BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN KERJA, TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN, PEKERJA ASING DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
2.1. Tinjauan Hubungan Kerja 2.1.1. Pengertian dan dasar hukum hubungan kerja Pelaksanaan pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia dewasa ini tentunya berdampak pada berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Peningkatkan produktivitas secara keseluruhan dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi yang bersifat kerakyatan, bertujuan untuk memenuhi hak warga Negara atas jaminan pekerjaan yang seharusnya dijamin oleh Negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UndangUndang Dasar 1945 disebutkan bahwa, “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Maka dari itu, pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi, melainkan juga nilai kemanusiaan. Pembangunan
ketenagakerjaan
merupakan
bagian
integral
dari
pembangunan nasional, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur yang merata, baik material
27
28
maupun spiritual yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.29 Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan dalam Pasal 28D ayat (2) yaitu “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Tetapi untuk menjamin adanya kenyamanan dan keamanan antara para pihak (pengusaha dan pekerja), maka segala kegiatan yang berkaitan dengan bekerjanya orang dengan orang lain diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (undang-undang ketenagakerjaan), yang pada intinya memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Maka dari itu, untuk mendapat perlindungan sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan diisyaratkan adanya hubungan kerja. Hubungan kerja merupakan suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan. Imam Soepomo berpendapat bahwa hubungan kerja, yaitu hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.30 Definisi lain mengenai hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja.31 Dari beberapa pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai suatu bentuk hubungan hukum yang timbul setelah adanya perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha. 29
Asri Wijayanti, 2015, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 6. 30 Imam Soepomo, op.cit, h. 70. 31 Lalu Husni II, op.cit, h. 35.
29
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai pembuatan perjanjian kerja, kewajiban pekerja, kewajiban pengusaha, dan berakhirnya hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 menyatakan “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, perintah.” Tetapi, tidak semua orang yang bekerja pada orang lain termasuk dalam hubungan kerja sehingga mendapat perlindungan. Pasal 1 angka 15 membatasi hubungan kerja tersebut hanya lahir jika ada unsur pekerjaan, upah dan perintah. Jika dalam suatu pekerjaan hanya ada unsur upah dan pekerjaan tanpa adanya unsur perintah maka hubungan tersebut bukanlah hubungan kerja, melainkan hubungan swa-pekerja. Swa-pekerja ini berarti bekerja atas tanggung jawab atau risiko sendiri.32 Berdasarkan pengertian hubungan kerja dalam Pasal 1 angka 15 undangundang ketenagakerjaan maka dapat ditarik beberapa unsur hubungan kerja yaitu sebagai berikut : 1. adanya unsur work atau pekerjaan; Dalam suatu hubungan kerja tentunya ada pekerjaan sebagai objek dari perjanjian. Pekerjaan tersebut sesuai dengan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan majikannya, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maupun norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. 2. adanya unsur perintah (command);
32
Imam Soepomo, op.cit, h. 33.
30
Dalam hubungan kerja yang telah didasari atas kesepakatan antara pekerja/buruh pastinya ada perintah yang diberikan oleh majikan kepada pekerja/buruh tersebut untuk melakukan suatu pekerjaan, atau dengan kata lain buruh bekerja sesuai dengan perintah majikannya. 3. adanya upah (pay); Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. 33 Ketiga unsur tersebut diatas merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya suatu hubungan kerja. Maka dari itu, ketiga unsur tersebut harus dipenuhi untuk menjamin kesejahteraan dari pekerja/buruh tersebut. Dengan demikian, hubungan kerja tersebut merupakan suatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja merupakan suatu yang konkret dan nyata dalam adanya hubungan kerja. Dasar hukum dari hubungan kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang ketenagakerjaan pengaturan mengenai hubungan kerja diatur dalam Pasal 1 angka 15 yang memberikan definisi mengenai hubungan kerja dan Bab IX yang mengatur mengenai hubungan kerja yang diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 66.
33
Lalu Husni I, op.cit, h. 63.
31
2.1.2. Sumber hukum hubungan kerja
Sumber hukum dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum materiil dapat diartikan sebagai suatu norma yang digunakan sebagai pedoman manusia dalam bersikap atau bertindak. CST. Kansil mengatakan sumber hukum formal adalah segala apa saja yang dapat menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. 34 Sesuai dengan pengertian dari sumber hukum, maka sumber hukum hubungan kerja yang menyebabkan terjadinya hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 undang-undang ketenagakerjaan yaitu terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan pengertian yaitu “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yaitu “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”.
34
Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, op.cit, h. 85.
32
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) undang-undang ketenagakerjaan menyebutkan “perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan”. “Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan mengenai syarat materiil dari perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Ketenagakerjaan, menyebutkan perjanjian kerja harus dibuat atas dasar : a. kesepakatan kedua belah pihak; b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan ketentuan tersebut, apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan huruf a dan b maka perjanjian dapat dibatalkan (Pasal 52 ayat (2)), dan apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan huruf c dan d maka perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 52 ayat (3)). Merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu : 1. kesepakatan mereka yang menikatkan diri; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu;
33
4. satu sebab yang tidak terlarang.
Syarat sahnya perjanjian bersifat komulatif artinya apabila telah terpenuhinya keempat unsur tersebut baru perjanjian dapat dikatakan sah. Dengan demikian perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum. Selanjutnya demi menjamin kepastian hukum kepada pekerja/buruh dan pengusaha, dalam undang-undang ketenagakerjaan dibedakan jenis perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) mengenai perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Merujuk pada ketentuan tersebut, perjanjian kerja berdasarkan jangka waktu berlakunya dibedakan menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Jenis-jenis perjanjian kerja berdasarkan jangka waktunya, yaitu sebagai berikut : a. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/IV/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Pasal 1 angka 1 menyebutkan “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu”. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin, serta harus memenuhi syaratsyarat, antara lain :
34
1. harus mempunyai jangka waktu tertentu; 2. adanya suatu pekerjaan yang selesai dalam waktu tertentu; 3. tidak mempunyai syarat masa percobaan. 35
Perjanjian kerja waktu tertentu dilarang mensyaratkan adanya masa percobaan, apabila syarat masa percobaan tersebut dicantumkan maka syarat tersebut batal demi hukum.36 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) undang-undang ketenagakerjaan yaitu : 1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun; 3. pekerjaan yang bersifat musiman; 4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat oleh pengusaha dengan pekerja/buruh, yang dibatasi jangka waktu berlakunya dan tidak dapat diadakan untuk perjanjian yang bersifat tetap. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperpanjang dan diperbaharui. Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) 35 36
h. 45.
Zaeni Asyhadie, op.cit, h. 61. Maimun, 2007, Hukum Ketenagakerjaan : Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta,
35
tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Perjanjian kerja jangka waktu tertentu berakhir setelah selesainya jangka waktu yang diperjanjikan atau setelah selesainya pekerjaan tertentu yang diperjanjikan. 37 Mengenai berakhirnya suatu perjanjian dalam undang-undang ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 61 ayat (1) yang menyatakan perjanjian kerja berakhir apabila : a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang divantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
37
Ibid, h. 47.
36
b. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/IV/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, juga memberikan definisi mengenai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu yang terkandung dalam Pasal 1 angka 2 menyebutkan “Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.” Perjanjian kerja waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu. Berdasarkan ketentuan Pasal 63 undang-undang ketenagakerjaan disebutkan, dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan : a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu berbeda dengan perjanjian kerja waktu tertentu, dimana PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan, dan dalam masa percobaan kerja pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
37
2.2. Tinjauan Tunjangan Hari Raya Keagamaan 2.2.1. Pengertian dan dasar hukum Tunjangan Hari Raya Keagamaan
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya bagi pekerja/buruh di perusahaan (selanjutnya disebut Permenaker Nomor 6 Tahun 2016), memberikan definisi mengenai Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang selanjutnya disebut THR Keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan. Hari Raya Keagamaan yang dimaksud sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 yaitu Hari Raya Idul Fitri bagi Pekerja/Buruh yang beragama Islam, Hari Raya Natal bagi Pekerja/Buruh yang beragama Kristen Katholik dan Kristen Protestan, Hari Raya Nyepi bagi Pekerja/Buruh yang beragama Hindu, Hari Raya Waisak bagi Pekerja/Buruh yang beragama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi Pekerja/Buruh yang beragama Konghucu. Dasar hukum terkait dengan THR Keagamanaan dapat dilihat secara implisit dalam undang-undang ketenagakerjaan, yaitu tertuang dalam Pasal 1 angka 30 memberikan pengertian mengenai upah, dan dalam BAB X yang mengatur tentang perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan. Terkait dengan pengupahan, untuk melaksanakan ketentuan pada Pasal 97 undang-undang ketenagakerjaan ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam peraturan pemerintah tersebut pada Pasal 7 terdapat pengaturan mengenai pemberian THR Keagamaan. Namun sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) ketentuan mengenai THR Keagamaan dan tata cara pembayarannya diatur
38
dengan Peraturan Menteri. Dengan demikian, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) tersebut ditetapkanlah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Permenaker tersebut terdiri dari 5 (lima) BAB dan 13 Pasal. Adanya pengaturan tentang tunjangan hari raya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan antara pekerja dan pengusaha serta keseragaman mengenai pemberian tunjangan hari raya. Permenaker Nomor 6 tahun 2016 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, secara resmi menggantikan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Bagi Pekerja di Perusahaan. Dalam Permenaker Nomor PER.04/MEN/1994, menyatakan pemberian THR Keagamaan diberikan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih. Namun ketentuan tersebut dirubah setelah diundangkan Permenaker Nomor 6 tahun 2016, yang mewajibkan pemberian THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih. Pemberian THR Keagamaan tersebut berlaku bagi pekerja yang mempunyai hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu. 2.2.2. Besaran dan tata cara pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tunjangan hari raya kepada pekerja wajib diberikan oleh pengusaha sekali dalam setahun. Besaran dan tata cara pemberian THR keagamaan telah ditetapkan dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya
39
Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Permenaker Nomor 6 tahun 2016, besaran THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah; b. Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan : Masa kerja : 12 x 1 (satu) bulan upah. THR Keagamaan merupakan pendapatan non upah yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja yang besaran nilai THR Keagamaan sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (1) dan diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dalam bentuk uang dengan mata uang rupiah Negara Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Permenaker Nomor 6 tahun 2016 berbunyi “Apabila penetapan besaran nilai THR Keagamaan tersebut ditentukan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yang dilakukan lebih besar dari nilai THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), THR Keagamaan yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yang dilakukan.” Dengan demikian, sesuai ketentuan tersebut besaran nilai THR Keagamaan yang diberikan kepada pekerja/buruh tersebut tidak boleh lebih kecil dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1), namun boleh lebih besar dari ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1)
40
apabila terdapat kesepakatan terlebih dahulu antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Mengenai tata cara pemberian THR Keagamaan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh terdapat dalam Pasal 5 Permenaker Nomor 6 tahun 2016. Pemberian THR Keagamaan diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh sesuai dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing dari pekerja/buruh dan diberikan satu kali dalam satu tahun, paling lambat dibayarkan 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Apabila dalam hal Hari Raya Keagamaan yang sama terjadi lebih dari 1 (satu) kali dalam setahun maka THR diberikan sesuai pelaksanaan Hari Raya Keagamaan masing-masing Pekerja/Buruh, kecuali ditentukan lain sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan peturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 2.2.3. Akibat hukum pelanggaran pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Pemberian tunjangan hari raya tidak terlepas dari peran seorang pengusaha. Pengusaha memiliki kewajiban memberikan tunjangan hari raya kepada pekerjanya sesuai dengan ketentuan yang sejak adanya hubungan kerja sampai berakhirnya hubungan kerja tersebut. Tunjangan hari raya tidak serta merta diberikan begitu saja. Pekerja berhak untuk mendapatkan tunjangan hari raya apabila telah telah melaksanakan tugasnya terlebih dahulu sebagai pekerja sesuai dengan masa kerja yang bersangkutan. Dalam hal ini, pengusaha sebagai subjek pemberi tunjangan hari raya, sedangkan pekerja sebagai subjek penerima tunjangan hari raya.
41
Tunjangan hari raya merupakan salah satu pendapatan/upah yang wajib dibayarkan tidak boleh menyalahi peraturan yang ada. Pemenuhan pembayaran tunjangan hari raya tidak selamanya berjalan sesuai dengan peraturan yang ada. Sering kali terjadi pelanggaran baik itu dari segi besaran jumlah dan keterlambatan waktu pembayaran. Peraturan yang mengatur terkait tunjangan hari raya dalam hal ini Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 mengikat bagi semua pengusaha di Indonesia tanpa terkecuali. Apabila terdapat suatu pelanggaran yang terjadi dalam pemenuhan pembayaran tunjangan hari raya maka dapat dikenakan sanksi sesuai dengan yang diatur dalam peraturan tersebut. Ketentuan mengenai denda dan sanksi administratif diatur dalam BAB IV yang terdiri dari 2 ketentuan yaitu : 1. Apabila terlambat membayarkan THR Keagamaan. Pasal 10 ayat (1) menyatakan “Pengusaha yang terlambat membayar THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR Keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk mrmbayar.” 2. Apabila tidak membayarkan THR Keagamaan. Pasal 11 ayat (1) berbunyi “Pengusaha yang tidak membayar THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikenakan sanksi administratif.” Pengenaan denda bagi Pengusaha yang terlambat membayarkan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh tidak menghilangkan kewajiban untuk tetap
42
membayar THR Keagamaan bagi pekerja/buruh. Apabila Pengusaha tidak membayarkan THR Keagamaan yang merupakan hak dari pekerja/buruh akan dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan dalam peraturan perundangundangan. 2.3. Tinjauan Pekerja Asing 2.3.1. Pengertian pekerja asing Pekerja asing adalah tiap orang bukan WNI yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang guna memenuhi kebutuhan masyarakat. 38 Sebagaimana dalam undang-undang ketenagakerjaan, definisi mengenai pekerja asing dapat diketahui melalui Pasal 1 angka 13 yang menyebutkan tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Di Indonesia orang asing dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu : a.
orang asing pendatang adalah mereka yang mendapat izin masuk dengan memperoleh hak untuk tinggal di Indonesia dalam waktu tertentu yang dikenal dengan tenaga asing pemegang visa;
b.
orang asing penetap adalah mereka yang diperbolehkan tinggal tetap di Indonesia dan memperoleh izin menetap dengan surat keterangan kependudukan yang dikenal dengan tenaga asing penetap atau tenaga asing domestik.39
38
H.R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, 2015, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Cet. 4, PTIK, Jakarta, h. 331. 39 Ibid.
43
Pada prinsipnya, penggunaan pekerja asing di Indonesia adalah mereka yang dibutuhkan dalam 2 hal, yakni mereka pekerja asing yang membawa modal (sebagai investor) dan/atau membawa skill dalam rangka transfer of knowledge atau transfer of know how. 40 Selain karena kedua hal tersebut maka pada hakekatya tidak diperkenankan menggunakan pekerja asing dan harus mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia.41 Tujuan dari penempatan pekerja asing di Indonesia yaitu : a.
memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil dan juga professional pada bidang-bidang tertentu yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia;
b.
mempercepat
proses
pembangunan
nasional
dengan
jalan
mempercepat proses alih teknologi atau alih ilmu pengetahuan, terutama di bidang industri; c.
memberikan perluasan kesempatan kerja bagi tenaga kerja di Indonesia;
d.
peningkatan investasi asing sebagai penunjang modal pembangunan di Indonesia. 42
Dalam hal penggunaan pekerja asing, pihak pengusaha memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah (dalam hal ini tentunya izin tertulis dari Menteri
40
C. Sumarprihatiningrum, op.cit, h. 56. C. Sumarprihatiningrum, op.cit, h. 57. 42 H.R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, op.cit, h. 334. 41
44
Tenaga Kerja dan Menteri dapat menunjuk pejabat yang bertindak atas namanya).43 Pekerja asing yang dipekerjakan di Indonesia hanya dapat dipekerjakan dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja asing wajib memulangkan pekerja asing ke Negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir sesuai dengan ketentuan Pasal 48 undang-undang ketenagakerjaan. 2.3.2. Dasar hukum penggunaan pekerja asing di Indonesia Pada dasarnya pekerja asing tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jika dilihat dari ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya menjamin mengenai warga Negara Indonesia, kecuali terdapat kebutuhan akan tenaga terampil seperti transfer of knowledge, alih teknologi maupun hal lainnya, maka diperbolehkan menggunakan pekerja asing atas ijin menteri tenaga kerja sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang tertuang dalam Pasal 1 angka 13 mengenai pengertian tenaga kerja asing, dan BAB VIII yang mengatur mengenai Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 49; 2. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja
43
G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, dan A.G. Kartasapoetra, op.cit, h. 46.
45
Pedamping, yang merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 49 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan; 3. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang terdiri dari 12 BAB dan 68 Pasal, merupakan peraturan pelaksana Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (4), Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, dan Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pedamping. Dasar pengaturan penggunaan pekerja asing pada dasarnya bertujuan untuk memberikan batasan melalui mekanisme dan prosedur yang tepat dalam mempekerjakan pekerja asing, sehingga dapat menjamin dalam memberikan kesempatan kerja yang layak bagi tenaga kerja Indonesia. 2.3.3. Syarat-syarat mempekerjakan pekerja asing di Indonesia Mengenai persyaratan dalam mempekerjakan pekerja asing di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. memiliki pendidikan yang sesuai dengan syarat jabatan yang akan diduduki oleh tenaga kerja asing;
46
b. memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman kerja sesuai dengan jabatan yang akan diduduki tenaga kerja asing paling kurang 5 (lima) tahun; c. membuat surat pernyataan wajib mengalihkan keahliannya kepada TKI (tenaga kerja Indonesia) pendamping yang dibuktikan dengan laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan; d. memiliki NPWP bagi tenaga kerja asing yang sudah bekerja lebih dari 6 (enam) bulan; e. memiliki bukti polis asuransi pada asuransi yang berbadan hukum Indonesia; dan f. kepesertaan Jaminan Sosial Nasional bagi tenaga kerja asing yang bekerja lebih dari 6 (enam) bulan. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 36 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, tidak berlaku untuk jabatan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau anggota Pembina, anggota Pengurus, anggota Pengawas. Persyaratan tersebut diatas tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk pekerjaan yang bersifat darurat atau mendesak. Sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk pekerjaan yang bersifat sementara dan usaha jasa impresariat. 2.4. Tinjauan Perselisihan Hubungan Industrial 2.4.1. Jenis-jenis perselisihan hubungan industrial
47
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial selanjutnya disebut Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa, “Perselisihan hubungan industrial ialah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa perselisihan hubungan industrial dibedakan menjadi 4 (empat) sesuai dengan ketentuan Pasal 2 yang terdiri dari : a. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial. b. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial.
48
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang tlah dilakukan oleh salah satu pihak, yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial. d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban serikat pekerja, yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial. Imam Soepomo menyebutkan jenis perselisihan perburuhan dibedakan antara
perselisihan
hak
(rechtsgeschil)
dan
perselisihan
kepentingan
(belangengeschil).44 Perselisihan hak (rechtsgeschillen) yaitu perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian
perburuhan,
atau
ketentuan
perundang-undangan
ketenagakerjaan. Contohnya yaitu pengusaha tidak membayar gaji sesuai perjanjian, tidak membayar upah kerja lembur, tidak membayar tunjangan hari raya keagamaan, dan sebagainya. Perselisihan kepentingan (belangengeschillen) yaitu perselisihan yang terjadi akibat dari perubahan syarat-syarat perburuhan atau yang timbul karena tidak ada persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja
44
Imam Soepomo, op.cit, h. 132.
49
dan/atau keadaan perburuhan, contohnya yaitu pekerja/buruh menuntut kenaikan tunjangan makan. 45 2.4.2. Prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial Sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan dalam ketentuan Pasal 136 ayat (1) menyebutkan “penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat”. Sebagaimana dalam Pasal 136 ayat (1) tersebut musyawarah merupakan langkah awal yang wajib dilakukan dalam menyelesaikan suatu perselisihan yang terjadi antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Akan tetapi, dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai maka para pihak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 136 ayat (2) undang-undang ketenagakerjaan. Prosedur yang dapat ditempuh oleh pekerja/buruh apabila terjadi perselisihan hubungan industrial, yaitu : 1. Bipartit Sesuai dengan Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial, dalam Pasal 1 angka 10 menyebutkan, “perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan
hubungan
45
Abdul Khakim, op.cit, h. 144.
industrial.”
Perselisihan
hubungan
50
industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat oleh kedua belah pihak.46 Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan, jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah melakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan maka perundingan bipartit dianggap gagal, sesuai dengan bunyi Pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial. Dalam hal perundingan bipartit dianggap gagal, instansi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada para pihak untuk memilih penyelesaian konsilasi atau arbitrasi setelah kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi bidang ketenagakerjaan.
47
Apabila para pihak tidak menentukan pilihan
penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial. 2. Mediasi Pada dasarnya penyelesaian perselisihan industrial melalui mediasi adalah wajib, manakala pihak tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbiter setelah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada pihak-pihak yang berselisih.
48
Mediasi hubungan industrial yang
46
Lalu Husni I, op.cit, h. 124. Loc.cit. 48 Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 110. 47
51
selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh seorang mediator, yang berada disetiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Mediator sangat diperlukan dalam pelaksanaan mediasi karena merupakan penengah perselisihan, dan mengenai siapa yang menjadi mediator dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa, “mediator hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Syarat-syarat sebagai seorang mediator diatur dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. warga Negara Indonesia; c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; d. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan;
52
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; f. berpendidikan sekurang-kurangnya, Strata Satu (S1); dan g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. 3. Konsiliasi
Konsiliasi hubungan industrial sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial, yang selanjutnya disebut “konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator netral.” Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial, konsiliator harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. warga Negara Indonesia; c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S1); e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun; h. menguasai peraturan perundang-undangan di bisang ketenagakerjaan; dan
53
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Konsiliator yang telah terdaftar akan diberikan legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial. 4. Arbitrase Arbitrase hubungan industrial dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 UndangUndang Penyelesaian Hubungan Industrial, yang selanjutnya disebut “arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.” Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial harus arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. Syarat sebagai arbiter sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat (1) yaitu sebagai berikut : a. beriman dan bertaqwa kepaa Tuhan Yang Maha Esa; b. cakap melakukan tindakan hukum; c. warga Negara Indonesia; d. pendidikan sekurang-kurang-kurangnya Strata Satu (S1); e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
54
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; dan h. memiliki pengalaman di bidan hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. 5. Pengadilan hubungan industrial Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 17, Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial menyebutkan bahwa, “pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial”. Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Wewenang dari Pengadilan Hubungan Industrial sesuai dengan Pasal 56 yaitu bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : a. ditingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam beracara pada Pengadilan Hubungan Industrial, sesuai dengan Pasal 57 Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial menyebutkan bahwa, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.