Document not found! Please try again

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG SINDROM KORONER AKUT

Download A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (...

0 downloads 555 Views 254KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen Kesehatan, 2006). SKA merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan meskipun dunia kedokteran sudah cukup maju dalam bidang kardiovaskuler, angka kematian pada infark miokard dan serangan ulang penderita SKA masih cukup besar (Hamm dkk., 2011). SKA yang terdiri atas infark miokard dengan atau tanpa elevasi segmen ST merupakan gangguan yang mengancam dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi meskipun penatalaksaan terapi SKA telah berkembang (Kolansky, 2009). SKA menyebabkan angka perawatan rumah sakit yang sangat besar dalam tahun 2003 di Pusat Jantung Nasional dan merupakan masalah utama saat ini. Pada tahun 2010, secara global PJK menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker (Departemen Kesehatan, 2006). Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang

1

2

disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK (Departemen Kesehatan, 2006). Menurut data statistik dari American Heart Association (AHA), sekitar 18% pada pria dan 23% pada wanita dengan usia >40 tahun meninggal dalam kurun waktu 1 tahun yang memiliki infark miokard untuk diagnosa pertama, 20% pasien SKA masuk rumah sakit untuk serangan ulang dalam 1 tahun dan 60% dari biaya rumah sakit terkait dengan pasien SKA yang mengalami ulangan masuk rumah sakit (Kolansky, 2009). Tingginya angka morbiditas, mortalitas, dan biaya pada pasien SKA maka diperlukan strategi penatalaksanaan terapi pada pasien SKA untuk mengurangi beban penyakit. Kini telah banyak pedoman dan evidence-based untuk penatalaksanaan terapi pasien SKA (Kolansky, 2009). Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan terapi pada pasien SKA agar strategi penatalaksanaan terapi pasien SKA berlangsung secara optimal, efektif, dan efisien sesuai dengan pedoman dan standar terapi yang telah ditetapkan (Departemen Kesehatan, 2006). Standar terapi yang digunakan sebagai pedoman manajeman penatalaksaan terapi SKA diantaranya adalah The American College of Cardiology (ACC)/American Heart Association (AHA) dan European Society of Cardiology (ESC). Pemilihan obat dalam tatalaksana terapi SKA antara lain adalah antiiskemik, antikoagulan, antiplatelet, trombolitik/fibrinolitik, serta obat pendukung lain seperti ACE inhibitor untuk mencegah remodelling dan obat golongan statin untuk stabilisasi plak (Braunwald dkk., 2002). Selain pemberian obat, pedoman

3

mengenai revaskularisasi darurat oleh European Society Cardiology menyebutkan bahwa revaskularisasi diberikan pasien STEMI adalah emergensi/darurat sehingga tidak ada penundaan dalam melakukan revaskularisasi, sedangkan pada pasien dengan NSTEMI bersifat urgensi/mendesak sehingga revaskularisasi dapat dilakukan dalam 24 jam dan tidak melebihi waktu dari dari 72 jam setelah episode SKA (Windecker dkk., 2014). Pemberian revaskularisai degan intervensi koroner perkutan (PCI) dapat meningkatkan outcome klinik pasien SKA yakni mampu menurunkan angka mortalitas dan mobiditas (Blackman dkk., 2003). Pengambilan keputusan terapi oleh layanan kesehatan di rumah sakit telah berkembang dari berbasis pendapat menjadi berbasis bukti ilmiah. Pengambilan keputusan tersebut dikenal sebagai praktek yang berdasarkan bukti ilmiah. Publikasi terkait bukti ilmiah terbaru dan permintaan praktek klinis seharihari di rumah sakit membuat sulit para klinisi kesehatan untuk melaksanakan terapi yang berdasarkan bukti ilmiah terbaru (Rotter dkk., 2010). Klinisi kesehatan seringkali dalam memberikan pelayanan kesehatan yang bervariasi sesuai dengan ilmu pengetahuan dan seni yang dimilikinya. Variasi memang diperlukan karena masing-masing pasien memiliki variasi kondisi tubuh saat bereaksi terhadap obat dan penyakit yang dideritanya. Namun tidak sedikit, variasi yang diberikan tidak diperlukan dan menimbulkan beban pada pasien. Beban yang ditimbulkan, salah satunya adalah beban biaya. Agar kondisi seperti ini bisa dikendalikan maka diperlukan pelaksanaan clinical pathway (Rahma, 2013).

Beberapa

layanan

kesehatan

telah

membuat

dokumen

yang

4

mengkombinasi bukti ilmiah terbaik dan praktek klinis, yang kenal dengan clinical pathway (Rotter dkk., 2010). Clinical pathway diperkenalkan di akhir tahun delapan puluhan di Inggris. Clinical pathway didefinisikan sebagai rangkaian dokumentasi dari intervensi klinis dalam jangka waktu tertentu, ditulis dan disepakati bersama oleh tim multidisipliner yang terdiri atas dokter, perawat, dan profesional kesehatan medis. Clinical pathway membantu pasien dengan kondis klinis atau diagnosis tertentu melalui pengalaman klinis atau outcome yang diinginkan (Bor, 2011). Clinical pathway semakin banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi perawatan pasien, memperpendek lama rawat inap, mengurangi biaya perawatan, meningkatkan keselamatan pasien dan outcome klinik (menurunkan angka kematian). Salah satu tujuan penggunaan clinical pathway adalalah implementasi dari guideline yang berdasarkan bukti klinis (Bor, 2011). Pemilihan terapi yang telah disesuaikan dengan clinical pathway salah satunya bertujuan untuk menghindari variasi dalam terapi sehingga dapat memperbaiki outcome klinik pasien (Cox dkk., 2011). Variasi clinical pathway dapat terjadi selama perawatan pasien berlangsung meskipun ada tujuan penting yang diinginkan dalam proses perawatan. Variasi dapat terjadi di layanan kesehatan yang menggunakan clinical pathway dan terdapat adanya variasi apabila dalam proses perawatan pasien tidak mendapatkan, gagal menerima pengobatan, dan/ atau adanya kebutuhan untuk tambahan intervensi dari rencana pengobatan yang telah tersedia atau yang telah disesuaikan dengan clinical pathway (Cheah, 2000a).

5

Pengumpulan dan analisis informasi dari variasi pelaksanaan clinical pathway penting untuk dilakukan. Analisis variasi dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan akurat dalam perawatan pasien dan mendorong anggota tim multidisipner di dalam layanan kesehatan yang terdiri atas praktisi kesehatan mematuhi pedoman dan standar yang ditetapkan dalam clinical pathway. Analisa variasi pelaksanaan clinical pathway dapat dijadikan alat untuk mengevaluasi aspek perawatan pasien dan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan secara kontinyu untuk dapat mencerminkan perawatan terbaik pada saat ini (Cheah, 2000a). Rumah Sakit Umun Pusat Dr Sardjito telah mengembangkan clinical pathway untuk SKA. Evaluasi pelaksanaan clinical pathway pada pasien SKA di RSUP Dr. Sardjito didasarkan dalam lembar penilaian yang diisi oleh praktisi kesehatan. Dengan dikembangkan clinical pathway untuk tatalaksana terapi pasien SKA maka diharapkan pasien benar-benar mendapat pelayanan yang dibutuhkan sesuai kondisinya sehingga dapat menimalkan pemberian terapi yang tidak diperlukan SKA, karena penatalaksanaan terapi kondisi SKA yang tidak benar dapat mempengaruhi prognosis penyakit SKA dan outcome klinik pasien. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pelaksanaan clinical pathway dapat meningkatkan outcome klinik dan kualitas perawatan pasien dengan mengurangi variasi dalam proses klinis. Penelitian yang dilakukan oleh Cheah pada tahun 2000 dengan judul ―Clinical Pathway – An Evaluation of its Impact on the Quality of Care in Acute Care General Hospital in Singapore‖ menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada angka rata-rata lama rawat

6

inap atau length of stay (LOS) (p<0,001). Meskipun tolak ukur kinerja layanan kesehatan tidak terkait langsung dengan outcome klinik pasien, pemeriksaan outcome klinik pasien SKA penting dilakukan sebagai salah satu indikator kualitas layanan kesehatan (Radovanovic dkk., 2010). Penilaian akhir outcome klinik dalam kardiologi dikenal dengan MACE (major adverse cardiovascular event) atau kejadian yang tidak diinginkan yang bersifat fatal. Beberapa penelitian melakukan evaluasi mengenai MACE setelah episode SKA dengan terapi yang telah disesuaikan umumnya bersifat fatal, kejadian tersebut diantaranya adalah kematian akibat penyakit jantung, stroke, gagal jantung, rehospitalization dengan angina pektoris (Huang dkk., 2010), infark miokard, dan target revaskularisasi pembuluh (Puricel dkk., 2013). Dengan tingginya angka mortalitas dan morbiditas pada pasien SKA serta adanya clinical pathway yang telah banyak diberlakukan oleh layanan kesehatan di rumah sakit yang salah satu tujuannya untuk mengurangi variasi terapi dari pedoman yang telah ada sebelumnya sehingga dapat memperbaiki outcome klinik maka diperlukan evaluasi pelaksanaan clinical pathway dengan melihat outcome klinik (lama rawat inap dan angka kejadian fatal) pada pasien SKA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada khususnya dan rumah sakit lainnya sebagai bahan dan informasi dalam mengevaluasi pelaksanaan clinical pathway yang berdasarkan pada lembar penilaian clinical pathway terhadap lama rawat inap dan angka kejadian fatal pada pasien SKA.

7

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disampaikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah terdapat hubungan pelaksanaan clinical pathway yang berdasarkan pada lembar penilaian clinical pathway terhadap lama rawat inap dan angka kejadian fatal pasien sindroma koroner akut (SKA)?

C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai hubungan pelaksanaan clinical pathway terhadap lama rawat inap dan kejadian fatal belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian mengenai evaluasi clinical pathway dalam memperbaiki outcome klinik pada pasien sindroma koroner akut secara umum telah dipublikasikan dan penelitianpenelitian tersebut dapat dijadikan acuan dalam melakukan penelitian ini. Berikut ini adalah beberapa penelitian tersebut. 1. Critical Pathways Intervention To Reduce Length of Hospital Stay (Pearson dkk., 2001). Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa sebanyak 6.796 pasien menjalani salah satu dari prosedur, yakni diantaranya adalah operasi artery bypass graft (CBAG), total dari knee replacement, kolektomi, operasi toraks, atau sebelum histerektomi dan setelah pelaksanaan critical pathway di sebuah rumah sakit pendidikan selama penelitian. Persentase pasien yang dikelola dengan critical pathway dengan kriteria yang telah ditetapkan berkisar 94% untuk histerektomi dan 26% untuk kolektomi. Sebagian besar prosedur dengan

8

post-operative menunjukkan bahwa lama rawat inap berkurang dari periode sebelum dilaksanakannya critical pathway. Setelah pelaksanaan critical pathway pada masing-masing prosedur, lama rawat inap menurut 21% untuk total dari knee replacement, 9% untuk operasi CBAG, 7% untuk operasi toraks, 5% untuk histerektomi, dan 3% untuk kolektomi dengan masing-masing mempunyai nilai p<0,01. Kesimpulan dari penelitian ini adalah critical pathway terkait dengan berkurangnya lama rawat inap setelah tindakan operasi dari ke-5 prosedur di atas. 2. Clinical Pathway – An Evaluation of its Impact on The Quality of Care in an Acute Care General Hospital in Singapore (Cheah, 2000a). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan clinical pathway dan kelompok pembandingnya yang mempunyai hasil nilai serupa pada variabel demografi, prevalensi faktor risiko dan komorbid. Terdapat penurunan yang signifikan secara statistik pada rata-rata lama rawat inap setelah diberlakukannya clinical pathway. Penurunan juga terjadi pada outcome klinik yang lain dalam jangka pendek, yakni angka kematian di rumah sakit, jumlah komplikasi dan morbiditas. Tidak adanya perbedaan yang signifikan pada kejadian ulangan masuk rumah sakit setelah 6 bulan pasien keluar dari rumah sakit. Penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi clinical pathway di rumah sakit untuk perawatan medis yang berlangsung akut, mampu secara signifikan meningkatkan outcome klinik, proses perawatan baik antar praktisi kesehatan dan memperbaiki sistim kerja.

9

3. The Problem With Composite End Points in Cardiovascular Studies (Kip dkk., 2008). Penelitian ini mengidentifikasi keberagaman pada outcome individu secara spesifik menggunakan 2 fase literature review untuk mendefinisikan major adverse cardiovascular event (MACE). Hasil menunjukkan secara signifikan pada kondisi infark miokard dengan kondisi tanpa infark miokard dan multi lesi pada pemasangan stent dengan lesi tunggal pada pemasangan stent dengan berbagai definisi MACE yang masing-masing metode penelitian telah disesuaikan. Kesimpulan penelitian ini menyebutkan bahwa berbagai definisi dan titik akhir gabungan yang dikenal dengan MACE dapat menghasilkan hasil dan kesimpulan yang berbeda sehingga istilah MACE tidak dapat digunakan sebagai titik akhir dalam pengukuran penelitian dan peneliti harus fokus pada hasil keamanan dan efektivitas dan membuat titik akhir gabungan sesuai dengan masing-masing tujuan klinik. 4. Clinical Pathway : Effects on Professional Practice, Patient Outcome, Length of Stay and Hospital Cost (Review) (Rotter dkk., 2010). Penelitian ini menunjukkan dari dua puluh tujuh studi dengan melibatkan sebanyak 11.398 peserta yang memiliki kriteria inklusi. Penelitian ini keseluruhan membandingkan perawatan dengan clinical pathway dengan perawatan tanpa clinical pathway. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya penurunan angka terjadinya komplikasi (OR 0,58; 95% interval kepercayaan (CI) 0,36-0,94) dan peningkatan dokumentasi (OR 11,95; 95% CI 72-30,30). Tidak ada bukti yang menyebutkan masuk ulangan rumah sakit atau

10

kematian di rumah sakit. Lamanya rawat inap paling banyak digunakan sebagai pengukuran outcome dengan sebagian besar hasil menunjukkan adanya penurunan yang signifikan. Penurunan biaya rumah sakit juga terjadi dari jumlah total biaya US$ +261 untuk perawatan yang tidak menggunakan clinical pathway menjadi US$ -4910 untuk perawatan dengan clinical pathway (dalam hitungan US $ standar pada tahun 2000). Heterogenitas hasil lama rawat inap dan biaya rumah sakit dicegah dengan meta analisis. Penilaian analisa apakah mengenai biaya rumah sakit yang lebih rendah mampu memberikan kontribusi terhadap biaya yang beralih ke bidang kesehatan lain tidak dilakukan. 5. Outcome of Patients with Acute Coronary Syndrome in Hospitals of Different Sizes (Radovanovic dkk., 2010). Sebanyak 11 Rumah Sakit tipe A terdiri atas 15987 pasien (52%) dan sebanyak 65 Rumah Sakit tipe B terdiri atas 15.023 pasien (48%). Pasien di Rumah Sakit tipe B umumnya terdiri dari geriatri, berjenis kelamin perempuan, diabetes mellitus, hipertensi, dan infark miokard tanpa elevasi segmen ST/angina tidak stabil. Pasien infark miokard dengan elevasi segmen ST di Rumah Sakit tipe B lebih banyak mendapat terapi trombolisis dibandingkan mendapat PCI. Kematian dan kejadian MACE terjadi lebih tinggi pada pasien di Rumah Sakit tipe B. Sebanyak 3747 pasien mengalami kematian dalam 1 tahun di Rumah Sakit tipe B, namun tidak ada perbedaan yang ditemukan dalam MACE.

11

6. A 2-Hour Diagnostic Protocol for Possible Cardiac Chest Pain in the Emergency Departement : A Randomized Clinical Trial (Than dkk., 2014). Hasil penelitian ini menunjukkan 52 dari 270 pasien pada kelompok eksperimental yang mengikuti prosedur clinical pathway berhasil dipulangkan dalam waktu 6 jam dibandingkan dengan 30 dari 272 pasien pada kelompok kontrol (19,3% vs 11,0%; OR, 1.92, 95% CI, 1.18 – 3.13, p=0.008). Oleh karenanya, diperlukan 20 jam untuk dapat memulangkan pada proporsi kelompok kontrol yang dicapai pada kelompok eksperimen dalam waktu 6 jam. Pada kelompok eksperimental, terdapat 35 pasien tambahan (12,9%) diklasifikasikan dalam kriteria pasien dengan risiko rendah namun tetapi menjalani rawat inap untuk pemeriksaan jantung dan tidak terdapat diagnosa SKA pada 35 pasien selama dirawat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah menggunakan prosedur clinical pathway pada kelompok eksperimental menghasilkan dua kali lipat proporsi pasien yang berhasil dipulangkan dengan hilangnya nyeri dada dalam waktu kurang dari 6 jam untuk pemantauan di rawat jalan yakni klinisi berhasil memulangkan sekitar 1 dari 5 pasien dengan nyeri dada. Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan, penelitian mengenai hubungan pelaksanaan clinical pathway dengan melihat variasi dalam lembar penilaian clinical pathway terhadap lama rawat inap dan kejadian fatal pada pasien SKA belum pernah dilakukan. Pustaka di atas membandingkan outcome pada kelompok yang telah diberlakukan clinical pathway dengan kelompok yang belum diberlakukan clinical pathway.

12

D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain : 1. Farmasis Sebagai bahan dan motivasi farmasis untuk dapat meningkatkan peran sebagai farmasi klinik dalam tatalaksana terapi obat dan turut membantu dalam pelaksanaan clinical pathway pada pasien sindroma koroner akut (SKA). 2. Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan Lain Memberikan informasi bagi rumah sakit dan profesi kesehatan lain mengenai pelaksanaan clinical pathway terhadap lama rawat inap dan kejadian fatal pada pasien SKA sehingga dapat digunakan untuk masukan dalam meningkatkan pelaksanaan clinical pathway untuk pasien SKA sebagai alat untuk mengevaluasi tatalaksana terapi pada pasien SKA. 3. Peneliti Memberikan data dan pustaka bagi peneliti yang akan datang dalam rangka peningkatan pelaksanaan clinical pathway pada pasien SKA.

E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pelaksanaan clinical pathway yang berdasarkan pada lembar penilaian clinical pathway terhadap lama rawat inap dan kejadian fatal pasien sindroma koroner akut (SKA).