TUGAS REVIEW BUKU : EMBEDDED AUTONOMY; STATE

Download Dosen Mata Kuliah Sosiologi Dan Sosiologi Hukum. Fakultas Hukum Univ. ... Saat ini di berbagai daerah kabupaten/kota di Indonesia, termasuk...

0 downloads 412 Views 328KB Size
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

PASAR MODERN DAN HANCURNYA HAK SOSIAL-EKONOMI PEDAGANG TRADISIONAL (STUDI KASUS MENJAMURNYA PASAR MODERN DAN DAMPAKNYA TERHADAP HAK BERUSAHA PEDAGANG TRADISIONAL DI KOTA SURABAYA) Oleh: Umar Sholahudin Dosen Mata Kuliah Sosiologi Dan Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Univ. Muhammadiyah Surabaya e-mail: [email protected] ABSTRAK Along with the more expansive modern market presence, blatantly destroying the socio-economic rights of the people (traders). These conditions require the presence of local governments' role is more serious, firm and brave, that is reviewing the policy and privatization programs in different economic sectors, especially the privatization and modernization of the market. There should be a paradigm change and urban development policy to be oriented toward empowering capitalistic society that is humane. Development paradigm of capitalism manifestly incapable of providing solutions for improving people's lives, especially for small business sectors. Policy makers need to deconstruct the ideology of development, and raises the ideological construction of alternative development is more empowerment, pro-public interest Key Word : Modern Market, Social-Economics right

Pendahuluan Berdasarkan Pasal 27 Undang-Udang Dasar 1945, disebutkan secara jelas dan tegas bahwa “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan penghidupan yang layak bagi kemausiaan”. Pasal ini secara eksplisit menandaskan bahwa Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan dan memenuhi lapangan pekerjaan yang layak, lapangan usaha ekonomi yang menjadikan warga negaranya dapat meningkatkan tingkat kesejahteraannya. Dalam rangka meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat, kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus berpihak pada kepentingan masyarakat, terutama masyarakat kelas ekonomi lemah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 tentang perekonomian nasional, disebutkan bahwa (1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azaz kekeluargaan, (2). Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan,

efisien

berkeadilan,

berkelanjutan,

bernuansa

lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dua pasal dalam UUD 1945 tersebut menjadi dasar konstitusional bagi setiap warga negara untuk mendapatkan hak atas kehidupan ekonomi atau usaha ekonomi yang layak, yang mampu meningkatkan kesejahteraannya. Namun amanat konstitusional ini tak seindah realitasnya. Tidak sedikit kebijakan pembangunan ekonomi yang justru melanggar hak-hak sosial-ekonomi masyarakat. Jangankan memenuhi dan melindungi hak-hak sosial-ekonomi, terutama hak untuk 135

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

berusaha secara layak dan adil, Negara justru dalam banyak hal melakukan “pembunuhan” hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara sistematis dan massif, melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang kapitalistik. Pembunuhan hak-hak sosial-ekonomi masyarakat tersebut salah satunya nampak pada kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang begitu rajin mengobral surat-surat ijin pendirian usahausaha ekonomi besar, yakni pasar-pasar modern di berbagai daerah sampai tingkat RT/RW. Usaha besar seperti “jejaring laba-laba” tersebut adalah usaha ritel modern. Pedagangan dan pasar tradisional –yang notabene- banyak dihuni oleh kelompok usaha kecil menengah dengan modal yang pas-pasan, kian terjepit oleh ekspansi usaha ritel modern yang sangat kapitalistuk. Dalam rentang waktu 2003-2008, pertumbuhan gerai ritel modern sungguh fantastis, yakni 162%. Bahkan pertumbuhan gerai Minimarket mencapai 254,8%, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008. Sementara jumlah pasar trandisional dalam kurun waktu lima tahun cenderung stagnan. Bahkan saat ini jumahnya semakin menurun. 1 Pesatnya pertumbhan ritel modern itu seiring dengan gencarnya penetrasi asing ke Indonesia. Data Binfocus 2008 menyebutkan, jika pada tahun 1970-1990 pemegang merek asing yang masuk ke Indonesia hanya lima dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 merek ritel asing yang masuk sudah menjadi 18 dengan 532 gerai. 2 Bahkan saat ini, seiring dengan kebijakan ekonomi yang semakin liberalistik-kapitalistik, merek ritel asing semakin menjamur dengan ribuan gerai ritel modern. Semakin menjamurnya ritel modern, pada saat yang sama semakin menghancurkan usahausaha ekonomi kecil para pedagang tradisional. Fakta tersebut semakin mengkonfirmaskan kepada publikbahwa dominannya pengaruh dan kendali asing dalam kebijakan ekonomi nasional tidak mampu disikapi secara tegas oleh Negara. sebaliknya, Negara justru memberikan “ruang bebas” kepada pihak asing untuk “membunuh” secara legal usaha-usaha ekonomi kecil menengah masyarakat Indonesia melalui legalisasi terhadap keberadaan usaha ritel modern asing. Praktik legalisasi ritel modern milik asing (baca: obral ijin-ijin pendirian ritel modern) oleh Negara, tidak hanya melanggar konstitusi, tapi juga telah membunuh hak-hak sosial-ekonomi masyarakat, terutama para pedagang tradisional. 1

Saat ini di berbagai daerah kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Jawa Timur, dengan semakin menjamurnya ritel-ritel modern yang memiliki jaringan sampai tingkat RT/RW (Indormart, Alfamart, Alfamidi, dan ritel-ritel modern lainnya), semakin mematikan keberadaan pasar tradisional. Para pedagang tradisional atau yang memiliki usaha ekonomi dengan modal kecil banyak yang gulung tikar, karena tidak mampu bersaing dengan pasar modern. Membanjirnya ritel modern yang mengalir deras ke daerah-daerah, tidak saja mengakibatkan efek domino terhadap usaha ekonomi nasional dan daerah, tapi juga akan menimbulkan efek adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Banyak Industri besar, menengah, dan bahkan kecil yang padat karya akan mengurangi tenaga kerjanya atau bahkan usahanya sendiri terancam gulung tikar, karena produknya tidak laku di pasaran. Jika PHK massal terjadi, maka efek lanjutannya, tingkat pengangguran meningkat, dan jika tingkat pengangguran meningkat, potensi tingkat kemiskinan juga meningkat, dan jika tingkat kemiskinan meningkat, demikian juga dengan tingkat kriminalitas meningkat. Dengan kata lain, kebijakan liberalisasi ekonomi di tengah kondisi Indonesia yang belum siap, akan berpotensi mengakibatkan biaya sosial-politik, dan ekonomi yang sangat tinggi. Apalagi jika pemerintah tidak melakukan upaya-upaya pencegahan dan penyelamatan yang mendasar dan strategis. 2 Kompas, 15 Maret 2010

136

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Kasus : Menjamurnya Pasar Modern di Surabaya Proses pembangunan Kota Surabaya bergerak dan berkembang begitu cepat dan pesat. Sesuai dengan visi dan misi yang tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Daerah (RPJMD), Surabaya akan dijadian sebagai Kota asa dan Perdagangan. Konsekwensi dari garis kebijakan ini, Pemerintah Kota lebih mendepankan pambangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan semata. 3Para investor, baik dalam negeri maupun asing, diberi kebebasan untuk membuka dan mengembangkan jaringan bisnisnya di Surabaya. Dan salah satu kebijakan untuk menaikkan angka pertumbuhan, Pemkot memberi kemudahan dan bahkan cederung mengobral surat ijin pembangunan atau pendiirian pusat-pusat perbelanjaan mewah. Akibat obral surat ijiin tersebut, wajah kota dibanjiri pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ritel-ritel modern. Menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ritel modern tersebut, -terutama yang dibangun pihak swasta- mengundang keresahan dan kekhawatiran para pedagang tradisional. Saat ini jumlah pasar modern di Kota Surabaya jauh lebih banyak dibanding pasar tradisional. Setidaknya 65 persen sarana perbelanjaan di Surabaya didominasi pasar modern, baik berupa factory

outlet,

supermarket,

minimarket,

department

store,

maupun

mal. 4Bisa

dibayangkan,bagaimana mungkin seorang pedagang kecil dengan modal pas-pasan, dapat bersaing dengan pengusaha besar yang sudah memiliki asset lebih, baik dari segi modal, teknologi, sumber daya manusia maupun jaringan bisnis luas? Menurut Sekretaris Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonedia (APPSI) Surabaya, Buchori Imron mengatakan dampak dari menjamurnya mal-mal yang menjual dengan harga grosir sangat dirasakan para pedagang tradisional. Rata-rata pendpaatan pasar tradisional menurun hingga 70 persen. Supermarket dan pusat-pusat perbelanjaan mewah yang menjual harga murah bisa mematikan pedagang tradisional. Contoh yang paling terpuruk sekarang adalah pedagang di Pasar Turi. Pada pedagang di Pasar Turi dulu di kenal banyak yang

kaya karena perputaran uang

danbisnis mereka lancar. Namun, setelah kini muncul Mal-Mal yang menjual barang dengan harga grosir, pendapatan mereka turun drastis. Penurunan pendapatan ini tidak hanya terjadi di Pasar Turi saja, tapi juga di beberapa pasar tradisional lainnya seperti Keputran, Tambahrejo, dan pasar lainnya. 5 3

Vic George dan Paul Wilding (1992) mengatakan kebijakan yang berorientasi pertumbuhan dan hanya mengutamakan kesamaan berkompetisi –yang secara konsepsioal berlawanan dengan pembangunan berdimensi kerakyatan- semakin kehilangan daya tariknya karena terbukti kebijakan yang egaliter ternyata tidak menghasilkan hasil yang egaliter, yang terjadi justru ketimpangan dan ketidakdilan sosial-ekonomi. Orientasi pertumbuhan yang diadopsi dari sistem kapitalisme ini hanya menguntungkan pemilik modal besar, dan sebaliknya merugikan para pengusaha/pedagang kecil. Terkait dengan ini bisa dilihat pada Bagong Suyanto, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Di Jawa Timur, dalam Jatim 5 Tahun ke Depan; tantangan dan Solusinya, Dewan Pakar Propinsi Jatim 2008. 4 Radar Surabaya, 13 Januari 2010. 5 Metropolis Jawa Pos, 14 Mei 2007

137

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Berdasarkan data resmi Dinas Perdagangan dan perindustrian Pemeirntah Kota Surabaya, terdapat 704 pasar modern atau pusat perbelanjaan, yang terdiri dari 31 atau 4% berbentuk Mall dan Plaza, dan 673 berupa pasar atau toko swalayan (lihat gambar 1).

Sumber : Disperindag Kota Surabaya, 2015

Jika kita cermati, berdasarkan dari data tersebut, nampak ada pembatasan dan bahkan pengurangan jumlah pasar modern dalam bentuk mall dan plaza. Akan tetapi, pasar modern dalam bentuk lainnya tumbuh subur, baik pasar modern dalam skala besar maupun kecil (ritel). Sebut saja misalnya, pendirian pasar-pasar besar; hypermart gyan, dan sejenisnya pelan tapi pasti tumbuh positif. Pasar-pasar besar tersebut “dibatasi” hanya berdiri di tengah-tengah kota. Dan hampir setiap wilayah di Surabaya telah berdiri pasar atau took besar (mall, plaza, dan sebagainya), baik di wilayah Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, maupun Surabaya Pusat. Sehingga saat ini nyaris hampir penjuru di berbagai wilayah kota sudah padati pasar-pasar atau pusat perbelanjaan modern (skala besar). Berikut ini adalah daftar pusat perbelanjaan di Surabaya Pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan mewah di Surabaya, ternyata juga diikuti dengan pertumbuhan pasar atau took-toko modern dalam sekala kecil, yakni berupa ritel-ritel yang berbentuk Franchise atau toko waralaba. Toko-toko tersebut diantaranya adalah Indomart, Alfamart, Alfamidi, dan sebagainya, yang juga tumbuh subur. Bahkan toko modern swalayan ini tumbuh subur laiknya cendawan di musim hujan sampai ke perkampungan warga. Kita dapat menyaksikan jarak sekitar 100 atau 200 meter terdapat 2 sampai 3 toko swalayan, bahkan dibeberapa kelurahan antar took ritel saling berhadap-hadapan. Mereka buka 24 jam non-stop. Atas kondisi ini, dapat dipastikan, keberadaan warung-warung warga di perkampungan semakin terdesak dan terpinggirkan. Karena sulit bersaing, keberadaan warung-warung warga “prancangan” semakin berkurang. Dimulai dari omset yang semakin hari semakin menurun dan berujung pada matinya pedagang tradisional di perkampungan. Secara resmi, berdasarkan data dari Dinas Perdagang dan Perindustrian, jumlah toko swalayan yang ada di Kota Surabaya ini berjumlah 673 yang tersebar di 33 kecamatan. Keberadaan toko-toko swalayan ter sebut tumbuh subur sampai tingkat kelurahan dengan jam operasi yang nonstop 24 jam. Dari 33 kecamatan, kecamatan Gubeng yang berada di wilayah Surabaya pusat, yang

138

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

memiliki toko swalayan dengan sistem ritel yang paling banyak dengan jumlah 51 toko swalayan, disusul kecamatan rungkut dengan 40 toko swalayan dan Kecamatan Sawahan dengan 38 toko swalayan (lebih jelas lihat. Gambar 2 dan 3)

Menjamurnya pasar modern atau ritel modern di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Kota Surabaya, tak lepas dari kebijakan Pemerintah daerahnya yang begitu mudahnya mengobral surat ijin usaha untuk pasar modern atau ritel modern yang ada di perkampungan Surabaya. Saat ini, pertumbuhan ritel modern (mini market) di Surabaya bagai cendawan di musim hujan. Cenderung tidak terkendali. Data yang direkam Pemkot Surabaya dan Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Indonesia pun berbeda. Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya mencatat, sampai akhir 2009 ini terdapat 346 mini market di Surabaya. Namun, DPD Aprindo Jatim mencatat ada 475 mini market di Kota Pahlawan ini sampai akhir 2009. Khusus untuk ritel, Data Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) Jawa Timur menyebutkan, saat ini di Surabaya terdapat 190 gerai minimarket. Jumlah gerai sebanyak itu merupakan bagian dari total gerai di Jatim yang mencapai 1.200 unit, diantaranya sekitar 650 gerai

139

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

milik Alfamart dan Indomart. Dan yang lebih memprihatinkan, menjamurnya pasar modern tersebut berlokasi dekat pemukiman bahkan tidak sedikit yang berdampingan dengan pasar tradisional. Ke depan, seiring dengan pembangunan ekonomikapitalistik Kota Surabaya, gerai-gerai minimarket itu dipastikan akan bertambah lagi di seantero Surabaya. Praktis usaha kecil warga berupa prancangan berlahan tapi pasti semakin terpinggirkan dan akhirnya banyak yang gulung tikar. Menjamurnya pasar modern tersebut Kondisi tersebut dikhawatirkan bakal menggerus keberadaan pasar-pasar tradisional, yang berdampak tersingkirnya puluhan ribu bahkan ratusan ribu pedagang kecil. Secara teoritik, manjamurnya pusat-pusat perbelanjaan mewah sudah diprediksi akan memarginalkan bahkan mematikan pasar-pasar tradisional yang di dalamnya dihuni banyak usaha ekonomi kecil dari golongan ekonomi lemah. Dan itu sudah menjadi kenyataan yang terjadi di mana-mana. Data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, hypermarket telah menyebabkan gulung tikarnya pasar tradisional dan kios pedagang kecil-menengah. Saat hypermarket belum begitu menggejala seperti sekarang, di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, terdapat delapan pasar tradisional dan 400 kios yang tutup setiap tahun karena kalah bersaing dengan hypermarket. Saat ini, pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Jika kondisi ini tetap di biarkan, ribuan bahkan juataan pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya. 6 Ancaman gulung tikar sangat dirasakan oleh salah satu pedagang tradisional di Surabaya. Sebut saja, Ny. Tris, pedagang tradisonal di pasar Pahing, Rungkut, Surabaya Timur yang mengatakan kalau siang sudah sepi. Pedagang umumnya telah menutup kios, terutama berada di lantai dua. “Ya begini. Kalau sudah pukul 11.00 ke atas tidak ada pembeli yang tutup saja. Buat apa bertahan wong tidak ada pembeli yang dtalang lagi kok”. Meskinpun pasar Pahing tersebut letaknya strategis, namun pemebeli mulai enggan untuk masuk ke pasar Pahing. Para pemeli lebih memilih masuk ke pasar modern dan swalayan yang baru berdiri di sekitar pasang Pahing tersebut. Menurut para pedagang buah di pasar Pahing, kehadiran pasar modern atau hipermarket di tengah kota berdampak luas terhadap keberadaan pasar tradisional. Rata-rata omset penjualan per hari makin turun, yakni sekitar Rp 300.000-400.000. Padahal sebelum ada pasar modern; hipermarket dan pasar swalayan bisa mencapai Rp 1 juta. 7 Rumusan Masalah Menjamurnya pasar modern di berbagai daerah, termasuk di Kota Surabaya yang sebagian besar dikendalkan para pemodal besar baik domestik maupun asing merupakan konsekwensi dari

6 7

http://Appsi.com/opini Kompas Jatim, 17 Maret 2005

140

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

sistem ekonomi Indonesia yang semakin terbuka. Pengembangan pasar modern yang semakin ekspansif tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada keberadaan pedagang atau pasar tradisional, yakni hak-hak esosial ekonomi masyarakat, khususnya pedagang tradisional akan terancam. Dalam konteks ini, pemerintah daerah secara khusus dihadapkan pada dilema, apakah membiarkan “kaum kapitalis” pasar modern membangun istana binisnya dengan harapan mendapatkan angka pertumbuhan ekonomi yang maksimal, ataukah akan berpihak pada kepentingan ekonomi kerakyatan, dengan jalan menyelamatkan para pedagang tradisional dari serbuan dahsyat kaum kapitalis? Pengembangan pasar modern, jika dibiarkan tumbuh-sumbur akan sangat mengancam keberadaan pasar dan pedagang tradisional. Para pedagang kecil dan menengah yang memiliki modal usaha pas-pasan, akan semakin tergerus oleh penetrasi pasar-pasar modern yang semakin massif dan ekspansif. Berdasarkan latar di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; 1. Apakah paradigma dan kebijakan pembangunan soail-ekonomi kota yang terwujud pada menjamurnya pasar tradisional yang tak terkendali bertentangan dengan dengan dasar konstitusional, yakni UUD 1945 dan Hak Sosial-ekonomi Masyarakat, khususnya pedagang/pasar tradisional? 2. Apa dampak yang dirasakan dan dialami pedagang/pasar tradisional terhadap semakin menajamurnya pasar modern di Kota Surabaya? 3. Kebijakan dan peran aseperti apa yang seharusnya dilakukan pemerintah kota Surabaya untuk menyelamatkan usaha ekonomi pedagang tradisional dari gempuran pasar modern dalam berperspektif hukum dan HAM? Penelitian Ini Bertujuan : 1. Untuk mengkaji secara analitis, apakah paradigma dan kebijakan pembangunan kota yang terwujud pada menjamurnya pasar tradisional yang tak terkendali bertentangan dengan dengan dasar konstitusional, yakni UUD 1945 dan Hak Sosial-ekonomi Masyarakat, khususnya pedagang/pasar tradisional? 2. Untuk mengkaji secara analisitis dampak dari maraknya keberadaan pasar modern terhadap kegiatan usaha sosial-ekonomi pedagang tradisional di Kota Surabaya. 3. Menentukan kebijakan atau perlindungan hukum seperti apa yang harus dilakukan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dalam menyelamatkan usaha ekonomi pedagang tradisional dari gempuran pasar modern yang berperspektif hukum dan HAM

141

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian dan analisa kualitatif dengan metode kajian deskriptif. Penggalian bahan dan data diperoleh dari Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), kajian literatur, informasi media massa dan sumber-sumber lain yang mendukung. Fokus kajiannya pada maraknya keberadaan pasar modern yang semakin ekspansif dan dampaknya terdap keberadaan pedagang atau pasar tradisional. Lalu bagaimana peran pemerintah daerah dalam menyelamatkan pedagang atau pasar tradisional dari gempuran pasar modern yang semakin ekspansif tersebut. Data-data yang telah diperoleh dikumpulkan, kemudian diseleksi dan dianalisis secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pemikiran yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari fenomena yang diteliti. Yang menjadi fokus dari analisa kualitatif ini sesungguhnya pada penunjukkan makna deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing. Kerangka Teoritik Sistem Ekonomi Kapitalis Sistem ekonomi kapitalisme sebagai model pembangunan pertumbuhan, saat ini sedang banyak digandrungi oleh banyak negara, terutama negara-negara berkembang. Model pembangunan pertumbuhan yang pada dasarnya dibangun di atas landasan kapitalisme. Pandangan kapitslisme jika digali secara teoritik,pada dasarnya bersumber dan berakar dari pandangan filsafat ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith (1776). Keseluruhan filsafat pemikiran ekonomi klasik tersebut dibangun di atas landasan filsafat ekonomi liberalism. Mereka percaya pada kebebasan individu (person liberty), pemilikan pribadi (private liberty), dan inisiatif individu serta usaha swasta (private enterprise). 8 Dalam perkembangannya, faham ekonomi liberal yang bermetamorafose menjadi neo-klasik atau neo-liberal, pendirian ekonomi neo-liberal

pada prinsipnya tidak mengalami pergeseran

sedikitpun. Dalil mengenai konsep ini adalah: “Transaksi ekonomi harus diserahkan pada pasar agar setiap orang dapat mengejar kepentingan masing-masing, sehingga yang diuntungkan bukan hanya beberapa orang akan tetapi juga masyarakat luas.” Negara dilarang ikut campur dalam transaksi ekonomi, karena akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sistem ekonomi ini dipengaruhi oleh semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas.

8

Mansour Faqih, 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSIST Press – Pustaka Pelajar, Yogyakarta, halaman 45-46.

142

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Mekanisme pasar yang di metamorfosiskan dengan invisible hand akan mengatur bagaimana jalannya keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar. 9 Sistem ekonomi neo-liberal ini, saat ini sedang menjadi rujukan bagi negara-negara berkembang dalam menjalankan kebijakan pembangunannya. Pelaksanaan agenda liberalisme seperti kebijakan yang anti proteksi pada rakyat; jauhkan campur tangan pemerintah dalam perdagangan melelui deregulasi; tingkatkan perlindungan bagi investasi dan proses produksi; hilangkan subsidi pada rkayat; namun tegakkan hukum yang melindungi industry; serta kembangkan pemerintahan yang bersih (good governance) dan transparansi. 10 Berbeda dengan pendekatan liberal, ekonomi-politik klasik menggunakan metodologi yang mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moral. Melalui metode interpretivis dan instropektis, ekonomi-politik klasik mempelajari bukan hanya bagaimana membuat individu menjadi makmur, akan tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyelesaian bagi masalah kemiskinan dan perbaikan kondisi hidup umat manusia. Pendukung sistem ekonomi-politik klasik menyakini bahwasannya perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, melainkan juga diimbangi dengan rasa tanggung jawab sosial. Pasar, menurut pendukung ini bukanlah lembaga yang begitu penting karena banyak proses produksi ditentukan oleh lembaga-lembaga social lainya seperti keluarga atau birokrasi. Dalam pendekatan ini yang diutamakan adalah peran lembaga sosial dan politik, kekuasaan dan manifestasi sosio-kultural dalam kehidupan ekonomi. Neo-liberalisme merupakan perkembangan dari sistem kapitalisme yang mutakhir. Ditujukan untuk mengatasi periode stagnasi dan perlambatan (slowdown) pertumbuhan kapitalis dinegara-negara maju dan memperluas penetrasi dinegara-negara berkembang guna memperluas zona akumulasi profit. Ditangan Von Hayek, guru besar yang menghidupkannya kembali, neoliberalisme menghendaki pelepasan yang radikal peran negara (intervensi) terhadap mekanisme pasar. Aturan dasar kaum neoliberal adalah 'liberalisasikan perdagangan dan finance’; 'biarkan pasar menentukan harga’, 'akhiri inflasi', 'stabilisasi ekonomi makro', 'privatisasi', 'pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan'. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal sebagai The Neo-liberal Washington Consensus, yang terdiri dari para pembela ekonomi privat terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi intemasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan dalam rangka membentuk opini public. 11

9

Abdul Aziz, SR, 2009, Pasar Modern dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Makalah singkat untuk bahan diskusi disampaikan pada Pelatihan Ekonomi Lokal bagi Pegawai di lingkungan pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur, tidak dipublikasikan. 10 Mansour Faqih, Ibid, halaman 207 11 Rudi Hartono, FREE TRADE AGREEMENT (FTA);Perdagangan Bebas Yang Berganti Baju, dalam http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/07/free-trade-agreement-ftaperdagangan.html)

143

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Ide pasar sebagai prinsip untuk mengatur masyarakat dan sebagai bentuk sosialisasi, secara sejarah dan logika ada kaitannya dengan kelas menengah (middle class). Pada mentalitet kelas menengah, mahluk yang “beradab” itu, adalah manusia-manusia yang yakin bahwa “keinginan untuk kaya” adalah suatu inovasi alamiah dan universal. Bagi J.S. Mill (dalam Bethoud, 1992), keinginan untuk kaya dihadapkan pada dua “prinsip yang antagonis” atau dua “motif yang bertentangan secara abadi”, yakni “keengganan pada kerja” dan “keinginan untuk sekarang juga menikmati kegemaran yang mahal”. Dalam pandangan kelas menengah, sifat manusia yang suka mengumpulkan harta harus dipandang menurut dua kategori sederhana yang telah lama ada, yaitu dikotomi antara kaya dan miskin, serta antara pemilik kekayaan dengan mereka yang bekerja. Negara dan Pasar Bagaimana hubungan pasar dengan negara? Hobbes, pada abad ke-16, berbicara soal state of nature (kondisi alamiah) dan menganjurkan perlunya “leviathan” sebagai pengatur dalam kehidupan masyarakat, dan wujudnya adalah negara. Negara menurutnya harus memainkan penting dalam kehidupan masyarakat untuk mengatasi kondisi “bellum omnium contra omnes” (von Schmid, 1984). Tetapi ketika munculnya Adam Smith, bapak ekonomi modern, dengan karya monumentalnya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations pada akhir abad ke-18 justru menganjurkan hal yang sebaliknya. Artinya, peran negara dibatasi dan pasarlah yang harus memainkan peran penting dan mendapat kebebasan yang luas dalam kehidupan ekonomi. Dalam sistem ekonomi pasar atau neo-liberal, negara dilarang ikut campur dalam transaksi ekonomi, karena akan menganggu stabilitas pasar dan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sistem ekonomi ini dipengaruhi oleh semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas. Mekanisme pasar dengan kekuatan invisible hand-nya akan mengatur sendiri bagaimana jalannya keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar terjadi. Salah satu ekonom Indonesia yang setuju ekonomi pasar, Chatib Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, yang mengatakan dirinya lebih cenderung memilih model ekonomi yang di dalamnya peran pemerintah relatif terbatas. Alasan utamanya adalah sistem itu justru bisa memberikan banyak manfaat kepada orang banyak. 12 Pasar, melalui mekanismenya sendiri, diasumsikan akan hidup dan berkembang dengan baik. Dengan kekuatan the invisible hand yang ada di dalamnya, pasar akan mengatur persainganpersaingan dalam kehidupan ekonomi (Caporaso dan Levine, 1997). Dalam hubungan ini, negara lebih berhendak untuk mengatur, sementara pasar lebih suka untuk tidak diatur, dan keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.

12

Chatib Basri, Ekonomi Pasar, dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Freedom Institute, Pustaka Alvabet, 2006,halaman 69

144

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Kendati Smith merupakan pendukung faham laissez-faire, tetapi dia masih menyisakan peran negara setidaknya dalam empat hal penting, yakni: pertama, menjamin kebebasan masyarakat untuk menghadang serangan atau agresi dari luar kendati harus membutuhkan cost ekonomi yang besar; kedua, melindungi warga masyarakat dari ketidakadilan serta penindasan dari warga masyarakat lainnya; ketiga, menjamin kesejahteraan serta menjaga tetap tersedianya lapangan pekerjaan berikut adanya pranata-pranata yang bermanfaat bagi masyarakat serta negara bertanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur; dan keempat, menciptakan hukum-hukum ekonomi, terutama pada situasi-situasi tertentu, untuk menghindari terjadinya monopoli dan praktikparktik yang eksploitatif. Kata Ebenstein, apa pun bentuk pemerintahan sebuah negara – demokratis atau totaliter, monarki atau republik, komunis atau fasis, kapitalis atau kolektif – masyarakat membutuhkan pelayanan dari badan-badan pemerintah. Kesadaran akan peran negara bagi kepentingan pelayanan publik berikut hadirnya gagasan negara kesejahteraan (welfare state) sekaligus merupakan kritik terhadap faham liberalisme klasik yang sangat laissez-faire. Hal ini muncul terutama di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang di dalamnya turut digerakkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan psikologi. Inilah yang kemudian mendorong munculnya gagasan welfare state (Ebenstein, 1960). Namun, gagasan ekonomi neoliberalisme ini (Adamisme) kemudian mendapat kritik tajam dari John Maynard Keynes. Menurut Keynes, dalam sistem ekonomi yang tidak stabil (baca: krisis), sifat spekulasi mendominasi aksi para kapitalis. Pasar dipenuhi oleh spekulasi dan ketidakpastian. Karena itu, peran negara harus ada untuk menstabilkan ketidakpastian pasar. Gagasan Keynes ini didukung oleh Hyman Minsky dalam Stabilizing an Unstable Economy, yang mengatakan instabilitas bersifat alamiah pada sebuah sistem perekonomian. 13 Perdebatan tentang batas-batas peran antara negara dan pasar sesungguhnya masih terus berlangsung hingga saat ini. Ada kalanya para ahli ekonomi politik mengedepankan peran dan kebebasan pasar, tetapi pada saat yang lain berusaha mendorong peran dan intervensi negara. Francis Fukuyama (1992), pada awal 1990-an berbicara soal keunggulan kapitalisme dan demokrasi liberal. Menurutnya, pasca-keruntuhan komunisme di Uni Sovyet dan negara-negara Eropa Timur, kapitalisme (dan juga demokrasi liberal) praktis tampil sebagai ideologi dan “pemain” tunggal yang tanpa saingan. Baginya, liberalisme dan kapitalisme telah memenangkan pertarungan ideologi, sehingga tibalah apa yang disebutnya akhir sejarah (the end of history). Fukuyama sesungguhnya juga hendak menegaskan tentang pentingnya kebebasan dan peran pasar. Tetapi beberapa tahun kemudian –pasca-krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara di kawasan Asia dan pasca-tragedi 11 September 2001 dan peledakan Pentagon di Amerika Serikat– 13

Herry Suhardiyanto, pada kata pengantar buku Didin S. Damanhuri, Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit FE Univeritas Indonesia, 2009, halaman ix

145

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Fukuyama pun justru berbicara tentang pentingnya peran negara. Menurutnya, hampir sepanjang abad ke-20 peran negara melemah, dan karena itu harus segera dibangkitkan kembali untuk turut mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu peran dan fungsi negara yang dikemukakan Fukuyama (2005) adalah menangani kegagalan pasar. 14 Pembahasan dan Analisis Sebagaimana ditegaskan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 33 bahwa sistem ekonomi Indonesia dalah sistem ekonomi kekayatan, ayat 1 dan 4 menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” dan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Pasal ini mengisaratkan bahwa perekonomian nasional yang harus dibangun dan diwujudkan adalah ekonomi kerakyatan. Konsekwensi dari amanah konstitusi ini adalah pembangunan ekonomi nasional harus lebih berpihak pada ekonomi rakyat. Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Pasar modern (modern market) semakin menjadi fenomena penting dengan peran yang terus mengedepan dalam kehidupan ekonomi di berbagai negara di dunia, terutama negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme seperti Indonesia. Ia (pasar modern) hadir sebagai kekuatan ekonomi dengan ditopang oleh kekuatan modal besar dan banyak pula di antaranya yang beroperasi

14

Abdul Aziz, SR, op. cit

146

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

lintas negara atau tampil sebagai multi-national corporation. Di Indonesia, pasar modern ada yang milik asing, sehingga menjadi wujud penanaman modal asing. Dalam praktik kehidupan ekonomi-bisnis, pasar modern itu antara lain mewujud minimarket, supermarket, dan hypermarket. Bentuk usaha ini sering pula disebut toko modern atau ritel modern. Dalam pasar modern seperti minimarket, supermarket, dan hypermarket memiliki fasilitas lengkap dan bagus, suasana yang nyaman dan bersih, barang serba ada dengan kualitas baik dan harga pasti, dan dalam banyak hal menjanjikan sesuatu yang menarik kepada masyarakat konsumen. Sekaligus pula ia, terutama hypermarket, menjadi tempat rekreasi dan arena pertunjukan berbagai kreasi seni. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang merupakan mengejawantahan dari Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, ada beberapa jenis pasar modern yang ada di Indonesia saat ini yaitu minimarket, supermarket, hypermarket, departement store dan perkulakan. Meskipun sudah ada aturan yang mengikat, namun perkembangan dan pertumbuhan pasar modern atau ritel modern tak bisa dielakan dan dikendalikan. Semangat membina dan melindungi pasar-pasar tradisional akibat semakin menjamurnya pasar atau ritel modern tidak terjadi. Justru yang terjadi adalah pertumbuhan pasar dan ritel modern bagaikan cendawan di musim hujan. Secara nasional, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Gerai ritel di Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang cukup impresif. Baik ritel walayan maupun ritel non swalayan tumbuh mencapai lebih dari 765 ribu gerai. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Srie Agustina, Pertumbuhan gerai tersebut di dominasi oleh ritel tradisional sebanyak 750 ribu gerai atau tumbuh sebesar 42% dan ritel modern dalam format mini market dengan pertumbuhan sebanyak 16 ribu gerai atau tumbuh sebesar 400%. Prospek perkembangan usaha ritel dan pusat belanja ini dinilai semakin membaik jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai rata-rata 6% per tahun dengan konsumsi domestik mencapai 54,56% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Besarnya konsumsi domestik ini didorong oleh besarnya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa dengan struktur penduduk berusia di bawah 39 tahun yang mencapai 60% serta penduduk kelas menengah yang mencapai 45 juta jiwa pada 2014. 15Perkembangan ritel ini juga diikuti dengan omzet yang sangat besar setiap tahunnya yakni dari sekitar Rp.135 triliun pada tahun 2012, meningkat menjadi sekitar Rp.148 triliun pada tahun 2013, dan diperkirakan omzet ritel pada tahun 2014 dapat mencapai Rp.162,8 triliun. 16 15 16

http://bisnis.liputan6.com/read/814452/765-ribu-gerai-ritel-menjamur-di-indonesia, diunduh 3 Mei 2015 bisnis.com,2014

147

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Potensi pasar ritel Indonesia untuk jangka menengah panjang masih besar meskipun pertumbuhan

omzet ritel nasional 2014 diperkirakan hanya naik tipis seiring melambatnya

pertumbuhan ekonomi.

Omzet

ritel modern nasional pada 2014 diperkirakan tumbuh 10%.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan nilai penjualan ritel modern 2014 mencapai

Rp162,8

triliun. Permintaan produk Fast Moving custumer good (FMCG),

terutama makanan dan minuman masih menjadi contributor utama, yakni mencapai 60% 17. Kebijakan Pembangunan Ekonomi Kota Surabaya Proses pembangunan Kota Surabaya bergerak dan berkembang begitu cepat dan pesat. Sesuai dengan visi dan misi yang tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Daerah (RPJMD 2010-2015), Surabaya akan dijadian sebagai kota jasa dan perdagangan. Konsekwensi dari garis kebijakan ini, Pemerintah Kota akan lebih mendepankan pambangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan semata. 18 Para investor, baik dalam negeri maupun asing, diberi kebebasan untuk membuka dan mengembangkan jaringan bisnisnya di Surabaya. Dan salah satu kebijakan untuk menaikkan angka pertumbuhan, Pemkot memberi kemudahan dan bahkan cederung mengobral surat ijin pembangunan atau pendirian pusat-pusat perbelanjaan mewah, Tokotoko modern atau ritel-ritel modern. Akibat obral surat ijin tersebut, wajah kota dibanjiri pusat-pusat perbelanjaan mewah, baik di pusat-pusat kota maupun di perkampungan warga. Menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ritel-ritel modern di perkampungan tersebut, terutama yang dibangun pihak swasta mengundang keresahan dan kekhawatiran para pedagang tradisional. Saat ini jumlah pasar dan ritel modern di Kota Surabaya jauh lebih banyak dibanding pasar tradisional. Setidaknya 65 persen sarana perbelanjaan di Surabaya didominasi pasar modern, baik berupa factory outlet, supermarket, minimarket, department store, maupun mal. 19 Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin seorang pedagang kecil dengan modal pas-pasan, dapat bersaing dengan pengusaha besar yang sudah memiliki asset lebih, baik dari segi modal, teknologi, sumber daya manusia maupun jaringan bisnis luas?. Bahkan saat ini, ritel-ritel modern seperti Alfamart, Indomart, Alfamidi sudah menjamur dan mengepung toko-toko tradisional di perkampungan. Pelan tapi pasti, toko-toko “prancangan” warga kampung akan tersingkir dan semakin tergerus.

17

MajalahIndustry Update, Volume 16, September 2014 Vic George dan Paul Wilding (1992) mengatakan kebijakan yang berorientasi pertumbuhan dan hanya mengutamakan kesamaan berkompetisi –yang secara konsepsioal berlawanan dengan pembangunan berdimensi kerakyatan- semakin kehilangan daya tariknya karena terbukti kebijakan yang egaliter ternyata tidak menghasilkan hasil yang egaliter, yang terjadi justru ketimpangan dan ketidakdilan sosial-ekonomi. Orientasi pertumbuhan yang diadopsi dari sistem kapitalisme ini hanya menguntungkan pemilik modal besar, dan sebaliknya merugikan para pengusaha/pedagang kecil. Terkait dengan ini bisa dilihat pada Bagong Suyanto, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Di Jawa Timur, dalam Jatim 5 Tahun ke Depan; tantangan dan Solusinya, Dewan Pakar Propinsi Jatim 2008. 19 Radar Surabaya, 13 Januari 2010. 18

148

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Pertumbuhan pasar memang melesat. Dengan didukung permodalan dari sindikasi perbankan, jaringan distribusi, kualitas produk terjamin, dan manajemen tangguh, pasar modern menjadi belantara bagi pasar tradisional. Wajar bila pasar tradisional menemui kematiannya ketika dihadapkan dengan pasar modern. Pasar Turi merupakan salah satu contoh kemeranaan pasar tradisional di Surabaya. Pasar yang dulu didesain sebagai pusat perbelanjaan terlengkap dan terbesar di Indonesia Timur, kini berangsur-angsur ditinggalkan. Mulai berkurangnya pembeli di pasar yang menjadi ikon Surabaya ini bukan karena pengelolanya tidak cakap mengurus pasar. Meski manajemennya dipisahkan dari PD Pasar Surya, namun pedagang mengalami kelesuan omzet ketika pemerintah setempat enggan menghentikan ekspansi pasar modern. Bayang-bayang menuju kematian sulit dihalau ketika pemerintah mengizinkan pendirian Pusat Grosir Surabaya (PGS) yang letaknya tidak sampai 100 meter dari Pasar Turi. Sebelumnya perdagangan ritel Pasar Turi disaingi pedagang besar di Pertokoan Sinar Galaxi yang ada di depannya. Persaingan makin berat ketika pemerintah membolehkan Ramayana memperluas usahanya di lahan belakang Pasar Turi. Di sebelah selatan, berdiri pula pertokoan ritel kelas besar.Para pelaku usaha ritel yang ‘mengepung’ Pasar Turi tidak salah mengembangkan usahanya. Demikian pula pengelola Royal Plaza tidak patut disalahkan bila ekspansi usahanya bisa mematikan pedagang di pasar Wonokromo yang juga harus bersaing dengan pedagang di Darmo Trade Centre yang berada di lantai atas Pasar Wonokromo Sebut saja misalnya, di Jakarta, PD Pasar Jaya menyebutkan pertumbuhan pasar tradisional empat kali lipat pasar modern (21,76 persen) pada tahun 1985. Sepuluh tahun kemudian, pertumbuhan pasar modern menjadi 62,25 persen, sedangkan pasar tradisional 37,75 persen. Di Surabaya, berdasarkan laporan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), dari 81 unit pasar yang dimiliki Pemkot Surabaya, hanya sepertiga yang mampu bertahan menghadapi ekspansi pasar modern. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 T ahun 2007, ada beberapa jenis pasar modern yang ada di Indonesia saat ini yaitu minimarket, supermarket, hypermarket, departement store dan perkulakan. Pertumbuhan fenomenal ritel modern, salah satunya diakibatkan gencarnya penetrasi ritel asing ke Indonesia. Data BisInfocus 2008 menyebutkan, jika pada 1970-1990 pemegang merek ritel asing yang masuk ke Indonesia hanya lima, dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 sudah 14 merek ritel asing yang masuk, dengan 500 gerai. Tahun 2008, merek ritel asing yang masuk sudah 18, dengan 532 gerai. Tahun 2015, merek ritel asing yang akan melebarkan sayapnya ke Indonesia masih juga bertambah. Yang terbaru, raksasa ritel asal Korea Selatan, Lotte Mart, akan menjajal peruntungan mereka di bisnis dagangan ritel Indonesia. Lotte yang pada 2008 lalu mengakuisisi PT Makro Indonesia (pusat perkulakan Makro) dalam waktu dekat akan membuka 2 gerai baru di 149

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Jakarta. Hingga 2013, Lotte akan membuka sedikitnya 26 gerai di mana 19 di antaranya adalah dengan rebranding (mengganti nama) Makro. Sistem Ekonomi Pasar Secara teroritis, menjamurunya pasar modern yang berkembang pesat di berbagaidaerah di Indonesia, termasuk di Surabaya, tak lepas dari sistem ekonomi yang dianut Indonesia, yakni sistem ekonomi liberal-kapitalisme. 20 Sistem ekonomi pasar sangat begitu dominan memainkan peran politik-ekonomnya ke seluruh jagad dunia. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa negara seperti Ingris dan Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia karena komitmen mereka terhadap kebijakan pasar bebas. 21 Kebijakan tersebut lebih mendorong pertumbuhan pasar dari pada mendorong arus finansial dan perdagangan yang diatur negara. Strategi ini meminimalkan jangkauan regulasi pemerintah sembari mendukung kepemilikan swasta terhadap sumber daya, usaha, dan bahkan gagasan. Dalam konkteks globalisasi ekonomi, Indonesia sebagai bagian kecil dari sistem ekonomi dunia, tak bisa lari dari kenyataan. Dalam sistem ekonomi pasar, peran-peran negara akan semakin minimalis, yang berlaku adalah kekuatan pasar. Intervensi negara ke pasar dalam perspektif teori ekonomi liberal/neo-liberal dinilai akan menghambat pertumbuhan dan kemajuan ekonomi negara. Para penganut faham ekonomi neo-liberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa “pasar bebas” adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. 22 Dan pelbagai pernjanjian internasional yang diberlakukan dalam kegiatan ekonomi dunia merupakan salah satu wujud dari sistem ekonomi pasar. Dan ketika negara lepas kontrol terhadap struktur yang mulai disintegrasi, Indonesia mulai dipaksa menerima investasi asing demi pertumbuhan. Dan menjamurnya investor asing yang mendirikan pasar-pasar modern di berbagai kota-kota besar di Indonesia, termasuk di Surabaya, menunjukkan kuatnya cengkeraman sistem ekonomi kapitalisme di Indonesia. Sistem yang hanya menguntungkan segelintir elit, sebalilknya memberangus usaha ekonomi rakyat lemah. Kondisi tersebut yang disebut Walden Bello sebagai krisis model pembangunan di Asia Tenggara. Pembangunan di negara-negara tersebut selain berhasil meningkatkan pertumbuhan luar biasa, di dalamnya juga tertanam bibit-bibit yang akan tumbuh menghancurkan sistem dan model 20

Sistem ini tentu saja bertentangan dengan sistem ekonomi yang yang dianut Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945pasal 33 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa sistem ekonomi kita berdasarkan asas kekeluargaan. Sistem ini yang disebut oleh Ekonom UGM, Mubyarto sebagai “Sistem Ekonomi Pancasila” 21 Rezim kebijakan ini kemudian dikenal sebagai “liberalism”. Dalam bentuk modernnya disebut “neoliberalisme”. Istilah “neo-liberalisme” merujuk pada doktrin-doktrin pasar bebas yang dikaitkan dengan para ekonom “liberal” klasik abad 18 dan 19 (Adam Smith dan David RIchardo). Lihat uraian Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib, INSIST Press 2008,halaman 11. 22 Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, halaman 216

150

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

itu sendiri. 23Model pembangunan ekonomi kapitalistik diberlakukan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya menguntungkan segelintir orang saja (baca: pemodal besar), sementara pada saat yang sama menghancurkan usaha ekonomi tradisional. Pembunuhan Hak Sosial-Ekonomi Banyak orang beranggapan bahwa konsep atau teori pembangunan dengan berbagai varianvariannya seperti teori ekonomi kapitalisme klasik David Richardo dan Adam Smith, modernisasi, pertumbuhan, motivasi, struktural-fungsionalimse sampai pada teori pembangunan ekonomi modern dan berbagai teori sepadanannya adalah resep yang cukup menjanjikan bagi proses perubahan sosial dan perbaikan kondisi masyarakat. Tapi kenyataannya yang terjadi adalah proses dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan yang begitu parah. Masyarakat jadi korban-korban keganasan idiologi pembangunan ini. Hak-hak sosial-ekonomi, budaya masyarakat tercerabut dari akarnya. Konsepsi di atas persis seperti apa yang terjadi dalam proses pembangunan di Kota Surabaya ini. Berbagai proyek pembangunan berskala besar dan mewah bermuculan bagaikan cendawan di musin hujan. Salah satu proyek pembangunan yang sedang digalakan Pemerintah Kota Pemkot Surabaya adalah proyek modernisasi pasar. Janji Pemkot Surabaya yang akan menjadikan proyek modernisasi pasar tradisional akan menguntungkan para pedang tradisional hanyalah isapan jempol. Justru sebaliknya, proyek modernisasi pasar memarginalkan para dan bahkan mematikan usaha pada pedagang pasar tradisional. Kondisi ini diperparah lagi dengan proyek mallisasi dan ritelisasi yang merambah kampung-kampung warga. Dampak negatifnya sangat dirasakan para pedagang kecil. Kehidupan sosio-ekonomi, terutama usaha ekonominya sangat begitu terancam dengan kehadiran pasar-pasar mewah yang dikendalikan para kaum pemodal (baca: kapitalis). Dalam kondisi semacam ini, para pedagang tradisional sulit untuk bersaing dengan para pedagang kelas kakap. Bahkan dalam pandangan kaum kapitalis pasar, para pedagang tradisonal dianggap sebagai kelompok yang menggangu ketertiban dan kenyamanan, karena itu harus dilenyapkan. Dan inilah memang salah satu karakter kaum kapitalis. Dalam konsep pasar modern, yang berlaku adalah hukum besi ekonomi yang sangat berkarakter kapitalistik. Siapa yang beruang atau memiliki kapital banyak, merekalah yang akan menguasai pasar ekonomi. Ekonomi kapitalisme tidak toleran dan bahkan tidak memiliki idiologi kemanusiaan. Kapitalisme akan membunuh siapa saja yang menghalangi pencapaian profit yang sebesar-besarnya dengan menggunakan cara ”machavellian” atau menghalalkan segala cara. Dan cara-cara machavellian inilah yang selama ini masih dipakai pembuat kebijakan di Pemerintahan Kota untuk ”melegalkan” lahirnya pasar-pasar modern di Surabaya ini. Pihak Pemkot 23

Mansour Faqih, ibid. halaman 88

151

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

dan bahkan Pemprop Jatim sangat begitu mudah ”mengobral” ijin-ijin pembangunan pasar-pasar modern oleh pihak swasta. Para kapitalis sangat begitu leluasa membangun pasar-pasar mewah tanpa adanya teguran, apalagi hukuman. Bahkan realitas yang terjadi adalah persengkokolan antara pihak penguasa dan pengusaha untuk mengegolkan ambisi kapitalismenya dengan membangun pasar-pasar modern baru sampai tingkat RT/RW. Persengkongkolan inilah yang kemudian melahirkan korban-korban pembangunan kapitalistik, yakni para pedagang tradisional, seperti prancangan di kampung-kampung warga. Praktik ini yang disebut sebagai praktik pembunuhan hakhak sosial-ekonomi warga yang berlangsung secara sistematis dan massif melalui praktik legalisasi “yang tertutup” terhadap keberadaan pasar modern. Contoh yang paling terasa di Kelurahan Ketintang tempat penulis tinggal, pasca di bangunnya ritel baru; Indormart, Alfamart, dan Alfamidi, salah seorang pedagang prancangan di sekitar Ketintang mengeluhkan pendapatannya menurun hingga 90 persen setelah dibukanya ketiga ritel tersebut. “kalau dulu rata-rata saya mendapat Rp 500.000 per hari. sekarang makin menurun, paling-paling sehari dapat Rp 50.000,’tuturnya”. Hal serupa dialami mayoritas pedagang kecil lainnya yang “kampungnya” di serbu ritel-ritel baru. Para pembeli lebih memilih berbelanja ke pasar modern, karena lebih mudah dan nyaman serta mungkin lebih bergengsi. Kekeluhan para pedagang kecil tersebut bisa saja merupakan representasi dari sebagian besar pedagang tradisional yang menjadi korban proyek menjamurnya pasar modern di kampungkampung di Kota Surabaya, baik yang difasilitasi oleh Pemkot Surabaya sendiri maupun yang dibangun oleh pidak swasta. Bahkan Pemkot sendiri ”mengobral” surat-surat ijin baru kepada pihak swasta untuk membangun pusat perbelanjaan mewah baru. Dan korban-korban lainnya akan segera menyusul, mengingat proyek “ritelisasi” dan swastanisasi pasar di Surabaya saat ini masih akan terus berjalan dan tak terkendali. Pelan tapi pasti, keberadaan pasar tradisional semakin ditinggalkan para konsumennya. Selain karena faktor eksternal (baca: menjamurnya pasar modern), faktor internal juga mempengaruhi para konsumen meninggalkan pasa tradisional. Salah satnya adalah masalah sarana dan prasana pasar tradisional yang dianggap kumuh, tidak nyaman dan tidak aman. Besarnya minat konsumen di perkotaan untuk berbelanja di supermarket daripada pasar tradisional merupakan tantangan besar bagi pasar tradisional. Pasar tradisional harus mulai melakukan inovasi dan revolusi, terutama dalam memenuhi keinginan konsumen dalam berbelanja. Berdasar survei lembaga riset Retailer and Business Development "AC Nielsen" terhadap 15.000 responden di Asia Pasifik 2003 mengenai tren orang berbelanja, kebanyakan konsumen menghabiskan uangnya (berbelanja) di supermarket (39 persen). Untuk Indonesia, di antara 1.019 responden di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sebanyak 33 persen berbelanja di supermarket. Sementara itu, 30 persen responden berbelanja di toko barang-barang konsumen yang masih 152

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

dilayani pemilik atau pekerjanya. Sementara itu, pusat perbelanjaan modern telah berkembang pesat lebih dari 31,4 persen dalam kurun dua tahun saat dilakukan survei. Hal itu disebabkan kebutuhan konsumen yang semakin beragam serta masalah kenyamanan, kualitas, dan harga yang murah daripada supermarket maupun minimarket. Selain itu, tantangan krusial bagi pengembangan pasar tradisional adalah sempitnya ruang bersaing pedagang pasar tradisional yang kini mulai sangat terbatas. Selama ini, pasar tradisional dianggap memiliki comparative advantages dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas. Namun saat ini, menjamurnya pengecer (ritel) modern yang memiliki skala ekonomis cukup luas dan akses langsung terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan. Mereka pun mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya, para pedagang pasar tradisional umumnya mempunyai skala kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Keunggulan biaya rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis. Peran Pemerintah Faham dan praktik ekonomi pasar melalui liberalisasi perdagangan, dalam pandangan kritis dinilai tidak akan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan ekonomi negara, terutama negara-negara sedang berkembang atau miskin. Ekonomi pasar yang memberikan peran yang terbatas pada negara, akan menjemuruskan ekonomi negara pada keterpurukan. Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di berbagai negara, terutama negara-negara berkembang yang berdampak pada kehidupan masyarakat, merupakan salah satu akibat dari lepasnya kontrol peran negara atas ekonomi domestik suatu negara. Ekonomi domestik negara sudah dikendalikan oleh kekuatan pasar. Dan kita semua tahu bahwa kekuatan pasar itu bukan sesuatu yang netral, berjalan alamiah, akan tetapi dikendalikan oleh negara-negara industry maju. Dengan kata lain, negara-negara industry maju memiliki mission terselurung dalam mengendalikan sistem ekonomi negara-negara di dunia. 24 Di tengah persaingan usaha yang tidak sehat, antara pasar modern dengan pasar tradisional, pemikiran Peter Evans saya pikir perlu dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai solusi menyelamatkan nasib pedagang dan pasar tradisional yang semakin tergerus. Evans mengatakan, perlu ada intervensi terhadap pasar yang sudah begitu “liar” dikuasai para pemodal besar. Pemda tidak mesti mengikuti selera ekonomi pasar yang kapitalistik tersebut secara keseluruhan.

24

Umar Sholahudin, ACFTA dan Revitalisasi Peran Negara di Era Pasar Bebas, Jurnal Transisi Volume ke-4 No. 1 Tahun 2010 di terbitkan oleh Intrans Institute, Malang

153

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Pemerintah harus memproteksi kepentingan ekonomi kerakyatakan, terutama para pedagang tradiisonal yang memiliki modal usaha pas-pasan. 25 Dalam pandangan para ekonom pro pasar, ekonomi pasar atau liberalisasi ekonomi -yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk pembangunan pasar modern, mallisasi, dan ritelisasi di suatu negara- dianggap sebagai jalan keluar bagi kemacetan pertumbuhan ekonomi bagi dunia ini, sejak awal oleh mereka dari kalangan ilmu sosial kritis dan yang memikirkan perlunya tata dunia ekonomi yang adil serta bagi kalangan yang melakukan pemihakan terhadap yang lemah, telah dicurigai sebagai bungkus baru dari imperalisme dan kolonialsime. 26 Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melahirkan lebih banyak lagi kebijakan pembangunan ekonomi yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat pasar tradisional sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah kota kepada publik, yakni dengan membuat regulasi yang tegas untuk melindungi pasar tradisional, dukungan perbaikan infrastruktur serta penguatan manajemen dan modal pedagang di pasar tradisional. Sedangkan untuk pasar modern perlu dilakukan pengkajian ulang mengenai target konsumen dan komponen barang yang dijual, termasuk mengenai harga. 27 Secara yuridis, upaya untuk menyelamatkan nasib pasar tradisional dari serangan dahsyat pasar modern sudah ada. Sebut saja misalnya pemerintah pusat telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Sebagai indaklanjut, Pemerintah Kota bersama DPRD Surabaya juga telah memiliki pengaturan masalah toko swalayan melalui Peraturan Daerah (Perda) kota Surabaya No. 8 tahun 2011 tentang Toko Swalayan, dan lebih khusus lagi yang baru adalah Perda No. 8 tahun 2014 tentang Penataan Toko Swalayan. Namun demikian, Semua regulasi yang ada tidak mampu “membendung” muculnya ritel-ritel atau toko modern baru di sudut-sudut kota. Munculnya berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib pedagang tradisional dan membatasi munculnya toko atau ritel modern yang baru, namun pada kenyataannya, regulasi tersebut justru banyak dimainkan oleh “oknum-oknum” baik pengusaha maupun kalangan birokrasi Pemerintah kota. Banyak pelanggaran yang dilakukan para pengusaha toko atau ritel modern terkait dengan pendirian usaha baru, namun tidak ada tindakan sama sekali, kaluoun ada tindakan, itupun hanya sekedarnya. Karena itu, secara regulasi, pemerinta kota telah memiliki seperangkat aturan yang sudah cukup memadai, mulai dari pusat sampai daera (UU-Perda), namun yang paling lemah adalah pada tahap implementasi dan pengawasan yang lemah. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah 25

Peter Evans, Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation, Princeton University Press, 1995, halaman

21 26 27

Mansour Faqih, Ibid, halaman 211 http://alisjahbana.com/2009/10/pasar-tradisional-dan-pasar-modern-yang-sinergi

154

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

penegakan hukum yang konsisten. Jangan sampai Perda yang telah disahkan nanti menjadi “macan ompong”, tak mampu menjerat para kapitalist ritel. Selain itu, kalau bisa tak sekedar membatasi, tapi melarangnya. Mengingat pasar-pasar modern yang ada saat ini sudah terlalu banyak. Dan dampaknya sudah sangat terasa dan terlihat. Dengan regulasi yang jelas dan tegas, setidaknya dapat melindungi dan menyelamatkan pedagang tradisonal dari keterpurukan ekonomi akibat serangan pegadang kelas kakap yang sangat kapitalistik. 28 Secara konstitusional, negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang besar untuk melindungi kedaulatan dan kepetingan nasional. Cita-cita kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu : “….Melindungi segenap bangsa Indonesia dan sluruh tumpah darah Indonesia dan mamajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…” harus menjadi pondasi dasar dan nafas kolektif bagi pemerintah dalam menajalankan program pembangunan ekonomi nasional. Menurut pakar ekonomi kerakyatan, Sri Edi Swasono, cita-cita kemerdekaan yang merupakan tuntutan kostitusonal tersebut jangan sampai tergadaikan dan menjadi komoditas di era pasar bebas yang sangat kapitalistik dan berdasar liberalism (paham perfect individual liberty). 29 Kesimpulan Selama ini kita dijejali oleh idiologi-idiologi pembangunan positivistik yang cenderung berwatak rekayasa. Posisi masyarakat tidak mendapat tempat dalam konteks idiologi ini. Mereka dianggap sebagai objek pembangunan yang harus “patuh”. Kita butuh subjektivitas masyarakat dalam melahirkan satu idiologi alternatif yang partisipatif. Dengan kata lain kita sudah waktunya mendekonstruksi teori atau idiologi pembangunan dan varian-variannya, dan memunculkan konstruksi idiologi atau teori alternatif yang lebih empowerment. Karena itu, sudah saatnya pihak Pemkot mengkaji ulang kebijakan dan program swastanisasi diberbagai sektor ekonomi, terutama swastanisasi dan modernisasi pasar. Dan lebih dari itu yang lebih mendasar dan strategis adalah bagaimana merubah paradigma pembangunan kota yang kapitalistik ini menjadi pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat yang bersifat humanis. Paradigma pembangunan kapitalistime sudah nyata-nyata tidak mampu memberikan solusi perbaikan bagi kehidupan masyarakat, tetutama bagi sektor ekonomi usaha kecil atau lemah. Sudah waktunya kita dan terutama para pembuat kebijakan pembangunan mendekonstruksi teori atau idiologi pembangunan dan varian-variannya, dan memunculkan konstruksi idiologi pembangunan alternatif yang lebih empowerment dan berpihak pada kepentingan masyarakat. 28

Umar Sholahudin, Ritelisasi dan Nasib Pedagang Tradisional, Opini Radar Surabaya, 28 Mei 2010 Sri Edi Swasono, kata sambutan dalam buku Didin S. Dmanhuri; Negara, Civil Society, Pasar dalam Kemelut Globalisasi, FE-UI Press, 2009, halamanv 29

155

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

156

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Daftar Pustaka Aziz, Abdul, SR., Pasar Modern dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, makalah singkat untuk bahan diskusi disampaikan pada Pelatihan Ekonomi Lokal bagi pegawai di lingkungan pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur. Diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur. Malang: 27 April – 1 Mei 2009, tidak dipublikasikan. Basri, Chatib, 2006, Ekonomi Pasar, dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Freedom Institute, Pustaka Alvabet, Jakarta Chang, Ha-Joon dan Ilene Grabel, 2008, Membongkar Mitos Neolib, INSIST Press, Yogyakarta Damanhuri, Didin S., 2009,Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit FE-UI Jakarta. Evans, Peter., 1995, Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation, Princeton University Press, New Jersey, USA. Fukuyama, Francis, 1992, The End of History and the Last Man, Avon Boos, New York Faqih, Masour., 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta Basri, Chatib., 2006, Ekonomi PasardalamMembela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi liberal, Fredeem Institute, Pustka Alvabet, Jakarta. Sholahudin, Umar, ACFTA dan Revitalisasi Peran Negara di Era Pasar Bebas, Jurnal Transisi Volume ke-4 No. 1 Tahun 2010 di terbitkan oleh Intrans Institute, Malang _______________, Ritelisasi dan Nasib Pedagang Tradisional, Opini Radar SBY, 28 Mei 2010 Suyanto, Bagong., 2008, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Di Jawa Timur, dalam Jatim 5 Tahun ke Depan; Tantangan dan Solusinya, Dewan Pakar Propinsi Jatim. Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Surat Kabar dan media online: http://Appsi.com/opini http://alisjahbana.com/2009/10/pasar-tradisional-dan-pasar-modern-yang-sinergi Rudi Hartono, FREE TRADE AGREEMENT (FTA);Perdagangan Bebas Yang Berganti Baju, dalamhttp://arahkiri2009.blogspot.com/2008/07/free-trade-agreement-ftaperdagangan.html) Harian Kompas Jatim, 17 Maret 2005 Metropolis Jawa Pos, 14 Mei 2007 Radar Surabaya 13 Januari 2010 Harian Kompas, 15 Maret 2010 Umar Sholahudin, Ritelisasi dan Nasib Pedagang Tradisional, Opini Radar Surabaya, 28 Mei 2010 http://bisnis.liputan6.com/read/814452/765-ribu-gerai-ritel-menjamur-di-indonesia, diunduh 3 Mei 2015 bisnis.com, 2014 Majalah Industry Update, Volume 16, September 2014 157

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Peraturan Perundangan-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Peraturan Daerah (Perda) kota Surabaya No. 8 tahun 2011 tentang Toko Swalayan, Perda No. 8 tahun 2014 tentang Penataan Toko Swalayan

158