masih rendah serta realisasi cost recovery yang berada di atas target, membuat Penerimaan SDA Migas tidak sebesar yang diharapkan. Penurunan harga komoditas tersebut tidak hanya membuat nilai PNBP menurun dibanding beberapa tahun silam, akan tetapi berdampak juga terhadap kontribusi Penerimaan

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

43

SDA terhadap PNBP yang berkurang dari 64 persen di tahun 2012 menjadi hanya sekitar 25 persen di tahun 2016. Sementara itu, upaya optimalisasi telah membuat komponenkomponen PNBP lainnya seperti Pendapatan Bagian Laba BUMN, PNBP Lainnya, serta Pendapatan BLU masing-masing melampaui target yang telah ditetapkan. Di tengah upaya pengendalian defisit, realisasi belanja negara mencapai Rp1.859,5 triliun atau 89,3 persen dari APBNP. Belanja masih mempunyai daya dorong yang optimal dalam menstimulasi perekonomian, meskipun di tengah upaya efisiensi melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2016. Efisiensi anggaran di tahun 2016 dilakukan dengan tetap menjaga kualitas belanja seiring dengan tetap berjalannya berbagai program prioritas. Realisasi APBNP 2016 menunjukkan bahwa pemerintah menjaga komitmen terkait dengan alokasi belanja untuk pendidikan dan kesehatan sesuai dengan amanat undang-undang. Selain itu, programprogram infrastruktur prioritas tetap berjalan dan memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tabel 10. Output Program Prioritas Tahun 2016 Output Kartu Indonesia Pintar Beasiswa Bidikmisi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Beasiswa Dosen S2/S3 Bantuan Operasional PTN & Bantuan Penyelenggaraan PTN Badan Hukum Ruang kelas (baru dan rehab) Jalan (km) Bandara Jembatan Jalur Kereta Api Bendungan Irigasi Perumahan Sanitasi & Air Bersih

PKH Kartu Indonesia Sehat (KIS)

Target

Capaian

19,5 juta siswa 332 ribu siswa 8,2 juta siswa 11.555 Dosen 118 PTN 30,3 ribu kelas

20,7 juta siswa 324 ribu siswa 8,0 juta siswa 11.397 Dosen 118 PTN 28,4 ribu kelas

3.149,6 km 3 12.898,8 m 154,3 km’sp 37 4.889 km 113,4 ribu 2.549,3 ribu KK 430 ha Drainase

2.528,7 km 3 10.590,7 m 33 km’sp 37 1.025 km 111,3 ribu 983,3 ribu KK 851 ha Drainase

6 juta KPM 92,4 juta jiwa

5,9 juta KPM 91,1 juta jiwa

Sumber: Kementerian Keuangan

Terjaganya pelaksanaan program prioritas, khususnya infrastruktur, turut didukung oleh percepatan penyerapan anggaran melalui pelelangan dini. Hal ini tampak dari profil distribusi penyerapan anggaran yang membaik apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak awal tahun, eksekusi belanja sudah berjalan lebih baik sehingga distribusi hingga akhir tahun lebih merata. Monitoring dan evaluasi dilakukan secara intensif baik di tingkat pusat maupun daerah juga turut mendorong pelaksanaan anggaran yang efektif dan efisien. Pola realisasi belanja terus membaik didorong oleh monitoring dan evaluasi kinerja melalui aplikasi berbasis web dan pemantauan oleh TEPRA. Selain itu, pemerintah juga mendorong akselerasi pelaksanaan kegiatan prioritas melalui kebijakan pre-funding sehingga eksekusi kegiatan dapat

44

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

terlaksana lebih awal. Untuk ke depannya, pemerintah terus berupaya mendorong perbaikan realisasi dan terus menekan angka penumpukan belanja di akhir tahun. Tabel 11. Target dan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2016 Belanja Pemerintah Pusat (triliun Rupiah) A. Belanja K/L B. Belanja Non K/L a. Pembayaran Bunga Utang b. Subsidi i. Subsidi Energi ii. Subsidi Non Energi c. Belanja Lain-Lain Total

2015 LKPP % thd Audited APBNP 732,1 92,0 451,2 86,1 156,0 100,2 186,0 87,7 119,1 86,4 66,9 90,0 10,1 31,7 1.183,3 89,7

APBNP 767,8 538,9 191,2 177,8 94,4 83,4 22,5 1.306,7

2016 Outlook Realisasi Penghematan Sementara 672,0 677,6 523,3 471,0 189,2 182,8 176,9 174,6 93,5 106,8 83,4 67,7 12,8 6,9 1.195,3 1.148,6

% thd APBNP 88,3 87,4 95,6 98,2 113,2 81,2 30,5 87,9

% thd Outlook 100,8 90,0 96,6 98,7 114,3 81,2 53,7 96,1

Sumber: Kementerian Keuangan

Kebijakan penghematan Belanja K/L dapat diimplementasikan secara efektif, sehingga K/L mampu menyerap seluruh pagu belanja yang telah disesuaikan dengan langkah penghematan anggaran. Realisasi belanja K/L tercatat sebesar Rp677,6 triliun atau 88,3 persen. Memperhitungkan penghematan belanja dengan total sebesar Rp95,7 triliun, yang terdiri dari penghematan belanja sebesar Rp64,7 triliun dan estimasi alokasi yang tidak terserap atau penghematan alamiah sebesar Rp31 triliun, maka realisasi belanja K/L telah mencapai 100,8 persen dari Outlook yang sebesar Rp672,0 triliun. Langkah efisiensi anggaran yang telah dilakukan pemerintah tersebut dilakukan secara terukur dengan menyasar pada belanja kurang produktif. Realisasi belanja non K/L sebesar Rp471,0 triliun atau 87,4 persen dari pagu APBN-P 2016. Penyerapan Belanja Non K/L secara umum lebih rendah dari pagu terutama disebabkan oleh adanya penghematan Pembayaran Bunga Utang. Relatif rendahnya pembayaran bunga utang disebabkan oleh realisasi nilai tukar rupiah yang lebih baik dibandingkan dengan asumsi ekonomi makro serta biaya utang yang terjaga seiring dengan kondisi fundamental ekonomi yang masih sangat sehat. Sementara itu, realisasi subsidi energi berada di atas alokasinya, yakni dengan tingkat penyerapan mencapai 113,2 persen, sehubungan dengan adanya penundaan kebijakan subsidi yang lebih tepat sasaran untuk pelanggan rumah tangga miskin dan rentan. Adapun realisasi Subsidi Non Energi belum berjalan optimal antara lain disebabkan oleh masih rendahnya realisasi subsidi benih dan penyesuaian skema atau adanya beberapa program yang baru diluncurkan pada tahun 2016 seperti Subsidi Bunga Kredit Usaha Rakyat, Subsidi Bunga Kredit Perumahan, dan Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan. Akibat penyesuaian beberapa skema ini, realisasi subsidi kredit program berada di bawah alokasi APBN-P 2016. Penyesuaian dan perbaikan skema serta penyempurnaan basis data dan akuntabilitas pelaporan subsidi kredit program melalui Sistem Informasi Kredit Program (SIKP), diperkirakan dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan program Subsidi Non Energi di tahun 2017.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

45

Output dari program prioritas dapat dicapai dengan baik di tengah kebijakan konsolidasi anggaran, menjadi bukti bahwa komitmen pemerintah terhadap pembangunan terus berjalan. Anggaran infrastruktur terserap sekitar Rp267 triliun, atau 84 persen dari pagunya. Beberapa output yang dihasilkan antara lain pembangunan atau rekonstruksi jalan sebesar 2.588 kilometer dan pembangunan 3 bandar udara. Sedangkan untuk belanja ketahanan pangan realisasi yang dicapai sebesar Rp99,3 triliun atau 84,2 persen dari pagunya. Adapun anggaran pendidikan dan kesehatan mampu terserap sebesar 89 persen dan 88,6 persen. Beberapa output yang dihasilkan dari dua program prioritas pembangunan kualitas sumber daya manusia ini antara lain Kartu Indonesia Pintar untuk 19,4 juta siswa, pembangunan 30,3 ribu ruang kelas baru, Kartu Indonesia Sehat bagi 91,1 juta Penerima Bantuan Iuran, serta prevalensi stunting pada 26,1 persen anak di bawah dua tahun. Meningkatnya peran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) merupakan komitmen pemerintah dalam mendukung desentralisasi fiskal serta mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah. Realisasi TKDD mencapai Rp710,9 triliun atau sebesar 91,6 persen. Lebih tingginya realisasi TKDD dibandingkan belanja K/L mencerminkan dorongan yang kuat terhadap peningkatan peran pemerintah daerah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis kewilayahan dan menekan kantung kemiskinan di daerah. Selain itu, rencana penundaan DAU tidak jadi dilaksanakan pada tahun 2016 dan seluruh DAU sudah ditransfer pada akhir tahun. Tabel 12. Alokasi dan Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun 2016 Uraian (triliun Rupiah) 1. Transfer ke Daerah a. Dana Perimbangan 1) Dana Transfer Umum a) Dana Bagi Hasil b) Dana Alokasi Umum 2) Dana Transfer Khusus b. Dana Insentif Daerah c. Dana Ot. Khusus dan DIY 2. Dana Desa Total

2015 LKPP % thd APBNP Audited APBNP 602,4 93,6 729,3 583,0 93,4 705,5 430,9 93,1 494,4 78,1 70,9 109,1 352,9 100,0 385,4 152,1 94,1 211,0 1,7 100,0 5,0 17,7 100,0 18,8 20,8 100,0 47,0 623,1 93,8 776,3

Outlook (Penghematan) 659,1 635,3 454,1 88,1 365,9 181,2 5,0 18,8 44,2 703,3

2016 Realisasi Sementara 664,2 640,4 475,9 90,5 385,4 164,5 5,0 18,8 46,7 710,9

% thd % thd APBNP Outlook 91,1 100,8 90,8 100,8 96,3 104,8 83,0 102,7 100,0 105,3 77,9 90,7 100,0 100,0 100,0 100,0 99,4 105,7 91,6 101,1

Sumber: Kementerian Keuangan

Realisasi Dana Desa mencapai 46,7 triliun atau 99,4 persen dari alokasi dalam APBNP mengindikasikan adanya pembangunan infrastruktur dari pinggiran, tidak hanya di perkotaan. Kebijakan Dana Desa juga merefleksikan pemerataan pembangunan sesuai dengan semangat APBN yang memiliki fungsi redistribusi. Fungsi redistribusi APBN tercermin dari porsi Pendapatan Negara yang 80 persen berasal dari Pulau Jawa, namun sebagian besar alokasinya, baik melalui TKDD; belanja K/L yang dilaksanakan di daerah; maupun belanja Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; dialokasikan bagi wilayah lain di luar Pulau Jawa dengan kekuatan pendapatan lebih rendah.

46

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Realisasi pembiayaan anggaran sebesar Rp330,3 triliun atau 111,3 persen dalam rangka memenuhi defisit APBNP dan investasi untuk menunjang program infrastruktur pembangunan. Pembiayaan Anggaran dilakukan dengan mempertahankan prinsip kehati-hatian dan efisiensi. Realisasi pembiayaan utang mencapai Rp393,6 triliun atau sebesar 107,6 persen sebagai upaya antisipasi melebarnya defisit anggaran. Total SBN yang dilelang pada tahun 2016 mencapai Rp407,3 triliun atau 11,6 persen di atas target APBNP 2016. Minat investor terhadap SBN masih sangat tinggi yang terlihat dari rata-rata bid-to-cover rasio penerbitan SBN domestik yang mencapai 2,0 kali. Selain itu, empat penerbitan SBN berdenominasi valuta asing untuk pembiayaan APBNP 2016 juga menghasilkan rata-rata penawaran sebanyak 2,4 kali. Sementara itu, pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dilakukan dengan melakukan pembayaran cicilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditarik, serta peruntukan pinjaman bagi program dan kegiatan yang produktif. Sementara realisasi pembiayaan non-utang sebesar Rp63,3 triliun atau 91,7 persen diarahkan untuk pembangunan infrastruktur melalui PMN kepada BUMN dan BLU. Tabel 13. Pembiayaan Anggaran Pembiayaan Anggaran (triliun rupiah) I. Pembiayaan Dalam Negeri 1. Perbankan Dalam Negeri 2. Non-Perbankan dalam negeri a. Penyertaan Modal Negara II. Pembiayaan Luar Negeri (neto) 1. Penarikan Pinjaman LN (bruto) a. Pinjaman Program b. Pinjaman Proyek 2. Penerusan Pinjaman (SLA) 3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN Pembiayaan Anggaran (I+II)

2015 LKPP % thd Audited APBNP 307,9 126,9 4,9 101,4 303,0 127,5 (70,4) 100,0 15,3 (76,2) 83,8 172,3 55,1 734,5 28,7 69,8 (2,6) 57,6 (66,0) 102,8 323,1

145,2

APBNP

Outlook

299,3 25,4 273,9 (65,2) (2,5) 73,0 35,8 37,2 (5,8) (69,7)

319,1 25,3 293,7 (65,2) (3,4) 70.9 45,2 35,7 (5,6) (68,8)

2016 Realisasi Sementara 344,9 25,9 319,0 (65,2) (14,6) 59,0 35,3 23,6 (4,8) (68,7)

296,7

315,7

330,3

% thd % thd APBNP Outlook 115,3 108,1 102,1 102,2 116,5 108,6 100,1 100,0 80,8 83,1 98,7 100,2 63,6 66,2 82,8 86,2 98,7 99,9 111,3

104,6

Sumber: Kementerian Keuangan

Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN di tahun 2016 mencapai Rp65,2 triliun atau 100 persen dari alokasinya. Dengan tingginya nilai PMN yang diberikan, diharapkan BUMN akan melakukan leveraging sehingga dapat menjadi salah satu akselerator pembangunan. Selain itu, BUMN diharapkan dapat berkontribusi melalui pembayaran dividen maupun pembayaran pajak. Saat ini, dividen BUMN berjumlah sekitar Rp37 triliun, atau terus menurun dalam dua tahun terakhir dan hanya mencakup 14 persen dari total PNBP. Sementara itu, nilai pajak yang dibayarkan BUMN sebesar Rp167 triliun atau menurun dibandingkan pembayaran tahun sebelumnya yang mencapai Rp175 triliun.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

47

Grafik 17. Grafik Perbandingan PMN dan Dividen BUMN (dalam persen) 80

65,88

60 40 20

50,48 30,1

8,68

4,8

34,03

30,8

28,18

40,31

7,6

6,58

37,64

37,1

4

0 2010

2011

2012 Dividen

2013 PMN BUMN

2014

2015

APBNP 2016

Sumber: Kementerian Keuangan

Pelajaran Dari 2016 Terdapat beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kinerja perekonomian maupun fiskal pada tahun 2016. Penentuan asumsi makro ekonomi dan target yang realistis dalam APBN telah mendorong rasionalitas dalam pencapaian (achievable) dan meningkatkan kredibilitas dalam pengelolaan fiskal. Kredibilitas fiskal tersebut akan memberikan sinyal positif dan membangkitkan optimisme pelaku usaha serta menciptakan iklim investasi yang kondusif, yang pada akhirnya akan dapat meminimalkan ketidakpastian. Berbekal kredibilitas fiskal tersebut, terobosan kebijakan seperti Amnesti Pajak mendapat sambutan yang antusias dari masyarakat sehingga dalam level pelaksanaannnya berjalan efektif. Pencapaian program Amnesti Pajak tersebut bukan hanya mendorong peningkatan penerimaan negara tahun 2016, tetapi juga memperkuat basis pajak serta membangkitkan optimisme iklim investasi sekaligus perbaikan pengelolaan fiskal di masa mendatang. Kurang optimalnya pencapaian pendapatan negara seperti PPh Migas dan PNBP SDA perlu diperhatikan. Strategi pengelolaan fiskal ke depan harus mengubah orientasi dari ketergantungan terhadap sumber daya alam menjadi bergantung pada sumber daya manusia. Penguatan kualitas sumber daya manusia akan menciptakan nilai tambah bagi perekonomian sehingga akan memberi kontribusi positif bagi peningkatan penerimaan perpajakan. Pengendalian defisit anggaran dengan mendorong efisiensi dan efektifitas belanja melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016, memberikan dampak positif bagi penguatan kualitas belanja. Walaupun dilakukan pemotongan, belanja negara masih mempunyai daya dorong yang optimal dalam menstimulasi perekonomian. Hal ini menjadi pembelajaran bahwa melalui restrukturisasi belanja yang lebih efisien dan produktif, ternyata dapat menjaga peran belanja dalam menstimulasi perekonomian. Lebih lanjut, penguatan konsolidasi fiskal pusat dan daerah dalam rangka mitigasi risiko fiskal dan menjaga stabilitas perekonomian ke depan juga menjadi semakin penting dalam menghadapi ketidakpastian. Pada akhirnya, opsi kebijakan yang tepat menjadi kunci bagi kredibilitas pengelolaan fiskal. Opsi kebijakan tersebut adalah mendorong penetapan asumsi makro ekonomi dan target

48

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

pendapatan yang realistis dan selaras kondisi riil serta prospek perekonomian ke depan, menjaga komitmen terhadap program prioritas dan mendorong agar pelaksanaannya berjalan efektif, memitigasi risiko (pemotongan belanja) dalam rangka pengamanan APBN tahun berjalan. Kredibilitas fiskal tersebut akan mendorong penyehatan fiskal jangka menengah, dan merupakan komunikasi yang efektif kepada pasar dan pelaku usaha untuk menjaga momentum dan tetap menumbuhkan optimisme dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi. Pemerintah akan terus menjaga komitmen pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan prioritas yang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Hal tersebut dilakukan antara lain dengan mengakselerasi pembangunan infrastruktur melalui peningkatan alokasi anggarannya, mendukung pemenuhan anggaran kesehatan 5 persen dan menjaga anggaran pendidikan 20 persen, serta mendorong efektivitas program perlindungan sosial. Saat ini, bentuk keberpihakan pemerintah terhadap efektivitas program perlindungan sosial antara lain melalui usaha mendorong peningkatan akses dan mutu layanan serta keberlanjutan program JKN, perluasan kepesertaan Program Keluarga Harapan menjadi 6 juta keluarga dan penambahan manfaat untuk penyandang cacat dan lansia, penyaluran program subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat, pemberian subsidi suku bunga untuk usaha mikro, kecil, dan menengah, pemberian akses pinjaman tanpa agunan dengan bunga ringan, pemberian subsidi bunga kredit perumahan, serta pemberian subsidi uang muka perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

49

Boks 1. Tim Reformasi Perpajakan Dalam APBN 2017, penerimaan perpajakan diharapkan berkontribusi sebanyak Rp1.495,9 triliun atau sekitar 86,1 persen dari total penerimaan. Meskipun jumlah ini turun sebanyak 2,8 persen dari APBN 2016, tetapi target penerimaan tahun ini cukup tinggi. Rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan dari tahun 2008-2015 adalah sebesar 12,6 persen dengan rata-rata realisasi penerimaan sebesar 85,3 persen. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pertumbuhan penerimaan perpajakan tertinggi dicapai di tahun 2008 sebesar 34,3 persen. Salah satu faktor penyebabnya adalah penerapan kebijakan Sunset Policy. Jika dilihat, tanpa ada kebijakan khusus yang mendorong penerimaan, pertumbuhan penerimaan perpajakan setiap tahunnya berkisar 10-11 persen. Meskipun tahun 2016 ini pemerintah telah melaksanakan program Amnesti Pajak yang berhasil berkontribusi sebesar Rp107 triliun, nyatanya penerimaan perpajakan tahun 2016 belum mencapai target. Program Amnesti Pajak pajak mulai berlaku sejak 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017. Sejatinya program ini ditujukan untuk memperluas basis data perpajakan. Penerapan program ini dapat meningkatkan penerimaan perpajakan dalam jangka pendek. Sebenarnya program Amnesti Pajak ini bukanlah yang pertama diselenggarakan. Tahun 1984, pemerintah pernah menerapkan kebijakan serupa. Akan tetapi, implementasinya dinilai tidak terlalu sukses mengingat jumlah keikutsertaan Wajib Pajak yang tidak terlalu besar. Dengan adanya Amnesti Pajak, diharapkan akan ada tambahan penerimaan baik dalam tahun diterapkannya kebijakan tersebut maupun tahun sesudahnya. Saat ini, penerimaan pajak Indonesia belum optimal. Selama tahun 2007-2015, target penerimaan perpajakan hampir semuanya tidak tercapai kecuali tahun 2008. Padahal dengan menggunakan peraturan yang berlaku serta keadaan ekonomi Indonesia saat ini, potensi penerimaan perpajakan masih bisa ditingkatkan lebih jauh. Meningkatkan tarif pajak tidak serta merta meningkatkan penerimaan perpajakan. IMF memperkirakan cara yang dapat ditempuh oleh Indonesia untuk meningkatkan penerimaan adalah dengan melakukan perluasan basis pajak serta peningkatan kepatuhan wajib pajak. Rasio pajak menjadi salah satu cara untuk mengukur optimalisasi penerimaan perpajakan. Dibandingkan dengan negara-negara Asean dan OECD lainnya, rasio penerimaan perpajakan di Indonesia masih berada jauh di bawah rata-rata. Rasio pajak Indonesia relatif stagnan di angka 12 persen. Sementara negara-negara Asean lainnya rata-rata memiliki rasio pajak sebesar 13,69 persen. Walaupun rasio pajak dianggap bukan cara yang tepat untuk mengukur kinerja penerimaan, tetapi rasio pajak dapat dijadikan pengukuran awal untuk hal tersebut. Selain angka rasio pajak yang masih rendah, belum optimalnya penerimaan perpajakan dapat ditunjukkan oleh tingginya angka tax gap yaitu selisih antara kewajiban pajak dengan pajak yang dibayar, baik yang disebabkan karena underreporting gap maupun nonfiling gap. Underreporting gap terjadi karena pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak yang tidak benar sehingga pajak yang dibayarkan lebih kecil dari yang seharusnya dibayar. Sementara nonfiling gap terjadi karena pajak yang seharusnya dibayar tidak dibayarkan oleh wajib pajak.

50

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Tingginya angka tax gap menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan pajak pada dasarnya adalah masalah yang dihadapi di hampir semua negara yang menjadikan penerimaan perpajakan menjadi tumpuan penerimaan negara. Menurut Allingham dan Sandmo dalam Tax Compliance Theory diyakini bahwa tidak ada individu yang mau membayar pajak secara sukarela sehingga setiap individu akan selalu melakukan penentangan untuk membayar pajak. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak diantaranya tingkat pendapatan tetap, tarif pajak, probabilitas audit, serta besarnya sanksi yang mungkin dikenakan. Agar penerimaan perpajakan menjadi optimal, seluruh komponen negeri harus sadar dan mau ikut serta. Selain dari kepatuhan wajib pajak, kepercayaan terhadap pengelolaan basis data dan administrasi perpajakan serta kinerja aparat pajak juga menjadi faktor kunci. Selain itu, integritas dan akuntabilitas pelayanan juga memegan peran yang cukup penting. Dalam rangka mewujudkan itu semua, dibentuklah Tim Reformasi Perpajakan dan Tim Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai. Tim reformasi sendiri dibagi menjadi empat kelompok besar yang terdiri dari tim pengarah, tim advisor, tim observer, serta tim pelaksana. Tim Pengarah bertugas memberikan pengarahan dalam menetapkan kebijakan untuk mempersiapkan dan melaksanakan reformasi yang mencakup aspek organisasi, sumber daya manusia, infrastruktur, penganggaran, peraturan perundangundangan, basis data, proses bisnis, dan teknologi informasi serta untuk melakukan koordinasi dengan instansi atau lembaga terkait. Tim advisor bertugas untuk memberikan masukan berdasarkan teori dan keilmuan. Tim observer bertugas untuk melakukan pengamatan dan memberikan masukan sesuai dengan latar belakang pengalaman di bidangnya. Sedangkan tim pelaksana bertugas untuk mengoordinasikan penyusunan arah pelaksanaan dalam aspek organisasi, sumber daya manusia, infrastruktur, penganggaran, peraturan perundang-undangan, basis data, proses bisnis, dan teknologi informasi, mengoordinasikan penyiapan landasan hukum dan harmonisasi regulasi serta perumusan kebijakan pengelolaan fiskal, mengoordinasikan hal-hal yang merupakan inisiatif strategis, dan melaksanakan kebijakan dan tugas-tugas lain yang ditetapkan. Pada Tim Reformasi Perpajakan, terdapat tiga kelompok kerja, yaitu (1) Kelompok Kerja Bidang Organisasi dan SDM, (2) Kelompok Kerja Bidang Teknologi lnformasi, Basis Data, dan Proses Bisnis, dan (3) Kelompok Kerja Bidang Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan Tim Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai memiiiki dua kelompok kerja, yaitu (1) Kelompok Kerja Bidang Organisasi dan SDM, dan (2) Kelompok Kerja Bidang Peraturan Perundang-undangan. Tim Reformasi ini dibentuk dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat mulai dari kalangan pengusaha, akademisi, birokrat, dan media massa. Hal ini ditujukan agar tim ini dapat mengakomodasi kepentingan para stakeholder dari berbagai kalangan. Tim ini juga nantinya akan berkoordinasi, berharmonisasi, dan bersinkronisasi dengan tim birokrasi serta transformasi kelembagaan. Hal ini diharapkan tim ini mampu menguatkan penerimaan negara agar lebih optimal dan berkelanjutan. Dari segi penerimaan pajak, Tim Reformasi Perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan basis pajak sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara yang baru memenuhi 73 persen dari target penerimaan. Di sisi lain, tim ini juga diharapkan dapat meningkatkan rasio pajak yang masih di angkat 11-12 persen. Sementara pembentukan Tim Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai diharapkan dapat meningkatkan penerimaan bea cukai yang baru memenuhi target 73,2 persen dari target penerimaan serta membenahi persoalan di bidang kepabeanan dan cukai.

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

51

52

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

BAGIAN III

LAMPIRAN DATA EKONOMI MAKRO DAN APBN

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

53

Indikator Pertumbuhan Ekonomi Growth ( persen) Nominal (triliun) Inflasi ( persen) IHK Core Administrative Price Volatile Food Nilai Tukar (Rp/US$1) Rata-rata End Of Period Suku Bunga ( persen) BI Rate Kredit Konsumsi (eop) Kredit Modal Kerja (eop) Kredit Investasi (eop) Harga Minyak (US$/barel) Rata-rata (ICP) WTI Brent SUN dan Saham Yield Obligasi (5YR) Yield (10YR) Saham IHSG SUN, NFB Saham, SBI Perbankan ( persen) CAR LDR NPL Pertumbuhan Kredit 6,26 8.229,44 4,3 135,49 4,4

2012

16,65

5,78 9.087,28 8,38 146,84 4,98

2013

10,88

17,57

5,01 10.565,82 8,36 119 4,93

2014

13.362 13.795

4,84

0,39

4,79 11.540,79 3,35 122,99 3,95

2015 Dec

13.889 13.846

6,77

3,48

4,14 123,62 3,62

Jan

7,00

13.516 13.395

7,87

3,98

4,42 123,51 3,59

Feb

6,75

13.193 13.276

9,59

2,76

4.92 2931,446 4,45 123,75 3,5

Mar

6,75

13.180 13.204

9,44

-0,84

3,6 123,19 3,41

Apr

13,86

6,75

13.420 13.615

8,15

-0,95

3,33 123,48 3,41

Mei

13,83

6,50

13.355 13.180

8,12

-0,5

5,18 3075,135 3,45 124,29 3,49

Jun

13,82

5,25

13.116 13.094

7,14

-0,85

3,21 125,15 3,49

Jul

13,74

5,25

13.165 13.300

5,28

-0,91

2,79 125,13 3,32

Agu

11,61

13,72

5,00

13.328 12.998

6,51

-0,38

3,07 125,41 3,21

Sep

11,59

13,68

4,75

13.297 13.051

7,54

5,01 3.205,452 3,31 125,59 3,08 0,17

Okt

11,52

13,65

4,75

13.311 13.563

9,14

3,58 126,18 3,07 0,09

Nov

4,75

13.417 13.463

5,92

4.94 3194,776 3,02 126,71 3,07 0,21

Des

Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Sepanjang 2016

2,66 11,83 12.438 12.440 7,25

13,91

11,73

11,49

2016

5,68 10.451 12.189 7,5

13,91

11,78

11,33

9.380 9.670 7,75

13,93

11,82

11,34

7,5

13,94

11,97

11,36

5,75 13,88

12,14

11,42

13,58

12,28

11,45

13,13

12,4

11,49

13,58

12,46

11,6

11,82

59,6 53,27 55,76

12,46

11,71

11,27

105,8 97,61 108,8

12,79

11,83

42,2 48,2 47,7

112,7 94,05 112,10

12,12

11,93

41,1 44,7 46,2

7,58

8,82

11,96

40,7 41,6 41,0

7,99

7,70

12,12

44,5 48,3 48,4

6,70

8,03

12,36

44,7 49,1 48,3

6,84

4,76

8,26

3,20 10.23

22,80

43,3 49,4 49,9 37,2 45,9 46,4

6,84

7,97

8,75

22,91 90,61 3,22 9,76

46,6 46,9 46,7 34,2 38,3 38,7

6,76

8,14

7,80

28,9 33,8 36,0

7,32

7,24

8,83

27,5 33,6 34,7

7,58

7,06

5,19

35,5 37 35,8

7,46

7,06

5.297

7,38

6,94

5.149

7,97

7,45

5.423

8,24

7,87

5.365

7,74

5.386

7,67

5.216

4.771

22,33 91,48 3,10

4.615

22,97 89,94 3,22

9,80

4.593

22,91 90,08 3,18

10,15

5.227

22,29 91,12 3,05

11,11

4.274

22,2 90,32 3,1

12,1

4.316

8,26

5.017

6,109

4.770

31,938

4.839

-11,631

4.845

13,599

21,73 89,52 2,93

10,38

30,835

21,929

-4,390

26,900

23,798

21,76 89,6 2,83

9,13

21,229

21,7 89,5 2,87

8,88

13.871

21,51 90,95 2,73

8,05

17.476

21,16 91,95 2,49

9,31

5.353

19,40 89,42 2,2

10,12

-28.314

18,36 89,7 1,77

11,56

63.943

17,30 83,58 1,9

21,35

34.684

23,13

51,1 53,7 55,4

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

54

Uraian APBNP 1.635,38 1.633,1 1.246,1 1.189,8 56,3 386,9 241,1 40,0 85,0 20,9 2,3 1.876,9 1.280,4 258,4 195,2 160,8 135,5 403,0 2,9 96,7 27,9 596,5 596,5 491,9 458,9 117,7 341,2 33,0 104,6 (106,0) (241,5) 241,5 254,9 (13,4) 54,1 16,9 37,2 (3,4) (64,2)

2014 Realisasi (LKPP Audited) 1.550,49 1.545,5 1.146,9 1.103,2 43,6 398,6 240,8 40,3 87,7 29,7 5,0 1.777,3 1.203,6 243,7 176,6 147,3 133,4 392,0 0,9 97,9 11,7 573,7 573,7 477,1 445,2 103,9 341,2 31,9 96,7 (93,3) (226,7) 273,6 261,2 12,4 52,6 17,8 34,8 (2,5) (62,4) 94,8 94,6 92,0 92,7 77,6 103,0 99,9 100,8 103,3 142,3 216,5 94,7 94,0 94,3 90,5 91,6 98,5 97,3 31,8 101,3 41,7 96,2 96,2 97,0 97,0 88,3 100,0 96,6 92,4 88,1 93,9 113,3 102,5 -91,9 97,1 105,2 93,5 73,5 97,3

% thd APBNP

1.761,6 1.758,3 1.489,3 1.440,0 49,3 269,1 118,9 37,0 90,1 23,1 3,3 1.984,1 1.319,5 293,1 238,8 275,8 155,7 212,1 4,6 107,7 31,7 664,6 643,8 521,8 463,0 110,1 352,9 58,8 17,6 104,4 20,8 (66,8) (222,5) 222,5 242,5 (20,0) 48,6 7,5 41,1 (4,5) (64,2)

APBNP

Data Penyerapan APBN Tahun 2014-2015

A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri b. Pajak Perdagangan Internasional 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan Sumber Daya Alam b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU II. Hibah B. Belanja Negara I Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Kewajiban Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lainnya II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa 1. Transfer ke Daerah a. Dana Perimbangan i. Dana Transfer Umum - Dana Bagi Hasil - Dana Alokasi Umum ii. Dana Transfer Khusus b. Dana Insentif Daerah c. Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan DIY d. Dana Transfer Lainnya 2. Dana Desa C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) E. Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri Ii. Pembiayaan Luar Negeri (neto) 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) a. Pinjaman Program b. Pinjaman Proyek 2. Penerusan SLA 3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN

2015 Realisasi (LKPP Audited) 1.508,0 1.496,0 1.240,4 1.205,5 34,9 255,6 101,0 37,6 81,7 35,3 12,0 1.806,5 1.183,3 281,1 233,3 215,4 156,0 186,0 4,3 97,2 10,1 623,1 602,4 485,8 431,0 78,1 352,9 54,9 17,6 98,9 20,8 (136,1) (298,5) 323,1 307,9 15,3 83,8 55,1 28,7 (2,6) (66,0)

% thd APBNP

85,6 85,1 83,3 83,7 70,9 95,0 84,9 101,9 90,7 153,0 361,5 91,1 89,7 95,9 97,7 78,1 100,2 87,7 91,8 90,2 31,8 93,8 93,6 93,1 93,1 70,9 100,0 93,3 100,0 94,7 100,0 203,7 134,2 145,2 101,5 -76,2 172,3 734,5 69,8 57,6 102,8

55

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Data Penyerapan APBN Hingga Desember 2016 Uraian A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak Penghasilan - Migas - Non Migas ii. Pajak Pertambahan Nilai iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. Pendapatan BPHTB v. Cukai vi. Pajak Lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Bea Keluar/Pungutan Ekspor 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan Sumber Daya Alam i. Migas ii. Non Migas b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU II. Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Kewajiban Utang i. Utang Dalam Negeri ii. Utang Luar Negeri 5. Subsidi i. Subsidi Energi BBM (Pertamina) Listrik (PLN) ii. Subsidi Non Energi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lainnya II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa 1. Transfer ke Daerah a. Dana Perimbangan i. Dana Transfer Umum - Dana Bagi Hasil - Dana Alokasi Umum ii. Dana Transfer Khusus b. Dana Insentif Daerah c. Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan DIY i. Dana Otonomi Khusus ii. Dana Tambahan Otonomi Khusus iii. Dana Keistimewaan DIY 2. Dana Desa C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B) % Defisit terhadap PDB E. Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri 1. Perbankan Dalam Negeri 2. Non-Perbankan Dalam Negeri a. Surat Berharga Negara (Netto) II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 2. Penerusan SLA 3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN

56

APBNP* 1,786,225.03 1,784,249.85 1,539,166.24 1,503,294.74 855,842.70 36,345.93 819,496.77 474,235.34 17,710.60 0.00 148,091.23 7,414.88 35,871.50 33,371.50 2,500.00 245,083.61 90,524.42 68,688.12 21,836.30 34,164.00 84,123.96 36,271.23 1,975.17 2,082,948.90 1,306,696.00 342,447.40 304,241.80 206,567.40 191,218.30 174,016.30 17,202.00 177,754.50 94,355.10 43,686.90 50,668.20 83,399.40 8,537.30 53,403.80 22,525.50 776,252.90 729,270.82 705,458.94 494,436.69 109.075.85 385,360.85 211,022.25 5,000.00 18,811.88 15,414.43 2,850.00 547.45 46,982.08 (105,505.58) (296,723.88) (2.37) 296,723.89 299,250.83 25,360.73 273,890.10 364,866.90 (2,526.94) 72,959.10 (5,833.65) (69,652.39)

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

2016 Realisasi (Jumlah) 1,551,785.60 1,545,955.70 1,283,596.1 1,248,381.3 666,816.1 630,902.9 35,913.2 410,458.8 19,438.1 0.00 143,507.8 8,160.5 35,214.8 32,216.4 2,998.4 262,359.6 65,471.6 44,897.0 20,574.6 37,132.0 117,314.0 42,442.0 5,829.9 1,859,458.4 1,148,603.4 304,830.7 205.551.5 164.978.0 182,759.8 167,752.9 15,006.9 174,567.1 106,825.1 43,686.9 63,138.2 67,742.0 7,1157 49,621.8 6,868.1 710,855.0 664,175.7 640,363.8 475,895.8 90,535.0 385,360.85 164,468.0 5,000.0 18,811.9 15,414.4 2,850.0 547.5 46,679.3 (124,913.0) (307,672.8) (2.46) 330,331.5 344,925.3 25,891.8 319,033.6 407,259.4 (14,593.99) 58,960.3 (4,828.0) (68,726.1)

% thd APBN 86.90 86.6 83.4 83.0 77.9 77.0 98.8 86.6 109.8 96.9 110.1 98.2 96.5 119.9 107.0 72.3 65.4 94.2 108.7 139.5 117.0 295.2 89.3 87.9 89.0 67.6 79.9 95.6 96.4 87.2 98.2 113.2 100.0 124.6 81.2 83.3 92.9 30.5 91.6 91.1 90.8 96.3 83.0 100.0 77.9 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 99.4 118.4 103.7 111.3 115.3 102.1 116.5 111.6 577.5 80.8 82.8 98.7

CATATAN :

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

57

58

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

59

60

Edisi I / Maret 2017 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal