1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pancasila

Pancasila hadir sebagai pemersatu atas keberagaman suku bangsa, bahasa ... dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Pancasila juga mer...

7 downloads 583 Views 497KB Size
1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pancasila hadir sebagai pemersatu atas keberagaman suku bangsa, bahasa, budaya, dan adat istiadat, lebih-lebih agama sebagai perbedaan yang paling mendasar diwadahi dalam Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila adalah dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi negara, dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Pancasila juga merupakan titik temu pandangan ideologis antara kelompok nasionalis-islamis dan nasionalis-sekuler.1 Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru memulai babak baru dalam ideologi Pancasila. Orde Baru memonopoli penafsiran Pancasila melalui indoktrinasi kepada seluruh warga negara dengan segala profesi dan usia serta pendidikan. Pada masa itu, Pancasila diubah menjadi pisau bermata seribu yang dihunus penguasa untuk menikam siapa saja yang divonis melanggarnya, termasuk di dalamnya adalah gerakan radikal.

1

Nasionalis sekuler adalah kelompok pemimpin politik Indonesia yang menolak secara tegas agama sebagai dasar negara, kelompok ini terdiri dari Muslim, Katolik, Protestan, Hindu dll. Meskipun secara personal mereka bukan kaum sekuler dan kelompok yang tidak lepas dari sentimen, tendensi dan afiliasi keagamaan. Mereka tetap memilih untuk tidak menggunakan agama sebagai ideologi politik. Sebaliknya, apa yang dimaksud nasionalis muslim adalah kelompok pemimpin muslim yang menginginkan Islam harus dijadikan dasar negara, karena bagi mereka agama dan politik tidak bisa dipisahkan, jelasnya bahwa tidak ada pemisahan antara persoalan duniawi dan ukhrawi dalam ajaran Islam. Lihat, Faisal Ismail, 1999, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm. 5.

1

2

Momentum reformasi 1998 sebagai desain wajah politik pasca runtuhnya rezim Orde Baru, telah menampilkan sejarah baru dalam panggung kekuasaan. Belakangan, beberapa kalangan menilai munculnya sesuatu yang bersifat ekstrem seiring dengan maraknya gerakan radikalisme.2 Bahkan ideologi Pancasila saat ini “terjepit”di tengah pusaran gerakan radikalisme dan liberalisme. Pancasila sebagai alat pemersatu terhadap pluralitas bangsa dinilai belum mampu dikelola dengan baik, dan yang terjadi justru menjadi sesuatu yang menakutkan bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Di tengah-tengah aksi gerakan radikalisme yang kian marak terjadi di Tanah Air, maka publik Indonesia kembali ramai membicarakan Pancasila, yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh bangsa Indonesia untuk membentuk moral masyarakat yang mumpuni di tengah ancaman dua kutub ekstrim, yaitu ideologi liberalisme dan radikalisme. Publik Indonesia-pun kini berpendapat bahwa harus ada upaya sistematik, masif dan terstruktur untuk menangkal bahaya laten tersebut dengan melibatkan semua komponen bangsa. Paham liberalisme begitu merajalela di semua bidang pasca reformasi tahun 1998. Dalam bidang ekonomi, merasuknya paham liberalisme ditandai dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada sistem pasar bebas.3 Hal ini sudah barang tentu tidak sejalan dengan Pasal 33

2

Jamhari dan Jajang Jahroni, 2004, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, hlm. v. 3 “70-an Undang-Undang di Indonesia Dibidani World Bank, IMF dan USAID: Dominasi Asing Merajalela!”. Bank Dunia (World Bank) terlibat dalam sejumlah program pemerintah di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berbasis masyarakat. Keterlibatan World Bank tersebut, membuat pemerintah mengubah sejumlah UU antara lain UU Pendidikan Nasional (No 20 Tahun 2003), UU Kesehatan (No 23 Tahun 1992), UU Kelistrikan No 20 Tahun 2002, dan UU Sumber Daya Air

2

3

ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.4 Dalam bidang politik, menjalarnya paham liberalisme ditandai dengan berbagai regulasi dan praktek demokrasi liberal yang mengagung-agungkan ukuran kuantitatif, yang mementingkan voting atau suara terbanyak, juga fenomena politik plutokrasi dimana yang dihargai adalah tokoh-tokoh yang berkemampuan logistik tinggi. Prinsip musyawarah mufakat cuma indah dalam pidato, padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa demokrasi Indonesia wajib berdasar atas “kerakyatan” dan “permusyawaratan”. Dengan kata lain, demokrasi itu hendaknya mengandung ciri: (1) kerakyatan (daulat rakyat), dan (2) permusyawaratan (kekeluargaan).5 Dalam demokrasi permusyawaratan, suara mayoritas diterima sebatas prasyarat minimum dari demokrasi, sehingga proses demokrasi permusyawaratan/perwakilan berjalan sesuai dengan aturan dan aspirasi rakyat serta tidak dibelokkan untuk kepentingan sendiri, kelompok maupun golongan.

(No 7 Tahun 2004). IMF (International Monetary Fund) menyusupkan melalui UU BUMN (No 19 Tahun 2003) dan UU Penanaman Modal Asing (No 25 Tahun 2007). Sementara keterlibatan USAID antara lain, pada UU Migas (No 22 Tahun 2001), UU Pemilu (No 10 Tahun 2008), dan UU Perbankan. Lihat, http://www.rimanews.com/read/20100828/2410/70. diakses pada tanggal 28 Mei 2014. 4 UUD NRI 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3). 5 Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2012, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, hlm. 65.

3

4

Sementara di bidang kebudayaan, kita sudah jauh dari nilai-nilai kepribadian bangsa kita sendiri, yang dikenal dengan sikap suka “gotong royong”.6 Semangat kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah hilang terbawa angin (gone wit the wind). Hadirnya liberalisasi budaya dan pemikiran yang dihadapi bangsa Indonesia telah mengancam kehidupan sosial bangsa Indonesia. Kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan

serta

meningkatnya penganut LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) menjadi bukti jelas bagaimana liberalisme telah merusak moral kebudayaan bangsa. Lebih memprihatinkan lagi anak-anak dan remaja menjadi korban yang paling rentan. Laju perkembangan liberalisme di Indonesia akhirnya membangunkan gerakan radikalisme agama yang menganggap liberalisme sebagai produk Barat yang menjadi ancaman bagi mereka. Dinamika dan dialektika dua paham besar itu pun akhirnya secara tanpa sadar membuat bangsa Indonesia amnesia terhadap Pancasila sebagai Weltanschauung atau pandangan hidup bersama. Akibatnya, berbagai gerakan radikalisme dan aksi-aksi terorisme yang kembali

6

Soekarno bahkan menyatakan bahwa jika negara ini dibangun dengan filsafat individualisme-liberalisme, maka yakinlah bahwa kita akan penuh dengan konflik. Lebih jauh Soekarno menegaskan: “Tuan-tuan yang terhorma! Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan, bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada sociale rechtvaardigheid yang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi ”droit de I’homme et du citoyen” itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong menolong, paham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya. Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I, Yayasan Prapanca, Jakarta, hlm. 296-297. Lihat juga, Satya Arinanto, 2003, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

4

5

marak dalam beberapa tahun terakhir ini, yang salah satunya dipicu oleh ekspansi—meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif—manifestasi Islam transnasional,7 yang berdampak pada rapuhnya ideologi negara Pancasila dan sendi-sendi pilar berbangsa dan bernegara. Sungguh menyedihkan, bangsa yang dikenal paling majemuk di dunia dengan tradisi budayanya yang penuh toleransi, ramah, religius, dan menjunjung tinggi nila-nilai kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang beringas,

bahkan

tidak

segan-segan

melakukan

kejahatan

terhadap

kemanusiaan, seperti aksi terorisme dan berbagai bentuk tindakan kekerasan lainnya. Nilai-nilai yang dahulu kita anggap agung, luhur, dan mulia, zaman sekarang ibarat binatang langka yang hampir musnah ”mati suri” makin tidak berdaya. Di tengah amnesia bangsa Indonesia terhadap Pancasila itulah, Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut dengan MPR-RI) periode 20092014 melaksanakan tugas mengoordinasikan dan mensosialisasikan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diamanatkan pasal 15 ayat 1 huruf (e) Undang-undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR/DPD/DPR/DPRD. Melalui penjelasan yang diberikan oleh tim sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, ada beberapa hal pokok yang melatar belakangi pentingnya mensosialisasikan “Pancasila”.8

7 Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, PT. Mizan Pustaka, Bandung. 8 Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, hlm. 13.

5

6

Pertama, faktor yang berasal dari dalam negeri, antara lain, (1) masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit, serta tidak harmonisnya pola interaksi antarumat beragama; (2) sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di Pusat dan pengabaian terhadap pembangunan dan kepentingan daerah serta timbulnya fanatisme kedaerahan; (3) tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinnekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa; (4) terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika; (5) kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa; (6) tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal, dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika yang secara alamiah masih hidup di tengah masyarakat; (7) adanya keterbatasan kemampuan budaya lokal, daerah, dan nasional dalam merespons pengaruh negatif dari budaya luar; (8) meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian, serta pemakaian,

peredaran,

dan

penyelundupan

obat-obat

terlarang;9

(9)

Pemahaman dan implementasi otonomi daerah yang tidak sesuai dengan semangat konstitusi.10

9

Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan Serta 10

6

7

Kedua, faktor-faktor yang berasal dari luar negeri meliputi, antara lain, (1) pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dengan persaingan antarbangsa yang semakin tajam; (2) makin kuatnya intensitas intervensi kekuatan

global

dalam

perumusan

kebijakan

nasional.

Faktor-faktor

penghambat yang sekaligus merupakan ancaman tersebut dapat mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami kesulitan dalam mengaktualiasikan segenap potensi yang dimilikinya untuk mencapai persatuan, mengembangkan kemandirian, keharmonisan dan kemajuan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengingatkan kembali warga bangsa dan mendorong revitalisasi khazanah nilai-nilai luhur bangsa sebagaimana terdapat pada Pancasila dan pilar kehidupan berbangsa lainnya.11 Lebih jauh daripada itu, faktor yang berasal dari luar berupa radikalisme dan ekstrimisme dengan mudah sekali berkembang dengan banyak varian di Republik tercinta ini. Artinya, kemunculan gerakan radikal dan Islam fundamentalis tidak hanya hadir dalam bentuk satu nama dan kelompok saja, mereka hadir dengan pola gerakan yang berbeda-beda. Fenomena gerakan radikal belakangan ini semakin kokoh menancapkan ideologinya dengan mendompleng demokrasi dan menikmati kebebasan yang semakin terbuka merupakan prakondisi yang kondusif bagi kelompok radikal untuk tampil ke permukaan.

Bahkan

tidak

jarang

gerakan-gerakan

radikalisme

dan

fundamentaslime ini melahirkan aksi kekerasan dan teror, yang secara tidak

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 11 Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

7

8

langsung telah mencoreng keindahan dan kebajikan Islam di pentas peradaban umat manusia. Dalam konteks Indonesia, bukan saja umat Islam yang dirugikan, tetapi juga keutuhan negara-bangsa dalam bentuk NKRI menjadi terancam. Ironisnya, pada saat usaha untuk menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila yang dipelopori oleh MPR RI ke seluruh pelosok tanah air, justru pada saat yang bersamaan muncul tragedi yang cukup menohok. Hasil survei harian Kompas pada tahun 2012 menyimpulkan aspek-aspek yang berkaitan dengan menurunnya nasionalisme dan kebangsaan di Indonesia. Solidaritas nasional menurut survey tersebut melemah hingga 60%, demikian juga dengan toleransi antargolongan kaya-miskin (61,4%), toleransi antarsuku/etnis (46,5%), dan toleransi antarumat beragama (38,9%).12 Potensi anacaman sebagaimana dikemukakan oleh Kompas tersebut menjadi ancaman laten Bangsa Indonesia. Era globaliasi yang didominasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, telah merubah pola hubungan antarbangsa dalam berbagai aspek. Negara seolah tanpa batas (boderless),

saling

tergantung

(independency)

dan

saling

terhubung

(interconected) antara satu negara dengan negara lainnya. Pada tahun 2008, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia M. Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3 Maret 2008, juga menyatakan bahwa anak muda Indonesia menampakkan kealpaan bahkan phobia apabila berhubungan

12

“Jajak Pendapat Ancaman Kebangsaan”, Harian Kompas, Senin, 21 Juni 2012.

8

9

dengan Pancasila. Hal tersebut berdasarkan pada hasil survei yang dilakukan oleh aktivis gerakan nasionalis tersebut pada tahun 2006 bahwa sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syari’ah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup dan hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.13 Sebelumnya, survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2001-2004 tentang “Islam dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia”, juga menyebutkan bahwa Syari’at Islam tampaknya memenuhi keinginan masyarakat mengenai sistem hukum yang ideal. Pada tahun 2001 orang yang menginginkan hukum Islam berjumlah 61,4 %. Tahun 2002, angka ini melonjak menjadi 70,6 %, dan pada tahun 2004, angka ini meningkat menjadi 75,5 %. Kemudian mengenai persetujuan mengenai bentuk pemerintahan Islam dan anggapan mereka bahwa pemerintahan Islam yang terbaik, pada 2001 mencapai 57,8%, pada 2002 meningkat menjadi 67,1%, bahkan pada 2004, melonjak sampai 72,2%.14 Namun pada tahun 2007, keinginan masyarakat untuk mendukung negara Islam mengalami penurunan. Hasil survei nasional bertajuk “Islam dan Kebangsaan” yang juga diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan bahwa mayoritas responden (84,7 %) lebih mendukung 13 14

Harian Umum Kompas, 4 Maret 2008.. Jamhari dan Jajang Jahroni, Op.cit., hlm. 218-219.

9

10

NKRI dan Pancasila ketimbang beraspirasi negeri Islam (22,8 %). Hasil ini memperkuat survei yang diadakan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 2006, yakni 69,6 % responden masih mengidealkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila, 11,5 % menginginkan seperti negara Islam, dan hanya 3,5 % menginginkan Indonesia seperti negara demokrasi Barat.15 Namun, yang menjadi problem dan perlu direnungkan oleh semua pihak adalah hasil dari survei yang dilakukan harian Kompas, yang dirilis pada tanggal 1 Juni 2008. Hasil survei memperlihatkan, pengetahuan masyarakat mengenai Pancasila merosot tajam. Sebanyak 48,4 % responden berusia 17-29 tahun tidak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila secara benar dan mengkap. Sebanyak 42,7 % responden berusia 30-45 tahun salah menyebut sila-sila Pancasila, dan responden berusia 46 tahun ke atas lebih parah, yakni 60,6 % salah menyebutkan kelima sila Pancasila.16 Keinginan masyarakat terhadap pelaksanaan hukum syariah kembali meningkat pada tahun 2011. Hasil sebuah survei yang dilakukan Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Muhammadiyah Dr Hamka (Uhamka) Jakarta, menyimpulkan bahwa sebagian besar—mencapai 76—warga ternyata masih mengharapkan pelaksanaan hukum syariah. Selain itu, hanya 12 persen yang mengkaitkan pelaksanaan syariah dalam konteks hukum, sedangkan sebagian

15 As’ad Said Ali, 2009, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Penertbit LP3ES, Jakarta, hlm. 1. 16 Ibid., hlm. 2.

10

11

besar (51 persen) mengkaitkan syariah dalam konteks pedoman moral, membela keadilan dan meningkatkan kesejahteraan.17 Problem di atas membuat banyak pihak merasa cemas, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.18 Hemat penulis, pengkristalan terhadap isu hukum agama tersebut justru akan memunculkan gerakan radikalisme agama. Jika ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah terus berlanjut maka bukan tidak mungkin angka ini akan terus meningkat hingga mencapai jumlah yang cukup signifikan untuk terjadinya revolusi dalam rangka mengganti ideologi negara Pancasila dan pilar-pilar negara lainya. Dalam konteks Indonesia saat ini, multikrisis yang melahirkan frustrasi dan rasa ketertindasan menampakkan wujudnya dalam bentuk sejumlah besar penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh para elit yang menyebabkan maraknya korupsi, kejahatan politik, lemahnya penegakan hukum dan ketidakberdayaan ekonomi, yang nyaris membawa negeri ini kepada jurang kehancuran, atau para pengamat menyebutnya sebagai, “A Country in Despair”, suatu negara-bangsa yang bukan sekadar diterpa bencana, tetapi telah tenggelam dalam ketiadaan harapan yang mendalam.19 Fenomena ini kemudian melahirkan putus asa dan emosional penuh sinis serta sindiran terhadap Indonesia sebagi negara yang serba seolah-olah, a heap of delusions,—tidak ada lagi sebenarnya apa yang disebut ideologi

“Wow, 76 Persen Warga Inginkan RI Jadi Negara Islam”, Harian Umum Republika, Selasa, 21 Februari 2012. 18 As’ad Said Ali, Op.cit, hlm. 4 19 Daniel Dhakidae, 2002, Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. xvii. 17

11

12

Pancasila. Harus diakui memang, tidak banyak pembicaraan di kalangan publik tentang Pancasila itu sepanjang masa demokrasi dan kebebasan sejak tahun 1998. Jika ada, diskusi publik tentang Pancasila itu, maka ia hilang-hilang timbul untuk kemudian seolah lenyap tanpa bekas. Tidak ada upaya tindak lanjut secara sistematis, terstruktur dan masif untuk mensosialisasikan, memasyarakatkan dan menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, sepanjang era reformasi yang bermula pada tahun 1998, orang-orang menampakkan diri untuk “malu-malu atau pura-pura lupa” terhadap Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai pernyataan dari pejabat negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-kata Pancasila dan pilar negara lainnya. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan kata–kata Pancasila. Rezim reformasi tampaknya ogah dan alergi bicara tentang Pancasila.20 Di era reformasi ini, Pancasila memang diuji kesaktianya setelah sekian lama dijadikan alat penguasa untuk melawan para pengkritiknya. Sebagian pihak malah menganggap bahwa Pancasila sudah tidak layak lagi menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila dipandang sudah usang (kadaluarsa) oleh sebagian orang yang kecewa dengan kepemimpinan para Presiden Republik Indonesia sejak Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Para

20

Harian Umum Media Indonesia, Kamis, 31 Juni 2007.

12

13

pengkritik Pancasila itu bahkan mengajukan konsep tandingan yakni berupaya menggati ideologi Pancasila dengan ideologi lain (agama) di negara Indonesia yang sangat plural ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan juga mensinyalir adanya keengganan bangsa kita untuk berbicara tentang Pancasila, sebagaimana dalam pidato politik yang berkaitan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni Tahun 2006 lalu, seperti penegasan berikut ini: “...Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini, di tengahtengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negara kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan, dan lain-lain, karena bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis…”21 Ekspresi dan kegundahan Presiden Republik Indonesia tersebut, tentu saja merupakan bentuk kegelisahan yang harus dijadikan tolok ukur memudarnya pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai nilai luhur berbangsa dan bernegara. Betapa tidak, tatkala euforia reformasi melanda negeri ini, juga diiringi dengan perubahan lingkungan strategis nasional, regional, maupun global yang terjadi dalam eskalasi yang cepat, ternyata tidak diikuti dengan penyikapan secara proporsional oleh segenap warga negara dalam memandang keberhasilan reformasi tersebut. Sikap

dan

perilaku

tidak

proporsional

tersebut

antara

lain

terejawantahkan melalui tuntutan kebebasan yang tak terbatas. Secara

21

Irfan Nasution dan Rony Agustinus, (ed.), 2006, Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas, Brighten Press, Bogor, hlm. xv.

13

14

akumulatif, sikap dan tindakan aproporsional itu ternyata telah menggerus rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan, yang berujung pada keengganan komponen bangsa kita; pelajar, mahasiswa, generasi muda, pengusaha, tak terkecuali kalangan aparatur pemerintah sendiri, yang tidak lagi mengenal Pancasila, atau pura-pura lupa, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia Merdeka kian memudar. Pada era Orde Baru, misalnya, pembangunan karakter bangsa dengan berpijak pada Pancasila melalui pelaksanaan P4. Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam Sidang Umum, pada tanggal 22 Maret 1978 menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa.22 Dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, seperti yang terdapat dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 pada konsideran menimbang, secara jelas ditekankan dalam huruf ‘a’ “bahwa Pancasila yang merupakan pandangan hidup Bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia perlu dihayati dan diamalkan secara nyata untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya demi terwujudnya tujuan nasional serta cita-cita bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kemudian huruf ‘b’, menegaskan “bahwa demi kesatuan bahasa, kesatuan pandangan dan kesatuan gerak langkah dalam hal menghayati serta

22

Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978.

14

15

mengamalkan Pancasila diperlukan adanya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”. Ketetapan Nomor II/MPR/1978 yang terdiri dari 6 (enam) pasal ini merupakan suatu kehendak rakyat yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) sebagai penjelmaan rakyat, yang berperan penting dalam menuntun dan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang wajib dipatuhi seluruh masyarakat serta wajib ditindaklanjuti sebaik-baiknya oleh pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika kita mencermati isi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pasal 1 dan pasal 4, maka kita dapat menyimpulkan bahwa materi muatan yang ada dalam P4, adalah merupakan tonggak atau kekuatan dari implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pedoman ini menjadi penuntun dan pegangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, sehingga segala bentuk perbedaan identitas yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia dilebur dan dibentuk menjadi satu pandangan dalam berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Kemudian Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan membentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979.23 Keputusan Presiden tersebut ditindak lanjuti

23 BP-7 Pusat, Bahan Penataran P4, UUD 1945, GBHN, 1990, BP-7 Pusat, Jakarta. Orde Baru secara resmi mendefinisikan sebagai tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

15

16

oleh Menteri Dalam Negeri, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 239 Tahun 1980, Nomor 163 Tahun 1981, dan Nomor 86 tahun 1982, tentang pembentukan BP-7 di Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II sehingga di setiap propinsi dan kabupaten dan kotamadya memiliki lembaga yang bernama BP-7 Daerah. Namun sejak reformasi 1998, Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) tersebut dicabut dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI Nomor XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),24 yang berdampak pada pembubaran institusi BP-7 sebagai institusi yang memiliki ”kompetensi” dalam pembentukan karakter bangsa.25 Dengan dibubarkannya BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), praktis tidak ada lagi lembaga yang secara fungsional melakukan pemasyarakatan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila, dan dalam implementasinya nilai-nilai luhur Pancasila menjadi semakin kurang dipahami, apalagi diamalkan sebagai landasan ideal dalam pembangunan bangsa. Di tengah caru-marut wajah kehidupan bangsa saat ini, terutama hadirnya ideologi liberal, transnasional, aksi-aksi radikalisme dan terorisme,

Republik Indonesia Tahun 1945. Joeniarto, 2001, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 149. 24 Ketetapan MPR RI Nomor XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). 25 Ibid., hlm. 149. Lebih jauh tentang istilah ini, lihat misalnya Herbert Feith dan Lance Castle, (ed.), 1988, Pemikiran Politik Indonesia, Penerbit LP3ES, Jakarta, hlm. xviixviii. Lihat juga, Moh. Mahfud M.D, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Penerbit LP3ES, Jakarta, hlm. 200-201.

16

17

kini semua orang sadar bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus kembali bersandar pada kesepakatan yang disebut Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Publik Indonesia-pun berpendapat bahwa harus ada upaya sistematik, masif dan terstruktur untuk menangkal bahaya laten tersebut dengan melibatkan semua komponen masyarakat.

Pancasila tersebut

diharapkan dapat benar-benar berfungsi dalam menopang kehidupan berbangsa dan bernegara, baik diletakkan dalam perspektif legal-formal, maupun dalam konteks nation and character building yang berperan mencerahkan (enlighten) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai fenomena di atas hanyalah sebagian kecil dari kompleksnya permasalahan bangsa dan negara Indonesia di tengah arus radikalisme. Melihat situasi sosial politik ketatanegaraan dan nasionalisme bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini mulai tergerus oleh gelombang globalisasi dan radikalisme, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI)26 kembali menggelorakan dan mensosialisasikan pentingnya ideologi Pancasila sebagai alat pemersatu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, tanpa adanya pretensi secara berlebihan tentu saja tercipta kecurigaan di tengah masyarakat terhadap upaya pelembagaan ideologi Pancasila. Jika pada masa Orde Lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada saat situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi, atau jika pada era Orde Baru, Pancasila dan UUD

26 MPR melaksanakan tugas sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diamanatkan pasal 15 ayat 1 huruf (e) Undang-undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR/DPD/DPR/DPRD.

17

18

NRI 1945 disakralkan dengan cita-cita untuk menjalankan aturan dasar negara tersebut secara murni dan konsekuen yang membawa lahirnya program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila),27 maka bukan tanpa alasan konsep tersebut dinilai merupakan konsep P4 jilid dua atau lembaga BP-7 yang lahir di era reformasi. Beranjak dari latar belakang masalah inilah penulis mencoba untuk mengkaji secara lebih mendalam mengenai politik hukum Pancasila dalam menanggulangi gerakan radikalisme, yang pemaknaannya kini mulai berubah seiring dengan peta konfigurasi kekuatan politik dan sosial yang nyata di tengah masyarakat (de reele machtsfactoren).28 Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji secara lebih mendalam seputar pentingnya melembagakan Pancasila sebagai ideologi yang mampu menjadi “peluru” penangkal, peredam dan bahkan dapat mematikan mata rantai gerakan radikalisme dan terorisme di bumi Nusantara ini, melalui penelitian ilmiah ini dengan judul; “Politik Hukum Pancasila dalam Menanggulangi Gerakan Radikalisme di Indonesia”.

27

Sebuah metode internalisasi/sosialisasi nilai-nilai Pancasila dengan pendekatan formal yang menggunakan forum klasikal yang berisi pemaparan-pemaparan teoritik tentang idealisme Pancasila sebagai dasar negara. Metode ini akhirnya membawa peserta hanya pada tahap “menghapal materi” tidak sampai pada titik pemaknaan. Lihat, Bambang Purwoko, “Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Pancasila”, dalam Agus Wahyudi, 2009, Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 286-287. 28 Mengacu pada pandangan Leon Duguit yang lebih memandang konstitusi dari sudut sosial, konstitusi dimaknai tidak hanya berisi norma-norma dasar tentang struktur negara, tetapi bahwa struktur negara yang diatur dalam konstitusi itu memang sungguh-sungguh terdapat dalam kenyataan hidup masyarakat sebagai faktor-faktor kekuatan riil yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Lihat, Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 123.

18

19

B. Rumusan Masalah Berbagai fenomena di atas sebenarnyalah sebagian kecil dari kompleksnya permasalahan bangsa di tengah arus globalisasi dunia. Menjadi menarik untuk direnungkan kembali adalah: 1. Bagaimana latar belakang lahirnya Pancasila sebagai pemersatu atas keberagaman suku bangsa, bahasa, budaya, adat istiadat, dan agama? 2. Bagaimanakah konsep negara hukum yang berlaku di Indonesia? 3. Bagaimana sikap kelompok radikalisme dalam merespon negara hukum Pancasila di Indonesia? 4. Bagaimana politik hukum Pancasila didayagunakan pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi? 5. Bagaimana politik hukum Pancasila agar dapat menanggulangi gerakan radikalisme di Indonesia?

19

20

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan penelitian politik hukum Pancasila dalam menanggulangi gerakan radikalisme di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Mendeskripsikan dan menelusuri latar belakang lahirnya Pancasila sebagai alat pemersatu atas keberagaman suku bangsa, bahasa, budaya, adat istiadat, dan agama. b. Menjelasakan perbedaan konsep negara hukum Anglo Saxon, Eropa Kontinental dan negara hukum Pancasila. c. Menjelaskan peta dan gerakan kelompok radikalisme di Indonesia dalam menetang Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. d. Menjelaskan dari sisi dasar hukum tentang Pancasila sebagai alat untuk menanggulangi gerakan radikalisme di Indonesia dari masa ke masa. e. Mencoba membedah sejauh mana upaya politik hukum Pancasila, bagi perkembangan diskursus ketatanegaraan di Indonesia.

20

21

D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kepentingan akademik maupun kepentingan praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Akademis a) Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan hukum tata negara, khususnya dalam sistem negara hukum Pancasila, serta bermanfaat bagi penelitian-penelitian ilmu hukum selanjutnya. b) Sebagai bahan informasi ilmiah bagi peneliti-peneliti yang ingin mengetahui

konsistensi

Pancasila

sebagai

ideologi

negara

Indonesia serta perbadaannya dengan ideologi lain. c) Menjawab fenomena gerakan kelompok radikalisme di Indonesia dalam menetang Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. d) Sebagai usaha pengembangan ilmu pengetahuan ketatanegaraan khususnya yang berhubungan dengan ideologi Pancasila yang dianut negara Indonesia sesuai dengan konstitusi, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. e) Diharapkan dapat dijadikan salah satu referensi bagi penelitian berikutnya yang mengkaji permasalahan yang sama.

21

22

b. Secara Praktis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan baik bagi pengambil keputusan publik maupun kalangan aktivis, khususnya Islam dalam memahami ideologi Pancasila agar dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi proses masa depan Indonesia. b) Sebagai masukan bagi para pemangku kebijakan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif agar terus-menerus mensosialisasikan dan memasyarakatkan Pancasila tanpa meninggalkan nilai-nilai historis dan filosofis di dalamnya serta dapat berperilaku sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbagsa dan bernegara. c) Sebagai masukan bagi masyarakat untuk mengetahui, mendalami serta mengamalkan makna nilai-nilai Pancasila sehingga dapat membumikan secara ideal dan dapat diterapkan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. d) Hasil penelitian ini nantinya juga diharapakan dapat menjadi rujukan dalam melakukan penelitian-penelitian yang serupa di tempat lain. e) Bagi penulis, di samping untuk kepentingan penyelesaian studi di Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, juga dalam rangka menambah dan mendalami ilmu pengetahuan ketatanegaraan,

khususnya

Pancasila.

22

yang

berhubungan

erat

dengan

23

E. Keaslian Penelitian Sebagai sebuah penelitian yang mempunyai fokus kajian pada upaya pelembaga Pancasila sebagai ideologi negara dengan maksud dan tujuan untuk meredam, menangkal, dan mematikan mata rantai arus gerakan radikalisme, maka penulis menemukan beberapa buku yang mengulas tentang Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, diantaranya: Pertama, adalah buku yang berjudul “Pancasila dalam Berbagai Perspetif”.29 Buku ini merupakan bunga rampai atau kumpulan tulisan yang dihasilkan pada “Kongres Pancasila I” di Yogyakarta pada tahun 2009 yang juga telah menghasilkan “Deklarasi Bulaksumur”. Buku ini terdiri dari enam bagian, yaitu Filsafat Pancasila, Nasionalisme dalam Perspetif Pancasila, Negara Hukum dalam Perspetif Pancasila, Relasa Agama dan Negara dalam Perspetif Pancasila, Kedaulatan Rakyat dalam Perspetif Pancasila dan Kesejahteraan Rakyat dalam Perspetif Pancasila. Kedua, adalah buku yang berjudul “Konsistensi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya”.30 Buku ini merupakan bunga rampai atau kumpulan tulisan yang dihasilkan pada “Kongres Pancasila II” di Denpasar pada tahun 2010. Ada sejumlah poin deklarasi penting, di antaranya, perlu membentuk “Rumah Hukum Pancasila” dengan upaya lebih progresif dalam merestorasi hukum di Indonesia, selain institusi yang punya legitimasi di

29

Agus Wahyudi, dkk, (ed.), 2009, Pancasila dalam Berbagai Perspetif, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitus RI, Jakarta. 30 Heri Santoso, (ed.), 2010, Konsistensi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya, Penerbit PSP Press UGM, Yogyakarta.

23

24

tingkat nasional untuk melindungi, mengkaji dan mengembangkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Ketiga, adalah buku yang berjudul “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia”.31 Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang dihasilkan dari acara Prosiding Sarasehan Nasional 2011, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dengan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Pada bagai pertama, di bahas Nilai-nilai Pancasila sebagai Orientasi Pembudayaan Kehidupan Berkonstitusi. Bagian kedua, Penguatan dan Pengawalan Nilai Pancasila dalam Politik Legislasi, Tinjauan Ideologis, Yuridis, dan Sosiologi. Keempat, adalah buku yang berjudul “Strategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia”. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang dihasilkan dari acara Kongres Pancasila IV pada 31 Mei dan 1 Juni 2012 di UGM yang bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Mahkamah Konstitusi (MK).32 Buku ini mengulas Pancasila sebagai petunjuk dan pedoman ke arah tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Langkah strategis dalam bidang sosial, budaya, dan agama, adalah melalui pusat-pusat pendidikan dan pembudayaan Pancasila secara kreatif dan dinamis. Dalam bidang hukum, politik dan pertahanan keamanan, adalah dengan berpijak pada 31

Surono, (ed.), 2011, Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitus RI, Jakarta. 32 Sudjito, dkk, (Tim Peny), 2012, Strategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia, Penerbit PSP Press UGM, Yogyakarta.

24

25

prinsip negara Pancasila, dan berdasar pada konsep negara hukum yang memiliki karakteristik: negara kekeluargaan, berkepastian, berkeadilan, religius. Dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan adalah melalui sistem Ekonomi Pancasila yang berdaulat dan menyejahterakan dengan berdasar pada Konstitusi sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Kelima, adalah buku yang berjudul “Strategi Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menguatkan Semangat ke-Indonesia-an”.33 Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang dihasilkan dari acara Kongres Pancasila V Universitas Gajah Mada. Buku ini menegaskan perlunya pembudayaan nilainilai Pancasila dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena strategi pembudayaan nilai- nilai Pancasila di kalangan generasi muda dapat dilakukan lewat pendidikan baik di sekolah maupun luar sekolah. Namun demikian

lingkungan

keluarga

dan

masyarakat

juga

tidak

terlepas

menjadi bagian penting untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki karakter nilai Pancasila. Keenam, buku karya Yudi Latif berjudul “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”. Penulis buku ini menggunakan wacana ontologis terlebih dahulu. Mula-mula dengan lukisan geografis kepulauan Nusantara dalam perkembangannya sejak puluhan ribu tahun Sebelum Masehi. Di dalamnya, ia manapaki geologi kebudayaan dengan menceritakan juga evolusi kepercayaan masyarakat Nusantara, sejak dari kepercayaan lokal yang disebut animisme dan dinamisme hingga datangnya 33

Sudjito, dkk, (Tim Peny), 2013, Strategi Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menguatkan Semangat ke-Indonesia-an, Penerbit Ombak dan PSP Press UGM, Yogyakarta.

25

26

agama-agama dari luar yang dibawa oleh kaum imigran. Hal ini dilakukan Yudi Latif, karena menurutnya terbentuknya ideologi Pancasila hanya bisa dipahami dalam konteks masyarakat majemuk dan multi agama. Secara historis, konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang tiga fase; “pembuahan”, “perumusan” dan “pengesahan”. Fase “pembuahan” setidaknya dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sitesis antarideologi dan gerakan, seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism). Fase “perumusan” dimulai pada masa persidangan pertama BPUPK dengan pidato Soekarno 1 Juni 1945 sebagai crème de la crème-nya yang memunculkan istilah Panca Sila, yang digodok melalui pertemuan Chuo sangi In dengan membentuk “panitia Sembilan” yang menyempurnakan rumusan Pancasila dari pidato Soekarno dalam versi Piagam Jakarta (yang mengandung “tujuh kata”). Sedangkan fase “Pengesahan” dimulai sejak 18 agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara.34 Terakhir, buku karya As’ad Said berjudul “Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa”. Kehadiran buku yang ditulis oleh mantan Wakil Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) menambah khzanah keilmuan, terutama yang terkait dengan pentingnya penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara. Penulis buku berhasil menunjukkan fakta bahwa dalam kondisi apa pun tidak ada elemen bangsa ini yang sanggup melepaskan Pancasila dari genggaman bangsa Indonesia. Ingin pun tidak. Karena 34

Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

26

27

menyingkirkan Pancasila berarti juga memusnahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia (NKRI). Lebih lanjut, penulis ini secara optimis dan penuh percaya diri bahwa Pancasila memberikan inspirasi bagi bangsa-bangsa lain di dunia untuk memecahkan masalah dasar konstitusi yang mereka hadapi, terutama terkait persoalan agama. Pada 1924 Turki tidak tahan dengan kesultanan Islam dan berbalik arah menjadi negara sekuler pertama di tengah masyarakat Muslim. Sementara di wilayah Asia Selatan, Pakistan yang berdiri di atas wilayah dinasti Mogul akhirnya memilih menjadi negara Islam.35 Atas dasar beberapa pustaka di atas, dengan ini saya menyatakan, bahwa Tesis ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain dan sepanjang pengetahuan penulis di dalamnya tidak terdapat karya tulis atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Oleh karena itu, dapat dipertanggungjawabkan penulis bahwa tesis ini memiliki keaslian dan sesuai dengan asas–asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah serta terbuka untuk dikritisi yang bersifat konstruktif.

As’ad Said Ali, 2009, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Penerbit Pustaka LP3ES, Jakarta. 35

27