1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit gagal

Berdasarkan laporan United Stated Renal Data System tahun 2012 menyebutkan pada tahun 2010, total biaya untuk pasien gagal ginjal kronis 3,35 milyar d...

4 downloads 609 Views 214KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit gagal ginjal kronik (GGK) menjadi masalah kesehatan yang besar bagi masyarakat, dimana sangat membebani sistem pelayanan kesehatan. Pasien yang menderita GGK beresiko terhadap penyakit penyerta (komorbid) yang kompleks seperti penyakit kardiovaskuler (Carrol, 2006). Data dari National Health and Nutrition Examination Surveys dari tahun 1988-1994 dan 1999-2004 melaporkan bahwa prevalensi GGK meningkat dari 10% menjadi 13% selama 10 tahun dari periode 1994-2004 (Abboud dan Henric, 2010). Berdasarkan U.S. Renal Data System tahun 2005 melaporkan bahwa diperkirakan > 10% populasi orang dewasa di negara maju beberapa di antaranya menderita GGK. Insiden penyakit GGK meningkat rata-rata 8% setiap tahunnya (Novoa et al., 2010). GGK mempengaruhi sekitar 26 juta penduduk United Stated (Lankhorst dan Wish, 2010). Data dari Departemen Kesehatan D.I.Y tahun 2011 melaporkan bahwa sebanyak 473 pasien menderita gagal ginjal dan menjalani rawat inap. Sebanyak 62 orang di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Biaya yang dikeluarkan untuk terapi gagal ginjal kronis sangat besar. Berdasarkan laporan United Stated Renal Data System tahun 2012 menyebutkan pada tahun 2010, total biaya untuk pasien gagal ginjal kronis 3,35 milyar dolar, 8% dari biaya tersebut terjadi pada GGK stadium 1-2, 35 % terjadi pada GGK stadium 3, dan 13% terjadi pada GGK stadium 4-5. Keseluruhan pengeluaran biaya untuk perawatan medis pasien GGK sekitar 41 milyar dolar. Untuk biaya

1

2

tiap orang per tahun (per person per year) sekitar 22.323 dolar untuk semua gagal ginjal kronis (USRDS, 2012). Anemia menurut World Health Organization (WHO) terjadi jika kadar Hb <13.0 g/dL untuk pria dewasa, dan <12.0 g/dL pada wanita. Insiden terjadinya anemia pada penderita penyakit kronis mencapai 95% (Gombotz, 2012). Anemia merupakan komplikasi utama pada penyakit gagal ginjal dan diderita oleh sebagian besar penderita gagal ginjal kronik. Anemia dapat memperantarai resiko yang signifikan terhadap penyakit kardiovaskuler, mempercepat perkembangan gagal ginjal, menurunkan kualitas hidup, dan merupakai faktor resiko terjadinya kematian dini (Lankhorst dan Wish, 2010; Strippoli et al., 2004). Anemia juga merupakan salah satu keadaan paling umum di dunia yang menyebabkan kematian dan kecacatan (Acomb, 2003; Masood dan Teehan, 2012). Selain itu akan meningkatkan biaya kesehatan (Dalton dan Schmidt, 2008). Study populasi seperti National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) oleh National Institutes of Health and the Prevalence of Anemia in

Early Renal Insufficiency (PAERI) melaporkan bahwa kejadian anemia pada gagal ginjal kronik sekitar <10% pada stage 1 dan 2, 20-40% pada stage 3, 5060% pada stage 4, dan >70% pada stage 5 (Lankhorst dan Wish, 2010). Kejadian anemia meningkat dengan menurunnya glomerulo filtration rate (GFR) (Lankhorst dan Wish, 2010; Dalton dan Schmidt, 2008).

3

Penyebab utama anemia pada gagal ginjal kronik adalah defisiensi eritropoietin (EPO) (Dipiro et al., 2009; Gombotz, 2012).

Pada gagal ginjal

kronik terjadi penurunan produksi hormon eritropoietin (EPO) oleh sel progenitor di ginjal. Padahal 90% eritropoietin diproduksi pada bagian sel endotel kapiler peritubular dari sel ginjal (Hudson dan Chaudhary, 2005). Anemia akibat penyakit ginjal paling banyak diterapi dengan eritropoietin (Gombotz, 2012). Penggunaan eritropoietin dapat menurunkan penggunaan transfusi darah. Beberapa penelitian mengusulkan bahwa pemberian eritropoietin dapat mengurangi intensitas rawat inap di rumah sakit dan menurunkan biaya perawatan. Selain itu dapat memperbaiki kualitas hidup pasien serta resikonya lebih rendah (Lankhorst dan Wish, 2010). Eritropoietin mempunyai banyak keuntungan tetapi biaya obat ini mahal. Hal ini yang memberatkan pasien terutama yang harus menggunakan obat ini (Mikhail et al., 2012). Transfusi darah masih digunakan sebagai terapi anemia pada pasien gagal ginjal kronik karena memiliki beberapa keuntungan. Transfusi darah sering dilakukan untuk meningkatkan kadar Hb secara cepat menuju rentang normal, meningkatkan volume darah, dan memperbaiki pengiriman oksigen menuju jaringan sehingga dapat mengurangi gejala seperti letih dan pening (Sharma et al., 2011; Gombotz, 2012). Peran farmasis sangat dibutuhkan, farmasis harus menjadi pemain kunci dalam menjamin terapi obat dan pelayanan farmasi terkait keamanan dan

4

efektivitas serta mempunyai nilai yang nyata dari sisi ekonomi dan humanistic (Bootman et al., 2005). Berdasarkan uraian di atas, peneliti mencoba untuk menganalisis biaya dan

outcome terapi eritropoietin dan transfusi darah pada pasien anemia karena GGK yang menjalani rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dipilih sebagai tempat penelitian karena menjadi rumah sakit yang terpercaya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan kualitas pelayanan kesehatan yang Islami, professional, cepat, nyaman, dan bermutu. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1.

Bagaimana gambaran pengobatan anemia pada pada pasien gagal ginjal kronik di rumah sakit PKU Muhammadiyah tahun 2012?

2.

Bagaimana outcome terapi anemia pada pasien GGK berdasarkan persentase pasien yang yang mengalami peningkatan kadar Hb setelah terapi dan pencapaian kadar Hb ≥10 g/dl sebelum dipulangkan?

3.

Berapa besar total biaya terapi anemia karena gagal ginjal kronik jika dilihat pada pasien yang mendapatkan eritropoietin, transfusi darah, dan gabungan terapi keduanya?

4.

Faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total biaya terapi anemia karena gagal ginjal kronik?

5

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.

Mengetahui gambaran pengobatan anemia pada pasien gagal ginjal kronik di rumah sakit PKU Muhammadiyah tahun 2012.

2.

Mengetahui outcome terapi anemia pada pasien GGK berdasarkan persentase pasien yang yang mengalami peningkatan kadar Hb setelah terapi dan pencapaian kadar Hb ≥10 g/dl sebelum dipulangkan.

3.

Mengetahui besarnya total biaya terapi anemia karena gagal ginjal kronik dilihat pada pasien yang mendapatkan eritropoietin, transfusi darah, dan gabungan terapi keduanya.

4.

Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total biaya terapi anemia karena gagal ginjal kronik. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1.

Bahan pertimbangan pengobatan yang akan dilakukan berikutnya guna meningkatkan mutu pelayanan pasien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2.

Bagi rumah sakit dapat memberikan saran melalui data yang diperoleh untuk pemilihan terapi yang lebih efektif kepada pasien anemia dengan gagal ginjal kronik sehingga tidak memberatkan pasien terkait biaya yang dikeluarkan.

3.

Mendukung

kemajuan

farmakoekonomi.

ilmu

kesehatan

terutama

dalam

bidang

6

E. Tinjauan Pustaka 1.

Gagal ginjal kronik a. Definisi Berdasarkan pedoman dari Kidney Disease Outcomes Quality Initiative

(KDOQI), gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal selama 3 bulan atau lebih disebabkan oleh abnormalitas struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan GFR (Carrol, 2006). GGK adalah keadaan penurunan fungsi ginjal yang progresif selama beberapa bulan sampai bertahun-tahun. Dan terjadi penggantian sel normal dengan fibrosis (Dipiro et al., 2009). Ginjal tidak bisa bekerja secara normal untuk menyaring produk sampah dari darah (Novoa et al., 2010). b. Etiologi Penyebab GGK sangat bervariasi. Berdasarkan data UK Renal Registry 1999, penyebab GGK antara lain penyakit diabetes, radang glomerulus kronik, sumbatan

saluran

kemih,

pyelonephritis,

polisistik,

hipertensi,

penyakit

renovaskuler, dan lain-lain. Identifikasi penyebab GGK sulit dilakukan terutama jika usia pasien > 65 tahun, padahal penting dilakukan untuk menunjang keberhasilan terapi (Marriott dan Smith, 2003). c. Faktor resiko Karena berkembangnya GGK merupakan fenomena yang kompleks, maka KDOQI merekomendasikan kategori faktor resiko yang berkaitan dengan terjadinya GGK antara lain :

7

1). Susceptibility Merupakan faktor yang meningkatkan resiko terjadinya GGK. Contoh : peningkatan umur, penurunan masa ginjal, berat badan saat lahir rendah, riwayat keluarga, pendidikan dan pendapatan yang rendah, inflamasi sistemik dan dislipidemia.

2). Initiation Merupakan faktor atau keadaan yang secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor ini dapat dimodifikasi dengan terapi farmakologi. Contoh: Diabetes, hipertensi, glomerulonefritis, autoimun, penyakit ginjal polikistik, infeksi saluran kemih, batu ginjal, dan toksisitas obat.

3). Progression Merupakan faktor resiko yang memperburuk kerusakan ginjal. Contoh : glikemia, peningkatan tekanan darah, proteinuria, obesitas dan merokok. (KDOQI, 2002; Joy et al., 2008) d. Patofisiologi Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan terjadinya GGK. Berikut adalah penjelasannya: 1). Nefropati karena hipertensi Hipertensi merupakan penyebab kedua terjadinya gagal ginjal konik. Berdasarkan laporan dari United States Renal Data System (USRDS) tahun 2009 sekitar 51-63% pasien GGK menderita hipertensi. Dari penelitian menyebutkan

8

terjadinya hipertensi sebesar 40% pada GFR 90ml/min/1.73m3, 55% pada GFR 60ml/min/1.73m3, dan 75% pada GFR 30ml/min/1.73m3 (Joy et al., 2008). Pada keadaan tekanan darah tinggi yang berkembang terus menerus akan meningkatkan tekanan glomerulus yang akan membuat glomerulus menjadi renggang. Dampaknya berdasarkan (Novoa et al.,2010). a). Terjadi disfungsi endotel yang mengakibatkan vasokonstriksi pada ginjal. Dengan demikian terjadi penurunan aliran darah yang menuju ginjal (Renal blood flow turun), sehingga terjadi penekanan terhadap glomerulus yang berdampak pada penurunan GFR. b). Komponen lapisan penyaring ginjal seperti pedosit dan sel mesangial mengalami kematian. Akibatnya terjadi glomelurosklerosis dan hal ini dapat menyebabkan terjadinya proteinuria dan sel tubulus mati. Karena sel banyak yang mati maka tubulus mengalami atropi dan lama-lama hilang. Hal ini membuat penurunan GFR. c). Terjadi inflamasi yang mengakibatkan terjadinya fibrosis. Adanya fibrosis pada tubulus menyebabkan sel mengalami kematian sehingga tubulus mengalami atropi dan lama-lama hilang. Hal ini membuat penurunan GFR. 2). Nefropati karena diabetes Diabetes merupakan penyebab umum terjadinya gromerulopati yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal stadium akhir. Berdasarkan laporan dari

United States Renal Data System (USRDS) tahun 2009 sekitar 50% penderita gagal ginjal stadium akhir adalah pasien diabetes. Dari penelitian (Novoa et al.,

9

2010) menyebutkan bahwa keadaan hiperglikemia dapat mengakibatkan gangguan pada ginjal antara lain : a). Komponen lapisan penyaring ginjal seperti pedosit dan sel mesangial mengalami kematian. Akibatnya terjadi glomerulosklerosis atau dapat mengakibatkan inflamasi yang berkembang menjadi fibrosis. Hal ini membuat penurunan GFR. b). Terjadi perubahan transport pada tubulus yang mengakibatkan proteinuria. Dengan demikian terjadi glomerulosklerosis, hilangnya nefron, dan perlukaan pada nefron yang akan menurunkan GFR. c). Terjadi aktivasi pada sel pedosit, sel mesangial, dan sel tubulus yang membuat

peningkatan

sitokin

dan

RAS,

hal

ini

membuat

vasokonstriksi pada ginjal. Akibatnya terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, sehingga tekanan glomerulus turun dan GFR turun. 3). Penurunan massa ginjal Fungsi ginjal yang menurun megakibatkan : a). Peningkatan tekanan darah yang membuat peningkatan tekanan pada glomerulus. Terjadi penggelembungan pada glomerulus yang dapat mengakibatkan proliferasi sel mesangial, sehingga terjadi penurunan GFR. b). Terjadinya hipertropi pada sel tubulus dan berkembang menjadi kerusakan tubuloitertial sehingga berdampak pada penurunan GFR.

10

4). Nefropati karena penyumbatan Adanya penyumbatan pada ureteral menyebabkan : a). Terjadinya vasodilatasi aferen sehingga menyebabkan peningkatan tekanan glomerulus yang dapat meningkatkan GFR. b). Peningkatan tekanan pada intratubular yang akan meningkatkan RAS dan sitokin, sehingga menyebabkan kerusakan tubulus dan penurunan GFR. c). Peningkatan tekanan pada intratubular membuat peningkatan pada interstitial yang akan menyebabkan vasokonstriksi pada aferen. Akibatnya terjadi penurunan tekanan glomerulus dan penurunan aliran darah menuju ginjal. Hal ini berdampak pada penurunan GFR. (Novoa et al.,2010) e. Manifestasi Klinik 1). Gejala Pada GGK stadium 1 dan 2 pada umumnya tidak ada gejala, gejala minimal muncul pada stadium 3 dan 4. Gejala yang biasanya muncul adalah udem, intoleransi dingin, nafas pendek, palpitasi, kram dan nyeri otot, depresi, cemas, letih, disfungsi seksual. 2). Tanda Seseorang menderita GGK dapat terlihat dengan adanya gangguan pada: a). SSP (terjadi kebingungan, kejang, bahkan koma).

11

b). Kardiovaskuler (hipertensi, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, aritmia, dislipidemia). c). Pulmonary (terjadi udem dan hiperhomosisteinemia). d). Gastrointestinal (terjadi mual, muntah, GERD, penurunan berat badan.) e). Endokrin dan hormonal (terjadi hiperparatiroid sekunder, penurunan aktivasi vitamin D, gout, penimbunan β 2 mikroglobulin. infertility, amenorrhea, impoten). f). Hematologi (terjadi anemia, defisiensi zat besi, abnormal platelet, dan perdarahan). g). Elektrolit dan cairan (terjadi hipernatremia atau hiponatremia, hiperkalemia, dan asidosis metabolik). h). Renal (poliuria, dan nokturia) i). Tulang (nyeri, osteosklerosis, hiperparatiroid) (Marriott dan Smith, 2003; Joy et al., 2008) f. Klasifikasi GGK Tabel I. Pembagian GGK Berdasarkan GFR

Stadium 1

Deskripsi

Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat 2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan 3 Penurunan GFR sedang 4 Penurunan GFR berat 5 Gagal ginjal (KDOQI, 2002; Carrol, 2006)

GFR (mL/min/1,73m2) ≥ 90 60-89 30-59 15-29 <15 (dialysis)

12

g. Komplikasi Pada penderita GGK dapat berkembang munculnya gangguan seperti: 1). Poliuria Terjadi peningkatan volume urin sehingga sering kencing pada malam hari sebagai akibat dari kerusakan medula, efek osmotik dari tingginya kadar urea plasma (>40mmol/L). 2). Proteinuria Terjadi karena kebocoran glomerulus, infeksi, gagal reabsorbsi protein pada tubulus. Jika ditemukan protein > 2g pada hasil penampungan urin selama 24 jam menandakan gangguan glomerulus. 3). Retensi cairan Pada GFR yang rendah maka ginjal tidak dapat mengekskresikan garam dan air, akibatnya terjadi retensi cairan vaskuler yang berdampak terjadinya udem dan asites. 4). Uremia Pada keadaan penurunan fungsi ginjal maka terjadi akumulasi urea, kreatinin, dan air. Gejala yang ditimbulkan adalah nafsu makan berkurang, mual, muntah, konstipasi, gangguan terhadap rasa, dan terjadi perubahan warna kulit.

13

5). Anemia Pada GGK terjadi penekanan terhadap sumsum tulang belakang akibat toksisitas urea, terjadi defisiensi zat besi dan asam folat, penurunan waktu hidup sel darah merah. 6). Gangguan elektrolit Ginjal bereperan mengatur volume cairan tubuh, cairan ekstraseluler, dan keseimbangan asam basa. Jika ginjal terganggu maka fungsi tersebut juga ikut terganggu. Pada keadaan klirens kreatinin rendah maka kadar natrium darah normal. Pada penderita GGK dapat terjadi hiponatremia atau hipernatremia. Kadar kalium biasanya meningkat pada GGK sehingga terjadi hiperkalemia. Selain itu terjadi asidosis karena terjadi penurunan bikarbonat plasma. 7). Hipertensi Terjadinya kerusakan ginjal mengakibatkan retensi natrium yang dapat menimbulkan hipertensi. Selain itu dampak kerusakan ginjal mengakibatkan penurunan perfusi ginjal yang akan mengaktifkan renin sehingga terjadi vasokonstriksi akibat angiotensin. (Marriott dan Smith, 2003) h. Komorbid Pasien

GGK

mempunyai

banyak

kondisi

komorbid.

Komorbid

didefinisikan sebagai kondisi selain penyakit utama. Komplikasi GGK seperti hipertensi, anemia, neuropati, malnutrisi, dan penyakit tulang tidak termasuk dalam komorbid. Ada tiga tipe komorbid antara lain:

14

1). Penyakit yang mnyebabkan terjadinya GGK Contoh : diabetes, peningkatan tekanan darah 2). Penyakit yang tak berkaitan dengan GGK 3). Penyakit kardiovaskuler (KDOQI, 2002) i.

Diagnosis

Diagnosis

GGK

dapat

ditegakkan

dengan

melakukan

beberapa

pemeriksaan diantaranya : 1). Pemeriksaan fungsional a). Serum (1). Kadar kreatinin serum merupakan indikator yang paling baik untuk melihat fungsi ginjal daripada urea serum. (2). Pemeriksaan elektrolit darah seperti natrium, kalium, klorida, bikarbonat. Pada pemeriksaan serum pasien GGK diketahui terjadi hiperkalemia, asidosis karena rendahnya bikarbonat serum, hipokalsemia, dan hipofosfatemia. b). Urin (1). Dilakukan dengan penglihatan menggunakan mikroskop meliputi warna, kekeruhan, ada tidaknya darah, (2). dilakukan kultur apakah terjadi infeksi (3). Pemeriksaan klirens kreatinin sudah menjadi standar klinik untuk menilai fungsi ginjal selama lebih dari 40 tahun

15

(4). pH Pada urin normal sekitar 4,5-7,8. Pada pasien dengan asidosis tubulus renal maka pH >5,5 karena lemahnya sekresi ion hidrogen pada tubulus distal. (5). Glukosa Pada orang normal dalam urin tidak terdapat glukosa karena sudah difiltrasi oleh glomerulus ginjal. Jika konsentrasi glukosa melebihi ambang batas reabsorbsi di ginjal maka terjadi glukosuria. (6). Keton Asetoacetat dan aseton secara normal tidak ditemukan di urin. (7). Menampung urin selama 24 jam untuk menghitung GFR (Glomerular filtration rate). c). Pemeriksaan struktural Dilakukan prosedur penggambaran: (1). Ultasonography (USG) Dapat digunakan untuk melihat adanya tumor dan kista pada ginjal serta melihat adanya sumbatan pada saluran kemih. (2). Intravenous urography (IVU) Dapat mengetahui adanya sumbatan pada ginjal dan melihat ukuran kandung kemih. (3). Pain abdominal radiography Dapat melihat adanya kalsifikasi pada ginjal dan osteodistrofi ginjal.

16

(4). Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) Dapat memberikan informasi tentang ginjal dan saluran kemih serta suplai darah ke ginjal. (5). Renal biopsy Dapat menunjukkan penyebab penurunan fungsi ginjal walaupun masih sulit untuk mendiagnosa penyakit apa yang membuat jaringan ginjal mengalami perlukaan. (6). Reciprocal creatinine plots Dapat mengetahui fungsi ginjal. (KDOQI, 2002; Marriott dan Smith, 2003; Joy et al., 2008) j. Terapi Tujuan terpi GGK adalah menunda perkembangan GGK dengan cara meminimalkan keparahan terkait dengan komplikasi. 1). Terapi Non farmakologi Beberapa yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit ini berkembang parah seperti yang dipulikasikan (Joy et al., 2008; Abboud dan Henrich, 2010; Kidney International Supplements, 2013), antara lain: a). Pembatasan protein Dapat menunda kerusakan ginjal. Intake protein yang dilakukan 0.8g/kg/hari untuk pasien dewasa dengan atau tanpa diabetes serta GFR <30 ml/min/1.73 m2. Intake protein memperburuk CKD.

>1.3 g/kg/hari beresiko

17

b). Pembatasan Glukosa Disarankan

pemeriksaan

(53mmol/mol)

untuk

hemoglobin

mencegah

dan

A1c

(HbA1c)

menunda

7.0%

perkembangan

komplikasi mikrovaskuler diabetes pada pasien CKD dengan diabetes. c). Hentikan merokok d). Diet natrium, diusahakan < 2.4 g per hari e). Menjaga berat badan BMI <25, lingkar pinggang <102cm untuk pria, dan <88cm untuk wanita. f). Olahraga Direkomendasikan melakukan olahraga ringan 30-60 menit seperti jalan santai, jogging, bersepeda atau berenang selama 4-7 hari tiap minggu. Terapi non farmakologi lain yang dilakukan pada pasien GGK terutama yang sudah stage 5 adalah : a). Hemodialisis Merupakan tindakan untuk membuang sampah metabolisme yang tak bisa dikeluarkan oleh tubuh, seperti adanya ureum di dalam darah. Dilakukan jika pasien menderita GGK stadium 5 dan diberika diuretik tidak berefek.

18

b). Operasi AV Shunt (arterio veno shuntting) Merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan kepada pasien sebelum menjalankan hemodialisis rutin. Operasi ini adalah operasi pembuatan saluran untuk hemodialisis. 2). Terapi Farmakologi Terapi pada GGK lebih pada pengatasan gejala yang muncul. a). Hipertensi Tekanan darah target untuk pasien GGK <130/80mmHg. ACEI dan ARB merupakan pilihan pertama yang digunakan untuk terapi hipertensi pada GGK (Carrol, 2006). b). Proteinuria Ditemukan sejumlah protein dalam urin. Hal ini biasa terjadi seiring dengan meningkatnya keparahan penyakit GGK. Jika rasio albumin dengan kreatinin > 0,3 sebaiknya diterapi dengan ACEI atau ARB (Carrol, 2006; Abboud dan Henrich, 2010). c). Dislipidemia Target kadar LDL adalah < 100mg/dl pada pasien GGK. Obat yang sering digunakan adalah golongan statin (Carrol, 2006). d). Diabetes Diabetes merupakan komplikasi umum pada GGK. Target penurunan kadar HgbA1C <7% (Carrol, 2006).

19

e). Anemia Pilihan terapi adalah eritropoietin dan penambahan zat besi (Carrol, 2006). f). Abnormalitas mineral tulang Pada GGK stadium 3 paling banyak terjadi hiperparatiroidisme, sehingga terapi yang dilakukan adalah memperbaiki kekurangan vitaminD. Selain itu menjaga kadar hormone tiroid 35-70 pg/mL pada GGK stadium 3, dan 70-110 pg/mL pada stadium 4 (Carrol, 2006). 2.

Anemia pada gagal ginjal kronik a. Eritropoesis Eritropoiesis berasal dari kata eritro yang berarti sel darah merah dan

poiesis yang berarti membuat, jadi eritropoesis merupakan proses pembentukan atau produksi sel darah merah. Pada manusia, proses eritropoiesis terjadi di sumsum tulang merah. Ketika ginjal mendeteksi rendahnya kadar oksigen di darah maka ginjal akan melepaskan hormone yang disebut eritropoetin (EPO) yang akan menuju sumsum tulang merah untuk menstimulasi pembentukan sel darah merah (Lankhorst dan Wish, 2010). EPO diproduksi pada bagian sel endotelial kapiler peritubular ginjal akibat mekanisme feed back pengukuran kapasitas pembawa oksigen. Hypoxia inducible

factor (HIF) merupakan senyawa yang diproduksi di ginjal dan beberapa jaringan lain. Degradasi spontan HIF dihambat jika terdapat penurunan oksigen yang

20

seharusnya terjadi anemia atau hypoksia. Adanya HIF memicu stimulasi sintesis EPO. (Lankhorst dan Wish, 2010) b. Definisi anemia Anemia bukan suatu penyakit, melainkan merupakan kondisi yang menghasilkan beberapa perbedaan patologi. Anemia dicirikan sebagai penurunan hemoglobin (Hb) atau sel darah merah. Penurunan kadar Hb berakibat pada menurunnya kapasitas pembawa oksigen dalam darah (Acomb, 2003; Dipiro et al., 2009). Menurut World Health Organization (WHO), anemia adalah keadaan jumlah sel darah merah yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologi tubuh (WHO, 2011). c. Patofisiologi anemia pada GGK Penurunan

konsentrasi

oksigen

jaringan

mengakibatkan

ginjal

meningkatkan produksi dan pelepasan EPO ke dalam plasma darah, yang menstimulasi stem sel untuk berdeferensiasi ke dalam proeritroblast, selanjutnya meningkatkan kecepatan mitosis, meningkatkan pelepasan retikulosit dari sumsum tulang belakang, dan menginduksi pembentukan hemoglobin. (Ineck et

al., 2008). Pada gagal ginjal terjadi defisiensi eritropoietin sehingga proses pembentukan hemoglobin menjadi berkurang. d. Manifestasi klinik 1). Gejala Gejala anemia diantaranya lemah, mudah lelah, nafas pendek, kehilangan semangat untuk aktivitas. Gejala ini muncul jika kadar Hb ≤10 g/dL. (Lankhorst dan Wish, 2010) Penurunan kemampuan berolahraga, letih, pusing, mudah

21

tersinggung, jantung berdebar-debar, vertigo, nafas pendek, nyeri dada, muncul gejala neurologi pada defisiensi vitamin B12 (Ineck et al., 2008). 2). Tanda Takikardi, pucat, penurunan ketajaman mental, lemah otot, pingsan (Acomb, 2003; Ineck et al., 2008). e. Etiologi Penyebab anemia secara umum karena defisiensi nutrisi (seperti zat besi, vitamin B12, asam folat), gangguan sentral yang menyebabkan kerusakan sumsum tulang, perdarahan, dan penyakit kronis serta inflamasi kronis (Ineck et

al., 2008; Shavelle dan Kenzie, 2012). Penyebab anemia pada pasien GGK ada banyak faktor. Penyebab utama anemia pada gagal ginjal adalah defisiensi EPO. Seiring dengan proses kerusakan ginjal maka terjadi defisiensi EPO yang berperan besar dalam peningkatan anemia. Faktor lain yang berpengaruh diantaranya penurunan masa hidup sel darah merah, kehilangan darah, dan defisiensi zat besi (Dipiro et al., 2009; Lankhorst dan Wish, 2010). Setiap hari kira-kira 2 x 1011 eritrosit beredar di sirkulasi. Eritrosit normal mempunyai umur 120 hari, bagi yang tak normal mempunyai umur yang lebih pendek. Pada GGK stadium 5, waktu hidup eritrosit diganggu oleh sel pada sistem retikuloendotelial yang ditemukan di limpa dan sumsum tulang belakang (Acomb, 2003). Penurunan masa hidup sel darah merah dapat terjadi pada pasien GGK (Masood dan Teehan, 2012). Hal ini dikarenakan terjadi penurunan produksi eritropoietin yang berfungsi memicu proliferasi, maturasi, dan peningkatan jumlah

22

sel darah merah . Selain itu eritropoietin yang dilepaskan sel endogen sebagai respon terjadinya anemia dapat mencegah apoptosis dari eritrosit progenitor sumsum tulang belakang yang masih muda. Sehingga jika berkurang maka akan terjadi penurunan umur sel darah merah. (Weiner dan Miskulin, 2010). f. Diagnosis Berdasarkan Kidney International Supplements vol 2 tahun 2012, untuk menegakkan diagnosis anemia diperlukan beberapa pemeriksaan. Berikut rekomendasi pemeriksaan laboratorium antara lain: 1). Pemeriksaan complete blood count (CBC) diperoleh pemeriksaan sel darah merah, jumlah sel darah putih, jumlah platelet, indek sel darah merah seperti mean corpuscular haemoglobin [MCH],

mean corpuscular volume [MCV], mean corpuscular haemoglobin concentration [MCHC], kadar Hb. Selain itu diketahui juga tingkat keparahan anemia berdasarkan data kadar Hb (Mikhail et al., 2012). Anemia dapat diketahui dari pemeriksaan kadar hemoglobin, berikut adalah rekomendasi dari WHO Tabel II. Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia dalam (g/L)

Populasi Anak usia 6-59 bulan Anak usia 5-11 tahun Anak usia 12-14 tahun Wanita usia ≥ 15 tahun dalam keadaan hamil Wanita usia ≥ 15 tahun tak hamil Pria usia ≥ 15 tahun (WHO, 2011)

Bukan Anemia 110 atau lebih 115 atau lebih 120 atau lebih 110 atau lebih

Ringan 110-109 110-114 110-119 100-109

Anemia Sedang 70-99 80-109 80-109 70-99

Berat <70 <80 <80 <70

120 atau lebih

110-119

80-109

<80

130 atau lebih

110-129

80-109

<80

Terapi anemia pada pasien GGK dapat dilakukan setelah kadar Hb <11g/dl atau <10,5 g/dl jika lebih muda dari 2 tahun. Selain itu pasien sudah menimbulkan

23

gejala seperti kelelahan, nafas pendek, lesu, dan jantung berdebar-debar (Hyslop

et al., 2011). 2). Jumlah retikulosit absolut Untuk menilai kemampuan sumsum tulang belakang. Normal jumlah retikulosit absolut adalah 40,000 - 50,000 cells/μL (Mikhail et al., 2012). Jumlah retikulosit meningkat pada keadaan hemolisis atau kehilangan banyak darah. Akan menurun pada kasus anemia dengan hipoproliferatif eritropoesis. 3). Feritrin serum Pemeriksaan feritrin serum bertujuan untuk mengevaluasi cadangan zat besi. Jika kadar feritrin ≤30 ng/ml (≤30 mg/l) menandakan terjadi defisiensi zat besi yang berat, yang menunjukkan tidak adanya penyimpanan zat besi di sumsum tulang. Pada pasien GGK yang tergantung hemodialisis, dikatakan memiliki cadangan zat besi normal pada sumsum tulang jika kadar feritrin ≥300 ng/ml (≥300 mg/l) (Mikhail et al., 2012). Anemia defisiensi zat besi didiagnosa ketika kadar ferritin < 100 µg/L pada pasien GGK stadium 5 serta dipertimbangkan ketika kadar ferritin < 100 µg/L pada pasien GGK stadium 4 dan 5 (Hyslop et al., 2011) 4). Serum transferrin saturation (TSAT) Paling sering digunakan untuk mengukur ketersediaan zat besi untuk mendukung keberlangsungan eritropoesis (Mikhail et al., 2012). Anemia pada GGK terjadi jika TSAT <20% (Hyslop et al., 2011)

24

5). vitamin B12 dan kadar asam folat dalam serum kadang tak umum dilakukan pemeriksaan, tetapi penting untuk diterapi pada kasus anemia khususnya yang terjadi sel darah merah makrositik. 6). % HRC (Hypochromic red blood cells) Dapat digunakan untuk menilai ketersediaan zat besi. (Mikhail et al., 2012). Pada anemia GGK jumlah HRC >6%. 7). Serum C- reactive protein Untuk menilai ada tidaknya peradangan (Mikhail et al., 2012) g. Jenis Anemia Anemia menurut Shavelle dan Kenzie (2012) dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan penyebabnya : 1). Anemia karena defisiensi nutrisi atau kehilangan darah a). Defisiensi zat besi Dapat diketahui jika kadar transferrin serum < 12 ng/mL, dan TSAT <15%. b). Defisiensi vitamin B12 Diketahui jika vitamin B12 < 200 pg/mL. c). Defisiensi asam folat Jika kadar asm folat serum < 2.6 ng/mL. 2). Anemia karena penyakit kronik atau inflamasi kronik Bisa terjadi akibat GGK, Gagal jantung, terjadi infeksi, trauma berat.

25

3). Anemia tak diketahui penyebabnya Klasifikasi anemia menurut Acomb (2003) berdasarkan ukuran dan warna sel darah merah: a). Hipokromik mikrositik Contohnya pada anemia defisiensi besi, sideroblastik, dan talasemia. b). Normokromik makrositik Terjadi akibat defisiensi asam folat dan vitamin B 12. c). Polikromatofilik makrositik Contohnya adalah hemolisis Anemia diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah merah yaitu makrositik, mikrositik, dan normositik. Makrositik berarti ukuran sel darah merah lebih besar dari normal, hal ini terkait dengan defisiensi vitamin B12 atau asam folat. Mikrositik artinya ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal dan terjadi akibat defisiensi zat besi. Sedangkan Normositik artinya ukuran sel darah merah tetap normal dan ini terjadi pada penyakit kronis atau kehilangan darah (Ineck et

al., 2008; Dipiro et al., 2009). Anemia pada GGK mempunyai ciri penurunan aktivitas eritropoetin. Anemia pada GGK adalah hypoproliferatif dan umumnya normokromik dan normositik

dimana warna dan ukuran sel darah merah normal (Kidney

International Supplements, 2012). h. Penatalaksanaan anemia Hal yang dapat dilakukan jika diketahui mengalami anemia diantaranya sebagai berikut.

26

1). Penilaian Faktor Penyebab/Pemberat Anemia Dengan melihat faktor penyebab maka anemia dapat ditangani dengan tepat. 2). Koreksi Anemia a). Asam folat Jika terjadi defisiensi perlu segera diterapi dengan suplemen asam folat karena penting untuk pembentukan asam nukleat, protein, asam amino.purin, timin, DNA, dan RNA (Ineck et al.,2008). Selain itu berkaitan dengan peningkatan proliferasi eritroid, dan suplemen yang memadai untuk menunjang efek optimal dari Eritropoietin (Bamgbola, 2011). b). Vitamin B12 Merupakan substrat utama pembentukan sel darah merah. Vitamin B12 merupakan nutrisi hematopoetik. Jika jumlahnya sedikit dapat membatasi efikasi Eritropoiesis atau proses pembentukan sel darah merah (Bamgbola, 2011). c). Eritropoetin (1). Inisiasi terapi ESA Untuk pasien yang memungkinkan keuntungan kualitas hidup dan fungsi fisik jika dilakukan terapi ini. Selain itu terlebih dahulu mempertimbangkan kelayakan penggunaan ESA jika terdapat

27

komorbid atau perkembangan kearah negatif. Dapat dicoba jika belum jelas keuntungannya. Usia sendiri bukan merupakan faktor penentu terapi anemia kerena GGK (Hyslop et al., 2011). (2). Penyesuaian dosis ESA Untuk menjaga kadar Hb pada rentang 10-12 g/dl pada dewasa atau 9,5-11,5 g/dl pada anak usia < 2 tahun. Untuk menjaga kecepatan peningkatan Hb antara 1-2 g/dl tiap bulan. Penyesuaian ini dilakukan jika Hb > 11,5g/dl atau di bawah 10,5 g/dl (Hyslop et

al., 2011). d). Terapi zat besi Zat besi dibutuhkan untuk untuk produksi sel darah merah baru. Zat besi harus disuplai menuju jaringan eritropoetik dalam jumlah cukup (Mikhail et al., 2012). Menurut Hyslop et al (2011), dalam melakukan terapi anemia pada GGK dibutuhkan terapi zat besi. hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: (1). Mengoptimalkan status zat besi Bisa dilakukan sebelum atau ketika memulai terapi ESA. Dapat juga dilakukan sebelum memutuskan menggunakan ESA pada pasien non dialisis.

28

(2). Koreksi zat besi yang harus dijaga Antara lain serum ferritin >200 µg/L, TSAT >20% (kecuali jika ferritin >800 µg/L), %HRC <6% (kecuali jika ferritin >800 µg/L). Dilakukan tinjauan dosis zat besi ketika serum ferritin mencapai 500 µg/L (sebaiknya jangan ditingkatkan di atas 800 µg/L). 3.

Eritropoietin Diperkenalkannya rekombinan eritropoetin manusia sekitar tahun 1980-an,

secara drastis merubah terapi anemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Semenjak itu dijadikan terapi anemia utama pada pasien gagal ginjal kronik (Lankhorst dan Wish, 2010; Weiner, 2010)

Food

Drug

and

Administration

(FDA)

telah

memperkenalkan

Erythropoiesis-Stimulating Agents (ESA) yang digunakan sebagai standar terapi pada kasus defisiensi eritropoietin dan normositik anemia yang banyak terjadi pada GGK. Obat yang tergolong kelas ESA antara lain epoetin alfa/EPO (merek dagang Epogen®, Procrit®), darbopoetin alfa/DPO (merek dagang Aranesp®), dan methoxy polyethylene glycol-epoetin beta. Jenis eritropoietin yang banyak dipakai di Indonesia adalah epoetin alfa (merek dagang Hemapo®, dan Eprex®), serta epoetin beta (merek dagang Recormon®). ESA bekerja dengan menstimulasi sumsum tulang untuk mempoduksi sel darah merah. Terapi ini bersifat individual dan digunakan dosis sekecil mungkin sudah cukup menurunkan kebutuhan transfusi darah (Masood, 2012).

29

Terapi eritropoietin diberikan jika kadar Hb jauh dibawah 10 g/dL, dengan target terapi menurut FDA kadar Hb mencapai 10-12 g/dL. Berdasar clinical trial, terapi pemeliharaan dengan eritropoietin

untuk anemia dengan gagal ginjal

kronik tidak dilakukan jika kadar Hb >13 g/dL, karena beresiko terhadap gangguan kardiovaskuler (Lankhorst dan Wish, 2010). 4.

Transfusi Darah Tujuan utama penggunaan transfusi darah adalah meningkatkan kapasitas

transport oksigen, sehingga dapat menstabilkan ketersediaan oksigen. Selain itu dapat mengganti volume darah, meningkatkan viskositas darah. Jika kadar Hb 610 g/dl maka disarankan untuk melakukan transfusi darah (Gombotz, 2012). Transfusi darah ini dilakukan sebagai prosedur penyelamatan hidup seseorang. Pasien yang menunjukkan gejala anemia harus ditransfusi jika mereka tidak bisa beraktivitas tanpa diobati terlebih dahulu anemia yang diderita (Sharma et al., 2011). Transfusi darah banyak digunakan dalam terapi anemia pada pasien gagal ginjal kronik walaupun diketahui memiliki kekurangan diantaranya yang sering terjadi adalah reaksi transfusi yang berkaitan dengan golongan darah, transmisi berbagai macam agen infeksi, reaksi penularan penyakit hepatitis B, C dan alergi. Selain itu memunculkan berbagai reaksi imunomodulator yang dapat memicu infeksi nosokomial. Hal yang dapat terjadi jika dilakukan transfusi jangka panjang adalah terjadi kelebihan zat besi (hemosiderosis) sehingga zat besi dapat menumpuk pada organ vital seperti jantung, hati yang diketahui menyebabkan fibrosis. (Gould et al., 2007; Marik dan Corwin, 2008).

30

5.

Evaluasi Farmakoekonomi Tujuan utama evaluasi farmakoekonomi adalah memberikan keputusan

layanan kesehatan untuk mengalokasikan sumberdaya yang lebih baik (Vogenberg, 2001). a. Pengertian Farmakoekonomi Farmakoekonomi mengambil serta menerapkan prinsip dasar dan metodologi ekonomi dalam bidang kesehatan terutama yang berkaitan dengan farmasi serta kebijakannya. Oleh karena itu, farmakoekonomi menjangkau luas teknik pada evaluasi ekonomi dalam bidang kesehatan yang spesifik pada pengelolaan pengobatan (Walley, 2004). b. Kategori Biaya 1). Biaya medik langsung (direct medical cost) Merupakan biaya yang digunakan secara langsung untuk perawatan medis pasien. Contoh : biaya obat, biaya dokter, biaya rumah sakit, biaya pemeriksaan (radiologi, USG, CT scan), biaya laboratorium , dan biaya operasi (Wilson, 2001; walley, 2004) 2). Biaya non medik langsung (direct non-medical cost) Merupakan biaya langsung yang berhubungan dengan perawatan non medis. Contoh : biaya transportasi ke RS, biaya yang dikeluarkan keluarga yang menginap menjaga pasien (Wilson, 2001). Biaya administrasi dan rawat inap juga termasuk pada kelompok biaya non medik langsung.

31

3). Biaya tak langsung (indirect cost) Merupakan biaya yang tak langsung dikeluarkan pasien akibat menjalani perawatan kesehatan. Contoh : hilangnya produktivitas kerja (Wilson,2001) 4). Biaya tak teraba (intangible cost) Merupakan biaya yang dikeluarkan pasien untuk hal-hal yang tak teraba sehingga sukar dihitung. Contoh : biaya perubahan

kualitas hidup seperti

kecemasan, kelelahan, penderitaan pasien, rasa nyeri, tekanan emosi (Wilson, 2001 ; Walley, 2004) c. Perspektif Analisis Perspektif atau sudut pandang adalah titik kunci untuk pertimbangan dalam

berbagai

evaluasi

ekonomi,

dimana

segi

pandangan

penelitian

diselenggarakan. (Walley, 2004). Ada beberapa perspektif analisis dalam penelitian farmakoekonomi diantaranya : 1). Perspektif pasien Adalah yang paling utama karena pasien merupakan konsumen akhir dari pengguna layanana kesehatan. Biaya yang dihitung adalah biaya yang dibayarkan oleh pasien dalam menggunkan produk atau layanan kesehatan, dalam hal ini tidak dibawah asuransi (Sanchez, 2011). 2). Perspektif penyedia layanan kesehatan (provider) Dari sudut pandang penyedia layanan kesehatan yang dijadikan pertimbangan hanya biaya langsung (direct cost) saja. (Walley, 2004)

32

3). Perspektif pembayaran (payer) Di sini termasuk perusahaan asuransi, perusahaan, dan pemerintah. Dari biaya ini dapat menunjukkan perubahan produk layanan kesehatan, pelayanan yang tersedia, uang ganti untuk pembayar. Namun, biaya tidak langsung seperti hilangnya hari kerja dan penurunan produktivitas juga dapat memberikan kontribusi pada total biaya pelayanan kesehatan yang ditanggung pembayar (Sanchez, 2005). 4). Perspektif masyarakat (social) Dari sudut pandang masyarakat akan lebih baik jika dilakukan studi biaya tak langsung (indirect cost). Secara umum, dari perspektif masyarakat yang dipertimbangkan adalah yang paling tepat, tetapi pengelola penyedia layanan kesehatan dihadapkan pada terbatasnya anggaran dana (Walley, 2004). d. Metode Evaluasi Farmakoekonomi Ada lima metode evaluasi farmakoekonomi diantaranya :

1). Cost analysis Sering disebut cost of illness (COI) atau biaya yang dikeluarkan dalam pengobatan. COI merupakan gabungan 3 komponen yaitu biaya medik, biaya non medik yang berhubungan dengan pengobatan, dan biaya tak langsung. Kadang juga dilakukan perhitungan biaya yang tak teraba. Metode ini membandingkan biaya total penggunaan obat tetapi tidak membandingkan kemanjuran antar obat. Keuntungan metode ini dapat menunjukkan biaya total sesungguhnya dan dapat mengidentifikasi biaya-biaya tersembunyi (hidden cost) (Bootman, 1996).

33

2). Cost minimization analysis Metode ini membandingkan biaya total penggunaan 2 obat atau 2 intervensi yang efikasi dan efek samping atau outcome dianggap ekuivalen (Bootman, 1996 ; Vogenberg, 2001). Kelebihan metode ini adalah lebih sederhana daripada metode analisis lain karena tidak mengukur outcome. Kekurangannya yaitu hanya dapat dilakukan jika outcome identik (Wilson, 2001).

3). Cost effectiveness analysis Metode ini membandingkan biaya dan outcome dalam satuan kesehatan seperti tekanan darah, kadar Hb. Kelebihan metode ini adalah outcome tak perlu dikonversi dalam mata uang. Kekurangannya adalah harus mempunyai outcome yang dapat diukur dalam satuan sama (Wilson, 2001). Yang memiliki biaya yang rendah dengan efektifitas tinggi yang dipilih (Vogenberg, 2001).

4). Cost utility analysis Metode ini menggunakan satuan pengukuran Quality Adjusted Life Years (QALYs) yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas hidup. Dianggap sub kelompok CEA (cost effective analysis) karena pengukurannya menggunakan efektivitas biaya dan menyesuaikan dengan nilai kualitas hidup (Vogenberg, 2001). QALYs adalah nilai lama bertahan hidup dalam tahun dikalikan estimasi kualitas hidup (Walley, 2004). Kelebihan metode ini adalah perbedaan dari

outcome dapat dibandingkan menggunakan satuan baku yaitu QALYs. Kekurangannya adalah sulit menentukan keakuratan nilai QALYs (Wilson, 2001)

34

5). Cost benefit analysis Metode ini membandingkan input (biaya) dengan outcome (benefit yang dikonversi dalam mata uang) dari suatu intervensi (Bootman, 1996; Walley, 2004). Metode ini dapat digunakan untuk meneliti pengobatan tunggal. Sebagai contoh menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah dengan satu program kesehatan dibandingkan dengan biaya jika program tersebut terlaksana. Semakin tinggi nilai rasio benefit cost maka program tersebut menguntungkan. Nilai rasio > 1 artinya benefit lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan. Kekurangan metode ini yaitu sulit mengkonfersi benefit ke dalam mata uang (Vogenberg, 2001). 6.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Rumah sakit PKU Muhammadiyah didirikan pada tanggal 15 Februari

1923 di kampung Jagang Notoprajan

Yogyakarta. Awalnya berupa klinik

sederhana bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) dengan maksud menyediakan pelayanan kesehatan bagi kaum dhuafa’. Didirikan atas inisiatif H.M. Sudjak yang didukung sepenuhnya oleh K.H. Ahmad Dahlan. Pada tahun 1928 perkembangan klinik semakin bertambah besar dan berkembang menjadi poliklinik PKO Muhammadiyah. Lokasi juga harus lebih luas dan perlu dipindahkan ke tempat yang lebih memadai dengan menyewa sebuah bangunan di Jalan Ngabean No.12 B Yogyakarta (sekarang Jalan K.H. Ahmad Dahlan).

35

Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1936 poliklinik PKO Muhammadiyah pindah lokasi lagi ke Jalan K.H. Ahmad Dahlan No. 20 Yogyakarta hingga saat ini. Dan Pada tahun 1970-an status klinik dan poliklinik berubah menjadi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta hingga saat ini. Pada sekitar era tahun 1980-an nama PKO berubah menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat). RS PKU Muhammadiyah mempunyai visi menjadi rumah sakit Islam yang berdasar pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dan sebagai rujukan terpercaya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan kualitas pelayanan kesehatan yang Islami, profesional, cepat, nyaman dan bermutu, setara dengan kualitas pelayanan rumah sakit - rumah sakit terkemuka di Indonesia dan Asia. Sedangkan misi RS ini adalah : a.

Mewujudkan derajad kesehatan yang optimal bagi semua lapisan masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, pencegahan, pengobatan, pemulihan

kesehatan

secara

menyeluruh

sesuai

dengan

peraturan/ketentuan perundang-undangan. b.

Mewujudkan peningkatan mutu bagi tenaga kesehatan melalui sarana pelatihan dan pendidikan yang diselenggarakan secara profesional dan sesuai tuntunan ajaran Islam.

c.

Mewujudkan da’wah Islam, amar ma’ruf nahi munkar di bidang kesehatan dengan senantiasa menjaga tali silaturrahim, sebagai bagian dari da’wah Muhammadiyah.

36

7.

Kerangka Konsep Jenis Terapi Anemia GGK

Eritropoietin

Transfusi Darah

Gabungan Eritropoietin dan Transfusi Darah

Outcome: 1. LOS 2.Peningkatan kadar Hb setelah terapi. 3.Kadar Hb pasien mencapai target (≥10g/dl) waktu dipulangkan.

Anemia dengan GGK

Faktor pasien: 1.Umur 2.Jenis kelamin 3.Stadium penyakit GGK

Komorbid dan komplikasi: 1. Hipertensi 2. Diabetes 3. Hiperurisemia 4. Gangguan GI 5. Infeksi

Faktor lain: 1.Kelas perawatan 2.Cara bayar

Biaya 1. Biaya medik langsung a. UGD b. Jasa medis c. Eritropoietin d. Transfusi darah e. Radiologi f. USG g. Obat h. Laboratorium i. Oksigen j. Hemodilaisis k. Operasi l. EKG m.CSSD n. Fisioterapi 2. Biaya nonmedik langsung a. Administrasi b. Rawat inap c. Loundry Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

Analisis biaya dan outcome terapi

37

8.

Keterangan Empirik Dengan dilakukan penelitian ini dapat diketahui pengobatan anemia yang

banyak dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani rawat inap di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2012. Penelitian ini juga untuk mengetahui outcome terapi anemia pada pasien GGK dilihat dari adanya peningkatan kadar Hb setelah terapi dan tercapainya kadar Hb target ≥10 g/dl setelah mendapat terapi eritropoietin, transfusi darah, maupun gabungan terapi keduanya. Selain itu diketahui total biaya terapi pada pasien anemia karena gagal ginjal kronik yang menggunakan eritropietin, transfusi darah, serta gabungan terapi keduanya, sehingga dapat diketahui terapi yang mempunyai biaya terendah. Penelitian ini juga dapat menentukan komponen biaya penyusun dan menghitung persentase sehingga diketahui komponen biaya yang punya kontribusi besar dalam pembiayaan. Besarnya biaya terapi tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga pada penelitian ini diterangkan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya total biaya terapi.