4 BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. INFARK MIOKARD

Download Definisi, Klasifikasi dan Faktor Risiko Infark Miokard Akut. Infark miokard akut dengan ST-segmen elevasi adalah salah satu bentuk dari PJK...

0 downloads 383 Views 701KB Size
BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Infark Miokard Akut 1.a. Definisi, Klasifikasi dan Faktor Risiko Infark Miokard Akut Infark miokard akut dengan ST-segmen elevasi adalah salah satu bentuk dari PJK yang didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis dimana didapatkan gejala yang khas dari iskemia miokard yang dikaitkan dengan perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG) berupa ST-segmen elevasi dan adanya peningkatan nilai biomarker dari miokard yang nekrosis (O'Gara et al., 2013). Diagnosa ST Elevasi tanpa adanya hipertrofi ventrikel kiri atau Left Bundle Branch Block (LBBB) telah dijabarkan pada panduan klinis European Society of Cardiology/ American Heart Association (ESC/AHA) tahun 2012 sebagai elevasi dari ST segmen dihitung dari titik J pada setidaknya 2 sadapan yang bersebelahan ≥2 mm (0.2 mV) pada laki-laki atau ≥1.5 mm (0.15 mV) pada wanita di sadapan V2-V3 dan atau ≥1 mm (0.1 mV) di sadapan lain di dada atau sadapan ekstremitas (Thygesen et al., 2012). Infark miokard akut berkaitan dengan berbagai kondisi klinis. ESC/AHA tahun 2012 mengklasifikasikan infark miokard akut sebagai:  Tipe 1 : Infark Miokard spontan  Tipe 2 : Infark Miokard sekunder karena ketidakseimbangan iskemi  Tipe 3 : Infark Miokard yang menyebabkan kematian sebelum kadar biomarker diketahui.  Tipe 4a: Infark Miokard yang berhubungan dengan tindakan intervensi koroner perkutan (IKP)

4

 Tipe 4b : Infark Miokard yang berhubungan dengan trombosis stent  Tipe 5

: Infark Miokard yang berhubungan dengan operasi pintas koroner

Infark miokard akut dapat terjadi karena beberapa faktor risiko. Faktor risiko yang paling penting antara lain merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, menopause dan faktor risiko lain (Steg et al., 2012).

1.b. Epidemiologi Di Amerika, kurang lebih 683.000 pasien menderita SKA pada tahun 2009 (Rhee et al., 2011). Di Indonesia, penyakit jantung koroner menurut riset kesehatan dasar tahun 2013 memiliki prevalensi 4% - 5 % (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013).

1.c. Patogenesis Infark Miokard Akut Aterosklerosis adalah suatu proses yang mendasari terbentuknya penyempitan pembuluh darah setempat

oleh

plak

aterosklerotik, yang

mengakibatkan terjadinya gangguan aliran darah sehingga terjadi gangguan pengangkutan oksigen serta hasil metabolisme ke otot jantung dengan akibat terjadi-nya iskemia miokard. Proses ini bersifat progresif dalam beberapa tahun. Bila plak ateroma ini menyebabkan penyempitan lebih dari 70%, aliran darah akan terganggu dan menimbukan manifestasi klinis sebagai angina pektoris. Robekan plak aterosklerotik dan ulserasi atau tukak, akan menimbulkan terjadinya manifestasi klinis angina pektoris yang tidak stabil atau infark miokard Aterosklerosis pada dasarnya merupakan gabungan dari 3 komponen penting : 1.

Athrosis yang merupakan akumulasi senyawa yang kaya akan kolesterol yang sering disebut ateroma.

2.

Sclerosis yang merupakan ekspansi jaringan fibrosa.

3.

Inflamasi yang melibatkan aktifitas monosit atau makrofag, limfosit T dan sel mast. Dengan adanya 3 komponen aterosklerosis ini maka anggapan dimana

sebelumnya PJK merupakan penyakit degeneratif yang mau tidak mau akan terjadi dengan sendirinya dengan meningkatnya umur, maka sekarang terdapat pemikiran baru, bahwa PJK merupakan penyakit inflamasi. (Gambar 1)

Gambar 1. Patogenesis Aterosklerosis. (1) LDL ditangkap oleh endothelium. (2) Oksidasi LDL oleh makrofag dan sel otot polos vaskuler. (3) Pelepasan faktor pertumbuhan dan sitokin. (4) Tertariknya monosit. (5) Akumulasi sel lemak. (6) Proliferasi sel otot polos . (7, 8) Terbentuknya Plak (Libby, 2012). 1.d. Respon Intrinsik Terhadap Iskemia Peningkatan berlebihan dari sitokin paska iskemia juga diakibatkan induksi sementara terhadap stress-induced transcription factors. Jalur ini mendorong induksi sitokin yang merupakan pemersatu dari sinyal stres seluler dan peningkatan respon terhadap stimulus seperti hipoksia, radikal bebas, disregulasi osmotik dan jejas membrane (Calabro et al, 2012). Regulator inflamasi lain akibat stress adalah PPAR-γ, yang memiliki peran dalam inflamasi paska iskemia. PPARs berperan sebagai regulator dari proliferasi sel dan respon inflamasi. PPAR-γ diekspresikan di makrofag, sel T, sel endothelial, otot polos pembuluh darah dan sel kardiomiosit. Data-data menunjukan activator PPAR-γ menekan proliferasi sel T dan menghambat produksi sitokin proinflamasi melalui jalur monosit-makrofag. Aktivator PPAR-γ ini menghambat ekspresi gen melalui penghambatan aktivitas transkripsi Plasminogen Activator

Inhibitor-1 (PAI-1) dan NF-κB.

Aktivasi PPAR-γ

berhubungan dengan efek pleiotrofik pada pembuluh darah seperti antioksidan, antiapoptotik, anti inflamasi dan fungsi anti hipertensi (Frangogiannis et al, 2002).

1.e. Biomarker HsCRP pada Inflamasi Akibat SKA Inflamasi merupakan salah satu penyebab plak ateromatosa pecah,

menyebabkan kaskade kejadian yang menyebabkan oklusi arteri koroner. Peningkatan HsCRP pada orang dewasa

sehat dikaitkan dengan peningkatan

risiko

sendiri

kardiovaskular.

HsCRP

itu

memperantarai

kejadian

atherothrombosis. Sensitivitas HsCRP yang mendeteksi tingkat yang lebih rendah <5 mg / L diklasifikasikan dalam risiko rendah, menengah dan tinggi. Individu dengan tingkat resiko menengah dan tinggi akan mendapatkan manfaat yag lebih baik bila dilakukan terapi agresif. Peningkatan HsCRP paska SKA terutama saat nekrosis miokard terjadi menunjukkan tingkat peradangan miokard. Pada suatu penelitian menemukan bahwa pengukuran HsCRP (diambil antara 12 dan 24 jam paska kejadian) memprediksi terjadinya gagal jantung (HR = 2,6; p = 0,04) dan kematian (HR = 2,7; p = 0,02) paska IMA (Weir et al, 2006). Peningkatan puncak HsCRP di fase awal IMA terkait dengan komplikasi mekanik awal, termasuk ruptur jantung, aneurisma ventrikel dan pembentukan trombus. Kadar puncak HsCRP paska IMA pada 2-4 hari, kemudian menurun dari 8 sampai 12 minggu untuk mereda ke tingkat dasar (Velazquez et al, 2004). Menariknya, tingkat HsCRP paska IMA yang tidak memprediksi kejadian infark miokard berulang. Kejadian koroner akut tambahan hanya dapat diprediksi setelah tingkat CRP memiliki surut ke tingkat dasar (setelah sekitar 12 minggu). Salah satu kelemahan HsCRP yaitu pada suatu keadaan disertai inflamasi lainnya (arthritis arthritis, keganasan, vaskulitis) dapat menjadi non spesifik (Cleland et al, 2005). Paska infark Left Ventricle Systolic Dysfunction (LVSD) diketahui sebagai penanda untuk prognosis yang buruk. Kejadian tersebut dikaitkan dengan peningkatan resiko kematian jantung, reinfark dan rehospitalisasi. Setengah dari pasien yang didiagnosa dengan awal paska infark LVSD mengalami CHF. Prevalensi paska infark LVSD berkisar antara 27 - 60 %. IMA merangsang terjadinya respon inflamasi sistemik dengan pelepasan sitokin proinflamasi dan peningkatan sintesis HsCRP (Uehara et al, 2003). Pemicu pelepasan sitokin dan faktor pertumbuhan pada IMA meliputi deformasi mekanik vetrikel kiri, iskemia dengan nekrosis, pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan jalur sitokin itu sendiri (Anzai et al, 1997). Mediator-mediator tersebut mengakibatkan ekspansi nekrosis dan pembentukan skar seperti halnya mestimulasi timbulnya HsCRP. Peningkatan HsCRP dalam plasma pada IMA dimulai pada jam-jam pertama saat gejala timbul, dengan puncak sekitar hari kedua dan kembali ke nilai dasar setelah beberapa minggu. Peningkatan jumlah HsCRP dalam tubuh terkait

dengan peningkatan kematian dalam jangka waktu yang menengah dan panjang (Suleiman et al, 2006).

Gambar 2. Patogenesis CRP (Adukauskiene et al, 2016)

1.f. Angiotensin II dan Inflamasi Angiotensin II (AII) melalui reseptor Angiotensin II subtipe 1 (AT1) berperan sebagai mediator inflamasi melalui beberapa mekanisme. AII menimbulkan efek proinflamasi pada leukosit, sel endotel dan sel otot polos serta menimbulkan stimulus mitogenik pada sel otot polos. Penelitian pada endotel dan sel otot polos menunjukkan bahwa AII menstimulasi penururnan Nicotinamde Adenine Dinucleotide Phosphate Hydrogen (NADPH) Oxidase. NADPH oxidase merupakan kunci utama terbentuknya ROS. Stres oksidatif dapat didefinisikan sebagai peningkatan terbentuknya ROS dan sering terjadi pada aterosklerosis yang meliputi hiperlipidemia, hipertensi dan diabetes mellitus. ROS bersifat sangat reaktif dan cepat sekali dalam mengoksidasi lipid, protein dan asam nukleat, serta dapat juga merusak protein membran sel, sehingga dapat meleburkan membran lipid dan protein, sehingga membrane sel mengeras dan mengeluarkan materi genetik dalam nukleus. Akibatnya, Deoxyribonucleic Acid (DNA) menjadi rentan untuk mutase maupun destruksi. ROS menurunkan bioavaibilitas Nitrit Oxide (NO) dan menyebabkan disfungsi endotel. ROS dimediasi peroksidase lipid merupakan kunci utama awal terjadinya aterosklerosis. Detoksifikasi sangat penting dalam melindungi tubuh dari meluapnya ROS. Oleh karena itu keseimbangan ROS dalam tubuh yang sehat sangat diperlukan. Efek proinflamasi AII diduga memicu stress oksidatif melalui

berbagai mediator. NFkβ dikendalikan oleh status redoks dalam sel. Inflamasi pada tingkat seluler dapat digambarkan sebagai peningkatan NFkB dalam nukleus. Stimulasi A II menyebabkan terjadinya fosforilasi IkB, terlepasnya NFkβ dari IkB dan aktivasi NFkβ dan mengalami translokasi ke dalam nukleus. Akibatnya merangsang terjadinya transkripsi sitokin proinflamasi [TNF-α, Interleukin -1 (IL1) dan Interleukin-6 (IL-6)], molekul adesi (intercellular adhesion molecule (ICAM) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1)), kemokin (Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-1), IL-8 dan Macrophage Inhibiting Factor), Matrix Metalloproteinases (MMP-1 and MMP-9) dan berbagai gen yang mengatur transkripsi, apoptosis dan proliferasi sel. Faktor transkripsi lainnya, activator protein-1 (AP-1), juga diaktivasi oleh AII. (Dandona et al, 2007)

Gambar 3. Efek Proinflamasi Angiotensin II (Dandona et al, 2007)

2. Telmisartan 2.1. Sejarah Telmisartan

digambarkan secara kimiawi [1,1-biphenyl]-2-carboxylic

acid,4-[(1,4-dimethyl-2-propyl[2,6-bi-1H-benziAMIdazol]-1-yl)methyl]-CAS) (Gambar. 4). Obat ini merupakan bentuk aktif, bukan suatu prodrug dan sifat molekulnya kurang stabil (Zou et al, 2009). Telmisartan merupakan suatu ARB yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai terapi pada hipertensi sejak bulan November 1998 dan terbukti lebih efisien dan tahan lama dalam mengontrol tekanan darah dibandingkan obat-obatan lainnya (Singh et al, 2013).

Gambar 4. Struktur Kimia Telmisartan (Zou et al, 2009)

2.2. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Telmisartan merupakan suatu antagonis angiotensin II non peptida aktif secara oral yang berperan pada reseptor subtipe AT1. Obat ini memiliki afinitas tertinggi pada reseptor AT1 dan memiliki afinitas reseptor Angiotensin II subtipe 2 (AT2) yang minimal. Penelitian terbaru menyatakan bahwa telmisartan memiliki sifat agonis PPARγ yang memperlihatkan efek metabolik yang menguntungkan. PPARγ merupakan suatu reseptor yang mengatur transkripsi gen spesifik dan yang mana target gen tersebut termasuk pengaturan metabolisme gula dan lipid seperti halnya suatu respon anti inflamasi. AII dibentuk dari angiotensin I pada suatu reaksi katalisasi oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). AII merupakan agen paling

penting

pada

sistem

renin-angiotensin,

dengan

efek

meliputi

vasokonstriksi, stimulasi sintesis dan pelepasan aldosteron, stimulasi jantung dan

reabsorbsi

natrium

ginjal.

Telmisartan

bekerja

dengan

menghambat

vasokonstriktor dan sekresi efek AII (Verdecchia et al, 2005).

Gambar 5. Fungsi Biologi Angiotensin II (Vito et al, 2011) Telmisartan diserap secara oral dengan konsentrasi plasma puncak diukur pada 0,5-1 jam. Pada plasma konsentrasinya 10 - 25% dari puncak dengan dosis sekali sehari. Bioavailabilitasnya meningkat tergantung dosis bervariasi dari 4258% untuk dosis antara 40-160 mg. Lebih dari 99% dari telmisartan merupakan plasma protein-terikat albumin dan α - 1 glikoprotein. Dari jumlah ini, lebih dari 80% mencerminkan senyawa induk, dengan sisanya menjadi konjugat glukuronida dari telmisartan. Pada dosis oral, hampir semua (> 98%) obat ini diekskresikan tidak berubah dalam feses melalui sistem empedu, dengan ekskresi urin <1%. Klirens dosis oral dipengaruhi oleh usia, dosis, konsumsi alkohol dan gangguan hati, tetapi tidak berpengaruh pada serum kreatinin atau riwayat merokok. Telmisartan tidak dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450 dan karenanya interaksi dengan obat lain jarang terjadi. Ini merupakan suatu keuntungan pada orang tua, yang mana sering menerima beberapa obat sehingga yang meningkatkan risiko untuk interaksi beberapa obat yang merugikan. Pada pasien hipertensi ringan sampai sedang waktu paruhnya 24 jam, lebih panjang dari semua ARB yang beredar saat ini (Cowan et al, 2009).

2.3. Mekanisme aksi

A II merupakan suatu vasokonstriktor yang merangsang sintesis dan pelepasan aldosteron, penghambatan dari efek tersebut mengakibatkan penurunan resistensi vaskuler sistemik. Telmisartan tidak menghambat ACE, reseptor hormon lainnya, maupun kanal ion. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa telmisartan merupakan agonis parsial PPARγ, yang dikenal sebagai target pada obat anti diabetes. Hal ini menunjukkan bahwa telmisartan dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat dan lipid (Cowan et al, 2009).

Gambar 6. Fungsi Biologis Telmisartan (Vito et al, 2011) 3. Valsartan 3.1. Sejarah Valsartan merupakan berasal dari tetrazole nonpeptida yang poten dan aktif secara oral, yang mana menghambat secara selektif reseptor. Valsartan pertama kali ditemukan oleh Novartis dan dijual dengan nama dagang Diovan. Di Amerika Serikat, valsartan terdaftar oleh FDA sebagai terapi hipertensi pada anak yang berusia 6 tahun keatas dan dewasa sejak Desember 2008 (Siddiqui et al, 2011).

Gambar 7. Struktur Kimia Valsartan (Siddiqui et al, 2011)

3.2. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Valsartan bukan merupakan ARB yang istimewa. Obat ini memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor AT1 dibandingkan losartan, tetapi lebih rendah afinitasnya dibandingkan candesartan, telmisartan dan olmesartan. Valsartan memiliki waktu paruh yang pendek dibandingkan telmisartan dan olmesartan, akan tetapi kemampuannya menurunkan tekanan darah dalam 24 jam stabil, oleh sebab itu obat ini dapat diberikan sehari sekali. Valsartan dimetabolisme secara minimal oleh hati (~20%) dan diekskresi sebagian besar dalam bentuk yang tidak berubah. Valsartan tidak menghambat katabolisme yang dimediasi oleh ACE, atau yang berefek terhadapnya, bradikinin, tidak juga mengikat atau menghambat reseptor hormon lainnya atau kanal ion yang diketahui sangat berperan dalam mengendalikan sistem kardiovaskuler (Black et al, 2009).

3.3. Efek Pleotrofik Valsartan Manfaat valsartan pada gagal jantung meliputi menurunkan remodeling ventrikel, memperbaiki left ventricular ejection fraction (LVEF), menurunkan brain natriuretic peptide (BNP) dan aldosteron, memperbaiki pulmonary capillary wedge pressure, cardiac output, dan systemic vascular resistance. Kemampuan pleotrofik dari valsartan inilah yang memberikan banyak manfaat pada pasien gagal jantung. Meskipun sebagian besar data ini diperoleh dari pasien dengan populasi hipertensi akan tetapi masih relevan untuk proteksi kardiovaskuler pada pasien dengan gagal jantung. Valsartan menekan produksi TNFα, IL-6, ROS, Tissue Plasminogen Activator, dan MCP-1. Telmisartan mempunyai kemampuan PPARγ yang signifikan, sedangkan valsartan kurang memiliki efek pleiotrofik ini (Benge et al, 2012).

B. Penelitian Yang Relevan HsCRP merupakan suatu protein yang disintesis oleh hepatosit dibawah pengaruh IL-6 dalam 24–72jam dalam keadaan infeksi dan non infeksi seperti infark miokard. Berdasarkan kemampuan stabilitas jangka panjang, HsCRP yang beredar memungkinkan dilakukan penelitian khususnya pada PJK. Karena karakteristik itulah maka dilakukan beberapa penelitian yang menekankan efek ARB dalam menurunkan HsCRP pada pasien

hipertensi dan diabetes. Penelitian Val-MARC (Valsartan-Managing blood pressure Aggressively and evaluating Reductions in hsCRP) merupakan salah satu penelitian yang penting yang menekankan penurunan tekanan darah dan penurunan HsCRP sekaligus untuk mengetahui antagonis Angiotensin II subtipe 1 Receptor (AT1R) melalui valsartan memiliki kemampuan menurunkan HsCRP. Penelitian ini mencakup 1668 pasien dengan hipertensi tingkat 2 secara acak diberikan valsartan saja (160–320 mg/hari, n = 836) atau valsartan/ hydrochlorothiazide, 160–320 mg/12.5 mg/hari, n = 832) selama rentang waktu 6 minggu. Pada akhir terapi, valsartan dapat menurunkan HsCRP secara signifikan. Pada penelitian VAST (Valsartan/HCTZ versus Amlodipine in STage II hypertensive patients) valsartan/HCT lebih baik dibandingkan amlodipine 10 mg sehari sekali. Pada penelitian Valsartan Heart Failure Trial (ValHeFT), obat ini diketahui dapat menurunkan konsentrasi HsCRP. Efek valsartan dalam menurunkan HsCRP merupakan efek lain selain kemampuan menurunkan tekanan darah dan diperkirakan merupakan suatu efek pleiotrofik yang sangat berperan sebagai efek antiinflamasi (Del Fiorentino et al, 2009). Peningkatan HsCRP mengindikasikan adanya inflamasi sistemik. HsCRP merangsang terbentuknya MCP-1 dan ICAM-1 dan menurunkan endothelial NO synthase. HsCRP meningkatkan ukuran infark miokard pada binatang coba. HsCRP dapat diturunkan dengan terapi ACEI maupun ARB (Dandona et al, 2007). Pada penelitian VALIANT (Valsartan in Acute Myocardial Infarction) dengan populasi pasien LVSD, gagal jantung atau keduanya yang disebabkan oleh IMA dibandingkan efikasi dan keamanannya dengan terapi jangka panjang dengan valsartan, captopril dan kombinasi keduanya pada 14.703 pasien paska IMA dengan resiko tinggi. Penelitian tersebut merupakan multisenter, buta ganda dan acak. Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan mortalitas diantara pasien yang diterapi dengan captopril 50 mg tiga kali sehari, valsartan 160 mg dua kali sehari atau kombinasi valsartan 80 mg dan captopril 50 mg (McMurray et al, 2006). Pada penelitian Italo Porto et al pada tahun 2009 membandingkan 22 pasien yang menggunakan ramipril 5 mg/hari dengan 20 pasien yang menggunakan telmisartan 80 mg/hari pada pasien-pasien dengan SKA selama 20 hari, didapatkan hasil bahwa kadar HsCRP menurun signifikan pada kelompok telmisartan dibandingkan ramipril (p=0.013). Dapat disimpulkan bahwa telmisartan lebih memiliki efek antiinflamasi yang kuat daripada ramipril pada keadaan setelah SKA (Porto et al, 2009).

Tabel 1. Perubahan HsCRP Selama Terapi ARB (Del Fiorentino et al, 2009)

Catatan: C: Candesartan I : Irbesartan L: Losartan O: Olmesartan T: Telmisartan V: Valsartan CHF: Congestive Heart Failure HC : Hypercholesterolemia HT : Hypertension CAD: Coronary Artery Disease T2D : type 2 diabetes T1D : type 1 diabetes NS : normal subjects MS : metabolic syndrome B : baseline P : concurrent placebo Ns : not significant

C. Kerangka Berpikir

Infark Miokard Akut

Pemberian

Pemberian

Valsartan 80 mg

Telmisartan 40 mg Tekanan Darah ↓

Inflamasi ↓

Tekanan Darah ↓

IKK ↓

NFkβ ↓

IL 1β ↓

IL6 ↓

TNF α ↓

Kadar HsCRP ↓

Keterangan : 1.

:

menghambat

4.

: menurunkan

2.

:

mengaktivasi

5.

: meningkatkan

variabel tergantung

6.

: variabel bebas

3.

IKK : Inhibitor of nuclear factor kappa-B kinase

TNF α : Tumor Necrozing Factor α IL1β

: Interleukin 1β

NFkβ: Nuclear Factor kappa β IL 6 : Interleukin 6

Pada pasien yang mengalami infark miokard akut akan terjadi proses inflamasi akut sehingga akan mengaktifkan NF-ĸB, pada akhirnya akan menyebabkan keluarnya

sitokin pro inflamasi, seperti TNFα, IL-1, IL-6. IL-6 akan menstimulasi produksi CRP didalam hepar (Kumar dan Cannon., 2009 ; Loo dan Martin., 1999). Telmisartan diketahui mampu menurunkan kadar penanda inflamasi seperti IL - 6, MMP- 9, MMP - 2 dan PTX3 ( plasma pentathrix - 3 ), suatu penanda inflamasi vaskuler. Obat ini juga diketahui menurunkan ekspresi MCP - 1 dan CC Chemokine Receptor 2 (CCR–2). Hal ini ditemukan untuk menurunkan pelepasan sitokin pro- inflamasi seperti prostaglandin E2 (PGE2), VCAM-1, aktivasi NFkB dan menghambat pembentukan ROS melalui aktivitas PPAR-γ agonis. ROS dan NFkB diketahui sebagai awal proses inflamasi dan meningkatkan transkripsi sitokin pro -inflamasi, molekul adhesi dan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hydrogen (NADPH) oksidase (Dandona et al, 2007). Pada penelitian Dandona et al (2003) menunjukkan bahwa valsartan menurunkan sitokin proinflamasi, TNF α dan IL 6 selain efek penurunan tekanan darah. Pada penelitian Yasunari et al tahun 2004 yang menguji terbentuknya ROS dan CRP antara pemberian valsartan dan amlodipine pada pasien hipertensi dengan LVH, menunjukkan bahwa adanya penurunan ROS yang lebih kuat pada pemberian valsartan dibandingkan amlodipine (Yasunari et al, 2004). Dandona et al paada tahun 2003 mengatakan bahwa valsartan menurunkan terbentuknya ROS dan afinitas ikatan NFkβ pada sel mononuklear secara in vivo (Dandona et al, 2003).

D. Hipotesis Penelitian 1. Terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP pada pemberian telmisartan atau valsartan pada pasien IMA. Pemberian telmisartan lebih baik dalam menurunkan kadar HsCRP dan menurunkan tekanan darah lebih kuat dibanding valsartan pada pasien IMA.