BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengobatan dengan menggunakan bahan-bahan herbal semakin diminati oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan efek yang sudah dipercaya secara turunmenurun ampuh dan efek samping yang dirasakan relatif lebih kecil. Penggunaan bahan herbal sebagai antibakteri memiliki beberapa keuntungan berkaitan dengan keamanan, ketersediaan, dan meminimalkan efek samping (Caburian & Osi, 2010). Bahan herbal yang sudah sering dimanfaatkan masyarakat adalah daun sirih yang diketahui memiliki aktivitas antibakteri dan antifungi. Daun Piper betle L. berkhasiat sebagai antisariawan, antibakteri, antibatuk, adstringen, dan antiseptik (Anonim, 1980). Pada permukaan rongga mulut terdapat banyak koloni mikroorganisme. Salah satu penyakit yang umum pada rongga mulut akibat kolonisasi mikroorganisme adalah karies gigi. Karies gigi diawali akibat pertumbuhan Streptococcus mutans dan spesies Streptococcus lainnya pada permukaan gigi. Spesies Streptococcus ini mampu menempel pada permukaan gigi (Pratiwi, 2008). Daun sirih sering dimanfaatkan untuk menghilangkan bau mulut dan menyehatkan gigi terhindar dari karies (Kumar et al, 2010) karena dapat melawan bakteri patogen mulut penyebab karies gigi. Daun sirih diketahui mengandung minyak atsiri yang terdiri dari hidroksikavikol, kavibetol, estargiol, eugenol, metileugenol, karvakrol, terpen, seskuiterpen, fenilpropan dan tanin (Anonim,
1
2
1980). Penggunaannya dengan cara mengunyah daun sirih secara langsung dinilai kurang praktis, sehingga untuk mempermudah pemakaian maka dikembangkan sediaan patch mukoadhesif daun sirih. Sediaan patch bukal mukoadesif daun sirih ditujukan untuk penggunaan lokal sebagai obat antibakteri penyebab karies gigi (Hamida, 2013). Kadar ekstrak daun sirih dalam formulasi sediaan sangat menentukan efikasi dari sediaan dan faktor lain seperti daya difusi ekstrak daun sirih untuk keluar dari sediaan juga akan sangat mempengaruhi efikasi dari sediaan patch bukal mukoadhesif. Pembuatan suatu simplisia untuk menjadi ekstrak kering, kental, atau basah harus melalui proses ekstraksi dengan suatu pelarut tertentu yang dapat menarik komponen-komponen yang diinginkan. Pada penelitian Hamida (2013), metode ekstraksi yang dipilih pada pembuatan ekstrak daun sirih adalah infundasi menggunakan aquadest sebagai penyari. Penggunaan pelarut air dinilai lebih aman karena sediaan ditujukan penggunaannya pada rongga mulut, tetapi penyarian dengan metode ini menghasilkan filtrat yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan kapang karena bakteri dan kapang mudah tumbuh pada media berair (Anonim, 2000), sehingga perlu dilakukan evaporasi untuk mengurangi pelarut air menjadi ekstrak kental/kering. Pengeringan pelarut dapat dilakukan dengan cara pemanasan hingga didapatkan ekstrak kental. Pada beberapa komoditas tanaman obat, pengeringan pada suhu tinggi dapat merusak komponen bahan aktif karena sensitif terhadap panas (Sembiring, 2009). Metode dengan pemanasan dapat menyebabkan hilangnya senyawa-senyawa volatil yang terdapat di dalam ekstrak. Komponen
3
didalam daun sirih yang berperan besar sebagai antibakteri adalah komponen minyak atsiri. Minyak atsiri bersifat volatil, sehingga metode pengeringan panas dapat membuat berkurangnya jumlah komponen minyak atsiri yang terkandung dalam ekstrak. Selain itu menurut Sembiring (2009) ekstrak yang masih kental dapat menyulitkan dalam penentuan dosis karena kurang homogen dan menyulitkan saat pengambilan. Metode pengeringan lain yang dapat digunakan adalah dengan freeze drying atau liofilisasi yaitu metode untuk melepaskan pelarut dengan dilakukan pendinginan. Metode ini dapat menghasilkan ekstrak yang lebih kering dibandingkan dengan metode pemanasan. Diharapkan dengan metode ini maka senyawa-senyawa volatil dan senyawa sensitif panas yang terdapat dalam ekstrak tidak rusak atau sedikit komponen yang menguap. Pemberian ekstrak daun sirih dengan konsentrasi yang semakin besar dapat meningkatkan jumlah zat aktif dalam sediaan, sehingga mampu meningkatkan
aktivitas
antibakteri
patch
(Hamida,
2013).
Peningkatan
konsentrasi ekstrak diharapkan tidak mempengaruhi sifat patch secara signifikan atau diharapkan dapat memperbaiki sifat patch. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan
latar
belakang
yang
dipaparkan
maka
dirumuskan
suatu
permasalahan sebagai berikut: 1.
Apakah patch ekstrak daun sirih dengan basis kitosan mampu memberikan aktivitas antibakteri?
4
2.
Bagaimana sifat patch yang dihasilkan pengaruhnya pada variasi konsentrasi ekstrak? C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan sediaan
farmasi, yaitu optimasi pembuatan sediaan patch bukal mukoadhesif daun sirih agar semakin meningkat kebermanfaatannya dalam pencegahan karies gigi, sehingga sediaan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif obat antibakteri yang lebih menguntungkan dan praktis dibandingkan dengan penggunaan daun sirih secara langsung oleh masyarakat luas. D. TUJUAN PENELITIAN a.
Tujuan Umum Mengembangkan sediaan baru yang penggunaannya lebih praktis dan lebih estetika untuk digunakan oleh masyarakat dan mengoptimasi sediaan tersebut agar semakin optimum efikasinya terhadap pencegahan karies gigi.
b.
Tujuan Khusus 1.
Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi ekstrak terhadap sifat patch yang dihasilkan.
2.
Mengetahui aktivitas antibakteri patch ekstrak daun sirih dengan kitosan sebagai basisnya.
5
E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Tanaman Sirih 1) Morfologi Sirih merupakan tanaman menjalar dan merambat pada batang pohon, memiliki tinggi 5m sampai 15 m (Anonim, 1993), dan biasanya tumbuh pada daerah yang tropis dan memiliki kelembaban tinggi. Sirih dapat ditemukan dengan mudah pada hutan yang memiliki kelembaban yang relatif tinggi (Dwivedi & Tripathi, 2014). Daun sirih memiliki pemerian berupa helaian daun berbentuk bulat telur sampai lonjong, ujung runcing, pangkal berbentuk jantung atau agak bulat, sedikit berlekuk, tepi daun rata menggulung, panjang 5-18 cm, lebar 3-12 cm, warna daun hijau kecokelatan hingga cokelat, permukaan bawah kasar, kusam, berwarna lebih muda dari permukaan atas. Tulang daun permukaan atas agak tenggelam, permukaan bawah menonjol, tangkai daun bulat, panjang 1,5-3 cm, bau khas, dan rasa pedas (Anonim, 2008). 2) Klasifikasi Tanaman Sirih (Piper betle L. )
Gambar 1. Daun Piper betle L. (Caburian & Osi, 2010)
6
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Piperales
Suku
: Piperaceae
Marga
: Piper
Spesies
: Piper betle L (Pradhan et al., 2013)
3) Khasiat Ekstrak daun sirih telah diketahui memiliki banyak efek farmakologis seperti sebagai kardioprotektif, antiplatelet, anti inflamasi, antioksidan, neuroprotektif, hepatoprotektif, antiulcer, antidiabetes, dan antimutagen (Varunkumar et al, 2014). Daun sirih mengandung senyawa antioksidan yang dapat menetralisir radikal bebas di dalam tubuh sehingga dapat mencegah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas di dalam tubuh (Pradhan et al, 2013). Daun sirih sudah sejak lama dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional sebagai karminatif, stimulan, antiseptik, antifungal, dan agen antibakteri. Pada penelitian terdahulu, daun sirih, akar, dan ekstrak daun sirih menunjukkan aktivitas antimikrobial yang kuat (Jenie, 2001). Daun sirih mempunyai aktivitas antimikroba yang signifikan melawan beberapa jenis mikroorganisme. Ekstrak daun sirih dapat menghambat
bakteri
patogen
seperti
Streptococci,
Lactobacilli,
7
Staphylococci, Corynebacteria, dan lainnya yang memproduksi asam dan mengubah struktur dan sifat dari enamel. Menurut Pradhan et al. (2013) bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap efek penghambatan ekstrak sirih karena hanya mempunyai satu lapis membran sel dibandingkan bakteri Gram negatif yang mempunyai dua lapis membran dan lebih kompleks. 4) Kandungan kimia Kandungan kimia yang sudah diisolasi dari daun dan akar daun sirih adalah hidroksikavikol, kavibetol, kadinene, allilpirokatekol, estragol, metil eugenol, hidroksil katekol, metil piperbetol, piperol A, piperol B, karvakol, karyophillene, eugenol, isoeugenol, piperine, β-sitosterol, βsitosterilpalmitat (Varunkumar et al, 2014) Daun sirih mengandung minyak atsiri berupa safrol, alilpirokatekol monoasetat, isomer eugenol, terpinen-4-ol, eugenil asetat. Fenol yang umum ditemukan dalam daun sirih adalah 1, 8 – sineol, kadinene, kampen,
caryophyllene, limonen,
pinen, kavikol,
alil-
pirokatekol, karvakrol, safrol, eugenol, dan kavibetol (Pradhan et al, 2013). Komponen hidroksikavikol sudah diteliti sebagai antimikrobial, dan menunjukkan hasil yang baik pada aplikasinya. Penggunaan hidroksikavikol dalam Piper betle sebagai oral care agent sudah dievaluasi dan ditemukan bahwa profil antimikrobanya sangat cocok sebagai komponen aktif (Sharma et al, 2009)
8
2. Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau basah yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 2000). Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Dengan diketahuinya zat aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan - lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut (Anonim, 1986). Beberapa macam metode ekstraksi, antara lain: 1) Infundasi Infundasi adalah
proses penyarian yang umumnya digunakan
untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahanbahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Anonim, 1986).
9
Prinsip infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infusa tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit). Infusa diserkai melalui kain flanel selagi panas, kemudian ditambah air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki ( Anonim, 2000). Hasil infundasi umumnya diserkai dalam keadaan panas, tetapi untuk bahan yang mengandung minyak atsiri, diserkai dalam keadaan dingin. 2) Maserasi Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat di desak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan di dalam sel sempurna (Anonim, 1986). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang menggunakan zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan lain-lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah
10
pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986). Bersama pelarut yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat dan isinya dikocok berulang-ulang, lamanya berkisar 2-14 hari (Ansel, 1989). 3) Perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan diatasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan (Anonim, 1986). Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi, ekstraksi yang kaya ekstrak (Ansel, 1989). 4) Soxhletasi Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000). Kekurangan metode ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi cukup lama sehingga kebutuhan energinya tinggi.
11
3. Freeze Drying Freeze drying atau dikenal juga dengan liofilisasi, merupakan metode yang digunakan secara luas dalam pembuatan sediaan farmasi untuk meningkatkan stabilitas. Freeze drying adalah proses dimana awalnya bahan mengalami pembekuan dan lalu dikeringkan dari pelarut secara sublimasi pada temperatur rendah (Oetjen, 2004). Mekanisme ini berbeda dengan proses pengeringan biasa, dimana pengeringan biasa terjadi melalui mekanisme penguapan (evaporasi) yang biasa terjadi pada suhu tinggi. Proses pengeringan biasa terjadi melalui mekanisme penguapan pada suhu panas, sehingga bahan akan mengalami perubahan kimia yang dapat menyebabkan kerak di permukaan yang akan memberikan hambatan bagi difusi uap ke lingkungan, sehingga menghasilkan produk yang bagian luarnya sudah kering, tetapi bagian tengahnya masih basah. Pada proses pengeringan beku mekanisme pengeringannya adalah sublimasi, sehingga tidak terjadi perubahan kimia pada bahan yang dapat menyebabkan penghambatan dfusi uap ke lingkungan, dan produk dapat kering secara maksimal (Hariyadi, 2013). Freeze drying atau proses pengeringan beku menurut Tang & Pikal (2004) melalui 3 tahap yaitu: a.
Freezing Pembekuan bahan merupakan tahap dimana solven yang berupa air terpisah dari solut untuk membentuk padatan es. Pada proses ini solut menjadi terpekatkan.
12
b.
Pengeringan Primer Tahap pengeringan primer disebut juga tahap sublimasi es.Tahap ini dimulai saat tekanan pada chamber dikurangi dan temperatur dinaikkan untuk menyediakan panas agar terjadi sublimasi es. Pada saat pengeringan primer, tekanan chamber diatur tertentu dibawah tekanan uap solven, dan solven ditransfer dari produk menuju kondenser melalui proses sublimasi dan dikristalisasi pada kondenser. Tahap ini merupakan tahap yang paling panjang dan perlu optimalisasi.
c.
Pengeringan Sekunder Pengeringan sekunder adalah tahap dimana air yang tidak membeku dikeluarkan dari solut. Setelah tahap pengeringan primer , produk masih mengandung sedikit air residu. Pengeringan sekunder akan mengurangi sisa air tersebut agar solut lebih kering dengan temperatur pengeringan yang lebih tinggi dari pengeringan primer. Pengeringan beku (freeze drying) adalah metode pengeringan yang
mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Keunggulan pengeringan beku menurut Pujihastuti (2009), dibandingkan dengan metode lainnya adalah : 1. Dapat mempertahankan stabilitas produk (menghindari perubahan aroma, warna, dan unsur organoleptik lain)
13
2. Dapat mempertahankan stabilitas struktur bahan (pengkerutan dan perubahan bentuk setelah pengeringan sangat kecil) 3. Dapat meningkatkan daya rehidrasi dan dapat kembali ke sifat fisiologis, organoleptis, dan bentuk fisik yang hampir sama dengan sebelum pengeringan 4. Antibakteri Menurut
Pratiwi
(2008)
antibiotik
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan spektrum atau kisaran kerja, mekanisme aksi, strain penghasil, cara biosintesis maupun berdasarkan struktur biokimianya. Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik dibedakan menjadi berikut : 1) Menghambat sinstesis dinding sel Antibiotik ini adalah antibiotik yang merusak lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri Gram positif maupun Gram negatif, contohnya penisilin. Kerusakan pada dinding sel atau penghambatan pada formasinya akan berakibat pada lisisnya sel. Antibiotik beta laktam dan glikopeptida merupakan salah satu kelas antibiotik yang mengganggu biosintesis dinding sel. Penghambatan sintesis dinding sel akan menghasilkan perubahan bentuk dan ukuran sel, menginduksi respons stress dan lisisnya sel (Kohanski et al, 2010). 2) Merusak membran plasma Membran plasma bersifat semipermeabel dan mengendalikan transpor berbagai metabolit ke dalam dan ke luar sel. Adanya gangguan atau kerusakan struktur pada membran plasma dapat menghambat atau
14
merusak kemampuan membran plasma sebagai barrier osmosis dan mengganggu sejumlah proses biosintesis yang diperlukan dalam membran. Antibiotik yang bersifat merusak membran plasma umum terdapat pada antibiotik golongan polipeptida yang bekerja dengan mengubah permeabilitas membran plasma sel bakteri. 3) Menghambat sintesis protein Obat yang menghambat sintesis protein dapat dibagi menjadi dua subkelas yaitu inhibitor 50S dan inhibitor 30S. Inhibitor 50S bekerja dengan cara memblok inisiasi dari translasi protein atau translokasi dari peptidil tRNA yang pada nantinya akan menghambat reaksi peptidil transferase yang memperpanjang rantai peptida. Sementara itu inhibitor 30S bekerja dengan cara memblok jalan aminoasil tRNA menuju ribosom (Kohanski et al, 2010). 4) Menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA) Penghambatan pada sintesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap transkripsi dan replikasi mikroorganisme. 5) Menghambat sintesis metabolit esensial Penghambatan terhadap sintesis metabolit esensial antara lain dengan adanya kompetitor berupa antimetabolit, yaitu substansi yang secara kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip dengan substrat normal bagi enzim metabolisme.
15
Terdapat bermacam-macam
metode uji antimikroba menurut
Pratiwi (2008) seperti berikut : 1) Metode difusi a. Metode disc diffusion Metode untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan
pertumbuhan
mikroorganisme
oleh
agen
antimikroba pada permukaan media agar. b. E-test Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitory concentration) atau KHM (kadar hambat minimum), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar. c. Ditch-plate technique
16
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji digoreskan kearah parit yang berisi agen antimikroba. d. Cup-plate technique Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar. e. Gradient-plate technique Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang diatasnya. Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang
17
mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan. Faktor difusi agen antimikroba dapat mempengaruhi keseluruhan hasil pada media padat. 2) Metode Dilusi a. Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution) Metode
ini
mengukur
MIC
(minimum
inhibitory
concentration) atau KHM (kadar hambat minimum) dan MBC (minimum bactericidal concentration) atau KBM (kadar bunuh minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikro uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM. b. Metode dilusi padat/solid dilution test Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.
18
5. Bakteri Streptococcus mutans Klasifikasi bakteri Streptococcus mutans adalah sebagai berikut : Kerajaan
: Monera
Divisi
: Firmicutes
Kelas
: Bacili
Bangsa
: Lactobacillus
Suku
: Streptococcaceae
Marga
: Streptococcus
Jenis
: Streptococcus mutans (Gani et al,, 2009) Karies gigi diawali akibat pertumbuhan Streptococcus mutans dan
spesies Streptococcus lainnya pada permukaan gigi (Pratiwi, 2008). Pada tahun 1924, Clarke mengisolasi organisme yang berasal dari luka pada karies gigi manusia, dan menyebutnya Streptococcus mutans karena pada pengecatan Gram, bakteri ini berbentuk lebih oval daripada bulat, dan menyimpulkan bahwa bakteri ini bentuk mutan dari Streptococcus (Loesche, 1986) Streptococcus mutans memiliki kemampuan untuk mensintesis insoluble glukan yang berperan sangat agresif dalam membentuk plak dan berkoloni pada permukaan enamel gigi (Koga et al., 1982). Streptococcus mutans merupakan bakteri acidic, bakteri ini memproduksi asam sehingga menciptakan suasana asam pada lapisan oral biofilm (Hamilton & Buckley, 1991). Ekspansi pembentukan insoluble glukan oleh reaksi
19
antara sukrosa dan enzim glukosil transferase yang dihasilkan oleh bakteri dan kondisi asam yang disebabkan oleh reaksi tersebut menyebabkan gigi menjadi busuk, sehingga bakteri ini merupakan koloni bakteri yang paling berperan dalam menyebabkan karies gigi (Nicolas et al, 2011). 6. Kromatografi Kromatografi merupakan cara pemisahan yang mendasarkan partisi cuplikan antara fasa bergerak dan fase diam. Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif, atau preparatif dalam bidang farmasi, lingkungan, industri, dan sebagainya. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). 1) Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis merupakan bentuk kromatografi planar, fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat alumunium, atau pelat plastik. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending). Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dilaksanakan setiap saat secara cepat.
20
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT partisi dan adsorpsi. Sistem fase gerak yang paling sederhana adalah campuran kedua pelarut organik karena daya elusi campuran 2 pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Hasil bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna sehingga untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisik, maupun biologi. 2) Kromatografi GC-MS Kromatografi gas merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran.Kegunaan umum kromatografi gas adalah untuk melakukan pemisahan dinamis dan identifikasi semua jenis senyawa organik yang mudah menguap dan juga untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam suatu campuran. Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solutsolut yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya. Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diam.
21
Spektrometer massa jika digunakan sebagai detektor maka akan mampu memberikan informasi data struktur kimia senyawa yang tidak diketahui (Gandjar dan Rohman, 2007). 7. Karies Gigi Karies merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi yang disebabkan aktifitas bakteri flora mulut yang dapat menyebabkan destruksi pada jaringan keras gigi (Brooks et al., 2007). Peristiwa awal timbulnya karies adalah pengendapan plak. Plak gigi didefinisikan sebagai berbagai macam populasi mikroorganisme yang ditemukan pada permukaan gigi dalam bentuk biofilm yang melekat pada matriks ekstraseluler dari polimer pada inang (Marsh, 2004). Biofilm adalah suatu kumpulan organisme yang melekat pada suatu permukaan dan diselimuti oleh lapisan polisakarida. Karies merupakan penyakit multifaktorial. Untuk terjadinya karies, maka kondisi setiap faktor tersebut harus saling mendukung, jika salah satu faktor tidak ada maka karies tidak terjadi (Ruslawati, 1991). a. Faktor agen atau mikroorganisme Bakteri memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies (Brooks et al., 2007). Peran bakteri dalam proses karies adalah membentuk plak gigi. b. Faktor substrat atau diet Substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakkan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan email (Aswal, 2010).
22
c. Faktor host Faktor host yang menentukan dalam proses terjadinya karies yaitu faktor morfologi gigi diantaranya adalah ukuran dan bentuk gigi serta struktur enamel (Ruslawati, 1991) d. Faktor waktu Karies gigi dianggap sebagai penyakit kronis yang berkembang dalam beberapa bulan atau tahun., lama waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi, diperkirakan 6-48 bulan (Pintauli, 2009). 8. Sediaan Patch Mukoadhesif Oral Bioadhesif merupakan istilah yang menggambarkan interaksi adhesif/perekat dengan bahan biologis yang berasal dari manapun, dan ketika interaksi adhesif terbentuk dengan melibatkan mukus atau membran mukosa, maka fenomena tersebut dikatakan mukoadhesif (Mathiowitz, 1999). Mukoadhesi dapat meningkatkan intensitas dan durasi kontak antara polimer yang mengandung obat dan permukaan mukus. Selain itu dipercaya bahwa aplikasi obat secara mukoadhesif dapat meningkatkan lama keberadaan obat di dalam tubuh. Bioavaibilitas obat meningkat karena kombinasi efek absorpsi obat secara langsung dan penurunan laju ekskresi sehingga dapat menurunkan konsentrasi dan menurunkan frekuensi administrasi obat untuk mencapai outcome berupa efek terapi yang diinginkan (Kaul et al, 2011).
23
Mekanisme mukoadhesif terbagi menjadi dua tahap, yaitu the contact stage dan the consolidation stage. Pada tahap the contact stage terjadi kontak antara mukoadhesif dan membran mukosa, dengan penyebaran dan pembengkakan dari sediaan yang dapat menginisiasi kontak dengan lapisan mukus. Pada tahap the consolidation stage, material mukoadhesif diaktivasi oleh adanya kelembaban. Kelembaban akan membuat sistem menjadi bersifat plastic, memungkinkan molekul mukoadhesif untuk membebaskan diri dan berikatan (Carvalho et al, 2010). Keuntungan sistem penghantaran mukoadhesif adalah 1) obat mudah diadminisrasikan dan dapat digunakan dalam kondisi gawat darurat, 2) obat dapat diberikan pada pasien yang trauma dan pasien yang tidak sadar, 3) terhindar dari first pass metabolism sehingga dapat meningkatkan bioavaibilitas, 4) dapat digunakan untuk obat yang tidak stabil pada lingkungan lambung, 5) fleksibel dalam keadaan fisik, bentuk fisik, ukuran, dan permukaan, 6) onset cepat (Raghavendra et al., 2013). Patch bukal digambarkan sebagai suatu lapisan yang terdiri dari impermeable backing layer, drug reservoir layer yang mengandung bahan obat akan melepaskan obat secara terkontrol, dan suatu permukaan bioadhesif untuk melekatkan pada mukosa. Dua metode dalam pembuatan patch bukal, yaitu solvent casting dan direct milling. Pada metode direct miling, komponen formula dicampur hingga homogen dan kemudian dikempa sesuai dengan ketebalan yang diinginkan
24
dan patch dengan ukuran dan bentuk tertentu dipotong atau ditekan keluar. Sedangkan pada metode solvent casting, patch dibuat dengan cara mencampur larutan obat dengan polimer kemudian dituangkan ke dalam cetakan, dan pelarut dibiarkan menguap. Backing layer dapat ditambahkan untuk mengontrol arah pelepasan obat, meminimalkan kehilangan obat, dan meminimalkan deformasi dan disintegrasi sediaan selama sediaan diaplikasikan (Kaur et al., 2012). 9. Monografi Bahan 1) Kitosan Nama resmi
: Kitosan hidroklorida
Sinonim
:
2-amino-deoksi-(1,4)-β-D-glukopiran,
deasetil
kitin, β-1,4-poli-D-glukosamin
Gambar 2. Rumus Struktur Kitosan (Rowe et al, 2009)
Kitosan diproduksi secara komersial dari cangkang udang dan kepiting. Kitosan sering dimanfaatkan sebagai coating agent, disintegran, agen pembentuk film, mukoadhesif, pengikat, dan agen untuk meningkatkan viskositas. Kitosan banyak digunakan pada
25
sediaan kosmetik dan beberapa formulasi sediaan farmasi dengan pengawasan. Kitosan adalah suatu poliamin kationik dengan densitas muatan yang tinggi pada pH < 6,5 dan dapat mengkelat logam. Kitosan merupakan polielektrolit linear dengan gugus hidroksil yang reaktif dan gugus amino (Rowe et al, 2009). 2) Asam asetat glasial Nama resmi
: Asam asetat glasial
Sinonim
: asam etanoat, asam metana karboksilat, asam
etanolik Rumus molekul : C2H402 Rumus struktur :
Gambar 3. Rumus Struktur Asam Asetat (Rowe et al, 2009)
Asam asetat glasial secara luas digunakan sebagai agen acidifying dalam formulasi sediaan farmasi dan preparasi makanan. Asam asetat digunakan sebagai buffer dalam sediaan farmasi saat dikombinasikan dengan garamnya seperti natrium asetat. Larut dalam etanol, eter, gliserin, air, dan minyak volatil. Asam asetat diklaim mempunyai sifat antibakteri dan antifungal. Asam asetat memiliki harga pKa 4,76 dan asam asetat glasial yang mengandung lebih dari 50% w/w asam asetat dalam air atau pelarut organik dapat
26
bersifat korosif dan mengiritasi. Asam asetat harus disimpan pada tempat yang sejuk dan kering dalam wadah tertutup rapat (Rowe et al, 2009). 3) Aquadest Nama resmi
: Purifed Water (air murni)
Sinonim
: Aqua, aqua purificata
Rumus molekul : H2O Air murni memiliki pemerian jernih, tidak berwarna, dan tidak berbau. Aquadest adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmotic balik, atau proses lain yang sesuai. Tidak mengandung zat tambahan lain. Kegunaannya adalah sebagai pelarut. Aquadest disimpan dalam wadah tertutup rapat (Anonim, 1995) 4) Etil selulosa Nama resmi
: Etil selulosa
Rumus struktur :
Gambar 4. Rumus Struktur Etil Selulosa (Rowe et al, 2009)
Etil selulosa secara luas digunakan dalam formulasi sediaan oral dan topikal. Etil selulosa berfungsi sebagai coated agent, flavoring agent, pengikat tablet, pengisi tablet, dan agen peningkat
27
viskositas. Manfaat utama etil selulosa dalam sediaan oral adalah sebagai hidrofobik coating agent untuk tablet dan granul untuk memodifikasi pelepasan obat, menutupi rasa kurang enak, atau untuk meningkatkan stabilitas dari formulasi. Etil selulosa yang dilarutkan dalam pelarut organik atau campuran solven dapat membentuk lapisan film tidak larut air. Etilselulosa dengan viskositas tinggi cenderung membentuk lapisan film yang lebih kuat dan lapisan ini dapat dimodifikasi untuk mengubah kelarutannya dengan penambahan plasticizer. Etil selulosa stabil dan sedikit bersifat higroskopis. Etil selulosa harus disimpan pada suhu tidak lebih dari 32oC pada tempat yang kering dan terhindar dari sumber panas, dan terhindar dari agen peroksida atau agen oksida lainnya. Etil selulosa umumnya bersifat tidak toksik, tidak menyebabkan alergi, dan tidak mengiritasi (Rowe et al, 2009). 5) Kloroform Nama resmi
: Kloroform
Sinonim
: Triklorometana
Rumus molekul : CHCl3 Berat molekul
: 119, 38 g/mol
Kloroform mempunyai titik didih pada suhu 61oC dan mempunyai bau yang khas. Kloroform dapat larut pada alkohol, benzena, petroleum eter, karbon tetraklorida, karbon disulfida, dan
28
minyak. Kloroform dapat terdekomposisi secara perlahan karena pengaruh cahaya, air, tekanan panas, dan nyala api. Kloroform dimanfaatkan sebagai pelarut ekstraksi dan purifikasi senyawa antibiotik, alkaloid, vitamin, dan flavour. Selain itu, kloroform juga sering dimanfaatkan pelarut organik bahan kimia, obat, dan pestisida. Pada saat ini, penggunaan kloroform semakin digantikan dengan pelarut yang lebih tidak toksik (Anonim, 2014). 6) Propilen Glikol Nama resmi
: Propilen Glikol
Sinonim
: 1,2-dihidroksipropana, 2-hidroksipopanol, metil etilen gikol
Rumus molekul : C3H8O2 Rumus struktur :
Gambar 5. Rumus Struktur Propilen Glikol (Rowe et al, 2009)
Propilen glikol berfungsi sebagai preservatif antimikroba, desinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, agen penstabil, dan cosolvent larut air. Propilen glikol secara luas digunakan sebagai solven, penyari, dan preservatif dalam berbagai formulasi sediaan parenteral dan non parenteral. Propilen glikol merupakan pelarut luas yang lebih baik dari gliserin dan dapat melarutkan banyak
29
material, seperti kortikosteroid, fenol, obat golongan sulfa, barbiturat, vitamin, sebagian alkaloid, dan anestasi lokal. Propilen glikol kebanyakan digunakan sebagai plasticizer dalam formula aquueous film-coating. Selain itu juga digunakan dalam kosmetik dan industri makanan sebagai pembawa untuk emulsifier. Propilen glikol bersifat higroskopis dan harus disimpan pada wadah yang tertutup rapat pada tempat sejuk dan kering (Rowe et al, 2009). F. LANDASAN TEORI Daun sirih mempunyai aktivitas antimikroba yang signifikan melawan beberapa jenis mikroorganisme yaitu bakteri patogen seperti Streptococci, Lactobacilli, Staphylococci, Corynebacteria, dan lainnya yang memproduksi asam dan mengubah struktur dan sifat dari enamel (Pradhan et al, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Desphande & Kadam (2013), konsentrasi hambat minimum terhadap bakteri Streptococcus mutans, ekstrak air daun sirih adalah sebesar 10 mg/mL dan ekstrak etanol daun sirih adalah sebesar 5 mg/mL. Selain itu, pada penelitian Nalina & Rahim (2007), ekstrak daun sirih menyebabkan terjadinya kerusakan membran plasma sel bakteri dan koagulasi nukleoid diamati menggunakan transmission electron microscopy dan ekstrak daun sirih juga mengurangi suasana asam yang diproduksi oleh bakteri yang berperan dalam mekanisme pembentukan plak. Kandungan utama dalam daun sirih yang diketahui memiliki aktivitas antibakteri adalah hidroksikavikol (Jesonbabu et al., 2011) dan eugenol
30
(Gaysinsky et al, 2005). Minyak atsiri eugenol merupakan komponen utama yang terdapat pada daun sirih (Dwivedi & Tripathi, 2014) yang bersifat volatil. Salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah konsentrasi dan frekuensi pemaparan. Semakin tinggi konsentrasi antibakteri maka aktivitas antibakterinya akan semakin besar. (Cappucino & Sherman, 2002). Cream dan salep kurang sesuai untuk penggunaan rongga mulut karena kurang melekat dan kemungkinan terbilas oleh saliva, sehingga penggunaan sediaan patch dinilai lebih menguntungkan. Penambahan bahan pengembang dan plasticizer dapat meningkatkan persentase swelling dari patch karena memiliki sifat yang mudah menyerap air dan mempengaruhi sifat elastisitas patch (Patel et al., 2007), penambahan jumlah ekstrak tanpa disertai bahan pengembang pada penelitian tidak akan berpengaruh terhadap sifat patch secara signifikan. Pengeringan beku (freeze drying) adalah metode pengeringan/penguapan yang mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas (Pujihastuti, 2009), sehingga kerusakan senyawa yang tidak tahan panas pada ekstrak daun sirih akan lebih kecil dibandingkan dengan metode penguapan dengan menggunakan pemanasan.
31
G. HIPOTESIS 1.
Penambahan variasi konsentrasi ekstrak daun sirih tidak mempengaruhi sifat fisik dan kimia patch yaitu keseragaman bobot, folding endurance, swelling index, dan surface pH secara signifikan.
2.
Sediaan patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih mampu memberikan aktivitas
antibakteri
terhadap
bakteri
Streptococcus
mutans.