37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KEADAAN UMUM

Download 14 Mei 2012 ... belum nyaman untuk pemeliharaan sapi perah sehingga produksi susu ..... perbedaan manajemen pemeliharaan, lingkungan, dan p...

0 downloads 365 Views 249KB Size
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Keadaan Umum Perusahaan

4.1.1. Sejarah dan Kondisi Lingkungan Fisik Perusahaan PT. UPBS Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS) Pangalengan merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang peternakan sapi perah yang untuk memasok susu segar ke industri pengolahan susu yaitu PT. Ultra Milk Industry and Trading Company Tbk. PT. UPBS Pangalengan berlokasi di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat tepatnya berada di tepi danau Cileunca (Situ Cileunca). PT. UPBS Pangalengan memiliki luas lahan ± 60 hektar, 40 hektar digunakan untuk kebun rumput dan 20 hektar untuk kandang Batas – batas wilayahnya sebagai berikut: 1. Sebelah utara

: Kebun Teh Rius Gunung dan Laspada Pangalengan

2. Sebelah barat

: Rancabolang dan Perkebunan Teh Dewata

3. Sebelah timur

: Gunung Merapi Wayang Windu

4. Sebelah tenggara : Kebun Teh Malabar Pangalengan PT. UPBS berada di wilayah pegunungan dengan ketinggian ± 1.400 meter di atas permukaan laut. Lokasi ini awalnya merupakan lokasi perkebunan teh kemudian dijadikan peternakan sapi perah. Suhu di lokasi ini berkisar 12 - 28ºC dengan ratarata curah hujan 302 mm dan kelembaban 60-85%.

37

38 Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor cuaca atau iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Hafez, 1969). Sapi perah FH akan mencapai produksi yang optimal bila suhu lingkungan 13 - 18oC dan kelembaban 55 - 65% (McDowell, 1972), 4–25oC (Yousef, 1985). Kondisi dengan suhu dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan stress. Stress yang ditimbulkan oleh panas dapat mengakibatkan kurangnya nafsu makan, metabolisme dalam tubuh terganggu, peningkatan pelepasan panas melalui penguapan dan peningkatan laju pernapasan. Kondisi lingkungan di PT. UPBS Pangalengan berada di daerah dengan kisaran suhu lingkungan lebih tinggi sehingga belum nyaman untuk pemeliharaan sapi perah sehingga produksi susu tidak optimum. 4.1.2. Pemerahan Sapi perah FH yang dikembangkan di PT. UPBS menggunakan bibit sapi perah FH impor dari Australia secara bertahap oleh Wellard. PT. UPBS Pangalengan mengembangkan sapi perah hasil impor dengan memelihara pedet betina kemudian dijadikan replacement stock untuk sapi-sapi afkir dan bila tidak memenuhi standar akan diafkir, sedangkan pedet jantan dipelihara hingga umur 14 bulan untuk kemudian dijual. Pada sapi laktasi, proses pemerahan dilakukan di kandang pemerahan (milking). Sekali pemerahan dapat menampung sapi sebanyak 48 ekor dengan rincian 24 ekor di bagian kiri dan 24 ekor di bagian kanan.

39 Sebelum diperah dilakukan dipping yaitu pemberian cairan iodin pada setiap puting agar puting sapi dalam keadaan steril. Pemerahan dilakukan dengan menggunakan mesin perah milking parlor tipe pararel parlor secara otomatis memerah bila dipasangkan pada ambing sapi. Mesin ini dilengkapi layar monitor yang menampilkan nomor sapi yang diperah serta jumlah susu yang diproduksi. Proses pemerahan memakan waktu sekitar 7 menit sampai susu pada ambing habis diperah. Waktu tersebut merupakan waktu yang optimal untuk pemerahan sesuai dengan pendapat soeharsono (2008) bahwa pengaruh sekresi oksitosin sangat singkat, puncak sekresi dicapai dalam wantu 2 menit setelah itu menurun kembali dan mencapai kondisi awal dalam waktu 10 menit. Susu hasil pemerahan dialirkan langsung ke bagian processing unit melalui jalur pipa susu (milk pipe line), receiver, filter, PHE (Plate Heat Exchanger) sampai tangki pendingin (cool tank) dengan suhu 2ºC. Proses pemerahan dilakukan tiga kali dalam 1 hari, dengan interval pemerahan selama 8 jam, yaitu mulai pukul 06.0014.00 WIB, 14.00-22.00 WIB dan 22.00-06.00 WIB.

4.1.3. Reproduksi Kandang yang digunakan PT. UPBS adalah tipe kandang free stall dengan dinding pembatas dari besi, lantai beton, dan atap dari galvanis alumunium dengan tipe monitor. Aktivitas setiap individu sapi dapat diketahui karena digunakan RF ID (Radio Frequency Identification). Sistem ini menggunakan logam yang berisikan angka yang di pasangkan pada daun telinga. Penggunaan RF ID membantu

40 pencatatan yang dilakukan pegawai setiap harinya guna mengetahui keadaan setiap individu ternak sapi perah seperti asupan pakan, reproduksi, dan produksi setiap individu ternak sapi perah. Pengecekan birahi di UPBS dilakukan 2 kali dalam sehari, untuk dapat mendeteksi sapi-sapi yang birahi digunakan metode tail chalking, yaitu mewarnai pangkal ekor ke arah punggung dengan crayon sehingga bulu–bulu yang diberi crayon berdiri dan berwarna, ketika warna crayon pudar atau hilang dan bulu pangkal ekor merunduk hal itu menandakan sapi tersebut dinaiki sapi lain dan jika setelah diamati terdapat tanda-tanda birahi (vulva membengkak, merah dan berlendir). Sebelum dikawinkan, dilakukan palpasi rektal. PT. UPBS juga melakukan program sinkronisasi estrus untuk memudahkan penyerempakan birahi dan perkawinan serta penyembuhan metritis.

4.2.

Tatalaksana Pemeliharaan Faktor yang mempengaruhi kualitas dan produksi susu sapi perah salah

satunya adalah tatalaksana pemberian pakan. Pakan yang diberikan kepada sapi perah oleh PT. UPBS Pangalengan berupa TMR (Total Mixed Ration). TMR adalah cara pemberian pakan sapi yang menggabungkan seluruh bahan pakan berupa pakan hijauan, biji-bijian, sumber protein, mineral, vitamin dan pakan aditif yang disusun untuk kebutuhan nutrisi tertentu menjadi satu campuran tunggal. Sistem ini memudahkan pemberian kebutuhan nutrisi dengan bahan pakan yang bermacammacam sesuai ketersediaan dengan kualitas yang hampir sama dan bahan pakan lebih

41 bervariasi hanya membutuhkan informasi tentang harga, standar protein, dan dry matter (bahan kering) setiap bahan yang akan digunakan dan mengaturnya sesuai kebutuhan. Pemberian pakan ternak sapi perah PT. UPBS disesuaikan dengan kebutuhan fase setiap individu ternak sapi perah secara berkelompok. Pedet mulai diberi pengganti air susu atau disebut juga milk replacer sejak masa pemberian kolostrum berakhir yaitu 5-7 hari. Berikut formulasi milk repleacer yang diberikan kepada pedet.

Tabel 4. Formulasi Milk Repleacer No 1 2 3

Material Denkamilk Keromix Demoxan

Jumlah 100% 25 kg/ton 4,27 kg/ton

Sumber: PT. UPBS Pangalengan, 2014

Berdasarkan Tabel 4., denkamilk merupakan produk susu yang digunakan sebagai komponen utama untuk membuat milk replacer. Antibiotik yang ditambahkan untuk formulasi penyusun milk replacer di PT. UPBS adalah demoxan, sedangkan keromix berfungsi sebagai pencegah diare dan sebagai penambah rasa untuk milk replacer. Selain pedet pemberian pakan dara diberikan untuk mempersiapkan pertumbuhan yang baik sehingga pada saat kawin pertama sapi dara dapat mencapai bobot badan yang sesuai. Komposisinya dapat dilihat pada Tabel 5.

42 Tabel 5. Komposisi TMR Sapi dara No Material 1 Jerami Segar 2 Ampas Bir 3 Kapur Mill 4 Kingrass 5 Konsentrat Low 6 Molasses 7 Urea 8 Zimpro Sumber: PT. UPBS Pangalengan, 2014

Persentase % 10,900 5,000 0,075 33,700 4,230 1,700 0,050 0,005

Komposisi pakan di PT. UPBS Pangalengan yang diberikan pada sapi perah laktasi dilakukan dengan melihat produksi susu yang dihasilkan sesuai pembagian group yaitu group high (produksi susu >25 liter/hari), group medium (produksi susu 16-25 liter/hari), dan group low (produksi susu <16 liter/hari). Komposisinya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi TMR Sapi Perah Berdasarkan Group No Material Group High Medium Low ............................%........................ 1 King Grass 24,48 31,32 36,00 2 High Concentrate 23,00 21,20 3 Low Concentrate 13,68 4 Kapur Mill 0,31 0,31 5 Bergafat 0,36 0,21 6 Lampung Hay 0,54 0,42 7 Wheat Staw 0,72 0,63 0,36 8 Tanin 0,05 9 Molases 3,09 4,13 3,60 10 Refusal 1,35 11 Rumput Laut 0,02 12 Silase Jabon 46,55 41,76 45,01 100,00 100,00 100,00 Sumber: PT. UPBS Pengalengan, 2014

43 Tabel 6., menunjukkan bahwa ransum yang diberikan diatur dengan memperhatikan produksi susu yang dihasilkan. Pemberian pakan untuk sapi yang berproduksi (sapi dewasa) di PT. UPBS dilakukan sebanyak satu kali dari pukul 08.00-11.00 dengan pemberian secara adlibitum berdasarkan perhitungan pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan. Bahan pakan yang digunakan banyak yang berasal dari luar negeri.

4.3.

Performans Pertumbuhan Produktivitas sapi perah salah satunya dapat dilihat dari performans

pertumbuhan, karena pertumbuhan dapat dijadikan sebagai parameter bobot badan. Pertumbuhan juga digunakan untuk melihat kesesuaian umur dengan bobot badan sehingga dapat mengetahui dewasa kelamin dan dewasa tubuh yang akan berpengaruh terhadap produksi susu. Pertumbuhan pedet betina dan dara sebagai replacement stock perlu diperhatikan sebagai upaya untuk memonitoring pola pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Heinrich (1993) tentang pentingnya untuk memperhatikan kemampuan tumbuh dari sapi pedet dan dara karena pertumbuhan sangat mempengaruhi umur produktif dan kapasitas produksi dari sapi dara setelah memasuki periode laktasi. Melalui pemahaman yang baik tentang sifat pertumbuhan dapat diperkirakan saat pubertas tercapai, sehingga dapat ditentukan waktu dan bobot hidup yang tepat untuk melakukan perkawinan pertama pada sapi dara.

44 Umur 1–8 bulan sapi masih digolongkan sebagai pedet, sedangkan Pada umur 9–24 bulan sapi sudah memasuki umur dara. Pada kisaran umur ini sapi umumnya sudah pubertas. Sejrsen dan Purup (1997) menyatakan pada bangsa sapi perah besar biasanya pubertas dicapai sekitar umur 9–11 bulan dengan bobot hidup sekitar 250280 kg. Hasil penelitian menunjukkan seiring bertambahnya umur maka bobot badan pun akan bertambah. Rataan bobot badan sapi berdasarkan umur di PT. UPBS Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Bobot Badan Sapi Perah Umur 5-13 Bulan No Umur Bobot Badan Standar Deviasi ...bulan... ...................Kg…............. 1 5-6 150,85 21,80 2 >6-7 170,52 16,16 3 >7-8 197,18 15,77 4 >8-9 223,38 13,05 5 >9-10 255,63 13,59 6 >10-11 282,83 19,41 7 >11-12 307,39 17,82 8 >12-13 337,63 24,03

Koevisien variasi ...%.... 14,45 9,48 8,00 5,84 5,32 6,86 5,80 7,12

Berdasarkan Tabel 7, bobot badan sapi perah pada umur 12-13 bulan mencapai 337,63 ± 24,03 kg. Bobot badan tersebut sudah mencapai bobot badan yang optimal untuk dilakukan kawin pertama. Pertimbangan UPBS Pangalengan untuk melakukan kawin pertama adalah bobot badan dan umur yang cukup yaitu minimal 12 bulan. Meskipun sudah pubertas namun belum mencapai standar bobot badan yang ditentukan sapi perah tersebut belum bias dikawinkan. Umur tersebut lebih awal dibandingkan dengan pendapat Sudono (1999) bahwa sapi-sapi dara dapat

45 dikawinkan untuk pertama kali setelah sapi tersebut berumur 15 bulan dan ukuran tubuhnya cukup besar dengan berat badan sekitar 275 kg, supaya sapi-sapi dara dapat beranak pada umur 2 tahun. Pertumbuhan pedet di PT. UPBS Pangalengan termasuk baik karena pada umur 10-11 bulan sapi dara sudah mencapai bobot badan lebih dari 275 kg. Dibandingkan dengan bobot badan sapi dara yang ada di KPSBU Lembang Rataan bobot badan 275 kg diperoleh dari sapi FH umur 15–16 bulan (Tazkia dan Anggraeni, 2009). Selain itu umur 13-14 bulan sapi dara sudah bisa dikawinkan dengan bobot badan yang sudah cukup serta sesuai dengan yang ditargetkan yaitu 350 kg. Apabila perkawinan sapi perah dara terlalu cepat dengan kondisi tubuh yang terlalu kecil, maka akibat yang terjadi antara lain adalah, kesulitan melahirkan dan produksi susu yang rendah. Koefisien variasi yang dihasilkan dari setiap umur berada dibawah 10% yang artinya pedet betina dan dara seragam. Hanya pada umur 5-6 bulan yang mempunyai koefisien variasi 14,45%. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hasan (2004) koefisien variasi (KV) dikatakan seragam apabila memiliki nilai ≤10%, sedangkan apabila nilai KV lebih dari 10% maka dikatakan tidak seragam dan efektif untuk dilakukan seleksi. Pencapaian bobot badan yang baik diduga kemampuan genetik dari sapi tersebut cukup baik, manajemen pemeliharaan yang cukup baik, pakan yang diberikan mencukupi kebutuhan sapi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, dan iklim yang sesuai dengan zona nyaman bagi pedet dan dara yang dipelihara. Hal tersebut membantu fungsi fisiologis tubuh melakukan fungsi tubuhnya dengan baik.

46 Kurva pertumbuhan sapi perah secara umum berbentuk sigmoid. Kurva tersebut menggambarkan dari mulai umur 0 sampai dengan dewasa tubuh yang ditandai dengan pertumbuhan yang konstan atau tidak mengalami pertumbuhan lagi. Model persamaan yang digunakan untuk melihat pola pertumbuhan sapi perah digunakan analisis model logistik yang dipakai untuk memeriksa bentuk hubungan umur dengan bobot badan. Hasil analisis statistik menunjukkan persamaan logistik tersebut memiliki hubungan yang erat dengan nilai korelasi 0,9704 dan standar eror (Se) 16,1374. Kurva pertumbuhan sapi perah umur 5-13 bulan dapat dilihat pada gambar 4.

S = 16.13741183 r = 0.97046317

Bo b o t Bad an (kg )

436 363 290 218 145

.1 5 .4 6 .7 7 .0 7 .3 8

72.

69

0 .0

0

0.0

2.4

4.8

7.2

9.5

11.9

14.3

Umur (bulan)

Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Sapi Perah Umur 5-13 Bulan

Berdasarkan gambar 4., Persamaan model kurva pertumbuhan dalam menggambarkan hubungan antara umur dengan bobot badan dengan menggunakan

47 curve expert adalah Y = 5,127848 / (1 + 8,600347 e-2,26657x). Kurva tersebut mencerminkan pertumbuhan ternak dari awal dilahirkan, kemudian mengalami fase percepatan sampai mencapai titik infleksi, selanjutnya ternak mencapai dewasa tubuh dan pada fase ini sudah mulai terjadi fase perlambatan sampai pertumbuhannya relatif konstan.

4.4.

Performans Reproduksi Performans reproduksi sapi perah menjadi salah satu tolak ukur dalam

keberhasilan usaha. Faktor reproduksi dapat mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan sehingga dapat memberikan keuntungan secara ekonomis. Selain itu, reproduksi juga dijadikan sebagai acauan peternak dalam menentukan pengafkiran. Sifat-sifat tersebut diantaranya umur kawin pertama, masa kosong, selang beranak dan nilai service per conception yang saling berkaitan. 4.4.1. Umur Kawin Pertama Sapi dara akan memasuki dewasa kelamin apabila telah mengalami berahi pertama. Sapi dara yang mengalami berahi pertama mempunyai alat dan saluran reproduksi yang belum berkembang sempurna dan belum dapat dikawinkan karena masih mempunyai bobot badan kurang dari 275 kg.. Kawin pertama dapat ditunda untuk memberikan kesempatan pertumbuhan dan perkembangan alat dan saluran reproduksi yang lebih baik. Pada saat berahi sapi akan memproduksi hormon progesteron dan estrogen yang berguna untuk perkembangan ambing terutama untuk perkembangan alveolus dan saluran-saluran di

48 dalam ambing. Umur kawin pertama pada sapi dara sebaiknya dilakukan setelah sapi dara tersebut telah mencapai bobot dewasa tubuh yaitu berumur 15 bulan dengan bobot badan 275 kg (Sudono, 1999). Umur kawin pertama di PT. UPBS Pangalengan rata-rata 13,01 ± 0,73 bulan dengan bobot badan sudah mencapai 350 kg. Umur kawin pertama tersebut lebih awal dari sapi yang dipelihara oleh KSPBU Lembang dan BPPT-SP Cikole yaitu 18,9 ± 6,5 bulan, 20,9 ± 5,5 bulan (Prihatin, 2007). Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan manajemen pemeliharaan, lingkungan, dan pemberian pakan pada masa pertumbuhan. Sesuai dengan pendapat Anggraeni (2008) pemberian pakan yang baik diperkirakan menjadi faktor penentu dewasa kelamin dan kawin pertama dapat dicapai lebih awal karena tubuh sudah dapat menerima kebuntingan akibat dari pertumbuhan tubuh dan reproduksi yang baik. Menurut Hardjopranjoto (1995) tingkat nutrisi yang rendah baik segi kualitas maupun kuantitas akan menghambat umur berahi pertama dan pubertas akan tertunda. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa sapi dara di PT. UPBS Pangalengan dapat dikawinkan pertama kali pada umur yang lebih cepat sehingga dapat digunakan untuk melakukan perbaikan manajemen dari segi umur kawin pertama. Kawin pertama lebih awal memungkinkan manajemen lebih efisien. 4.4.2. Masa Kosong Masa kosong merupakan waktu antara sapi setelah beranak sampai dengan perkawinan terakhir yang menghasilkan kebuntingan. Masa kosong diperlukan oleh sapi untuk memperbaiki kembali saluran reproduksi setelah periode bunting dan

49 melahirkan. Berikut masa kosong sapi perah di PT. UPBS Pangalengan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Masa Kosong di PT. UPBS Pangalengan Periode N Min Max Rataan Laktasi ...ekor... 1 591 32 410 146,84 2 501 37 419 172,36 3 135 38 422 156,19 4 29 63 338 170,48 Rataan 40 397 161,46

Standar Deviasi

Koefisien Variasi

84,72 89,64 87,05 72,81 83,55

57,70 52,00 56,73 42,71 52,28

Hasil analisis di atas memperlihatkan bahwa masa kosong sapi di PT. UPBS Pangalengan dari laktasi 1 sampai laktasi 2 meningkat kemudian berkurang kembali pada laktasi 3 dan meningkat lagi pada laktasi 4. Kisaran masa kosong dari 32-422 hari atau dengan rataan sebesar 161,46 ± 83,55 hari. Masa kosong tersebut cukup panjang jika dibandingkan dengan masa kosong ideal yaitu 90-105 hari dengan rata-rata 100 hari (Warwick dan Legates, 1979). Selain itu masa kosong tersebut juga lebih panjang dibandingkan dengan sapi-sapi yang ada di BBPTU-SP Baturraden dan BPPT-SP Cikole masing-masing sebesar 138,8 ± 67,9 hari (Atabany dkk., 2011) dan 141,1 ± 74,2 hari (Anggraeni dkk., 2008). Koefisien variasi yang cukup tinggi dengan rataan 52,28% menunjukkan bahwa masa kosong sapi-sapi di PT. UPBS Pangalengan sangat beragam. Lama masa kosong yang besar pada setiap periode laktasi di PT. UPBS Pangalengan menandakan adanya gangguan reproduksi. Hal tersebut sesuai dengan

50 yang dikemukakan Hardjopranjoto (1995) bahwa salah satu ukuran yang menandakan adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan sapi perah adalah masa kosong yang melebihi 120 hari. Masa kosong yang panjang akan mempengaruhi Masa laktasi dan selang beranak. Semakin lama masa kosong maka akan semakin lama juga sapi perah tersebut melahirkan pedet, sedangkan produksi susu akan semakin menurun. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidak efisienan dalam sebuah usaha. Masa kosong dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya munculnya berahi kembali, penyakit reproduksi, manajemen pemeliharaan, kesalahan dalam deteksi birahi, dan keberhasilan dalam melakukan IB. 4.4.3. Selang Beranak Selang beranak (calving interval) merupakan selang waktu sapi perah beranak sampai dengan beranak berikutnya. Selang beranak dipengaruhi oleh masa kosong, semakin panjang masa kosong maka selang beranak akan semakin panjang. Berikut calving interval sapi perah di di PT. UPBS Pangalengan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Selang Beranak di PT. UPBS Pangalengan Periode N Min Max Rataan Laktasi ...ekor... 1 591 302 710 417,94 2 501 305 692 445,98 3 135 319 707 430,06 4 29 342 617 446,21 Rataan 317 681 435,05

Standar Deviasi

Koefisien Variasi

83,01 88,37 86,97 72,07 82,88

19,68 19,81 20,22 16,38 19,02

51 Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa selang beranak sapi perah yang ada di PT. UPBS Pangalengan berkisar antara 302-710 hari dengan rataan sebesar 435,05 ± 82,88 hari. Nilai selang beranak tersebut cukup panjang dari selang beranak ideal dan norml ideal dan normal yaitu antara 360-420 hari atau 12-14 bulan (Bath dkk., 1985), sehingga sapi perah setiap tahun bisa melahirkan dan menghasilkan susu. Selang beranak tersebut juga lebih lama jika dibandingkan dengan KUD Sinarjaya dan BPPT-SP Cikole masing-masing 398 hari (Rasad, 2009) dan 418 hari (Anggraeni dkk., 2008). Panjangnya selang beranak tersebut bisa menggambarkan adanya gangguan reproduksi pada sapi sapi yang ada di PT. UPBS pangalengan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rasad (2009) bahwa adanya gangguan reproduksi dapat dilihat dari selang beranak. Selang beranak yang panjang akan meningkatkan produksi susu total selama masa laktasi, namun akan kurang efisiensi. Jumlah susu tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk pakan sapi perah tersebut. Tabel 9., juga memperlihatkan selang beranak mempunyai pola yang sama dengan masa kosong, tejadi peningkatan dari laktasi 1 ke laktasi 2 dan menurun kembali pada periode laktasi 3 kemudian meningkat kembali pada laktasi 4. 4.4.4. Service per Conception (S/C) Service per Conception menggambarkan jumlah kawin (IB) yang dilakukan untuk menghasilkan suatu kebuntingan. Nilai S/C di PT. UPBS Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 10.

52 Tabel 10. Service per Conception (S/C) di PT. UPBS Pangalengan Periode Standar N Min Max Rataan Laktasi Deviasi ...ekor... 1 591 1 17 3,69 3,09 2 501 1 12 4,01 3,05 3 135 1 14 3,58 2,80 4 29 1 9 3,24 2,71 Rataan 1 13 3,63 2,91

Koefisien Variasi 83,72 76,64 78,24 66,81 76,35

Berdasarkan hasil analisis, nilai S/C di PT. UPBS Pangalengan berkisar 1-17 atau rata-rata 3,63 ± 2,91. Nilai tersebut di atas nilai normal yaitu 1,6-2,0 (Toelihere, 1985). Selain itu, nilai tersebut juga lebih besar dari nilai S/C sapi perah FH yang dipelihara di Jawa Barat yaitu 1,0-4,0 dengan rataan 1,88 ± 0,88 (Makin dan Suharwanto, 2012). S/C yang besar dapat menggambarkan kesuburan sapi perah yang rendah sehingga mengakibatkan masa kosong dan selang beranak yang panjang. Nilai S/C terjadi peningkatan dari laktasi 1 ke laktasi 2 dan menurun kembali pada laktasi 3 dan laktasi 4. Faktor yang mengakibatkan nilai S/C besar diantaranya adalah adanya kesalahan deteksi birahi terutama pada sapi yang silent heat, gangguan pada saluran reproduksi seperti penyakit metritis yang sering terjadi karena penanganan kelahiran yang tidak bersih sehingga menyebabkan infeksi pada uterus dan No heat, kualitas semen dan kinerja inseminator. Kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban juga dapat mengganggu. Menurut Yousef (1985) iklim memiliki efek mengganggu reproduksi dan pada suhu lingkungan diatas suhu kritis atas yaitu 21ºC, sehingga angka kebuntingan akan menurun.

53 4.5.

Performans Sifat-Sifat Produksi Susu Produksi susu merupakan salah satu sifat-sifat produksi pada sapi perah yang

sangat penting terutama pada perusahaan komersial karena keberlangsungannya ditentukan oleh jumlah produksi yang dihasilkan serta kualitas yang mempengaruhi keuntungan perusahaan tersebut. Jumlah produksi susu yang dihasilkan selama satu periode laktasi dipengaruhi oleh masa laktasi serta masa kering saat sapi perah tersebut tidak diperah. Berikut hasil penelitian performans produksi susu yang ada di PT. UPBS Pangalengan 4.5.1. Masa Laktasi Masa laktasi merupakan masa sapi perah menghasilkan susu sampai dengan dikeringkan. Masa laktasi sapi perah bervariasi setiap individu sapi. Masa laktasi sapi di PT. UPBS Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Masa Laktasi di PT. UPBS Pangalengan Periode N Min Max Rataan Laktasi ...ekor... 1 591 220 631 365,03 2 501 234 638 378,61 3 135 212 613 366,01 4 29 301 554 388,00 Rataan 242 609 374,41

Standar Deviasi

Koefisien Variasi

77,72 77,11 81,05 69,57 76,36

21,29 20,31 22,14 17,93 20,42

Berdasarkan Tabel 11., kisaran masa laktasi sapi perah di PT. UPBS Pangalengan dari 212-638 deang rataan masa laktasi 374,41 ± 76,36. Masa laktasi terpanjang terjadi pada periode laktasi 4 dengan rataan 388,00 ± 69,57 hari dan masa

54 laktasi laktasi terpendek terjadi pada periode laktasi 1 dengan rataan 365,03 ± 72,72 hari. Masa laktasi sapi-sapi di PT. UPBS Pangalengan termasuk panjang dibandingkan dengan BBPTU-SP Baturraden dan BPPT-SP Cikole masing-masing 324,8 ± 69,7 dan 314 ± 43 hari (Anggraeni dkk., 2008; Anggraeni dkk., 2010). Lama laktasi yang normal adalah 305 hari sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) umumnya laktasi yang normal adalah 305 hari dengan 60 hari masa kering. Hal tersebut diharapkan sapi perah akan melahirkan setiap tahun sehingga terus menghasilkan produksi susu yang akhirnya dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Masa laktasi yang terlalu panjang dikarenakan kurangnya keberhasilan perkawinan atau IB. Masa laktasi yang panjang akan mempengaruhi efisiensi produksi. Setelah sapi mencapai puncak produksi dalam satu periode laktasi, produksi susu akan menurun sedangkan sapi harus terus diberikan pakan sehingga pemasukan tidak akan sesuai dengan pengeluaran. Jumlah sapi yang berkurang pada setiap periode laktasi merupakan aktivitas seleksi yang dilakukan untuk mendapatkan sapisapi yang unggul dan mempunyai produksi susu tinggi. Hal tersebut dapat kita lihat dari rataan koefisien variasi dari seluruh periode laktasi sebesar 24,35%, menandakan bahwa sapi-sapi tersebut akan efektif bila dilakukan seleksi.

55 4.5.2. Produksi Susu Produksi susu yang diambil merupakan produksi susu aktual dari setiap periode laktasi kemudian dilakukan standarisasi 305 hari standar dewasa (SD). Produksi susu hasil penelitian di PT. UPBS Pangalengan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Produksi Susu Aktual di PT. UPBS Pangalengan

Periode Laktasi

N

Min

Max

Rataan

Standar Deviasi

Koefisien Variasi

...ekor... 1 591 1.195,00 13,967,90 6.393,42 1.985,60 31,06 2 501 1.102,00 15.170,00 8.488,48 2.056,30 24,22 3 135 2.113,20 16.372,70 8.778,83 2.479,15 28,24 4 29 5.995,50 12.252,40 9.476,10 1.423,92 15,03 Rataan 8.284,21 1.986,24 24,64 Berdasarkan Tabel 12., produksi susu aktual di PT. UPBS Pangalengan rataan produksi susu total terendah terjadi pada periode laktasi 1 sebanyak 6.393,42 ± 1.985,60 liter dan produksi susu tertinggi terjadi pada periode laktasi 4 sebanyak 9.476,10 ± 1.423,92 liter serta rataan seluruh periode laktasi sebanyak 8.382,09 ± 2.117,90 liter. Produksi susu mengalami peningkatan dari laktasi 1 sampai dengan laktasi 4. Seuai dengan pendapat Ensminger (1971) yang menyatakan bahwa produksi air susu total tertinggi diperoleh pada periode laktasi 4. Hal tersebut dikarenakan sapi perah sudah mengalami dewasa tubuh, dimana nutrisi dari pakan yang diberikan tidak digunakan lagi untuk pertumbuhan namun digunakan untuk produksi susu. Setelah dilakukan standarisasi 305 hari SD (Setara Dewasa) hasilnya disajikan pada Tabel 13.

56 Tabel 13. Produksi Susu 305 hari SD Di PT. UPBS Pangalengan Periode Standar N Min Max Rataan Laktasi Deviasi ...ekor... 1 591 1.430,42 15.315,80 7.638,70 1.945,72 2 501 1.429,43 14.957,62 8.906,68 1.809,31 3 135 2.798,75 14.195,13 7.857,15 1.954,09 4 29 6.317,68 10.726,71 8.572,71 1.122,78 Rataan 8.284,21 1.986,24

Koefisien Variasi 25,47 16,05 24,87 13,10 24,64

Setelah dilakukan standarisasi 305 hari SD produksi susu terendah yang dihasilkan pada periode laktasi 1 sebanyak 7.638,70± 1.945,72 liter dan tertinggi pada periode laktasi 2 menjadi 8.906,68 ± 1.809,68 liter dengan rataan seluruh periode 8.284,21 ± 1.986,24 liter. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Albarran dkk., (2008) bahwa sapi FH pada laktasi pertama berproduksi susu lebih rendah daripada produksi susu periode laktasi berikutnya. Produksi susu yang dihasilkan oleh PT. UPBS Pangalengan termasuk tinggi jika dibandingkan BBPTU-SP Baturraden dan BPPT-SP Cikole yang hanya menghasilkan masing-masing 4.277,92 kg (Nawawi dkk., 2013) dan 4.558 kg (Anggraeni dkk., 2008). Produksi susu yang tinggi tersebut dikarenakan faktor genetik yang baik dari sapi hasil impor. Faktor lainnya adalah pemberian pakan yang berkualitas, pakan yang diberikan disesuaikan kebutuhannya berdasarkan kelompok produksi yaitu kelompok produksi tinggi, produksi medium dan produksi rendah. Selain itu, sebagian besar bahan pakan yang diberikan berasal dari impor seperti dari Australia, New Zealand, Amerika dan Belanda.

57 Pemerahan yang dilakukan di PT. UPBS Pangalengan sebanyak 3 kali dalam satu hari sehingga dapat menambah produksi susu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soeharsono (2008) Penambahan jumlah pemerahan dari 2 kali/hari menjadi 3 kali/hari, dari 3 kali/hari menjadi 4 kali/hari akan menghasilkan volume produksi susu yang lebih banyak masing-masing yaitu 17% dan 9%. Kurva produksi susu berdasarkan catatan test day dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Kurva Produksi Susu di PT. UPBS Pangalengan

Gambar 5., memperlihatkan bahwa kurva produksi susu aktual dari laktasi 1 sampai laktasi 4 terus mengalami peningkatan. Hal tersebut sesuai hasil analisis yaitu produksi susu terendah berada pada laktasi 1 dan produksi susu tertinggi berada pada laktasi 4. Puncak laktasi 1, 2, dan 3 terjadi pada bulan ke 2 laktasi sedangkan pada laktasi 4 puncak produksi terjadi pada bulan laktasi 3. Pada gambar terlihat bahwa penurunan produksi susu pada laktasi 1 lebih lama dibanding laktasi 2, 3 dan 4.

58 4.5.3

Masa Kering Masa kering merupakan masa sapi perah tidak diperah. Hal tersebut dilakukan

untuk regenerasi sel-sel alveoli pada ambing yang rusak selama masa laktasi. Selain itu masa kering juga dilakukan untuk mengistirahatkan organ-organ yang berhubungan dengan produksi susu sehingga saat masa laktasi dapat berproduksi secara optimal. Masa kering sapi perah di PT. UPBS Pangalengan disajikan Tabel 14.

Tabel 14. Masa Kering Sapi Perah Di PT. UPBS Pangalengan

Berdasarkan Tabel 14., rataan masa kering sapi perah di PT. UPBS Periode Laktasi

N

Min

Max

Rataan

Standar Deviasi

Koefisien Variasi

...ekor... 1 591 21 232 53,81 23,23 43,17 2 501 21 207 67,39 33,62 49,88 3 135 27 203 65,45 32,71 49,98 4 29 27 170 69,34 28,45 47,14 Rataan 24 203 64,00 29,50 47,54 Pangalengan pada setiap periode laktasi berbeda. Rataan masa kering terpendek pada laktasi 1 selama 53,81 ± 23,23 hari dan terpanjang pada laktasi 4 selama 69,34 ± 28,45 hari. Hal tersebut dapat terjadi karena kapasitas produksi susu yang berbeda dari setiap sapi. Rataan masa kering seluruh periode laktasi selama 64,00 ± 29,50 hari. Masa kering tersebut masih dalam kisaran normal sesuai dengan pendapat Soeharsono (2008) bahwa masa kering normal adalah 40-80 hari. Rataan periode masa kering di PT. UPBS Pangalengan lebih rendah jika dibandingkan dengan rataan masa kering di BPPT-SP Cikole 94 hari (Anggraeni

59 dkk., 2008). Masa kering tersebut juga merupakan masa kering yang dianjurkan oleh Anggraeni (2006) yaitu sapi pada pemelihaaraan secara intensif sebaiknya mengalami masa kering selama 60-90 hari. Masa kering yang terlalu pendek dan terlalu panjang akan menurunkan produksi susu sehingga diperlukan manajemen pemeliharaan yang baik agar diperoleh produksi yang optimal.