1 BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG SKABIES

Download Skabies adalah penyakit kulit pada manusia yang ... Skabies dikenal sebagai penyakit menular yang ... artikel dan jurnal mengenai penyakit ...

0 downloads 514 Views 251KB Size
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Skabies adalah penyakit kulit pada manusia yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var. hominis (Habif et al., 2011). Penyakit ini menular dari manusia ke manusia

melalui

melalui

tempat

2009). keratin

Parasit

kontak

langsung

tidur

serta

dewasa

membuat

epidermis

dan

dengan

pakaian

(Cook

terowongan

menempatkan

kulit & di

telurnya

dan

Zumla, lapisan di

sini

(Mehlhorn & Armstrong, 2001). Skabies ekonomi

umumnya

menengah

kebersihan

diri,

ke

terjadi

pada

penduduk

bawah

yang

kurang

higiene

yang

buruk,

dengan menjaga

promiskuitas

seksual, kepadatan penduduk, dan kesalahan diagnosis dari dokter yang memeriksa. Di antara faktor di atas, kepadatan penduduk merupakan faktor terpenting dalam penyebaran skabies (Sungkar, 1995). Penularan skabies terjadi akibat hubungan erat langsung dengan penderita seperti yang terjadi di panti asuhan (Soedarto, 1987). Selain itu menurut Wolff et al. (2008), dapat juga terjadi di panti jompo, penjara, bangsal rumah sakit, dan lain-lain.

1

2

Selain dapat menimbulkan infeksi sekunder, skabies memiliki efek lain yaitu anak menjadi gelisah dan mudah lelah karena tidur malam yang terganggu akibat rasa gatal pada malam hari yang pada akhirnya mengakibatkan nafsu

makan

sering

berkurang

mengalami

(Sungkar,

infestasi

1995).

Sarcoptes

Kulit

adalah

yang daerah

interdigital, axilla, sekitar umbilikus, skrotum, dan areola

mammae.

Sarcoptes

Rasa

scabiei

gatal

dapat

yang

ditimbulkan

oleh

kerusakan

kulit

menyebabkan

(Soedarto, 1987). Skabies

dikenal

mendunia

dengan

tahunnya.

Prevalensi

setiap

waktunya

sebagai

estimasi ini

(Farrar

penyakit

300

juta

bervariasi et

al.,

menular kasus

yang setiap

dan

fluktuatif

2014).

Prevalensi

penyakit skabies di Indonesia adalah sekitar 6-27% dari populasi umum. Skabies menduduki peringkat ke-3 dari penyakit

kulit

tersering

di

Indonesia.

Di

suatu

pesantren yang padat penghuninya, prevalensi skabies mencapai 78,7% dan lebih tinggi pada kelompok dengan higiene kurang baik (Sungkar, 1995). Insidensi dapat bersifat endemik yang meningkat pada anak-anak, remaja, lansia,

pasien

tirah

baring,

dan

tingkat

pendidikan

yang rendah (Kowalak, 2003; Zayyid et al., 2010; Nazari & Azizi, 2014). Namun hal ini tidak signifikan karena

3

skabies menginfestasi semua individu tanpa memandang jenis kelamin, usia, maupun ras (Turkington & Ashby, 2007). Penyakit ini terjadi 2-6 minggu pada seseorang yang belum pernah terinfeksi sebelumnya dan 1-4 hari pada

seseorang

dengan

riwayat

penyakit

skabies

sebelumnya (Cameron et al., 2012). Menurut Kong (2009), cara

pengobatan

yang

tepat

sangat

penting

untuk

mencegah kegagalan terapi. Kegagalan terapi ini juga dapat disebabkan kurangnya pengetahuan dan pendidikan yang rendah (Schaider et al., 2012). Alasan Kabupaten

dipilihnya

Bantul,

pondok

Yogyakarta

pesantren

karena

angka

Al-Fataa, penderita

skabies di pondok pesantren tersebut cukup tinggi dan belum pernah dilakukan penelitian yang mendalam pada pondok

pesantren

tersebut

mengenai

angka

kejadian

skabies, gambaran karakteristik santri dengan skabies, hubungan antara karakteristik santri dengan skabies, dan hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian skabies. Terkait

hal

tersebut

di

atas,

maka

penelitian

perlu dilakukan terkait kejadian penyakit skabies pada Pondok

Pesantren

Yogyakarta.

Al-Fataa,

Kabupaten

Bantul,

4

I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan

latar

belakang

di

atas,

rumusan

masalah yang dapat disimpulkan adalah: 1.

Berapa angka kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Fataa, Kabupaten Bantul, Yogyakarta?

2.

Bagaimana kejadian

karakteristik skabies

di

dasar

Pondok

santri

Pesantren

dengan

Al-Fataa,

Kabupaten Bantul, Yogyakarta? 3.

Bagaimana santri

hubungan

dengan

antara

kejadian

karakteristik skabies

di

dasar Pondok

Pesantren Al-Fataa, Kabupaten Bantul, Yogyakarta? 4.

Bagaimana hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian

skabies

di

Pondok

Pesantren

Al-Fataa,

Kabupaten Bantul, Yogyakarta? I.3 Tujuan Penelitian 1.

Mengetahui

angka

kejadian

skabies

di

Pondok

Pesantren Al-Fataa, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. 2.

Mengetahui karakteristik dasar santri putra dan putri dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Fataa, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

3.

Mengetahui santri

hubungan

dengan

antara

kejadian

karakteristik skabies

di

dasar Pondok

Pesantren Al-Fataa, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

5

4.

Mengetahui

hubungan

antara

kepadatan

hunian

dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren AlFataa, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. I.4 Manfaat Penelitian 1.

Untuk

peneliti

diharapkan mengenai

lain,

hasil

dapat

melengkapi

skabies,

baik

penelitian

penelitian

itu

ini

lainnya

faktor

risiko,

diagnosis, terapi, maupun faktor prognosis. 2.

Untuk para siswa/siswi pesantren diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuan

dan

pemahaman

mengenai

faktor penularan dan pencegahan penyakit skabies. 3.

Untuk

pengelola

pertimbangan

pesantren

dalam

mengambil

sebagai suatu

bahan

kebijakan

mengenai pencegahan penyakit skabies. 4.

Untuk

instansi

terkait,

terutama

puskesmas

Kabupaten Bantul, Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan

Provinsi

Daerah

Istimewa

Yogyakarta

(DIY),

hasil penelitian ini sebagai bahan masukan untuk menyusun langkah dan strategi penanganan skabies. I.5 Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam bentuk artikel dan jurnal mengenai penyakit skabies melalui pencarian

dengan

database

medline,

proquest,

ebsco,

google, yahoo, menggunakan kata kunci: scabies/skabies,

6

risk

factor

of

scabies,

transmission

of

scabies,

treatment of scabies, penelitian tentang skabies banyak dilakukan antara lain oleh: 1.

Wahjoedi (2008) mendapatkan prevalensi yang tinggi pada pondok pesantren di Kabupaten Kulon Progo. Persamaannya adalah pada desain penelitian cross sectional, variabel

variabel bebas

perbedaannya variabel

terikat

(kepadatan

adalah

bebas

pada

lainnya

(skabies),

hunian), lokasi,

dan

sedangkan

subjek,

(tingkat

dan

pengetahuan,

sosial ekonomi, sanitasi lingkungan, dan higiene perorangan). 2.

Audhah dengan

(2009)

meneliti

kejadian

pesantren

wilayah

Persamaannya

pada

hubungan

penyakit Banjar,

faktor

skabies

di

Kalimantan

variabel

bebas

risiko pondok Selatan.

(kepadatan

hunian) dan variabel terikat (skabies) dan jenis pemeriksaan (swab kulit). Perbedaannya pada desain penelitian case control, variabel bebas lainnya (perilaku

kebersihan

diri,

kontak

dengan

penderita, pengaruh cara pengobatan), dan lokasi penelitian. 3.

Lestari

(2013)

meneliti

faktor-faktor

yang

berhubungan dengan kejadian penyakit skabies di

7

Pondok

Pesantren

Ash-Sholihah

Mlati,

Sleman,

Yogyakarta. Persamaan terdapat pada variabel bebas (kepadatan jenis

hunian),

pemeriksaan

penelitian

cross

variabel (swab

terikat

kulit)

sectional.

(skabies),

dan

rancangan

Perbedaan

terdapat

pada variabel bebas lainnya (pengetahuan, sikap, tindakan cara

kebersihan pengobatan,

Dermatophagoides

diri, dan

sp.),

sanitasi

lingkungan,

kepadatan lokasi,

dan

tungau tahun

penelitian. Belum ada penelitian mengenai kejadian penyakit skabies di Pondok Pesantren Al-Fataa, Kabupaten Bantul, Yogyakarta,

sehingga

dipertanggungjawabkan.

keasliannya

dapat