(AGENCY THEORY) TEORI KEAGENAN

Download Obligasi dengan peringkat idBB memiliki kapasitas yang relatif agak lemah ( somewhat weak) dalam pemenuhan kewajiban keuangan jangka panjang...

6 downloads 1008 Views 275KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan (agency theory) membahas tentang adanya hubungan keagenan antara principal dan agen. Perspektif hubungan keagenan menjadi dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance dan earnings management. Hubungan keagenan tercermin antara pihak manajemen (agen) dengan investor (prinsipal). Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori keagenan adalah sebuah kontrak antara manajemen (agen) dengan pemilik (prinsipal). Agar hubungan kontraktual ini dapat berjalan lancar, pemilik akan mendelegasikan otoritas pembuatan keputusan kepada manajer. Perencanaan kontrak yang tepat bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan manajer dan pemilik dalam hal konflik dan kepentingan, hal ini merupakan inti dari teori keagenan. Bentuk

hubungan keagenan menurut

positive accounting theory

(Hendriksen dan Breda, 2001: 228), ada tiga macam bentuk keagenan : 1) Antara pemilik dengan manajemen (bonus plan hypotesis) 2) Antara kreditur dengan manajemen (debt/equity hypotesis) 3) Antara masyarakat dengan manajemen (political cost hypothesis) Ali (dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007), menyatakan bahwa munculnya earnings management dapat dijelaskan dengan teori keagenan. Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (prinsipal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai

10

dengan kontrak (Jensen dan Meckling, 1976). Namun dalam kenyataannya, yang sering terjadi baik manajemen atau manajer perusahaan sering mempunyai tujuan yang berbeda yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama antara pihak prinsipal. Permasalahan yang timbul akibat adanya konflik kepentingan antara para manajer dan pemegang saham disebut dengan agency problem. Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu: 1) Adverse selection, adalah para manajer serta orang-orang dalam lainnya yang pada dasarnya mengetahui lebih banyak keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan para pemegang saham atau pihak luar. Informasi yang mengandung fakta yang akan digunakan pemegang saham untuk mengambil kepeutusan tidak diberikan secara detail oleh manajer. 2) Moral hazard, adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan di luar sepengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau etika tidak layak dilakukan. Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa konflik keagenan disebabkan oleh pembuatan keputusan aktivitas pencairan dana (financing decision) dan pembuatan keputusan bagaimana dana tersebut diinvestasikan. Selain itu, perspektif teori agensi laba sangat rentan terhadap manipulasi oleh manajemen. Informasi laporan keuangan yang disampaikan tepat waktu akan mengurangi asimetri informasi yang berkaitan erat dengan agency theory. Sehingga dalam hubungan keagenan, manajemen diharapkan dalam mengambil

11

kebijakan perusahaan terutama kebijakan keuangan yang menguntungkan pemilik perusahaan. Oleh sebab itu sebagai pengelola, manajemen (agen) berkewajiban memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan terhadap pemilik (prinsipal). Masalah agensi disebabkan karena adanya konflik kepentingan dan asimetri informasi, maka perusahaan harus menanggung biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976), menjelaskan biaya keagenan dalam tiga jenis yaitu: 1) Biaya Monitoring (monitoring cost), merupakan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh agen. 2) Biaya Bonding (bonding cost), merupakan biaya untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertindak merugikan principal, atau dengan kata lain untuk meyakinkan agen, bahwa principal akan memberikan kompensasi jika agen benar-benar melakukan tindakan tersebut. 3) Biaya Kerugian Residual (residual loss), yaitu nilai uang yang ekuivalen dengan pengurangan kemakmuran yang dialami oleh principal akibat perbedaan kepeningan. Untuk meminimalkan agency problem, dapat digunakan kontrak antara agen dan principal. Adanya sistem informasi yang memadai dapat pula digunakan untuk meminimalkan agency problem ini. Dengan adanya kontrak atau perjanjian dan informasi yang memadai ini maka agen akan bertindak sesuai kepentingan principal.

12

2.1.2 Teori Sinyal (Signal Theory) Teori

Sinyal

(Signal

Theory)

menjelaskan

mengapa

perusahaan

mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar (Linandarini, 2010). Asimetri informasi dapat terjadi di antara dua kondisi ekstrem yaitu perbedaan informasi yang kecil sehingga tidak mempengaruhi manajemen, atau perbedaan yang sangat signifikan sehingga dapat berpengaruh terhadap manajemen dan harga saham (Sartono, 1996). Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lainnya yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lainnya (Machfoedz, 1999).

2.1.3 Good Corporate Governance 2.1.3.1 Latar Belakang Munculnya Good Corporate Governance Kehancuran perusahaan besar seperti Enron Corporation pada awal dekade 2000 membuat dunia bisnis terperangah. Perusahaan yang tadinya merupakan pebisnis terkemuka, hancur dalam sekejap setelah diketahui terjadi penghancuran dokumen yang disinyalir untuk menghilangkan jejak setelah adanya pemeriksaan dalam laporan keuangannya, kemudian diketahui diciptakannya beberapa partnership untuk mengalihkan utang-utang Enron, juga terjadi conflict

13

of interest oleh accounting firm, dan yang terakhir terjadi misleading yaitu pada saat-saat terakhir pengumuman bangkrut, pihak manajemen masih memberikan keyakinan kepada para karyawan tentang prospek perusahaan yang baik padahal harga saham Enron merosot ke harga di bawah $1 per lembar (Emirzon, 2007). Hal serupa juga terjadi pada beberapa perusahaan terkemuka lainnya. Sejumlah sumber berkesimpulan penyebab hancurnya perusahaan adalah akibat lemahnya di dalam menerapkan good corporate governance.

2.1.3.2 Definisi Good Corporate Governance Good corporate governance merupakan salah satu strategi dalam membatasi aktivitas manajemen laba dengan memberdayakan korporasi, baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta. Hal ini juga dikemukakan oleh Watts (2003) menyatakan bahwa salah satu cara yang digunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance. Definisi corporate governance dirumuskan oleh Jill dan Aris Solomon (2005), pada bukunya yang berjudul Corporate Governance and Accountability, yaitu corporate governance adalah sistem pengawasan dan keseimbangan baik internal maupun eksternal kepada perusahaan, yang menjamin bahwa perusahaan akan melaksanakan kewajibannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders) dan bertindak dengan tanggung jawab sosial dalam segala bidang dari bisnis perusahaan yang bersangkutan. Definisi Good Corporate Governance yang dirumuskan dalam Task Force Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance Bab II adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai

14

tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.

2.1.3.3 Prinsip Good Corporate Governance Salah satu pilar penting dalam good corporate governance di perbankan adalah komitmen penuh dari seluruh jajaran pengurus bank hingga pegawai yang terendah untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Maka dari itu seluruh karyawan wajib untuk menjunjung tinggi prinsip good corporate governance. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) tahun 2006 mendefinisikan lima prinsip utama penting yang ada dalam corporate governance yaitu : 1) Transparency (Keterbukaan) Transparansi adalah bentuk keterbukaan perusahaan dalam kegiatan mulai dari proses pengambilan keputusan sampai dengan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi materil yang ada di dalam perusahaan. 2) Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas adalah kejelasan sebuah fungsi dan pertanggungjawaban seluruh organ yang ada di dalam perusahaan sehingga dalam pengelolaan kegiatan perusahaan dapat berjalan secara efektif. 3) Responsibility (Pertanggungjawaban) Pertanggungjawaban memberikan kewajiban perusahaan untuk mematuhi semua hukum dan undang-undang, termasuk hukum korporasi.

15

4) Indepedency ( Kemandirian) Kemandirian adalah keadaan dimana perusahaan dalam pengelolaannya di jalankan secara professional tanpa adanya kepentingan dan tekanan dari suatu pihak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang. 5) Fairness (Kewajaran) Kewajaran merupakan suatu bentuk sikap adil dan kesetaraan yang dibentuk untuk memenuhi dan melindungi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian didalam peraturan perundangan yang berlaku. Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance minimal harus diwujudkan dalam: (1) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi. (2) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian internal bank. (3) Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal. (4) Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal. (5) Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar. (6) Rencana strategis Bank. (7) Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank. Konsep di atas tidak jauh berbeda dengan tujuan penerapan good corporate governance dalam perbankan, yaitu menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) sebagai bentuk pelaksanaan dalam mewujudkan perbankan yang sehat (Priambodo dan Supriayatno, 2007).

16

2.1.3.4 Manfaat dan Tujuan Good Corporate Governance GCG

dapat

memberikan

kerangka

acuan

yang

memungkinkan

pengawasan berjalan efektif, sehingga dapat tercipta mekanisme checks and balance di perusahaan. Menurut Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI) ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil dari penerapan GCG yang baik, antara lain: 1) Meningkatkan kinerja perusahaan 2) Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value 3) Mengembalikan kepercayaan investor untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia 4) Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan Shareholders’s value dan deviden. Pelaksanaan Corporate Governance yang baik adalah merupakan langkah penting dalam membangun kepercayaan pasar (market convidence) dan mendorong arus investasi internasional yang lebih stabil, bersifat jangka panjang. Menurut Bassel Committee on Banking Supervision, tujuan dan manfaat good corporate governance antara lain sebagai berikut: 1) Mengurangi agency cost, biaya yang timbul karena penyalahgunaan wewenang, ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah timbulnya suatu masalah. 2) Mengurangi biaya modal yang timbul dari manajemen yang baik, yang mampu meminimalisir resiko.

17

3) Memaksimalkan nilai saham perusahaan, sehingga dapat meningkatkan citra perusahaan dimata publik dalam jangka panjang. 4) Mendorong pengelolaan perbankan secara profesional, transparan, efisien serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian dewan komisaris, direksi dan RUPS. 5) Mendorong dewan komisaris, anggota direksi, pemegang saham dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku. 6) Menjaga Going Concern perusahaan.

2.1.3.5 Penerapan Good Corporate Governance Keberhasilan penerapan GCG juga memiliki prasyarat tersendiri. Ada dua faktor yang memegang peranan, yakni faktor eksternal dan internal. 1) Faktor Eksternal Yang dimaksud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Diantaranya: (1) Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif. (2) Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor

publik / lembaga

pemerintahan yang diharapkan dapat pula melaksanakan good governance dan clean governance yang sebenarnya.

18

(3) Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi standar pelaksanaan GCG yang efektif dan professional. Dengan kata lain semacam brenchmark (acuan) (4) Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini penting karena melalui sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela. (5) Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi GCG terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik dimana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan rating perusahaan dalam implementasi GCG. 2) Faktor Internal Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanan praktek GCG yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor yang dimaksud antara lain: (1) Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan (2) Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG

19

(3) Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah standar GCG (4) Terdapatnya

sistem

audit

(pemeriksaan)

yang

efektif

dalam

perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi. (5) Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu. Berdasarkan Bassle Committee on Banking Supervision, 1999 (dalam Oktapiyani, 2009) menerangkan bahwa setidaknya terdapat tujuh standar yang harus digunakan dalam menerapkan GCG secara efektif pada industri perbankan, antara lain: 1) Bank harus menerapkan sasaran strategis dan serangkaian nilai perusahaan yang dikomunikasikan ke setiap jenjang jabatan pada organisasi. 2) Bank harus menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan pada organisasi. 3) Bank harus memastikan bahwa pengurus bank memiliki kompetensi yang memadai dan integritas yang tinggi. Serta memahami peranannya dalam mengelola bank yang sehat, dan independen terhadap pengaruh pihak eksternal.

20

4) Bank harus memastikan keberadaan pengawasan yang tepat oleh direksi. 5) Bank harus mengoptimalkan efektifitas peranan fungsi auditor eksternal dan satuan kerja audit intern. 6) Bank harus memastikan bahwa kebijakan remunerasi telah konsisten dengan nilai etik, sasaran, strategi, dan lingkungan pengendalian bank. 7) Bank harus menerapkan praktek-praktek transparansi kondisi keuangan dan non keuangan kepada publik.

2.1.3.5 Corporate Governance Perception Index Corporate governance Perception Index (CGPI) merupakan sebuah bentuk penilaian yang dihasilkan dalam bentuk pemeringkatan yang dibuat berdasarkan penerapan good corporate governance pada perusahaan yang ada di Indonesia. Penilaian ini dilakukan melalui sebuah riset yang dibuat untuk menilai penerapan konsep corporate governance yang ada disebuah perusahaan dengan melalui perbaikan yang berkesinambungan dan evaluasi melalui benchmarking. Di Indonesia penelitian CGPI dilaksanakan oleh The Indonesian Insitute For Corporate Governance (IICG) bekerjasama dengan majalah SWA. Program penelitian CGPI ini sudah berlangsung sejak 2001. Dalam pemeringkatan CGPI ini nantinya di setiap akhir tahun akan diberikan suatu bentuk apresiasi penghargaan terhadap inisiatif dari upaya perusahaan dalam mewujudkan bisnis yang sesuai dengan corporate governance melalui CGPI Awards dan penobatan sebagai perusahaan terpercaya yang hasil dari penghargaan ini akan di umumkan di majalah SWA sebagai sajian utama.

21

Perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam CGPI pada tahun 2012 sudah diikuti oleh perusahaan swasta, perusahaan publik, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan perbankan. Untuk menjadi peserta dari CGPI perusahaan dapat mengajukan diri sendiri, sehingga nantinya akan adanya dukungan dari setiap aspek stakeholder perusahaan dalam memenuhi pelaksanaan GCPI, sehingga dengan adanya CGPI mendorong perusahaan untuk melakukan peningkatan praktik corporate governance di lingkungannya. Menurut Corporate Governance Preception Index (2008) alat ukur yang digunakan oleh IICG untuk meneliti CGPI adalah : 1) Komitmen Merupakan sebuah bentuk kesungguhan perusahaan dalam merumuskan inisiatif dan strategi segala kebijakan yang ada di perusahaan dalam penerapan corporate governance. 2) Transparansi Merupakan sebuah bentuk kesungguhan perusahaan dalam menyampaikan berbagai informasi internal perusahaan secara tepat waktu dan akurat. Informasi

yang

disampaikan

mulai

dari

proses,

merumuskan

mengimplementasi dan evaluasi kebijakan perusahaan. 3) Akuntabilitas Merupakan

bentuk

kesungguhan

perusahaan

untuk

mempertanggungjawabkan segala bentuk hasil yang telah dicapai oleh perusahaan, pertanggungjawaban yang dimaksud adalah mulai dari proses perumusahan, implementasi, hasil dan kinerja perusahaan.

22

4) Responsibilitas Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan untuk menjamin akan taatnya perusahaan

pada

peraturan

perundang-undangan,

lingkungan

dan

tanggungjawab terhadap masyarakat. 5) Indepedensi Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan dalam menjamin tidak adanya intervensi yang dapat mempengaruhi perusahaan dalam proses merumuskan, implementasi dan evaluasi hasil strategi dari perusahaan. 6) Keadilan Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan dalam upaya memberikan perlakuan yang setara dan adil kepada pemegang saham termasuk didalamnya mempertimbangkan kepentingan pemegang saham terkait perumusan, impelementasi dan evaluasi hasil. 7) Kompensasi Merupakan

bentuk

kesungguhan

perusahaan

untuk

menggunakan

kemampuan perusahaan sesuai dengan peran, inovasi dan kreatif termasuk dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi hasil. 8) Kepemimpinan Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan untuk menunjukan berbagai macam tipe kepemimpinan yang dapat memberikan arah perubahan yang lebih baik untuk perusahaan termasuk kepemimpinan yang dapat membimbing staff perusahaan dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi hasil.

23

9) Kemampuan bekerjasama Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan untuk membentuk suatu kerjasama agar tercapai tujuan bersama dalam perusahaan secara bermartabat, termasuk dalam membangun kerjasama dalam perumusan, implemenasi dan evaluasi hasil. 10) Penyertaan Visi, Misi dan tata nilai Acuan dan pandangan perusahaan dalam mewujudkan cita-cita untuk memahami pokok-pokok yang terkandung dalam pernyataan visi, misi dan tata kelola perusahaan dalam perumusan, implementasi, dan hasil evaluasi. 11) Moral dan etika Merupakan

suatu

bentuk

kesungguhan

perusahaan

untuk

selalu

menerapkan moral dan etika dalam sebuah kegiatan perusahaan termasuk didalamnya penggunaan moral dan etika mulai dari perumusan, implementasi dan hasil evaluasi. 12) Strategi Merupakan

suatu

bentuk

kesungguhan

perusahaan

untuk

dapat

mengimplementasikan strategi yang telah dibuat sesuai dengan prinsip corporate governance sebagai respon terhadap perubahaan lingkungan perusahaan untuk dapat mempertahankan kinerja perusahaan. Hasil penelitian yang dilakukan untuk menilai CGPI yaitu setelah melakukan penilaian maka IICG akan memberikan penilaian yang dilakukan dengan cara memberikan nilai skor kepada perusahaan peserta, besaran nilai skor ini dibuat berdasarkan acuan yang telah dibuat IICG. Skor ini diambil hasilnya

24

berdasarkan hasil kuisioner penelitian yang diberikan ke perusahaan peserta. Berikut bobot nilai yang digunakan untuk mengukur CGPI. Tabel 2.1 Bobot Penilaian CGPI No Indikator 1 Self Assessment 2 Kelengkapan dokumen 3 Penyusunan makalah dan presentasi 4 Observasi ke perusahaan Sumber : Majalah SWA

Bobot (%) 25 23 17 35

Penilaian proses riset dalam penentuan nilai penerapan corporate governance dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Self Assessment Pada tahap awal ini perusahaan harus mengisi self assessment terkait penerapan corporate governance yang sudah di implementasikan dalam perusahaannya. 2) Kelengkapan dokumen Pada tahap ini perusahaan harus melengkapi dokumen-dokumen terkait pelakasanaan corporate governance di perusahaan. 3) Makalah Pada tahap ini perusahaan harus membuat uraian penjelasan terkait penerapan corporate governance di perusahaan yang dibentuk dalam makalah dengan memperhatikan sistematika yang telah ditentukan.

25

4) Observasi Dalam tahap ini peneliti CGPI akan datang langsung ke perusahaan untuk melihat secara pasti penerapan prinsip corporate governance di perusahaan. Perusahaan yang telah melalui tahap terakhir observasi hanya tinggal menunggu proses penilaian yang akan dilakukan oleh tim CGPI berdasarkan hasil penilaian yang telah di dapat dari perusahaan. Nilai CGPI dihitung berdasarkan jumlah nilai akhir yang didapatkan dari setiap proses diatas. Setelah nilai CGPI dari setiap perusahaan keluar maka selanjutnya nilai CGPI perusahaan secara keseluruhan akan dibahas di Forum Panel untuk menentukan pemeringkatan CGPI. Hasil penelitian CGPI akan dijadikan acuan untuk menentukan peringkat perusahaan yang memiliki skor tertinggi sampai terendah. Setelah hasil pemeringkatan perusahaan jadi kemudian hasilnya akan diumumkan pada tahun berikutnya. Hasil pemeringkatan CGPI di golongkan menjadi 3 kategori berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah seperti dalam Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Pemeringkatan CGPI Skor

Level Terpercaya

85-100

Sangat Terpercaya

70-84

Terpercaya

55-69

Cukup Terpercaya

Sumber : Corporate Governance Perception Index

26

2.1.4 Manajemen Laba 2.1.4.1 Pengertian Manajemen Laba Manajemen laba sebagai suatu proses pengambilan langkah yang disengaja dalam batas prinsip akuntansi yang berterima umum baik didalam maupun diluar batas General Accepted Accounting Prinsip (GAAP). Menurut Sugiri (1998) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu: 1) Definisi sempit Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk bermain dengan komponen discretionary accrual dalam menentukan besarnya laba. 2) Definisi luas Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit usaha dimana manajer

bertanggung

jawab,

tanpa

mengakibatkan

peningkatan

(penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut. Pengertian manajemen laba oleh Scoot (2000) adalah sebagai pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer. Scoot mengungkapkan terdapat dua cara untuk memahami manajemen laba. Pertama, sebagai perilaku oportunistik manajemen untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan biaya politik. Kedua, memandang manajemen laba dari perspektif kontrak efisien, dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi

27

kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

2.1.4.2 Faktor-Faktor Manajemen Laba Berdasarkan yang dilakukan oleh Watts dan Zimmerman (1986) secara empiris membuktikan bahwa hubungan prinsipal dan agen sering ditentukan oleh angka akuntansi. Hal ini memacu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan agen tersebut adalah manajemen laba. Faktor-faktor yang diajukan oleh Watt dan Zimmerman adalah: 1) Hipotesis Bonus Plan. Perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. 2) Debt To Equity Hypothesis. Bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatakan pendapatan atau laba. 3) Political Cost Hypothesis Bahwa pada perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan.

28

2.1.4.3 Motivasi Manajemen Laba Scott (2009) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu: 1) Bonus purposes Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini. 2) Political motivation Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan

karena

adanya

tekanan

publik

yang mengakibatkan

pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. 3) Taxation motivation Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan untuk penghematan pajak pendapatan. 4) Pergantian CEO CEO yang mendekati masa pensiuan akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Jika kinerja perusahaan buruk,

mereka

akan

memaksimalkan

diberhentikan.

29

pendapatan

agar

tidak

5) Initial Public Offering (IPO) Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai dasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan. 6) Pentingnya memberi informasi kepada investor Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.

2.1.4.4 Pola Manajemen Laba Menurut Scott (2009) manajemen laba dilakukan dengan pola sebagai berikut : 1) Taking a bath adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba perusahaan pada periode berjalan menjadi sangat ekstrim rendah (bahkan rugi) atau sangat ekstrim tinggi dibandingkan dengan laba pada periode sebelumnya atau sesudahnya. 2) Minimalisasi laba (income minimization) adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya. 3) Maksimisasi laba (income maximization) adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi dari pada laba sesungguhnya.

30

4) Perataan laba (income smoothing) adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periodeperiode tertentu menunjukkan fluktuasi yang normal dalam rangka mencapai kecenderungan atau tingkat laba yang diinginkan.

2.1.4.5 Bentuk Manajemen Laba Bentuk manajemen laba menurut Rachmawati (2008) adalah sebagai berikut: 1) Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Cara manajemen untuk mempengaruhi laba melalui judgement terhadap estimasi akuntansi antara lain: estimasi tingkat piutang tidak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, dan estimasi biaya garansi. 2) Mengubah metode akuntansi Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. 3) Menggeser periode biaya atau pendapatan Beberapa orang menyebut rekayasa jenis ini sebagai manipulasi keputusan operasional (Fischer dan Rosenzweig, 1995). Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian sampai periode akuntansi berikutnya (Daley dan Vigeland, 1993), mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi berikutnya, kerja sama dengan vendor untuk

31

mempercepat atau menunda pengiriman tagihan sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai (Bartov, 1993). Perusahaan yang mencatat persediaan menggunakan asumsi LIFO, juga dapat merekayasa peningkatan laba melalui pengaturan saldo persediaan (Frankel dan Trezervant, 1994).

2.1.5 Definisi Obligasi Obligasi adalah surat utang jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut (Bursa Efek Indonesia). Obligasi menjadi salah satu sumber pendanaan (financing) bagi pemerintah dan perusahaan, yang dapat diperoleh dari pasar modal. Secara sederhana, obligasi merupakan suatu surat berharga yang dikeluarkan oleh penerbit (issuer) kepada investor (bondholder), dimana penerbit akan memberikan suatu imbal hasil (return) berupa kupon yang dibayarkan secara berkala dan nilai pokok (principal) ketika obligasi tersebut mengalami jatuh tempo (Manurung et al., 2009). Fabozzi (2000) mendefinisikan obligasi sebagai suatu instrumen utang yang ditawarkan oleh penerbit (issuer) yang juga disebut debitor atau peminjam (borrower) untuk membayar kembali kepada investor (lender) sejumlah yang dipinjam ditambah bunga selama tahun yang ditentukan. Obligasi berisi kontrak

32

antara pemberi pinjaman (investor) dengan yang diberi pinjaman (issuer) atau pihak yang disebut emiten. Obligasi merupakan suatu instrumen pendapatan tetap (fixed income securities) yang dikeluarkan oleh penerbit (issuer) dengan menjanjikan suatu tingkat pengembalian kepada pemegang obligasi (bondholder) atas dana yang diinvestasikan investor berupa kupon yang dibayarkan secara berkala dan nilai pokok (principal) ketika obligasi tersebut jatuh tempo (Manurung et al., 2009). Obligasi memberikan pendapatan tetap kepada pemiliknya selama jangka waktu berlakunya surat utang tersebut. Hal ini disebabkan pendapatan yang diterima pemilik obligasi (pokok dan bunga) tidak terpengaruh oleh perubahan harga sekuritas utang yang bersangkutan (Setyapurnama dan Norpratiwi, 2006).

2.1.5.1 Peringkat Obligasi Peringkat obligasi merupakan indikator ketepatwaktuan pembayaran pokok dan bunga utang obligasi yang mencerminkan skala risiko dari obligasi yang diperdagangkan (Setyapurnama dan Norpratiwi, 2006). Peringkat obligasi menggambarkan skala risiko dari obligasi yang diperdagangkan. Skala ini menunjukkan seberapa aman suatu obligasi bagi pemodal yang ditunjukan oleh kemampuannya dalam membayar bunga dan pokok pinjaman. Menurut Baker dan Mansi (2001) peringkat obligasi adalah salah satu indikator penting mengenai kualitas kredit perusahaan, sedangkan menurut Galil (2003) peringkat adalah pendapat mengenai creditworthiness dari obligor mengenai sekuritas utang tertentu. Pemeringkatan rating dilakukan untuk memperkirakan kemampuan dari penerbit obligasi untuk membayar bunga dan

33

pokok utang berdasarkan analisis keuangan dan kemampuan membayar kredit. Semakin tinggi tingkat rating, maka hal tersebut menunjukkan tingginya kemampuan penerbit obligasi untuk membayar utangnya (Manurung et al., 2009). Obligasi yang diperdagangkan diperingkat oleh lembaga pemeringkat independen. Di indonesia terdapat dua lembaga pemeringkat obligasi yaitu PT Pefindo (Pemeringkat Efek Indonesia) dan PT Kasnic Credit Rating Indonesia. Kedua lembaga tersebut mempunyai kegiatan menganalisa kekuatan posisi keuangan dari perusahaan penerbit obligasi. Berikut adalah definisi peringkat obligasi yang dikeluarkan oleh PT Pefindo.

Tabel 2.3 Definisi Peringkat Obligasi PT Pefindo Obligasi idAAA merupakan obligasi dengan peringkat paling idAAA

tinggi. Obligor memiliki kapasitas yang superior, yaitu dalam kemampuan memenuhi kewajiban jangka panjangnya jika dibandingkan obligor Indonesia lainnya. Obligasi dengan peringkat

idAA

perbedaan dengan obligasi

idAA

hanya memiliki sedikit

idAAA.

Dalam pemenuhan

kewajiban keuangan jangka panjang, obligor memiliki kapasitas sangat kuat (very strong). Obligasi

idA

idA

mengindikasikan bahwa obligornya memiliki

kapasitas yang kuat (strong) dalam memenuhi kewajiban keuangan jangka panjang dan mudah terkena dampak perubahan ekonomi. Obligor yang memiliki peringkat idBBB memiliki kapasitas

idBBB

yang cukup memadai (adequate) dalam memenuhi kewajiban keuangan jangka panjang, tetapi lebih mudah terpengaruh oleh perubahan kondisi perekonomian.

34

Obligasi dengan peringkat

idBB

memiliki kapasitas yang

relatif agak lemah (somewhat weak) dalam pemenuhan idBB

kewajiban keuangan jangka panjang. Obligor sangat rentan terpengaruh kondisi ekonomi yang tidak menentu dan dapat memperlemah kapasitas pemenuhan kewajiban keuangan. Obligasi

idB

idB

memiliki kapasitas yang lemah (weak), akan

tetapi masih dapat memenuhi kewajiban keuangan jangka panjangnya. Kapasitas obligor

idB

dapat diperlemah oleh

perubahan kondisi bisnis dan perekonomian. Obligasi dengan peringkat idCCC sangat rentan (vulnerable) idCCC

untuk tidak melakukan pembayaran kewajiban keuangan jangka panjang, dan mudah terpengaruh kepada kondisi bisnis dan perekonomian. Obligasi diberikan peringkat idD apabila telah terjadi gagal

idD

bayar (default) dan otomatis diberikan pada saat obligor pertama kali gagal bayar kewajiban finansial jangka panjangnya.

Sumber: www.pefindo.com

Peringkat dari idAA hingga idB dapat dimodifikasi dengan penambahan plus (+) atau minus (-). Tanda plus (+) ataupun minus (-) digunakan untuk menunjukkan kekuatan relatif dari kategori peringkat (www.pefindo.com). Agen pemeringkat berfungsi sebagai perantara informasi dan berperan dalam memperbaiki efisiensi pasar modal dengan meningkatkan transparansi sekuritas, sehingga dapat mengurangi asimetri informasi antara investor dan penerbit obligasi. Jasa ini sangat bernilai bagi investor kecil yang menghadapi tingginya biaya (relatif terhadap investasinya) dalam menilai creditworthiness

35

obligasi. Oleh karena itu agen pemeringkat menyediakan jasa yang lebih efisien (Beaver et al., 2004). Investor

bisa

menentukan

kualitas

dari

suatu

obligasi

dengan

memperhatikan peringkat yang dikeluarkan lembaga-lembaga tersebut. Rating obligasi bisa membantu investor dalam mengukur tingkat risiko dari suatu obligasi. Semakin tinggi rating sebuah obligasi maka semakin aman pula obligasi tersebut. Sebaliknya, semakin rendah peringkatnya, maka semakin tinggi risiko suatu obligasi. Rating atau peringkat, merupakan sebuah pernyataan tentang keadaan penghutang dan kemungkinan apa yang bisa dan akan dilakukan sehubungan utang yang dimiliki, sehingga dapat dikatakan bahwa rating mencoba mengukur risiko default, emiten atau peminjam akan mengalami kondisi tidak mampu memenuhi kewajiban keuangannya. Dengan mengetahui peringkat obligasi investor dapat mengukur risiko/kemungkinan dari penerbit obligasi tidak dapat melakukan pembayaran kupon dan atau pokok obligasi tepat waktu atau yang disebut dengan default risk (Bursa Efek Indonesia).

36

2.1.6 Leverage Struktur keuangan perusahaan memiliki kaitan yang erat dengan informasi keuangan yang akan disampaikan kepada penyedia dana. Struktur ini juga mencakup leverage. Leverage dalam Van Horne (2007) adalah penggunaan biaya tetap dalam usaha untuk meningkatkan profitabilitas. Leverage merupakan pedang bermata dua menurut Van Horne (2007) yang mana jika laba perusahaan dapat diperbesar, maka begitu pula dengan kerugiannya. Dengan kata lain, penggunaan leverage dalam perusahaan bisa saja meningkatkan laba perusahaan, tetapi bila terjadi sesuatu yang tidak sesuai harapan, maka perusahaan dapat mengalami kerugian yang sama dengan persentase laba yang diharapkan, bahkan mungkin saja lebih besar. Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan hutang. Hutang yang digunakan untuk membiayai aktiva berasal dari kreditur, bukan dari pemegang saham maupun investor (Sudarmaji dan Sularto, 2007). Leverage dalam konteks bisnis terdiri atas dua macam yaitu leverage operasional (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage). Van Horne (2007) juga menyatakan bahwa leverage ini menjadi tahapan dalam proses pembesaran laba perusahaan. Sebagai tahap pertama yaitu leverage operasional, yang akan memperbesar pengaruh perubahan dalam penjualan atas perubahan laba operasional. Dalam tahap kedua, manajer keuangan memiliki pilihan untuk menggunakan leverage keuangan agar dapat makin memperbesar pengaruh perubahan apa pun yang dihasilkan dalam laba operasional atas perubahan EPS (Earnings Per Share).

37

Leverage keuangan digunakan dengan harapan dapat meningkatkan pengembalian ke para pemegang saham biasa. Leverage yang menguntungkan (favourable) atau positif terjadi jika perusahaan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dengan menggunakan dana yang didapat dalam bentuk biaya tetap tersebut (dana yang didapat dengan menerbitkan utang bersuku bunga tetap atau saham preferen dengan tingkat dividen yang konstan) daripada biaya pendanaan tetap yang harus dibayar, berapa pun laba yang tersisa setelah pemenuhan biaya pendanaan tetap, akan menjadi milik para pemegang saham biasa. Leverage yang tidak menguntungkan (unfavourable) atau negatif terjadi ketika perusahaan tidak memiliki hasil sebanyak biaya pendanaan tetapnya (Van Horne, 2007).

38

2.2 Rumusan Hipotesis 2.2.1 Pengaruh peringkat obligasi pada manajemen Laba Penelitian Caton et al. (2008) dalam Kartika Sari (2011) menunjukan bahwa issuer melakukan window dressing pada kinerja sebelumnya sampai saat penerbitan. Peningkatan peringkat obligasi merupakan kondisi yang penting dari upaya manajemen laba untuk menyesatkan lembaga pemeringkat dan pasar. Hal ini menunjukan adanya peningkatan pengelolaan laba pada periode setelah penurunan dengan mengelola laba secara agresif terkait informasi yang disoroti. Penelitian Ashbaugh-Skaite et al. (2006) yang menemukan bukti bahwa peringkat obligasi secara signifikan berhubungan terhadap pelaporan laba. Berdasarkan penjelasan di atas yang telah didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang digunakan adalah : H1 : Peringkat obligasi berpengaruh pada manajemen laba

2.2.2 Pengaruh leverage pada manajemen laba Besarnya tingkat hutang perusahaan (leverage) dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Menurut Husnan (2001) menyatakan bahwa leverage yang tinggi yang disebabkan kesalahan manajemen dalam mengelola keuangan perusahaan atau penerapan strategi yang kurang tepat dari pihak manajemen. Mengacu pada hipotesis yang melatarbelakangi tindakan manajemen laba yaitu debt covenanant hypotesis yang menyatakan bahwa jika suatu perusahaan menyimpang perjanjian hutang yang telah dibuat berdasarkan laba akuntansi, maka semakin besar kemungkinan manajemen perusahaan memilih prosedur

39

akuntansi yang menggeser laba akuntansi dari periode mendatang ke periode sekarang (Watt dan Zimmerman,1986). Sweeney (dalam Veronica dan Bachtiar, 2004) manajemen perusahaan melakukan manajemen laba dengan tujuan untuk meningkatkan laba bersih perusahaan sebelum ditemukan pelanggaran perjanjian hutang. Penelitian Astuti (2004) menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap praktik manajemen laba. Hasil Penelitian Indrayani (2009) dan Nurlatifiyanti (2008) leverage tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, Hasil penelitian yang dilakukan Indriani (2010), juga menyatakan bahwa leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Sehingga, berdasarkan penelitian ini leverage berpengaruh negatif pada manajemen laba. Dengan demikian maka hipotesis yang dapat dikembangkan yaitu : H2 : Leverage berpengaruh pada manajemen laba

2.2.3 Pengaruh good corporate governance pada hubungan antara peringkat obligasi dan manajemen laba Penelitian Bhojraj dan Sengupta (2003) dalam Nasarud (2010:21) dikatakan bahwa corporate governance mempunyai hubungan positif dengan peringkat obligasi dan berhubungan negatif dengan yield obligasi. Mekanisme CG dapat mengurangi resiko gagal bayar (default risk) dengan cara mengurangi biaya agensi (agency cost) yaitu dengan memonitor kinerja manajemen dan mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dengan kreditur. Mereka juga menemukan bahwa perusahaan dengan kepemilikan institusional dan komposisi komisaris independen yang besar memiliki peringkat surat utang yang tinggi dan bond yield

40

yang rendah. Adanya GCG dalam hubungan peringkat obligasi dengan manajemen laba membuat manajemen tersebut akan memberikan pengaruh pada manajemen sehingga tingkat rating peringkat obligasi tersebut rendah dengan itu kurangnya kepercayaan dan meminimalkan minat investor kepada perusahaan tersebut. Penelitian yang dilakukan Sunarjanto dan Tulasi (2010) dalam Jelita (2014) penelitian ini memberikan hasil bahwa corporate governance tidak berpengaruh terhadap peringkat obligasi dengan sampel perusahaan consumer goods periode 2007-2009 dengan analisis multiple logistic regression. Berdasarkan penjelasan di atas yang telah didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang digunakan adalah : H3 : Good corporate governance mempengaruhi hubungan antara peringkat obligasi dan manajemen laba. 2.2.4 Pengaruh good corporate governance pada hubungan antara leverage dan manajemen laba Semakin banyaknya hutang maka manajemen harus dapat lebih meyakinkan pihak kreditur bahwa perusahaan tetap dapat mengembalikan pokok pinjaman beserta bunganya. Leverage yang tinggi akan berpengaruh dengan nilai pembiayaan yang juga tinggi dengan maksud untuk mempertahankan kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang, dengan mempertahankan kinerja perusahaan tersebut, diharapkan kreditur juga akan tetap memiliki kepercayaan terhadap manajemen perusahaan (Subhan, 2011). Hal ini menyebabkan perusahaan meminjam dana pada pihak lain sehingga jalannya perusahaan

41

sebagian besar didanai oleh hutang. Kurangnya pengawasan yang menyebabkan leverage yang tinggi, juga akan meningkatkan tindakan oppurtunistic seperti manajemen laba untuk mempertahankan kinerjanya di mata pemegang saham dan publik. Dengan leverage yang tinggi ini menandakan kurangnya tata kelola perusahaan yang baik, untuk itu diperlukan pengendalian tata kelola perusahaan yang disebut good corporate governance. Adanya penerapan GCG ini diharapkan mampu menurunkan tingkat leverage yang tinggi dan meminimalisir adanya tindakan manajemen laba. Penelitian Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara indikator-indikator good corporate governance dengan manajemen laba dan penelitian yang dilakukan oleh Widyaningdyah (2001) menyimpulkan bahwa leverage berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Berdasarkan penjelasan di atas yang telah didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang digunakan adalah : H4 : Good corporate governance mempengaruhi hubungan antara leverage dan manajemen laba.

42