KAJIAN INFEKSI BRUCELLA ABORTUS PADA SAPI PERAH

Download Sapi yang ditransportasikan 80% telah positif mengandung Brucella spp. dalam nodus limfe supramamari dan kelenjar mamari serta mengsekresik...

10 downloads 602 Views 30MB Size
KAJIAN INFEKSI BRUCELLA ABORTUS PADA SAPI PERAH MENGGUNAKAN UJI SEROLOGIK DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

AMANATIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Infeksi Brucella abortus pada sapi perah menggunakan metode Serologik dan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Amanatin NIM B251100134

ABSTRACT AMANATIN. Study of Brucella abortus Infection Using Serological Test and Polymerase Chain Reaction (PCR) in Dairy Cattle. Under Direction of DENNY W. LUKMAN and SURACHMI SETIYANINGSIH. Brucellosis is an important zoonotic disease for public and animal health that causes significant economic losses. Widely applied brucellosis detection method are Rose bengal test (RBT) and complement fixation test (CFT) as screening and confirmation tests, respectively. This study was aimed to detect of Brucella abortus infection using serological and molecular tests, i.e., milk ring test (MRT), RBT, CFT, enzyme linked immunosorbant assay (ELISA), and polymerase chain reaction(PCR). Milk, blood and serum were collected from a total of 64 dairy cattle with history of decreased milk production, vaccination, abortion, hygroma and retentio secundinae. The result showed that 64%, 34%, 45% and 26% samples were positive tested by MRT, RBT, CFT, and ELISA, respectively. The Kappa analysis showed that the confirmation CFT has poor to good agreement of 0.249, 0.511, and 0.710 with MRT, ELISA and RBT, respectively. None of blood and milk samples from serologically positive cattle were tested positive by PCR that could be due to the absence of bacteremia and bacterial shedding in milk. This finding suggests the presence of chronic infection among the studied animals, which characterized by high antibody levels in the absence of bacteria in the blood. Application of MRT and ELISA tests in parallel would increase the test sensitivity, while application of CFT and ELISA test or RBT and CFT in serial would increase the test specificity.

Keywords : Brucella abortus, MRT, RBT, ELISA, CFT, PCR

RINGKASAN AMANATIN. Kajian Infeksi Brucella abortus pada Sapi Perah Menggunakan Metode Serologik dan Polymerase Chain Reaction (PCR). Di bawah bimbingan DENNY W. LUKMAN and SURACHMI SETYANINGSIH. Bruselosis merupakan zoonosis penting yang berdampak kepada kesehatan masyarakat dan menyebabkan kerugian ekonomi. Nama lain dari bruselosis adalah undulant fever, Mediterranean fever, Malta fever, keluron, contagious abortion atau Bang’s disease. Brucella abortus (B. abortus) merupakan penyebab dari Bovine brucellosis yang mengakibatkan kerugian ekonomi karena abortus, pedet lahir mati/lemah, sterilitas akibat gangguian reproduksi, turunnya produksi susu serta turunnya akses pasar baik skala nasional maupun internasional. Infeksi pada manusia disebabkan oleh konsumsi susu atau keju non-pasteurisasi yang terkontaminasi (foodborne transmission), terpapar hewan terinfeksi, karkas atau sekresi uterus dan fetus abortus. Program pengendalian dan pemberantasan memerlukan metode uji yang dapat mendeteksi penyakit secara dini dan akurat. Deteksi dini dengan melihat gejala klinis kurang efektif karena gejala klinis bruselosis tidak patognomonis, sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk mendeteksinya. Direktorat Jenderal Peternakan menerapkan kebijakan vaksinasi pada populasi dengan prevalensi di atas 2% sedangkan prevalensi dibawah 2% dengan kebijakan test and slaughter menggunakan metode Rose Bengal test (RBT) dan dikonfirmasi dengan complement fixation test (CFT). RBT merupakan metode yang sederhana, cepat dan praktis. Metode ini membutuhkan konfirmasi dengan CFT karena mempunyai spesifisitasnya rendah. RBT merupakan metode yang sederhana, cepat dan praktis dengan spesifisitas rendah, sedangkan CFT mempunyai spesifisitas tinggi akan tetapi kurang praktis. Penularan melalui makanan sangat penting karena B. abortus mampu bertahan dalam susu dan produk olahannya dengan waktu yang cukup lama. Bakteri ini mampu bertahan dalam susu UHT, air mineral dan yogurt masingmasing selama 87 hari, 60 hari dan kurang dari 7 hari. Kelompok risiko tertinggi adalah pekerja di rumah potong hewan dan kandang, pemerah susu, dokter hewan, paramedik, inseminator dan analis laboratorium. Brucella. abortus mempunyai konsentrasi yang tinggi pada plasenta dan fetus yang lahir, oleh karena itu risiko penularan ke pekerja kandang pada saat partus sangat besar. Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi infeksi B. abortus pada kelompok sapi perah dengan metode serologik dan PCR serta penerapannya dengan melihat kesesuaian masing-masing metode. Manfaat penelitian ini adalah memberikan gambaran metode yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan tindak karantina hewan di seluruh Unit Pelaksana Teknis dalam lingkup Badan Karantina Pertanian. Penelitian ini membandingkan metode uji dengan jenis sampel yang berbeda untuk deteksi B. abortus. Sebagai data pendukung dilakukan wawancara dengan dinas dan instansi terkait, pemilik dan penanggung jawab kandang tentang penyebaran, riwayat abortus, penurunan produksi susu dan vaksinasi. Sampel yang diambil sebanyak 64 sapi perah yang berupa darah, serum dan susu. Sampel susu dilakukan uji dengan metode MRT dan PCR, sedangkan serum dilakukan uji dengan metode RBT, ELISA dan CFT. Sampel darah dilakukan uji dengan metode PCR. Data hasil pengujian diolah dan dianalisi dengan nilai Kappa dan analisis deskriptif dengan program software SPSS 16.

Nilai Kappa antara metode MRT dengan RBT, ELISA dan CFT masingmasing sebesar 0.282, 0.208, dan 0.249 sedangkan antara metode RBT dengan ELISA dan CFT masing-masing sebesar 0.581 dan 0.710, serta antara metode ELISA dengan CFT sebesar 0.511. Metode PCR darah negatif dapat disebabkan karena sapi dalam penelitian ini tidak mengalami bakteremia, sehingga tidak ditemukan adanya bakteri dalam sirkulasi darah. Metode PCR susu tidak terdeteksi, hal ini dimungkinkan bakteri tidak shedding di dalam susu. Sebagai simpulan dalam penelitian ini adalah sampel sapi perah terindikasi infeksi kronis yang ditandai dengan tingginya antibodi namun tidak terdeteksinya bakteri dalam darah. Kesesuain metode RBT dengan CFT baik, ELISA dengan RBT dan CFT sedang, MRT dengan RBT, ELISA dan CFT kurang. Penerapan metode MRT dan ELISA secara pararel akan meningkatkan sensitifitas. Penerapan metode ELISA dan CFT atau RBT dan CFT secara serial akan meningkatkan spesifisitas.

Kata Kunci : Brucella abortus, MRT, RBT, ELISA, CFT, PCR

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN INFEKSI BRUCELLA ABORTUS PADA SAPI PERAH MENGGUNAKAN UJI SEROLOGIK DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

AMANATIN

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS

Judul Tesis Nama NIM

: Kajian Infeksi Brucella Abortus pada Sapi Perah Menggunakan Metode Serologik dan Polymerase Chain Reaction (PCR) : Amanatin : B251100134

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Ketua

drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

Kupersembahkan tesis ini kepada: Bunda, Ayah almarhum........ Suamiku tercinta Heru Setiyanto.......... Anak-anakku Sakura, Kayla dan Athaya........... Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian.......

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmad dan ridha-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw. sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema penelitian ini adalah Kajian Infeksi Brucella abortus pada Sapi Perah Menggunakan Metode Serologik dan Polymerase Chain Reaction (PCR). Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi dan drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing, atas segala dukungan, bimbingan dan arahan terhadap penulis selama penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS selaku penguji luar komisi. Penulis juga mengucapan terima kasih kepada Kepala Badan Karantina Pertanian dan Dr. drh. Syafril Daulay beserta jajarannya yang telah memberikan beasiswa S-2 dan penelitian sehingga penulis dapat menempuh program studi pascasarjana ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh. Chaerul Basri, M.Epid serta pak Agus yang telah membantu kelancaran studi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Susan M. Noor, Mphil, drh. Rahmat Setya Adji, M.Si. dan Ibu Sumirah yang telah membantu dalam proses pengujian sampel. Ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Ramilah, Maya Spt, dan pengurus koperasi susu serta peternak yang telah membantu dalam penyedianan sampel sapi perah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh. Sri Yusnowati, drh. Nuryani Zainuddin, M.Si., Krisna Dwiharniati, SSi., M.Si., drh. Arum K, M.Si., drh. Mujiatun, M.Si., drh Desniwati, M.Si., drh. Haeriah, drh. Seruni, Ahmad MA, Amd, Ika Sih dan seluruh rekan-rekan di laboratorium Karantina Hewan BBUSKP serta rekan-rekan sejawat kelas khusus karantina program studi kmv (Wulan, Endah, Fitri, Ijah, Agus, Doni, Ali, Hari, Tika, Ari, Vera, Endang, Helmi dan Gatot) yang telah memberikan dukungan dan semangat. Akhirnya ucapan terima kasih yang mendalam kepada ayahanda drs. H. Dulaji Alm, ibunda Hj Partun, ibu dan bapak mertua, serta kakak, adik, suami tercinta drh. Heru Setiyanto dan anak-anakku tersayang Sakura, Kayla dan Athaya yang telah memberikan dukungan moral dalam menyelesaikan tesis ini. Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah swt berkenan melimpahkan rahmad dan ridha-Nya kepada kita semua. Harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam kegiatan perkarantinaan di Indonesia.

Bogor, Juni 2012 Amanatin

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 25 Februari 1977 dari ayah Drs. H. Duladji Alm dan ibu Hj. Partun. Penulis merupakan putri kelima dari lima bersaudara. Tahun 1989 penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Gunungan I dan tahun 1992 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri I Dawarblandong Mojokerto. Tahun 1995 penulis lulus dari Sekolah Menengah Farmasi Sekolah Kesehatan Angkatan Laut Surabaya dan lulus tahun 1995 dari Sekolah Menengah Atas 11 Maret Surabaya. Tahun 1997 lulus seleksi masuk Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri Fakultas kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya. Tahun 2002 Penulis lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan sebagai Sarjana Kedokteran Hewan dan pada tahun yang sama melanjutkan Program Pendidikan Dokter Hewan. Tahun 2003 penulis lulus sebagai Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Lulus tahun 2003 penulis bekerja di bidang farmasi kemudian tahun 2006 diterima sebagai pegawai negeri sipil di Badan Karantina Pertanian dengan penempatan di Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang Nusa Tenggara Timur. Selama satu setengah tahun penulis mengabdikan diri di Tanah Timor kemudian dimutasikan di Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian Jakarta hingga sekarang.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xxi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….

xxv

PENDAHULUAN Latar Belakang…………………………………………………………. Rumusan Masalah…………………………………………………….. Tujuan Penelitian………………………………………………………. Manfaat Penelitian……………………………………………………... Hipotesis…………………………………………………………………

1 2 3 3 3

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik……………………………………………………............. Cara Penularan……………………………………………………….... Patogenesis…………………………………………………………….. Gejala Klinis…………………………………………………………….. Gejala Klinis pada Sapi…………………………………………

5 10 11 14 14

Gejala Klinis pada Manusia…………………………………… Metode Diagnostik……………………………………………………... Penyebaran dan Kebijakan…………………………………………… Vaksinasi………………………………………………………………...

14 16 20 22

BAHAN DAN METODE Rancangan Penelitian…………………………………………………. Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………... Bahan dan Alat……………………………………………………….... Jenis Sampel…………………………………………………………… Prosedur Pengujian Prosedur MRT…………………………………………………… Prosedur RBT…………………………………………………… Prosedur ELISA…………………………………………………. Prosedur CFT……………………………………………………. Prosedur PCR…………………………………………………… Analisis Data…………………………………………………………….

25 25 26 27 28 28 28 29 31 33

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengambilan Sampel…………………………………………… 35 Hasil Pengujian Sampel………………………………………………. 36 Pembahasan…………………………………………………………… 39 Pembahasan Uji Serologi………………………………………. 39 Pembahasan PCR………………………………………………. 43 Penerapan Metode dan Lalu Lintas Hewan……………………… 45 Bruselosis pada Manusia dan Aspek Kesehatan Masyarakat……………. 50

SIMPULAN DAN SARAN

xix

Simpulan………………………………………………………………... Saran…………………………………………………………………….

55 55

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..

57

LAMPIRAN…………………………………………………………………….. .

67

xx

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1

Spesies dan potensi zoonosis Brucella spp…………………….

Tabel 2

Karakteristik biovar dan spesies dalam genus Brucella spp…………………………………………………………………….. 8

Tabel 3

Daya tahan Brucella spp. dalam susu dan susu……………………………………………………..

6

produk 9

Tabel 4

Daftar primer................................................................................

26

Tabel 5

Kekuatan kesepakatan……………………………………………...

33

Tabel 6

Hasil pengambilan sampel...........................................................

35

Tabel 7

Hasil pengujian sampel................................................................

36

Tabel 8

Confirmation rate dengan CFT....................................................

36

Tabel 9

Hasil pengujian LOD....................................................................

37

Tabel 10 Nilai persentase Kappa ...............................................................

38

Tabel 11 Hasil uji sensitifitas dan spesifisitas penerapan secara pararel dan serial..................................................................................... 38

xxi

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1

Brucella spp. secara mikroskopik ………………………..

7

Gambar 2

Peta penyebaran bruselosis di Indonesia………………..

21

Gambar 3

Rancangan penelitian………………………………………

25

Gambar 4

Hasil pengujian LOD dalam elektroforesis……………….

37

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1

Hasil pengujian sampel………………………………………….

68

Lampiran 2

Hasil analisis nilai Kappa………………………………………..

72

Lampiran 3

Hasil uji sensitifitas dan spesifisitas…………………..............

75

Lampiran 4

Prosedur titrasi reagen CFT……………………………………

78

Lampiran 5

Dokumentasi pengujian dan pengambilan sampel…………..

81

xv

PENDAHULUAN Latar Belakang Bruselosis merupakan zoonosis penting yang masih menjadi permasalahan dunia terutama bagi negara berkembang.

Nama lain dari bruselosis adalah

undulant fever, Mediterranean fever, Malta fever, keluron, contagious abortion atau Bang’s disease.

Penyakit ini menyebabkan gangguan kesehatan dan

kerugian ekonomi serta berdampak kepada kesehatan masyarakat.

Brucella

abortus merupakan penyebab dari bovine brucellosis yang menimbulkan kerugian ekonomi karena abortus, pedet lahir mati/lemah, sterilitas akibat gangguian reproduksi, turunnya produksi susu serta turunnya akses pasar baik skala nasional maupun internasional (Abdoel et al. 2008; Corbel 1997; Noor 2006a).

Apabila bruselosis tidak ditanggulangi, kerugian ekonomi mencapai

138,5 milyar rupiah setiap tahun meskipun mortalitas akibat penyakit ini relatif kecil (Noor 2006a). Bruselosis pada manusia diperkirakan terjadi 500 000 per tahun yang menyebabkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya biaya pengobatan dan turunnya produktifitas karena penyakit ini bersifat kronis dan melemahkan (Corbel 1997; Seleem et al. 2010; Xavier et al. 2010). Infeksi pada manusia disebabkan oleh konsumsi susu atau keju non-pasteurisasi yang terkontaminasi (foodborne transmission), terpapar hewan terinfeksi, karkas atau sekresi uterus, dan fetus abortus (Al-Majali 2005; Neta et al. 2010). Kelompok risiko tertinggi adalah pekerja di rumah potong hewan dan kandang, pemerah susu, dokter hewan, paramedik, inseminator, dan analis laboratorium (Surendran 2011).

Dilaporkan oleh Wallach et al. (2008) sebanyak 30 karyawan yang

menangani produksi vaksin S19 menunjukkan seropositif.

Seropositif di

Indonesia menurut Sudibyo (1998) terdapat pada pekerja kandang sapi perah, kandang babi dan RPH babi di wilayah DKI. B. abortus digunakan sebagai senjata biologis karena dapat ditransmisikan melalui udara dan bersifat sangat menular. Bakteri ini relatif stabil dalam bentuk aerosol dan dosis infektifnya sangat kecil sekitar 10-100 mikroorganisme serta mudah diperoleh dan dikembangkan untuk strain yang resisten terhadap antibiotik. Centers for Disease Control (CDC) menggolongkannya sebagai agen bioterorisme kategori B yang biasa digunakan di bidang pertanian, sipil, dan militer (Adams & Schutta 2010; CDC 2011; Surendran et al. 2011).

2

Rumusan Masalah Indonesia saat ini dalam rangka pembebasan terhadap bruselosis (Noor 2006a). Penyebaran bruselosis sangat erat hubungannya dengan manajemen kandang, sumber pakan, kepadatan populasi, tipologi beternak yang berkaitan erat dengan faktor sosio-ekonomi peternak, serta lalu lintas sapi dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Badan Karantina Pertanian mempunyai fungsi untuk

melakukan pengawasan lalu lintas hewan sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan serta fungsi pencegahan penyakit sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan termasuk peran dalam pencegahan

dan

penyebaran

bruselosis.

Program

pengendalian

dan

pemberantasan memerlukan metode uji yang dapat mendeteksi penyakit secara dini dan akurat (Leal-Klevezas et al. 2000). Deteksi dini dengan melihat gejala klinis kurang efektif karena gejala klinis bruselosis tidak patognomonis, sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk mendeteksinya (Leary et al. 2006). Metode deteksi antibodi dengan Rose Bengal test (RBT) dan milk ring test (MRT) menggunakan sampel serum dan susu secara rutin digunakan sebagai uji tapis pada peternakan yang dicurigai (Romero et al. 1995). Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menerapkan kebijakan vaksinasi pada populasi dengan prevalensi di atas 2% sedangkan prevalensi di bawah 2% dengan kebijakan test and slaughter menggunakan metode Rose Bengal test (RBT) dan dikonfirmasi dengan complement fixation test (CFT). RBT merupakan metode yang sederhana, cepat dan praktis. Metode ini membutuhkan konfirmasi dengan CFT karena mempunyai spesifisitasnya rendah. RBT merupakan metode yang sederhana, cepat, dan praktis dengan spesifisitas rendah, sedangkan CFT mempunyai spesifisitas tinggi akan tetapi kurang praktis. Isolasi merupakan metode gold standard dengan spesifisitas tinggi akan tetapi jarang digunakan karena kurang sensitif, rumit, mahal, membutuhkan biosafety level 3, dan waktu yang lama. Isolasi kurang sesuai untuk sampel dalam jumlah besar dan berisiko terhadap analis laboratorium (Hafez et al. 2011; Ling-Yu 2010; Poester et al. 2010). Isolasi B. abortus dari uterus sapi bunting tidak bisa dilakukan pada kebuntingan awal, karena pengambilan sampel baru bisa dilakukan lebih dari 4.5 bulan (Megid et al. 2010). Kendala lain metode isolasi adalah lambatnya pertumbuhan bakteri dari isolasi primer dengan

3

keberhasilan hanya sekitar 20-50% (Poester et al. 2010). Isolasi tidak selalu digunakan untuk melihat spesifisitas, karena beberapa kasus pada hewan menunjukkan kultur negatif meskipun faktanya hewan itu terinfeksi (Gal & Nielsen

2004).

Oleh

karena

itu

Badan

Karantina

Pertanian

perlu

mengembangkan metode deteksi dini, cepat, akurat, dan mudah diaplikasikan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi infeksi B. abortus pada kelompok sapi perah dengan metode serologik dan PCR dengan melihat kesesuaian masing-masing metode serta penerapannya.

Manfaat Penelitian Memberikan gambaran metode yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan tindak karantina hewan di seluruh Unit Pelaksana Teknis dalam lingkup Badan Karantina Pertanian.

Hipotesis 1. Metode MRT, RBT, ELISA dan CFT mempunyai kesesuaian yang baik. 2. PCR dengan sampel darah dan susu mempunyai kesesuaian yang baik. 3. Penerapan metode secara pararel akan meningkatkan sensitifitas. 4. Penerapan metode secara serial akan meningkatkan spesifisitas.

4

5

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Brucella spp. Sir William Burnett pada tahun 1779 menemukan kasus demam pada tentara yang diakibatkan oleh adanya mikroorganisme. Penemuan ini dilanjutkan oleh Jeffery Allen Marston yang mendeskripsikan Malta fever secara lebih terperinci.

Tahun 1855 Sir David Bruce seorang mikrobiologis dari tentara

Inggris menemukan Micrococcus melitensis kemudian dilanjutkan oleh Bernhard Bang

seorang

veterinerian

yang

menemukan

Bacterium

menginfeksi ternak, kuda, domba dan kambing.

abortus

yang

Alice Evans seorang

bakteriologis dari Amerika telah menemukan persamaan morfologi dan patologi antara Bang’s Bacterium abortus Berdasarkan

dengan Bruce’s Micrococcus melitensis.

penemuan di atas kemudian Sir David Bruce memberikan

nomenklatur Brucella abortus dan Brucella melitensis.

Klasifikasi B. abortus

menurut Ficht (2010), Godfroid et al. (2011) dan Moreno et al. (2002) sebagai berikut : Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class

: Alphaproteobacteria

Ordo

: Rhizobiales

Family

: Brucellaceae

Genus

: Brucella

Spesies : Brucella Abortus

Bruselosis disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella yang terdiri dari 10 spesies dengan induk semang yang berbeda beda. Komponen dinding sel Brucella spp. baik pada strain halus (smooth) yaitu Brucella melitensis (B. melitensis), Brucella abortus dan Brucella suis (B. suis) maupun pada strain kasar (rough) seperti Brucella canis (B. canis) dan Brucella ovis (B. ovis) terdiri dari peptidoglikan, protein dan membran luar yang terdiri dari lipoprotein dan lipopolisakarida (LPS).

LPS inilah yang menentukan virulensi bakteri dan

bertanggung jawab terhadap penghambatan efek bakterisidal di dalam sel makrofag.

B. melitensis, B. suis B. abortus dianggap sebagai spesies yang

paling patogen untuk manusia dan sebagai induk semang preferensial masingmasing adalah ruminansia kecil, babi, dan sapi (Godfroid et al. 2010; Xafier et al.

6

2010). B. abortus menyerang sapi, bison (Bison spp.) kerbau (Bubalus bubalus), African buffalo (Syncerus caffer), rusa, dan unta.

Brucella spp. strain kasar

mempunyai virulensi lebih rendah pada manusia dan secara lengkap disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Spesies dan potensi zoonosis Brucella spp. (Godfroid et al. 2010) Spesies

Biovar

Morfologi

Induk

Patogenitas

Koloni

Semang

pada manusia

B. melitensis

1,2,3

smooth

domba, kambing

tinggi

B. abortus

1-6, 9

smooth

Ternak

tinggi

B. suis

1,3

smooth

Babi

tinggi

2

smooth

babi hutan, terwelu

rendah

4

smooth

rusa kutub, caribou

tinggi

5

smooth

tikus gurun

sedang

Brucella neotamae

smooth

rodensia

tidak

B. ovis

rough

domba jantan

tidak

B. canis

rough

Anjing

sedang

Brucella pinnipedialis

smooth

anjing laut

?

Brucella ceti

smooth

Ikan paus

?

Brucella microti

smooth

tanah, tikus, rubah

?

Brucella inopinata

smooth

manusia

?

B. abortus termasuk gram negatif dan berbentuk coccobacilli atau batang pendek dengan panjang 0.6-1.5 μm dan lebar 0.5-0.7 μm. Bakteri ini sering dijumpai single dan jarang berpasangan atau kelompok kecil.

Karakteristik

bakteri ini adalah fakultatif intraseluler dan mempunyai bentuk konstan kecuali pada kultur yang sudah tua kadang pleomorphic (lebih dari 1 bentuk). Bakteri ini bereplikasi di sel makrofag dari induk semang (Munir 2009). Secara mikroskopis dapat digambarkan sesuai dengan Gambar 1.

7

Gambar 1. Brucella spp. secara mikroskopik.

Suhu pertumbuhan optimum berkisar 36-38 °C yang mana sebagian besar strain dapat tumbuh pada suhu 20 °C - 40 °C, sedangkan pH optimum 6.6-7.4, dan di media kultur berkisar 6.8.

Suhu 63 °C selama 7–10 menit dapat

membunuh bakteri ini (Adams & Moss 2008) Koloni berbentuk bulat, konvek, seperti mutiara putih dengan diameter 1-2 mm, garis pinggir yang halus (smooth), transparan dan warnanya pucat madu. Koloni kasar berwarna kuning, opak, friable dan sulit terlarut dalam cairan. Koloni mukoid mempunyai bentuk sama dengan koloni kasar kecuali kelarutannya, mukoid mudah larut (Walker 1999).

Semakin lama di biakan kultur koloni akan semakin membesar dan

cenderung berwarna gelap. Bentuk koloni halus pada subkultur akan mengalami perubahan ke bentuk kasar (rough) dan kadang-kadang ke bentuk mukoid (Garridino-Abellan et al. 2001). Sifat biokimia bakteri ini secara umum dapat menghasilkan urease, oksidasi katalase positif dan dapat mereduksi nitrit menjadi nitrat. Perbedaan spesies dan biovar di dalam Brucella spp. pada kemampuan mengoksidasi karbon, memetabolisme asam glutamat, ornitin, lisin, dan ribosa. Perbedaan itu juga terletak pada kemampuan memproduksi H2S serta kerentanan terhadap bakteriofag, pewarna fusin, tionin atau aglutinasi terhadap antisera epitop lipopolisakarida (LPS) tertentu. B. abortus terdiri dari 9 biovar, yang mana biovar 1 paling penting. Tahun 1968 sampai 1991 dari 399 sampel sebanyak 75.3% berhasil diisolasi B. abotus biovar 1 dari hewan dan manusia di Amerika Latin (Xafier et al. 2010). Secara lengkap sifat B. abortus dan spesies yang lainnya disajikan pada Tabel 2.

8

Tabel 2 Karakteristik biovar dan spesies dalam genus Brucella spp. (Whatmore 2009).

Spesies

Biovar

Urease

B. abortus

1 2 3 4 5 6 7 9

B. suis

B. melitensis

B. ovis B. canis B. neotamae B. ceti B. pinnipedialis B. microti B. inopinata

Media

Aglutinasi antiserum

CO2

H2S

(+)b (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+)

(+) (+) (+) (+) (-) (-) (-) (-)

(+) (+) (+) (+) (-) (+) (+) (+)

Tionin (-) (-) (+) (-) (+) (+) (+) (+)

fusin (+) (-) (+) (+) (+) (+) (+) (+)

A (+) (+) (+) (-) (-) (+) (+) (-)

M (-) (-) (-) (+) (+) (-) (+) (+)

R (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

1 2 3 4 5

(+) (+) (+) (+) (+)

(-) (-) (-) (+) (-)

(+) (-) (-) (+) (-)

(+) (+) (+) (+) (+)

(-) (-) (+)d (-) (+)

(+) (+) (+) (+) (-)

(+) (+) (-) (-) (-)

(-) (-) (-) (-) (-)

1 2 3

(+) (+) (+)

(-) (-) (-)

(-) (-) (-)

(+) (+) (+)

(-)e (+) (+)

(-) (+) (+)

(+) (-) (+)

(-) (-) (-)

(-) (+) (+) (+) (+) (+) (+)

(-) (-) (-) (-) (+) (-) (-)

(-) (-) (+) (-) (+) (-) (+)

(+) (+) (-) (+) (+) (+) (+)

(+) (-) (-) (+) (+) (+) (+)

(-) (-) (+) (+) (+) (-) (-)

(-) (-) (-) (-) (-) (+) (+)f

(+) (+) (-) (-) (-)

Keterangan : b Strain is negative but most field strains are positive d Some strains of this biotype are inhibited by fuchsin e Some isolates may be resistant to fuchsin. f Weak agglutination.

Tempat predileksi B. abortus di plasenta ruminansia, cairan fetus, kelenjar mamari, persendian dan testis (Munir 2009). Bakteri ini mempunyai ketahanan yang lama dengan berbagai kondisi. Daya tahan bakteri Brucella dalam susu dan produknya disajikan dalam Tabel 3.

9

Tabel 3 Daya tahan Brucella spp. dalam susu dan produk susu (Garridino-Abellan et al. 2001)

Produk

Spesies

Suhu (°C)

Susu

B. abortus

71.7 38

pH

Daya tahan 5-15 detik

4

< 9 jam

25-37

24 jam

0

18 bulan

B. abortus

4

6 minggu

B. melitensis

4

4 minggu

Ice cream

B. abortus

0

30 hari

Butter

B. abortus

8

142 hari

Cheese: Various

B. abortus

5-57 hari

Various

B. melitensis

15-100 hari

Feta

B. melitensis

4-16 hari

Pecorino

B. melitensis

< 90 hari

Roquefort

B.abortus

20-60 hari

B. melitensis Camembert

B. abortus

< 21 hari

Erythrean

B. melitensis

44 hari

Cheddar

B. abortus

6 bulan

White

B. melitensis

1-8 minggu

Whey

B. abortus

17-24

4.3-5.9

< 4 hari

B. abortus

5

5.4-5.9

> 6 hari

Menurut Noor (2006) bakteri dapat bertahan selama 2 hari dalam kotoran/limbah kandang yang bagian bawah (suhu lebih tinggi dari pada bagian atas), 4 hari dalam tanah kering, 66 hari dalam tanah lembab, dan 15-185 hari dalam tanah becek. Bakteri ini juga mampu bertahan di air minum ternak 5-114 hari, air limbah 3-150 hari (Sudibyo 1998).

Bakteri ini mampu bertahan pada

suhu rendah terutama dibawah titik beku, oleh karena itu produk olahan dari susu segar yang terkontaminasi menjadi sumber penularan ke manusia yang mengonsumsinya. Daging, jerohan, dan organ seperti hati, paru-paru dan ginjal

10

mempunyai risiko lebih kecil sebagai sumber penularan, karena biasanya dikonsumsi dalam kondisi matang (Corbel 2006). Komponen LPS dari outer cell membranes Brucella spp berbeda baik secara struktur dan fungsi dari gram negatif yang lainnya. Perbedaan Brucella spp. dibandingkan dengan bakteri patogen lainnya adalah tidak mempunyai faktor virulensi klasik seperti eksotoksin, kapsul, flagela, fimbre, plasmid, fase lisogenik, variasi antigenik, sitolisin atau sistem sekresi tipe I, II, atau III yang berperan dalam karakteristik mekanisme patogenik.

Sekresi tipe IV dari B.

abortus (T4SS) telah berhasil diidentifikasi dan menentukan ketahanannya di dalam sel fagositik mononuklear (Munir 2009; Purchell et al. 2007).

Cara Penularan Penularan utama pada hewan terjadi melalui kontak dengan bahan yang terkontaminasi plasenta, fetus, cairan fetus, dan cairan vagina dari sapi abortus atau partus. Penularan yang lainnya juga terjadi melalui kontak dengan kulit, selaput konjungtiva, secara inhalasi (mukosa saluran pernafasan), per-oral (mukosa

gastrointestinal/orofaring),

terkontaminasi.

vertikal,

dan

kontak

dengan

susu

Penularan secara veneral tidak terlalu penting, yang lebih

penting adalah penularan dari semen yang terkontaminasi melalui inseminasi buatan.

Ruminansia lebih sering asimtomatik setelah abortus yang pertama,

akan tetapi bersifat karier dan mengeluarkan bakteri melalui air susu. Selain melalui air susu bakteri juga dikeluarkan melalui urine, feses, cairan higroma, air liur, hidung dan okular. Bakteri dapat menyebar melalui cairan muntah termasuk padang rumput, pakan dan air yang tercemar (Neta et al. 2010; CFSPH 2009; Xavier et al.2010). Penularan pada manusia terjadi dengan cara mengonsumsi susu yang terkontaminasi dan produk susu non-pasteurisasi atau daging yang tidak dimasak. Penularan dari lingkungan terjadi melalui inhalasi, selaput konjungtiva, atau melalui kulit yang terluka dari debu yang terkontaminasi. Bruselosis pada manusia berhubungan dengan pekerjaan seperti peternak, inseminator dan karyawan rumah potong hewan serta pengolahan produk hewan yang melakukan kontak dengan cairan atau jaringan fetus abortus dan karkas dari hewan terinfeksi melalui mukosa atau kulit yang lecet. Analis laboratorium dan pekerja

pabrik vaksin tertular dari kultur bakteri. Penularan dari manusia ke

11

manusia jarang dilaporkan, meskipun pernah dilaporkan melalui transfusi darah, transplantasi sumsum tulang atau hubungan seksual. Infeksi pada bayi terjadi karena melalui transplasenta atau peroral dari konsumsi air susu ibu yang terinfeksi. Infeksi kongenital juga mungkin terjadi melalui sirkulasi darah atau infeksi pada waktu lahir dari urin maupun feses ibunya (CFSPH 2009; Corbel 2006; Xafier 2010).

Patogenesis Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui mukosa port entery kemudian masuk ke dalam sel limfoepitel dan difagositosis oleh sel neutrofil dan sel makrofag kemudian masuk ke dalam limfoglandula. Patogenisitas terkait dengan produksi lipopolisakarida yang tersusun oleh poly N-formyl perosamine O chain, Cu- Zn superoxide dismutase, erythrulose phosphate dehydrogenase. Secara umum fagositosisi gagal karena bakteri ini mempunyai zat antifagositosit yaitu protein 5 guanin monofosfat yang mampu bertahan dan bereplikasi di dalam sel neutrofil.

Apabila sistem pertahanan tidak mampu mengatasi adanya infeksi

maka akan muncul bakteriemia setelah 10-20 hari dan persisten selama 30 hari sampai 2 bulan pascainfeksi.

Setelah bakteremia pada sapi bunting maka

bakteri akan masuk kedalam plasenta sapi bunting dan daerah ambing. Infeksi pada sapi yang tidak bunting akan menuju ke daerah ambing dan sering tanpa gejala klinis ataupun lesi.

Bakteri dalam makrofag akan bersirkulasi dalam

jaringan limfoid dan terlokalisir dalam sistem retikuloendotel hati, limfa dan sumsum tulang belakang ginjal, persendian yang mengakibatkan adanya radang sendi dan higroma.

Higroma terjadi karena adanya infeksi pada membran

persendian sehingga berisi cairan jernih, fibrin, maupun nanah sehingga terlihat adanya benjolan yang sangat mencolok (Garradino-Abellan 2001; Munir 2009; Neta et al. 2010) Bakteri yang bereplikasi terutama di sel makrofag atau neutrofil dalam cairan susu mempunyai peran yang sangat penting untuk terjadinya re-infeksi. Sapi yang terinfeksi di dalam kelenjar ambing, ketika bunting kembali akan mengalami bakteremia dan dapat menginfeksi uterusnya. Penyebaran ke dalam kelenjar susu melalui migrasi sel neutrofil dalam sistem peredaran darah umum dan bereplikasi di dalam alveoli dan ductus, dan selanjutnya menyebar ke dalam kelenjar getah bening supramamari.

Penyebaran ke dalam kelenjar susu

merupakan fase kedua dari infeksi dan sering mengakibatkan mastitis

12

limfoplasmasitik interstisial (Adams 2002).

Sapi yang ditransportasikan 80%

telah positif mengandung Brucella spp. dalam nodus limfe supramamari dan kelenjar mamari serta mengsekresikan ke dalam cairan tubuhnya (Al-majali 2005). Sistem pertahanan seluler yang paling berperan adalah sel makrofag dan limfosit T, meskipun antibodi spesifik juga berperan. tergantung dari

Proses immunitas

spesies yang terinfeksi, umur, status kekebalan, status

kebuntingan, dan virulensi serta dosis infeksi (Corbel 1997; Neta et al. 2010). Respon

serologik pasca infeksi pada infeksi alami akan

muncul setelah 2

sampai 4 minggu, akan tetapi respon ini sangat bervariasi dan bahkan kadangkadang tidak terjadi. Invasi bakteri pada uterus yang bunting akan menghasilkan antibodi dalam jumlah besar dan berlangsung terus menerus.

Respon humoral

pada awal infeksi akan diproduksi IgM diikuti IgG dan IgG2 serta IgA (Neta et al. 2010). Sapi dara lebih resisten terhadap paparan B. abortus, semakin rentan seiring dengan perkembangan seksual dan kebuntingan. Pedet terinfeksi di dalam uterus atau diberikan susu yang terkontaminasi, biasanya memiliki respon antibodi sementara setelah terinfeksi, namun, dapat terus mengeluarkan bakteri selama beberapa minggu setelah pemberian susu berhenti. Sebagian kecil tapi penting sapi dara yang terinfeksi sejak awal akan menunjukkan seronegatif namun dapat menginfeksi anaknya pada kebuntingan pertama (Munir 2009). B. abortus di ruminansia dapat melewati pertahanan tubuh induk semang dan menuju target jaringan embrio dan trofoblas. Pertumbuhannya tidak hanya di dalam sel fagosom akan tetapi juga di sitoplasma dan rough reticulum endoplasmik

yang menyebabkan

kematian

janin

dan

aborsi.

Bakteri

menghambat fusi fagosom dan lisosom dalam makrofag dan bereplikasi dalam retikulum endoplasma. Bakteri yang tidak di fagosit oleh makrofag akan merusak sel induk semang dan menyebar ke sel yang lainnya.

Bakteri ini juga dapat

bereplikasi di jaringan ekstraseluler induk semang. Gambaran histopatologis dari respon seluler dapat terlihat adanya pembentukan abses sampai infiltrasi limfositik dan selanjutnya pembentukan granuloma pada kondisi nekrosis (Munir 2009; Neta et al. 2010; Xefier et al. 2009). Konsentrasi eritritol dan hormon steroid tinggi pada jaringan fetus kebuntingan trisemester tiga, uterus bunting dan saluran kelamin jantan. Kandungan eritrotol sangat disukai oleh B. abortus karena dapat dimetabolisme sebagai sumber karbon dan energi, sehingga perkembangbiakan bakteri dalam

13

sapi bunting sangat pesat dan pada saat abortus ditemukan 1010 bakteri per gram jaringan organ abortus (Purchel et al. 2007). Perkembangbiakan bakteri ini menyebabkan infiltrasi sel inflamasi, nekrosis trofoblas, vaskulitis, dan ulserasi pada alantokorion, sehingga menggangu metabolisme fetus dan mengakibatkan abortus.

Selain faktor diatas peningkatan kortisol dengan estrogen dan

progesteron akan meningkatkan jumlah prostaglandin F2 alfa yang akan meningkatkan kontraksi uterus sehingga mengakibatkan abortus (Munir 2009). Plasentitis juga dapat mengakibatkan abortus, hal ini terjadi karena B. abortus menyerang sel tropoblastik yang menekan respon mudulator pro inflamasi selama tahap awal infeksi.

Spesies dari Brucella ini mempunyai

ferroselator yang menyebabkan bakteri ini mampu bertahan di intraseluler dan bermultireplikasi serta bertahan pada infeksi kronis dengan membentuk fosfotidilkolin. Selain itu spesies ini juga mempunyai enzim katalase sehingga menghasilkan H2O2

dan D-alanyl-D-alanine carboxypeptidase (DAP) yang

mengakibatkan resisten terhadap sel induk semang terutama oleh Nitrat Oksida. Kemampuan untuk membentuk urease membantu ketahananya dalam infeksi peroral. DAP banyak terdapat di sel eukariot dan jarang sekali di sel prokariot (Munir 2009). Penularan sering terjadi

secara peroral melalui saluran pencernaan.

Bakteri diinternalisasi oleh M sel dalam peyer patch, kemudian menyebar ke dalam kelenjar getah bening regional dan berkembangbiak di dalam makrofag secara fakultatif intraseluler. Selanjutnya menyebar melalui aliran darah munuju ke jaringan yang lainnya, terutama di rahim sapi bunting (Xavier et al. 2010). Meskipun infeksi dapat terjadi melalui kulit, konjungtiva atau aerosol rute yang paling umum infeksi pada sapi adalah melalui saluran pencernaan dan infeksi menyebar ke dalam kelenjar getah bening lokal.

Invasi ke dalam pembuluh

limfatik diikuti dengan bakteremia yang menyebabkan infeksi berjalan sistemik (Neta et al. 2010). Masa inkubasi B. abortus pada sapi berkisar 53-251 hari (Megid et al. 2010).

Infeksi pada pedet bersifat self limiting.

Lama inkubasi berbanding

terbalik dengan masa kebuntingan, oleh karena masa inkubasi lebih lama jika menginfeksi hewan pada awal kebuntingan. Abortus dan bayi lahir mati biasanya terjadi dua minggu sampai lima bulan setelah infeksi. Kerugian reproduksi terjadi selama paruh kebuntingan kedua (CFSPH 2009).

Masa inkubasi bruselosis

pada manusia 8-20 hari (Garradino abellan 2001), 2-3 minggu bahkan bisa

14

sampai beberapa bulan (Corbel 2006), sedangkan menurut CFSPH (2009) sulit ditentukan berkisar 5 hari sampai tiga bulan dan sebagian besar terlihat jelas dalam waktu dua minggu.

Penularan melalui aerosol dari agen bioterorisme

mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek (CFSPH 2009). Patogenesis penyakit pada manusia sangat mirip dengan ternak.

Rute

utama infeksi dari Brucella spp. melalui membran mukosa orofaring, saluran pernafasan atas dan konjungtiva. Rute potensial lainnya dari mukosa saluran reproduksi pria dan wanita.

Bakteri secara umum mampu melewati sistem

pertahanan seluler tubuh dari induk semang dan berhasil masuk ke dalam kelenjar getah bening terdekat melalui saluran getah bening (Seleem et al. 2010). Brucella spp. masuk, bertahan dan berkembang dalam sel fagosit dan non fagosit induk semangnya misalnya sel makrofag, sel dendrite (DCs), dan sel trofoblast. Karakteristik dari bruselosis pada manusia adalah infeksi persisten dalam jaringan limfoid dan menyebabkan lesi peradangan dalam saluran reproduksi wanita hamil (Munir 2009).

Gejala Klinis Gejala Klinis pada Sapi Tahap awal infeksi pada sapi terlihat gejala klinis utama yaitu abortus, still birth atau mati lemah dan gejala lainnya seperti orkitis, epididimitis, higroma, artritis, metritis, mastitis subklinis.

Abortus terjadi pada usia kebuntingan 5-8

bulan. Gejala abortus pada sapi sebagian besar hanya sekali meskipun terjadi plasentitis dan kebuntingan kedua biasanya normal.

Hewan yang mampu

bertahan akan menjadi karier dan berpotensi mnegeluarkan bakteri.

Tahap

kedua akan terjadi infeksi persisten di kelenjar mamari dan supramamari, serta limfonodus genital (Ahmed et al. 2010; Garridino-Abellan et al. 2001; Megid et al. 2010; Seleem 2010). Mastitis menyebabkan terjadinya penurunan produksi susu sekitar 25% dan bakteri akan shedding secara terus menerus atau intermittent di dalam susu dan genital secretions.

B. abortus juga dapat ditemukan dalam,

urin, susu segar, air mani, tinja dan cairan higroma (Capparelli et al. 2008; Corbel 2006; Megid et al. 2010).

Gejala Klinis pada Manusia Bruselosis pada manusia merupakan penyakit multisistemik dengan gejala klinis berspektrum luas, meskipun secara umum asymptomatis (tanpa gejala).

15

Gejala klinis pada manusia sangat bervariasi. Bruselosis dimulai sebagai penyakit demam undulant yang bersifat intermittent dan reintermittent dengan tanda-tanda nonspesifik seperti flu, demam, malaise sakit kepala, nyeri punggung, mialgia dan keringat basah terutama di malam hari. Disebut dengan demam undulant karena terjadi variasi suhu, 37 °C di pagi hari dan 40 °C pada siang hari serta malam hari menggigil disertai kelemahan (Seleem et al. 2010). Gejala lain seperti splenomegali, hepatomegali, batuk dan nyeri dada pleuritik kadang-kadang terlihat. Gejala klinis pencernaan termasuk anoreksia, mual, muntah, diare, dan sembelit sering terjadi pada orang dewasa tapi jarang pada anak-anak. Jika penyakit ini tidak segera diobati maka akan persisten sampai beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Faktor–faktor yang mempengaruhi timbulnya infeksi pada manusia sebenarnya banyak faktor antara lain status kekebalan individu, rute infeksi, dosis infeksi, dan jenis spesies Brucella (Whatmore 2009). Gejala klinis sebagian besar berlangsung selama dua sampai empat minggu dan dapat sembuh sendiri. Demam intermittent berselang 2 sampai 14 hari. Sebagian besar penderita dengan gejala klinis demam undulant dan dapat sembuh total dalam waktu 3 sampai 12 bulan, bahkan ada beberapa menjadi kronis. Komplikasi yang sering terjadi artritis, spondilitis, epididimo-orkitis dan malaise kronis. Tanda-tanda neurologis seperti meningitis, ensefalitis dan neuropati perifer terjadi sekitar 5% kasus. Gejala seperti insomnia, anoreksia, sakit kepala, impotensi dan depresi juga bisa terlihat. Endokarditis adalah salah satu komplikasi yang paling serius, dan menyebabkan kematian pada kasus yang fatal. Organ dan jaringan lain juga dapat dipengaruhi, sehingga berbagai sindrom termasuk nefritis, dermatitis, vaskulitis, limfadenopati, trombosis vena dalam, hepatitis granulomatosa, kolesistitis, osteomielitis, anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala umum termasuk berat badan lahir rendah, demam, pertumbuhan terhambat, sakit kuning, hepatomegali dan splenomegali.

Beberapa bayi baru lahir dengan

bawaan bruselosis mengalami gangguan pernapasan berat, hipotensi, muntah dan tanda-tanda sepsis. Demam pada bruselosis pada manusia mirip dengan demam enterik, malaria, demam rematik, tuberkulosis, kolesistik, tromboflebitis, infeksi jamur, penyakit autoimun dan tumor (Ashford et al. 2004; Seleem et al. 2010).

16

Metode Diagnostik Pemeriksaan bakteriologi terhadap bruselosis dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri penyebab dari isolasi susu segar, ulasan vagina, darah, membran fetus, fetus aborsi, dan limfoglandula. Identifikasinya dilakukan dengan metode pewarnaan gram dan uji biokimia. Metode kultur menggunakan media basal dan media selektif serta harus ditambahkan dengan antibiotik dan 25% serum bovine atau equine.

Sampel yang digunakan dapat berupa organ

fetus abortus (isi abdomen, limfa, dan paru-paru), membran fetus, sekeresi vagina, susu, semen, dan cairan radang sendi atau higroma. Selain itu juga dapat berasal dari karkas seperti sistem retikulo-endotelia dari kelenjar mamari, kelenjar getah bening, limfa dan uterus

(OIE 2009).

Rata-rata kultur dapat

tumbuh mulai dari 3-4 hari akan tetapi tidak boleh disimpulkan negatif sebelum inkubasi 8-10 hari. Gold standard untuk bruselosis pada manusia adalah dengan kultur dari sampel darah, sumsum tulang, kelenjar getah bening atau cairan serebrospinal dengan spesifisitas tinggi namun sensitifitas rendah karena sulitnya tingkat pertumbuhan. Sensitifitas metode kultur pada fase akut sebesar 91% sedangkan fase kronis 74% (Seleem et al. 2010). PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polymerase sebagai enzim untuk menggandakan rangkaian DNA dengan target sekuen yang telah ditetapkan pada lokus yang spesifik terhadap Brucella. Metode PCR digunakan untuk identifikasi spesies dan biovar diantara Brucella spp. (Al-Dahouk & Tomasso 2005; Ocampo-Sosa et al. 2005). Metode PCR untuk deteksi bruselosis saat ini berkembang dengan pesat, baik dari pengembangan metode maupun pengembangan jenis sampel uji (Bricker 2002). BaSS PCR dapat membedakan hasil positif karena infeksi alam atau akibat vaksinasi S19 (Ewalt & Bricker 2003). Multipleks PCR yang pertama kali dikembangkan adalah AMOS PCR bertujuan untuk efisiensi waktu dan jumlah sampel dengan menggunakan banyak primer sehingga dalam satu kali uji dapat membedakan spesies dalam genus Brucella (B. abortus, B. melitensis, B. ovis dan B. suisi) dan vaksin S19 maupun RB51 (Bricker et al. 2003; Garcia-Yoldi et al. 2006; Matope et al. 2009). Pengembangan metode PCR yang lain seperti PCR – RFLP, AP (arbitrarily primed)-PCR, RAPD (random amplified polymorphic DNA)-PCR, REP (repetitive extragenic

palindromic

sequences)-PCR,

ERIC

(enterobacterial

repetitive

17

intergenic consensus sequences)-PCR, specific multiplexing (AMOS-PCR based on the repetitive DNA sequence IS711), multi-locus analysis of variable number tandem repeats (VNTRs) and PCR-RFLP (Bricker 2002; Al-Dahouk & Tomasso 2005). Metode deteksi brucellosis pada manusia saat ini dikembangkan light cycler real-time polymerase chain reaction (PCR) assay dengan serum dan PCR–enzyme-linked immunosorbent assay dengan sampel darah (Queipoortuno et al. 2005). Multipleks PCR terbaru adalah Bruce-ladder dalam satu kali PCR dapat membedakan antara vaksin strain B. abortus S19, B. abortus RB51 dan B melitensis biovar 1. Selain itu dapat juga diguakan untuk membedakan DNA dari B. neotomae, B pinnipedialis, B ceti serta B abortus biovar 3, 5, 6, 7, 9, dan B. suis biovar 2, 3, 4, 5. Pengujian

secara

serologik

dapat

dilakukan

dengan

fluorescence

polarisation assay, ELISA enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan complement fixation test (CFT), buffered Brucella antigen tests (BBATs) misalnya Rose Bengal test (RBT) dan buffered plate agglutination test (BPAT).

Metode

BBATs menggunakan spot aglutinasi yang simpel dengan antigen Rose Bengal dan buffered pada pH rendah sekitar 3.65 ± 0.05. Metode CFT merupakan metode konfirmasi secara serologik (OIE 2009) dengan nilai spesifisitas yang lebih besar dibandingkan metode Serum Aglutination Test (SAT). CFT merupakan reaksi pengikatan komplemen. Reaksi yang berguna untuk mengukur kadar antibodi serum ataupun antigen. Prinsip reaksi ini adalah adanya kompleks antigen dan antibodi yang homolog, menarik komplemen untuk berikatan dengan bagian Fc dari antibodi sehingga melisiskan RBC. Reaksi pengikatan komplemen terdiri dari dua tahap. Metode CFT telah banyak digunakan dan diterima secara luas sebagai uji konfirmasi meskipun uji ini sangat kompleks karena membutuhkan fasilitas laboratorium yang baik dan membutuhkan tenaga terlatih agar titrasi dapat akurat dan dapat mmpertahankan reagen. Banyak sekali variasi yang terjadi pada uji ini, namun prosedur manapun yang dipilih, pengujian harus

menggunakan

antigen yang telah dipersiapkan dari B.abortus strain smooth, seperti strain 99 atau 1119-3, dan distandarisasi dengan sampel referensi OIE. Pengujian ini paling mudah dilakukan dengan format mikrotiter. Fiksasi hangat dengan suhu 37 oC selama 30 menit atau dingin dengan suhu 4 oC selama 14-18 jam, keduanya dapat digunakan untuk inkubasi serum, antigen dan komplemen. Akurasi hasil uji dipengaruhi oleh faktor metode yang kita pilih. Fiksasi dingin akan sering

18

terjadi aktivitas antikomplementer terutama pada sampel serum dengan kualitas rendah, sementara itu pada fiksasi hangat pada suhu 37 oC akan meningkatkan frekuensi dan intensitas prozon.

Apabila sampel yang diuji menunjukkan

aktivitas ini, harus dilakukan pengulangan dengan beberapa pengenceran untuk setiap sampel sebagai hasil uji. Metode ELISA saat ini banyak digunakan untuk deteksi bruselosis. Berbagai jenis ELISA banyak dikembangkan misalnya ELISA IgM, indirectELISA (i-ELISA), competitive ELISA (c-ELISA), serta kombinasi ELISA dengan uji serologik lain. Metode ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi dalam suatu sampel dengan menggunakan indikator enzim. Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat antigen–enzim atau konjugat antobodi–enzim, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Metode ELISA non-competitive assay, mempunyai prinsip antibodi yang kedua dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator yang disebut dengan sandwich ELISA. Metode ELISA menggunakan monoklonal, poliklonal antiglobulin, protein G, AG pada enzim konjugat. Monoklonal antibodi

spesifik untuk bovine IgG1 akan tetapi sensitifitasnya

rendah. Protein G atau AG enzim konjugat sangat baik untuk uji pada berbagai spesies dari mamalia. Competitive enzyme linked immunosorbent assay (C-ELISA) berfungsi untuk mendeteksi antibodi serum terhadap B. abortus. Penerapan pada sapi, uji ini mampu membedakan antara hewan terinfeksi Brucella dengan hewan yang divaksin dengan S19 dan dapat terjadi cross reaction apabila hewan terinfeksi dengan gram negatif. Uji ini telah dikembangkan agar memiliki performa yang sebanding dengan CFT. Prinsip uji ini berdasarkan pada fase padat antibodi CELISA. Prosedur pengujian ini sampel dipaparkan dengan S-LPS. B. abortus yang dilapiskan pada lubang sumuran microplate bersama dengan atibodi monoklonal (mAb) spesifik dari tikus terhadap epitop pada bagian opolysaccharida dari antigen S-LPS. Setelah masa inkubasi microplate dicuci dan ditambahkan dengan konjugat antibodi goat anti mouse IgG dengan horseradish peroxidase, dimana akan mengikat mAb dengan S-LPS pada plate. Material yang tidak terikat akan dibuang dengan pembilasan sebelum penambahan larutan substrat. Pembentukan warna diakibatkan oleh konversi substrat oleh

19

konjugat.

Nilai optical density diukur dengan fotometer mikroplate (ELISA

reader) pada 450 nm. Apabila antibodi anti-Brucella tidak dijumpai pada serum (negatif), mAb akan terikat pada epitop o-polysaccharida dari antigen S-LPS dan ditandai dengan pembentukan warna. Apabila serum yang diuji mengandung antibodi spesifik Brucella (positif), keduanya akan bersaing dengan mAb untuk menempati situs epitop dan menghambat mAb terikat pada o-polisakarida dari antigen S-LPS dan diikuti dengan pembentukan warna. Serum dari sapi yang divaksinasi dengan strain 19 tidak akan bersaing dengan mAb karena spesifisitas dan afinitasnya rendah sehingga menimbulkan reaksi negatif. Bagaimanapun juga,

pada

beberapa

kasus

sampel

yang

diambil

sebelum

6

bulan

pascavaksinasi mungkin akan bereaksi positif. Abortus-Bang Ring-test atau milk ring test (MRT) merupakan deteksi direct antibodi terutama IgA dalam susu (Aggad & Boukraa 2006).

Metode ini

mempunyai prinsip dasar aglutinasi cepat, antibodi yang melekat pada lemak globula akan naik ke permukaan susu dan terkonsentrasi di lapisan krim. Whole cell antigen B. abortus (antigen MRT) yang ditambahkan ke dalam susu akan berikatan dengan antibodi dan terkonsentrasi di lapisan krim membentuk Brucella agglutinins. Brucella agglutinins dalam susu diadsorbsi ke dalam globula lemak. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya cincin warna ungu dari globuleagglutininstained brucella kompleks antigen (Nielsen 1996). Rose Bengal test adalah uji aglutinasi pada slide secara cepat untuk mendeteksi adanya agglutinin spesifik Brucella.

Antigen Brucella

yang

digunakan adalah larutan bakteri Brucella abortus yang digunakan untuk mendeteksi adanya agglutinin bakterial yang berhubungan dengan adanya infeksi atau paparan oleh B. abortus.

Uji slide ini direkomendasikan hanya

sebagai screening saja untuk memastikan ada atau tidaknya antibodi yang homolog. Sewaktu terjadi infeksi pada ruminansia oleh suatu agen mkrobiologi patogen, maka tubuh akan membentuk berbagai macam antibodi, diantara adalah aglutinin. Ketika agglutinin bereaksi dengan antigen yang homolog dalam pH yang yang sesuai maka dapat menyebabkan terjadinya aglutinasi. Suspensi Brucella memiliki antigen aktif yang akan mengalami aglutinasi ketika terpapar oleh antibodi Brucella yang homolog.

Aglutinasi ini akan

membentuk gumpalan bakteri yang dapat diamati secara makroskopik. Reaksi agglutinasi diamati setelah 4-5 menit. Hasil dinilai positif (+++) jika terjadi

20

agglutinasi sempurna, cairan jernih dan tampak jelas. Hasil dinilai positif (++) jika terjadi agglutinasi berupa pasir halus, cairan agak jernih dan batas cukup jelas. Sedangkan RBT dinilai positif (+) jika terjadi agglutinasi berupa pasir halus, cairan tidak jernih dan batas cukup jelas.

Metode ini digunakan untuk

mendeteksi secara dini terhadap aglutinin Brucella dengan menggunakan antigen Brucella yang diwarnai dengan Rose Bengal . Uji lain yang dapat digunakan adalah ELISA dengan sampel susu, interferon gamma test, brucellin skin test, serum aglutinin test (SAT). Deteksi antigen dengan uji biomolekuler dapat dilakukan PCR (OIE 2009). Positif palsu deteksi antibodi bruselosis dapat diakibatkan juga oleh adanya infeksi lain seperti Yersinia enterocolitica serotype O:9, Francisella tularensi, E. coli serotype O:157, O:116, Salmonella serotypes Kauffmann-White group N, Xanthomonas malthopilia, Vibrio cholera, Bordetella bronchiseptica (Ilhan et al. 2008; Gal & Nielsen 2004; Saegerman 2004). Negatif palsu dengan deteksi serologik dapat diakibatkan karena titer antibodi hewan yang terinfeksi belum cukup dan di bawah limit deteksi metode uji (Ilhan et al. 2008).

Penyebaran Penyakit dan Kebijakan Bruselosis pada sapi perah di Pulau Jawa telah dikenal sejak tahun 1925 sebagai penyakit keluron ketika Kirschner berhasil mengisolasi Brucella dari janin sapi yang abortus di daerah Bandung, kemudian tahun 1927 di Aceh dan Sumatera Utara sampai akhirnya bruselosis semakin menyebar terutama di peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Noor 2006b). Penyakit ini bersifat endemis dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi dibeberapa peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung. Bruselosis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa (Putra 2005). Spesies Brucella yang menginfeksi sapi di Indonesia adalah strain B. abortus biovar 1. Biovar 1 merupakan isolat lokal yang paling patogen sehingga mampu menimbulkan keguguran dan infeksi yang meluas pada organ dan jaringan tubuh sapi. Kuman penyebab bruselosis pada sapi perah di daerah DKI Jakarta terdiri dari B. abortus biovar 1 (77,6%), biovar 2 (13,2%) dan biovar 3 (9,2%). Biovar tersebut yang diduga telah menyerang ternak di berbagai wilayah di Indonesia (Noor 2006b).

21

Bali

bebas

melalui

Keputusan

Menteri

Pertanian

Nomor

443/Kpts/TN.540/7/2002, Pulau Lombok melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002, Pulau Kalimantan melalui Keputusan Menteri Pertanian

Nomor 2540/Kpts/PD.610/6/2009, sedangkan Provinsi Sumatera

Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2541/Kpts/PD.610/6/2009.

Provinsi Sumatera Selatan, Lampung,

Bengkulu, dan Bangka Belitung melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 5681/Kpts/PD.620/12/2011. Terdapat 11 provinsi yang memiliki prevalensi pada sapi potong sangat rendah (0-2%) yaitu provinsi di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Propinsi yang mempunyai kasus tinggi pada sapi potong yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur (Pulau Timor yaitu TTU dan Belu), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara (Poermadjadja 2012).

Peta penyebaran

bruselosis disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta penyebaran bruselosis di Indonesia (Poermadjadja 2012).

Badan Karantina Pertanian menerapkan kebijakan masa karantina hewan baik sapi bibit maupun sapi potong. Sapi yang akan dilalulintaskan dilakukan pemeriksaan beberapa penyakit strategis yang berada di daerah asal dan daerah

22

tujuan. Pemeriksaan importasi sapi perah maupun sapi bibit salah satu adalah uji terhadap bruselosis. Metode yang digunakan adalah RBT dan dilanjutkan dengan CFT dan beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) menggunakan ELISA. Penanggulangan dan pencegahan bruselosis yang dilakukan oleh Direktorat kesehatan hewan (Dirkeswan) diantaranya dengan pemeliharaan sanitasi dan kebersihan, vaksinasi S19 usia 3 – 7 bulan, pemberian antiseptik dan antibiotika pada hewan yang sakit, penyingkiran reaktor (sapi terinfeksi sebagai sumber infeksi), isolasi, penjualan dan pemotongan sapi yang terinfeksi, pembakaran atau penguburan fetus dan plasenta abortus, dan karantian hewan yang baru diperiksa dan diuji. Ternak pengganti yang tidak mempunya "sertifikat bebas bruselosis" dapat dimasukkan dalam kelompok ternak apabila setelah dua kali uji serologik dengan waktu 30 hari memberikan hasil negatif.

Ternak pengganti

yang mempunyai "sertifikat bebas bruselosis" dilakukan uji serologik dalam selang waktu 60 sampai 120 hari setelah dimasukkan ke dalam kelompok ternak (Dirkeswan 2010). Menurut Dirkeswan (2010) pengelompokan bruselosis pada suatu daerah diklasifikasikan

menjadi tiga jenis yaitu daerah bebas, daerah tertular dan

daerah tersangka.

Syarat daerah bebas bruselosis adalah berada dibawah

pengawasan dokter hewan berwenang, bebas reaktor, didalam kelompok ternak tersebut tidak terdapat gejala selama 6 bulan dan apabila ada pemasukan hewan baru, harus melalui 2 kali uji serologik dalam selang waktu 30 hari dan memberikan hasil negatif.

Daerah tertular ringan mempunyai syarat adanya

reaktor paling tinggi 2% dan berada dibawah pengawasan dokter hewan berwenang, tertular parah apabila didalam kelompok hewan ternak ini didapatkan reaktor diatas 2% dan berada dibawah pengawasan dokter hewan berwenang. Daerah tersangka mempunyai syarat pengujian serologik dilakukan untuk penentuan reaktor, reaktor-reaktor harus dikeluarkan dan dipotong (test and slaughter), pengeluaran reaktor diikuti oleh program vaksinasi pada sapi dara, hewan betina bunting dan hewan jantan tidak divaksinasi. Vaksinasi Vaksin live dan kill sangat berperan untuk program pemberantasan bruselosis pada sapi, kambing dan babi (Schurig et a. 2002). Vaksin live terbukti lebih unggul dibandingkan dengan vaksin kill karena menstimulasi terbentuknya cell medicated immune dan long lasting immunity yang merespon imunitas

23

jangka panjang bakteri intraseluler. Pemberian vaksin live menghemat biaya karena harganya relatif lebih murah, meskipun dapat mengakibatkan abortus apabila diberikan pada sapi bunting. Penggunaan vaksin live lebih sesuai jika diberikan pada sapi dara usia 4-7 bulan. Pemberian vaksin pada sapi dewasa diperlukan untuk program pemberantasan terhadap reaktor bruselosis (Munir 2009). Vaksin yang paling banyak digunakan untuk pencegahan bruselosis pada sapi adalah S19 dari B. abortus. Vaksin ini merupakan vaksin yang dilemahkan (live) dan biasanya diberikan untuk pedet betina berumur antara 3-6 bulan dengan dosis tunggal secara subkutan, sedangkan untuk sapi perah diberikan pada umur 4-12 bulan untuk menghindari adanya antibodi persisten yang menyebabkan adanya positif palsu pada pengujian serologik

Vaksin dapat

diberikan pada ternak berbagai umur dengan dua dosis melalui konjungtiva dan tanpa menghasilkan respon antibodi persisten respon.

Vaksin S19 mampu

menurunkan kejadian bruselosis pada sapi lebih dari 85%. Menurut Geong dan Robetson (2000) pemberian vaksin S19 pada sapi bali terbukti dapat menurunkan kejadian abortus dan still births. Titer antibodi yang dengan vaksin S19 mampu bertahan hingga 10 bulan. Pemberian vaksin S19 tidak terdeteksi pada sapi dara setelah 240 hari dan 90 hari pada pedet dengan menggunakan ELISA. Vaksinasi pada kerbau terdeteksi setelah 30 hari pascavaksinasi dan tidak terdeteksi setelah 300 hari dengan menggunakan RBT (Munir 2009). Vaksin dari B. abortus strain 45/20 vaksin diberikan dengan dua dosis dengan respon imun lebih rendah dari S19. Vaksin dari strain RB51 dari mutant yang resisten terhadap rifampisin (Smith & Cutler 2004) merupakan vaksin live (dilemahkan) yang berasal dari strain rough B. abortus dan mulai digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1996 Vaksinasi dengan RB51 tidak menghasilkan titer antibodi yang dapat diukur oleh uji serologik konvensional. Dosis vaksin dari smoth Brucella lebih tinggi dari pada vaksin yang berasal dari rough ( Barbier et al. 2011). Saat ini telah ditemukan protein imunogenik dari B. abortus yang dapat digunakan sebagai material vaksinasi dan uji serologik. Protein 18 dari protein imunogenik B. abortus 1119-3 terbukti mempunyai spesifisitas tinggi apabila digunakan sebagai antigen dalam uji serologik serta sebagai material untuk vaksinasi yang tidak akan terdeteksi dengan metode serologik (Yuk Ko et al. 2012). Vaksin yang berasal dari smoth Brucella akan terdeteksi dengan metode

24

RBT dan CFT setelah 1 minggu pascavaksinasi, sedangkan rough Brucella tidak terdeteksi (Barrio et al. 2009).

25

BAHAN DAN METODE

Rancangan Penelitian Penelitian ini membandingkan metode uji dengan jenis sampel yang berbeda untuk deteksi B. abortus. Sebagai data pendukung dilakukan wawancara dengan dinas dan instansi terkait, pemilik dan penanggung jawab kandang tentang penyebaran, riwayat abortus, penurunan produksi susu dan vaksinasi. Rancangan penelitian yang digunakan sesuai yang disajikan pada Gambar 3. Wawancara Dinas

Sapi perah terpilih

Darah

Serum

Susu

MRT

RBT

ELISA

CFT

PCR

Analisis Kappa

Analisis Kappa , Confirmation rate

Gambar 3 Rancangan penelitian.

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan Maret 2012 bertempat di Laboratorium Karantina Hewan Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP).

Pengujian sampel dengan menggunakan

metode CFT dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet) Bogor. Pengambilan sampel penyebaran bruselosis.

dilakukan di Propinsi Jawa Barat berdasarkan data

26

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk pengujian serologis dengan metode RBT adalah antigen RBT (Synbiotic), serum kontrol positif dan negatif, sedangkan metode MRT menggunakan antigen MRT (BBalitvet), sampel standar positif dan negatif.

Bahan yang digunakan untuk metode ELISA adalah kit ELISA yang

terdiri dari plat mikro dengan coating (lapisan) antigen, konjugat, serum kontrol positif dan negatif, wash solution (larutan pencuci), substrat, larutan penghenti (stop solution) dan adhesive film (film perekat). Bahan yang digunakan untuk metode CFT adalah saline water (air salin), komplemen, hemolisin, antigen CFT, serum standard, eritrosit domba dan microplate (plat mikro) dasar U. Bahan yang digunakan untuk ekstraksi metode PCR adalah QIAamp DNA mini kit yang terdiri dari proteinase K, buffer AL, buffer AW1, buffer AW2, buffer AE, mini spin column (kolom mini spin), dan collection tube, sedangkan bahan mastermix yang digunakan adalah platinum PCR supermix high fidelity. Kontrol positif dalam metode PCR digunakan kultur Brucella spp.dalam darah yang berasal dari koleksi BBalitvet Bogor. Bahan elektroforesis metode PCR yang digunakan terdiri dari PCR grade water, TAE, agarose gel , ethidium bromide, blue loading dye, marker 100 bp.

Bahan tambahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah alkohol absolute, alkohol 70%, aquabidesttilata, grade biomolecular water dan tissue. Primer yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga pasang primer yang disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Daftar primer (Leal-Klevezas et al. 2000; Romero & Lopez-Goni 1999; Bailey et al. 1992) Nama

Sequence 5’-3’

JPF

GCG CTC AGG CTG CCG ACG CAA

JPR

ACC AGC CAT TGC GGT CGG TA

F4

TCG AGC GCC CGC AAG GGG

R2

AAC CAT AGT GTC TCC ACT AA

B4

TGG CTC GGT TGC CAA TAT CAA

B2

CGC GCT TGC CTT TCA GGT CTG

Gen sequences

Produk (bp)

Omp2

193

16S rRNA

905

Bcsp 31

223

27

Peralatan yang digunakan untuk pengujian serologik dengan metode RBT dan MRT adalah plat RBT, milk column, batang pengaduk kaca, pipet tunggal 50 µl. Pengujian serologik dengan metode ELISA menggunakan peralatan seperti ELISA reader, microshaker (pengocok mikro), gelas ukur 50 ml, erlemeyer 100 ml, multichannel pipette (pipet jamak) 300 µl, pipet tunggal 10-100 µl dan 50-200 µl.

Peralatan yang digunakan dengan metode CFT adalah penangas air,

inkubator shaker (pengocok), sentrifuge cooler (sentrifus dingin) dan tabung falkon 15 ml.

Peralatan yang digunakan untuk metode PCR adalah

thermacychler, biosafety cabinet Level II, PCR chumber, tabung mikrotub 1.5 ml, PCR tube 0.2 tutup datar, ART tips, sarung tangan bebas powder, sentrifus mikro, gel elektroforesis dan transiluminator.

Sedangkat peralatan yang

digunakan dalam pengambilan sampel adalah venoject plain, venoject dengan ethylen diamin tetra acetic acid (EDTA), needle veno (jarum veno), (termos es), ice pack (es pendingin) dan

tabung palstik 50 ml.

ice box Peralatan

pendukung yang digunakan untuk pengujian adalah deep freezer (lemari pendingin) suhu -20 °C, yellow tip (tip kuning), blue tip, (tip biru) inkubator O2, inkubator CO2 dan refrigerator (lemari pendingin). Jenis Sampel Sampel diambil dari sapi perah dengan minimal satu kriteria sebagai berikut, pernah mengalami keguguran, terlihat gejala radang persendian, higroma, penurunan produksi susu, retensi uterus atau conception rate lebih dari 3 kali. Jumlah sampel yang akan diambil sebanyak 60 menurut ISO:16140 (ISO 2003).

Jenis sampel yang diambil adalah serum untuk mendeteksi antibodi

dengan menggunakan metode RBT, ELISA dan CFT. Sedangkan sampel darah, dan susu segar untuk mendeteksi adanya antigen bakteri dengan metode PCR, selain untuk PCR susu segar juga digunakan untuk uji MRT. Sampel darah sapi diambil 10 ml, dimana 3 ml ditampung dalam tabung tanpa antikoagulan, sedangkan 7 ml ditampung dalam tabung dengan antikoagulan EDTA (Hafez et al. 2011). Darah tanpa antikoagulan diambill serumnya dengan cara didiamkan dengan posisi miring dan dijauhkan dari sinar matahari langsung selanjutnya disimpan pada suhu -20 °C. Darah dengan antikoagulan disimpan pada suhu 4 °C sebelum dilakukan preparasi. Pemerahan dilakukan dengan diawali pencucian ambing dan sekitarnya terlabih dahulu kemudian dikeringkan serta diberikan disinfektan dengan

28

menggunakan povidone idodida.

Pancaran susu segar pertama kali dibuang

baru kemudian ditampung untuk sampel (OIE 2009).

Susu segar ditampung

dalam tabung steril 15 ml dan tertutup rapat. Pemerahan untuk pengambilan sampel dilakukan pada keempat ambingnya (Longo et al. 2009). Pengujian MRT diambil sebanyak 5 ml, sedangkan untuk pengujian PCR diambil sebanyak 10 ml. Susu segar untuk pengujian MRT disimpan pada suhu 4 °C sedangkan untuk PCR pada suhu -20 °C sebelum dilakukan pengujian (Hamdy & Amin 2002).

Prosedur Pengujian

Prosedur MRT Sampel susu segar dan antigen MRT sebelum dilakukan uji MRT diletakkan pada suhu ruang (22 ± 4 °C). Susu segar segar utuh dipipet sebanyak 1–2 ml dan dimasukkan dalam milk column. Antigen dikocok secara perlahan terlebih dahulu sebelum digunakan dan ditambahkan sebanyak 30-50 μl. Inkubasi pada suhu 37 °C selama 1 jam atau semalam pada 4 °C dengan sampel standard negatif dan positif.

Pembacaan hasil positif kuat ditandai

dengan adanya cincin biru gelap di atas diatas milk column (OIE 2009). Pembacaan hasil MRT positif kuat ditandai dengan adanya cincin biru gelap di atas milk column.

Prosedur RBT Sampel serum dan antigen RBT sebelum dilakukan uji RBT diletakkan pada suhu ruang (22 ± 4 °C). Serum sampel dan kontrol positif serta negatif dipipet sebanyak 25–30 μl dan diletakkan pada plate RBT.

Antigen dikocok

secara perlahan terlebih dahulu sebelum digunakan dan ditambahkan sama banyak dengan serum. Campuran serum dan antigen dilakukan homogenisasi membentuk lingkaran atau oval dengan diameter 2 cm menggunakan batang pengaduk kaca pada masing-masing sampel. Inkubasi pada suhu ruang selama 4 menit. Pembacaan adanya aglutinasi RBT setelah 4 menit masa inkubasi, sampel dinyatakan positif apabila terjadi gumpalan seperti pasir (OIE 2009).

Prosedur ELISA Sampel serum, kit ELISA diletakkan pada suhu ruang (22 ± 4 °C). Persiapan pengujian yang dilakukan adalah pengenceran

wash consentrat

29

(pencuci pekat) dengan aqua bidestilata 1:10 untuk mendapatkan larutan pencuci. Larutan pencuci sebanyak 90 μl dipipet ke dalam plat mikro sesuai dengan jumlah sampel dan kontrol.

Kontrol dan sampel masing-masing

ditambahkan sebanyak 10 μl sehingga konsentrasi larutan menjadi 1:10. Campuran dihomogenkan secara perlahan dengan menggunakan pengocok mikro. Plat mikro ditutup dengan film perekat dan diinkubasi selama 60 ± 5 menit pada suhu 37 ± 2 °C pada inkubator. Campuran dalam plat mikro dibuang dan ditambahkan larutan pencuci pekat yang telah diencerkan dengan

aqua

bidestilata dengan perbandingan 1:10 sebanyak 300 μl pada masing-masing sumur dalam plat mikro. Larutan pencuci dibuang dan palt mikro dikeringkan dengan kertas penyerap. Pencucian dengan lautan pecuci diulangi sebanyak tiga kali.

Konjugat

diencerkan dengan larutan pencuci dengan perbandingan 1:10 kemudian ditambahkan 100 μl pada tiap-tiap sumur. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 °C selama 60 menit. Inkubasi selesai pencucian dilakukan kembali seperti prosedur pencucian sebelumnya. Tahapan selanjutnya ditambahkan substrat sebanyak 100 μl dan dilakukan homogenisasi secara perlahan. Inkubasi dilakukan selama 30 menit di tempat yang terlindung dari cahaya. Larutan penghenti ditambahkan sebanyak 100 μl dan dilakukan pembacaan dengan elisa reader pada panjang gelombang 450 nm.

Interpretasi hasil ELISA

didapatkan apabila hasil

pembagian antara optical density (OD) sampel dikurangi OD kontrol negatif dengan OD kontrol positif dikurangi dengan OD kontrol negatif. Hasil di atas di buat dengan persentase, untuk sampel invidu hasil positif mengandung titer antibodi B. abortus apabila hasilnya lebih besar sama dengan 80%.

Prosedur CFT Tahap pertama adalah reaksi Ag Brucella dan contoh serum dicampur sejumlah komplemen menggunakan serum marmut normal (komplemen) dengan konsentrasi 10%. Jika contoh serum mengandung antigen terhadap Brucella maka komplemen akan mengikat antigen dan antibodi tersebut. Tahap kedua adalah komplemen tidak dapat mengikat indikator yaitu sel darah domba yang direaksikan dengan anti sel darah domba (hemolisin). Hemolisin diperoleh dari domba yang diberi perlakuan dengan menginjeksikan antigen B. abortus 2 minggu sebelum pengambilan darah, sehingga darah domba yang diperoleh

30

adalah darah domba yang telah dilapisi antibodi terhadap B. abortus.

Sistem

indikator atau hemolisin terdiri dari sel darah domba (konsentrasi 3%) yang dilapisi antibodi terhadapnya. Penghancuran sel darah domba yang telah dilapisi hemolisin (sistem indikator) dengan menggunakan hemolisin (pengenceran 1:100) dan hemolisin (pengenceran 1:150). Reaksi komplemen dan hemolisin dilakukan dalam tabung reaksi 10 ml. Titrasi hemolisin tabung reaksi sebanyak dua belas disusun menjadi dua baris (A dan B). Baris A nomor ganjil yaitu 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 dan baris B nomor genap yaitu 2, 4, 6, 8, 10 dan 12. Baris A dan baris B merupakan gambaran titrasi hemolisin.

Larutan

dari ke

enam

tabung

dihomogenkan

dengan

cara

menggoyang rak tabung reaksi, kemudian di inkubasikan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 37 oC.

Pada masing-masing tabung kemudian

ditambahkan 0,25 ml komplemen 10%, diikuti dengan menambahkan 0,25 ml sel darah domba 3%. Tabung reaksi disusun kembali menjadi satu baris dengan nomor yang berurutan (1-12), larutan dihomogenkan dan diinkubasikan kembali selama 30 menit pada suhu 37 oC. Sistem indikator atau hemolisin terdiri dari sel darah merah domba yang dilapisi antibodi terhadap B. abortus. Adanya antigen dan antibodi yang homolog, ditandai dengan pengendapan eritrosit dari sistem indikator (reaksi pengikatan komplemen positif). Sebaliknya, tidak adanya kesesuaian antara antigen dan antibodi akan ditandai dengan lisisnya eritrosit dari sistem indikator (reaksi komplemen negatif). Tabung reaksi sebanyak enam buah disusun dalam satu baris dan diberi nomor berurut dari 1 sampai 6. Larutan dihomogenkan dengan cara menggoyang rak tabung reaksi, kemudian diinkubasikan dalam penangas air selama 10 menit pada suhu 37 oC. Pada reaksi pengikatan komplemen dilakukan titrasi serum yang diuji. Pengenceran serum mengakibatkan perubahan reaksi pada masingmasing tabung, yaitu dari pengendapan (reaksi positif) sampai lisisnya eritrosit (reaksi negatif). Adanya antigen dan antibodi yang homolog, ditandai dengan pengendapan eritrosit dari sistem indikator (reaksi pengikatan komplemen positif). Hasil CFT positif dengan titer 150 IU (Dewi 2010). Sampel serum yang tidak diencerkan dilakukan inaktifasi. Prosedur CFT dilakukan dengan menggunakan plat mikro dasar U. Sebanyak 50 μl kontrol positif dimasukka ke dalam sumur A1, kontrol negatif di sumur A2, sedangkan A3 dengan sampel dan seterusnya sampai sumur A12.

Mikroplate ditutup

dengan adhesive film dan diinaktivasi dalam penangas air 58 ºC selama 30

31

menit. Sebanyak 25 µl buffer saline dimasukkan kedalam sumur baris B sampai H. Pengenceran serial dilakukan dengan cara memindahkan 25 µl dari sumur A ke B, kemudian B ke C dan seterusnya hingga sampai ke baris H. Antigen CFT sebanyak 25 µl dimasukkan ke dalam setiap sumur mulai baris C sampai H. Sebanyak 25 µl komplemen dimasukkan ke dalam sumur baris B sampai H sedangkan sumur baris B ditambahkan PBS 25 µl untuk menyamakan volume. Inkubasi pertama dilakukan pada suhu 37 ºC selama 30 menit. Setelah inkubasi selesai sebanyak 25 µl campuran eritrosit dan hemolisin dimasukkan ke dalam sumur baris B sampai H. Inkubasi kedua dilakukan pada suhu 37 ºC selama 30 menit

dalam inkubator pengocok.

Inkubasi dilanjutkan ke dalam lemari

pendingin pada suhu 4 ºC selama semalam. Pembacaan hasil dilakukan pada keesokan harinya.

Sampel positif

ditandai dengan tidak terjadinya lisis sel darah domba, cairan berwarna bening dan terdapat endapan eritrosit.

Sampel negatif ditandai dengan lisisnya sel

darah domba, cairan berwarna merah muda. Titer CFT dibaca sesuai dengan pengenceran tertinggi sumur yang masih positif.

Sampel dikatakan positif

apabila memiliki titer ¼ atau lebih.

Prosedur PCR Sampel darah disentrifus 4 000x g selama 3 menit Bagian dari darah yang akan diekstraksi adalah pellet dan buffy coat (Leal-Klevezas et al. 1995; Leary et al. 2006). Pellet dan buffy coat dibilas dengan aqua bidestilata hingga tidak ada sisa hemoglobin, dan selanjutnya sampel siap diekstraksi.

Susu segar beku

dilakukan proses pencairan kembali (thawing) pada suhu ruang, sebanyak 1 ml dipindahkan ke dalam mikrotub dan disentrifus 6 000x g selama 10 menit (AlMariri & Haj-Mahmoud 2009).

Bagian berwarna bening dipipet dan dibuang

sedangkan bagian susu segar padat dan butterfat yang akan diekstraksi (Longo et al. 2009). Ekstraksi sampel darah dan susu mengikuti manual insert QIAamp DNA minikit. Sampel yang telah dilakukan ekstraksi dikoleksi sebagai template DNA, sebelum dilakukan amplifikasi terlebih dahulu dilakukan kuantifikasi dengan nanodrop pada 260 A dan 280 A.

Limit of detection (LOD) dilakukan pada

masing-masing pasangan primer dengan menggunakan template DNA kontrol positif. Template DNA kontrol positif diencerkan dengan dd H 2O secara serial dari 10-1, 10-2, 10-3 dan 10-4.

32

Sampel yang telah dilakukan ekstraksi dikoleksi sebagai template DNA, sebelum dilakukan amplifikasi terlebih dahulu dilakukan kuantifikasi dengan nanodrop pada 260 A dan 280 A.

Limit of detection (LOD) dilakukan pada

masing-masing pasangan primer dengan menggunakan template DNA kontrol positif. Template DNA kontrol positif diencerkan dengan dd H 2O secara serial dari 10-1, 10-2, 10-3 dan 10-4. Proteinase K dipipet sebanyak 20 µl ke dalam dasar sentrifus mikro 1,5 ml. Sebanyak 200 µl sampel ditambahkan ke dalam sentrifus mikro dan ditambahkan 200 µl buffer AL. Sampel di vortex selama 15 detik dan diinkubasi pada suhu 56 °C selama 10 menit.

Kemudian sampel disentrifuse beberapa detik untuk

menghilangkan embun di tutup tabung mikrosentrifus.

Tabung disentrifuse

beberapa detik untuk menghilangkan embun di tutup tabung sentrifus mikro. Ethanol (96-100%) sebanyak 200 µl ditambahkan ke dalam sampel dan di vortex perlahan selama 15 detik.

Sentrifuse dilakukan beberapa detik untuk

menghilangkan embun di tutup tabung mikrosentrifus. Mixtura dipindahkan secara hati-hati, ke dalam kolom mini spin tanpa membasahi rimnya. Mini spin ditutup kemudian disentrifus pada 6000 x g (8000 rpm) selama 1 menit.

QIAamp kolom mini spin dipindahkan ke dalam 2 ml

tabung koleksi baru, dan filtrat dalam tabung koleksi dibuang. QIAamp mini spin column dibuka dan ditambahkan 500 µl buffer AW 1 tanpa membasahi rimnya. Mixtura disentrifus pada 6000 x g (8000 rpm) selama 1 menit. QIAamp kolom mini spin dipindahkan ke dalam 2 ml tabung koleksi yang baru, dan filtrat dalam tabung koleksi dibuang. Secara hati hati, QIAamp kolom mini spin dibuka dan ditambahkan 500 µl buffer AW 2 tanpa membasahi rimnya. Mixtura disentrifus pada 20.000 x g (14.000 rpm) selama 3 menit.

QIAamp kolom mini spin

dipindahkan ke dalam 2 ml tabung koleksi yang baru dan ditambahkan buffer AE sebanyak 200 µl.

Mixtura diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit dan

disentrifus pada 6000 x g (8000 rpm) selama 1 menit. QIAamp minispin column dibuang dan template DNA disimpan pada suhu -20 °C sebelum

running di

thermacycler. Pembuatan master mix untuk single-PCR (PCR tunggal) pada tiap–tiap kontrol terdiri dari 22.5 μl platinum PCR supermix high fidelity, 0.5 μl Primer-R dan Primer-F kemudian ditambahkan 0.5 μl template DNA.

Pengujian single

PCR untuk sampel darah menggunakan pasangan primer JPF dan JPR karena pasangan primer ini paling sensitif terhapad Omp2 (Mukherjee et al. 2007).

33

Sampel susu segar menggunakan pasangan primer F4 dan R2. Primer B4/B5 digunakan untuk kedua jenis sampel.

Amplifikasi dilakukan dengan cycling

conditions (kondisi siklus) sebagai berikut: predenaturasi 1 cycle (siklus) dengan suhu 95 °C selama 5 menit, denaturasi 35 cycle (siklus) dengan suhu 94 °C selama 30 detik, annelling 56 °C selama 30 detik dan extension dengan suhu 72 °C selama 1 menit, kemudian final extension 72 °C selama 7 menit. Hasil produk PCR dilakukan elektroforesis dalam gel elektroforesis pada voltase 100 Volt, selama 30 menit, kemudian dibaca dengan UV eluminator dengan panjang produk dari Primer JPF/JPR pada 193 bp, B4/B5 pada 223 dan Primer F4/R2 pada 905 bp.

Analisis Data Data hasil pengujian diolah dan dianalisis dengan nilai Kappa dan analisis deskriptif dengan program software SPSS 16. Penilaian berdasarkan kekuatan kesepakatan sesuai dengan Tabel 5.

Tabel 5 Kekuatan kesepakatan (Thrusfield 2007) Nilai Kappa

Kekuatan Kesepakatan

≤0.2

poor agreement

0.21 – 0.40

fair agreement

0.41 – 0.60

moderate agreement

0.61 – 0.80

good agreement

>0.80

very good agreement

34

35

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengambilan Sampel Wilayah pengambilan sampel ditentukan berdasarkan wawancara dan data dari laporan tahunan 2011 Dinas Pertanian dan Peternakan setempat. Hasil dari wawancara dan data laporan tahunan didapatkan satu wilayah peternakan pengambilan sampel.

Pemilihan kandang dilakukan berdasarkan hasil

wawancara dengan pengurus koperasi susu setempat dan tenaga medik serta paramedik yang telah menangani kasus di lapangan.

Wawancara dilakukan

dengan pemilik sapi perah dan penanggung jawab kandang tentang riwayat vaksinasi dan gejala klinisnya. Kandang yang pertama berjumlah 52 ekor yang terbagi dalam 4 blok dan yang diambil sebagai sampel sebanyak 42 ekor. Kandang yang kedua berjumlah 10 ekor dan seluruhnya diambil sebagai sampel. Kandang yang ketiga berjumlah 12 ekor yang terbagi dalam 2 blok dan yang diambil sebagai sampel berjumlah 6. Kandang yang keempat berjumlah 10 ekor dan diambil sebagai sampel sejumlah 5 ekor. Kandang yang kelima berjumlah 10 ekor dan diambil sebagai sampel 1 ekor. Total hasil pengambilan sampel didapatkan 64 serum, 64 darah dengan EDTA dan 64 susu segar.

Secara umum sapi mengalami penurunan produksi

susu dari 10-15 liter menjadi 7-10 liter per hari. Vaksinasi dilakukan pada bulan Juni tahun 2011 dan 2008 dengan menggunakan vaksin RB51. Jumlah sampel dengan riwayat abortus, higroma dan gejala lain disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pengambilan sampel Kriteria sampel

Jumlah

Abortus

6

Higroma

9

Abortus dan vaksin

3

Abortus dan higroma

2

Vaksin

14

Retensi uterus

1

Hanya penurunan susu

29

Total

64

36

Hasil Pengujian Sampel Seluruh sampel dilakukan pengujian dengan metode serologik dan PCR sesuai jenis sampel yang telah ditetapkan. Hasil pengujian terhadap 2 sampel dengan gejala klinis higroma dengan riwayat vaksinasi terdeteksi oleh semua uji serologik dan secara lengkap disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Hasil pengujian sampel Jumlah dan persentase sampel positif

Kriteria sampel MRT

RBT

ELISA

CFT

PCR darah

PCR susu

Abortus

4 (67)

5 (83)

3(50)

3(50)

0

0

Higroma

5(56)

6(67)

5(56)

5(56)

0

0

Abortus dan Vaksin

2(67)

2(67)

3(100)

2(67)

0

0

Higroma dan Vaksin

2(100)

2(100)

2(100)

2(100)

0

0

Vaksin

12(86)

1(7)

3(21)

1(7)

0

0

Retensi uterus

1(100)

0

0

0

0

0

Penurunan susu

15(52)

6(21)

13(49)

5(17)

0

0

Total

41

22

29

18

0

0

Hasil positif masing-masing metode MRT, RBT dan ELISA dilakukan konfirmasi dengan CFT. Hasil uji confirmatin rate didapatkan RBT mempunyai nilai yang paling besar dibandingkan dengan MRT dan ELISA yaitu 82% dibandingkan dengan nilai confirmatin rate MRT dan ELISA yang secara lengkap disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Confirmation rate dengan CFT Metode

Confirmation rate dengan CFT (%)

MRT

44

RBT

82

ELISA

62

37

Hasil kuantifikasi DNA kontrol positif mengandung total DNA 18 ng/µl, sedangkan sampel darah dan susu masing-masing mengandung 20-140 ng/µl dan 16-115 ng/µl. Sampel kontrol dilakukan pengenceran dengan PCR grade water hingga 10-5. Hasil pengujian limit of detection (LOD) gen target omp2 dan Bcsp 31 sampai pada pengenceran 0.010 yang secara lengkap disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Hasil pengujian LOD

Gen target *

1.000

0.100

0.010

0.001

0.0001

Omp2

+

+

+

-

-

16S RNA

+

+

-

-

-

Bcsp 31

+

+

+

-

-

Keterangan * = Hasil pengenceran dari kontrol positif dengan konsentrasi DNA 27 ng/ µl. Konsentrasi DNA total yang masih terdeteksi dengan gen target Omp 2 sebesar 0.27 ng/µl dan 16S RNA sebesar 0.27 ng/µl serta Bcsp 31 sebesar 2.7 ng/µl. Menurut Bailey et al. (1992) 20 sel bakteri setara dengan 60 fg DNA sehingga LOD dengan gen target omp2 dan Bcsp 31 9 .101 cfu/ml, sedangkan dengan gen target 16S RNA 9 10 2 cfu/ml.

Gen target 16S RNA terlihat pada

905 bp dan gen target omp2 terlihat pada 193 bp yang secara lengkap disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Hasil pengujian LOD dalam elektroforesis.

38

Nilai Kappa didapatkan dengan membandingkan antar metode dalam uji serologik. Nilai Kappa antara RBT dan CFT paling besar dibandingkan dengan metode lainnya yaitu sebesar 0.710 (71%) yang secara lengkap disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Nilai dan persentase Kappa Nilai/Persentase

MRT

RBT

ELISA

CFT

MRT

-

28.2

20.8

24.9

RBT

0.282

-

58.1

71.0

ELISA

0.208

0.581

-

51.1

CFT

0.249

0.710

0.511

-

Hasil uji sensitifitas penerapan secara pararel antara RBT dan CFT adalah 38% sedangkan penerapan secara serial adalah 25%.

Uji spesifisitas

interpretasi paralel antara RBT dan CFT adalah 38% sedangkan interpretasi serial adalah 25% yang secara lengkap disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil uji sensitifitas (Se) dan spesifisitas (Sp) penerapan paralel (P) dan serial (S) (%)Se(P/S)/%Sp(P/S)

MRT

RBT

ELISA

CFT*

MRT

-

30/70

25/70

33/67

RBT

70/30

-

50/70

62/75

ELISA

75/30

50/30

-

52/75

CFT*

67/33

38/25

48/25

-

Keterangan * = metode konfirmasi

39

Pembahasan

Pembahasan Uji Serologik Abortus merupakan gejala klinis yang khas pada infeksi B. abortus dengan usia kebuntingan 7-9 bulan (Carter & Chengappu 1993). Unger et al. (2003) menemukan kejadian abortus pada sapi sebesar 22.1% dari sampel seropositif dan 2.6% dari sampel seronegatif. Penelitan ini menemukan bahwa lima dari 9 ekor sapi dengan riwayat abortus tidak semua menunjukkan seropositif, hal ini kemungkinan disebabkan oleh penyakit lain seperti leptospirosis, bovine genital camphylobacteriosis (vibriosis), trichomoniasis, mycotic abortion, infection bovine rhinotracheitis virus, bovine virus diarrhea serta faktor manajemen dan lingkungan seperti nutrisi, keracunan, dan vaksinasi (Carter & Chengappu 1993; Lopez et al. 2010). Dampak lain dari B. abortus adalah meningkatnya calving rate, kemajiran sementara, retensi uterus, mastitis, higroma, dan penurunan produksi susu sekitar 10% (Carter & Chengappu 1993). Namun tidak semua sampel dengan gejala klinis higroma menunjukkan seropositif meskipun higroma pada carpal merupakan gejala klinis yang menciri dari B. abortus kronis (Makita et al. 2010). Menurut Unger et al. (2003) gejala higroma muncul sebagian besar pada sampel seropositif dan sebagian kecil pada sampel seronegatif. Higroma kadang merupakan satu-satunya indikator adanya infeksi B. abortus (Munir 2009). Sampel dengan riwayat vaksinasi dalam penelitian ini masih ada yang menunjukan seropositif meskipun dengan vaksin RB51. Vaksin RB51 yang diberikan pada sapi dara dan dewasa tidak terdeteksi secara serologik sampai pada vaksinasi ulangan (Martins et al. 2009). Respon imun dengan pemberian vaksin RB51 mulai meningkat 6 (enam) hari pascavaksinasi dan stabil sampai 2 bulan kemudian akan menurun secara bertahap (Tittarelli et al. 2008). O-polysaccharide

Chains

terkandung

dalam

outer

membrane

lipopolysacharide (LPS) baik fenotif rough maupun smoth yang menentukan virulensi bruselosis (Martins 2011). Deteksi antibodi mendeteksi imunodominan dari antigen permukaaan S-LPS (Abbady et al. 2011), sehingga sapi yang divaksin dengan S19 akan terdeteksi positif karena menginduksi antibodi OChain dari outer-membrane lipopolysaccharide.

Vaksin S19 kurang sesuai

apabila diterapkan pada daerah dengan kebijakan test and slaughter karena sulit dibedakan antara antibodi hasil vaksinasi dan hasil infeksi alam. Vaksin RB51

40

dibuat dari rough-lipopolyshaccharide (R-LPS) Brucella dan tidak terdeteksi karena sedikit memproduksi smoth- lipopolyshaccharide (S-LPS) O-Chain side yang dapat terdeteksi dengan uji serologik konvensional (El-Razik et al. 2011; Martins et al. 2009). Sampel dengan riwayat vaksinasi dalam penelitian ini masih ada yang menunjukkan gejala abortus. Menurut Salmacov et al. (2010) pemberian vaksin S19 berisiko mengakibatkan terjadinya abortus pada babi meskipun ketika di isolasi tidak ditemukan strain yang sama dengan B. abortus strain S19. Menurut Lopez et al. (2010) pemberian vaksin RB51 pada populasi dengan prevalensi rendah dan tinggi masih berisiko mengakibatkan abortus yang disebabkan oleh B. abortus biovar 1. Temuan tersebut didukung oleh El-Razik et al. (2011) yang masih menemukan gejala abortus oleh infeksi alam B. abortus biovar 1 pada rusa serta kerbau yang divaksin.

Hal yang sama juga ditemukan pada sapi

dalam penelitian ini yang masih menunjukkan gejala higroma dan abortus meskipun sudah divaksin dengan RB51. Hal tersebut dimungkinkan berkaitan dengan kadar titer dalam darah sudah mengalami penurunan sehingga tidak protektif. Kesepakatan antara MRT dengan RBT, ELISA dan CFT kurang bagus, hal ini disebabkan karena metode MRT lebih banyak mendeteksi Immunoglobulin A (IgA) dan sedikit Immunoglobulin M (IgM) sedangkan RBT dan CFT mendeteksi immunoglobulin G1 (IgG1) (Baum 1995).

Hal ini juga terbukti dari nilai

Confirmation rate MRT terhadap CFT sangat rendah hanya 44%.

Sensitifitas

MRT akan meningkat jika diaplikasikan secara pararel dengan ELISA yaitu sebesar 75%. MRT secara rutin digunakan untuk screening test pada sampel pooling dan monitoring peternakan sapi perah dengan skala besar (Ilhan et al. 2008).

Metode MRT sangat mudah dan praktis dilakukan karena tidak

membutuhkan keahlian khusus dan fasilitas laboratorium dengan syarat tertentu serta harganya murah. Keterbatasan metode ini adalah penggunaanya hanya pada sapi dan dapat memberikan hasil positif palsu. Sampel kolostrum asal sapi yang mengalami retensi uterus menunjukkan hasil positif dan dengan metode lain negatif hal itu kemungkinan positif palsu karena kolostrum kurang sesuai untuk MRT. Selain kolostrum, positif palsu juga ditemukan pada susu yang diambil pada akhir periode laktasi, sapi mastitis dan vaksinasi kurang dari tiga bulan (Nielsen et al. 1996; Terzi et al. 2010). Positif MRT yang diakibatkan vaksinasi tidak ditemukan dalam penelitian ini karena

41

vaksinasi telah dilakukan lebih dari 3 (tiga) bulan yang lalu.

MRT juga

memberikan hasil yang meragukan apabila digunakan dalam populasi yang mempunyai prevalensi rendah (Terzi et al. 2010). Perbedaan hasil antara MRT dengan RBT dan ELISA serta CFT salah satunya disebabkan adanya penurunan immunoglobulin dalam susu setelah 30 hari pascainfeksi akan tetapi antibodi dalam darah justru meningkat (Bioncifiori et al. 2007). Respon IgM B. abortus pada sapi muncul sekitar 5-15 hari setelah infeksi, baru diikuti dengan IgG1 dan IgG2 serta IgGA. Gold standard deteksi antibodi dalam susu belum ada. Beberapa negara maju telah menggunakan deteksi antibodi dalam susu dengan metode M-ELISA. Metode MRT secara umum mendeteksi IgM dan IgA sedangkan ELISA dapat mendeteksi IgG1 dan IgG2. Infeksi Brucella spp. telah meningkatkan respon monosit dan makrofag sebagai reseptor IgG1 dengan meningkatkan IgG1 pada level humoral terhadap infeksi Brucella di daerah ambing.

Metode MRT

mempunyai sensitifitas lebih rendah dibandingkan dengan metode M-ELISA disebabkan karena konsentrasi IgG1 lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi IgGA dan IgGM pada susu sapi dewasa.

Metode MRT kurang

sensitifif bila diterapkan pada sampel kelompok (pooling) (Bioncifiori et al. 2007). Metode RBT sangat sensitif untuk mendeteksi kelompok ternak yang tertular atau untuk menjamin tidak adanya infeksi pada kelompok ternak yang bebas bruselosis. Metode RBT digunakan untuk screaning test (Abdoel et al. 2008) karena cepat, mudah dan praktis dilakukan, tidak membutuhkan peralatan yang banyak sehingga biasa digunakan dalam program pengawasan dan pengendalian. Keterbatasan metode RBT ini dapat memberikan hasil positif palsu akibat false-positive serological reactions (FPSR).

Hasil negatif terjadi

umumnya karena adanya prozon dan dapat dideteksi dengan melakukan pengenceran sampel serum atau diuji ulang setelah 4–6 minggu (OIE 2009). Kesepakatan antara RBT dengan CFT bagus, hal ini disebabkan karena kedua metode ini mempunyai kesamaan dalam mendeteksi jenis immunoglobulin yaitu IgG1. Hal ini juga didukung dengan nilai confirmation rate RBT terhadap CFT paling tinggi dibandingkan dengan MRT dan ELISA.

Penggunaan RBT dalam

program pengendalain harus dikonfirmasi dengan CFT karena spesifisitasnya rendah. Penelitian ini membuktikan bahwa dengan interpretasi serial bersama CFT dapat meningkatkan spesifisitas sehingga menjadi 75%.

42

Penelitian ini menggunakan indirect ELISA untuk mendeteksi antibodi B. abortus.

Kit ELISA dalam penelitian ini menggunakan monoklonal antibodi

berlabel

dengan

horseradish

peroxidase

(brucellose-anti-ruminant-IgG-PO

conjugate) yang mampu mendeteksi IgG termasuk IgG1 dan IgG2. Kesepakatan ELISA dengan RBT dan CFT sedang karena selain mendeteksi IgG1 ELISA juga mendeteksi IgG2. ELISA merupakan metode yang banyak dikembangkan saat ini karena metode ini praktis dan dapat diterapkan pada sampel dalam jumlah besar. Sensitifitas ELISA dengan interpretasi paralel bersama MRT dan spesifisisitasnya dengan interpretasi serial bersama CFT mempunyai nilai paling tinggi yaitu sebesar 75%.

Hal ini didukung oleh Garin-Bastuji et al. (2006)

bahwa ELISA lebih sensitif dibandingkan RBT dan CFT. Metode CFT direkomendasikan sebagai metode konfirmasi serologik yang akurat (OIE 2009).

Walaupun CFT mempunyai sensitifitas dan spesifisitas

sebesar 88.1% dan 100% namun positif palsu dapat diakibatkan oleh vaksinasi S19 dan S45. Negatif palsu disebabkan karena adanya reaksi antikomplementer dan prozon akibat adanya antibodi IgG2 terhadap B. abortus yang memblokir IgG1 dan IgM pada infeksi kronis yang dapat dicegah dengan melakukan pengenceran ganda.

Negatif palsu sering terjadi pada populasi dengan

prevalensi tinggi (Al-Majali 2005; Montagnaro et al. 2008; Viglioco et al. 1997). Immunoglobulin jenis IgG2 dan IgGA biasanya mempunyai sensitifitas lebih rendah pada uji serologik, sehingga deteksi terbaik adalah IgG1 (Poester et al. 2010). Metode CFT direkomendasikan oleh OIE sebagai metode untuk deteksi bruselosis dalam perdagangan internasional (Montagnaro 2008).

Metode ini

merupakan metode yang akurat apabila dilakukan dengan benar meskipun lebih kompleks dibandingkan dengan metode MRT dan RBT, karena membutuhkan fasilitas laboratorium dan analis yang terlatih untuk mempertahankan titer bahan uji yang digunakan. Deteksi bovine brucellosis dengan CFT digunakan sebagai definitive test untuk program pemberantasan di banyak negara (Al-Majali 2005). Hasil pengujian CFT dapat dibedakan dengan antibodi vaksinasi S19 apabila titernya selalu sama atau lebih dari 30 icftu/ml antara 3 dan 6 bulan pascavaksinasi pada ternak umur 18 bulan atau lebih (OIE 2009).

43

Pembahasan PCR Hasil negatif PCR darah dapat disebabkan karena sapi dalam penelitian ini tidak mengalami bakteremia, sehingga tidak ditemukan adanya bakteri dalam sirkulasi darah.

Bakteremia bersifat sementara dimana dimungkinkan jumlah

bakteri yang beredar cukup kecil karena terjadinya infeksi B. abortus hanya membutuhkan dosis yang cukup rendah (Gemechu et al. 2011). Bakteriemia terjadi setelah 10-20 hari dan persisten selama 30 hari sampai 2 bulan pascainfeksi apabila sistem pertahanan tidak mampu mengatasi adanya infeksi (Garridino-Abellan et al. 2001). Bruselosis yang tidak menunjukkan gejala klinis umumnya berjalan kronis dan bakteremia berlangsung secara intermitten. PCR darah mendeteksi agen penyebab yang ditemukan di dalam aliran darah (bebas atau dalam sel darah putih yang terinfeksi) pada awal infeksi sehingga sensitif jika sampel diambil 2 minggu pascainfeksi (Aras & Ucan 2010; Gupta et al. 2006; Leal-Klevezas et al. 2000; Keid et al. 2008; Terzi et al. 2010). Hal yang sama juga dipaparkan oleh Keid et al. (2008) pada B. canis PCR darah lebih sensitif dibandingkan dengan uji serologik pada kondisi akut karena bakteremia terjadi terlebih dahulu sebelum terbentuk antibodi Tahap bakteremia akan diikuti munculnya infeksi persisten di kelenjar mamari dan supramamari, dan limfonodus genital (Garridino-Abellan et al. 2001; Ahmed et al. 2010).

Bakteri akan shedding secara terus menerus atau

intermittent di dalam susu dan sekresi genital (Capparelli et al. 2008; Corbel 2006). Hal inilah yang dapat menyebabkan tidak terdeteksinya bakteri dalam susu dengan PCR, yang dimungkinkan bakteri tidak shedding di dalam susu. Metode PCR susu mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (Almariri & Haj-Mahmood 2010; Leal-Klevezas et al. 2000; Romero & Lopez-Goni 1999; Terzi et al. 2010). Kerbau yang diberikan vaksinasi dapat terdeteksi dalam susu pada minggu pertama sampai mingu ke empat pascavaksinasi (Longo et al. 2009).

Menurut Uzal et al. (2010) sapi yang divaksin dengan RB51 akan

shedding di dalam susu sampai dengan 69 hari. Shedding dalam susu akibat vaksinasi dalam penelitian ini sangat kecil karena waktu vaksinasi lebih dari 69 hari. Kerbau yang diberikan vaksinasi dapat terdeteksi dalam susu pada minggu pertama sampai minggu ke empat pascavaksinasi (Longo et al. 2009). Menurut Uzal et al. (2010) sapi yang divaksin dengan RB51 akan shedding dalam susu sampai dengan 69 hari.

44

Selain pengaruh fase infeksi hasil negatif juga dapat terjadi apabila jumlah bakteri yang shedding kurang dari LOD. Hasil uji LOD yang didapatkan pada ketiga primer tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya. Baddour & AlKhalifa (2008) pada B. militensis dengan sampel darah menggunakan pasangan primer B4/B5 adalah 7.102 cfu/ml yang setara dengan 2.1 ng, pasangan primer JPF/JPR 7.105 cfu/ml yang setara dengan 2.1 pg dan pasangan primer F4/R2 7.107 cfu/ml yang setara dengan 210 pg. Menurut Romero & Lopez-Goni (1999) LOD Brucella spp. dalam susu adalah 5-50 cfu/ml.

Hasil uji LOD B. abortus

sebesar 80 ng yang setara dengan DNA total 60-100fg (Romero et al. 1995). LOD sampel klinik dalam setiap milliliter susu adalah 10 sel/ml dan 2.8.105 cfu/ml (Leal-Klevezas et al. 1995).

Menurut Leyla et al. (2003) LOD B. melitensis

5

bakteri utuh adalah 2.8.10 cfu/ml yang setara dengan 7 000 sel/uji sedangkan jika dispike dalam jaringan sebesar 1.4.10 8 cfu/ml, sedangkan LOD B. abortus dalam jaringan fetus abortus adalah 2.4.108/g - 1.4.1013 cfu/g.

Limit deteksi

menurut Terzi et al. (2010) eryCD gene-targeted PCR sebesar 1,0 x 103 cfu/ml. Negatif palsu PCR darah dapat diakibatkan adanya inhibitor

seperti

leukosist, hemoglobin, urin, fenol dan heparin, sedangkan PCR susu inhibitornya berupa globula lemak (Hinic et al. 2009; Romero & Lopez-Goni 1999). Adanya inhibitor dalam penelitian ini dicegah dengan penggunaan EDTA dan pencucian darah untuk membersihkan hemoglobin dan pemisahan susu padat dan butterfat (Bioncifiori et al. 2007). Proses preparasi sampel dalam penelitian digunakan kit ekstraksi komersil yang telah terbukti mampu mengoleksi template DNA paling tinggi dibandingkan dengan kit komersil lain (Ling Yu & Nielsen 2010; Tomaso et al. 2010). Primer F4/R2 mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap Brucella spp. dan JPF/JPR Brucella abortus, B. canis, B. melitensis, B. suis sedangkan B4/B5 B. abortus dan B. melitensis dengan sampel darah, susu dan cairan tubuh pada sampel lapang dari sapi, kambing dan manusia. Primer BCSP 31 (B4/B5) mempunyai senstifitas tinggi pada B. abortus dan B. melitensis dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Menurut Romero (1995) PCR dengan 56 sampel darah dari hasil positif serologis dengan metode MRT dan CFT mempunyai sensitifitas 87.5%. Primer ini mempunyai hasil yang setara dengan kombinasi PCR darah dengan primer omp-2 dan ELISA (Bailey 1992). Primer dari OMP -2 9JPF/JPR di gunakan untuk mendeteksi Brucella abortus, B. canis, B. melitensis, B. suis dengan sampel darah, susu dan cairan tubuh pada sampel lapang dari sapi, kambing dan manusia. Primer 16SRNA

45

(F4/R2) mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap 9 (sembilan) biovar B. abortus , 3 biovar B. mellitensis, 5 biovar B. suis, B. neonatame, B. ovis dan B. canis.

Spesifisitas

yang

tinggi

terhadap

bakteri gram

negatif

dekat

kekerabatannya dan bakteri yang bersifat intraseluler serta menimbulkan bakteremia. Menurut Leal-Klevezas et al. (1995) dengan 22 (dua puluh dua) sampel darah kambing yang diinfeksi terdeteksi dengan metode PCR sebanyak 19 (sembilan belas) sampel sedangkan dengan metode RBT 14 (empat belas) sampel. Hasil ini sangat kontras dengan metode kultur hanya satu sampel yang menunjukkan positif. PCR dengan sampel darah sudah banyak dikembangkan untuk bruselosis pada manusia. Sensitifitas uji akan meningkat apabila sampel yang digunakan dalam kondisi segar dan belum disimpan dalam suhu dingin (Debeaumont et al. 2005). Sampel dalam penelitian ini tidak dilakukan dengan metode kultur. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa metode kultur dapat menggunakan jenis sampel susu.

Namun keterbatasan penggunaan sampel susu untuk

metode kultur adalah jumlah shedding bakteri yang sering kali tidak terlalu banyak.

Selain faktor jumlah sampel, penggunaan antibiotika dalam terapi

penyakit tertentu dapat menunjukkan hasil negatif palsu.

Negatif palsu

diakibatkan adanya ekskresi antibiotik melalui air susu, sehingga dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh adanya bakteri penyebab bruselosis meskipun sebenarnya bakteri ini ada dalam air susu. Volume sampel susu yang diambil sebesar 10 ml untuk tiap-tiap sampel, sedangkan kebutuhan jumlah sampel untuk metode kultur sebesar 50 ml. digunakan untuk metode kultur.

Sampel darah belum pernah

Pengambilan cairan higroma dan flushing

vagina tidak dilakukan karena adanya kesulitan perijinan dengan pemilik sapi.

Penerapan Metode dan Lalu Lintas Hewan Program pengendalian bruselosis dengan test and slaughter pada sapi perah menurut Noor (2006b) belum mampu untuk mengendalikan bruselosis terutama di Pulau Jawa. Penyebab sulitnya mengendalikan bruselosis pada sapi di Pulau Jawa menurut Noor (2006b) ada lima penyebab dan salah satunya adalah faktor lalu lintas ternak. Lalu lintas ternak antar wilayah di Pulau Jawa sangat kompleks sehingga meyebabkan sulitnya pengawasan pergerakannya.

46

Selain faktor lalu lintas penerapan metode uji secara serologik dengan kebijakan pemakain vaksin B. abortus S19 dibeberapa daerah mengakibatkan kesulitan untuk membedakan dengan infeksi alam. Ketiga permasalahan lainnya adalah adanya ternak tanpa gejala klinis (subklinis) namun produksi susu tetap tinggi dan terjadinya abortus biasanya hanya satu kali pada kebuntingan pertama, sehingga mengakibatkan petani enggan melakukan pemotongan. Permasalahan kedua adalah pemberian kompensasi oleh pemerintah terhadap ternak yang dipotong menghadapi kendala berupa tidak sesuainya jumlah ternak yang dipotong dengan kompensasi. Selain itu turunnya dana kompensasi tidak bersamaan dengan hasil uji serologik sehingga memungkinkan penularan terjadi. Permasalahan ketiga adalah pelaksanaan test and slaughter belum dapat dilakukan secara serentak dan optimal karena keterbatasan dana, sumber daya manusia dan belum optimalnya sosialisasi program. Deteksi antibodi merupakan pendekatan yang lebih praktis untuk diterapkan pada survei epidemiologi. Kemurnian antigen, suhu penyimpanan, filogenik bekteri, kontaminasi dan status vaksinasi berpengaruh pada hasil pengujian dengan metode serologik (Akhtar et al. 2010). Pemilihan antigen yang tepat sangat penting agar metode yang digunakan mempunyai efektifitas dan reabilitas yang tinggi. Antigen inilah yang menentukan spesifisitas uji terutama jika diterapkan di populasi hewan dengan vaksinasi atau infeksi bakteri gram positif yang menyebabkan adanya cross reaction (Garin-Bastuji et al. 2006). Tidak ada uji serologik yang secara tunggal dapat menetapkan adanya bruselosis (Abernethy et al. 2011; Grushina et al. 2010), sehingga dibutuhkan metode gabungan antara uji serologik dan metode PCR (Terzi et al. 2010). Penggunaan metode PCR dan kultur diperlukan sebagai metode yang dapat secara cepat untuk mendeteksi adanya antigen dan harus dilanjutkan dengan metode kultur untuk menentukan apakah daerah tersebut bebas atau tertular. PCR juga digunakan untuk mendeteksi adanya spesies ataupun biovar yang baru masuk ke wilayah Indononesia. Badan Karantina Pertanian dalam fungsi pengawasan membutuhkan metode mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk memastikan bahwa hewan yang dilalulintaskan benar-benar negatif. Pemilihan penerapan uji secara paralel akan meningkatkan sensitifitas dan sesuai untuk daerah

bebas

sehingga

dapat

mencegah

adanya

mengakibatkan masuknya bruselosis ke wilayah bebas.

negatif

palsu

yang

47

Selain metode yang sensitif kecepatan dan kepraktisan pengujian dibutuhkan untuk diterapkan dalam kegiatan tindak karantina pada saat lalu lintas hewan, karena untuk menunjang kelancaran arus masuk keluar barang di pelabuhan baik laut dan udara.

Pengembangan ELISA poliklonal antibodi,

monoklonal antibodi, dan kompetitif masih perlu dikembangkan dan harus dibandingkan dengan CFT agar

mempunyai performa yang sama.

Instansi

terkait dengan produksi bahan uji perlu mengembangkan teknologi ELISA sehingga dapat diproduksi dalam negeri untuk menurunkan biaya pembelian kit ELISA. Pembebasan bruselosis yang didasarkan dengan tidak adanya gejala klinis selama 6 bulan memiliki kelemahan jika diterapkan pada daerah dengan kasus bruselosis yang asimptomatis pada hewan yang tidak bunting.

Pemasukan

ternak di daerah bebas dengan menerapkan dua kali uji serologik di daerah asal dan diulang selama 30 hari di daerah tujuan mempunyai peluang masuknnya hewan dengan fase awal infeksi yang kemungkinkan tidak terdeteksi pada pemeriksaan pertama namun tetap terjadi shedding bakteri di daerah tujuan. Hal seperti ini dapat diatasi dengan adanya ELISA IgM yang dapat mendeteksi secara dini dimana IgG belum terbentuk atau jumlahnya masih sedikit, sedangkan penerapan uji secara serial akan meningkatkan spesifisitas dan sesuai diterapkan di daerah tidak bebas sehingga dapat mencegah adanya positif palsu yang dapat meningkatkan jumlah hewan yang dipotong paksa. ELISA lebih mudah dalam pengerjaannya dibandingkan dengan CFT karena tidak membutuhkan inaktivasi serum dan tidak membutuhkan proses standarisasi reagen serta dapat digunakan untuk serum yang sudah hemolisis. Terjadinya kesalahan pembacaan hasil lebih sedikit, karena menggunakan mesin (reader) dan memungkinkan melakukan pengujian dengan jumlah sampel yang lebih banyak dalam satu kali waktu (Nielsen et al. 1996).

C-ELISA dapat

digunakan pada daerah endemis dengan menggunakan vaksin S19 atau pada daerah dengan informasi ternak yang tidak lengkap. ELISA ini menggunakan monoklonal antibodi yang spesifik pada satu epitop dari Brucella spp. sehingga mempunyai spesifisitas yang tinggi dengan reaksi FPSR yang rendah. C-ELISA sesuai untuk diaplikasikan sebagai uji konfirmasi dari uji serologik yang spesifisitasnya rendah misalnya SAT, MRT, dan RBT (Uzal et al. 2006). Badan Karantina Pertanian perlu mengembangkan metode yang dapat memastikan ada tidaknya bakteri penyebab bruselosis pada hewan yang dilalu

48

lintaskan.

Oleh karena itu pengembangan metode PCR yang dibandingkan

dengan gold standard masih perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil dengan sensitifitas dan spesifisitas uji yang baik dengan mengembangkan jenis sampel dan teknik baik konvensioal maupun real team PCR. Pengembangan multipleks PCR serta sequencing juga perlu dilakukan untuk mengetahui biovar serta felogenic three bakteri yang sudah ada di indonesia. Menurut Smith dan Cuthler (2004) pengendalian bruselosis tidak hanya dengan vaksinasi dan slaugther akan tetapi memperketat pergerakan dan lalu lintas hewan merupakan faktor yang penting. Badan Karantina Pertanian dalam menjalankan fungsi pencegahan yang diamanatkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2009

tentang peternakan dan kesehatan hewan dengan menerapkan

tindak karantina 8 P yang termuat dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 yaitu

pemeriksaan,

pengasingan,

pengamatan,

perlakuan,

penahanan,

penolakan, pemusnahan, dan pembebasan. Bruselosis dengan penyebab B. melitensis termasuk penyakit golongan I, sedangkan B. abortus termasuk golongan

II

dalam

Keputusan

Menteri

Pertanian

Nomor

110/

Kpts

/TN.530/2/2008 tentang perubahan lampiran I Keputusan Menteri Pertanian Nomor 206/Kpts/TN.530/3/2003 tentang penggolongan jenis-jenis hama penyakit hewan karantina penggolongan dan klasifikasi. Badan Karantina Pertanian melakukan fungsi pencegahan masuknya bruselosis yang masuk golongan I ke wilayah Indonesia dan masuknya golongan II ke area bebas dengan menerapkan 8 P. Berdasarkan Undang-Undang N0. 16 Tahun 1992 setiap hewan yang dilalulintaskan harus dilengkapi sertifikat kesehatan hewan dari negara ataupun daerah asal. Sertifikat kesehatan hewan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 tentang karantina hewan memuat sekurang- kurangnya tentang asal negara, area, atau tempat yang dalam kurun waktu tertentu tidak berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui jenis hewan tersebut, dan saat pemberangkatan tidak menunjukan gejala hama penyakit hewan menular, bebas ektoparasit, dalam keadaan sehat dan layak diberangkatkan. Lalu lintas sapi perah maupun sapi potong berdasarkan PP No. 82 tidak boleh berasal dari daerah endemis atau daerah wabah bruselosis. Pertimbangan secara ekonomi mengakibatkan kebijakan pemasukan sapi perah dan potong dari daerah tertular.

Selain surat keterangan sehat ada persyaratan teknis

lainnya seperti ijin impor untuk importasi, ijin pemasukan dari daerah penerima

49

dan surat rekomendasi dinas yang diterbitkan oleh

dinas peternakan daerah

asal. Sertifikat kesehatan memuat keterangan status penyakit daerah asal yang dianggap

penting

atau

berdasarkan

permintaan

daerah/negara

tujuan.

Pemeriksaan bruselosis di karantina secara rutin dilakukan dengan metode RBT atau ELISA dan dilanjutkan dengan CFT, penerapan secara serial akan meningkatkan spesifisitas uji.

Akurasi baik sensitifitas ataupun spesifisitas

metode menjadi sangat penting agar hasil pengujian sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Hasil positif CFT di pintu pemasukan dan pengeluaran dilakukan slaughter.

Tidak dilengkapinya riwayat vaksinasi baik waktu dan jenis vaksin

memungkinkan adanya positif palsu dari vaksin S19, sehingga mengakibatkan kesalahan slaughter.

Pemasukan dari daerah endemis tanpa vaksinasi

dimungkinkan akan meloloskan negatif palsu akibat dari metode yang kurang sensitif karena RBT dan CFT tidak mampu mendeteksi adanya infeksi dini. Pemasukan sapi bakalan diperlukan persyaratan teknis berupa status kesehatan hewan di negara asal dan lokasi peternakan asal yang dilakukan oleh tim dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Badan Karantina Pertanian sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 52/Permentan/OT.140/9/2011 tentang rekomendasi persetujuan pemasukan dan pengeluaran ternak ke dalam dan ke luar wilayah negara Republik Indonesia. Penilaian sistem kesehatan hewan di negara asal mencakup kewenangan, infrastruktur dan struktur organisasi kesehatan hewan dan karantina hewan, pelaksanaan surveilans penyakit/pengamatan penyakit hewan menular, sistem informasi dan tatacara pelaporan penyakit hewan menular, sistem identifikasi peternakan (farm) dan hewan, status penyakit hewan menular, pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, status vaksinasi, tingkat pelaksanaan ketentuan kesejahteraan hewan, barier alam yang berbatasan, pelaksanaan

pengawasan

lalu

lintas

hewan,

demografi

ternak

dan

pemasarannya, kesiagaan darurat penyakit hewan menular, perkarantinaan hewan di negara asal, dan unsur lain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu lintas hewan baik importasi ataupun antar area mempunyai dokumen kesehatan dari negara ataupun daerah asal, hanya saja riwayat vaksinasi belum secara keseluruhan dilampirkan. Program kerja Direktorat Kesehatan Hewan dalam pemberantasan bruselosis salah satunya adalah pemberian tanda pengenal bagi ternak yang telah diberikan vaksinasi dan reaktor, hal ini apabila

50

dilaksanakan

dengan

baik

maka

akan

memudahkan

dalam

diagnosa

laboratorium dengan CFT pada daerah yang menggunakan vaksin S19. Oleh karena itu tanda pengenal ternak sangat diperlukan untuk mendukung program pengendalian dan pemberantasan. Hasil kajian analis risiko yang dilakukan oleh tim yang bertugas sangat penting untuk mencegah atau mengurangi risiko masuknya bruselosis dari negara asal. Salah satu unsur yang harus dinilai adalah status vaksinasi, hal ini tidak cukup apabila hanya dilakukan sekali pada waktu peninjauan oleh tim diatas.

Riwayat vaksinasi baik waktu dan jenis wajib dicantumkan bersama

dengan sertifikat kesehatan pada saat pemberangkatan hewan. Hal ini untuk mencegah adanya positif palsu akibat vaksinasi.

Negatif palsu dapat diatasi

dengan pemilihan metode yang mempunyai sensitifitas tinggi dan dapat mendeteksi adanya infeksi secara dini.

Pemasukan sapi potong dari daerah

tertular ke daerah bebas seringkali dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan asal hewan. Oleh karena itu kajian analisis risiko oleh Unit Pelaksana Teknis karantina dan Dinas Peternakan daerah penerima perlu dilakukan sebelum menerbitkan ijin pemasukan sapi ke daerahnya.

Bruselosis pada Manusia dan Aspek Kesehatan Masyarakat Bruselosis disebut sebagai occupational disease dan berkaitan erat dengan kesehatan masyarakat (Barakat et al. 2011). Kasus pada manusia diperkirakan terjadi 500 000 per tahun yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya biaya pengobatan dan turunnya produktifitas karena penyakit ini bersifat kronis dan melemahkan (Corbel 1997; Seleem et al. 2010; Xavier et al. 2010). Infeksi pada manusia disebabkan oleh konsumsi susu atau keju non-pasteurisasi yang terkontaminasi (foodborne transmission), terpapar hewan terinfeksi, karkas atau sekresi uterus, dan fetus abortus (Al-Majali 2005; Hafez et al. 2011; Neta et al. 2010). Penularan melalui makanan sangat penting karena B. abortus mampu bertahan dalam susu dan produk olahannya dengan waktu yang cukup lama. Berdasarkan penelitian dari Falenski et al. (2011) mampu bertahan dalam susu UHT, air mineral dan yogurt masing-masing selama 87 hari, 60 hari dan kurang dari 7 hari. B. abortus mampu bertahan dalam yogurt yang disimpan pada suhu 4 °C selama 30 hari yamg berasal dari susu kerbau yang direbus dengan

51

kandungan lemak 7.5%. Brucella spp. mampu bertahan lama dalam susu UHT dan dalam air mampu bertahan pada suhu 20 °C selama 2 bulan.

Menurut

Rujeni et al. (2008) di sebuah rumah sakit di Rwanda dilaporkan adanya seropositif bruselosis sebesar 25% dari total 60 kasus yang menunjukkan gejala abortus.

Hasil kuisioner didapatkan dari kasus positif sebesar 47% karena

mengonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi, 13% karena kontak dengan hewan. Pemeriksaan yang dilakukan pada hewan yang diduga menunjukkan seropositif hanya 2 ekor.

Menurut Hashemi et al. (2007) gejala klinis bruselosis pada

manusia di Iran yang menonjol adalah demam dan atralgia sebesar 79% sedangkan gangguan persendian sekitar 29%. Sebagian besar penderita berada dalam lingkungan peternakan dan sebagian lain disebabkan karena konsumsi susu dan keju non-pasteurisasi. Produk susu dari hewan terinfeksi dan diambil sebelum 2 bulan periode laktasi sangat berisiko terhadap konsumennya. Shedding bakteri dalam susu biasanya berlangsung selama 2 bulan. Produk paling berisiko adalah keju putih dan butter yang berasal dari susu non-dipasteurisasi dengan proses brined yang singkat serta dikonsumsi segar atau segera. Hal ini berkaitan dengan konsumsi segar/segera dan proses brined yang singkat belum mencapai pH rendah dengan sifat B. abortus yang mampu bertahan pada pH 4.3

selama 4 hari

(Garradino-abellan et al. 2001; Havas et al. 2012). Keju yang berasal dari susu non-pasteurisasi dianggap mempunyai rasa yang lebih lezat dibandingkan dari susu pasteurisasi. Pemberian vaksin S19 dapat diekskresikan ke dalam susu dan bertahan di dalam keju. Menurut Miyhashiro et al. (2010) keju ilegal yang beredar di Brazil sebanyak 19% dari 196 sampel menunjukkan positif mengandung B. abortus dengan metode PCR, dari hasil positif tersebut 81% berasal dari vaksin sedangkan 19% dari strain alam. Menurut Havas et al. (2012) terdapat hubungan antara kasus penyebaran bruselosis di Georgia dengan sistem manajemen peternakan termasuk model penggembalaan yang dilakukan di padang rumput terbuka yang dapat diakses semua peternak di daerah tersebut. Musim partus terjadi pada musim dingin, hewan pasca partus yang terinfeksi masih mengeluarkan cairan plasenta dan berisiko mengontaminasi rumput di padang penggembalaan. Berdasarkan sifat bakteri Brucella spp. dapat bertahan hidup selama 66 hari dalam tanah basah dengan suhu dibawah 10 °C sehingga kemungkinan penyebaran melalui rumput yang terkontaminasi pada padang penggembalaan di musim dingin menjadi

52

besar. Kelompok risiko tertinggi adalah pekerja di rumah potong hewan dan kandang, pemerah susu, dokter hewan, paramedik, inseminator, dan analis laboratorium (Surendran et al. 2011). B. abortus mempunyai konsentrasi yang tinggi pada plasenta dan fetus yang lahir, oleh karena itu risiko penularan ke pekerja kandang pada saat partus sangat besar. Menurut Earhat et al. (2011) kejadian bruselosis pada manusia meningkat pada musim partus sapi perah karena jumlah bakteri dalam plasenta dan fetus yang terinfeksi sangat tinggi sehingga risiko tertular juga tinggi. Sudibyo (1998) melaporkan bahwa sebanyak 22,6% pekerja di RPH babi Jakarta telah terinfeksi oleh brucellosis, sedangkan pada peternakan sapi perah dapat mencapai 13.6%. Seropositif dengan metode RBPT (rose bengal plate test) yang ditemukan pada 4 peternakan dari 7 peternakan yang diperiksa. Berdasarkan data kuesioner yang terkumpul menunjukkan bahwa beberapa orang yang tertular bruselosis tersebut menunjukkan gejala demam naik-turun, menggigil dan berkeringat, sakit kepala dan pusing serta sakit pada persendian dan ototnya. Hal ini juga dibuktikan oleh Barakat et al. (2011) yang menemukan seropositif pada pekerja di peternakan babi sebesar 8% dengan seropositif pada babi sebesar 12%. Sebesar

14.63%

dokter

hewan

menunjukkan

seropositif

dengan

kemungkinan terpapar pada saat menangani hewan terinfeksi di peternakan melalui kulit, konjungtiva, dan per oral. Dokter spesialis kandungan menunjukkan seropositif sebesar 27.7%

dengan kemungkinan terpapar karena menangani

ternak abortus (Mudaliar et al. 2003). Petugas laborataorium berisiko terpapar pada saat melakukan kultur dengan menggunakan kontrol positif.

Tingginya

risiko bakteri inilah yang mengharuskan proses pengerjaannya harus memenuhi syarat biosafety level 3 dengan standard operasional yang memenuhi syarat good laboratory practice.

Selain itu penggunaan pakaian dan perlengkapan

pribadi yang memenuhi standard sangat diperlukan karena kemungkinan penularan melalui selaput konjungtiva, kulit yang lecet serta tertelan secara tidak sengaja mempunyai kemungkinan yang sangat besar. Penerapan biosequrity diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan bakteri ini karena termasuk agen bioterorisme golongan B.

Wallach et al. (2008) melaporkan sebanyak 30

karyawan yang menangani produksi vaksin S19 menunjukkan seropositif. Vaksin S19 dan RB51 dapat menginfeksi ke manusia karena vaksin ini termasuk vaksin live dari B abortus (AAH 2005).

53

Gejala klinis bruselosis pada manusia sangat beragam sehingga harus dilakukan diagnosa dengan uji laboratorium.

Keterlambatan pengobatan

mengakibatkan timbulnya kegagalan pengobatan, komplikasi dengan penyakit lain, dan akan meningkatkan case fatality rate (CFR). Riwayat kejadian yang lebih terperinci sangat penting untuk diagnosa terutama di daerah non-endemik. Riwayat kejadian diperlukan untuk menghilangkan faktor mengonsumsi susu impor non-pasteurisasi yang terkontaminasi, atau karena perjalanana dari daerah endemis (Seleem et al. 2009). Tidak ada vaksinasi untuk manusia, pencegahan terbaik adalah dengan menjaga keamanan pangan sehingga tidak terkontaminasi atau menggunakan perlengkapan pribadi sesuai standard ketika berinteraksi dengan hewan yang terinfeksi (Whatmore 2009).

Meskipun bakteri ini sensitif

terhadap antibiotik namun pengobatannya termasuk tidak mudah.

Hal ini

berkaitan dengan sifatnya yang intraseluler, berada di dalam kelenjar mamari, saluran limfoglandula dan organ reproduksi dengan kendala kesulitan obat dapat mencapai target organ dengan dosis yang memenuhi dosis optimum terapi. Selain itu saat ini beberapa strain telah resisten terhadap jenis antibiotik tertentu. Pengobatan menggunakan doksisiklin selama 6 minggu yang dikombinasikan dengan streptomisin selama 2-3 minggu atau rifampisin selama 6 minggu. Menurut Kaoud et al. (2010) adanya reaktor di dalam peternakan dengan sistem pemeliharaan multispesies dan sistem sanitasi yang buruk akan meningkatkan risiko penyebaran ke manusia.

Epidemiologi bruselosis pada

manusia telah mengalami perkembangan yang disebabkan dengan adanya perubahan dalam sistem sosial ekonomi, perbaikan metode diagnostik dan sistem

kesehatan

masyarakat/kedokteran

hewan,

pelaksanaan

program

pemberantasan, dan pertumbuhan pariwisata internasional serta pasar global. Hal ini mengakibatkan bertambahnya daerah endemik baru, bertambahnya biovar atau strain baru, meningkatnya jumlah kasus sehingga membutuhkan program pengendalian, pencegahan dan pemberantasan secara global. Adanya daerah endemis baru, strain atau biovar baru, serta peningkatan jumlah kasus di daerah tertentu sehingga bruselosis disebut sebagai emerging dan

re-emerging

disease.

Upaya

pengendalian,

pencegahan,

dan

pemberantasan bruselosis tidak hanya merupakan tantangan bidang kesehatan masyarakat veteriner saja akan tetapi juga termasuk bidang politik, ekonomi dan kesehatan manusia (Wolfram 2010). Jumlah kejadian bruselosis pada manusia di daerah endemik dapat diturunkan dengan melakukan pemberantasan

54

bruselosis pada hewan dan melakukan pendidikan kesehatan masyarakat (Andriopoulos et al. 2012). Kesiagaan, deteksi dini, surveilans, kesungguhan dalam setiap pelaksanaan program, dan transparansi status daerah diperlukan untuk mempercepat pencapain Indonesia bebas bruselosis.

55

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 1. Sampel sapi perah terindikasi infeksi kronis yang ditandai dengan tingginya antibodi namun tidak terdeteksinya bakteri dalam darah. 2. Kesesuain metode RBT dengan CFT baik, ELISA dengan RBT dan CFT sedang, MRT dengan RBT, ELISA dan CFT kurang. 3. Penerapan metode MRT dan ELISA secara pararel akan meningkatkan sensitifitas. 4. Penerapan metode ELISA dan CFT atau RBT dan CFT secara serial akan meningkatkan spesifisitas.

Saran 1. Penerapan PCR sebagai metode uji untuk infeksi B. abortus fase akut atau awal infeksi pada sapi perah. 2. Penelitian lanjutan metode PCR diperlukan dengan menambah volume sampel susu dan jenis sampel seperti cairan higroma dan organ abortus dan dikonfirmasi dengan metode gold standad. 3. Penelitian mengenai validasi metode berbagai jenis ELISA dengan target antibodi (ELISA IgM dan C-ELISA) di daerah bebas dan daerah tertular dengan atau tanpa kebijakan vaksinasi yang di bandingkan dengan metode CFT. 4. Kajian analisis risiko oleh Badan Karantina Pertanian dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan ijin impor dan pemasukan hewan. 5. Penerapan identitas ternak yang berisi riwayat vaksinasi dan kesehatan hewan baik sapi lokal maupun sapi impor.

56

57

DAFTAR PUSTAKA

Abbady AQ, Al-Mariria A, Zarkawib M, Al-Assadc A, Muyldermans S. 2011. Evaluation of a nanobody phage display library constructed from a Brucella-immunised camel. Journal of Veterinary Immunology and Immunopathology 142: 49-56. Abdoel T, Dias IT, Cardoso R, Smits HL. 2008. Simple and rapid field tests for brucellosis in livestock. Journal of Veterinary Microbiology 130: 312–319. Abernethy DA, Menzies FD, McCullough SJ, McDowell SWJ, Burns KE, Watt R, Gordon AW, Greiner M, Pfeiffer D. 2011. Field trial of six serological tests for bovine brucellosis. The Veterinary Journal 191: 364–370. Adams GL. 2002. The pathology of reflects brucellosis the outcome of the battle between the hos genome and the Brucella genonoe. Journal of Veterinary Microbiology 90: 553-561. Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiologyogy. The Royal Society of Chemistry. Cambridge. 3: 190-193. Adams GL, Schutta CJ. 2010. Natural resistance against brucellosis: A review. The Open Veterinary Science Journal 4 :61-71. Adone R, Ciuchini F, Pistoia C, Pasquali P. 2002. Combined S99/RB51 antigen for complement fixation test for serological diagnosis of brucellosis in cattle and sheep. Journal of Applied Microbiology 93: 872–876. Aggad H, Boukraa L. 2006. Prevalence of bovine and bruselosis pada manusia in western Algeria: comparison of screening tests. Eastern Mediterranean Health Journal 12: 119. [AHA] Animal Health Australia. 2005. Australian Veterinary Emergency Plan. Australia. Disease strategy: Bovine brucellosis 5: 7-18 Ahmed YA, Sokkar SM, Desouky HM, Ghazi YA, Amin AS, Madboly AA. 2010. Pathological and molecular studies on mammary and supramammary gland lymph nodes of naturally Brucella Infected buffalo-cow. Journal of Reproduction and Infertility 1: 33-40. Akhtar R, Chaudhry ZI, Shakoori AR, Din Ahmad M, Aslam A. 2010. Comparative efficacy of conventional diagnostic methods and evaluation of polymerase chain reaction for the diagnosis of bovine brucellosis. Journal of Veterinary World 3: 53-56.

58

Al Dahouk S, Tomaso H. 2005. Identification of Brucella spesies and biotypes using polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP). Critical Reviews Microbiology 31: 191–196. Al-Majali AM. 2005. Seroepidemiology of caprine Brucellosis in Jordan. Small Ruminantia Research 58: 13–18. Al-Mariri A, Haj-Mahmoud N. 2010. Detection of Brucella abortus in bovine milk by polymerase chain reaction. ACTA Veterinary 79: 277-280. Alves CJ. de Figueiredo SM, de Azevedo SS, Clementino IJ, Keid LB, Vasconcellos SA, de Batista CSA, Rocha VCM, Higino SS. 2010. Detection of brucella ovis in ovin from Paraiba State, in the Northeast Region of Brazil. Brazilian Journal of Microbiolology 41:365-367. Andriopoulos P, Tsironi M, Deftereos S, Aessopos A, Assimakopoulos G. 2012. Acute brucellosis: presentation, diagnosis, and treatment of 144 cases. International Journal of Infectious Diseases 104: 94–100. Aras Z, Ucan US. 2010. Detection of Brucella canis from inguinal lymph nodes of naturally infected dogs by PCR. Turkey Jornal Veterinary Science 29: 779–783. Ashford DA, di Pietra J, Lingappa J, Woods J, Noll H, Neville B, Weyant R, Bragg SL, Spiegel RA, Tappero J, Perkins BA. 2004. Adverse events in humans associated with accidental exposure to the livestock brucellosis vaccine RB51. Journal of Vaccine 22: 3435-3439. Baddour MM, Al-Khalifa DH. 2008. Evaluation of three polymerase chain reaction techniques for detection of Brucella DNA in peripheral human blood. Canada Journal Microbiology 54: 352–357. Bailey, G.G, Kraahn, J.B, Drasar, B.S., and Stoker, N.G. 1992. Detection of Brucella melitensis and Brucella abortus by DNA amplification. Journal Tropical Medicine Hygiene 95: 271–275. Barakat AM, Hassan, El Fadaly A, Shaapan RM, Khalil FAM. 2011. Occupational Health Hazard of Egyptian Employees in Contact with Wastage Nourished Swine. Journal of American Science 7: 808-813. Barbier T, Nicolas C, Letesson JJ. 2011. Brucella adaptation and survival at the crossroad of metabolism and virulence. Journal of Vaccine 585: 2929– 2934. Barrio MB, Grilló MJ, Mu˜noz PM, Jacques I, González D, de Miguel MJ, Marín CM, Barberán M, Letesson JJ, Gorvel JP, Moriyón I, Blasco JM, Zygmunt MS. 2009. Rough mutants defective in core and O-polysaccharide synthesis and export induce antibodies reacting in an indirect ELISA with smooth lipopolysaccharide and are less effective than Rev 1 vaccine

59

against Brucella melitensis infection of sheep Journal of Vaccine 27:1741– 1749. Baum M. 1995. Comparative evaluation of microagglutination test and serum agglutination test as supplementary diagnostic methods for brucellosis. Journal Clinnical Microbiology 33(8): 2166–2170. Biancifiori F , Nannini D, Di Matteo A, Belfiore T. 2007. Assessment of an Indirect ELISA in milk for the diagnosis of ovine brucellosis. Immunology and Microbiology Infection Disease 19: 17-24. Bricker BJ. 2002. PCR as diagnostic tools for brucellosis. Veterinary Microbiology 90:435-446. Bricker BJ, Ewalt DR, Olsen SC, Jensen AE. 2003. Evaluation of the Brucella abortus spesies–specific polymerase chain reaction assay, an improved version of the Brucella AMOS polymerase chain reaction assay for cattle. Journal Veterinary Diagnosis Investigation 15 :374–378. Capparelli R, Parlato M, Iannaccone M, Roperto S, Marabelli R, Roperto F, Iannelli D. 2008. Heterogeneous shedding of Brucella abortus in milk and its effect on the control of animal brucellosis. Journal of Applied Microbiology 1311: 1364-5072. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2011. Bioterorism agents/disease by Category. http://www.bt.cdc.gov/agent/agentlistcategory.asp. [ 5 Septembar 2011]. Carter GR, Chengappu MM. 1993. A Veterinaryerinians Guide to Laboratory Diagnosis. Ames: Lowa State University Press hlm 4-33. [CFSPH] The Center for Food Security Public Health. 2009. Bovine Brucellosis: Brucella abortus. http://www.cfsph.iastate.edu Factsheets/pdfs /brucellosis_ abortus .pdf [16 Mei 2011]. Corbel MJ. 2006. Bruselosis in Humans and Animals. Geneva: World Health Organization (WHO). www.who.int/csr/resources/.../Brucellosis.pdf. [10 Oktober 2011]. Corbel MJ. 1997. Brucellosis: an overview. Emerging Infection Diseases 3: 213. Debeaumont C, Falconnet PA, Maurin M. 2005. Real-time PCR for detection of Brucella spp. DNA in human serum samples. Euoropean Journal Clinnical Microbiology Infection Diseases 24: 842–845. Dewi AK. 2010. Kajian bruselosis pada sapi dan kambing potong yang dilalulintaskan di penyeberangan Merak Banten [tesis]. Bogor: Sekolah pascasarjana Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Institut Pertanian Bogor.

60

Dirkeswan 2010. Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan. Program swasembada daging dan sapi tahun 2014. Earhart K, Vafakolov S, Yarmohamedova N, Michael A, Tjaden J, Soliman A. 2011. Risk factors for brucellosis in Samarqand Oblast, Uzbekistan. Journal Infection Diseases 13: 749—753. El-Razik KAA, El-Hafez SMA, Shell WS, Ghazi YA. 2011. The immunological response of RB51 vaccinated buffalo calves using brucella periplasmic proteins as ELISA antigen. African Journal Biotechnology 10: 1056210566. Ewalt DR, Bricker BJ. 2003. Identification and Differentation of Brucella abortus Field and Vaccine Starin’s by BaSS-PCR. Sachse K, editor. PCR Detection of Microbial Pathogen. New Jersey: Humna Press. Ficht T. 2010. Brucella taxonomy and evolution Thomas Ficht. Microbiology. 5: 859–866.

PMC. Future

Falenski A, Mayer-Scholl A, Filter M, Göllner C, Appel B, Nöckler K. 2011. Survival of Brucella spp. in mineral water, milk and yogurt. Journal of Food and Microbiology 145: 326–330 Fiorentino MA, Campos E, Cravero S, Arese A, Paolicchi F, Campero C, Rossetti O. 2008. Protection levels in vaccinated heifers with experimental vaccines Brucella abortus M1-luc and INTA 2. Journal of Veterinary Microbiology 132: 302–311. Garridino-Abellan F, Durran-Ferrer M, Macmillan A, Minas A, Nicoletti P, Vecchi G. 2001. Brucellosis in sheep and goat (Brucella melitensis). http://ec.europa.eu/food/fs/sc/scah/out59_en.pdf . [1 September 2011]. Gall D, Nielsen K. 2004. Serological diagnosis of bovine brucellosis: a review of test performance and cost comparison. Review Science Technology International Epizootic 23 : 989-1002. Garcia-Yoldi D, Marín CM, de Migue MJ, Muñoz PM, Vizmanos JL, López-Goñi I. 2006. Multiplex PCR Assay for the Identification and Differentiation of all Brucella spesies and the vaccine strains Brucella abortus S19 and RB51 and Brucella melitensis. Journal Clinnical Chemistry 52: 779-781. Garin-Bastuji B, Blasco JM, Mar´ın C, Albert D. 2006. The diagnosis of brucellosis in sheep and goats, old and new tools. Journal of Small Ruminant Research 62 : 63–70. Gemechu MY, Singh Gill JP, Arora AK, Ghatak S, Singh DK. 2011. Polymerase chain reaction (PCR) assay for rapid diagnosis and Its role in prevention of

61

bruselosis pada manusia in Punjab, India. International Journal Preventive Medicine 2: 170-177. Geong M, Robitson ID. 2000. Response of Bali cattle (Bos javanicus) to vaccination with Brucella abortus strain 19 in West Timor. Preventive Veterinary Medicine 47: 177-186. Godfroid J, Nielsen K, Saegerman C. 2010. Diagnosis of brucellosis in livestock and wildlife. Croatia Medicine Journal 51: 296-305. Godfroid J, Scholzc HC, Barbierd T, Nicolas C, Wattiau P, Fretine D, Whatmoref AM, Cloeckaert A, Blascoh JM, Moriyoni I, Saegerman C, Mumak JB, Al Dahouk S, Neubauern H, Letessond JJ. 2011. Brucellosis at the animal/ecosystem/human interface at the beginning of the 21st century. Preventive Veterinary Medicine 102: 118–131. Grushina T, Atshabar B, Syzdykov M, Daulbaeva S, Tserelson L, Kuznetsov A, ,Baramova S, Seidakhmetova R, Sultanov A, Ospanov Y, Mikhalev A, Amireev S, Ospanov K, Kazakov S, Mizanbayeva S, Myrzabekov A, Rementsova M, Berezovskiy D, Akasheva R, Khasenov M, Nussipova Z, Yu W, Nielsen K. 2010. Universal indirect enzyme-linked immunosorbent assay for monitoring of human and animal brucellosis in Kazakhstan. Journal of Vaccine 28: 46-48. Gupta VK, Verma DK, Singh K, Kumari R, Singh SV, Vihan VS. 2006. Singlestep PCR for detection of Brucella melitensis from tissue and blood of goats. Journal of Small Ruminantia Research 66: 169–174. Hamdy MER, Amin AS. 2002. Detection of Brucella spesies in the milk of infected cattle, sheep, goats and camels by PCR. Journal of Veterinary 163: 229-305. http://www.idealibrary.com.on. Hafez SMA, El-Razik KAA, Hassan HM, Gad I. 2011. Comparative diagnosis of ovine brucellosis using single step blood-PCR with old and new serological tools. African Journal of Microbiology Research 5: 3976-3980. Hashemi SH, Keramat F, Ranjbar M, Mamani M, Farzam A, Jamal-Omidi S. 2007. Osteoarticular complications of brucellosis in Hamedan, an endemic area in the west of Iran. Journal of Infection Diseases 11: 496—500. Havas KA, Ramishvilib M, Navdarashvili A, Imnadze P, Mo Salman. 2012. The human–animal interface of domestic livestock management and production and its relationship to brucellosis in the country of Georgia 2010: A rapid assessment analysis. Journal of Preventive Veterinary Medicine 3132 Hinic V, Brodard I, Thomann A, Holub M, Miserez R, Abril C. 2009. IS711-based real-time PCR assay as a tool for detection of Brucella spp. in wild boars and comparison with bacterial isolation and serology. BMC Veterinary Research 5: 1-8.

62

Ilhan Z, Solmaz H, Aksakal A, Gulhan T, Ekin IH, Boynukara B. 2008. Detection of Brucella mellitensis DNA in the milk of sheep after abortion by PCR assay. Arch Medicine Veterinary Journal 40: 141-146. [ISO] International Organization for Standardization. 2003. ISO 16140. Protocol for the Validation of Alternative Methods. Kaoud HA, Zaki MM, El-Dahshan AR, Nasr SA. 2010. Epidemiology of Brucellosis Among Farm Animals. H.A. Nature Science 8: 190-197. http://www.sciencepub.net/nature. Keid LB, Soares RM, Vasconcellos SA, Megid J, Keid VR, Richtzenhain LJ. 2009. Comparison of agar gel immunodiffusion test, rapid slide agglutination test, microbiological culture and PCR for the diagnosis of Canine brucellosis. Research Veterinary Science 86: 22-26. Kim DH, Ju Lim J, Lee JJ, Kim DG, Lee HJ, Min W, Kim KD, Chang HH, Rhee MR, Watarai M, Kim S. 2012. Identification of genes contributing to the intracellular replication of Brucella abortus within HeLa and RAW 264.7 cells D.H. Veterinary Microbiology. Leal-Klevezas SD, Martinez-Vazquez OI, Garcoa-Cantua J, Lopez-Merino A, Marti-nez-Soriano PJ. 2000. Use of polymerase chain reaction to detect Brucella abortus biovar 1 in infected goats. Journal Veterinary Microbiology 75: 91- 97. Leal-Klevezas SD, Martinez-Vazquez OI, Garcoa-Cantua J, Lopez-Merino A, Marti-nez-Soriano PJ. 1995. Single-Step PCR for Detection of Brucella spp. from Blood and Milk of Infected Animals. Journal of Clinnicalical Microbiology 33: 3087-3090. Leary SO, Sheahan M, Sweeney T. 2006. Brucella abortus Idetection by PCR assay in blood, milk and lymph tissue of serologically positif cows. Research Veterinary Science 81: 170–176. Leyla G, Kadri G, Umron O. 2003. Comparison of PCR and bacteriologycal culture for the diagnosis of sheep brucellosis using abortus fetus samples. Journal of Veterinary Microbiology 93: 53-61. Ling Yu, Nielsen W, Nielsen K. 2010. Review of detection of Brucella spp. by polymerase chain reaction. Clinnical Microbiology Journal 51: 306-313. Longo M, Mallardo K, Montagnaro S, Martino L De, Gallo S, Fusco G, Galiero G, Guarino A, Pagnini U, Lovane G. 2009. Shedding of Brucella abortus rough mutant strain RB51 in milk of water buffalo (Bubalus bubalis). Preventive Veterinary Medicine 90: 113-118. Lopez LB, Nicolino R, Haddad JPA. 2010. Brucellosis-risk factors and prevalence. Journal of Veterinary Science 4: 72-84.

63

Makita K, Fèvren EM, Waiswa C, Eisler MC, Thrusfield M, Welburn SC. 2010. Herd prevalence of bovine brucellosis and analysis of risk factors in cattle in urban and peri-urban areas of the Kampala economic zone, Uganda. BMC Veterinary Research 7: 60-68. Martins H, Garin-Garin-Bastuji B, Lima F, Flor L, Fonseca AP, Boinas F. 2009. Eradication of bovine brucellosis in the Azores, Portugal—Outcome of a 5year programme (2002–2007) based on test-and-slaughter and RB51 vaccination. Preventive Veterinary Medicine 90: 80–89. Matope G, Bhebhe E, Muma JB, Skjerve E, Djønne B. 2009. Characterization of some Brucella spesies from Zimbabwe by biochemical profiling and AMOSPCR. Journal BMC 2 :26. Megid J, Mathias LA, Robles CA. 2010. Clinical Manifestations of Brucellosis in domestic animals and humans. Veterinary Science Journal 4: 119-126. Miyashiro S, Scarcelli E, Piatti RM, Campos FR, Vialta A, Keid LB, Dias RA, Genovez ME. 2010. Detection of Brucella abortus DNA in illegal cheese from Sao Paulo and Minas Gerais and differentiation of B19 vaccinal strain by means of the polymerase chain reaction (PCR). Brazil Journal Microbiology 38: 17-22. Montagnaro S, Longo M, Mallardo K, Pisanelli G, De Martino L, Fusco G, Baldi L, Pagnini U, Iovane G. 2008. Evaluation of a fluorescence polarization assay for the detection of serum antibodies to Brucella abortus in water buffalo. Journal Veterinary Immunology and Immunopathology 125: 135– 142. Moreno E, Cloeckaert A, Moriyo I. 2002. Brucella evolution and taxonomy. Journal Veterinary Microbiology 90: 209–227. Mudaliar S, Bhore A, Pandit D. 2003. Detection of antibodies to Brucella abortus in animal handlers. Indian Journal Medicine Science 57: 181-186. Mukherjee F, Jain J, Patel V, Nair M. 2007. Multiple genus-specific markers in PCR assay improve the specivicity and sensitivity of diagnosis of Brucellosis in field animal. Journal of Medicine Microbiology 56: 13091316. Munir R. 2009. Immune response of buffaloes against B. abortus vaccines. [thesis]. Pakistan: Doctor of Philosophy Department of Biochemistry Faculty of Sciences Pir Mehr Ali Shah Arid Agriculture University Rawalpindi prr.hec.gov.pk/Thesis/379S.pdf [25 Oktober 2011]. Nielsen K, Smith P, Gall D, Perez B, Cosma P, Mueller P, Trottier J, Cote G, Boag L, Bosse J. 1996. a Development and validation of an indirect enzyme immunoassay for detection of antibody to Brucella abortus in milk. Journal Veterinary Mcrobiology 52: 165-173.

64

Neta AVC, Mol JPS, Xavier MN, Paixão TA, Lage AP, Santos RL. 2010. Pathogenesis of Bovine brucellosis. Journal of Veterinary 184: 146-145. Noor MS. 2006a. Brucellosis: Penyakit Zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa 16: 31-39. Noor MS. 2006b. Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis pada Sapi Perah di Pulau Jawa. Prosiding Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis pada Ternak Ruminansia Besar; Bogor, 2006. Bogor: Puslitbang Peternakan. hlm 75-81. Ocampo-Sosa AA, Aguero-Balbin J, Garcıa-Lobo JM. 2005. Development of a new PCR assay to identify Brucella abortus biovars 5, 6 and 9 and the new subgroup 3b of biovar 3. Journal of Veterinary Microbiology 110:41–51. [OIE] Office International des Epizooties. 2009. Bovine brucellosis version adopted by the World Assembly of Delegates of the OIE in Terrestrial Manual. www.oie.int. [25 Oktober 2011]. Poester FP, Nielsen K, Samartino LE, Ling Yu, Nielsen W. 2010. Diagnosis of brucellosis. Veterinary Science Journal 4: 46-60. Purchel, Martis J, Lenhart MK. 2007. Medical Aspects of Biological Warfare. Sam Houston. www.bordeninstitute.army.mil//frontmatter. Poermadjadja A. 2012. Situasi bruselosis di Indonesia serta kebijakan pengendalian dan pemberantasannya. Disampaikan pada pelatihan bruselosis dalam rangka Indonesia Australia Partnership for Emerging Infectious Diseases. Maros. 2012 Putra AA. 2005. Analisis Faktor Resiko Berjangkitnya Brucellosis di Breeding Farm di jawa Tengah dan Upaya Pemberantasannya. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner, Regional VI, Denpasar. Queipo-Ortuno MI, Colmenero JD, Baeza G, Morata P. 2005. Comparison between LightCycler Real-Time Polymerase Chain Reaction (PCR) Assay with Serum and PCR–Enzyme-Linked Immunosorbent Assay with Whole Blood Samples for the Diagnosis of Bruselosis pada manusia. CID 40:260264. Romero C, Gamazo C, Pardo M, Lopez-Goni. 1995. Evaluation of PCR and indirect enzyme-linked immunosorbent assay on milk samples for diagnosis of brucellosis in dairy cattle. Journal of Clinnical Microbiology 3198-3200. Romero C, Lopez-Goni. 1999 I. Improved method for purification of bacterial DNA from bovine milk for detection of Brucella spp. by PCR. Applied Enviroment of Microbiology 65: 3735-7. Rujeni N, Gasogo A, Mbanzamihigo L. 2008. Contribution to the Study of the Prevalence of Brucellosis in Rwanda. Case Study of Huye District. 13th

65

International Congress Presentations

on

Infectious

Diseases

Abstracts,

Poster

Saegerman C, De Waele L, Gilson D, Godfroid J, Thiange P, Michel P, Limbourg B, Vo TKO, Limet J, Letesson J, Berkvens D. 2004. Evaluation of three serum i-ELISAs using monoclonal antibodies and protein G as peroxidase conjugate for the diagnosis of bovine brucellosis. Journal of Veterinary Microbiology 100 : 91–105. Salmakov et al. KM, Fomin AM, Plotnikova EM, Safina GM, Galimova GM, Salmakov et al.a AV, Ivanov AV, Panin AN, Sklyarov OD, Shumilov KV, Klimanov AI. 2010. Comparative study of the immunobiological properties of live brucellosis vaccines. Journal of Vaccine 28: 35-40. Seleem MN, Boyle SM, Sriranganathan N. 2010. Brucellosis: A re-emerging zoonosis. JOURNAL Veterinary Microbiology 140:392–398. Smits HL, Cutler SJ. 2004. Contributions of biotechnology to the control and prevention of brucellosis in Africa. Journal African Biotechnology 3: 631636. Surendran N, Sriranganathan N, Lawlera H, Boyle SM, Hiltbold HM, Heid B, Zimmerman K, Witonsky SG. 2011. Efficacy of vaccination strategies against intranasal challenge with Brucella abortus in BALB/c mice. Journal Vaccine 29: 2749–2755. Sudibyo A. 1998. Studi patogenitas Brucella suis isolat lapang dan kemampuan penularannya dari babi ke manusia. Journal Ilmu Ternak Veterinaryeriner 3: 257-263. Surucuaglu S, Sibel El, Ural S, Gazi H, Kurutepe S, Taskiran P, Yurtsever SG. 2009. Evaluation of PCR Methode for Rapid Diagnostic for Brucellosis with defferent clinical manisfestation. Polis Journal of Microbiology 58: 1519. Terzi G, Buyuktanir O, Genc O, Gucukoglu A, Yurdusev N. 2010. Detection of Brucella antibody and DNA in cow milk by ELISA and PCR methods [Research Article] 16:S47-S52. http.//Veterinarydergi.kafkas.edu.tr/extdocs/.../S47_S52.pdf –[ 10 Oktober 2011]. Thrusfield M. 2007. Veterinaryerinary Epidemiology. Publishing company. 3: 305-330.

Carlton: Blackwell

Tittarelli M, Bonfini B, Massis F De, Giovannini A, Ventura M Di, Nannini D, Caporale V. 2008. Brucella abortus strain RB51 vaccine. Immune response after calfhood vaccination and field investigation in Italian cattle population. Clinnical Development Immunology 10: 1-6.

66

Tomaso H, Kattar M, Eickhoff M, Wernery U, Al Dahouk S, Straube E, Scholz HC. 2010. Comparison of commercial DNA preparation kits for the detection of Brucellae in tissue using quantitative real-time PCR. BMC Infection Disease 10: 100. Unger F, Münstermann S, Goumou A, Apia CN, Konte M, Hempen M. 2003. Risk associated with bovine brucellosis in selected study herds and market places in four countries of west africa.www.itc.gm/.../animhealthworkingpaperno2.p... -[14 Oktober 2011]. Uzal TFA, Carrasco AE, Nielsen K, Echaide S, Cabrera RF. 2010. An indirect ELISA using a monoclonal anti IgG, enzyme conjugate for the diagnosis of bovine brucellosis. Journal of Veterinary Microbiology 52: 175-180. Vigliocco AM, Paulo PS, Mestre J, Briones GC, Draghi G, Tossi M, Nielsen K. 1997. Development and validation of an indirect enzyme immunoassay for detection of ovine antibody to Brucella ovis. Journal of Veterinary Microbiology 54: 357-368. Wallach JC, Ferrero MC, Delpino MV, Fossati CA, Baldi PC. 2008. Occupational infection due to Brucella abortus S19 among workers involved in vaccine production in Argentina. Clinical Microbiology and Infectious Diseases. Clinnical Microbiology Infection 14 : 797–812. Walker RL. 2009. Veterinaryerinary Microbiologyogy.editor. Hirsh DC, Zee C, Black well science inc. Davis. 3:196-203. Whatmore AM. 2009. Current understanding of the genetic diversity of Brucella, an expanding genus of zoonotic pathogens. Journal Infection Genetics and Evolution 9: 1168–1184. Wolfram JH. 2010. Brucellosis in editorial introduction. Journal of Vaccine 28: F1-F2. Xavier MN. Silva TMA, Costa EA, Paixa TA, Moustacas VS, Carvalho CAJ, Sant’Anna FM, Robles CA, Gouveia AMG, Lage AP, Tsolis RM, Santos RL. 2010. Pathogenesis of Brucella spp. The Open Veterinary Science Journal 4:109-118. Xavier MN, Paixa TA, Poester FP, Lage AP, Santos RL. 2009. Pathological, Immunohistochemical and Bacteriological Study of Tissues and Milk of Cows and Fetuses Experimentally Infected with Brucella abortus. J Comp Path 140:149-157. Yuk Ko K, Kim JW, Her M, Kang SI, Jung SK, Cho DH, Ji-Yeon K. 2012. Immunogenic proteins of Brucella abortus to minimize cross reactions in brucellosis diagnosis. Journal of Veterinary Microbiology 156: 374–380.

67

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil pengujian sampel NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

SAMPEL A1 A2 A3 A4 A5 A6 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9

MRT 1 2 1 1 1 2 1 1 2 2 1 2 2 2 1

RBT 1 2 2 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 2

Kriteria (+) 4 1

2 1 2

3

ELISA 1 2 2 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 2

CFT 1 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 2

Titer 1/32

1/128 1/128 1/128

1/32

PCR DARAH 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

PCR SUSU 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

VAKSINASI ABORTUS HIGROMA 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2

CR >2TH 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

68

Lanjutan Lampiran 1 NO.

SAMPEL

MRT

RBT

16

B10

2

17

B11

18 19

Kriteria(+)

ELISA

CFT

VAKSINASI

ABORTUS

HIGROMA

CR >2TH

1

1

1

1

1

2

1

1

1

1

1

2

1

1

1

2

2

1

1

B12

2

1

1

1

C1

2

1

2

2

1

1

2

1

1

1

1

1

1

1

1

1

20

C2

2

2

1

1

1

1

1

2

1

1

21

C3

2

1

1

1

1

1

2

1

1

1

22

C4

2

2

2

2

1

1

2

2

1

1

23

C5

1

24

C6

2

1

2

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

25

C7

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

26

C8

2

1

2

1

1

1

1

1

2

1

27

C9

2

2

2

2

2

1

1

1

1

2

1

28

C10

2

2

4

2

1

1

1

1

1

1

1

29

C11

2

2

4

1

1

1

1

1

2

1

1

30

C12

2

2

1

2

2

1

1

2

1

1

1

3 4

Titer

1/128

1/16

1/32

1/64

PCR DARAH PCR SUSU

69

Lanjutan Lampiran 1 NO.

SAMPEL

MRT

RBT

ELISA

CFT

PCR DARAH

PCR SUSU

VAKSINASI

ABORTUS

HIGROMA

CR >2TH

31

D1

2

1

1

1

1

1

1

1

1

1

32

D2

2

1

1

1

1

1

2

1

1

1

33

D3

2

1

1

1

1

1

2

1

1

1

34

D4

2

2

4

2

2

1/32

1

1

2

1

2

1

35

D5

2

2

2

2

2

1/128

1

1

2

1

2

1

36

D6

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

37

D7

1

1

1

1

1

1

2

1

1

1

38

D8

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

39

D9

2

2

3

2

2

1/64

1

1

1

1

2

1

2

40

D10

2

2

41

D11

2

1

42

D12

2

2

43

E1

1

44

E2

45 46 47

Kriteria (+)

Titer

2

2

1/32

1

1

1

1

2

1

1

2

1/32

1

1

1

1

1

1

2

2

1/4

1

1

2

2

1

1

1

2

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

2

1

1

E3

2

2

2

1

1

1

1

1

1

1

E4

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

E5

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

70

Lanjutan Lampiran 1 NO.

SAMPEL

MRT

RBT

48

E6

1

49

E7

1

50

E8

Kriteria (+)

ELISA

CFT

1

1

1

1

2

1 1

Titer

PCR DARAH

PCR SUSU

VAKSINASI ABORTUS HIGROMA

CR >2TH

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

2

1

1

1

1

1

1

1

51

E9

2

2

2

1

1

1

1

1

1

1

52

E10

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

53

1246

2

1

1

1

1

1

1

1

1

1

54

81

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

55

82

2

1

1

1

1

1

2

1

1

1

56

396

2

1

1

1

1

1

2

1

1

1

57

397

2

1

1

1

1

1

2

1

1

1

58

398

2

1

1

1

1

1

1

1

1

1

59

399

1

1

1

1

1

1

2

1

1

1

60

179

2

1

1

1

1

1

1

1

1

1

61

180

2

2

2

2

2

1/128

1

1

1

1

1

1

62

183

2

2

3

2

2

1/16

1

1

1

1

1

1

63

184

2

2

1

2

2

1/32

1

1

1

1

1

1

64

185

2

1

2

1

1

1

1

1

1

1

71

73

Lampiran 2 Hasil analisis nilai Kappa

Perbandingan RBT dengan CFT Metode

CFT

Negatif

Positif

Total

RBT

Negatif

40

2

23

Positif

6

16

41

Total

46

18

64

Value

Asymp. Std.

Approx.

Error Measure of Agreement Kappa

0.710

0.094

0.000

Perbandingan ELISA dengan CFT

Metode

CFT

Negatif

Positif

Total

ELISA

Negatif

33

2

35

Positif

23

16

29

Total

56

18

64

Value

Asymp. Std.

Approx.

Error Measure of Agreement Kappa

0.511

0.103

0.000

74

Perbandingan MRT dengan CFT

Metode

CFT

Negatif

Positif

Total

MRT

Negatif

21

2

23

Positif

25

16

41

Total

46

18

64

Value

Asymp. Std.

Approx.

Error Measure of Agreement Kappa

0.249

0.087

0.010

Perbandingan MRT dengan ELISA Metode

ELISA

Negatif

Positif

Total

MRT

Negatif

16

7

23

Positif

19

22

41

Total

35

29

64

Value

Asymp. Std.

Approx.

Error Measure of Agreement Kappa

0.710

0.094

0.000

75

Perbandingan ELISA dengan CFT Metode

CFT

Negatif

Positif

Total

ELISA

Negatif

33

2

35

Positif

13

16

29

Total

46

18

64

Value

Asymp. Std.

Approx.

Error Measure of Agreement

Kappa

0.511

0.103

0.000

Perbandingan MRT dengan ELISA Metode

ELISA

Negatif

Positif

Total

MRT

Negatif

32

10

42

Positif

3

19

22

Total

35

29

64

Value

Asymp. Std.

Approx.

Error Measure of Agreement Kappa

0.581

0.101

0.000

76

Lampiran 3 Hasil Uji Sensitifitas dan Spesifisitas

Sensitifitas dan Spesifisitas MRT dengan CFT NO.

MRT

CFT

Jumlah

1

Positif

Positif

16

2

Positif

Negatif

25

3

Negatif

Positif

2

4

Negatif

Negatif

21 64

Sensitifitas relatif Interpretasi Pararel

43/64 = 67%

Interpretasi Serial

16/64 = 25%

Spesifisitas relatif Interpretasi Pararel

21/64 = 33%

Interpretasi Serial

48/64 = 75%

77

Sensitifitas dan Spesifisitas RBT dengan CFT

NO.

RBT

CFT

Jumlah

1

Positif

Positif

16

2

Positif

Negatif

6

3

Negatif

Positif

2

4

Negatif

Negatif

40 64

Sensitifitas relatif Interpretasi Pararel

24/64 = 38%

Interpretasi Serial

16/64 = 25%

Spesifisitas relatif Interpretasi Pararel

40/64 = 62%

Interpretasi Serial

48/64 = 75%

78

Sensitifitas dan Spesifisitas ELISA dengan CFT

NO.

ELISA

CFT

Jumlah

1

Positif

Positif

16

2

Positif

Negatif

13

3

Negatif

Positif

2

4

Negatif

Negatif

33 64

Sensitifitas relatif Interpretasi Pararel

31/64 = 48%

Interpretasi Serial

16/64 = 25%

Spesifisitas relatif Interpretasi Pararel

33/64 = 52%

Interpretasi Serial

48/64 = 75%

79

Lampiran 4 Prosedur Pembuatan Reagen (Dewi 2010)

Komplemen adalah serum normal marmot. Komplemen (konsentrasi 10%) terdiri dari serum normal marmot sebanyak 200 ul dan ditambah phosfate buffer salin (PBS) (Promega) sebanyak 1,8 ml. Hemolisin adalah RBC dari domba yang direaksikan dengan anti sel darah domba (1 ml domba/Kg BB, IV). Hemolisin (perbandingan 1:100) terdiri dari hemolisin stok sebanyak 100ul dan ditambah PBS sebanyak 9,9 ml. Hemolisin (perbandingan 1:150) terdiri dari hemolisin (perbandingan 1:100) sebanyak 2 ml dan ditambah PBS sebanyak 1 ml. RBC domba sebanyak 4 ml dicuci dengan NaCl fisiologis (Oshaka), kemudian sentrifuse (Hamle) kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Dilakukan pengulangan sebanyak dua kali untuk menghilangkan antikoagulan Na sitrat (Sigma) (konsentrasi 3,85%). Supernatan dibuang hingga tinggal RBC murni. Untuk RBC ( konsentrasi 3%) terdiri dari RBC domba sebanyak 200ul dan NaCl fisiologis (Oshaka) sebanyak 4,8 ml. Sistem hemolitik adalah campuran antara RBC domba (konsentrasi 3%) dengan hemolisin bertiter 4 unit, disebut juga sistem indikator. Satu unit hemolisin adalah pengenceran tertinggi yang menunjukkan hemolisis lengkap. Titrasi Hemolisin Tabung reaksi (Pyrex) sebanyak dua belas disusun menjadi dua baris ( A dan B). Baris A nomor ganjil yaitu 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 dan Baris B nomor genap yaitu 2, 4, 6, 8, 10 dan 12. Baris A dan baris B merupakan gambaran titrasi hemolisin.

Larutan

dari ke

enam

tabung

dihomogenkan

dengan

cara

menggoyang rak tabung reaksi, kemudian di inkubasikan (Memmert) dalam penangas air selama 30 menit, 37 oC. Pada masing-masing tabung kemudian ditambahkan

0,25ml

komplemen

(konsentrasi

10%),

diikuti

dengan

menambahkan 0,25ml RBC domba (konsentrasi 3%). Tabung reaksi (Pyrex) disusun kembali menjadi satu baris dengan nomor yang berurutan (1-12), larutan dihomogenkan dan diinkubasikan kembali selama 30 menit, 37 oC. Membaca titer hemolisin, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menyebabkan terjadinya lisis sempurna RBC domba. Hasil lisisnya RBC terjadi pada tabung ke-4, sehingga titer hemolisis adalah perbandingan 1:600. Membuat sistem indikator (sistem hemolitik) RBC domba (konsentrasi 3%) dicampur dengan 4 unit titer hemolisin

80

(4 kali konsentrasi 1:600). Pembuatan larutan hemolisin 4 unit adalah hemolisin (perbandingan 1:100) sebanyak 2 ml dan ditambah PBS1 ml. Skema terinci sebagai berikut.

1

0.25 µl NaCl

5

7

9

11

Buffer

Buffer

Buffer

Buffer

Buffer

Buffer

0,25 ml

0,25 ml

0,25 ml

0,25 ml

0,25 ml

0,25 ml

Buang

0.25 µl

0,25 ml Pengenceran akhir hemolisin

1:200

1:400

1:800

2

4

6

8

10

12

Hemolisin

Buffer

Buffer

Buffer

Buffer

Buffer

Buffer

1:150

0,25ml

0,25 ml

0,25 ml

0,25 ml

1:1600

1:3200

1:6400

Buang

0,25 ml

0,25 ml Pengenceran akhir hemolisin

1:300

0,25 ml 1:60 0

0,25 ml 1:1200

0,25 ml 1:2400

0,25 ml 0,25 ml 1:4800

0,25ml 0,25 ml 1:9600

81

Titrasi Komplemen Tabung reaksi (Pyrex) sebanyak enam buah disusun dalam satu baris dan diberi nomor berurut dari 1 sampai 6. Larutan dihomogenkan dengan cara menggoyang rak tabung reaksi, kemudian diinkubasikan dalam penangas air (Memmert) selama 10 menit 37oC. Hasil lisis RBC pada tabung ke-6 sehingga titrasi komplemen adalah (konsentrasi 6%). Prosedur titrasi komplemen sebagai berikut

10 %

Komplemen

1 %

2 %

3 %

4 %

5 %

6 %

1

2

3

4

5

6

0,025 ml

0,050 ml

0,075 ml

0,100 ml

0,125 ml

0,150 ml

+

+

+

+

+

0,225 ml

0,200 ml

0,175 ml

0,150 ml

0,125 ml

+

Lar. buffer agar menjadi 0,25 ml

0,100 ml

+ +

+

+

+

+ 0,5 ml

Buffer pengganti Ag-Ab

0,5 ml

0,5 ml

0,5 ml

0,5 ml

0,5 ml +

+

+

+

+

+ 0,5 ml

Sistem hemolitik

0,5 ml

0,5 ml

0,5 ml

0,5 ml

0,5 ml

82

Lampiran 5 Dokumentasi pengujian dan pengambilan sampel

Pembacaan pada UV iluminator

Cycling condition pada saat amplifikasi

83

Hasil uji MRT

Proses pengujian RBT