UPDATE DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA MENINGITIS

Download Abstrak. Meningitis tuberkulosa (TB) merupakan manifestasi TB yang paling berat pada anak. Saat ini dengan meningkatnya resistensi terhadap...

6 downloads 770 Views 557KB Size
Tinjauan Pustaka

Update Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Tuberkulosa Anak Fadhilah Elvina*, Yazid Dimyati, Johanes H. Saing, Fereza Amelia Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FKUSU) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan *Email : [email protected]

Abstrak Meningitis tuberkulosa (TB) merupakan manifestasi TB yang paling berat pada anak. Saat ini dengan meningkatnya resistensi terhadap M. tuberculosis, keterlambatan dalam pemberian obat anti TB serta meningkatnya jumlah pasien dengan HIV, morbiditas dan mortalitas pasien-pasien dengan tuberkulosis juga meningkat. Diagnosis dapat ditegakkan melaui klinis yaitu dengan mengenali gejala dan tanda yang khas serta laboratorium.Saat ini WHO sedang mengembangkan penggunaan Xpert, pemeriksaan lainnya adalah dengan menggunakan IGRA, NAATs, PCR, dan lain-lain. Tatalaksana dengan pemberian OAT, antiinflamasi, serta tatalaksana untuk komplikaasi seperti hidrosefalus. Kata kunci : meningitis tuberkulosa, diagnosis, tatalaksana

Abstract Tuberculous meningitis is the most devastating manifestation of pediatric tuberculosis (TB). Nowadays with the increase resistancy of M. tuberculosis, delay of antituberculosis administration and increase of HIV patient, morbidity and mortality of patient with tuberculosis are also increased. Tuberculous meningitis is diagnosed by clinical or laboratory findings. Recently, WHO develop Xpert as diagnostic tools, IGRA, NAATs, PCR, and any other tools help to diagnosed TB. Management with antituberculous drugs, antiinflammation and management of complication such as hydrocephalus. Keyword : tuberculous meningitis, diagnosis, management

Pendahuluan Meningitis tuberkulosa (TB) merupakan manifestasi TB yang paling berat dan sering dijumpai pada anak. Penyakit ini sering luput dan diabaikan karena gejala awalnya yang tidak spesifik dan kesulitan 1,2 dalam penegakan diagnosis. Saat ini dengan meningkatnya resistensi terhadap M. tuberculosis, keterlambatan dalam pemberian obat anti TB dan meningkatnya jumlah pasien dengan HIV, morbiditas dan mortalitas pasien-pasien dengan tuberkulosis juga 3,4 meningkat. Hal ini merupakan tantangan tersendiri mengingat tatalaksana yang harus dilakukan adalah mengatasi infeksi dan komplikasi pada kedua penyakit .5 tersebut Berdasarkan laporan WHO tahun 2016, insidensi TB di Indonesia adalah 1 020 000 kasus (395 per 100 000 orang), disertai HIV sekitar 78 000 orang (insidensi 30 per 100 000 orang) dan kasus resisten TB 32 000 6 orang (insidensi 12 per 100 000 orang). Pasien-pasien

TB yang tidak diobati 1% hingga 2% akan berkembang 7 menjadi meningitis TB. Meningitis TB merupakan salah satu TB ekstrapulmoner terbanyak dengan keterlibatan SSP. Puncak insidensinya adalah pada anak usia 2 8 sampai dengan 4 tahun. Gejala dan tanda Meningitis tuberkulosa biasanya diawali dengan gejala yang tidak jelas ditandai dengan anak terlihat sakit, iritabilitas dan apatis (stadium I). Pada anak yang lebih kecil, demam, batuk dan penurunan kesadaran, fontanel anterior yang membonjol, dan kejang umum tonik-klonik adalah gejala yang sering ditemukan. Pada anak yang lebih besar, demam yang tidak terlalu tinggi, mual, muntah, sakit kepala, sakit yang menyerupai flu sering muncul, sehingga riwayat kontak serumah dengan penderita TB aktif dan persistensi dari keluhan 7,8, merupakan petunjuk yang sangat penting.

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 50 • No. 3 • September 2017

I161

Fadhilah Elvina,dkk

Kaku kuduk bukan merupakan gejala yang paling menonjol. Pada stadium II, gangguan saraf unilateral atau bilateral terjadi akibat meningitis basiler, serta perubahan neurooptalmologi. Saat penyakit berkembang ke stadium III, pada pasien terjadi penurunan kesadaran, kejang, papiledema, dan defisit neurologis yang luas. lebih sering dijumpai pada kasus meningitis TB, hal ini dikarenakan meningitis TB menghasilkan eksudat basal yang banyak, sehingga mempengaruhi struktur ganglia basal, batang otak dan saraf kranialis menyebabkan defisit neurologis fokal, rigiditas ekstrapiramidal dan gangguan pergerakan, postur desere7,9,10 brasi dan neuritis optik Diagnosis Penegakan diagnosis cukup sulit karena gejala dan tanda awal dari meningitis TB yang tidak spesifik serta jumlah basil yang sedikit di cairan serebro spinal (CSS) akan mengurangi sensitivitas dari pemeriksaan bakteriologis yang konvensional, sehingga cara lain untuk dapat menegakkan diagnosis dini adalah dengan respon klinis yang baik terhadap obat anti tuber11 kulosis. Penelitian kohort retrospektif dengan jumlah yang cukup besar di Afrika Selatan melaporkan bahwa tes tuberculin menunjukkan sensitivitas sebesar 61% pada anak dengan meningitis TB, dan sensitivitasnya menurun 34% jika dijumpai koinfeksi HIV karena 8 tingginya nilai negatif palsu. Diagnosis pasti dari meningitis TB adalah ditemukannya pertumbuhan bakteri M.tuberculosis pada medium padat Lowenstein-Jansen dan atau ditemukannya bakteri pada CSS dengan pewarnaan Erlich 9,10 -Ziehl- Nielsen. Pada sebuah penelitian di Italia tahun 2015 didapatkan hasil kultur yang positif hanya 13 persen dari seluruh pasien yang didiagnosa dengan 12,13 meningitis TB. Cara penegakan diagnosis yang lain seperti Interferon Gamma Release Assays (IGRAs), Nucleic Acid Amplification Test (NAATs), Polymerase Chain Reaction (PCR), Adenosin Deaminase (ADA) dan pengukuran Tuberculostearic Acid. Pada sebuah meta analisis mengenai IGRA tahun 2011 dilaporkan bahwa tidak ada nilai diagnostik IGRA dalam mendiagnosis TB aktif. Pemeriksaan IGRA untuk CSS menunjukkan sensitivitas 59%-84% dan spesifisitas 73%-89%. Diperlukannya CSS dalam jumlah yang cukup banyak membuat pemeriksaan IGRA sangat terbatas pada anak karena volume CSS yang lebih sedikit dibandingkan dewasa. Sebuah systematic review pada tahun 2003 mengevaluasi akurasi dari NAATs dan menunjukkan hasil sensitivitas 56% dan spesifisitas 99%, dan menyimpulkan bahwa hasil yang negatif tidak mengeksklusikan diagnosis meningitis TB. World Health Organization telah mensponsori penggunaan Xpert untuk apusan mikroskopis yang positif maupun spesimen sputum yang negatif. Penggunaan Xpert untuk spesimen CSS menjanjikan sensitivitas 59-84% dan 8, 12,14 spesifisitas 73 -89%. Studi di Meksiko tahun 2016 melaporkan pemeriksaan dengan PCR yang memberikan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 15 30%. Tahun 2016 WHO telah merekomendasikan empat tes diagnostik yang baru yaitu: Loop-mediated isothermal amplification test for Tuberculosis (TB-LAMP), dua jenis line probe assay (LPAs) untuk mendeteksi resistensi terhadap INH dan rifampisin, dan satu jenis LPA lainnya untuk deteksi resistensi terhadap OAT lini

162I The Journal of Medical School, Universitas Sumatera Utara

kedua. Saat ini penggunaan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) juga sudah diperkenalkan, yaitu dengan melakukan studi metabolomics terhadap cairan serebrospinal pasien, untuk membedakan meningitis 16 karena bakteri atau virus. Tabel 1. Analisa CSS pada infeksi SSP Parameter

Jumlah sel Tipe sel

7

Organisme Virus

Bakteri

Mycobacterium

Jamur

n-↑↑

↑-↑↑

↑-↑↑

n-↑↑

Limfosit

PMN

Limfosit

Campuran

n-↑

↑-↑↑↑

n-↑↑

n-↑↑

Kadar protein

Kadar glukosa n-↓ ↓-↓↓↓ n-↓ n-↓ Jumlah sel :n<5; ↑:10-100/mm3 ; ↑↑:100-1000/mm3 ; ↑↑↑:>1000/mm3 Kadar protein:n<50mg/dL; ↑:50-100mg/dL;↑↑:100-500mg/dL;↑↑↑: > 500mg/dL Kadar glukosa (rasio CSS/serum): n:>0,6; ↓:<0,4; ↓↓↓:0 PMN = Polimorfonuklear

Sekitar 60% anak dengan meningitis TB menunjukkan gambaran TB paru. Foto toraks yang abnormal, umumnya menunjukkan gambaran limfadenopati dan infiltrat namun dapat juga 7,8,15,17 normal. Hasil CT scan kepala dan MRI khususnya pada daerah basal otak, menunjukkan gambaran 5 penyengatan pada basal meningeal dan hidrosefalus. Infark paling sering dijumpai pada daerah ganglia basalis sementara tuberkuloma dijumpai pada 74% kasus ditandai dengan gambaran space occupying lesion, sakit kepala, kejang, dan gejala neurologis fokal 2,18 lainnya. Pemeriksaan dengan MRI kepala lebih sensitif di bandingkan CT scan, khususnya untuk melihat lesi-lesi yang melibatkan batang otak dan 3,15 selaput otak. Penelitian di Afrika Selatan tahun 2014 melaporkan bahwa penggunaan Transcranial Doppler Imaging (TCDI) dapat digunakan sebagai perangkat untuk melihat peningkatan tekanan intrakranial dan vaskulopati serebral. Pemeriksaan ini aman, portable, noninvasif, tidak mahal dan dapat digunakan sebagai 19 monitoring serial. Gambar 1. CT scan yang menunjukkan gambaran tuberkuloma (A) dan gambaran hidro-sefalus, basal 8,19 meningeal enhancement dan infark (B) Tatalaksana

Pemeriksaan ensefalografi udara dapat dilakukan untuk melihat level obstruksi dari CSS, dilakukan untuk melihat jenis hidrosefalus yang terjadi. Gambaran udara pada cisterna basalis dan ventrikel lateralis menunjukkan terjadinya obstruksi aliran CSS pada cisterna basalis yang mengindikasikan terjadinya hidrosefalus komunikans. Sedangkan jika udara hanya terlihat pada

Update Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Tuberkulosa Anak

cisterna basalis maka hal ini mengindikasikan terjadinya hidrosefalus non-komunikans karena terjadi obstruksi 8 pada ventrikel IV. Tatalaksana cairan Hiponatremia terjadi pada 855 anak dengan meningitis TB, merupakan sekunder dari Syndrome Inappropriate Diuretic Hormone (SIADH) dan Cerebral Salt Wasting (CSW). Restriksi cairan biasanya direkomendasikan untuk mengurangi edema otak, namun tidakada bukti klinis tang merekomendasikan restriksi cairan penting dilakukan pada anak dengan meningitis 2 karena dapat menyebabkan hipovolemi. Terapi antimikroba World Health Organization merekomendasikan terapi selama 12 bulan (2 bulan dengan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, ethambutol (2RHZE) dan 10 bulan berikutnya dengan rifampisin dan isoniazid (10RH)) untuk anak yang disangkakan atau tegak 14 diagnosa meningitis TB. Terdapat sedikit perubahan pada rekomendasi WHO tahun 2016, yaitu adanya 1 perubahan pada rentang dosis dari isoniazid. Tabel 2. Rekomendasi WHO tahun 2016 untuk 1 pengobatan lini pertama TB anak OAT

Dosis

Rentang dosis

Isoniazid (H)

10 mg/kg

7-15 mg/kg

Rifampisin (R)

15mg/kg

10-20 mg/kg

Pirazinamid (Z)

35 mg/kg

30-40 mg/kg

Ethambutol (E)

20 mg/kg

15-25 mg/kg

Rekomendasi OAT lini kedua dapat berupa kanamisin, amikasin, kapreomisin, ofloksasin, levofloksasin, moksifloksasin, etionamid, sikloserin/terizidon, asam para-aminosalisilat, klopazimin, linezolid, tiasetazon, Isoniazid dosis tinggi, klaritromisin, amoksisilinasam klavulanat, meropenem-asam klavulanat, imipenem/cilastin. Resistensi terhadap OAT yang disebut dengan Multidrug-resistant TB (MDR-TB) didefinisikan sebagai resistensi M. tuberculosis terhadap rifampisin dan isoniazid. Sementara extensively-drug resistant TB (XDRTB) didefinisikan sebagai MDR-TB dengan resistensi terhadap salah satu golongan fluorokuinolon dan salah satu obat injeksi lini kedua(amikasin, kanamisin, 8 kapreomisin). Ada Sembilan jenis obat baru yang sedang dikembangkan oleh WHO untuk tatalaksana TB yang sensitif dengan lini pertama, TB resisten dan infeksi TB laten, yaitu bedaquilline, delamanid, linezolid, PBTZ169, pretomanid, Q203, rifampisin dosis tinggi, rifentine dan sutezolide. Serta sedang dilakukan clinical trial untuk 13 vaksin baru untuk mencegah infeksi TB dan mencegah 1 manifestasi penyakit pada kasus infeksi TB laten. Tatalaksana hidrosefalus TB Tatalaksana hidrosefalus TB tergantung tingkatan obstruksi CSS. Hidrosefalus komunikans dapat diterapi dengan asetazolamid 50mg/kg berat badan dan furosemid 1 mg/kg berat badan dibagi 3 dosis selama 4 minggu. Kombinasi obat ini menurunkan produksi CSS dengan memblok carbonic anhydrase dan mengurangi tekanan intrakranial dengan mengurangi produksi CSS.

Penelitian di Afrika Selatan melaporkan pemberian obat ini dapat menurunkan tekanan intrakranial dalam 8 beberapa hari pada 90% anak. Terapi anti inflamasi tambahan Systematic review tahun 2008 melaporkan bahwa kortikosteroid mengurangi risiko kematian dengan (relative risk=0.78, 95% CI:0.67-0.91) atau menyebabkan defisit neurologis (relative risk=0.82, 95% CI:0.70-0.97) pada pasien tanpa infeksi HIV. Keuntungan penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan infeksi HIV belum jelas. Yang biasa digunakan adalah prednison 2 mg/kg berat badan (maksimum 60 mg/hari) selama 1 bulan kemudian di 8 tappering off selama 2 minggu. Aspirin sebagai antitrombotik, anti iskemik, dan anti inflamasi dilaporkan pada dua studi. Studi pada pasien dewasa melaporkan berkurangnya angka mortalitas (p=0.02), kontras dengan penelitian pada anak yang tidak menunjukkan perbaikan angka mortalitas (hemiparesis dan luaran perkembangan) atau mortalitas 31,32 pada usia 6 bulan. Komplikasi Angka kematian pada meningitis tuberkulosa adalah 10 sampai 20 persen. Gejala sisa terutama muncul dan paling sering terjadi pada stadium tiga. Gangguan visual dan pendengaran sering terjadi, demikian juga hemiparesis, retardasi mental dan kejang. Keterlibatan hipotalamus dan sisterna basal menyebabkan endokrinopati, seperti diabetes insipidus, 7 gangguan pertumbuhan, seksual prekoks dan obesitas. Gejala sisa jangka panjang yang dapat terjadi berupa 23 epilepsi, gangguan belajar dan gangguan tingkah laku. Sekitar sepertiga dari semua anak dengan meningitis TB yang berat akan mengalami stroke. Sebagian besar stroke ini terjadi karena lokasi infark di wilayah middle cerebral artery (MCA), yang sering disebut dengan “zona TB” yang meliputi kaudatus, talamus anterior, dan 2 anterior kapsula interna. Hidrosefalus Hidrosefalus terjadi pada lebih dari 80 persen pasien dengan meningitis TB, 70% merupakan hidrosefalus komunikans, terjadi jika eksudat yang mengisi cistern basalis menyebabkan obstruksi aliran CSS di tingkat tentorium. Pada 20% kasus, obstruksi aliran CSS terjadi jika eksudat tertahan pada aliran keluar dari foramina ventrikel ke empat menyebabkan hidrosefalus non-komunikans. Penyebab lainnya yang jarang terjadi adalah obstruksi pada foramen Monro atau aquaduktus karena tuberkuloma yang menyebabkan terjadinya hidrosefalus non-komunikans dengan komplikasi peningkatan tekanan intrakranial 8 yang sering terjadi. Penyakit serebrovaskular Stroke merupakan yang paling sering terjadi, dan merupakan komplikasi yang paling berat dari meningitis TB. Kelainan pembuluh darah yang terjadi disebabkan oleh kontak dengan eksudat inflamasi. Segmen terminal dari arteri carotis interna dan proksimal dari arteri serebral anterior merupakan bagian yang paling sering 8 terlibat. Tuberculosis-Immune Reconstitution Imflammatory Syndrome (TB-IRIS) Manifestasi TB-IRIS merupakan kondisi yang mnegancam nyawa dan harus dipertimbangkan saat gejala dan tanda neurologis yang baru segera muncul setelah pemberian antiretroviral therapy (ART). Dua hal mungkin terjadi: “unmasking” IRIS, jika gejala subklinis,

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 50 • No. 3 • September 2017

I163

Fadhilah Elvina,dkk

infeksi TB yang sebelumnya tidak diketahui, menunjukkan gejala setelah pemberian ART, dan “paradoxical” IRIS. Jika gejala TB yang baru muncul atau memburuk saat diberi ART kombinasi, biasanya terjadi setelah 3 mnggu pemberian ART. Gejala neurologis berupa kaku kuduk, TB mass lesion, radikulomyelitis, hidrosefalus, gangguan penglihatan dan kejang. Pemberian ART segera tidak berhubungan dengan peningkatan risiko IRIS. Kortikosteroid merupakan terapi pilihan TB-IRIS, obat lain yang dapat digunakan adalah talidomid, klorokuin, myco8 fenolate mofetil dan cyclosporine. TB mass lesions Tuberkuloma intakranial sering tidak terduga, terutama jika tidak dijumpai gejala TB. Manifestasi tuberkuloma berupa tanda neurologis fokal dan peningkatan tekanan intrakranial karena obstruksi dari aliran CSS. TB mass lesions ( tuberkuloma atau abses yang besar) terjadi karena pengobatan dengan OAT yang tidak adekuat. Manifestasi klinis tergantung pada ukuran dan lokasi dari lesi, termasuk juga gejala neurologis fokal, ataksia, paraplegia spastik dan peningkatan tekanan intrakranial karena obstruksi aliran CSS. Sebagian besar tuberkuloma akan hilang seiring dengan pemberian obat anti tuberkulosis dan kortikosteroid. Kontras dengan pseudoabses TB yang tidak respon dengan terapi standar. Tindakan drainase dan eksisi harus dilakukan, namun lokasi lesi pada sisterna basal dan fasilitas bedah saraf yang tidak memadai menyebabkan tindakan pembedahan tidak dapat dilakukan. Sebuah penelitian di Afrika Selatan tahun 2015 melaporkan bahwa pseudoabses TB respon dengan pemberian talidomid, inhibitor tumor necrosis 8,25 factor (TNF)- α yang poten. Prognosis Studi terhadap 19 meta analisis dan systematic review tahun 2016 melaporkan mortalitas pada pasien meningitis tuberkulosa anak adalah 19.3% (interval kepercayaan (IK) 95% 14.0-26.1), kemungkinan selamat tanpa sekuele neurologis adalah 36.7% (IK 27.9-46.4), dan dengan risiko sekuele neurologis adalah 33 53.9% (IK 42.6-64.9). Kesimpulan Meningitis TB merupakan manifestasi TB ekstrapulmoner yang paling berat. Menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada sebagian besar kasus dengan tatalaksana yang tidak adekuat. Di era HIV dan resistensi OAT saat ini, sedang dikembangkan alat diagnostik, obat-obatan dan vaksin baru untuk mengatasi hal tersebut. Tatalaksana yang sesuai baik dengan obat-obatan maupun tindakan akan memberikan luaran yang baik dan menghindari terjadinya komplikasi. Daftar Pustaka 1. World Health Organization. Global tuberculosis report. 2016. Diunduh dari http://www.who.int /tb/publications/global report/en. Diakses 18 Januari 2017 2. Toorn RV. Childhood tuberculous meningitis: challenging management strategies. Dissertation for a PhD degree in paediatrics and child health at Stellenbosch University. 2015.2-12

164I The Journal of Medical School, Universitas Sumatera Utara

3.

4.

5.

6. 7.

8.

9.

10.

11.

12. 13.

14.

15.

16.

17. 18.

19.

20.

21.

22.

Gu J, Xiao H, Wu F, Ge Y, Ma J, Sun W. Prognostic factors of tuberculous meningitis: a single center study. Int J Clin Exp Med. 2015; 8(3):4487-93 Toorn RV, Springer V, Laubscher JA, Schoeman JF. Value of different staging system for predicting neurological outcome in childhood tuberculous meningitis. Int J Tuberc Lung Dis. 2012.35-40 Torok ME. Tuberculous meningitis : advances in diagnosis and treatment. Brith Med Bull. 2015. 117127 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Info datin tuberculosis. Pusdatin Kemenkes RI. 2015;1-7 Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system in Swaiman’s pediatric neurology principles and practice. Elsevier. 2012;5:1241-56 Toorn RV, Solomons R. Update on the diagnosis and management of tuberculous meningitis in children. Semin Pediatr Neurol. 2014; 21:12-18 Dimyati Y, Tjandradjani A, Mangunatmadja I, Widodo DP, Pusponegoro HD. Outcomes of tuberculous meningitis in children: a case review study. Paediatr Indones. 2011;51:288-93 Principi N, Esposito S. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Tuberculosis j. 2012;377-383 Ducomble T, Tolksdorf K, Karagianis I, Hauer B, Brodhun B, Haas W, Fiebig L. The burden of extrapulmonary and meningitis tuberculosis: an investigation of national surveillance data, Germany, 2002 to 2009. Eurosurveilance. 2013.1-8 Kartasasmita CB, Epidemiologi tuberkulosis. Sari pediatri. 2009; 11:124-29 Borade PV, Haralkar SJ. Bennishirur WA, Mulje SM. Study of morbidity and mortality pattern of cases of meningitis admitted in tertiary healh care centre in India. Int J of Rec Trend and Tech. 2014;10:213-17 Nofareni. The relation of BCG vaccination and severe malnutrition with the occurence of tuberculous meningitis. Paediatr Indones.2004;44:12-16 Thwaites GE, Toorn RV, Schoeman J. Tuberculous meningitis: more questions, still too few answers. Lancet neurol. 2013;12:999-1010 Kumar R, Singh SN, Kohli N. A diagnostic rule for tuberculous meningitis. Arch Dis Child. 1999;81:221-4 Cherian A, Thomas SV. Central nervous system tuberculosis. Afr Health Sci. 2011;11:116-27 Tai MLS. Tuberculous meningitis: diagnostic and radiological features, pathogenesis and biomarkers. Neur Sci Med. 2013;4:101-7 Gunes A, Uluca U, Aktar F, Konca C, Sen V, Ece A, Hosoglu S, et al. Clinical, radiological and laboratory findings in 185 children with tuberculous meningitis at a single centre and relationship with the stage of the disease. Italian J Ped. 2015;41:2-6 Pasco PM. Diagnostic features of tuberculous meningitis: a cross- sectional study. Biomed Res. 2012;5:2-6 Huang TY, Zhang XX, Wu QL, Peng WG, Zheng WL, Cai WM, et al. antibody detection tests for early diagnosis in tuberculous meningitis. 2016; 64-69 Saldana NG, Porras MH, Parra MM, Collin VAM, Arcentales JJA, Olguin HJ. Tuberculous meningitis: symptoms, diagnosis and evaluation experienced in 532 patients in pediatric hospital. 2016; 208-11.

Update Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Tuberkulosa Anak

23. Mason S, Reinecke CJ, Solomons R, Furth AMV. Tuberculous meningitis in infants and children: insight from nuclear magnetic resonance metabolomics. 2016; 1-8 24. Rie AV, Beyers N, Gie RP, Kunneke M, Zietsman L, Donald PR. Childhood tuberculosis in an urban population in South Africa: burden and risk factor. Arch Dis Child. 1999;80:433-7 25. Toorn RV, Plessis AM, Schaaf HS, Buys H, Hewlett RH, Schoeman CF. Clinicoradiological of neurologic tuberculous mass lesions in children treated with thalidomide. Pediatr Infect Dis J. 2015.34:214-8 26. Toorn RV, Rabie H, Dramowski A, Schoeman JF. Neurological manifestations of TB-IRIS: A report of 4 children. Euro Paed Neorul J. 2012.50-56 27. Toorn RV, Schaaf HS, Solomons R, Laubscher JA, Schoeman JF. The value of transcranial Doppler imaging in children with tuberculous meningitis. Childs Nerv Syst. 2014.66-71 28. Jan MM. Meningitis and encephalitis in infants and children. Saudi Med J. 2012;33:11-6 29. Prats AJG, Donald PR, Hesseling AC, Schaaf AS. Secondline antituberculosis drugs in children: A commissioned review for the World Health th Organization 19 expert committee on the selection and use of essential medicines. 2013; 1-34 30. Seddon JA, Furin JJ, Gale M, Barrientos HDC, Hurtado RM, Amanullah F. et al. Caring for children with drug-resistant tuberculosis. 2012; 953-964 31. Schoeman JF, Janse VRA, Laubscher JA. The role of aspirin in childhood tuberculous meningitis. J Child Neurol. 2011. 26: 956-62 32. Misra UK, Kalita J, Nair PP. Role of aspirin in tuberculous meningitis: a randomized open label placebo controlled trial. J Neurol Sci. 2010;293:1217 33. Dhawan SR, Gupta A, Singhi P, Sankhyan N, Malhi P, Khandelwal N. Predictors of neurological outcome of tuberculous meningitis in childhood: Aprospective cohort study from a developing country. J Child Neurol. 2016; 1622-1627

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 50 • No. 3 • September 2017

I165