6 4 II.
TINJAUAN PUSTAKA A. Antraknosa Cabai
Antraknosa
pada
cabai
disebabkan
oleh
tiga
spesies
cendawan
Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici. Siklus penyakit antraknosa diawali dari patogen jamur pada buah masuk ke dalam ruang biji dan menginfeksi biji. Patogen tersebut dapat menginfeksi semai yang tumbuh dari biji sakit. Patogen jamur menyerang daun, batang dan akhirnya menginfeksi buah (Semangun 2006). Colletotrichum merupakan patogen utama penyebab antraknosa. Cendawan tersebut memiliki tubuh oval sampai memanjang, agak melengkung dan dalam jumlah banyak berwarna kemerahan. Cendawan ini tidak hanya menyerang buah saja tetapi juga menyerang daun, bunga, ranting dan tanaman semai. Klasifikasi Colletotrichum yang sudah diketahui fase seksualnya yaitu sebagai berikut : Kingdom
: Fungi
Divisi
: Ascomycota
Class
: Hymenoascomycetes
Ordo
: Glomerellales
Family
: Glomerellaceae
Genus
: Glomerella
Spesies
: Glomerella spp. (Webster dan Weber 2007).
Jamur dari genus Colletotrichum masuk dalam kelas Deuteromycetes apabila jamur tersebut dalam fase anamorfik (bentuk aseksual), sedangkan pada saat jamur tersebut telah diketahui fase telemorfiknya (bentuk seksual), maka masuk dalam kelas Ascomycetes yang dikenal dengan jamur Genus Glomerella (Alexopoulos et al. 1996). Menurut Affandi (2005), cendawan C. gloeosporioides menimbulkan gejala warna coklat pada kulit buah. Warna coklat ini timbul karena cendawan tersebut menghasilkan enzim selulose yang dapat menghidrolisis selulosa kulit buah, 4
5 sehingga kulit buah menjadi terdisintegrasi dan lunak serta berubah warna menjadi coklat. Noda coklat lama-kelamaan meluas dan warnanya makin gelap dan akhirnya busuk. Gejala antraknosa mudah dikenali dengan gejala awal pada buah cabai berupa bercak kecil dan berair. Ukuran luka tersebut dapat mencapai 3 – 4 cm pada buah cabai yang berukuran besar. Pada saat sudah parah, penyakit ini akan sangat merusak, dapat menyebabkan nekrosis dan bercak pada daun, cabang atau ranting. Penyebab penyakit memencar melalui percikan air dan jarak pemencaran akan lebih jauh jika disertai adanya hembusan angin. Penyakit antarknosa telah menyebar luas di daerah-daerah pertanaman cabai yang kondisinya sangat lembab atau daerah dengan curah hujan tinggi (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2012). Cendawan penyebab penyakit antraknosa berkembang dengan sangat pesat bila kelembaban udara cukup tinggi yaitu bila lebih dari 80 % dengan suhu 320 C. Serangan jamur C. capsici pada biji cabai dapat menimbulkan kegagalan berkecambah atau bila telah menjadi kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah, sedangkan pada tanaman dewasa dapat menimbulkan mati pucuk, infeksi lanjut ke bagian lebih bawah yaitu daun dan batang yang menimbulkan busuk kering warna cokelat kehitam-hitaman (Yusuf 2010). Dalam rangka konsep pengendalian penyakit terpadu, penggunaan bahan kimia merupakan alternatif terakhir dan sebagai pelengkap saja. Pengendalian secara biologi lebih diutamakan yaitu melalui pemanfaatan musuh alami atau agen pengendali hayati sebagai komponen utama. Ada banyak cara pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerugian akibat serangan jamur patogen tersebut, diantaranya perbaikan sistem budidaya tanaman, penggunaan bahan tanam yang bebas penyakit, pengendalian dengan fungisida, dan pengendalian secara hayati (Rompas 1997).
6 B. Colletotrichum Jamur C. gloeosporioides memiliki konidium yang berbentuk bulat telur, bersel satu, berukuran 10-15 x 5-7 μm. Konidium berwarna merah muda (seperti warna ikan salmon). Konidiofor berukuran18 x 3 μm. Aservulus dangkal dengan diameter 90-270 μm, memiliki seta yang pendek dan konidiofor yang tegak. Aservulus hanya ada pada jaringan yang terinfeksi. Septa berwarna coklat tua, panjang 60-160 μm, sering bersekat 1 atau 2 dan teratur di tepi aservulus (Semangun 2006). C. gloeosporioides mempunyai hifa bersepta, berwarna hialin yang kemudian berubah menjadi gelap. Konidium berbentuk jorong atau bulat telur pada bagian ujungnya membulat, tidak bersepta dengan warna hialin. Bagian tanaman yang terserang ditandai oleh adanya bercak yang makin lama makin besar dan beberapa bercak sering menjadi satu, sehingga daun menjadi kering seperti terbakar. Serangan pada buah menyebabkan buah menjadi busuk berwarna coklat dan gugur. Serangan pada daun menyebabkan daun menjadi busuk, berwarna coklat (Rosmahani dan Al Budiono 2002). C. gloeosporioides memiliki konidia silinder dengan ujung bulat, warna koloni abu-abu gelap.
Tingkat pertumbuhan koloni rata-rata 13 sampai 14
mm/hari. Isolat C. fragariae mirip dengan C. gloeosporioides. Identifikasi spesies ini cukup sulit, karena variasi karakter morfologi sangat beragam. Isolat Colletotrichum memiliki variasi morfologi konidium, bnetuk dan beragamnya warna koloni (Adaskaveg dan Hartin 1997). Pertumbuhan isolat Colletotrichum memiliki kisaran suhu udara yang berbeda-beda. C. gloeosporioides diketahui dapat berkembang dan menyebar dengan baik pada kisaran suhu 23-250 C. Berbeda dengan C. acutatum yang masih bisa tumbuh optimal pada suhu 350 C. Isolat C. gloeosporioides meskipun hanya memiliki kisaran suhu yang pendek, namun memiliki tingkat pertumbuhan tersepat dibandingkan dengan isolat Colletotrichum yang lain (Grahovac 2012).
7 C. Keragaman Jamur Colletotrichum Berdasarkan Profil Pita RNA Colletrotichum merupakan patogen utama penyebab antraknosa di seluruh dunia. Identitas dari masing-masing spesies Colletotrichum masih perlu diteliti (Hyde et al. 2009). Identifikasi melalui teknik molekuler, salah satunya yaitu melalui isolasi DNA yang telah dilakukan oleh Cai et al. (2009), Crouch et al. (2009), Damm et al. (2009) dapat meningkatkan pemahaman mengenai batas spesies yang sulit dibedakan dan diidentifikasi berdasarkan morfologi. Teknik molekuler juga mampu mengungkapkan hubungan filogenetika masing-masing spesies. C. gloeosporioides yang telah diisolasi dari buah-buahan di Asia yang menunjukkan gejala antraknosa dibandigkan dengan isolat C. gloeosporioides epitype. Data karakter fenotipe dari 25 isolat C. gloeosporioides dibandingan dengan C. gloeosporioides epitype. Berdasarkan karakter fenotipe, isolat tersebut menunjukkan kemiripan, namun setelah dilakukan analisis molekuler, hasilnya bertentangan dengan asumsi sebelumnya yaitu 25 isolat yang diperoleh bukan C. gloeosporioides (Phoulivong et al. 2010). Berdasarkan karakter fenotipe, sebagian besar patogen jamur yang terinfeksi virus tidak menunjukkan kenampakan yang berbeda dengan patogen jamur yang tidak terinfeksi virus. Tahap awal untuk mengetahui adanya virus yang menginfeksi patogen jamur adalah melalui isolasi RNA jamur. Melalui isolasi RNA dapat diketahui
adanya
dsRNA pada
profil
pita
RNA. Keberadaan
dsRNA
mengindikasikan adanya virus yang menginfeksi patogen jamur. Pita dsRNA akan nampak tajam, berbeda dengan mRNA dan tRNA yang terlihat berupa smear (Castilo 2011). Marquez et al. (2007) mengidentifikasi Cryphonectria protabungrata melalui isolasi dsRNA. Berdasarkan data hasil elektroforesis, pada profil pita dsRNA diketahui terdapat virus yang menginfeksi. Virus yang menginfeksi jamur umumnya terdiri dari dsRNA. Tingginya jumlah molekul dsRNA bukan merupakan hal yang
8 normal pada patogen jamur, sehingga hal tersebut menjadi tanda adanya infeksi virus. D. Isolasi RNA Analisis genetika merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan studi baik pada tingkat morfologi, sel, biokimia, maupun molekuler lainya (DNA, RNA) untuk menyelidiki beberapa fenomena genetika. Analisis genetika juga dapat dipakai untuk mengetahui tingkat kekerabatan spesies. Beberapa contoh analisis genetika adalah analisis dengan morfologi, analisis kromosom, analisis isoezym, analisis DNA dan RNA (Yuwono 2006). Informasi yang diperoleh melalui isolasi RNA dapat lebih merepresentasikan aktivitas gen. Melalui isolasi RNA dapat diketahui adanya virus yang menginfeksi inangnya (Rodrı´guez et al. 2008), serta dapat diketahui pula keragaman tingkat virulensi patogen (Sutherland et al. 2013). Mendapatkan RNA berkualitas dan kuantitas tinggi merupakan prasyarat untuk memastikan representasi dari semua gen. Prosedur yang efisien untuk mengisolasi RNA dari tunas, ruas, bunga, dan jaringan buah apel telah dikembangkan. Protokol yang digunakan dalam penelitian Ksenija et al. (2004) tidak melibatkan penggunaan fenol, liofilisasi, atau ultrasentrifugasi. Protokol yang digunakan dapat mengatasi masalah degradasi RNA dan hasil yang rendah dikaitkan oksidasi oleh senyawa polifenol dan kopresipitasi dengan polisakarida, kedua komponen tersebut berlimpah dalam jaringan buah apel. Untuk memperoleh hasil analisis keragaman genetika yang berkualitas tinggi, mendapatkan RNA utuh merupakan hal utama dan paling penting. Untuk itu, dilakukan serangkaian prosedur isolasi RNA sampai tahap pemurnian RNA. Dalam pelaksanaan isolasi RNA, hal yang perlu diperhatikan adalah aktivitas RNAse dan struktur RNA yang utas tunggal. Jumlah RNA lebih banyak daripada jumlah DNA, serta RNA selalu mengikuti segala aktivitas suatu organisme. Kendala lain dalam melakukan isolassi RNA total baik pada organisme eukariotik dan prokariotik adalah kandungan polyphenol, polisakarida dan RNAse yang tinggi. Hal tersebut
9 menyebabkan sulitnya mendapatkan RNA murni, sehingga diperlukan protokol yang tepat dalam isolasi RNA (Prasad dan Kumar 2012). E. Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman Pengendalian hayati pada penyakit tanaman dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu. Perhatian pakar penyakit tumbuhan terhadap metode pengendalian hayati bangkit kembali ketika diadakan simposium internasional pengendalian hayati di Barkley pada tahun 1963. Sekarang ini sudah menjadi pengetahuan bahwa pengendalian hayati akan memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa yang akam datang (Hasanudin 2003). Pengendalian hayati patogen tanaman bisa terjadi melalui berbagai mekanisme. Agens pengendali hayati secara umum memiliki mekanisme penghambatan terhadap patogen melalui antibiotik yang dihasilkannya, kompetisi terhadap nutrisi, atau parasitisme langsung terhadap patogen. APH tidak memberi peluang pada patogen untuk mencapai populasi yang cukup tinggi hingga dapat menyebabkan tingkat keparahan penyakit yang tinggi (Agrios 2005). Pada patogen jamur, beberapa virus dapat menurunkan daya virulensi terhadap inangnya atau manyebabkan hipovirulensi, sehingga dapat dikembangkan menjadi agensia pengendali hayati. Telah banyak mikovirus yang telah dikarakterisasi dengan baik dan telah dilaporkan bahwa isolat tersebut bisa digunakan sebagai agen hayati. Hingga kini ada lebih dari 10 sistem hipovirulensi yang telah dikaji yang meliputi lebih dari 8 spesies jamur dan 10 spesies virus (Supyani 2009). Figueiredo et al. (2012) menyatakan bahwa penyakit pada suatu tanaman yang disebabkan oleh patogen jamur dapat dikendalikan oleh isolat hipovirulen dari jamur yang jenisnya sama. Beberapa mikovirus menjanjikan besar untuk dijadikan sebagai agen hayati yang dapat mengendalikan penyakit, misalnya virus yang menginfeksi Cryphonectria parasitica telah berhasil digunakan untuk mengontrol
10 hawar kastanye di Eropa (Yu et al. 2013). Demikian juga, dua mikovirus lainya yaitu Rosellinia necatrix mega binavirus 1 dan strain hipovirulen dari Sclerotina sclerotium yang terbukti memiliki potensi untuk mengendalikan penyakit akibat patogen jamur (Chiba et al. 2009). Hambatan untuk menggunakan mikovirus sebagai agen biokontrol adalah ketidakcocokan vegetatif, yang mencegah transmisi mikovirus dari strain hipovirulen untuk strain sasaran (Choi et al. 2012).