VALUASI EKONOMI TEGAKAN POHON MANGROVE (SONERATIA ALBA) DI

Download Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU. 120. Valuasi Ekonomi Tegakan Pohon Mangrove (Soneratia alba) di Teluk Kendari, Kota. Kendari...

0 downloads 579 Views 516KB Size
Jurnal Mina Laut Indonesia

Vol. 02 No. 06 Jun 2013

(120– 127)

ISSN : 2303-3959

Valuasi Ekonomi Tegakan Pohon Mangrove (Soneratia alba) di Teluk Kendari, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara Economic Valuation of Mangrove Tree (Soneratia alba) in Kendari Bay, Southeast Sulawesi Province La Ode Wahidin*), Onu La Ola **) dan Sarini Yusuf***) Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan FPIK Universitas Haluoleo Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232 e-mail: *[email protected], **[email protected], *** [email protected].

Abstrak Kota Kendari terletak di teluk bagian dalam dimana terdapat hutan mangrove dengan kepadatan yang berbeda. Beberapa jenis mangrove yang hidup di dalam teluk ini adalah Avicenia sp., Rhizophora sp., Soneratia sp., Bruguiera sp., dan Xylocarpus sp. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui volume dan nilai tegakan pohon mangrove (Soneratia alba) di Kota Kendari. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode survei dimana menggunakan pengambilan sampel secara stratifikasi yaitu pohon mangrove (S. alba) dibedakan berdasarkan kelas umur yaitu berumur 10 dan 20 tahun. Selanjutnya pada setiap kelas umur tersebut dilakukan plotting dengan ukuran 20 x 20 m dengan menggunakan meteran rol. Kemudian, dalam setiap plot tersebut dilakukan pengukuran terhadap diameter batang, tinggi pohon bebas cabang dan jumlah pohon. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis penghitungan volume pohon dan penilaian lahan dengan menggunakan pendekatan pemanfaatan lahan (bare land value). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada plot mangrove yang berumur 10 tahun mempunyai volume sebesar 20,446 m3/hektar volume kayu dan untuk yang berumur 20 tahun terdapat 56,51 m3/hektar. Selanjunya untuk jumlah pohon terdapat perbedaan yang sangat signifikan yaitu pada mangrove (S. alba) yang berumur 10 tahun terdapat 1075 pohon, sedangkan pada umur 20 tahun hanya terdapat 250 pohon. Keseluruhan biaya produksi yang dikeluarkan untuk menghasilkan 1 hektar mangrove yang berumur 10 dan 20 tahun secara berturut-turut adalah Rp 50.785.596,-/hektar dan Rp 154.342.640,-/hektar. Sedangkan nilai ekonomi tegakan pohon mangrove (S. alba) dalam keadaan berdiri adalah sebesar Rp 2.483.889,-/m3 untuk yang berumur 10 tahun dan Rp 2.731.735,-/m3 yang berumur 20 tahun. Kata Kunci : valuasi ekonomi, pohon mangrove, biaya total, nilai tegakan, Teluk Kendari Abstract Kendari Town is located within Kendari Bay. It has mangrove forest which consists of different dencity. Some mangrove species consist of Avicenia sp., Rhizophora sp., Soneratia sp., Bruguiera sp., and Xylocarpus sp. The goal of this study was to know volume and economic valuation of mangrove trees (Soneratia alba) in Kendari Bay. The study was carried out on April to July, 2011. Research method used stratified sampling devided into two classes of age. Those were ten years old and twenty years. Every stage of age was ploted into 20 m x 20 m of roll meters and then measured diameter, no branch part and total of trees. The acquired data was analyzed through volume extrapolation adjures and land valuation using bare land value approach. Result of the research showed that on the 10 year old mangrove plot, there was 20,446 m3/ ha of volumes while for 20 year old was 56,51 m3/ ha. There was a sifnificant difference between 10 year old i.e 1075 trees and 20 years old i.e 250 tress of S. Alba. All production costs for 1 ha of S. alba were Rp 50.785.596,-/ha for 10 years old and Rp 154.342.640,-/ha for 20 years old. Stumpage value of S. alba in Kendari Bay was Rp 2.483.889,-/m3 and Rp 2.731.735,-/m3 for each stage of the age. Keywords: economic valuation, mangrove tree, total cost, stumpage value, Kendari Bay

Pendahuluan Hutan mangrove terletak di daerah perairan payau diantara daratan dan laut di daerah tropis dan sub-tropis. Mangrove juga Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

merupakan suatu habitat kecil yang selalu berdaun hijau (Ponnambalam, dkk., 2012). Mangrove secara ekologis penting bagi sistemsistem daerah basah pesisir pantai. Di daerah tropis, mangrove khususnya kaya flora dan 120

fauna (Sathirathai dan Barbier, 2001). Ekosistem hutan yang kaya ini menyediakan berbagai produk dan jasa baik ekonomi maupun lingkungan. Selanjutnya, nilai-nilai langsungnya, mangrove juga mendukung ekosistem-ekosistem yang lain seperti perikanan pantai, yang kemudian secara tidak langsung memberikan keberlanjutan terhadap berbagai aktivitas ekonomi dan social (Spaninks and van Beukering, 1997). Selajutnya juga, hutan mangrove menyediakan banyak jasa-jasa ekosistem seperti pencegahan pesisir dari hempasan badai, mencegah garis pantai dan bibir sungai dari erosi, menstabilkan sedimen dan menyerap bahan-bahan polusi (IUCN, 2007). Hutan mangrove sebagai bagian dari ekosistem pesisir dan laut memegang peranan penting menjamin keberlanjutan biodiversitas hewan dan tumbuhan yang terdapat didalamnya sebagai penyusun sumber daya pesisir. Menurut Gunarto (2004) mengungkapkan bahwa tiap lokasi mangrove mempunyai keanekaragaman vegetasi yang berbeda, bergantung pada umur mangrove tersebut. Selanjutnya hutan ini merupakan hutan pesisir yang terdiri atas berbagai spesies tumbuhan tingkat tinggi yang mampu bertahan pada kondisi salinitas yang tinggi dan kurang sumber air tawar. Secara ekologis hutan ini berfungsi untuk melindungi pantai dari hempasan gelombang pasang. Selain itu, hutan ini juga berfungsi sebagai tempat untuk memijah (spawning ground), sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis hewan yang hidup pada badan air maupun hewan yang hidup di atas badan air (Rusilah, dkk., 2006). Besarnya manfaat yang ada pada ekosistem hutan mangrove, memberikan konsekuensi bagi ekosistem hutan mangrove itu sendiri, yaitu dengan semakin tingginya tingkat eksploitasi terhadap lingkungan yang tidak jarang berakhir pada degradasi lingkungan yang cukup parah Sebagai contoh adalah berkurangnya luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari ulah manusia yang kurang paham akan pentingnya kelestarian ekosistem hutan mangrove di kemudian hari. Masyarakat hanya menilai hutan mangrove dari segi ekonominya saja, tanpa memperhatikan manfaat-manfaat fisik dan juga biologi yang ditimbulkan (Benu Olfie, dkk., 2011). Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

Pola pengelolaan sumberdaya mangrove akan menjaga fungsi ekologi kawasan mangrove tetap stabil dengan kawasan mangrove tetap optimal dalam memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan serta tetap dapat menjalankan fungsi ekologisnya dengan baik. Salah satu alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang dapat diterapkan adalah konsep Community based management dan Sustainable management (Qodrina, L., Hamidy, R., dan Zulkarnaini., 2012) Teluk Kendari merupakan salah satu teluk yang terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara. Teluk ini terdapat di dalam administrasi Kota Kendari. Teluk ini terbagi atas dua bagian yaitu teluk bagian luar dan teluk bagian dalam. Hutan mangrove hidup pada kedua bagian teluk ini. Hutan mangrove ini tersusun atas beberapa jenis yang tumbuh tersebar pada daerah berlumpur dan pada dua estuari besar yaitu Sungai Wanggu dan Sungai Mandonga. Berbagai jenis mangrove dengan tingkat kerapatan berbeda-beda tumbuh diantara tumpukan sampah baik sampah plastik maupun tumpahan minyak dan sebagainya, yang berasal dari pemukiman dan aktivitas manusia di daratan. Olehnya itu kiranya dilakukan penelitian secara terpadu guna mendapatkan gambaran secara spesifik dari sumberdaya mangrove, hal tersebut disampaikan oleh Bradley B.W. et al., (2008) bahwa studi-studi lokasi spesifik seharusnya secara terintegrasi penelitiannya sehingga secara eksplisit dapat dipahami berbagai tekanan manusia terhadap sumberdaya mangrove tersebut baik secara tidak langsung, namun juga yang lebih luas lagi. Pellegrini, J. A.C., dkk., (2009) mengungkapkan khususnya yang berkaitan degnan penduduk lokal yang secara tradisional memanfaatkan sumberdaya mangrove ini, maka ekosistem-ekosistem tersebut juga seharusnya dapat dijaga dengan menggunakan mekanisme khusus. Hutan mangrove yang terdapat di Kota Kendari tersusun atas 5 jenis yaitu Avicenia sp., Rhizophora sp., Soneratia sp., Bruguiera sp., dan Xylocarpus sp., (Witjaksono, dkk., 2002). Dari beberapa jenis mangrove yang hidup di Teluk Kendari tersebut, terdapat jenis Soneratia alba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar volume tegakan pohon S. alba di Teluk Kendari dan nilai ekonomi tegakan pohon S. alba tersebut.

121

Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai dari bulan April-Juli 2011 di kawasan hutan mangrove Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Variabel dalam penelitian ini adalah volume tegakan mangrove S. alba dan nilai biaya produksi yang terdiri atas biaya penanaman dan tenaga kerja mangrove serta biaya pemeliharaannya. Data dalam penelitian ini terdiri atas dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan yang terdiri dari luas bidang dasar pohon, jumlah pohon dan tinggi pohon pada wilayah plotting. Selain itu, tingkatan umur dan harga kayu mangrove yang berlaku di masyarakat juga menjadi data primer. Selanjutnya, data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen laporan kegiatan inventarisasi hutan mangrove Teluk Kendari yang diperoleh dari instansi terkait. Kajian valuasi ekonomi sumber daya mangrove mempunyai cakupan yang sangat luas dan tergantung dari sudut pandang mana yang akan dikaji serta seberapa besar ruang cakupan yang dikaji. Para ahli ekonomi secara umum membagi nilai ekonomi total mangrove ke dalam nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tak langsung dan nilai bukan penggunaan (Marwa dan Evan, 2012). Valuasi ekonomi mangrove sendiri terdiri atas nilai penggunaan dan nilai yang tidak digunakan. Nilai penggunaan terdiri atas nilai penggunaan langsung dan nilai tak langsung. Nilai penggunaan langsung mangrove sendiri berdasarkan pada penggunaan local yang dapat diduga dari pendapatan bersih yang dihasilkan oleh masyarakat lokal yang diperoleh dari mangrove dari sudut pandang hasil hutan, kayu bakar, dan kayu yang lain serta hasil-hasil hewan seperti burung dan kepiting yang dikumpulkan secara langsung dari daerah mangrove. Bila produk-produk tersebut dijual, maka harga-harga pasar yang digunakan dikalikan dengan pendapatan kotor yang diperoleh. Meskipun, hasil-hasil tersebut digunakan hanya sebagai tujuan mata pencaharian sehari-hari, pendapatan kotor tersebut diestimasi sebagai harga-harga pengganti untuk dua jenis pendekatan yang mungkin digunakan. Pertama adalah menggunakan harga-harga pasar untuk mengganti nilai hasil-hasil mangrove tersebut. Sedangkan pendekatan yang kedua adalah Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

menggunakan biaya peluang waktu yang dihabiskan dalam mengumpulkan biaya hasilhasil mangrove tersebut (Sathirathai, 2003). Luasnya kajian di atas, penelitian ini merujuk pada pemanfaatan langsung mangrove tetapi dilihat dari pendekatan produksi yakni penyusunan biaya-biaya produksi. Dengan demikian, sumberdaya mangrove jenis S. alba dikaji biaya-biaya penyusun sumber daya ini mulai dari saat penanaman hingga mencapai umur tertentu dan volume tegakan S. alba tersebut. Kalaupun ada materi-materi yang berkaitan dengan mangrove sebagai sumber daya, maka itu merupakan pengkayaan kajian terhadap sumber daya ini. A. Teknik Pengambilan Data 1. Kubikasi Pohon S. alba Teknik penentuan kubikasi pohon S. alba dilakukan dengan menggunakan langkahlangkah sebagai berikut. a. Menempatkan transek berbentuk persegi dengan ukuran 20 x 20 m pada setiap tingkan umur dari komunitas pohon S. alba yang terdapat di lokasi penelitian tersebut. b. Mengukur diameter batang, tinggi pohon dan jumlah pohon S. alba yang terdapat dalam transek tersebut. c. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kubikasi seperti yang dikemukakan oleh Ali Suhardiman, dkk., (2002). 2. Wawancara Teknik wawancara dengan masyarakat lokal terkait keberadaan S. alba digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan penentuan umur S. alba yang terdapat di lokasi penelitian. Selanjutnya juga teknik ini dipakai untuk mencari informasi yang berkaitan dengan harga kayu mangrove yang dijadikan sebagai kayu bakar di pasaran. B. Analisis Data 1. Biaya Penyusun Tegakan Pohon S. Alba Biaya penyusun tegakan pohon mangrove merupakan biaya yang dikeluarkan sejak tanaman S. alba ditanam sampai pada tanaman tersebut siap dipanen. Biaya ini dinamakan dengan istilah harga pokok penjualan (HPP). Perumusan penyusunan biaya pokok tersebut adalah sebagai berikut. TC = FC + VC Dimana: TC = Total Cost atau biaya total; FC = fixed cost atau biaya tetap; 122

VC = variabel cost atau biaya variabel. 2. Nilai Ekonomi Tegakan S. alba Penentuan nilai ekonomi dari tegakan pohon S. alba merupakan akumulasi dari biaya total produksi (TC) dibagi dengan produktivitas yang diperoleh. Produktivitas yang dimaksudkan disini adalah jumlah volume kayu yang diperoleh dalam satu hektar mangrove (S. alba) dalam kurun waktu tertentu. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Bare Land Value Times (BLVT), artinya nilai lahan dalam keadaan kosong. 𝑆𝑦𝑡 − 𝑅 (1 + 𝑖)𝑡 𝑇 𝐵𝐿𝑉𝑇 = − 1+𝑖 − 1 𝑖 dimana : BLVT = Bare Land Value Time atau nilai lahan dalam keadaan kosong; Syt = Nilai Tegakan; R = Biaya penanaman + Pemeliharaan; T = Pajak Per tahun; I = Tingkat Bunga Bebas Inflasi; T = Umur Tegakan Pada Saat ditebang. Sumber : Onu, 1999.

Rumus pendekatan di atas diperoleh jikalau pohon atau potensi sumber daya mangrove tersebut telah berproduksi artinya telah mendapat pasar dan dijual dengan harga tertentu. Sedangkan untuk menentukan nilai tegakan pohon mangrove (NT) merupakan perkalian antara harga pokok penjualan (HPP) dan jumlah quantitas produksi yang diperoleh dalam luasan mangrove tertentu (Q) yang dijabarkan dalam persamaan berikut ini. 𝑁𝑇 = 𝐻𝑃𝑃 𝑥 𝑄 dimana : NT = Nilai Tegakan (Rp/hektar); HPP = Harga Pokok Penjualan (Rp/m3); Q = Quantity (m3). Penentuan seberapa besar harga jual (HPP) tegakan S. alba merupakan perbandingan antara biaya total (TC) dan produktivitas (Q) dari luasan S. alba tertentu. Bentuk persamaanya dijabarkan sebagai berikut. 𝑇𝐶 𝐻𝑃𝑃 = 𝑄 dimana: TC = Total Cost (Rp); Q = Quantity (m3). Kuantitas produksi (Q) merupakan volume mangrove (V) yang diperoleh pada Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

luasan tertentu yang didapat dengan menggunakan persamaan menurut Suhardiman, dkk., (2002) bahwa pengukuran kubikasi pohon berdiri dengan menggunakan rumus: V = 1/4 x π x d2 x h x 0,7 Dimana : V = Kubik kayu yang dihitung (volume); Π = 3,14; D = Diameter tengah batang kayu (cm); H = Tinggi pohon dalam (m); 0,7 = angka penyesuaian bentuk pohon karena berbeda pangkal dan ujung. (Suhardiman, dkk., 2002).

Hasil dan Pembahasan A. Gambaran Umum Lokasi Lokasi penelitian ini bertempat pada dua plot komunitas S. alba yang berumur berbeda. Secara astronomis, kedua plot S. alba tersebut adalah 3058’15 03” S – 122031’46 53” E dan 3058’26 17 “ S – 122031’52 16” E. Kedua plot ini berada di Teluk Kendari bagian dalam, dimana pada plot yang berumur 10 tahun tepat berada di belakang Pertamina Tapal Kuda Kendari, sedangkan plot yang berumur 20 tahun berada didepan Hotel Kubra Kendari. Selanjutnya, secara umum kondisi hutan mangrove termasuk pohon S. alba di Teluk Kendari menurut Witjaksono, et al., (2002) bahwa dari overlay diperoleh luasan areal inventarisasi vegetasi mangrove di Teluk Kendari yaitu seluas 67,51 ha. Luasan tersebut tersebar sepanjang garis Teluk Kendari dengan ketebalan yang bervariasi dari garis pantai yang berbatasan langsung dengan penggunaan lahan lainnya. Secara umum kondisi S. alba di tempat penelitian terjadi perbedaan yang mendasar antara plot mangrove yang berumur 10 tahun dan plot mangrove yang berumur 20 tahun. Pada komunitas S. alba yang berumur 10 tahun merupakan tegakan pohon muda yang tingkat kepadatannya cukup rapat dan tersebar dengan merata. Sedangkan di plot yang berumur 20 tahun merupakan kumpulan pohon S. alba yang agak tua dan kelihatannya tingkat kepadatannya jarang. Selanjutnya, plot yang berumur 20 tahun juga terdapat beberapa pohon S. alba yang telah mati akibat sudah terlalu tua atau faktor lain. Pada kedua plot tersebut, S. alba pada perairan yang berlumpur dan mempunyai sistem perakaran yang baik. Seperti pada sifat alaminya, S. alba yang hidup 123

pada tempat penelitian ini juga mempunyai akar napas yang rapat dan tajam. B. Kajian Potensi S. alba 1. Kajian Potensi S. alba pada Tegakan Berumur 10 Tahun Data hasil pengukuran tinggi pohon bebas cabang, diameter batang dan volume pohon dan jumlah pohon S. alba pada plot yang berumur 10 tahun dengan ukuran plot 20 x 20 m, maka diperoleh dengan luas lahan adalah 400 m2 terdapat 0,818 m3 kayu S. alba sehingga untuk mendapatkan jumlah produksi kayu dalam ukuran satu hektar, maka nilai tersebut dikalikan dengan 25. Alasan dikalikan 25 karena dalam satu hektar terdapat 25 plot ukuran 20 x 20 m. Berdasarkan pada hasil perkalian tersebut diperoleh 20,446 m3/ha. Kemudian pada plot yang seluas 400 m2 ini terdapat 43 pohon mangrove jenis S. alba dan oleh karena itu, untuk luasan satu hektar maka setidaknya terdapat ± 1075 pohon. 2. Kajian Potensi S. alba pada Tegakan Berumur 20 Tahun Sama halnya dengan plot S. alba yang berumur 10 tahun, dimana ukuran lahan yang diambil adalah hanya seluas 400 m2 yaitu terdapat 2,260 m3 kayu mangrove (S. alba) sehingga untuk mendapatkan jumlah produksi kayu mangrove dalam ukuran satu hektar, maka nilai tersebut dikalikan dengan 25. Hasil dari perkalian tersebut diperoleh 56,51 m3/ha. Jadi dalam 1 ha mangrove (S. alba) diperoleh potensi kayu sebesar 56,51 m3. C. Kajian Nilai Ekonomi Tegakan Pohon S. alba di Teluk Kendari Penentuan besarnya biaya total penyusun tegakan pohon S. alba tidak terlepas dari biaya-biaya penyusun dari sumber daya ini dari awal investasi sampai panen. Kajian tentang nilai ekonomi tegakan pohon S. alba ini dibatasi sampai pada penentuan harga pokok penjualan. Harga pokok penjualan yang dimaksud disini merupakan biaya produksi penyusun dari awal penanaman sampai pada pohon tersebut siap dipanen. Oleh karena itu, semua biaya yang tercakup dalam biaya produksi (biaya tetap dan biaya variabel) tersebut harus diperhitungkan, maka biayabiaya yang termasuk dalam biaya produksi ini terdiri atas biaya peralatan dan bahan dalam kegiatan penanaman, biaya tenaga kerja dan biaya pemeliharaan selama kurun waktu tertentu dalam hal ini sampai mangrove Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

tersebut siap dipanen. Dalam penelitian ini kajian S. alba difokuskan pada dua tingkat umur yang berbeda yaitu 10 dan 20 tahun, maka biaya pemeliharaan dihitung sampai pada umur pohon tersebut. Biaya alat dan bahan yang diperlukan selama proses penanaman S. alba berdasarkan pada apa yang dilakukan oleh Saparinto (2007) yang mengkaji biaya penanaman mangrove jenis Rhizophora sp. Biaya alat dan bahan yang digunakan selama proses penanaman mangrove diatas merupakan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penanaman seluas satu hektar mangrove (S. alba) dengan jarak penanaman 2 x 2 m sehingga membutuhkan bibit sebanyak 2.500 bibit dan bambu ajir yang sama, sehingga biaya alat dan bahan yang dibutuhkan dalam menanami lahan mangrove (S. alba) seluas 1 hektar adalah sebesar Rp 7.245.000, selain biaya tersebut di atas, terdapat biaya tenaga kerja dimana secara keseluruhan biaya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk penanaman lahan mangrove (S. alba) secara langsung (direct planting) seluas satu hektar adalah Rp 10.200.000,-. Biaya pemeliharaan mangrove (S. alba) didasarkan pada acuan standar biaya pembuatan reboisasi/rehabilitasi hutan konservasi yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan untuk wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan yaitu berkisar Rp 1.663.000 –Rp 2.151.000/ha/tahun (DEPHUT, 2005 dalam Rianse dan Abdi, 2010). Nilai ketetapan di atas merupakan nilai kisaran, maka perlu kiranya kita menentukan seberapa besar nilainya yang dapat dijadikan acuan. Pada kajian dalam penelitian ini mengambil nilai tengah dari nilai kisaran ketetapan di atas yaitu sebesar Rp 1.900.000,-. Berdasarkan nilai tengah tersebut, maka kita dapat menentukan besarnya nilai rupiah yang terbentuk dalam biaya pemeliharaan mangrove (S. alba) selama 10 dan 20 tahun. Berdasarkan hasil analisis, besarnya nilai pemeliharaan hutan mangrove (S. alba) selama 10 tahun adalah sebesar Rp 33.342.596,- dan untuk biaya pemeliharaan mangrove (S. alba) selama 20 tahun adalah sebesar Rp 136.899.640,-. Berdasarkan nilai-nilai tersebut di atas, maka besarnya biaya total (Total Cost/ TC) mangrove (S. alba) merupakan gabungan dari biaya peralatan ditambahkan dengan biaya ongkos tenaga kerja dalam proses penanaman 124

serta biaya pemeliharaan selama kurun waktu 10 dan 20 tahun. Oleh karena itu, biaya total untuk mangrove (S. alba) yang berumur 10 tahun adalah sebesar Rp 50.785.596,- per hektar dan yang berumur 20 tahun adalah sebesar Rp154.342.640,- per hektar. Kemudian untuk HPP mangrove S. alba per meter kubiknya untuk yang berumur 10 tahun adalah sebesar Rp 2.483.889,-/m3 dan mangrove yang berumur 20 tahun adalah sebesar Rp 2.731.735,-/m3 . Selanjuntya nilai tegakan pohon mangrove merupakan perkalian antara harga pokok penjualan pohon mangrove dengan kuantitas produksi mangrove per hektar. Oleh karena itu, maka nilai tegakan mangrove S. alba yang berumur 10 tahun adalah sebesar Rp 50.785.596,- per hektar dan yang berumur 20 tahun adalah sebesar Rp154.342.640,- per hektar. Nilai-nilai tegakan ini tidak termasuk nilai keuntungan yang diperoleh. Bila ingin mendapatkan keuntungan, maka kiranya persentasi keuntungan (laba) yang diinginkan dimasukkan dalam harga pokok penjualan sehingga nilai yang terbentuk kemudian merupakan nilai rill. Selanjutnya, nilai ini mungkin saja lebih rendah karena merupakan bukan nilai yang seharusnya dibayar tetapi merupakan nilai perkiraan setelah dilakukan kuantifikasi. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Spaninks dan van Beukering (1997) yang menyarankan bahwa pendekatan kerusakan-kerusakan yang diperkirakan dihargai murah untuk fungsi-fungsi perlindungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat lokal yang memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar menunjukkan bahwa harga satu ikat kayu mangrove (bakau) adalah Rp 4.000,-. Rata-rata diameter dan panjang 1 ikat kayu mangrove yang dijual di pasar adalah masing-masing 30 cm dan 60 cm. Dalam mencapai 1 kubik kayu bakar dibutuhkan ± 20 ikat kayu mangrove. Oleh karena itu, maka nilai dalam satu kubik nilai ekonominya adalah seharga ± Rp 80.000,-. Kayu bakar merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi masyarakat yang mempunyai ekonomi lemah yang tidak mempunyai akses untuk membeli minyak tanah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Keadaan tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya dengan masyarakat pesisir yang mempunyai ekonomi lemah hidup berdampingan dengan hutan mangrove secara langsung ataupun tidak langsung Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

memanfaatkan hutan mangrove sebagai bahan bakar mereka. Menurut Chairil Anwar dan Hendra Gunawan (2007) mengungkapkan bahwa beberapa jenis mangrove seperti Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Perbandingan terhadap nilai penyusun sumber daya S. alba di atas jika dimanfaatkan sebagai kayu bakar mempunyai nilai jual yang sangat rendah, karena untuk mendapatkan satu kubik kayu mangrove memerlukan biaya seharga Rp 2.483.889,-/m3 sementara daya beli masyarakat terhadap sumberdaya ini dalam bentuk kayu bakar adalah seharga ± Rp 80.000,-/ m3. Selanjutnya, biaya-biaya yang terbentuk di atas merupakan nilai riil yang diperoleh berdasarkan pada hasil perhitungan dalam menentukan nilai pasar dari sumber daya mangrove tersebut. Pendekatan untuk memunculkan nilai rupiah dari sumber daya alam seperti yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan pendekatan kuantifikasi yang berfungsi dalam menentukan seberapa besar nilai ekonomi dari sumber daya alam yang kita miliki yang dapat dinilai oleh pasar. Pendekatan ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Parid dan Woon (2005) bahwa kuantifikasi nilai ekonomi dari sumber daya alam dapat menujukkan bagaimana barang dan jasa akhir-akhir ini dihargai oleh pasar. Itu dapat juga mengindikasikan apakah ada potensi untuk mengembangkan pasar baru, Pergantian harga-harga untuk penggunaan sumber daya alam atau untuk menangkap manfaat sumber daya alam tersebut yang kemudian dapat dikuantifikasi dalam bentuk nilai uang. Kemudian di sisi lain, harga dan ukuran pasar yang dapat menyediakan suatu permintaan kiranya dapat memberikan regulasi yang efektif untuk sumber daya tersebut dan menyediakan insentif terhadap manajemen yang dapat berkelanjutan. Selain itu, kurangnya pemahaman terhadap pendekatan lingkungan juga dapat menimbulkan penilaian rendah terhadap sumberdaya alam lebih rendah, hal ini menurut Ronnback (1999) bahwa penilaian rendah hasil-hasil alam dan jasa-jasa ekologis yang disediakan oleh ekosistem mangrove merupakan suatu masalah utama gaya tekanan dibelakang konversi dari 125

sistem ini ke dalam pengunaan-penggunaan alternatif. Kecenderungan penilaian rendah ini sebagian disebabkan oleh kesulitan dalam memasukkan suatu nilai moneter ke dalam seua faktor-faktor yang sesuai, namun juga kurangnya pemahaman ekologis dan suatu pendekatan yang holistik diantara perbagai evaluasi yang ditampilkan. Selanjutnya, Lilian (2009) mengungkapkan bahwa diperlukan upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam hayati secara optimal dan berwawasan lingkungan untuk menunjang kelestarian sumberdaya alam termasuk sumberdaya mangrove. Sumberdaya mangrove yang telah dinilai dengan menggunakan pendekatan kuantifikasi faktor produksi tersebut kiranya memberikan sedikit gambaran tentang nilai ekonomi sumberdaya mangrove yang ada di seputaran Kota Kendari. Setidaknya mangrove telah menunjukkan eksistensi nilai ekonomi yang kiranya menjadi salah satu tolok ukur dalam pengambilan kebijakan di kemudian hari dan juga memberikan manfaat yang lebih besar terhadap kelangsungan hidup biota yang ada di seputaran Teluk Kendari. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh Saisma dan Usman (2005) bahwa ekosistem mangrove –seperti yang ditemukan- mempunyai peranan integral dalam memainkan peranan dalam penyediaan produk dan jasa mangrove yang mempunyai suatu nilai yang dapat menunjukkan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir, ekonomi masyarakat lokal dan nasional. Masyarakat pesisir sering sangat bergantung kepada mangrove atau produkproduk dan jasa ekosistem mangrove untuk kehidupan sehari-hari mereka. Manifestasi ini dalam bentuk makanan, pendapatan dan bahan bakar. Lebih pentingnya lagi, ekosistem mangrove sangat vital karena mereka menyediakan jasa-jasa ekosistem yang dapat mengobati manusia seperti peranan mereka dalam menyediakan ketahanan pangan dan mata pencaharian bagi penduduk yang hidup di pesisir melalui penyediaan jasa habitat dan daerah asuhan perikanan. Selanjutnya, Saber et al., (2010) mengungkapkan nilai ekonomi, social dan lingkungan harus dikaji dalam skala pendek dan skala panjang dan menggunakan kajian tersebut untuk meningkatkan kesadaran masyarakat lokal juga.

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

Kesimpulan Simpulan yang dapat diambil dalam pelaksanaan penelitian ini adalah bahwa secara rata-rata volume tegakan mangrove jenis S. alba pada umur 10 tahun sebesar 20,446 m3/hektar dan secara rata-rata volume tegakan mangrove jenis S. alba pada umur 20 tahun sebesar 56,51 m3/hektar. Selanjutnya, secara rata-rata nilai tegakan mangrove jenis S. alba pada umur 10 tahun sebesar Rp 50.787.596,/hektar dan secara rata-rata nilai tegakan mangrove jenis S. alba pada umur 10 tahun sebesar Rp 154.342.640,-/hektar. Persantunan Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. La Ode Muh. Aslan, M.Sc., dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Kepada para dosen dan staf Laboratorium Perikanan serta teman-teman, atas bantuannya selama penelitian. Daftar Pustaka Benu Olfie l. Suzana, Jean Timban, Rine Kaunang Fandi Ahmad. 2011. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove Di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. ASE – Volume 7 Nomor 2, 29 – 38. Bradley B. W., Patrik R., John M. K., Beatrice C., Syed A. H., Ruchi B., Jurgenne H. P., Edward B., Farid Dahdouh-Guebas. 2008. Ethnobiology, socio-economics and management of mangrove forests: A review. Aquatic Botany 89 (2008) 220– 236 Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2007. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Gunarto. 2004. Konservasi mangrove sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Sulawesi Selatan. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1). IUCN. 2007. Environmental and SocioEconomic Value of Mangroves In Tsunami Affected Areas; Rapid mangrove valuation study, Panama 126

village in south eastern coast of Sri Lanka. Lilian. 2009. Identifikasi Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Tawiri, Ambon. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5, Nomor 1, 23-34. Marwa E. Salem and D. Evan Mercer. 2012. The Economic Value of Mangroves: A Meta-Analysis. Journal Sustainability, 4, 359-383. Onu La Ola. 1999. Aplikasi Peralatan Analisis Manajemen Produksi pada Bidang Perikanan, Industri, Perhubungan, Kehutanan dan Pertanian. Bahan Ajar Program Master. Unhalu. Parid, H.F.Lim dan W.C. Woon. 2005. Economic Valuation of Protected Areas in Malaysia: A Case Study On Pulau Redang Marine Park, Terengganu. Selangor Darul Ehsan Forest Research Institute Malaysia (FRIM). Pellegrini, J. A. C., Soares, M. L. G., Chaves, F. O., Estrada, G. C. D., Cavalcanti, V. F. 2009. A Method for the Classification of Mangrove Forests and Sensivity / Vulnerability Analysis, Journal of Coastal Research, SI 56 (Proceedings of the 10th International Coastal Symposium), 443-447. Lisbon, Portugal. Ponnambalam, K., Lakshuma C., Viveganandan S., Jonathan M. P. 2012. Mangrove Distribution and Morphology Changes in The Mullipallam Creek, South Eastern Coast of India. International Journal of Conservation Science. Volume 3, (1), 51-60. Qodrina Qodrina, L., Hamidy, R., dan Zulkarnaini. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove Di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. ISSN 19785283. Rianse, U., dan Abdi. 2010. Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi. Alfabeta. Bandung. Ronnback, Patrik. 1999. The Ecological Basis For Economic Value of Seafood Production Supported By Mangrove Ecosistems. Journal Ecological Economics 235-252. Elsevier. Sweden.

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

Rusilah Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IPB. Bogor. Saber G., Mohamed Z., Hazandy A., Ebil Yusof, Afshin D., Muhammad N. R. 2010. A Review of Mangrove Value and Conservation Strategy by Local Communities in Hormozgan Province, Iran. Journal of American Science. 6 (10). Saima Pervaiz B. dan Usman Ali I. 2005. Are the Mangroves for the Future? Empirical evidence of the value of Miani Hor Mangrove Ecosystem as the basis for investments. IUCN. Saparinto, Cahyo. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize. Semarang. Spaninks, F. and van Beukering, P. 1997. Economic Valuation of Mangrove Ecosystems: Potential and Limitations, CREED Working paper No 14, International Institute for Environment and Development, London. Suhardiman. A., Anton Hidayat, Grahame B. Applegate, Carol J. Pierce Colfer. 2002. Manual Mengelola Hutan dan Lahan Suatu Kombinasi Pengetahuan Tradisional Masyarakat Dayak Kenyah dengan Ilmu-Ilmu Kehutanan dan Pertanian. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. Sathirathai Suthawan. 2003. Economic Valuation of Mangroves and the Roles of Local Communities in the Conservation of Natural Resources: Case Study of Surat Thani, South of Thailand. EEPSEA Research Report. Singapore: IDRC.. ARCHIV 108378. Sathirathai S., Barbier E. B. 2001. Valuing Mangrove Conservation in Southern Thailand. Western Economic Association International. Journal of Contemporary Economic Policy. Vol. 19. No. 2. Witjaksono. J., Kooswardhono Mudikdjo dan Andry Irawan. 2002. Struktur Komunitas Mangrove dan Analisis Finansial Usaha pada Lahan Konservasi Hutan Mangrove di Pesisir Teluk Kendari. Thesis. IPB.

127