BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Orangutan merupakan satu-satunya spesies primata besar yang hidup di luar Afrika. Populasi orangutan liar hanya terdapat di pulau Kalimantan dan Sumatra (Kleiman dkk., 2008). Orangutan kalimantan memiliki nama ilmiah Pongo pygmaeus. Orangutan kalimantan merupakan salah satu spesies yang termasuk dalam ordo Primata (Sabapathy, 2012). Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) tercatat sebagai satwa yang berada dalam status genting (critically endangered) dan Appendix I (Ancrenaz dkk., 2016; CITES, 2006). Jumlah orangutan kalimantan diperkirakan hanya tersisa sekitar 45.000 sampai 69.000 ekor (Singleton dkk., 2004; Caldeccott dan Miles, 2005). Penurunan populasi yang terjadi pada orangutan dapat disebabkan oleh hilangnya habitat orangutan di alam, perburuan untuk diambil dagingnya, perburuan induk orangutan untuk diambil anaknya untuk diperdagangkan (Kleiman, dkk., 2004). Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya konservasi untuk mencegah kepunahan orangutan. Penyakit gastrointestinal dapat menjadi masalah utama pada orangutan di pusat rehabilitasi yang ditandai dengan feses encer atau lembek disertai darah, dehidrasi, emasiasi, dan kolaps (Parrott1, 2014). Diare pada primata di pusat rehabilitasi menjangkit 10—15% populasi dalam beberapa koloni setiap tahun (Taylor dkk., 1998).
1
2
Pada pusat rehabilitasi dapat timbul penyakit pada orangutan sebagai akibat dari terjadinya infeksi bakteri secara fekal-oral. Infeksi atau paparan bakteri patogen maupun oportunistik mekemudiani rute fekal-oral ini dapat terjadi karena adanya perubahan perilaku orangutan pada pusat rehabilitasi (Dellatore dkk., 2007). Orangutan yang merupakan satwa arboreal menurut Kleiman dkk. (2004), di pusat rehabilitasi masih sering terlihat turun, dan berjalan di tanah (Rahmi et al., 2014). Menurut Rahmi dkk. (2014), di pusat rehabilitasi, orangutan yang sedang dilatih mencari makanan, kadang juga akan mengambil sisa-sisa makanan yang telah jatuh, dan terkontaminasi feses. Beberapa antibiotik yang dapat digunakan pada infeksi bakteri saluran pencernaan orangutan, antara lain amoksisilin, metronidazole, azithromycin, cefazolin, ceftriaxone, doksicycline, minocycline, enrofloksasin, erythromycin, gentamicin, Penisilin G potassium+Penisilin G benzathine, dan sirup trimetoprimsulfametoxazole (Parrott1, 2014). Antibiotika-antibiotika lain yang dapat digunakan
pada
primata,
yaitu
benzylpenisilin,
kloramfenikol,
kloramfenikol+sodium suksinat, klindamisin, gentamisin sulfat, kanamisin sulfat, oksitetrasiklin, penisilin
fenoksimetil, streptomisin,
tetrasiklin,
tetrasiklin
hidroklorida (Jang dkk., 1980). Miller dan Fowler (2013) menyatakan bahwa dosis antibiotik yang diberikan pada primata, khususnya pada primata besar, secara umum serupa dengan dosis untuk manusia. Penelitian mengenai kejadian diare bakterial pada orangutan masih sedikit dilakukan. Pengobatan yang tepat perlu diberikan untuk menunjang kesembuhan. Pengobatan menggunakan antibiotik yang tidak tepat dapat menimbulkan resitensi
3
bakteri terhadap antibiotika, sehingga sensitivitas bakteri perlu diuji terlebih dahulu untuk menghindari kesalahan pemilihan antibiotik.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies Enterobacteriaceae pada orangutan kalimantan asal Borneo Orangutan Survival, dan Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta yang menunjukkan diare serta mengetahui sensitivitas bakteri yang berhasil di isolasi dari sampel berupa swab feses terhadap beberapa golongan antibiotika.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau data mengenai bakteri-bakteri penyebab diare pada oangutan, dan diharapkan mampu memberikan referensi pemberian antibiotika pada orangutan.