II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 KARAKTERISTIK SAPI PERAH FH SAPI

Download Masa kering ini diupayakan terjadi atau dilakukan pada kurun waktu 2 bulan menjelang ... luar pengaruh manajemen atau tata laksana peternak...

0 downloads 384 Views 293KB Size
II KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1

Karakteristik Sapi Perah FH Sapi perah Fries Holland (FH) sering dikenal dengan nama Holstein Friesian.

Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih, di negeri Belanda sendiri ada Fries Holland yang mempunyai warna cokelat/merah dengan bercak-bercak putih (Brown FH). 2. Berat badan standar betina 625 kg, jantan 900 kg, bahkan ada jantan lebih dari 1 ton. 3. Memiliki sifat tenang dan jinak pada betina sedangkan pejantan agak liar dan ganas. Tidak tahan panas, tetapi lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. 4. Memiliki sifat reproduksi yang baik. Berat lahir pedet rata-rata sekitar 45 kg atau kira-kira 10% dari berat badan induk. Sapi FH mempunyai sifat masak lambat (late maturity), betina bisa dikawinkan pada umur antara 18-21 bulan. Pertama kali melahirkan pada umur 28-30 bulan (Makin, 2011).

2.2

Masa Laktasi Sapi Perah

Laktasi adalah suatu proses sintesis air susu oleh sel-sel epithel “glandula lactifera”, proses mengalirnya air susu dari sitoplasma ke lumen alveoli, pencurahan air susu dari alveoli ke sisterna/sinus ke luar, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

8

(Soeharsono, 2008). Masa laktasi yang pertama dalam kehidupan seekor sapi induk dimulai sejak mulai beranak dan akan dialami sebagai suatu siklus berulang dalam kehidupan hewan betina secara berkesinambungan, selama organ reproduksi masih aktif. Dalam satu periode laktasi, secara bertahap produksi akan meningkat cepat dan terus berlanjut sampai pada saatnya secara perlahan turun dan menjadi kering atau berhenti produksi. Peningkatan produksi akan mencapai puncak pada bulan ke-1 sampai bulan ke-3 dari satu masa laktasi dan kemudian turun pada pertengahan laktasi, serta istirahat pada masa kering. Bentuk kurva laktasi akan berbeda dari individu ke individu dan dari spesies ke spesies hewan tetapi semuanya meningkat untuk laktasi ke-2 dan laktasi ke-3 sepanjang harapan hidupnya, kemudian akan terjadi penurunan sampai berhenti produksi. Dalam satu siklus, dapat dibedakan adanya empat fase terkait dengan hasil produksi susu mulai dari saat laktasi aktif yaitu : 1. Awal dan puncak laktasi sewaktu mulai menghasilkan susu sampai pada produksi tertinggi. 2. Pertengahan laktasi atau laktasi tengah, yaitu sewaktu laktasi hasil produksi sudah mulai menurun tetapi masih berada dalam pencapaian hasil rata-rata. 3. Masa akhir laktasi sewaktu produksi sudah semakin menurun landai hingga saatnya berhenti dan memasuki masa kering. 4. Masa kering di mana selama fase ini sapi istirahat dan tidak lagi menghasilkan susu. Masa kering ini diupayakan terjadi atau dilakukan pada kurun waktu 2 bulan menjelang melahirkan. Di setiap fase dalam siklus laktasi, susu yang dihasilkan memiliki karakteristik kandungan nutrisi yang berbeda, terutama terhadap kadar protein dan

9

lemak sehingga perlu adanya antisipasi dengan pemberian nutrisi pakan yang dibutuhkan oleh tubuh hewan tercukupi agar selaras antara hasil produksi, nutrisi susu dan pengaruh pertumbuhan fetus dalam masa kebuntingan (Akoso, 2012).

2.3

Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Produksi susu merupakan manifestasi dari interaksi antara faktor dalam atau

genetik dan fisiologik dengan faktor lingkungan antara lain iklim, pakan, mikroorganisme dan parasit serta manajemen. Oleh karena itu, produksi susu sapi perah sangat bervariasi bergantung kepada dua faktor tersebut. Variasi yang disebabkan oleh faktor fisiologis sebagian besar dapat dikontrol dan sebagian lagi tidak dapat dikontrol. Sebagai contoh beberapa penyakit yang menyebabkan variasi produksi dapat diminimkan pengaruhnya dengan tata laksana peternakan yang baik, sedangkan pengaruh umur dan kebuntingan terhadap terjadinya variasi produksi di luar pengaruh manajemen atau tata laksana peternakan (Soeharsono, 2008).

2.3.1

Faktor Genetik Induk dan pejantan yang mempunyai genetik unggul akan menghasilkan

anak-anak yang unggul atau superior, sebaliknya induk dan pejantan yang menghasilkan kualitas genetik rata-rata bangsa akan menghasilkan anak yang mempunyai kualitas genetik rata-rata. Akibatnya terjadilah variasi dalam sifat produksi pada bangsa itu sendiri. Oleh karena itu faktor hereditas akan berpengaruh terhadap jumlah produksi susu yang dihasilkan oleh setiap individu sapi perah. Setiap bangsa sapi mempunyai karakteristik atau sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh bangsa itu, dan berbeda atau tidak dimiliki oleh bangsa sapi lainnya.

10

Salah satu sifat kekhasan dari setiap bangsa sapi perah adalah kemampuan produksi susu dalam jumlah dan kualitasnya terutama kadar lemak susu. Perbedaan kemampuan produksi susu antar bangsa sapi perah mencerminkan perbedaan genetik dalam artian perbedaan frekuensi gena yang mengatur kuantitas dan kualitas produksi susu (Soeharsono, 2008).

2.3.2

Faktor Fisiologis 1. Persistensi Persistensi adalah tingkat kemampuan seekor sapi perah untuk

mempertahankan produksi susu dalam setiap periode laktasi. Beberapa peneliti telah mengidentifikasi bahwa persistensi hanya sedikit dipengaruhi oleh faktor genetik (hereditas) tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor non genetik diantaranya umur sapi, kondisi sapi saat beranak, dan tingkat nutrisi (Soeharsono, 2008).

2. Kebuntingan Masa kebuntingan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap produksi susu, semakin besar kebuntingan semakin kecil produksi susu. Hal ini disebabkan oleh sebagian kecil pakan yang dimakan tidak diproses untuk memproduksi air susu akan tetapi untuk membesarkan janin di dalam kandungan (Makin, 2011). Lama bunting sapi perah adalah 9 bulan. Produksi susu akan semakin menurun, terutama saat sapi bunting 7 bulan sampai beranak (Sudono, 2003)

3. Umur dan Ukuran Tubuh

11

Puncak produksi air susu seekor sapi dicapai ketika berumur antara 7-8 tahun. Sapi-sapi muda di bawah umur tersebut produksinya masih rendah karena masih dalam proses pertumbuhan. Sebaliknya, setelah umur tersebut produksi mulai turun karena umurnya mulai tua (senilitas). Produksi turun sedikit demi sedikit sampai mencapai umur 10-12 taun. Penurunan produksi selain disebabkan oleh senilitas juga karena kelenjar-kelenjar susu mulai menurun aktivitasnya (Makin, 2011). Secara umum sapi yang besar akan menghasilkan lebih banyak susu daripada sapi yang lebih kecil, sekalipun susu yang dihasilkan tidak berhubungan langsung secara proposional dengan bobot badan sapi. Oleh karena itu, seekor sapi yang mempunyai ukuran tubuh dua kali lebih besar dari sapi lain pada umumnya menghasilkan produksi hanya sekitar 70% lebih banyak, tidak 100% atau lebih produksi susu yang dihasilkan (Soeharsono, 2008).

4. Kering Kandang Masa kering kandang yang lebih pendek dari 40 hari atau lebih dari 80 hari, maka produksi susu pada laktasi berikutnya akan menurun. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa lama kering kandang kurang dari 30 hari produksi menurun sebesar 3,7% dan lebih lama 80 hari maka produksi pada laktasi yang akan datang menurun sebesar 0,3% (Soeharsono, 2008).

5. Frekuensi Pemerahan Bagi sapi yang diperah 2 kali sehari, air susu yang diperah sore hari menunjukkan kadar lemak lebih tinggi daripada pemerahan pagi hari. Bila diperah 4

12

kali sehari maka kadar lemak akan tinggi pada pemerahan besok paginya pada pemerahan pertama. Frekuensi pemerahan ini mempengaruhi volume air susu yang dihasilkan (Makin 2011).

6. Lama Laktasi Menurut Sudono (2003), masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak dan masa kering. Produksi susu per hari mulai menurun setelah bulan kedua. Persentase kadar lemak air susu mulai menurun setelah sapi dua bulan sehabis sapi beranak. Tiga sampai empat bulan laktasi kadar lemak relatif konstan. Kemudian pada akhir laktasi kadar lemak air susu akan sedikit meningkat (Makin, 2011).

7. Birahi Saat sapi mengalami birahi, akan terjadi perubahan-perubahan faali yang mempengaruhi volume dan kualitas susu yang dihasilkan. Beberapa ekor sapi menunjukkan gejala nervous (gelisah) dan mudah terkejut, sehingga tidak mau makan atau makan sedikit saja, sehingga produksi susunya menurun. Meskipun demikian, ada pula sapi yang tidak banyak dipengaruhi oleh masa birahinya. Jika susu yang dihasilkan menurun drastis, kadar lemak dan susunan susunya akan berubah (Sudono, 2003).

8. Calving Interval Calving interval yang ideal adalah antara 12 sampai 14 bulan. Kurang dari 12 bulan akan mengakibatkan produksi menurun sebesar 3,7-9%. Terlalu panjang,

13

lebih dari 14 bulan misalnya 15 bulan, jumlah produksi memang ada kenaikan sekitar 3% (Makin, 2011). Meskipun demikian, jika ditinjau dari segi ekonomi akan merugikan karena susu yang dihasilkan tidak sepadan jika dibandingkan dengan pakan yang diberikan (Sudono, 2003).

2.3.3

Faktor Lingkungan 1. Nutrisi Keseimbangan nutrisi dalam pakan dapat mempengaruhi produktivitas

seekor ternak, kelebihan atau kekurangan salah satu unsur nutrisi menyebabkan sapi perah tidak dapat memproduksi susu secara optimal. Nutrien yang lazim disebut zat gizi yang ada di dalam susu berasal dari prekursor susu yang terdapat dalam darah ternak yang berasal dari bahan pakan yang dikonsumsi sapi perah tersebut. Oleh karena itu perubahan pakan yang diberikan dapat mengubah kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan. Secara garis besar zat-zat gizi dalam bahan kering (BK) pakan yang dibutuhkan oleh sapi perah adalah protein, lemak, karbohidrat (serat kasar), vitamin dan mineral (Soeharsono, 2008).

2. Iklim Sapi perah dapat hidup dengan baik pada keadaan lingkungan yang sejuk. Suhu yang panas berpengaruh pada produksi susu karena nafsu makan sapi akan berkurang sehingga asupan gizi yang diperlukan untuk memproduksi susu akan berkurang pula. Produksi susu akan menurun selama ternak mengalami stress panas. Suhu lingkungan yang ideal bagi sapi perah adalah 15,5oC karena pada kondisi ini produksi susu sapi perah akan mencapai optimal. Sedangkan suhu kritis

14

untuk sapi perah FH adalah 27oC dan tingkat kelembaban yang tinggi akan menyebabkan penurunan produksi susu pada ternak sapi perah (Hadisutanto, 2008).

3. Penyakit Faktor penyakit yang dapat mempengaruhi produksi susu sapi perah dibedakan dalam 2 jenis, yaitu : penyakit yang bersifat nutrisional yang umumnya karena defisiensi zat makanan dan penyakit menular. Penyakit defisiensi menimbulkan penyakit metabolik, sedangkan penyakit menular yang paling banyak ditemukan adalah mastitis, khususnya mastitis subklinis. Radang ambing (mastitis) merupakan infeksi pada ambing yang berlangsung secara akut, subakut maupun kronis, ditandai dengan kenaikan sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu, dan disertai atau tanpa disertai dengan perubahan patologis pada kelenjar susu (Soeharsono, 2008).

4. Manajemen Pemeliharaan Secara umum tata laksana peternakan (general management) yang mencakup tata laksana pemberian pakan (feeding management), tata laksana sistem reproduksi (breeding management), dan tata laksana rutin atau sehari-hari (practical management), harus selalu dijalankan dalam porsi perhatian yang sama besarnya. Karena kelemahan atau kekurangan pengelolaan pada salah satu aspek tersebut akan mempengaruhi produktivitas ternak, termasuk tingkat produksi susu dan kualitasnya. Kunci keberhasilan usaha adalah faktor manajemen yang baik, sebab tidak saja usaha tersebut

akan mendapat

keuntungan

tetapi

15

juga peternakan selalu

dapat

mempertahankan sapi-sapi yang laktasi pada tingkat produksi susu yang tinggi (Soeharsono, 2008).

2.4

Pemuliaan dan Seleksi Sapi Perah Tujuan utama program breeding adalah memanfaatkan sifat genetis tinggi

yang terdapat pada sapi perah betina ataupun jantan sehingga menghasilkan sapi-sapi perah yang unggul dalam memproduksi susu dan memiliki kemampuan genetis tinggi untuk memperoleh hasil yang menguntungkan. Dalam melaksanakan tujuan ini dibutuhkan sapi-sapi perah yang efisien dalam memproduksi air susu dengan perawatan minimal, diberikan pakan kualitas baik, kondisi sehat serta mempunyai masa produksi yang panjang selama hidupnya. Program breeding dalam sapi perah mencakup masalah seleksi, culling serta sistem perkawinan melalui inbreedig (close breeding, line breeding), out crossing atau cross breeding. Seleksi adalah memilih ternak yang baik sifat genetisnya untuk dijadikan bibit pada generasi yang akan datang, sedangkan culling yaitu pengeluaran hewan yang jelek, baik karena produksi yang rendah maupun karena sebab-sebab lain (Makin, 2011).

2.5

Pencatatan Syarat utama bagi suatu usaha sapi perah agar dapat melakukan seleksi

terhadap ternaknya adalah adanya pencatatan (recording). Pencatatan ini terutama dalam hal produksi susu, identitas sapi, data reproduksi, dan kesehatan ternak. Kegunaan utama adanya catatan ini adalah dapat memberi informasi tentang ternaknya individu per individu, maupun secara keseluruhan. Catatan yang paling

16

ideal adalah catatan yang bersifat sederhana, namun lengkap, teliti dan mudah dimengerti. Namun demikian, hal yang tidak kalah pentingnya adalah penomoran ternak, karena harus diketahui dengan pasti catatan produksi ini milik siapa (Hardjosubroto, 1994). Catatan produksi membantu peternak menentukan hewan mana yang menyebabkan penurunan hasil produksi yang berdampak pada penurunan hasil usaha. Ketika ada konfirmasi dasar pembayaran susu (volume, lemak, protein, berat jenis), kemudian perhitungan tentang jumlah pakan yang dialokasikan per hewan dan biayanya dapat dipakai untuk menentukan besaran keuntungan. Catatan produksi dapat membantu perhitungan untuk meningkatkan produksi susu melalui perencanaan dalam manajemen yang spesifik untuk hewan sampai ke tingkat individual. Ini merupakan catatan manajemen yang sangat kuat bagi peternak dan mekanisme untuk mempertahankan kualitas susu dengan agen penampung dan industri pengolahan susu (Akoso, 2012). Catatan produksi juga berguna untuk tujuan seleksi dan pembuatan silsilah (keturunan) dari sapi-sapi tersebut. Catatan produksi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dicatat setiap hari, setiap minggu atau sebulan sekali. Pencatatan yang terbaik adalah yang pencatatan harian, akan tetapi pencatatan sebulan sekali telah diakui oleh semua negara. Pencatatan ini harus mencakup segala keterangan dari setiap ekor sapi dari seluruh peternakan. Hal ini untuk mengevaluasi pelaksanaan manajemen selanjutnya serta rencana jangka panjang. Pencatatan ini harus sederhana, lengkap, dapat, dipertanggungjawabkan dan memerlukan sedikit waktu untuk mengerjakannya (Makin, 2011).

17

2.6

Standardisasi Catatan Produksi Kemampuan produksi susu tiap ekor sapi betina sangatlah bervariasi, seperti

halnya seekor sapi muda yang baru satu atau dua kali beranak dengan sapi yang sudah enam atau tujuh kali beranak akan berbeda nilainya meskipun produksi kedua sapi tersebut sama pada suatu periode laktasi. Produksi susu dapat disesuaikan atau dikoreksi ke arah standar tertentu. Standarisasi produksi susu digunakan untuk membandingkan kemampuan produksi air susu tiap ekor sapi bagi kepentingan seleksi untuk memilih bibit yang bermutu. Faktor koreksi yang paling umum digunakan dalam standarisasi produksi susu adalah faktor koreksi yang disesuaikan ke arah lama laktasi normal 305 hari, frekuensi pemerahan 2 kali sehari dan umur pada puncak produksi (Mature Equivalent Basis = ME) adalah 7 tahun. Lama hari berproduksi atau masa laktasi antara sapi-sapi betina umumnya menunjukkan keragaman yang besar. Hasil-hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lama laktasi merupakan sumber keragaman yang perlu dipertimbangkan dalam mendapatkan faktor koreksi laktasi lengkap (Anggraeni, 1995). Sapi betina dengan lama laktasi kurang dari 305 hari akan memiliki faktor koreksi yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan lama laktasi yang lebih dari 305 hari, sebaliknya faktor koreksi untuk lama laktasi yang lebih dari 305 hari akan lebih kecil.

2.7

Ripitabilitas Ripitabilitas didefinisikan sebagai korelasi fenotip antara performan sekarang

dengan performan-performan di masa mendatang pada satu individu (Hardjosubroto, 1994). Ripitabilitas adalah suatu ukuran hubungan antara sifat-sifat yang diulang

18

kembali selama hewan itu hidup (Makin, 2011). Ripitabilitas adalah konsep erat hubungannya dengan heritabilitas dan berguna untuk sifat-sifat yang muncul beberapa kali dalam hidupnya seperti produksi susu, jumlah anak sepelahiran, atau berat anak saat disapih (Warwick, 1990). Ripitabilitas merupakan bagian dari ragam total suatu populasi yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan antar individu yang bersifat permanen. Rumus ripitabilitas adalah sebagai berikut :

Keterangan : = komponen ragam antar individu = komponen ragam pengukuran dalam individu Komponen ragam antar individu dan komponen ragam pengukuran dalam individu merupakan pembagian ragam lingkungan menjadi bagian yang disebabkan pengaruh lingkungan yang permanen dan pengaruh lingkungan yang temporer. Ripitabilitas meliputi semua pengaruh genetik ditambah pengaruh lingkungan yang bersifat permanen. Pengaruh lingkungan yang permanen adalah semua pengaruh yang bukan bersifat genetik, tetapi mempengaruhi produktifitas seekor hewan selama hidupnya (Warwick, 1990). Pendugaan ripitabilitas dapat diestimasi dengan dua cara, yaitu korelasi antar kelas (interclass) dan korelasi dalam kelas (intraclass). Korelasi antar kelas digunakan apabila hanya ada dua catatan produksi dari masing-masing individu. Sedangkan korelasi dalam kelas digunakan apabila terdapat lebih dari dua catatan produksi. Korelasi dalam kelas merupakan ukuran korelasi keseluruhan antara semua 19

pasangan yang dimungkinkan. Korelasi ini sama dengan rata-rata semua kemungkinan korelasi antar kelas (Warwick, 1990). Nilai ripitabilitas dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu : 0,0-0,2 (rendah); 0,2-0,4 (sedang); dan > 0,4 (tinggi) (Noor, 2010). Semakin tinggi nilai ripitabilitas, semakin menunjukkan bahwa ternak tersebut akan mengulangi prestasi produksinya saat ini, di masa yang akan datang. Berikut ini merupakan beberapa contoh lain dari hasil penelitian nilai ripitabilitas di Indonesia. Tabel 1. Nilai Ripitabilitas Produksi Susu Sapi Perah Fries Holland dari Beberapa Hasil Penelitian di Indonesia Tempat

Ripitabilitas

Sumber

PT. Naksatra Kejora Rawaseneng

0,40

Risma Prayulistiana

2013

0,15

Hera Prahanisa

2011

0,29

Febi Aditya, dkk

2015

Temanggung PT. Taurus Dairy Farm, Cicurug, Sukabumi BBPTU HPT Baturraden

2.8

Dugaan Daya Produksi Susu Pendugaan kemampuan berproduksi atau Most Probable Producing Ability

(MPPA), adalah suatu pendugaan secara maksimum dari kemampuan berproduksinya seekor hewan betina, yang diperhitungkan atau diduga atas dasar performanya yang telah ada. Dalam pendugaan nilai MPPA, ternak yang bersangkutan harus sudah mempunyai data performa terlebih dahulu dan atas dasar data tersebut, akan diduga kemampuannya secara maksimum di masa mendatang. Nilai MPPA sering digunakan dalam seleksi sapi perah. Hal ini disebabkan status laktasi dari sekelompok sapi perah

20

yang akan diseleksi biasanya tidak seragam, sehingga perlu dikoreksi berdasarkan jumlah data yang ada. Seperti halnya pendugaan nilai pemuliaan, maka MPPA juga bersifat relatif dan hanya berlaku untuk peternakan setempat (Hardjosubroto, 1994). Adapun rumus MPPA adalah sebagai berikut :

(

)

(

̅)

Keterangan : MPPA : Daya Produksi Susu n : jumlah catatan r : nilai ripitabilitas P : rata-rata produksi individu sapi yang diukur ̅

: rata-rata produksi populasi

21