TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Pengelompokkan Tumbuhan Obat

tanaman obat adalah suatu jenis tumbuhan ... dalam skala keluarga, dan ketiga industri obat. ... penting untuk mengetahui khasiat dan kegunaannya yang...

39 downloads 659 Views 238KB Size
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Pengelompokkan Tumbuhan Obat Menurut Oswald (1995), obat tradisional adalah ramuan dari tumbuhtumbuhan yang berkhasiat ataupun diperkirakan berkhasiat sebagai obat. Menurut Sulaksana dan Jayusman (2005), tanaman obat adalah suatu jenis tumbuhan atau tanaman yang sebagian atau seluruh bagian tanaman berkhasiat menghilangkan atau menyembuhkan suatu penyakit dan keluhan rasa sakit pada bagian atau organ tubuh manusia. Sedangkan menurut Sjabana dan Bahalwan (2002), obat tradisional adalah obat yang telah terbukti digunakan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun untuk memelihara kesehatan ataupun untuk mengatasi gangguan kesehatan mereka. Obat tradisional merupakan aset nasional yang sampai saat ini masih dimanfaatkan sebagai usaha pengobatan sendiri oleh masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Menurut Zuhud, dkk (1994) dalam Rahayu (2005), tumbuhan obat dikelompokkan menjadi : 1. Tumbuhan obat tradisional, yaitu jenis tumbuhan yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. 2. Tumbuhan obat modern, yaitu tumbuhan obat yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. 3. Tumbuhan obat potensial, yaitu tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan

Universitas Sumatera Utara

secara medis penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit diketahui.

Sifat dan Cita Rasa Tumbuhan Obat Menurut Dalimartha (2004), didalam Tradisional Chinese Pharmacologi dikenal 4 macam sifat dan 5 macam cita rasa tanaman obat, yang merupakan suatu bagian dari cara pengobatan tradisional timur. Adapun keempat macam sifat tanaman obat adalah : dingin, panas, hangat, dan sejuk. Tanaman obat yang sifatnya panas dan hangat dipakai untuk pengobatan pada sindroma dingin, misalnya untuk pasien takut dingin, tangan dan kaki dingin, lidah pucat, nadi lambat dan lain-lain. Tanaman yang bersifat dingin dan sejuk dipakai untuk pengobatan pada sindroma panas, misalnya demam, rasa haus, air kencing berwarna kuning tua, lidah merah, denyut nadi cepat dan lain sebagainya. Lima macam cita rasa dari tanaman obat adalah : pedas, manis, asam, pahit, dan asin. Cita rasa itu digunakan untuk tujuan tertentu karena selain berhubungan dengan organ tubuh juga mempunyai khasiat dan kegunaan tersendiri. Rasa pedas misalnya mempunyai sifat menyebar dan merangsang. Rasa manis sifatnya menguatkan (tonik) dan menyejukkan. Rasa asam bersifat pengelat dan mengawetkan. Rasa pahit dapat menghilangkan panas dan lembab. Sementara rasa asin sifatnya melunakkan dan sebagai pencahar. Kadang-kadang selain kelima cita rasa tersebut, ada yang menambahkan cita rasa yang keenam yakni tanpa rasa atau tawar (blind tasting) yang bersifat sebagai peluruh kencing (diuretik).

Universitas Sumatera Utara

Dalam pengobatan sindroma panas, obat diminum dalam keadaan dingin. Sebaliknya pada pengobatan sindroma dingin obat diminum dalam keadaan hangat. Obat yang agak beracun (toksik) diminum sedikit demi sedikit tetapi sering.

Tanaman

berkhasiat

obat

yang

masih

berupa simplisia,

hasil

pengobatannya tampak lambat tetapi bersifat konstruktif atau membangun. Hal ini berbeda dengan obat kimiawi yang hasil pengobatannya terlihat cepat tetapi bersifat destruktif atau menghancurkan (Dalimartha, 2004).

Potensi dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat yang potensial dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Jika dilihat dari keragaman floranya, cukup banyak jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Menurut Djauhariya dan Hernani (2004), di hutan tropika Indonesia tumbuh sekitar 3.689 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat. Dari sejumlah tanaman obat tersebut menurut Ditjen POM, baru sebanyak 283 spesies tumbuhan obat yang sudah digunakan dalam industri obat tradisional. Menurut Supriadi (2001), potensi khasiat obat dari tumbuhan tingkat tinggi yang ada di hutan dan kebun sangatlah besar. Industri obat tradisional dan fitofarmaka telah memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan sebagai bahan baku obat, antara lain untuk antikuman, demam, pelancar air seni, antidiare, antimalaria, antitekanan darah tinggi dan sariawan. Indonesia memiliki sekitar 370 etnis yang hidup didalam atau disekitar kawasan hutan. Mereka umumnya memiliki pengetahuan tradisional dalam penggunaan tumbuhan berkhasiat obat untuk mengobati penyakit tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Pengetahuan

tradisional

tentang

tumbuhan

obat

ini

merupakan

dasar

pengembangan obat fitofarmaka atau obat modern (Supriadi, 2001). Menurut Sjabana dan Bahalwan (2002), hasil survei yang dilkukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) pada tahun 1978 terhadap rumah-rumah tangga di Jawa dan Sumatera Selatan menunjukkan bahwa 47,9% anggota rumah tangga memanfaatkan jamu (obat tradisional Indonesia). Dalam suatu penelitian di Jawa dan Bali berdasar SKRT 1995, Jamal dan Suhardi menunjukkan bahwa obat tradisional Indonesia digunakan oleh 30,7% anggota rumah tangga. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan metode dan responden yang digunakan. Ditunjukkan bahwa 64,3% penggunaan obat trdisional di Indonesia ditujukan untuk menjaga kesehatan atau bersifat pencegahan (preventif). Menurut Aliadi dan Roemantyo (1994), ada 3 kelompok masyarakat yang dapat dibedakan berdasarkan intensitas pemanfaatan tumbuhan obat. Kelompok pertama, yaitu kelompok masyarakat asli yang hanya menggunakan pengobatan tradisional, kelompok kedua yaitu kelompok masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional dalam skala keluarga, dan ketiga industri obat. Suku-suku bangsa di Indonesia telah banyak memanfaatkan tumbuhan obat untuk kepentingan pengobatan tradisional, termasuk pengetahuan mengenai tumbuhan obat. Salah satu perbedaan dapat dilihat dari perbedaan ramuan yang digunakan untuk mengobati penyakit yang sama. Semakin beragam ramuan yang dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit tertentu, berarti peluang untuk menyembuhkan suatu penyakit menjadi semakin besar, karena suatu ramuan belum tentu cocok untuk masing-masing orang. Hal ini menunjukkan keragaman

Universitas Sumatera Utara

pengetahuan yang dimiliki suku-suku bangsa tersebut. Keragaman pengetahuan diatas merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia yang harus dipelihara untuk dikembangkan (Aliadi dan Roemantyo, 1994). Sudah sejak lama berbagai penduduk asli (etnis) yang hidup didaerah pedalaman,

didalam

dan

disekitar

hutan

diseluruh

wilayah

nusantara,

memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan dari hutan secara turun temurun untuk berbagai macam penyakit. Menurut Supriadi (2001), dari berbagai penelitian etnomedika yang dilakukan oleh peneliti Indonesia telah diketahui sebanyak 78 spesies tumbuhan yang digunakan oleh 34 etnis untuk mengobati penyakit malaria, 30 etnis memanfaatkan 133 spesies tumbuhan untuk mengobati penyakit demam, 30 etnis memanfaatkan 110 spesies tumbuhan untuk mengobati gangguan pencernaan, dan 27 etnis memanfaatkan 98 spesies tumbuhan untuk mengobati penyakit kulit. Banyak pengetahuan tradisional tentang penggunaan tumbuhan obat dari berbagai etnis telah dikembangkan oleh pengusaha industri jamu dan farmasi. Menurut Sulaksana dan Jayusman (2005), sampai sekarang alasan banyak orang mengkonsumsi tanaman obat yaitu karena pengobatan modern tidak bisa menyembuhkan penyakitnya, ketakutan menjalankan operasi dan mahalnya biaya pengobatan modern. Selain untuk pengobatan, tanaman obat juga bisa digunakan untuk mencegah penyakit tertentu dan relatif tidak memberikan dampak negatif bagi tubuh.

Universitas Sumatera Utara

Fitokimia Tumbuhan Obat Fitokimia adalah studi mengenai tumbuh-tumbuhan yang berkaitan dengan kandungan senyawa kimia yang bersifat aktif farmakologis, merupakan penelitian dasar yang sangat penting untuk mengetahui khasiat dan kegunaannya yang meliputi ekstraksi, isolasi dan skrining fitokimia (Yuliani, 2001 dalam Rahayu, 2005). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu (Depkes, 2000). Menurut Harborne (1987), ragam ekstraksi tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi. Alkohol adalah pelarut serbaguna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000), yaitu : 1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik, sedangkan maserasi yang dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi. 2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap

Universitas Sumatera Utara

perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstra) terus menerus sampai diperoleh ekstrak. Secara kimia tumbuhan mengandung berbagai bahan kimia aktif yang berkhasiat

obat. Komponen-komponen tersebut

berupa senyawa-senyawa

golongan alkaloid, steroid dan triterpenoid, flavonoid dan saponin. 1. Alkaloid Menurut Harborne (1987), alkaloid sekitar 5500 telah diketahui merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol. Alkaloid sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Suku tumbuhan yang terdeteksi lebih dari 50 struktur alkaloid yaitu angiospermae yang sangat kaya akan basa, tetapi harus diingat bahwa penyebaran alkaloid sangat tidak merata dan banyak tumbuhan yang tidak mengandungnya sama sekali. Pada umumnya alkaloid tidak sering terdapat dalam gymnospermae, paku-pakuan, lumut, dan tumbuhan rendah (Harborne, 1987). Menurut Harborne (1987), fungsi alkaloid dalam tumbuhan masih kurang jelas, meskipun masing-masing senyawa telah dinyatakan terlibat sebagai pengatur tumbuh atau menghalau atau penarik serangga. Sedangkan menurut (Anonim, 1999 dalam Rahayu, 2005), alkaloid secara farmakologi digunakan sebagai morpin seperti narkotik, analgesik, codine pada batuk, colchicine untuk encok, quinene (kina) sebagai anti artrythmic dan I-hyoscyamne, anti spasmodic dan pupil dillation.

Universitas Sumatera Utara

2. Triterpenoid dan Steroid Menurut Harborne (1987), triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa yaitu : triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Triterpenoid terkenal karena rasanya yang pahit. Mereka terutama terdapat dalam Rutaceae, Meliacea dan Simaroubaceae. Senyawa ini berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba. Sedangkan menurut (Robinson, 1995 dalam Rahayu, 2005), triterpenoid merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Sterol dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu dan lain-lain). Sterol tertentu hanya terdapat pada tumbuhan rendah tetapi kadang-kadang terdapat pada tumbuhan tinggi (Harborne, 1987). 3. Flavonoid Flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang dijumpai, hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan (Harborne, 1987).

Universitas Sumatera Utara

Secara farmakologi flavonoid sebagai anti inflammatory, analgesik, anti tumor, anti HIV, antidiarrhoeal, antihepatotix, antifungal, antilypotic, antioxidant, vasodilator, immunostimultant dan anti urcerogenic (Anonim, 1999 dalam Rahayu, 2005). 4. Saponin Menurut Gunawan dan Mulyani (2004), saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolosis, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak digunakan sebagai racun ikan. Menurut Harborne (1987), saponin adalah glikosida triterpena dan sterol dan telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisisi darah. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Dari segi ekonomi, saponin kadang-kadang menimbulkan racun pada ternak. Saponin tersebar luas diantara tanaman tinggi. Menurut Gunawan dan Mulyani (2004), saponin memiliki kegunaan dalam pengobatan dan memiliki sifat-sifat sebagai berikut : •

Saponin bersifat menaikkan permeabilitas kertas saring. Dengan adanya saponin, filter dengan pori yang cukup kecil untuk menahan partikel yang berukuran tertentu akan dapat meloloskan partikel tersebut.

Universitas Sumatera Utara



Saponin bersifat dapat menimbulkan iritasi berbagai tingkat terhadap selaput lendir (membran mukosa) pada mulut, perut dan usus, tergantung pada tabiat dari masing-masing saponin yang bersangkutan.



Saponin juga meningkatkan absorpsi senyawa-senyawa diuretikum (terutama yang berbentuk garam) dan tampaknya juga merangsang ginjal untuk lebih aktif. Hal ini mungkin menerangkan kenyataan bahwa saponin sangat sering digunakan untuk rematik dalam pengobatan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara