II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Cabai Merah Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, baik sebagai penyedap makanan maupun untuk bahan utama masakan. Namun, produksi cabai masih belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Produktivitas cabai merah yang rendah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: mutu benih cabai yang kurang baik, penerapan teknik budidaya cabai yang belum optimal, tingkat kesuburan tanah yang rendah, serta banyaknya serangan organisme pengganggu tanaman yaitu hama dan penyakit (Sulastri et al. 2012). Tanaman cabai bukan tanaman asli Indonesia, dan termasuk ke dalam golongan tanaman berbunga, adapun sistematikanya adalah sebagai berikut : Devisio
: Spermatophyta
Sub Devisio
: Angiospermae
Ordo
: Polemoniales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Species
: Capsicum annum L (Aripin dan Lubis 2003).
Tinggi cabai merah 50-150 cm, batang pokok yang telah tua kadangkadang berkayu, cabai termasuk tanaman semusim, batangnya tegak. Mempunyai akar tunggang cukup kuat, bila akar itu putus akan tumbuh akar cabang yang cukup banyak, panjang akar dapat mencapai 1 m. Daunnya berbentuk sederhana, besarnya bervariasi, berbentuk bulat telur memanjang ujungnya meruncing, panjang 5-12 cm dan lebar 1-1,5 cm, tangkai daun 1-2,5 cm. Bunga terbentuk pada ujung ranting, pada pangkal tangkai bunga biasannya terbentuk ranting lagi yang ujungnya juga terbentuk bunga lagi, dan seterusnya demikian. Bunga seakan-akan terbentuk pada ketiak daun, pada umumnya bunga hanya satu, menggantung, kadang-kadang juga ada yang berdiri. Warna mahkota bunga putih berbentuk seperti bintang bersudut 5-6, garis tengah ±8-15 mm. Benangsari 5-6 buah, kepala benangsari berwarna kebiruan bentuknya memanjang. Putik berwarna putih atau ungu dan berkepala. Buahnya panjang atau pendek, 4
5 tergantung varietasnya, panjang 1-30 cm, berbentuk bulat atau kerucut, warna pada waktu muda hijau keunguan, sesudah masak warnanya menjadi merah, kuning, jingga, tergantung varietasnya. Jumlah biji banyak, panjang 3-5 mm, warna kuning (Pracaya 1996). Selain biji, buah cabai memiliki daging buah yang memberikan cita rasa pedas pada buah cabai. Daging buah cabai juga bervariasi, ada yang tebal, sedang dan tipis (Suriana 2012). Penanaman cabai pada waktu musim kemarau dapat tumbuh dengan baik, asal mendapat penyiraman cukup. Temperatur yang baik untuk cabai adalah sekitar 20o-25o C dengan kelembaban yang tinggi (Ratulangi et al. 2012). Temperatur diatas 35o C atau dibawah 10o C akan menyebabkan pertumbuhan cabai kurang baik, bahkan dapat mematikan. Kelembaban yang rendah dan temperatur yang tinggi menyebabkan penguapan tinggi, sehingga tanaman akan kekurangan air. Akibatnya kuncup bunga dan buah yang masih kecil akan rontok. Cabai dapat tumbuh sampai ketinggian ±2000 m diatas permukaan laut. Tetapi apabila udara sangat dingin sampai embun membeku (frost), tanaman akan mati (Pracaya 1996). Tanaman cabai menghendaki tanah yang gembur dan subur serta kaya akan humus dengan kisaran pH antara 5-6 (Ratulangi et al. 2012). Curah hujan pada waktu pertumbuhan tanaman sampai akhir pertumbuhan yang baik sekitar 600-1250 mm atau 100-200 mm per bulan (Ratulangi et al. 2012). Bila curah hujan berlebihan dapat menimbulkan penyakit, pertumbuhan cabai kurang baik, terbentuknya buah kurang serta banyak buah yang rontok. Tanah yang tergenang air walaupun dalam waktu yang tidak terlalu lama, dapat menyebabkan buah rontok. Kekurangan hujan dan tidak ada pengairan juga dapat membuat tanaman cabai menjadi kerdil (Pracaya 1996). Waktu tanam cabai merah yang tepat dapat berbeda menurut lokasi dan tipe lahan. Lahan kering atau tegalan dengan drainase baik,waktu tanam yang tepat adalah awal musim hujan. Untuk lahan sawah bekas padi, waktu tanam yang tepat adalah akhir musim hujan. Secara umum, waktu tanam cabai merah yang tepat untuk lahan beririgasi teknis adalah pada akhir musim hujan (Maret-April) atau awal musim kemarau (Mei-Juni) (Sumarni dan Muharam 2005).
6 Penggunaan benih bermutu merupakan kunci utama memperoleh hasil cabai merah yang tinggi. Benih cabai merah yang baik dan sehat dapat diperoleh dengan menyeleksi tanaman yang akan diambil buahnya untuk benih. Tanaman yang dipilih harus sehat, berbuah lebat, bentuk buahnya seragam, tidak cacat, serta bebas dari hama dan penyakit. Ada beberapa varietas/ kultivar cabai merah yang disarankan ditanam di dataran tinggi/ medium yaitu Keriting, Hot beauty dan Lembang 1. Untuk dataran rendah dapat dipilih varietas Keriting, Tit Super, Jatilaba, Prembun, Tanjung 1 dan Tanjung 2. Keperluan benih untuk 1 ha sekitar 300 - 400 g (Sumarni dan Muharam 2005). Sistem penanaman cabai merah bervariasi, tergantung pada jenis dan ketinggian tempat. Pada lahan sawah bertekstur berat (liat), sistem tanam 2-4 baris tanaman tiap bedengan lebih efisien. Pada lahan kering bertekstur sedang sampai ringan lebih cocok dengan sistem tanam 1 atau 2 baris tanaman tiap bedengan (double row) seperti yang biasa dilakukan di dataran medium dan dataran tinggi. Cabai merah dapat ditanam secara monokultur atau tumpangsari dengan tanaman lain (Sumarni dan Muharam 2005). Terdapat beberapa kendala yang dihadapi selama melaksanakan budidaya tanaman, diantaranya faktor lingkungan atau karena organisme pengganggu tanaman. Organisme yang sering dikeluhkan adalah busuk pada buah cabai merah yang dapat menurunkan produksi dan harga jual cabai. Salah satunya adalah pemyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum (Sumarni dan Muharam 2005).
B. Antraknosa pada Cabai Merah Penyakit antraknosa menjadi salah satu kendala dalam budidaya cabai. Penyakit ini dapat menurunkan hasil hingga 60% (Duriat et al. 1996 cit Suryotomo 2006). Bahkan menurut Prajnanta (1999) dalam Suryotomo (2006), dalam kondisi lingkungan yang optimal bagi patogen, penyakit ini dapat menghancurkan seluruh areal pertanaman cabai. Kerugian hasil selama transpotasi dan penyimpanan dalam kurun waktu satu minggu dapat mencapai lebih dari 25%.
7 1.
Gejala Penyakit Antraknosa Colletotrichum dapat menginfeksi tanaman cabai merah pada beberapa
bagian tubuh inang (Suryotomo 2006). Diantaranya dapat terjadi pada daun, ranting, daun buah tanaman inang. Antraknosa terlihat saat perkembangan dan pematangan jaringan tanaman. Penyakit ini mengganggu perkembangan buah saat dilahan (sebelum panen) dan merusak buah yang matang selama penyimpanan (setelah panen) (Zickovic et al. 2010). Gejala awal penyakit antraknosa pada cabai yaitu cabang dan ranting terdapat bercak kecil berwarna kehitam-hitaman dan sedikit berlekuk, semakin lama bercak tersebut meluas dan membentuk lingkaran konsentris yang kemudian akan menyebabkan ranting mengering dan mati. Gejala pada buah sama, yaitu terdapat bercak kecil yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit berlekuk, semakin lama bercak tersebut meluas dan membentuk lingkaran konsentris. Serangan lebih lanjut pada buah akan mengakibatkan buah mengerut, kering dan membusuk (Sulastri et al. 2012; Ratulangi et al. 2012). Senada dengan Zickovic et al. (2010) yang menyebutkan gejala antraknosa yang disebabkan oleh C. capsici berupa busuk hitam berbentuk lingkaran dan cekung dengan massa konidia berwarna jingga. Colletotrichum capsici memproduksi racun metabolit tidak spesifik yang dapat
menurunkan kemampuan perkecambahan biji, pemanjangan akar,
pemanjangan tunas, daya vigor perkecambahan cabai, padi, kacang hijau, jagung, kapas, kacang tanah, okra, terung, mentimun dan tomat. Racun tersebut menurunkan perkecambahan biji dan menyebabkan kematian kecambah cabai saat di pot. Racun tersebut juga memproduksi gejala fitotoksik pada buah cabai yang masih hijau atau sudah masak daunnya (Theerthagiri et al. 2008). Tanaman cabai pada saat berbunga lebih tahan dibandingkan pada periode berbuah. Laju infeksi Colletotrichum pada cabai merah saat periode berbunga rendah. Hal ini diduga bakal buah yang terbentuk pada periode berbunga masih sangat muda. Kondisi ini kurang baik bagi pertumbuhan patogen (Suryotomo 2006). Inokulasi saat berbunga cenderung menimbulkan serangan pada ujung buah, sedangkan inokulasi pada saat berbuah menimbulkan gejala pada pangkal
8 buah. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa inokulasi pada saat berbunga menyebabkan bagian ujung buah (bagian buah yang pertama kali terbentuk) akan terlebih dahulu terinfeksi karena inokulum yang disemprotkan akan berakumulasi pada bakal buah, sedangkan inokulasi pada saat berbuah, inokulum akan lebih mudah terakumulasi pada permukaan buah tempat inokulum tertimbun yaitu pada pangkal buah (sekitar Pedikel) (Suryotomo 2006).
2.
Penyebab penyakit antraknosa Antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum. Genus Colletotrichum
(teleomorf Glomerella) merupakan jamur yang dapat bersifat patogen, saprofit atau endofit pada tanaman (Zickovic et al. 2010; Wharton dan Uribeondo 2004; Braganca 2013). Colletotrichum menjadi jamur endofit jika ditemukan di jaringan tanaman yang sehat dan sebagai patogen jika diisolasi dari jaringan tanaman yang sakit (Photita et al. 2005). Jamur ini salah satu patogen penting di dunia karena jangkauan inang sangat luas dan kerusakan yang ditimbulkan sangat besar. Patogen ini penyebab antraknosa pada rumput-rumputan, legume, sayuran, buah, dan tumbuhan pohon. Photita et al. (2005) menjelaskan, hasil penelitiannya mendapatkan 3 jenis Colletotrichum dengan karakteristik isolat yang berbeda. Colletotrichum pertama memiliki ciri morfologi miselium tipis seperti kapas, warna koloni putih keabuabuan, dalam miselium terdapat banyak massa konidia berwarna kuning cerah berbentuk cincin konsentris dipusat koloni. Seta berada di konidiomata. Isolat kedua menunjukkan miselium tebal, berwarna putih dengan sedikit massa konidia berwarna jinggaberada didekat titik inokulum, terdapat banyak sklerotia dan seta. Isolat ketiga menunjukkan miselium berbentuk aerial dan tebal berwarna kecoklatan hingga hitam dan keabu-abuan. Bentuk koloni irreguler, dengan massa konidia berwarna kuning keemasan, konidia dan seta pada konidiomata melimpah. Pertumbuhan koloni pada media PDA mulai dari 4.7 mm-9.3 mm per hari. Miselium hialin, coklat atau kombinasi antar keduanya, terkadang tebal, terkadang tipis, terkadang pertumbuhannya longgar atau memadat. Ukuran konidia bervariasi mulai dari 0.57-15.50 × 3.38-7.52 μm (Chowdappa et al. 2012).
9 Hifa jamur Colletotrichum sp. berwarna agak gelap dan tidak bersekat, konidiofor tidak bercabang dan konidia berbentuk bulan sabit tidak bersekat serta hialin (Sulastri et al. 2012). Colletotrichum memiliki seta gelap dan konidia agak bengkok yang diketahui sebagai penyebab antraknosa pada beberapa komoditas ekonomi yang penting (Damm et al. 2009). Spesies Colletotrichum yang sering dijumpai sebagai penyebab antraknosa pada cabai adalah Colletotrichum capsici. Klasifikasi jamur Colletotrichum capsici menurut Singh (1998) adalah: Divisi
: Ascomycotina
Sub divisi
: Eumycota
Kelas
: Pyrenomycetes
Ordo
: Sphaeriales
Family
: Polystigmataceace
Genus
: Colletotrichum
Spesies
: Colletotrichumcapsici. Antraknosa pada cabai disebabkan oleh beberapa spesies Colletotrichum,
diantaranya C. capsici, C. acutatum, dan C. gloesporioides. Masing-masing memiliki bentuk konidia yang sangat khas (Syukur et al. 2013). C. acutatum, dan C. gloesporioides memiliki karakter morfologi yang hampir sama, sehingga sering terjadi kesalahan identifikasi jika tidak disertai dengan identifikasi secara molekuler (Zivkovic et al. 2010). Di provinsi Sulawesi Utara, penyebab antraknosa pada buah cabai adalah C. gloeosporiodes, patogen ini memiliki karakteristik memproduksi banyak konidia pada aservulus-aservulus yang awalnya nampak berwarna krem, kemudian menjadi merah muda atau salmon tanpa seta. Konidia berbentuk silinder, bersel satu dan hialin (Ratulangi et al. 2012). Koloni C. acutatum berwarna putih abu-abu dan putih abu-abu merah muda, konidia berbentuk Fusiform dan appresoria berbentuk Clavate atau Ovate (Zivkovic et al. 2010). Koloni C. acutatum berwarna putih diselimuti massa konidia merah muda dan jingga. Kultur dari beberapa inang menghasilkan pigmen merah dan merah muda yang banyak pada media tumbuh. Produksi utama konidia terjadi di aservulus. Meskipun demikian, konidia juga dapat diproduksi pada
10 permukaan daun. Konidia berbentuk Elip dan Fusiform dengan salah satu ujungnya ada yang membentuk lancip. Setae biasanya jarang terbentuk. Appresoria di produksi selama perkecambahan dan memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi (Peres et al. 2005). Warna koloni C. capsici abu-abu dan abu-abu gelap memproduksi pigmen berwarna kuning dan sedikit jingga. Bentuk koloni irregular dengan permukaan miselium halus (Kumar et al. 2015).
3.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Patogen Kerusakan akibat serangan C. gloeosporioides pada tanaman cabai
dipengaruhi oleh faktor patogen, tanaman dan lingkungan. Pada buah cabai yang rentan dan kondisi lingkungan yang sesuai bagi perkembangan patogen C. gloeosporioides dapat menimbulkan kerusakan yang serius (Ratulangi et al. 2012). Colletotrichum gloeosporioides f. sp. Miconiae yang diinokulasikan pada tanaman yang sama ditempat yang berbeda memiliki perbedaan laju infeksi. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan untuk perkembangan patogen antaralain seperti peneduh yang kurang, kesuburan tanah rendah, atau cabang yang lemah karena adanya kanker batang. Pengaruh pohon pelindung terhadap patogen sangat besar. Jika pohon pelindung kurang, daur hidup patogen akan menjadi lebih pendek. Patogen tidak tumbuh pada kelembaban kurang dari 95% (Syahrien dan Pinem 2016). Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan Colletotrichum adalah keberadaan agensia yang membantu penyebaran spora atau konidia patogen. Konidia dapat disebarkan oleh air hujan, angin, dan serangga. Konidia yang jatuh pada permukaan daun atau buah akan segera berkecambah dan mengadakan penetrasi. Di dalam air konidia sudah berkecambah dalam waktu 3 jam, sehingga hujan yang kecil pun dapat mendukung terjadinya infeksi. Menurut pengamatan di Jawa Tengah serangan hebat terjadi ketika curah hujan mulai tinggi (sekitar Januari), sedangkan pada saat curah hujan mulai menurun, penyakit antraknosa hampir tidak ditemukan (sekitar Maret-April) (Aripin dan Lubis 2003). Selain curah hujan, perkembangan penyakit dipengaruhi pula oleh suhu. Untuk perkecambahan, infeksi, dan sporulasi memerlukan suhu optimum 29,50 C.
11 Spora Colletotrichum tumbuh paling baik pada suhu 25-280C, sedangkan dibawah 50C dan diatas 400C tidak dapat berkecambah. Pada kondisi yang lembab, bercakbercak pada daun akan menghasilkan kumpulan konidia berwarna putih (Syahrien dan Pinem 2016). Patogen ini dapat bertahan pada ranting-ranting sakit atau pada daun-daun sakit di pohon atau dipermukaan tanah. Pada cuaca lembab atau berkabut pathogen membentuk spora (konidium) (Syahrien dan Pinem 2016). Suhu optimum untuk pertumbuhan Colletotrichum capsici antara 24o-30o C dengan kelembaban relatif 80-92% (Syahrien dan Pinem 2016). Periode inkubasi paling cepat muncul pada 3-8 HSI (Hari Setelah Inokulasi) (Ginting et al. 2013).
4.
Penyebaran Patogen Distribusi geografis patogen tanaman (prokariot) dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti: iklim lokal, distribusi inang patogen, kehadiran vektor patogen, adaptasi patogen pada kondisi lokal, kemampuan patogen menginfeksi tanaman inang baru, dan resistensi terhadap kultivar lokal (Kudela 2009). Penyebaran sebagian besar jamur patogenik pada tumbuhan yang sama tergantung keberadaan agensia seperti angin, air, burung, serangga, hewan lain serta manusia. Jamur terutama disebarkan dalam bentuk spora. Penyebaran spora pada sebagian besar jamur berlangsung secara pasif, walaupun awal pelepasan beberapa jenis jamur dilakukan dengan tekanan (Yunasfi 2002). Jarak sebaran spora sangat bervariasi, tergantung agensia penyebarannya. Angin salah satu agensia yang paling penting karena dapat membawa spora dengan jarak yang sangat
jauh.
Penyebaran inokulum terbawa angin
memungkinkan sebuah spesies untuk mempertahankan atau memperluas jangkauan geografi,
melakukan kontak dengan inang
yang
baru dan
mempertahankan atau meningkatkan fleksibilitas genetik melalui perkawinan silang dengan populasi lain dalam spesies yang sama (Brown 1997). Namun, pada jamur tertentu, air (Brown 1997) dan serangga memainkan peranan yang lebih penting dibanding dengan angin dalam penyebaran sporanya (Yunasfi 2002). Faktor perkembangan dan sebaran patogen yang lain adalah jarak tanam, aktivitas petani di lahan dan mutu benih. Jarak tanam berpengaruh dalam
12 perkembangan penyakit. Jarak tanam yang rapat menyebabkan daun tanaman satu dengan yang lainnya bersentuhan, sehingga penyebaran penyakit semakin cepat. Selain itu saat musim hujan, udara di sekitar tanaman lebih lembab sehingga jamur lebih cepat berkembang biak. Aktivitas petani melalui alat-alat pertanian dan pakaiannya dapat menyebarkan Colletotrichum gloeosporioides sampai 15-20 km dari pusat infeksi hingga ketinggian 1400 meter (Meyer et al. 2008). Faktor mutu benih juga mempengaruhi penyebaran penyakit antraknosa. Contoh kasus antraknosa yang disebabkan oleh jamur C. capsici. Benih yang terinfeksi ini akan menghasilkan bibit dan tanaman yang terinfeksi patogen (Sulastri et al. 2012). Berbagai faktor tersebut menunjukkan bahwa, alam menjadi faktor penyebaran dan perkembangan patogen jamur (Meyer et al. 2008).
5.
Pengendalian Patogen Beberapa cara pengendalian Colletotrichum yang telah dilakukan yaitu
kontrol budidaya, menggunakan kultivar resisten, pengendalian dengan pestisida, biofungisida, atau kontrol secara biologi. Pengendalian dengan kontrol budidaya dilakukan dengan menciptakan kondisi mikro yang tidak optimal bagi kehidupan patogen seperti sanitasi lahan dari sisa tanaman atau gulma yang menjadi inang sekunder Colletotrichum, drainase yang baik, benih cabai yang ditanam bebas dari patogen dan gulma, rotasi tanaman setiap 2-3 tahun dengan tanaman bukan familinya atau bukan inang Colletotrichum. Penggunaan kultivar yang resisten dapat mengurasi pengendalian secara mekanik dan kimia, sehingga lebih menghemat waktu dan biaya. Pengendalian menggunakan pestisida sangat umum digunakan oleh petani saat ini, namun daya bunuh pestisida akan cepat hilang jika pestisida sering digunakan. Pengendalian lain yaitu menggunakan biofungisida. Contoh
penggunaan
ekstrak
daun
Ocimum
sanctum
dapat
membatasi
perkembangan antraknosa. Kontrol biologi dilakukan dengan memanfaatkan makhluk hidup lain untuk mengendalikan patogen. Misal pemanfaatan Trichoderma untuk mengendalikan antraknosa pada cabai, stroberi dan jeruk yang telah dilakukan di Thailand (Than et al. 2008).
13 C. Kompatibilitas Vegetatif Pengelompokan kompatibilitas vegetatif (Vegetative Compatibility Group (VCG)) adalah pengelompokan jamur berdasarkan mampu tidaknya melakukan pertukaran informasi genetik melalui heterokariosis dan siklus paraseksual (Camila dan Maria 2011). Formasi heterokarion antara strain yang berbeda merupakan hal penting dalam siklus hidup filamen jamur. Jamur yang mampu beranastomosis dan membentuk heterokarion yang stabil dan dapat menjalankan fungsinya, dikelompokkan ke dalam vegetatif kompatibilitas yang sama (Leslie dan Summerell 2006). Analisis VCG digunakan untuk memeriksa keragaman genetik antar populasi patogen dan membedakan antara populasi patogen dengan non patogen pada spesies inang yang sama. Secara umum, isolat patogen pada VCG yang sama diasumsikan mengalami asosiasi karena sifat genetik yang sama, dalam hal ini jika isolat tersebut dari geografi yang sama (Leslie 1990 cit Morina et al. 2013). Namun, isolat pada VCG berbeda juga dapat berasal dari patogen yang memiliki sifat genetik sama (Baayen et al. 2000 cit Morina et al. 2013). Colletotrichum dari inang yang sama dengan karakteristik morfologi dan data molekuler yang sama dikelompokkan menjadi spesies yang sama. Isolat Colletotrichum dari inang yang sama tetapi memiliki karakter morfologi dan data molekuler yang berbeda dikelompokkan menjadi spesies yang berbeda (Photita et al. 2005). VCG sangat bermanfaat untuk mendeteksi variabilitas genetik antar isolat C. lindemuthianum. Barcelos et al. (2011) menemukan banyak perbedaan antar isolat dari geografi yang sama dengan jarak yang dekat. Hal ini mengindikasikan adanya kecepatan evolusi. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan struktur populasi patogen tersebut dalam agroekosistem. Mohammadi et al. (2012) menambahkan tidak ada korelasi antara karakterisasi isolat dengan distribusi geografi, patogenisitas, dan kelompok VCG. Tidak ada hubungan khusus pada pengamatan antara VCG dengan asal geografi isolat.