ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM Oleh: Nur Hikmah & Meitha Alfinia
A.
Aliran Ilmu Kalam Menurut Ibnu Khaldun, Ilmu kalam adalah Ilmu berisi tentang
alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunah. Adapun Aliran-aliran ilmu kalam diantaranya: 1.
Khawarij Khawarij Berasal
dari
kata kharaja yang
berarti
“keluar”. Pada
awalnya, Khawarij merupakan aliran atau fraksi politik, kelompok ini terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat Islam, tetapi mereka membentuk suatu ajaran yang kemudian menjadi ciri umat, aliran mereka yaitu ajaran tentang pelaku dosa besar ( murtakib al-kaba‟ir ). Menurut Khawarij, orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim telah melakukan dosa besar. Orang Islam yang melakukan dosa besar, dalam pandangan mereka berarti telah kafir: Kafir setelah memeluk Islam berarti murtad dan orang murtad halal dibunuh berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda ”man badallah dinah faktuluh.
2.
Murji’ah Kelompok Murji‟ah yang dipelopori oleh Ghilam Al-Dimasyqi
berpendapat mereka bersifat netral dan tidak mau mengkafirkan para sahabat yang terlambat dan menyetujui tahkim dalam ajaran aliran ini, orang
islam
yang
melakukan
dosa
besar
tidak
boleh
dihukum
kedudukannya dengan hukum dunia. Mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga, kedudukan mereka ditentukan di akhirat. Dan bagi mereka Iman adalah
1
pengetahuan tentang Allah secara mutlak. Sedangkan kufur adalah ketidaktahuan tentang Tuhan secara mutlak, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
3. Qodariah Qodariah adalah aliran yang memandang bahwa Manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham ini manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Aliran ini disebut Qadariyah karena memandang bahwa manusia memiliki kekuatan ( qudrah ) untuk menentukan perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan perbuatannya. Menurut temuan sementara ajaran ini pertamakali dikenalkan oleh Ma‟bad al-Juhani karena tidak terdapat bukti yang otentik tentang siapa yang pertama kali membentuk ajaran Qadariyah.
4.
Jabariyah Menurut aliran ini manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya mereka hidup dalam keterpaksaan ( jabbar ), karena aliran ini berpendapat sebaliknya bahwa dalam hubungan dengan manusia, tuhan itu maha kuasa. Karena itu, tuhanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia dan yang mewujudkannya. Ajaran ini dipelopori oleh Al-ja‟d bin Dirham.
5.
Muktazilah Muktazilah secara etimologi berasal dari kata a‟tazala yang berarti
mengambil jarak atau memisahkan diri. Secara terminologi adalah aliran teologi Islam yang memberi porsi besar kepada akal atau rasio di dalam membahas persoalan-persoalan ketuhanan. Kelompok ini banyak menggunakan kekuatan akal sehingga diberi gelar “Kaum Rasionalis Islam” dan dikenal dengan nama “Muktazilah” yang didirikan oleh Washil bin Atha. Muncul akibat kontroversi yang terjadi
2
dikalangan Ummat Islam setelah perang saudara antara pihak Ali bin Abi Thalib melawan Zubair dan Thalhah. Ajaran pokok aliran Muktazilah adalah panca ajaran atau Pancasila Muktazilah, yaitu : 1)
Ke-Esaan Tuhan (Al-Tauhid)
2)
Keadilan Tuhan (Al-Adl)
3)
Janji dan ancaman (Al-Wa‟d wa Al-Wa‟id)
4)
Posisi antara 2 tempat (Al-Manzilah bainal Manzilatain)
5)
Amar ma‟ruf nahi munkar (Al-Amr bil Ma‟ruf wa An-Nahy‟an AlMunkar).
6.
Ahlu sunnah wal jama’ah Ahlu sunnah wal jama‟ah terbentuk akibat dari adanya penentangan
terhadap aliran Muktazilah oleh orang Muktazilah itu sendiri, mereka adalah Abu al-Hasan, Ali bin Ismail bin Abi basyar ishak bin Salim bin Ismail bin abdu Allah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amr bin Abi Musa al-Asy‟ari. Imam al-asy‟ari (260-324 H), menurut Abu bakar isma‟il al-Qairawani adalah seorang penganut Muktazilah selama 40 tahun kemudian ia menyatakan keluar dari Muktazilah. Setelah itu ia mengembangkan ajaran yang merupakan volunter terhadap gagasan –gagasan Muktazilah. Ajaran pokok Ahlu sunnah wal jama‟ah tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan Imam al-Asy‟ari. Para pelanjutnya antara lain Imam Abu Manshur al-Maturidi yang kemudian mendirikan aliran Maturidiyyah yang ajarannya lebih dekat dengan muktazilah. Imam al- Maturidi pun memiliki pengikut yaitu al-Bazdawi yang pemikirannya tidak selamanya sejalan dengan gagasan gurunya. Oleh karena itu para ahli menjelaskan bahwa maturidiah terbagi menjadi dua golongan: 1)
Golongan Maturidiah Samarkand, yaitu para pengikut Imam almaturidi.
3
2)
golongan Maturidiah Bukhara,yaitu para pengikut Imam albazdawi yang tampaknya
lebih dekat dengan ajaran al-
asy‟ari.
B.
Aliran-Aliran Fiqih Secara historis, hukum Islam telah menjadi 2 aliran pada zaman
sahabat Nabi Muhammad SAW. Dua aliran tersebut adalah Madrasat AlMadinah dan Madrasat Al-Baghdad/Madrasat Al-Hadits dan Madrasat AlRa‟y. Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di Madinah, aliran Baghdad/kuffah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut. Atas jasa sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah, terbentuklah
Fuqaha
Sab‟ah
yang
juga
mengajarkan
dan
mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat. Diantara Fuqaha sab‟ah adalah Sa‟id bin Al-Musayyab. Salah satu murid Sa‟id bin Al-Musayyab adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri dan diantara murid Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah Imam Malik pendiri aliran Maliki. Ajaran Imam Maliki yang terkenal adalah menjadikan Ijmak dan amal ulama Madinah sebagai Hujjah. Dan di Baghdad terbentuk aliran ra‟yu, di Kuffah adalah Abdullah bin Mas‟ud, salah satu muridnya adalah Al-Aswad bin Yazid Al-Nakha‟I salah satu muridnya adalah Amir bin Syarahil AlSya‟bi dan salah satu muridnya adalah Abu Hanifah yang mendirikan aliran Hanafi. Salah satu ciri fiqih Abu Hanifah adalah sangat ketat dalam penerimaan hadits. Diantara pendapatnya adalah bahwa benda wakaf boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, kecuali wakaf tertentu. Karena ia berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap milik yang mewakafkan. Murid Imam Malik dan Muhammad As-Syaibani (sahabat dan penerus gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi‟I, pendiri aliran hukum yang dikenal dengan Syafi‟iyah atau aliran Al-Syafi‟i.
4
Imam ini sangat terkenal dalam pembahasan perubahan hukum Islam karena pendapatnya ia golongkan menjadi Qoul Qodim dan Qoul Jadid. Salah satu murid Imam Syafi‟i adalah Ahmad bin Hanbal pendiri aliran Hanbaliyah. Di samping itu masih ada aliran zhahiriyah yang didirikan oleh Imam Daud Al-Zhahiri dan aliran Jaririyah yang didirikan oleh Ibnu Jarir Al-Thabari. Dengan demikian, kita telah mengenal sejumlah aliran hukum islam yaitu Madrasah Madinah, Madrasah Kuffah, Aliran Hanafi, Aliran Maliki, Aliran Syafi‟I, Aliran Hanbali, Aliran Zhahiriyah dan Aliran Jaririyah. Tidak dapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran hukum islam karena banyak aliran hukum yang muncul kemudian menghilang karena tidak ada yang mengembangkannya. Thaha Jabir Fayadl Al-Ulwani menjelaskan bahwa mazdhab fiqih islam yang muncul setelah sahabat dan kibar At-Tabi‟in berjumlah 13 aliran, akan tetapi tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar dan metode istinbath hukum yang digunakannya. Berikut pendiri aliran-aliran tersebut : 1)
Abu Sa‟id Al-Hasan bin Yasar Al-Bashri
2)
Abu Hanifah Al-Nu‟man bin Tsabit bin Zuthi
3)
Al-Uza‟i „Abu Amr A‟bd Al-Rahmat bin „Amr bin Muhammad
4)
Sufyan bin Sa‟id bin Masruq Al-Tsauri
5)
Al-Laits bin Sa‟d
6)
Malik bin Anas Al-Bahi
7)
Sufyan bin U‟yainah
8)
Muhammad bin Idris
9)
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
10) Daud bin Ali Al-Ashbahani Al-Baghdad 11) Ishaq bin Rahawaih 12) Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalabi
5
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya beberapa aliran diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanbaliyah, akan tetapi yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah bahwa buku-buku sejarah hukum islam cenderung memunculkan aliran-aliran hukum yang berafiliasi dengan aliran sunni, sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung mengabaikan pendapat khawarij dan syi‟ah dalam bidang hukum islam.
C.
Aliran-Aliran Tasawuf Para
penulis
memperkirakan
ajaran
adanya
tasawuf, unsur-unsur
termasuk ajaran
Harun
Nasution,
non-islam
yang
mempengaruhi ajaran tasawuf. Unsur-unsur yang dianggap berpengaruh pada ajaran tasawuf adalah kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan materi. Pada dasarnya tasawuf merupakan ajaran tentang Al-Zuhd (Zuhud), kemudian ia berkembang dan namanya diubah menjadi tasawuf dan pelakunya disebut shufi. Zahid yang pertama adalah Al-Hasan A-Basir. Dia pernah berdebat dengan Washil bin Atha‟ dalam bidang teologi, ia berpendapat bahwa orang mu‟min tidak akan bahagia sebelum berjumpa dengan Tuhan. Zahid dari kalangan perempuan adalah Rabi‟ah AlAdawiyah dari Basrah, ia menyatakan bahwa ia tidak bisa membenci orang lain, bahkan tidak dapat mencintai Nabi Muhammad SAW, karenya cintanya hanya untuk Allah SWT. Metode tasawuf dibagi menjadi 3 (tiga), Tahalli, adalah pengisian diri untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,Takhalli adalah pengosongan diri sufi, sedangkan Tajalli adalah penyatuan diri dengan Tuhan. Disamping itu, dalam ajaran para sufi dikatakan bahwa Tuhan pun tidak berkehendak untuk menyatu dengan manusia. Suatu keadaan mental yang diperoleh manusia tanpa bias diusahakan disebut Hal-Ahwal. Rabiah merumuskan kedekatannya dengan Tuhan dalam Mahabbah, dengan demikian ada hubungan timbal balik antara sufi dengan Tuhan.
6
D.
Aliran Falsafah
1.
Idealisme Falsafah ini dibentangkan oleh Socrates dan diikuti oleh Plato.
Mengikut Plato, “Saya fikir, oleh itu saya wujud”, segala realiti adalah kebenaran hanya wujud dalam fikiran manusia. Kewujudan objek-objek fizikal di alam ini hanyalah manifestasi yang timbul dalam fikiran manusia. Pendidik beraliran ini sangat pentingkan aspek nilai yang tinggi dalam muzik. Nilai muzik dianggap kekal, justeru hanya muzik yang bermutu sahaja dipelajari oleh pelajar. Malah, perancangan dan pembentukan kurikulum diberi perhatian serta tumpuan yang bersungguhsungguh.
2.
Realisme Falsafah ini dibentangkan oleh Aristotle. Pada pendapat beliau, realiti
yang sebenarnya adalah terletak kepada apa yang dapat dilihat secara fisikal dengan mata, bukannya melalui idea atau pandangan. Secara am, ia tertakluk kepada sesuatu yang jelas dan nyata tetapi bukan kepada sesuatu yang ghaib dan abstrak. Kebanyakkan tokoh falsafah ini bersetuju bahwa persepsi manusia atau akal manusia boleh dianggap sebagai ”cermin” realiti kerana apa yang dilihat merupakan satu realiti yang sebenarnya. Akal manusia hanya boleh melihat dan memahami apa yang terdapat dalam fizikal sahaja. Maka, sistem pemerhatian dan pembuktian secara saintifik boleh dikirakan yang paling sah bagi pengikut-pengikut realisme. Ahli falsafah ini bertentangan dengan falsafah naturalisme bahawa pelajar boleh belajar dengan lebih berkesan dengan kaedah “jumpa sendiri”. Mereka juga menolak pendapat falsafah idealisme bahawa cara yang terbaik untuk menghasilkan sesuatu adalah melalui pemikiran yang rasional.
7
3.
Pragmatisme Ahli-ahli
falsafah
ini
percaya
bahwa
pengalaman
manusia
menggambarkan realiti. Segala yang wujud sentiasa berubah dan tidak tetap atau kekal. Jadi, sesuatu idea harus dipraktikkan dahulu secara objektif untuk mengesahkan kebenaran sesuatu idea.
E.
Aliran Pendidikan Islam
1.
Aliran Religius Konserfatif ( al Muhafid) Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Imam al Ghazali, Ibnu Hajar al
Haitami, Ibnu Sahnun dan Nasirudin at Thusi. Aliran ini cenderung murni keagamaan dan aliran ini memaknai ilmu dengan makna yang sempit. Menurut at Thusi ilmu adalah yang berguna di hari ini dan akan membawa manfaat di akhirat kelak. Bila kita mau mengamalkan apa yang kita dapatkan dan terapkan maka inilah makna ilmu yang sebenarnya.
2.
Aliran Religius Rasional ( ad Diny al ‘Aqlany) Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina,
dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani. Intisari daripada aliran religius rasional adalah tidak hanya mengedepankan agama, tetapi juga ilmu yang lainnya dianggap penting juga. Karena kita hidup di dunia dan akhirat.
3.
Aliran Pragmatis Instrumental Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran
adalah pembawaan manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilm wa al-Ta‟lim Thabi‟iyyun fi al‟Umran alBasyari. (Khaldun, 1979). Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami dari peradaban (al-„Umran) manusia.
8
Ide
tentang
adanya
hubungan
antara
ilmu
dan
peradaban
memunculkan sesuatu ide yang lain yang merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-„Ulum innama Takastsrat Haisu yaksuru al‟Umran wa Ta‟adzaa al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban. Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, Pertama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab. Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Selain aliran-aliran yang telah disebutkan diatas ada beberapa aliran filsafat pendidikan Islan yang ditinjau dari tipologi yaitu, aliran PerenialEsensial Salafi, aliran Perenial Madzhabi, aliran Modernis, aliran PerenialEsensialis Konstektual Falsikatif dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masingmasing mempunyai dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri. Perenial-Esensial Salafi aliran yang bersumber dari al Qur‟an dan asSunah bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai era salaf, serta berwawasan kependidikan Islam yang beriorentasi pada masa silam (era salafi). Perenial-esensialis mazhabi aliran yang bersumber dari al Qur‟an dan
as-Sunah
dan
bersikap
regresif
dan
konservatif
dalam
mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya, mengikuti aliran, pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta
9
berwawasan kependidikan Islam yang tradisional dan beriorentasi pada masa silam. Modernis aliran yang bersumber dari al Qur‟an dan as-Sunah, menekankan perlunya berfikir bebas dan terbuka dengan tetap terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal sebagaimana yang terkandung dalam wahyu Illahi; progressif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan
kebutuhan
lingkungan
atau
zaman;
serta
berwawasan
kependidiksn Islam kontemporer. Perenial-esensialis konstektual –falsikatif aliran yang bersumber dari al Qur‟an dan as-Sunah, menekankan perlunya sikap konserfatif dan regresif terutama dalam konteks pendidikan agama, yang lebih mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasanwawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang ada, wawasan kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan Islam dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada. Rekonstruksi sosial aliran yang bersumber dari al Qur‟an dan asSunah, di samping menekankan sikap progressif dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipasif dalam menghadapi menghadapi perkembangan Iptek, tuntutan perubahan, dan beriorentasi pada masa depan dan menuntut kreatifitas.
10
Referensi: Hanafi, A. 1979. Teologi Islam Ilmu Kalam. Jakarta : Bulan Bintang. Nasution, I.
2011. Ilmu Kalam ditengah perkembangan kepercayaan dan
peradaban manusia. Medan : Duta Azhar. Nasution, H. 1986. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya Jilid II, Jakarta: UI Pers. Hasbullah. 2011. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Nizar,S. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press.
11
AL-QABISI Oleh: Fitri Hardiana & Dadang Esuki
A.
Biografi Singkat Nama lengkap Al-Qabisi adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin
Khalaf Al-Ma„arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisi adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisi, Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia pada
tahun
324
H-935M.
Literatur-literatur
tidak
menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisi bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam. Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan, Ia mulai mempelajari Al-Qur‟an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira‟at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-„Abbas AlIbyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisipernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-„Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid. Al-Qabisi pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus
menuntut
ilmu.
Ia
pernah
menetap
di
bandar-bandar
besar sepertiIskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya. Al-
12
Qabisi mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penunutpenuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang
dari Afrika dan
Andalus.
Murid-muridnya yang terkenal
adalah
AbuImran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar „Atiq Al-Susiy dan lain-lain. Al-Qabisi terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga sastera Arab. Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu„ (merendah diri), wara„ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi). Salah satu karyanya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat monumental adalah
kitab
“Ahwal al-Muta‟allim wa
Ahkam Mu‟allimin
wa
al-
Muta‟allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya. Konsep pemikiran tujuan pendidikannya Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al-Jumbulati, yaitu: 1)
mengembangkan kekuatan akhlak anak.
2)
menumbuhkan rasa cinta agama,
3)
berpegang teguh terhadap ajarannya,
4)
mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni,
5)
anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan Islam al-
Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian dipahami bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan psikomotorik.
13
B.
Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Dalam konsep pendidikan al-qabisy ada beberapa pemikiran atau
pandangan yaitu : 1.
Pendidikan Anak-Anak Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-
anak yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan Negara, oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi. Al-Qabisi tidak menentukan usia tertentu untuk menyekolahkan anak di lembaga al-Kuttab. Oleh karena pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya semenjak mulai anak dapat berbicara fasih yakni pada usia mukallaf yang wajib diajar bersembahyang (menurut hadis Nabi). Rasulullah saw bersabda :” Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan sholat pada waktu usia tujuh tahun dan pukullah mereka pada waktu usia sepuluh tahun.” Dari sabda Nabi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dimulai pertama-tama di rumah. Pendidikan anak di lembaga al-Kuttab hanyalah kelanjutan daripada tugas pendidikan yang wajib ditunaikan oleh kedua orang tua di rumah. Anak-anak yang belajar di kuttab mula-mula diajar menghafal alqur‟an, lalu diajar menulis, dan pada waktu dzuhur mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang, kemudian kembali lagi ke kuttab untuk belajar lagi sampai sore. Metode pengajaran dengan mengerjakan tugas berulang kali demikian disertai dengan hafalan, tolong menolong antara satu dengan yang lain untuk memantapkan hafalan, antara lain dengan menggerakkan tangan untuk menuliskan apa yang dihafal, memfungsikan mata untuk mengamati dan membaca, serta penggunaan daya menghafal dan mengingat, kemudian anak disuruh menunjukkan hasilnya dihadapan
14
guru. Jika anak berbuat kesalahan tulisan atau lalai tidak menghafal atau karena pergi bermain-main, maka guru memberi hukuman kepadanya, metoda ini sangat efektif kita jalankan sebagai metode modern.
2.
Tujuan Pendidikan Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat
menumbuh-kembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni. Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari nafkah.
3.
Kurikulum Lingkungan sosial pada zaman al-Qabisi adalah lingkungan religius
yang bersih, karena tinjauan kurikulum pengajaran dari sudut keagamaan memang sesuai dengan kurikulum yang dituntut oleh para ahli agama, karena ciri khas kurikulum yang baik adalah jika tidak keluar dari tuntutan lingkungan masyarakat. Di antara pendapat Al-Qabisi ialah bahwa agama itu mempersiapkan anak untuk kehidupan yang seba baik, dan baginya kurikulum pendidikan dapat dibagi menjadi dua kategori yakni kurikulum Ijbari (wajib) dan kurikulum ikhtiyari (tidak wajib) sebagai berikut : a)
Kurikulum ijbari (wajib) Kurikulum ini, yang secara harfiah berarti kurikulum yang merupakan keharusan atau wajib bagi setiap anak. Isi dari kurikulumnya adalah mengenai kandungan ayat al-qur‟an, seperti sembahyang dan doa doa. Dan penguasaan terhadap ilmu nahwu dan bahasa arab yang keduannya merupakan persyaratan mutlak untuk memantapkan bacaan al-qur‟an. Kurikulum yang berkenaan dengan bahasa dan baca tulis al-Qur‟an diberikan pada tingkat
15
dasar, yaitu kuttab. Pendapat al-Qabisi tentang pentingnya pelajaran baca tulis dan pemahaman al-Qur‟an dalam hubungannya dengan shalat itu menggambarkan kecenderungannya sebagai seorang ahli fiqh. Mengintegrasikan antara kewajiban mempelajari al-Qur‟an dengan sembahyang dan berdoa berarti telah mengintegrasikan antara aspek berfikir, merasa dan berbuat(beramal).
b)
Kurikulum Ikhtiyari (Tidak Wajib/Pilihan) Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa arab syi‟ir, kisah masyarakat arab, sejarah islam ilmu nahwu dan bahasa arab lengkap, dan keterampilan, ilmu berhitung(sesuai dengan izin orangtua) peserta didik. Al-Qabisi amat selektif dalam memasukkan pelajaran dalam kurikulum yang besifat ikhtiyari yaitu selalu dikaitkan dengan tujuan untuk
mengembangkan
akhlak
mulia
pada
diri
anak
didik,
menumbuhkan rasa cinta kepada agama, berpegang teguh pada ajaran islam serta berprilaku sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni. demikian pentingnya tujuan beragama dalam kurikulum tersebut diatas tampak dipengaruhi oleh situasi masyarakat pada waktu itu yang taat beragama. Menurut Ali al-Jumbulati bahwa kondisi lingkungan hidup social budaya pada masa Al-Qabisi adalah bersifat keagamaan yang mantap.
4.
Metode dan Teknik Pembelajaran Metode dan teknik belajar yang diterapkan al-Qabisi adalah
menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi langkah-langkah penting dalam menghafal adalah didasarkan pada penetapan waktu terbaik yang dapat mendorong meningkatkan kecerdasan akalnya. Waktu istirahat adalah waktu yang amat penting untuk menyegarkan fikiranya. Tahapan metode manghafal al-Alqabasi sesuai dengan hadits nabi, yaitu dimulai
16
dengan menghafal kalimat, memahami isinya dan mengulangnya kembali. Hubungan metode menghafal dengan pendidikan akal adalah dalam menghafal sesuatu tentu kita akan mengingatnya dalam memory kita, kemudian hafalan tersebut sebagai dasar kita untuk berfikir dan melatih akal kita ketika ada pengetahuan baruk masuk ke otak kita.
17
Referensi Abdullah al-amin al=nu‟my. 1995. Kaedah dan teknik pengajaran menurut ibnu khaldun dan al-qabisy. Jakarta.
Al-nu‟mi. Kaedah dan teknik pengajaran.
18
IBNU SINA Oleh : Nuri Wulandari & Liva Yuliani
A.
Biografi Singkat Ibnu Sina bernama lengkap Abū „Alī al-Husayn bin „Abdullāh bin
Sīnā. Ibnu Sina lahir pada 980 M di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia). Orang tuanya adalah seorang pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman. Ia dibesarkan di Bukharaja serta belajar falsafah dan ilmu-ilmu agama Islam. Saat berusia 10 tahun dia banyak mempelajari ilmu agama Islam dan berhasil menghafal Al-Qur'an. Ia dibimbing oleh Abu Abdellah Natili, dalam mempelajari
ilmu
logika
untuk
mempelajari
buku Isagoge dan Prophyry, Eucliddan Al-Magest PtolemusSetelah itu dia juga mendalami ilmu agama dan Metaphysics Plato dan Arsitoteles. Suatu
ketika
dia
mengalami
masalah
saat
belajar
ilmu Metaphysics dari Arisstoteles. Empat Puluh kali dia membacanya sampai hafal setiap kata yang tertulis dalam buku tersebut, namun dia tidak dapat mengerti artinya. Sampai suatu hari setelah dia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie‟ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala ilmu Metaphysics. Setelah berhasil mendalami ilmu-ilmu alam dan ketuhanan, Ibnu Sina merasa tertarik untuk mempelajari ilmu kedokteran. Ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya. Meskipun secara teori dia belum matang, tetapi ia banyak melakukan keberhasilan dalam mengobati orang-orang sakit. Setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk, maka didalam tidurnya Allah memberikan pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapinya. Suatu ketika saat Amir Nuh Bin Nasr sedang menderita sakit keras. Mendengar tentang kehebatan yang dimiliki oleh Ibnu Sina, akhirnya dia
19
diminta datang ke Istana untuk mengobati Amir Nuh Bin Nasr sehingga kesehatannya pulih kembali. Sejak itu, Ibnu Sina menjadi akrab dengan Amir Nuh Bin Nasr yang mempunyai sebuah perpustakaan yang mempunyai koleksi buku yang sangan lengkap di daerah itu. Sehingga membuat Ibnu Sina mendapat akses untuk mengunjungi perpustakaan istana yang terlengkap yaitu Kutub Khana. Berkat perpustakaan tersebut, Ibnu Sina mendapatkan banyak ilmu pengetahuan untuk bahan-bahan penemuannya. Pada suatu hari perpustakaan tersebut terbakar dan orang-orang setempat menuduh Ibnu Sina bahwa dirinya sengaja membakar perpustakaan tersebut, dengan alasan agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu. Ibnu Sina lahir di zaman keemasan Peradaban Islam. Pada zaman tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Teks Yunani dari zaman Plato, sesudahnya hingga zaman Aristoteles secara intensif banyak diterjemahkan dan dikembangkan lebih maju oleh para ilmuwan Islam. Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi. Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi matematika, astronomi, Aljabar, Trigonometri, dan ilmu pengobatan. Pada zaman Dinasti Samayid dibagian timur Persian wilayah Khurasan dan Dinasti Buyid dibagian barat Iran dan Persian memberi suasana yang mendukung bagi perkembangan keilmuan dan budaya. Di zaman Dinasti Samaniyah, Bukhara dan Baghdad menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahun dunia Islam. Saat
berusia
22
tahun,
ayah
Ibnu
Sina
meninggal dunia.
Pemerintahan Samanid menuju keruntuhan. Masalah yang terjadi dalam pemerintahan
tersebut
akhirnya
membuatnya
harus
meninggalkan
Bukhara. Pertama ia pindah ke Gurganj, ia tinggal selama 10 tahun di Gurganj. Kemudia ia pindah dari Gurganj ke Nasa, kemudian pindah lagi
20
ke Baward, dan terus berpindah-pindah tempat untuk mempelajari ilmu baru dan mengamalkannya.
B.
Pemikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan,
menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1)
lmu yang tak kekal
2)
Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai
alat disebut logika.
Ibnu sina juga membagi filsafat dalam 2 bagian, yaitu teori dan praktek, yang keduanya berhubungan dengan agama, di mana dasarnya terdapat dalam syari‟at Tuhan, yang penjelas dan kelengkapannya di peroleh dengan akal manusia. Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1)
Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli.
2)
Ilmu tidak praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota dan ilmu nabi (syariah). Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberikan oleh nabi pada
hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprehensif. Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu Sina telah menguraikan tentang psikologi pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya mengenai hubungan anak dengan tingkatan usia, kemauan dan bakat anak. Dengan mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya, bakat dan kemauan anak maka bimbingan yang di berikan kepada anak akan lebih berhasil. Menurut Ibnu Sina kecendrungan manusia untuk memilih pekerjaan yang berbeda dikarenakan didalam diri manusia terdapat faktor yang tersembunyi yang sukar dipahami / dimengerti dan sulit untuk di ukur kadarnya.
21
Mengenai kebenaran Al-qur‟an Ibnu sina membedakan bagi awam dan intelektual (filsuf). Bagi orang awam kebenaran Al-quran itu merupakan kebenaran harfiah, sementara bagi intelektual bersifat simbolis. Oleh karena itu pendidikan merupakan penerapan disiplin hukum yang hanya berlaku bagi orang awam. Sementara filsafat sebagai alat pemahaman atas kebenaran Al-quran yang simbolis, lebih tinggi dari pendidikan Tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina yaitu harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama
dengan
melakukan
pekerjaan
atau
keahlian yang
dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dimilikinya. Dan untuk mencapai kebahagiaan (sa‟adat) kebahagian dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh dan kebahagian akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat. Kebahagian manusia secara menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya akan mungkin dicapai melalui risalah kenabian. Jadi para nabilah yang membawa manusia mencapai kebahagian secara menyeluruh. Pemikiran dalam hal pendidikan, Ibnu sina juga membagi menjadi berbagai tahapan atau masa-masa.
1.
Tahapan Masa-Masa Menurut Ibnu Sina Pemikiran dalam hal pendidikan, Ibnu sina juga membagi menjadi
berbagai tahapan atau masa-masa.
22
a.
Masa Kanak-Kanak Menurut Ibnu Sina, masa kanak-kanak merupakan saat pembentukan fisik, mental, dan moral. Oleh karena itu terdapat tiga hal yang harus diperhatikan: Pertama, anak-anak harus dijauhkan dari pengaruh kekerasan yang bisa mempengaruhi jiwa dan moralnya. Kedua, untuk perkembangan tubuh dan gerakannya, anak-anak harus dibangunkan dari tidur. Ketiga, anak-anak tak diperbolehkan langsung minum setelah makan, sebab makanan itu akan masuk tanpa dicerna terlebih dahulu. Keempat, perkembangan rasa dan perilaku anak-anak perlu diperhatikan.
b.
Masa Pendidikan Pada masa ini, anak-anak sudah berusia antara 6 hingga 14 tahun. Pada masa ini, anak-anak harus mempelajari prinsip kebudayaan Islam dari Alquran, puisi-puisi Arab, kaligrafi, juga para pemimpin Islam. Menurut Ibnu Sina, pendidikan pada masa ini harus dilakukan dalam kelompok-kelompok, bukan perseorangan. Sehingga siswa tidak merasa bosan serta mereka bisa belajar mengenai arti persahabatan. Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang
memerlukan
bacaan
ayat-ayat
al-qur‟an,
juga
untuk
mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti pelajaran Tfasi Al-Qur‟an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-qur‟an. c.
Masa usia 14 tahun ke atas Pada masa remaja ini, mereka dipersiapkan untuk mempelajari tipe pelajaran tertentu supaya memiliki keahlian khusus. Selain itu, mereka harus mempelajari pelajaran yang sesuai dengan bakat mereka. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk mempelajari dan bekerja di bidang yang tidak mereka inginkan dan mereka pahami. Namun pelajaran dasar harus diberikan kepada mereka.
23
Ibnu Sina menganggap pendidikan pada anak-anak maupun remaja harus diberikan karena pendidikan itu memiliki hubungan yang erat antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Yang paling penting, setiap pelajar harus menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu yang akan mendukung pekerjaannya di masa depan. Ibnu sina mewajibkan kepada pendidik anak-anak, supaya menjauhkan anak-anak dari kelakuan yang keji dan adat-adat kebiasaan yang buruk dengan mempertakuti dan menginginkan, dengan memuji sekali dan memarahi sekali, yaitu selama yang demikian itu mencukupi. Kalau membutuhkan mempergunakan tangan, maka hendaklah pergunakan.
2.
Pandangan Ibnu Sina Tentang Pendidikan Ibnu sina banyak memberikan saham dalam meletakkan dasar-dasar
pendidikan islam, yang amat berharga sekali dan tidak kecil pengaruhnya terhadap pendidikan islam dewasa ini, pandangan ibnu sina terhadap pendidikan (sistem) meliputi sebagai berikut :[4]
a.
Pendidikan Keterampilan untuk Mempersiapkan Anak Mencari Penghidupan Ibnu sina mengintegrasikan antara nilai-nilai idealitas dengan pandangan pragmatis, sebagaimana yang dia katakan : “ jika anak telah
selesai
belajar
Al-Quran
dan
menghapal
dasar-dasar
gramatika, saat itu amatilah apa yang ia inginkan mengenai pekerjaannya, maka arahkanlah ia ke jalan itu. Jika ia menginginkan menulis maka hubungkanlah dengan pelajaran bahasa suratmenyurat, bercakap-cakap dengan orang lain serta berbincangbincang
dengan
matematika,
maka
mereka caranya
dan
sebagainya.
harus
Kalau
mengerjakan
problem
bersamanya,
membimbing dan menulisknnya. Dan jika ia ingin yang lain, maka bawalah ia kesana.”
24
Pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan seperti bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional. Dengan demikian apa yang dikatakan oleh Ibnu sina itu jelas menunjukkan bahwa umat islam sejak dulu telah mengetahui tujuan pendidikan/pengajaran.
Oleh
karena
itu
hendaknya
mereka
mengarahkan pendidikan anak-anak kepada apa yang menjadikan mereka baik, lalu menuangkan pengetahuan mereka ke dalam prinsip-prinsip yang ditetapkan yang bersifat khusus seperti yang dianjurkan oleh pendidikan modern.
b.
Kurikulum tingkat awal untuk meningkatkan mutu pendidikan anak Secara
sederhana
istilah
kurikulum
digunakan
untuk
menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu pendapat Ibnu sina tentang masalah ini sangat terkenal : yaitu “ sebaiknya diawali dengan mengajarkan Al-quranulkarim tapi dengan cara menghindarkan pengajaran yang bersifat memberatkan jasmani dan akal pikirannya. Dalam hal ini Ibnu sina sepakat bahwa, “pada waktu mengajarkan Al-quran anak juga diajarkan diajar huruf-huruf hijaiyah dan beberapa ilmu lainnya, kemudian diperkenalkan syairsyair yang dimulai dari cerita anak-anak. Strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi
oleh
pengalaman
yang
terdapat
dalam
dirinya.
Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu
25
dan keterampialan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan. Berdasarkan uraian diatas Ibnu sina mengemukakan prinsipprinsip pendidikan yaitu : a.
Jangan memulai pengajaran Al-quran kepada anak melainkan setelah anak mencapai tingkat kematangan akal dan jasmaniah yang memungkinkan dapat menerima apa yang diajarkan
b.
Mengintegrasikan antara pengajaran Al-quran dengan huruf hijaiyah, yang memperkuat pandangan pendidikan modern saat ini yaitu dengan metode campuran antara metode analitis dan strukturalitis menulis
dalam (merupakan
mengajar metode
membaca paling
baru
dan dalam
pengajaran bahasa kepada anak-anak saat ini). c.
Kemudian anak diajar agama pada waktu tingkat kematangan yang
mantap
dimana
menurut
adat
kebiasaan
hidup
keagamaan yang benar telah terbuka lebar sampai dapat menyerap ke dalam jiwanya dan mempengaruhi daya indrawi serta perasaannya. d.
Ibnu sina juga memandang penting pelajaran syair sehingga syair itu menjadi sarana pendidikan perasaan. Pelajaran ini dimulai dari mengajarkan syair-syair yang menceritakan anakanak yang glamaour, sebab lebih mudah dihafal dan mudah menceritakannya.
e.
Pengajaran yang diarahkan pada penulisan minat dan bakat pada masing-masing anak didik, sehingga mereka mampu menciptakan kreativitas belajar secara lebih mantap. hal ini sesuai dengan yang dianjurkanoleh kurikulum modern saat ini. Anak harus diajar tentang pengetahuan umum yang bersifat dharuriyah, sehingga terbukalah bakat dan kemampuannya
26
yang pada saat ini memungkinkan anak dapat mengenal kecenderungan-kecenderungannya. f.
Selanjutnya Ibnu sina sangat memperhatikan segi akhlak dalam pendidikan,
yang
menjadi fokus perhatian
dari
seluruh
pemikiran filsafat pendidikan yaitu mendidik anak dengan menumbuhkan kemampuan beragama yang benar. Oleh karena itu pendidikan agama memang merupakan landasan bagi pencapaian tujuan pendidikan akhlak. Jika Ibnu sina sangat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sematamata di sebabkan karena akhlak adalah sumber segalagalanya sehingga salah seorang ahli syair bernama (Ahmad syauqi
bey
)memperkokoh
kedudukan
akhlak
dan
keutamaannya dalam pembangunan bangsa seperti terlukis dalam bait syairnya : ْ اءنْ ُهمُو َذ َه َب ْ َو ِا َن َما األا َم ُم ْاالَ ْخ ََل ُق َما َب ِق َي ت اَ ْخ ََلقُ ُه ْم َذ َهبُوا ِ ت َف “Hanya saja suatu bangsa itu berdiri tegak selama ia masih berakhlak namun jika akhlak mereka telah hilang maka bangsa itupun lenyap juga”.
c.
Komunikasi dengan Para Ilmuwan pada Masanya Abu Ali Ibnu sina berkomunikasi dengan para ilmuwan pada masa
hidupnya, diantaranya dengan ibnu maskawaihi, dan Abu raihan Al-biruni, serta dokter Abu Al-Faraj bin Tabib bin Al-jatsaliq, dan Abu nasril, Iraqi, Abdul Khair bin Al-Khammar. Dari mereka Ibnu sina memperdalam ilmuilmu logika, alam, matematika dan kedokteran, sehingga ia dapat mengungguli guru-gurunya. Di antara ilmu-ilmu yang didalami, ilmu kedokteran yang sangat melelahkannya untuk dipelajari, sampai ia dapat kesalahan-kesalahan dalam berbagai kitab lama. Ia pernah disodori sebuah buku tentang metafisika, karya Al-Farabi. Waktu itu ia mengoreksi dan menolak dalil-dalilnya dan setelah berfikir panjang ia memberi buku itu. Setelah pulang ke rumah kitab itu dipelajari dan terbukalah di hatinya
27
jalan pikiran baru, maka itu merasa gembira dan bersedekah kepada fakirmiskin sebagai tanda syukur kepada Allah. Dari kisah tersebut jelaslah bagi kita bahwa Ibnu sina mempelajari juga kitab-kitab karangan Al-Farabi karena ia sebagai filosof Arab dan guru kedua ( setelah Aristoteles) yang menjelaskan kitab-kitab karangan Aristoteles. Ibnu sina mempunyai metode khusus dalam studinya ia mengatakan : saya study ilmu, dan ketika saya temukan satu masalah yang sulit, saya ulangi-ulangi sampai keseluruhannya, lalu saya bersembahyang, lalu saya tambah daya pikir saya memikirkan keseluruhannya, sampai saya terbuka kepada hal-hal yang belum dapat saya mengerti, lalu saya mendapatkan kemudahan dari yang sulit-sulit itu, saya menekuninya pada malam hari di rumah dengan membacanya, dan ketika saya tidur nyenyak, saya bermimpi tentang problematika-problematika itu menjadi jelas dalam mimpiku itu. Tampaknya, karakter metode yang ditawarkan ini masih tetap relevan dengan tuntutan zaman hingga saat ini. Itu artinya Ibn Sina memang memahami konsep pendidikan baik secara teoritis maupun secara praktis sehingga pemikiran yang ia kemukakan tidak hanya berlaku pada masanya, melainkan jauh melampaui masa tersebut. Sedangkan materinya tetap fleksibel sesuai dengan kebutuhan zaman
28
IBNU KHALDUN Oleh : Cici Pustika Yulianti & Dewi Novita Sari
A.
Biografi Singkat Ibnu Khaldun mempunyai nama lengkap „Abd al-Rahman ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn „Usman ibn Hani ibn al-Khathab ibn Kuraib ibn Ma‟dikarib ibn al-Harish ibn Wail ibn Hujr. Sejarawan yang mempunyai nama kecil „Abd al-Rahman ini biasa dipanggil dengan nama panggilan (kunyah) Abu Zaid, yang diambil dari nama putra sulungnya, Zaid. Ia pun sering disebut dengan nama gelar (laqb) Waliyuddin, sebuah gelar yang diberikan kepadanya sewaktu memangku jabatan Hakim Agung di Mesir. Akan tetapi ia lebih populer dengan panggilan Ibnu Khaldun, yang dinisbatkan kepada nama kakeknya yang kesembilan yaitu Khalid. Ibnu Khaldun lahir tanggal 27 Mei 1331/732H dan wafat pada tanggal 19 Maret 1406/808H. Untuk mempelajari Ibnu Khaldun, perjalanan panjang hidupnya dapat dipetakan dalam 4 fase: Fase pertama, dimulai sejak awal kelahiran, menuntut ilmu sampai terjadinya wabah besar di sebagian wilayah dunia Pada masa ini talenta keulamaannya sangat terlatih. Waktunya habis untuk menghafal Al-Qur‟an beserta tajwid dan qiraatnya. Juga digunakan untuk mendalami berbagai disiplin ilmu agama, termasuk fikih bermadzhab maliki. Fase ini berlangsung sekitar 20 tahun, mulai tahun 732 H sampai 751 H. Fase kedua, berlasung sekitar 15 tahun dimulai tahun 751 H – 776 H. Pada fase ini kehidupannya habis dalam berbagai aktivitas politik. Beliau berhijrah dari satu daerah ke daerah lainnya, seperti Maghrib AlAdna, Al-Ausath, dan Al-Aqsa juga sebagian wilayah Andalusia. Sifat oportunis Ibnu Khaldun muncul pada masa ini. Selain itu, ketajaman analisa politik dan sosiologi pun juga terasah.
29
Fase ketiga, berlangsung sekitar 8 tahun, mulai tahun 776 H – 784 H. Fase ini adalah fase kontemplasi. Setengahnya habis di Qal‟ah Ibnu Salamah, dan setengah selanjutnya dihabiskan di Tunis. Pada masa inilah magnum opus-nya yang berjudul “Kitâb Al-Ibar wa Dîwân Al-Mubtada‟ wa Al-Khabar, fi Ayyâm Al-Arab wa Al-Ajam wa Al-Barbar, Wa Man Âsharahum min dzi Al-Sulthân Al-Akbar ” ditulis. Kitab ini terdiri dari 7 jilid, jilid pertama dari kitab inilah yang disebut sebagai Kitab Mukaddimah Ibnu Khaldun. Fase keempat, adalah masa mengajar dan menjadi Qadhi di Mesir. Masa ini berlangsung selama 24 tahun. Sejak tahun 784 H – akhir 808 H. Sebagai seorang filosof Muslim, pemikiran Ibnu Khaldun sangatlah rasional
dan
banyak
berpegang
kepada
logika.
Hal
ini
sangat
dimungkinkan karena Ibnu Khaldun pernah belajar filsafat pada masa mudanya. Tokoh yang paling dominan mempengaruhi pemikiran filsafat Ibnu Khaldun adalah al-Ghazali ( 1058-1111 M). Lebih dari itu, posisi Ibnu Khaldun sebagai seorang filosof nampaknya mendukung posisinya sebagai seorang ilmuwan. Selain bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang yang rasionalis, ia juga seorang yang empiris. Ibnu Khaldun telah berhasil memadukan antara metode deduksi dengan metode induksi dalam pengetahuan Islam.
B.
Aspek Ontologis Pemikiran Sejarah Kritis Ibnu Khaldun Pembahasan ini ditekankan pada pemikiran ontologis Ibnu Khaldun
tentang sejarah. Aspek ontologis keilmuan biasanya mempermasalahkan apa yang dikaji oleh sebuah ilmu pengetahuan. What is history? Inilah pertanyaan pertama yang dikemukakan Edward Hallet Carr ketika memulai kajiannya tentang sejarah. Pertanyaan ini memang perlu dikemukakan mengingat bahwa sebelum mengkaji
lebih jauh tentang
sejarah, terlebih dahulu hendaknya diketahui apa itu sejarah. Definisi sejarah yang ditawarkan para ahli begitu banyak. Sehingga tidak pernah
30
ada orang yang menghitung dan mengadakan klasifikasi tentangnya, agar ditemukan kesepakatan. Istilah sejarah berasal dari kata Arab “syajarah” yang berarti “pohon”. Pengambilan istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan bahwa “sejarah”
setidaknya
dalam
pandangan
orang
pertama
yang
menggunakan kata ini, menyangkut tentang, antara lain, syajarah al nasab , pohon gencologis yang dalam masa sekarang agaknya bias disebut “sejarah keluarga” (family history). Atau boleh jadi juga karena kata kerja syajara juga punya arti “to happen”, “to occur” dan “to develop”. Tetapi selanjutnya, “sejarah” dipahami mempunyai makna yang sama dengan tarikh (arab), istoria (Yunani), history (Inggris), geschiedenis (Belanda) atau gescichte (Jerman), yangs secara sederhana berarti kejadiankejadian yang menyangkut manusia di masa silam. Dalam hal ini untuk mencari pengertian sejarah menurut Ibnu Khaldun, disini akan dikemukakan beberapa ungkapan Ibnu Khaldun seperti tertera dalam al- Muqaddimah: Pertama: “ Sesungguhnya fann al-tarikh itu termasuk salah satu fann dimana
bangsa-bangsa
dan
generasi-generasi
bergiliran
tangan
mempelajarinya. Dipersiapkan berbagai kendaraan dan banyak perjalanan untuk keperluan sejarah. Pada sisi batinnya sejarah itu mengandung penalaran kritis (nazhar) dan usaha mencari kebenaran (tahqiq); keterangan mendalam tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu; suatu pengetahuan mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi. Oleh karena itu, sejarah berakar dalam dan dipandang sebagai bagian dari hikmah (filsafat)”. Kedua:
“ketahuilah bahwa sesungguhnya fann al-tarikh itu
merupakan fann yang memiliki metode (mazhab) yang berharga, banyak faedahnya dan mulai tujuannya. Fann al-tarikh dapat memberitahukan kepada kita hal-ihwal bangsa-bangsa terdahulu yang terefleksi dalam prilakunya. Fann al-tarikh juga membuat kita paham tentang biografi para nabi, Negara-negara serta kebijakan para raja”.
31
Ketiga: “ ketahuilah bahwa hakikat tarikh adalah berita tentang komunitas manusia (al-ijtima‟ al-insani). Tarikh identik dengan peradaban dunia yang mencakup; perubahan watak peradaban seperti keliaran, keramahatamahan dan solidaritas golongan („ashabiyyah); mencakup pemberontakan sebagian manusia atas sebagian yang lain dan akibat yang ditimbulkannya seperti berdirinya kerajaan dan Negara-negara dengan berbagai tingkatannya; mencakup kegiatan dan kedudukan manusia,
baik
dalam
mencapai
penghidupannya
maupun
ilmu
pengetahuan dan pertukangan. Pada umumnya, tarikh mencakup segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri”. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fann al-tarikh berarti penerapan tentang teori-teori rekaman peristiwa masa lalu melalui metode sejarah. Pengertian ini secara hermeneutis dalam persepektif ilmu sejarah lebih mendekati kepada pengertian historiografi. Fann al-Tarikh dalam pandangan Ibnu Khaldun mengandung dua pemahaman, yaitu luar dan dalam. Sejarah pada sisi luarnya tidak lebih dari sekedar berita tentang masa lalu. Sejarah pada sisi ini hanya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer yang berkaitan dengan “apa, siapa, kapan” dan “dimana” peristiwa itu terjadi. Keempat pertanyaan ini memang merupakan hal pertama yang dipermasalahkan sejarawan untuk menentukan sebuah peristiwa atau event. Dengan hanya menjawab empat pertanyaan ini adalah logis apabila Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa antara kaum terpelajar dan bukan terpelajar memiliki kadar yang sama dalam memahami sejarah pada sisi luarnya. Dalam konteks kekinian, memahami sejarah hanya pada sisi luarnya disebut dengan sejarah naratif (narrative history). Sejarah naratif hanya berusaha melihat fakta historis sebagai suatu rangkaian data yang dapat berbicara atau dengan istilah lain sebagai a story that told.
32
C.
Objek dan Hukum-Hukum sejarah Menurut Ibnu Khaldun Menurut Ibnu Khaldun, tarikh mencakup segala perubahan yang
terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri. Sejarah dalam pandangannya adalah berdimensi makro, yaitu lingkup historis yang luas cakupannya. Hal ini berakar pada pemikirannya yang menyatakan bahwa peradaban umat manusia dan masyarakat umat manusia, serta gejala-gejala dan kondisi-kondisi yang melekat pada hakekat peradaban merupakan fokus ajaran Ibnu Khaldun dalam studi sejarahnya. Ini berarti bahwa unit sejarah dalam pandangan Ibnu Khaldun adalah keseluruhan umat manusia (mankind as whole). Dari pernyataan Ibnu Khaldun dapat dikatakan bahwa sejarah dalam gambaran Ibnu Khaldun itu merupakan suatu proses perubahan secara evolutif suatu dinasti dari peradaban mengembara (badawah) dan hidup dalam kekasaran menjadi peradaban menetap (hadharah) dan hidup dalam kemewahan. Kemudian dinasti itu akan mengalami kehancuran yang mengimplikasikan munculnya dinasti baru. Dinasti baru ini bukanlah seratus persen baru, sebab ia mengambil bentuk sintesa dengan mempertahankan sebagian kebiasaan para pendahulunya. Satu hal yang membuat sebuah dinasti dapat mempertahankan kekuasaannya adalah kekuatan „alshabiyyah, yaitu suatu istilah yang digunakan Ibnu Khaldun untuk menerangkan hakekat dan watak masyarakat dalam kebudayaan primitif. Dengan demikian sejarah itu mengambil bentuk spiral dengan coral dialektis. Ia akan mengalami suatu proses siklus menuju evolusi dan progress,
sehingga
membentuk spiral. Akan
tetapi,
oleh karena
kehancuran sebuah dinasti berarti berdirinya dinasti baru, maka sejarah mengambil corak yang dialektis. Dari ungkapan-ungkapan Ibnu Khaldun dapat dikatakan bahwa segala yang terjadi dalam panggung sejarah itu mengikuti hukum kausalitas (sebab-akibat). Hal ini menandakan bahwa Ibnu Khaldun menolak hukum aksiden dalam sejarah. Hukum aksiden menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dianggap sebagai kenyataan yang
33
terjadi secara kebetulan. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, tidak ada istilah kebetulan dalam peristiwa sejarah. Semuanya terjadi semata-mata karena adanya sebab dan akibat. Selain itu, satu hal yang pasti bagi hukum sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah masalah perubahan (change). Ia berkata: “Dunia dan bangsa-bangsa dengan segala kebiasaan dan sistem kehidupannya tidaklah terus-menerus dalam satu keadaan dan cara yang konstan. Semuanya ditentukan oleh perbedaan-perbedaan menurut harihari dan periode-periode, serta oleh perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lainnya. Individu-individu, waktu-waktu dan kota-kota mengalami perubahan, maka demikian juga daerah-daerah iklim, distrikdistrik, periode-periode dan negara-negara mengalami perubahan, karena memang demikianlah hukum yang ditentukan Allah untuk Makhluk-Nya”. Pernyatan
Ibnu
Khaldun
tersebut
mengandung
arti
bahwa
perubahan bagi sejarah merupakan hukum yang dianggap sebagai suatu keharusan (necessity).
D.
Guna Sejarah Menurut Ibnu Khaldun Apa sebenarnya manfaat atau guna sejarah bagi manusia? Dalam
hal ini Ibnu Khaldun menyatakan bahwa seorang sejarawan “harus membandingkan kesamaan-kesamaan atau membedakan keadaankeadaan antara masa kini dengan masa lampau. Pernyataan ini membuktikan bahwa Ibnu Khaldun memiliki perspektif historis yang dapat digunakan untuk meramalkan masa depan. Perspektif ini oleh Sartono disebut sebagai “equation”, yaitu upaya memahami perkembangan sejarah dengan melihat faktor-faktor sosial yang memiliki persamaan sebagai alat analisa untuk membuat semacam proyeksi ke masa depan.
Pandangan Ibnu Khaldun yang berusaha menganalogkan masa kini dengan masa lampau merupakan pandangan futuristik yang berguna
34
untuk
meramalkan
masa
depan
dengan
melihat
kecenderungan-
kecenderungan yang terjadi. Apabila masa kini dapat dianalogkan dengan masa lampau, maka “sejarah membuat kita mengerti tentang hal-ihwal bangsa-bangsa terdahulu yang terefleksi dalam perilakunya dan membuat kita mengerti tentang biografi (sirah) para nabi, serta kebijakan para raja bagi negaranya. Hal ini membuat sempurna faidah al-iqtida bagi orangorang yang ingin mempraktekkannya dalam kehidupan agama dan dunia. Sejarah dalam pandangan Ibnu Khaldun adalah sebagai cara untuk mengetahui masa lampau. Pengetahuan masa lampau melalui sejarah seperti ini, menurut Kuntowijoyo, merupakan manfaat sejarah yang bersifat intrinsik, artinya sejarah hanya berguna bagi dirinya sendiri. Ibnu Khaldun dalam hal ini tidak menyebutkan guna sejarah secara ekstrinsik. Mekipun demikian, seandainya sejarah tidak ada gunanya secara ekstrinsik, yang berarti tidak ada sumbangannya bagi luar dirinya, maka cukuplah sejarah itu berguna dengan nilai-nilai intrinsiknya.
35
Referensi http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Khaldun
36
AL-GHAZALI Oleh: Lilis Intan Agustina
A.
Biografi Singkat Al-Ghazali Nama asli Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i, lahir pada tahun 1058 M(450 Hijrah) di Bandat Thus, Propinsi Khurasan, Persia (Iran), Thus. Beliau adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan. Gelar Al-Ghazali didapat dari ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai citacita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya. Imam Al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Beliau digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Beliau sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Beliau berjaya mengusai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam Al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Beliau juga sanggup meninggalkan
segala
kemewahan
hidup
untuk
bermusafir
dan
mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau melakukan pengembaraan, beliau telah
37
mempelajari karaya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama sepuluh tahun. Beliau telah mengunjungi tempat-tempat suci yang bertaburan di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Beliau terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Beliau sangat kuat beribadat, wara, zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan. Kemegahan, dan kepuran-puraan dan mencari sesuatu untuk mendapat keridhaan dari Allah SWT. Beliau mempunyai keahlian dalam pelbagai bidang ilmu terutamanya Fiqih, Usul fiqih, dan Siyasah Syariah. Oleh karena itu, beliau disebut sebagai seorang Faqih. Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu Ushuluddin, ilmu Mantiq, Usul Fiqih, Filsafat, dan mempelajari segala pendapat ke empat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu Fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Beliau telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami
38
ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab
Ihya
Ulumuddin
yang
memberi
sumbangan
besar
kepada
masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.
B.
Karya karya buku Al Ghazali
1.
Teologi
2.
a.
Al-Munqidh min adh-Dhalal
b.
Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
c.
Al-Risalah al-Qudsiyyah
d.
Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
e.
Mizan al-Amal
f.
Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah.
Tasawuf a. Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama, merupakan karyanya yang terkenal b. Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan) c. Misykah al-Anwar
3.
Filsafat a. Maqasid al-Falasifah b. Tahafut
al-Falasifah,
buku
ini
membahas
kelemahan-
kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut 4.
Fiqih a.
Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul Logika
b.
Mi`yar al-Ilm
c.
al-Qistas al-Mustaqim
d.
Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq
39
C.
Konsep Pemikiran Al-Ghazali Konsep
pendidikan
Al-Ghazali
dapat
diketahui
dengan
cara
memahami pemikirannya berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, etika guru, dan etika murid, metode. 1.
Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghazali Seorang guru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan dengan
baik, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama:
tercapainya
kesempurnaan
insani
yang
bermuara
pada
pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari pendidikan. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Akan tetapi, di samping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam dengan mengutamakan pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka tidak salah bila sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itu yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di akhirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliau termasuk tujuan pendidikan, mengingat kandungan nilai serta kenikmatan yang diperoleh manusia darinya.
40
2.
Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu
seperanngkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam beberapa sudut pandang. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu: a.
Ilmu tercela yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain dan akan meragukan keberadaan Allah SWT.
b.
Ilmu terpuji misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c.
Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak boleh didalami karena dapat mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu: a.
Ilmu Fardhu (wajib) yang harus diketahui oleh semua orang Muslim, yaitu ilmu Agama.
b.
Ilmu Fardhu Kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : Ilmu Hitung, Kedokteran, Teknik, Ilmu Pertanian dan Industri.
3.
Pendidik menurut Al-Ghazali Dalam suatu proses pendidikan adanya pendidik merupakan suatu
keharusan. Pendidik sangat berjasa dan berperan dalam suatu proses pendidikan dan pembelajaran sehingga Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik diantaranya guru harus cerdas, sempurna akal, dan baik akhlaknya; dengan kesempurnaan akal seorang guru dapat
41
memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam dan dengan akhlak yang baik dia dapat memberi contoh dan teladan bagi muridnya. Menurut Al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar selain harus cerdas dan sempurna akalnya juga baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dengan akhlaknya dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya. Selain sifat-sifat umum di atas pendidik kendaknya juga memiliki sifat-sifat khusus dan tugas-tugas tertentu diantaranya: a.
Sifat kasih sayang.
b.
Mengajar dengan ikhlas dan tidak mengharapkan upah dari muridnya.
c.
Menggunakan bahasa yang halus ketika mengajar.
d.
Mengarahkan murid pada sesuatu yang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan siswa.
e.
Menghargai pendapat dan kemampuan orang lain.
f.
Mengetahui dan menghargai perbedaan potensi yang dimiliki murid.
4.
Peserta Didik Menurut Al-Ghazali Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali
menjelaskan bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam. Ketika menjelaskan makna pendidikan kepada umat, Al-Ghazali membagi manusia menjadi tiga golongan yang sekaligus menunjukkan keharusan menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda pula, yaitu:
42
a.
Kaum awam, yaitu orang yang cara berfikirnya sederhana sekali. Dengan cara berfikir tersebut mereka tidak dapat mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk.
b.
Kaum pilihan, yaitu orang yang akalnya tajam dengan cara berfikir yang mendalam. Kepada kaum pilihan tersebut harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat.
c.
Kaum pendebat (ahl al jidal), harus dihadapi dengan sikap mematahkan argumen-argumen mereka.
Menurut Al-Ghazali, ketika menuntut ilmu peserta didik memiliki tugas dan kewajiban, yaitu: a.
Mendahulukan kesucian jiwa.
b.
Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
c.
Jangan menyombongkan ilmunya apalagi menentang guru.
d.
Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Dengan tugas dan kewajiban tersebut diharapkan seorang peserta didik mampu untuk menyerap ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
5.
Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali Perhatian Al-Ghazali terhadap metode pengajaran lebih dikhususkan
bagi pengajaran pendidikan agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan suatu metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Metode pengajaran menurut Al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua bagian antara pendidikan agama dan pendidikan akhlak. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hapalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterengan-keterangan yang menguatkan akidah.
43
Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin. Sebab dalam tahun-tahun tersebut, seorang anak mempunyai persiapan menerima kepercayaan agama semata-mata dengan mengimankan saja dan tidak dituntut untuk mencari dalilnya. Sementara itu berkaitan dengan pendidikan akhlak, pengajaran harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. AlGhazali mengatakan bahwa akhlak adalah suatu sikap yang mengakar di dalam jiwa yang akan melahirkan berbagai perbuatan baik dengan mudah dan gampang tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Selanjutnya,
prinsip
metodologi
pendidikan
modern
selalu
menunjukan aspek ganda. Suatu aspek menunjukan proses anak belajar dan aspek lainnya menunjukan aspek guru mengajar dan mendidik. a.
Asas-asas metode belajar 1)
Memusatkan perhatian sepenuhnya.
2)
Mengetahui tujuan ilmu pengetahuan yang akan dipelajari.
3)
Mempelajari ilmu pengetahuan dari yang sederhana menuju yang komplek.
4)
Mempelajari
ilmu
pengetahuan
dengan
sistematika
pembahasan. b.
Asas-asas metode mengajar 1)
Memperhatikan tingkat daya pikir anak.
2)
Menerangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya.
3)
Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang konkrit kepada yang abstrak.
4) c.
Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan berangsur-angsur.
Asas metode mendidik 1)
Memberikan latihan-latihan.
2)
Memberikan pengertian dan nasihat-nasihat.
3)
Melindungi anak dari pergaulan yang buruk.
44
D.
Relevansi Pemikiran Al-Ghazali dengan Prosesi Pendidikan Era Modern
1. Tujuan Pendidikan Islam Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: a.
Tercapainya
kesempurnaan
insan
yang
bermuara
pada
pendekatan diri kepada Allah dan, b.
Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat.
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam alGhazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
2. Materi Pendidikan Islam Imam
al-Ghazali
telah
mengklasifikasikan
meteri
(ilmu)
dan
menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik. Jadi
relevansi
pandangan
al-Ghazali
dengan
kebutuhan
pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel
45
umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada. Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
3.
Metode pendidikan Islam Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode
barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karyakaryanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal. Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan
46
Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif. Dengan
demikian
prinsip-prinsip
penggunaan
yang
tepat
sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
47
REFERENSI http://harismasuci.blogspot.co.id/2009/04/biografi-singkat-imam-al-ghazali.html?m=1 http://amadanwar.blogspot.co.id/2012/05/konsep-pendidikan-islam-menurutal.html?m=1 http://tugasekol.blogspot.com/2015/11/relevansi-pemikiran-al-ghazali-dengan-prosesipendidikan-era-modern.html?m=1
48
MUHAMMAD ABDUH Oleh: Esti Wahyuni & Melisa Gusti Ayu
A.
Biografi Muhammad Abduh Muhammad Abduh memiliki nama legkap Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah, ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten AlBuhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah, beliau adalah seorang petani keturunan Turki, sedangkan ibunya adalah keturunan Arab. Masa pendidikan ditempuh Muhammad Abduh di Thanta, sebuah lembaga pendidikan Masjid Ahmadi. Di tempat tersebut ia belajar bahasa Arab, Nahu, Sarf, Fiqih dan sebagainya. Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain adalah metode hapalan diluar kepala tanpa pengertian, sehingga membuat Muhammad Abduh merasa tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan. Rasa kecewa akan apa yang ada di Thanta membuat Muhammad Abduh memutuskan untuk menuntut ilmu di Al-Azhar. Namun kekecewaan kembali ia dapat saat mengetahui bahwa metode yang digunakan sama dengan apa yang digunakan di Thanta. Selain itu, pelajaran yang ia dapat di Al-Azhar hanya seputar agama. Keputusasaan mulai ia rasakan hingga ia bertemu dengan Sayyid Jamaludin Al-.Afghani yang datang ke Mesir pada masa itu.
B.
Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pendidikan Islam Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang menjadi prioritas utama
Muhamad Abduh
berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan
berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat. Tipe pertama adalah sekolah tradisional, sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern yang didirikan pemerintah Mesir oleh para misionaris asing.
Kedua
tipe
lembaga pendidikan
tersebut
tidak
mempunyai hubungan sama sekali dan masing-masing berdiri sendiri.
49
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama
melahirkan
para
ulama
dan
tokoh
masyarakat
yang
mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi. Muhamad Abduh melihat adanya segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran itu. Ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap dipertahankan, maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. Semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tanpa nilai religius merupakan bahaya yang mengancam sendi agama dan moral. Dari sinilah
Muhamad
Abduh melihat perlunya
mengadakan
perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pendidikan tersebut akan saling menopang demi mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus. Langkah yang ditempuh Muhammad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan tersebut adalah upaya menselaraskan dan menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum.
Muhammad
Abduh
mempunyai
beberapa
langkah
untuk
memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
1.
Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhammad Abduh
menetapkan tujuan pendidikan Islam yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikan batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. Pendidikan
akal
ditujukan
sebagai
alat
untuk
menanamkan
kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang
50
buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhammad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, tetapi juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih. Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek
kognitif
(akal)
dan
aspek
afektif
(spritual).
Jadi
adanya
keseimbangan antara akal dan spiritual. Pendidikan akal ditujukan sebagai
alat
untuk
menanamkan
kebiasaan
berfikir
dan
dapat
membedakan yang baik dan yang buruk antara membawa kemaslahatan dan
kemudaratan. Dengan
hal ini,
Muhammad Abduh
berharap
kemandekan berfikir yang melanda umat Islam pada saat itu dapat terkikis. Bagi Muhammad Abduh, perbuatan manusia bertolak dari konklusi bahwa manusia adalah makhluk yang bebas memilih perbuatan. Muhammad Abduh menjelaskan bahwa yang mendukung suatu perbuatan manusia adalah akal, kemauan dan daya. Penggabungan dengan tujuan spiritual (afektif), diharapkan dapat melahirkan generasi baru yang berintelektual tinggi, berpikir kritis, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia dan berjiwa bersih. Sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Menurut
Abduh,
apabila
kedua
aspek
tersebut
dididik
dan
dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan bangkit dan dapat berpacu serta dapat mengimbangi bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya.
2.
Metode Muhammad Abduh Dalam
bidang
pendidikan,
Muhammad
Abduh
cenderung
menggunakan metode yang didasarkan Filsafat Rasionalis. Pengaruh gurunya
(Jamaluddin)
ternyata
cukup
besar
terhadap
metode
51
pembelajaran yang ia terapkan setelah menjadi seorang pendidik. Metode yang digunakan oleh Jamaluddin adalah metode praktis („maliyyah) yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara diskusi. Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu yang umumnya dengan metode hafalan menjadi metode rasional dan pemahaman (insight). Disamping menghafal, siswa juga diharuskan memahami materi yang dijelaskan guru. Muhammad Abduh juga menghidupkan kembali metode munazharah (forum perdebatan umum yang menguji kekuatan teori dan pandangan seseorang) dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid (mengikuti pendapat orang lain) pada masa ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa Al- Azhar. Selain itu ia juga membuat metode yang sistematis dalam menafsirkan Al-Qur‟an yang didasarkan pada lima prinsip: a.
Menyesuaikan peristiwa yang ada pada masanya dengan Nash Al-Qur‟an.
b.
Menjadikan Al-Qur‟an sebagai sebuah kesatuan.
c.
Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat.
d.
Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran.
e.
Tidak melalaikan peristiwa–perisiwa sejarah untuk menafsirkan ayat–ayat yang turun pada waktu itu.
3.
Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam yang Integral Disamping pendidikan akal, Muhammad Abduh juga mementingkan
pendidikan spiritual agar lahir generasi yang mampu berfikir dan punya akhlak yang mulia serta jiwa yang bersih. Tujuan pedidikan yang demikian ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut sebagai berikut
a.
Kurikulum Al-Azhar Karir Muhammad Abduh dimulai setelah ia menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas usaha Perdana Mentri Riadl Pasya,
52
Ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, disamping itu menjadi dosen pula pada Universitas Al-Azhar. Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang terbilang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara baru yang segar pada perguruan-perguruan tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, mengembangkan kesastraan Arab sehingga menjadi bahasa yang kaya dan hidup, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik. Dalam mengajar, Muhammad Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk berpikiran kritis, rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat, serta menjauhi paham fatalisme, karena ketidak kritisan dan fatalisme umat Islam yang menjadi penyebab kemunduran umat, kelemahan umat, absennya jihad umat, absennya kemajuan kultur umat dan tercabutnya umat dari norma-norma dasar pendidikan Islam Ia menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan. Ia memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode menghafal, karena metode demikian hanya akan merusak daya nalar, seperti yang dialaminya ketika belajar di sekolah formasi di Masjid Ahmadi di Thanta. Krisis intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut terjadi pada saat itu. Salah satu penyebab dari krisis tersebut adalah dikarenakan adanya dikotomi Ilmu Pengetahuan pada saat itu, sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural maupun peradaban. Begitupun yang terjadi di Al-Azhar, Muhammad Abduh yakin bahwa apabila pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki, maka kondisi umat Islam akan ikut baik. Menurutnya
perlu diadakan
pembenahan administrasi, kurikulumnya diperluas, mencakup ilmuilmu modern, sehinnga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan
53
universitas-unuversitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslimin. Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas AlAzhar antara lain: a)
Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di Eropa kedalam Al-Azhar.
b)
Mengubah sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
c)
Menghidupkan
metode
munazaroh
(discution)
sebelum
mengarah ke taqlid. d)
Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
e)
b.
Masa belajar diperpanjang dan memperpendek masa liburan.
Sekolah Dasar Negeri Muhammad Abduh berpendapat bahwa agama adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang manusia. Maka dari itu hendaknya mata pelajaran agama diajarkan sedini mungkin pada anak sejak mereka duduk di bangku SD. Mengacu pada statement bahwa agama Islam adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang muslim, diharapkan dengan memiliki jiwa kepribadian seorang muslim, maka masyarakat Mesir akan mempunyai jiwa kebersamaan masyarakat
dan mesir
nasionalisme memperoleh
yang
dapat
kemajuan
mengantarkan
dalam
kehidupan
berbangsa.
54
c.
Sekolah Tingkat Atas Salah satu upaya memperbaiki pendidikan di Mesir adalah dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk mencetak ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Pada jenjang ini, Muhammad Abduh merasa perlu menambahkan materi–materi yang berhubungan dengan agama islam. Dengan adanya materi tentang agama, diharapkan para calon pegawai dan perwira militer memiliki bekal agama dan moral yang baik. Ketiga jenis sekolah yang dibentuk Muhammad Abduh bukan bertujuan menciptakan kelompok sosial secara eksklusif, melainkan memiliki tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat. Prinsip yang diterapkan Muhammad Abduh adalah perlunya mendasari pendidikan dengan moral dan agama. Pengajaran diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, sedangkan pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan suatu perubahan. Diantara konsentrasi pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh juga adalah tentang pendidikan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menerima layanan pendidikan. Wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan maka dari itu perlu diberikan pendidikan. Dalam mengangkat harkat martabat perempuan, munurutnya ada beberapa hal yang harus diperjuangkan pembelajaran untuk perempuan yaitu mempersempit talak, dan pelarangan poligami. Semua pemikiran Muhammad Abduh tentang perempuan tertuang dan dikembangkan dalam Tahrir Al-Mar'ah karya muridnya yaitu Qosim Amin. Dalam bidang pendidikan nonformal, Muhammad Abduh menyebutkan usaha perbaikan (islah), dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah.
55
Pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dipengaruhi oleh faktor situasi keagamaan dan situasi pendidikan yang terjadi pada masa itu. Keadaan social keagamaan di Mesir saat itu cukup memprihatinkan. Krisis yang menimpa umat bukan hanya dalam bidang akidah dan syariah, tapi juga akhlak dan moral. Pemikiran Muhammad Abduh sesuai dengan yang ada pada saat itu. Pembaruan bidang pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh di Al-Azhar ternyata juga berpengaruh besar pada institusi pendidikan yang ada di Mesir, bahkan ide pembaharuannya ditulis dan disebarkan pula melalui majalah terkenal di Mesir, yaitu AlManar dan Al-Urwat Al- Wusqa. Muhammad Abduh berusaha membuat kurikulum yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat mesir pada saat itu. Ia berpendapat bahwa sekolah khusus yang mendidik para ulama hendaknya
diberi
mata
pelajaran
yang
luas,
sehingga
Ia
memasukkan beberapa ilmu tambahan pada kurikuluum Al-Azhar, antara lain Ilmu Filsafat, Logika, dan Ilmu Pengetahuan Modern. Hal ini ia maksud untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, yakni para ulama yang modern. Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.
C.
Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh dengan Pendidikan Nasional Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor
pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
56
terutama
pada
tujuan
pendidikan
Nasional,
yaitu
mencerdaskan
kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa. Sumbangsi
pemikiran
Muhammad
Abduh
tentang
metode
pengajaran relevan dengan pendidikan Indonesia, hal itu dapat dilihat disekolah–sekolah yang tersebar di Indonesia. Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar tidak selalu metode menghapal. Guru berusaha menyajikan metode–metode yang dapat dipahami anak didik dengan mudah, antara lain metode diskusi, kuis, maupun praktek. Jika
dilihat
dari
segi
konsep,
pendidikan
yang
dikeluarkan
Muhammad Abduh menurut penulis merasa kurang relevan dengan keadaan di Indonesia saat ini. Muhammad Abduh ingin menggabungkan antara kecerdasan generasi muda yang tidak lepas dari tuntunan Islam, meski di Indonesia sekarang ini sudah ada beberapa sekolah yang menggunakan pemikiran beliau, namun masih banyak sekolah–sekolah umum yang kurang mementingkan pelajaran agama (terutama Islam). Hal tersebut bisa jadi karena keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk, dimana terdapat bermacam – macam perbedaan, salah satunya adalah masalah agama.
57
MUHAMMAD ATHIYAH AL-ABRASYI Oleh : Nurhasanah & Nur Laini
A.
Biografi Muhammad Athiyah Al-Abrasyi Muhammad Athiyah Al-Abrasyi adalah seorang tokoh pendidikan
yang hidup pada masa pemerintahan pada Abd. Nasser yang memerintah Mesir pada tahun 1954-1970. Beliau adalah satu dari sederetan nama yang tidak boleh dilupakan oleh para cendekiawan Arab dan muslimin. Beliau adalah penulis tentang pendidikan keislaman dan pemikiran, umurnya yang mendekati 85 tahun akan selalu terasa pengaruhnya bagi generasi sesudahnya. Beliau dilahirkan pada awal April tahun 1897 dan wafat pada tangga17 Juli 1981. Beliau memperoleh gelar Diploma dari Universitas Darul Ulum tahun 1921, dan tahun 1924 beliau terbang ke Inggris, disana beliau mempelajari ilmu pendidikan, psikologi, sejarah pendidikan, kesehatan jiwa, bahasa Inggris berikut sastranya. Pada tahun 1927beliau memperoleh gelar sarjana pendidikan dan psikologi dari Universitas Ekstar, dan pada tahun 1930 beliau berhasil menggondol dua gelar sarjana bahasa, masing-masing adalah bahasa Suryani dari Universitas kerajaan di London, dan bahasa Ibrani dari Lembaga Bahasa Timur di London. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi adalah seorang sarjana yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir yang merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam, sekaligus sebagai guru besar pada Fakultas Darul Ulum Cairo Univercity, Cairo. Sebagai guru besar, beliau secara sistematis telah menguraikan pendidikan Islam dari zaman ke zaman serta mengadakan komparasi di bidang pendidikan mengenai prinsip, metode, kurikulum dan sistem pendidikan modern di dunia Barat pada abad ke-20 ini.
58
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi adalah seorang ulama, cendekiawan yang telah mendalami agama Islam dengan baik, menguasai beberapa bahasa asing, seorang psikolog dan pendidik jebolan London, penulis yang produktif dan seorang guru besar. Sebagai salah seorang dari sekian banyak ilmuan muslim yang sangat produktif mencetuskan gagasan dan ide menuju perbaikan dan peningkatan kualitas umat islam pada era sekarang ini dengan menawarkan konsep-konsep dasar bagi pendidikan islam yang merupakan hasil dari sari pati dari nilai ajaran alQur‟an dan al-Hadits yang di galinya Sesuai dengan keahliannya, beliau telah menjelaskan tentang posisi Islam mengenai ilmu, pendidikan dan al-Hadits, serta menjelaskan pula tentang fungsi masjid, institut, lembaga-lembaga, perpustakaan, seminar, dan gedung-gedung pertemuan dalam dunia pendidikan Islam dari zaman keemasannya sampai pada kita sekarang ini Seperti diketahui pada zaman kejayaan Islam, Negeri Mesir dikenal sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan disamping Baghdad, Damaskus, Cordova dan lain-lain. Tetapi kemudian ketika dunia islam mengalami kemunduran, Mesirpun turut merasakannya, lebih-lebih setelah negeri ini berturut-turut dijajah Prancis dan Inggris. Akibatnya Mesir mengalami kemunduran di bidang pemikiran pada umumnya dan pendidikan pada khususnya. Di dorong kenyataan pahit inilah MuhammadAthiyah al-Abrasyi mencoba kembali menggali nilai-nilai dan unsur-unsur pembaharuan yang terpendam dalam khazanah perkembangan pendidikan Islam dimasa jayanya. Ia mencoba mencari titik persamaan dasar pendidikan islam dan pendidikanmodern. Latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilalui beliau merupakan modal dasar bagi beliau untuk berkiprah sebagai salah seorang di antara pembaharu di Mesir dan dunia islam, mengingat umat dan masyarakat yang dihadapinya sedang bangkit dan berkembang ke arah kemajuan.
59
Keberhasilan pendidikan islam dari semula sampai dimasa jayanya menurut beliau dapat dibuktikan dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Kindi, Ibnu Khaldun dan Ibnu Maskawaih. Pendapat Muhammad Athiyah al-Abrasyi tentang pendidikan islam
banyak
dipengaruhi
oleh
dan
dari
rangkuman,
saduran,
pemahaman, dan pemikiran serta pendidik muslim sebelumnya yang di telusurinya dengan baik terutama pemahaman secara filosofis. Beliau cenderung menjadikan Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Khaldun sebagai narasumber.
B.
Prinsip dan Tujuan Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. M. Athiyah Al- Abrasyi
1.
Prinsip Pendidikan a)
Kebebasan dan demokrasi dalam pendidikan Metode pendidikan dan pengajaran dalam rangka pendidikan
Islam sangat banyak terpengaruh oleh prinsip kebebasan dan demokrasi. Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk belajar bagi semua orang. Pintu masjid dan institut terbuka bagi anak didik yang ada dalam masyarakat tanpa adanya perbedaan antara yang kaya dan yang miskin serta tinggi rendahnya kedudukan sosial anak didik dalam masyarakat. Oleh karena itu, didalam Islam tidak ada kelebihan antara orang Arab dengan yang bukan Arab, kecuali ketakwaannya. Maka dari itu, untuk belajar pendidikan Islam, anak didik tidak terikat pada batas umur tertentu, ijazah-ijazah atau nilai-nilai angka dalam ujian atau peraturan khusus untuk penerimaan siswa baru.
b)
Pembicaraan sesuai dengan tingkat intelektual Prinsip ini merupakan prinsip terpenting dalam pendidikan Islam
dan termasuk prinsip terbaru dalam pendidikan modern, Al-Ghazali, 60
sebagaimana
dikutip
oleh
Muhammad
Athiyah
al-Abrasyi
mengutarakan bahwa: “Seorang
pendidik
hendaknya
membatasi
dirinya
dalam
berbicara dengan anak didik sesuai dengan daya pengertiannya, dan jangan diberikan kepadanya sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh akalnya, karena akibatnya ia akan lari dari pelajaran atau akalnya memberontak terhadapnya Di abad modern yang serba canggih sekarang, permasalahan kehidupan semakin rumit dan memerlukan pemecahan yang tepat dan
cepat,
padahal
al-Qur‟an
dan
al-Hadits
tidak
memuat
pemecahan persoalan-persoalan itu secara rinci. Al-Qur‟an hanya bersifat global sedangkan Nabi dan wahyu tidak akan datang lagi. Banyak hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, sekarang muncul dan menuntut pemecahannya seperti nikah via telepon, bayi tabung dan lain sebagainya. Semua itu menuntut pemecahan hukum yang akurat agar umat Islam tidak bingung menghadapinya. Terkait dengan pendidikan, maka seorang pendidik menyajikan kepada anak didik suatu hakekat bila diketahui bahwa anak didik sanggup
memahami
sendiri
hakekat
tersebut,
yaitu
dengan
penetapan setiap anak didik pada tempat yang wajar, harus memilihkan mata pelajaran yang dapat diterimanya agar dengan demikian berbicara dengan anak didik bisa disesuaikan dengan akalnya, gaya yang dimengerti dan dengan bahasa yang serasi.
c)
Pengaruh Pembawaan dan Instink Terhadap Pilihan Setiap orang yang meneliti buku-buku yang ditinggalkan oleh
sarjana-sarjana
Islam,
akan
menyaksikan
pendapat
mereka
mengenai instink dan cara-cara pendidikannya mengenai studi atas kemampuan-kemampuan manusia dan hubungan dengan pendidikan akhlak dan moral. Sarjana muslim itu berkata bahwa dalam diri manusia terdapat: 61
1)
Kemampuan untuk membedakan dan memikirkan
2)
Unsur-unsur kemarahan yang mencakup sifat-sifat marah, membantu kawan, agresif, gila kekuasaan dan penonjolan diri.
3)
Unsur-unsur syahwat (hawa nafsu) yang mencakup nafsu-nafsu mencari makan dan berbagai kelezatan –kelezatan panca indera. Para
intelektual
Islam
telah
lama
menganjurkan
agar
pembawaan, instink, dan seseorang diperhatikan dalam menuntut ke arah
bidang
pekerjaan
yang
dipilihnya
demi
masa
depan
kehidupannya. Dalam hal ini, Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyarankan agar menekankan kemampuan instink anak-anak harus diperhatikan yang merupakan landasan dalam pendidikannya. Tidak semua pekerjaan yang dicitacitakan akan terpenuhi secara keseluruhan, hanya pekerjaan yang sesuai dengan instink dan pembawaannya. Karena itu, kewajiban seorang juru didik bila hendak memilihkan bidang pekerjaan untuk anak harus memilih dahulu dan menguji, sehingga bakatnya bisa terpenuhi sesuai dengan bidangnya. Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi bahwa Islam sangat memperhatikan perbedaan-perbedaan individual antara anak-anak yaitu
perbedaan
yang
timbul
akibat
perbedaan
keturunan,
pembawaan dan bakat dari si kecil. Hal ini terbukti dalam penyelidikan-penyelidikan ilmu jiwa, bahwa pengekangan terhadap kemarahan, penindasan atas hawa nafsu, ataupun penggecetan atas instink seorang anak, akan membahayakan terhadap dirinya. Jalan yang terbaik adalah kita tuntun ia dengan petunjuk-petunjuk, nasehat-nasehat, pendidikan serta daya upaya lainnya sehingga nafsu kemarahan, hawa nafsu atau instinknya yang liar itu dapat dijinakkan dan ditundukkan.
62
d)
Kecintaan terhadap pengetahuan Setiap siswa yang cinta ilmu akan senang sekali belajar dan
menggunakan
seluruh
waktunya
untuk
melakukan
penelitian,
membaca studi memecahkan problematik ilmiah, mencernakan ilmu, bergairah dalam menggali ilmu pengetahuan dan masalah-masalah ilmiah tanpa segan-segan bertekun siang malam mempersiapkan pelajaran mereka buat keesokan harinya. Mereka menyerahkan seluruh kekuatan masa muda dan hidupnya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan cara demikian, dikalangan muslim terdapat ulamaulama dan sarjana kenamaan, ahli fiqih, sastrawan, penyair dan ahli bahasa yang telah menghasilkan karya-karya agung dan berharga dibidang
tafsir,
hadits,
fiqih,
tauhid,
balaghah,
syari‟at
dan
ensiklopedi-ensiklopedi bahasa, yaitu buku-buku yang merupakan referensi yang tidak seorangpun sarjana-sarjana di Timur maupun Barat yang sanggup menandinginy
2.
TujuanPendidikan Islam Muhammad Athiyah al-Abrasyi membagi lima (5) azas yang menjadi
sasaran tujuan pendidikan Islam, antara lain: a)
Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia
b)
Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat
c)
Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan atau tujuan vokasional dan profesional
d)
Menumbuhkan roh ilmiah (scientific sprint) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan peserta didik mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu
e)
Menyiapkan pelajar dari segi professional, tekhnikal, dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu.
63
C.
Karya-karya Muhammad Athiyah Al-Abrasyi Adapun karya-karya Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah:
1)
Ruh al-Islam, Isa al- Babiel Halabi bi Sayidina Husaini, Cairo.
2)
Uzmat al- Islam, jilid I dan II, Mesir, Cairo.
3)
At-Tarbiyah
Islamiyah,Dar
al-Qoumiyah
li
al-Tiba‟ati
wa
al-
Nashir,Cairo. 4)
At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
5)
Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
6)
Uzmat al-Rasul Muhammad SAW, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
7)
Al-Ittijahat al-haditsah fi al-Tarbiyah, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.AlThuruq al-Khassat al-Haditsah fi al-Tarbiyah li Tadris al-Lughat alArabiyah Wadiin, Mesir.
8)
At-Tufalah Sani‟atul Mustaqbal au Kaifa Nurabbi at-Falana, Mesir.
9)
Al-Ilmu Shi‟ar al-Surah Thaqofyah, Al-Anglo, Mesir.
10) Ushul al-Tarbiyah Misaliah fi Emile li J. J. Rosseau, Dar al-Katib alAraby, Cairo. 11) J. J. Rosseau wa Waarauhu fi al-Ishlah Ijtima‟, Dar al-Katib al-Araby, Cairo. 12) Ilmu Nafsi Tarbawi, tiga jilid, Shirqatul Qaumiyah. 13) Al-Syakhsiyah, Darul Ma‟arif, Cairo. 14) shul Tarbiyah wa Qawaid al-Tadris, Mesir. 15) Lughat al-Araby wa Kaifa Nahdlat al-Misriyah, Cairo. 16) Al-Tarbiyah wa al-Hayat. 17) Ilmu Nafsi li al-Jami‟. 18) Muskhilatu Al-Ta‟limin Ula bi Misri. 19) Min Wahyi al-Taurat, Dar al-Katib al-Araby, Cairo. 20) Qassasa Insaniyah li Charles Dickens, Dar al-Katib al-Araby, Cairo. 21) Al-Mufassil fi Lughati Suryaniyah wa Adabuha. 22) Al-Asasu fi al-Lughat al-Arabiyah. 23) Al-Adabu as-Shamiyah.
64
D.
Relevasi pemikiran pendidikan Muhammad Athiyah Al Abrasi dengan masa kini Athiyah Al-Abrasyi mempunyai beberapa prinsip yang dapat dijadikan
pedoman dalam lembaga pendidikan islam. Yaitu: Pertana,Berpikir bebas dan mandiri dalam belajar (Demokrasi), maksudnya adalahpeserta didik diajarkan berpikir bebas bertujuan untuk mengembangkanpotensi peserta didik, karena setiap manusia pasti mempunyai keinginandan kemauan untuk berkreasi dengan bebas, tampa adasuatu paksaan,seperti: seorang peserta didik yang disuruh oleh orang tuanya untukmengambil jurusan A, padahal jurusan yang diinginkan adalah jurusan B,maka keinginan peserta didik tersebut akan pupus ditengan jalan,sedangkan yang dicita- citakan orang tuanya belum tentu terwujud karena tidak ada semangat dalam diri anak tersebut, selain itu peserta didik jugabebas berpikir dalam segala sesuatu yang akan dilakukan, karena Allahmemberikan manusia akal agar belajar berpikir lebih baik. Kedua, Sistem belajar individual, athiyah menganggap sistem ini adalahsalah satu dari belajar bersikap demokratis dan mandiri, yaitu tidakbergantung dengan orang lain dalam pengembangan dirinya terhadappotensi yang dimiliki. Ketiga, Memperhatikan perbedaan bakat dankemampuan anak didik dalam proses belajar mengajar, hal ini sesuaidengan UU No 20 Tahun 2003, Bab V, Pasal 12, Tentang Peserta Didikyaitu setiap peserta didik mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai denganbakat, minat, dan kemampuan peserta didik, hal ini menunjukkan bahwamasih relevannya pemikiran Athiyah Al-Abrasyi tentang pendidikan islam, terutama tentang pelayanan untuk peserta didik yang mana membangunpotensinya untuk lebih maju dan lebih baik daam memperjuangkan dirinya. Keempat, Memperhatikan potensi dasar dari setiap anak didik, yaitu setiappeserta didik mempunyai potensi dalam mengembangkan potensi
65
dankemampuannya,
yaitu
dengan
latihan
terus-
menerus
atau
mengasahpotensinya sesuai dengan bakat yang dimiliki. Kelima, Ujian atau teskecakapan peserta didik merupakan salah satu tes untuk memperoleh datatentang penguasaan terhadap materi yang diajarkan, baik tes tulis maupuntes lisan, sehingga diadakan ujian atau tes kecakapan
itu.
Hal
tersebutsangat
diperlukan
untuk
mengetahui
perkembangan dan kemampuanpeserta didik yaitu sebagai tolak ukur kemampuan peserta didik. Keenam,Berbicara (menyampaikan dan menjelaskan pelajaran) sesuai dengan kadarkemampuan daya tangkap akal pikiran anak didik yaitu akal seseorang itusama akan tetapi kemampuan seseorang berbeda sesuai dengan kemauanuntuk menjunjung tinggi martabat peserta didik tersebut. Allah tidakmenyukai sesuatu yang berlebih- lebihan seperti maksud diatas yaituberbicara sesuai kemampuannya tampa ada gengsi. Selain itu juga harusdiperhatikan lawan bicaranya apakah dia bisa memahami perkataan tersebutatau atau tidak, apabila kita berbicara dengan orang lain tidak sesuaidengan kemampuan daya tangkapnya maka dia seperti berbicara denganpatung (tidak ada respon). Ketujuh, Memperhatikan anak didik dengan baikdan penuh kasih sayang.
Setiap
orang
senang
sekali
apabila
ada
orang
yangmenyayanginya, apalagi orang yang disayangi oleh peserta didik sendiri. Apabila peserta didik diperlakukan dengan baik, maka dia dengan senanghati melakukan perintahnya, karena peserta didik tersebut mengerti ataupaham kalau orang yang menyuruhnya tidak akan menjerumuskannyakepada kejelekan, oleh karena itu bisa dikatakan wajib apabila menghadapipeserta didik dengan halus dan penuh dengan kasih sayang karena merekaakan merasa terlindungi. Kedelapan, Memperhatikan pendidikan akhlakdidik karena akhlak merupakan gambaran bagi peserta didik, akhlah harusbenar- benar diperhatikan, karena itu merupakan pondasi bagi kehidupanmanusia. Jika
66
mulai sejak kecil manusia tidak ditanami dengan pendidikanakhlak, maka anak tersebut akan sering melawan terhadap apa- apa yangdiperintahkan oleh orang tua, dan apabila sebaliknya maka dia akan patuhterhadap perintah orang tua. Bebeberapa karangan Athiyah Al-Abrasyi merupakanperbandingan pada abad 20-an di dunia barat, oleh karena itu pemikiranbeliau yang telah tertuang dalam bukunya masih sangat relevan sekalidengan keadaan masa sekarang. Pada masa dahulu ketika beliau masih hidup beliau ingin mencobamengembalikan keagungan islam yaitu dengan cara pendidikan
sistemmodern
yang
mana
orang
barat
belum
bisa
memperaktikannya. Hal itudilakukan karena seperti yang terjadi pada masa modern ini yaitumasuknya budaya barat yang mana banyak menimbulkan krisis di dalamkehidupan manusia, sehingga Athiyah AlAbrasyi memunculkan idekreatifnya yaitu ingin mengembalikan nilai- nilai islam dengan baik danbenar dengan mengaktualisasikan lagi budaya zaman dahulu yang masihrelevan dan mengambil dengan menyaring budaya zaman modern. Halitulah yang merupakan salah satu dampak masih relevannya pemikiranAthiyah Al-Abrasyi. Tujuan Athiyah Al- Abrasyi dalam mengembangkan pendidikanislam yaitu sangat mementingkan akhlak dan memelihara peserta didikdengan mengembangkan potensinya, karena akhlak merupakan hakikatseseorang dalam bertindak dan bersikap. Dalam
pemikirannya,
Athiyah
Al-
Abrasyi
dipengaruhi
dan
didukungoleh Al- Ghazali dan Ibnu Sina dimana memiliki pemikiran yang samatentang tujuan pendidikan islam, akan tetapi tujuan Pendidikan yangdisepakati oleh tiga tokoh tersebut berbeda dengan pendapat AzZarnujiyang lebih mengutamakan niat, dan Ibnu Maskawih mengutamakan batin.Tujuan Pendidikan yang di lontarkan oleh Athiyah Al- Abrasi, Ibnu Sina,dan Al- Ghazali berlawanan dengan pendapat Al- Qabisi yang mengatakanbahwa tujuan pendidikan hanyalah untuk duniawi saja,
67
dimana bekerjamerupakan alat untuk memenuhi kebutuhan hidup (ekonomi).
68
Referensi Muhaimin. 1991.Konsep Pendidikan Islam, (Solo:Ramadhan). Bustami A. Ghani. 1987. Jakarta: Bulan Bintang. Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah....hal.129-131.
69
FAZLUR RAHMAN Oleh : Afdila Miranda A.
Biografi Fazlur Rahman Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di
Hazara, suatu daerah
yang sekarang terletak di barat laut Pakistan.
Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun. Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi. Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta.Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam. Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur
Rahman
pun
mendapatkan
pendidikan
atau
pengajaran
tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab
70
al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir. Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai
kosentrasi
studinya
dan
pada
tahun
1940
ia
berhasil
mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neo modernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar berbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan berbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran berbagai literature. Dan pada saat berumur 32 tahun Fazlur Rahman meraih gelar doktornya, di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di
71
negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat. Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah. Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai berbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad saw. Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal, kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang
pada
akhirnya
kontroversi
ini
membawa
pada
gelombang
72
demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan. Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas berbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan. Selama
di
Chicago,
Fazlur
Rahman
mencurahkan
seluruh
kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago.Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut layaknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara.Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman
mendapatkan
pengakuan
lembaga
keilmuan
berskala
internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles.
73
Selama kurang lebih 18 tahun menetap di Chicago, rahman telah menampilkan sebagai pigur pemikir modern yang bertanggung jawab dan senantiasa berfikir untuk mencari solusi-solusi dari problema yang dihadapi islam dan umatnya. Ada sejumlah buku yang berhasil dia tulis dan puluhan artikel lainnya yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah internasional.Itulah sebagai peninggalnnya yang sampai kini pemikiranpemikirannya masih terus di kaji banyak kalangan. Pada tanggal 26 juli 1998, setelah lama terserang dibetes, Fazlur Rahma meninggal dunia.
B.
Pemikiran Fazlur Rohman Fazlur Rahman dengan segala kemampuan intelektualnya sudah
tentu tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan. Maka adalah hak kita untuk menerima, menyetujui atau menolak seluruh atau sebagian hasil pemikirannya untuk semua pada posisi penerimaan atau penolakan, seorang intelektual pencari kebenaran sudah tentu akan mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pendapat dan pemikiran yang di kemukakan untuk menilai pendapat Fazlur Rahman, orang harus memahami al-Qur‟an sebagai sebuah ajaran yang utuh lebih dulu, di samping Sunnah, Sejarah Islam dan lain-lain. Di antara pemikiran Fazlur Rahman antara lain : a.
ia menegaskan bahwa al-Qur‟an bukanlah suatu karya misterius,
b.
atau karya sulit yang memerlukan manusia berlatih secara teknis untuk memahami dan menafsirkan perintah-perintahnya, di sini di jelaskan pula prosedur yang benar untuk memahami al-Qur‟an.
c.
Seseorang harus mempelajari al-Qur‟an dalam Ordo Histories untuk mengapresiasikan tema-tema dan gagasan-gagasannya.
d.
Seseorang harus mengkajikan dalam konteks latar belakang social historisnya, hal ini tidak hanya berlaku untuk ayat-ayatnya secara individual tapi juga untuk al-Qur‟an secara keseluruhan. Tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadai.
74
Menurut Fazlur Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap élan dan maksud al-Qur‟an aktifitas Nabi baik di Mekkah atau di Madinah. Dalam karyanya Islam and Modernity 1982 Fazlur Rahman menekankan, akan mutlak perlunya mensistematiskan materi ajaran alQur‟an. Tanpa usaha ini bisa terjadi penerapan ayat-ayatnya secara individual dan terpisah berbagai situasi akan menyesatkan. C.
Karakteristik Pemikirannya Perlu di kemukakan bahwa konsep teologi Fazlur Rahman bukan
merupakan kajian tersendiri yang di tulis dalam suatu karya khusus, tetapi lebih merupakan refleksi pemikiran sebgai hasil dari proses dialetika berfikirnya. Memang dalam beberpa buku dan sejumlah artikel yang di tulis, Rahman sering membicarakan doktrin-doktrin teologi yang pernah dikembangkan oleh aliran-aliran terdahlu dan kemudian dia mengkritisinya sehingga dari sinilah dapat dilacak pola-pola pemikiran teologi rahman. Jadi karakteristik pemikiran Fazlur Rahman adalah dalam pemikiran teologi-teologi terdahulu sejauh hal-hal yang positif harus di pertahankan dan sebaliknya terhadap doktrin-doktrinnya yang kurang lurus dan tidak dapat diketemukan akar-akarnya dalam ajaran Qur‟an,
maka perlu
direkonstruksi. Hal demikian tidak lain mengingat sebuah sistem teologi bisa saja secara logiskoheren, namun bisa juga sama sekali palsu terhadap agama yang dikatakannya sebagai dirumuskannya. Dari sinilah upaya rekonstruksiteologi dianggap penting. Dan salah satu karakeristik pemikiranya juga adalah bahwa manusia dengan kekuatan moralnya, tema tentang ketuhanan dan alam semesta sekan hanya bagianpelengkap dari tema besar moralitas manusia, krena tujuan sentrala agama tidak lain adalah membentuk pribadi manusia yang luhur dan bermoral.
75
D.
Konsep Pendidikan dan Pendidikan Tinggi Islam
Fazlur
Rahman Pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman mencakup dua pengertian besar (Dr.Sutrisno,2006:170 ) . Yaitu : 1)
Pendidikan Islam dalam pengertian Praktis, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dalam Islam, seperti di Pakistan, Mesir, Sudan, Saudi, Iran, Turki, Maroko, Indonesia dan lain-lain.
2)
Pendidikan tinggi Islam yang disebut dengan intelektualisme Islam. Lebih dari itu, pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman dapat
dipahami juga sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuan) integratif, yang padanya terkumpul sifat-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya. 1.
Tujuan Pendidikan Islam Dengan mendasarkan pada al-Qur‟an, tujuan pendidikan menurut Fazlur Rahman adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkin manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Dewasa ini pendidikan Islam sedang dihadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat dari masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme umat manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi komplek pula .Ditambah lagi dengan beban psikologis umat islam dalam menghadapi barat. Dalam kondisi kepanikan spiritual itu,strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis. Akibatnya munculah golongan yang menolak segala apa yang berbau Barat,bahkan adapula yang mengharamkan pengambil
76
alihan ilmu dan teknologinya. Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat menyebabkan kemunduran umat Islam. Menurut
Rahman,
ada
beberapa
hal
yang
harus
dilakukan pertama, tujuan pendidikanIslam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tersebut harus segera diubah. Tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada klehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada AL-Qur‟an. Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera dihilangkan.Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut, Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis mengenai perkembangan
disiplin-disiplin
teologi,hukum,etika,hadis
ilmu-ilmu
ilmu
Islam
sosial,dan
seperti
filsafat,dengan
berpegang kepada AL-Qur‟an sebagai penilai. Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah.
Sebab
ilmu pengetahuan tidak
ada
yang
menurut Rahman, salah,
yang salah adalah
penggunanya.
2.
Sistem Pendidikan Islam Fazlur Rahman berpendapat, bahwa “kita tidak bisa lepas dari system pendidikan Barat karena umat Islam juga ingin belajar dengan
dunia
Barat,
tetapi
system
pendidikan
Barat
telah
mendehumanisme dan membekukan jiwa manusia” Dari sini dapat kita asumsikan bahwa Rahman mencoba mengintegrasikan antara ilmu sekuler (modern) dan ilmu-ilmu agama.Namun yang saat ini menjadi pombardir penghalangnya adalah karena sering terjadinya dikotomi dalam dunia pendidikan Islam. Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan, menurut Rahman dunia pendidikan Islam harus memberi ruang bagi ilmu-ilmu
77
sekuler (modern), atau dalam arti kata luas harus adanya integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler/sains. Dengan pola integrasi ini maka tidak akan lagi terjadi dikotomi dalam dunia pendidikan
Islam.
Jadi,
hendaknya
dalam
silabus-silabus
pembelajaran harus dicantumkan ilmu-ilmu di luar agama, seperti sosiologi, antropologi, biologi dan sebagainya. Zaman selalu mengalami perkembangan, sudah semestinya pendidikan Islam harus merespons dan dituntut pula untuk berkembang secara dinamis dalam mewujudkan manusia yang kritis dan kreatif sehingga mampu mandiri dalam menyesuaikan diri dalam lingkungan sekitar.Oleh karena itu perlunya di terapkan konsep pendidikan demokratis yang selalu membuka ruang kebebasan dan perubahan yang bersifat positif dan dinamis di berbagai lembaga pendidikan agar dapat memenuhi tuntutan tersebut di atas.
a)
Anak Didik (Peserta Didik) Dalam
proses
trasnpormasi
ilmu
pengetahuan
dalam
pendidikan, peserta didik menjadi obyek dari pendidikan itu sendiri, namun bukan karena dia menjadi obyek maka tidak diberikan kebebasan dalam mengakpresikan dan mengembangkan kreativitas mereka, akan tetapi dengan mengsinergikan antara peserta didik dan tujuan pendidikan, maka peserta didik harus diberikan keluasan ruang dan waktu untuk mengeksplorasikan semua imajinasi kreatif mereka untuk pengembangan pribadi mereka. Kemerdekaan (kebebasan) adalah hak dasar bagi setiap manusia yang ada di dunia ini. Dengan kebebasan manusia dapat keratif dan dapat mengetahui tujuan yang di anggapnya baik. Namun, dal mengimplementasikan kemerdekaan tentunya tidak melanggar kebebasan orang lain.
78
b)
Pendidik (Mu‟allim) Era kontemporer ini dirasakan sangat minimnya pendidik,
namun bukan tenaga pendidiknya yang kurang, lebih dari itu problema
yang
professional
dan
kita
hadapi
sekarang
mempunyai
minimnya
klasifikasi
guru
yang
kemampuan
yang
memadai. Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik seperti itu, Rahman menawarkan beberapa gagasan, yaitu : 1)
Merekrut dan mempersiapkan anak didik yang memiliki bakatbakat terbaik dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap lapangan agama (Islam). Anak didik seperti ini harus dibina dan diberikan insentif yang memadai untuk membantu memnuhi keperluannya dalam peningkatan karir intelektual mereka.
2)
Mengangkat lulusan madrasah yang relatif cerdas atau menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh gelar doktor di universitas-universitas Barat dan telah berada di lembaga-lembaga keilmuan tinggi sebagai guru besar-guru besar bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi, dan sejarah Islam.
3)
Mengangkat
beberapa
lulusan
madrasah
yang
memiliki
pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik para lulusan universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan memberi mereka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik seperti Hadis, dan yurisprudensi Islam. 4)
Menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan. Di samping menlulis karya-karya tentang sejarah, filsafat, seni, juga harus mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam.
79
E. Karya-karya Fazlur Rohman Karya-karya yang mula di tulis, selain disertai doktralnya tentang Ibnu sina adalah
teks terjemahan ke dalam bahasa inggris di karya
monumental IbnuSIna kitab an-Najat denagn judul Avicenna‟s psychology (1952). Beberapa tahun kemudian Rahman menyunting karya Ibnu Sina lainnya Kitab An-Nafs dan di terbitkan dengan judul Avicenna‟s De Anima (1959). Karya lain menjelang tahun 1960-an adalah propechy in Islam: philosophy Ortodoxy and (1956), Islamic Methodology in History (1965), Major
Themes
Of
The
Qur‟an
(1980),
Islam
and
Modernitiy;
Transpormation of an Intllectual Tradition (1982).
F.
Relevansi Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman dengan Dunia Modern Menurut Harun Nasution sebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin
istilahmodern berarti masa yang dimulai dari tahun 1800 M sampai seterusnya.Duniamodern
ini
ditandai
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan filsafat yangberkembang pesat di Eropa setelah sekian lama bertahta di dunia Islam. Keadaanini semakin menunjukkan akan kemunduran dunia Islam dibandingkan duniabarat.Kemunduran di dunia Islam terjadi karena salah pandang umat Islamterhadap sistem pendidikan yang ada saat ini. Diantara kritikan yang dilontarkan oleh Fazlur Rahman bahwa tujuan pendidikan Islam sekarang hanya diorientasikan kepada kehidupan akhirat semata dan bersifat defensif serta adanya dikotomi atau pemilahan antara ilmu pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Dalam
kajian
sejarah
tentang
dikotomi
ilmu,
Islam
sangat
berkebalikan dengan barat yang memang manghendaki adanya dikotomi keilmuan. Bagi dunia Islam dikotomi itu sangatlah berbahaya. Pandangan dikotomi dapat mengancamrealisasi Islam dalam kehidupan umat. Bila dikotomi berkembang di dunia Islam,
maka diantara akibatnya adalah
adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan agama.
80
Keadaan
seperti
inilah
yang
mendorong
Fazlur
Rahman
untuk
mencetuskanide-ide perubahan, dengan semangat yang menggebu-gebu dia sedikit banyaktelah ikut bersumbangsih bagi Islam maupun dunia, baik berupa tenaga, kritikan, karya-karya ilmiah dan sebagainya. Salah satu upaya pembaharuan yangdilakukan Fazlur Rahman dalam sistem pendidikan adalah dengan melakukanintegrasi ilmu pengetahuan.
81
Referensi Abdul razak dan rosihun anwar, ilmu kalam, (Bandung: CV. Pustaka setia, 2001). Muktafi
Fahal
dan
Ahamad
Amir
Aziz,
Teologi
islam
modern,(Surabaya:Gitamedia Press, 1999) Fazlur Rahaman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
82
K.H. AHMAD DAHLAN Oleh: Dani Suyanti & Febrina Aspyan Tari
A.
Biografi Tokoh K.H. Ahmad Dahlan Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, 1 Agustus
1868 adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera ke empat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Dalam sumber lain K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1869. K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta. Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Saat masih kecil beliau diasuh oleh ayahnya sendiri yang bernama K.H. Abu Bakar. Karena sejak kecil Muhammad Darwis mempunyai sifat yang baik, budi pekerti yang halus dan hati yang lunak serta berwatak cerdas, maka ayah bundanya sangat sayang kepadanya. Ketika Muhammad Darwis menginjak usia 8 tahun Ia dapat membaca Al-Qur‟an dengan lancar. Dalam hal ini Muhammad Darwis memang seorang yang cerdas pikirannya karena dapat mempengaruhi teman-teman sepermainannya dan dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi diantara mereka. Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, K.H.Ahmad Dahlan mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India, untuk kemudian berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering mengadakan pengajian agama di langgar atau mushola. Ada beberapa faktor intern dan faktor ekstern, yang mendorong mengapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. 83
Faktor interennya adalah: a)
Kehidupan beragama tidak sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits, karena merajalelanya taklid, bid‟ah dan churafat (TBC), yang menyebabkan Islam menjadi beku.
b)
Keadaan bangsa Indonesia serta umat Islam yang hidup dalam kemiskinan, kebodohan, kekolotan dan kemunduran.
c)
Tidak terwujudnya semangat ukhuwah Islamiyah dan tidak adanya organisasi Islam yang kuat.
d)
Lembaga pendidikan Islam tak dapat memenuhi fungsinya dengan baik, dan sistem pesantren yang sudah sangat kuno. Adanya pengaruh dan dorongan, gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam.
Faktor-faktor ekstern, mencakup: a)
Adanya kolonialisme Belanda di Indonesia.
b)
Kegiatan serta kemajuan yang dicapai oleh golongan Kristen dan Katolik di Indonesia.
c)
Sikap sebagian kaum intelektual Indonesia yang memandang Islam sebagai agama yang telah ketinggalan zaman.
d)
Adanya rencana politik kristenisasi dari pemerintah Belanda, demi kepentingan politik kolonialnya.
B.
Karya-karya K.H. Ahmad Dahlan a)
Rukuning Islan lan Iman.
b)
Aqaid, Salat, Asmaning Para Nabi kang selangkung.
c)
Nasab Dalem Sarta Putra Dalem Kanjeng Nabi.
d)
Sarat lan Rukuning Wudhu Tuwin salat.
e)
Rukun lan Bataling Shiyam.
f)
Bab Ibadah lan Maksiyating Nggota utawi Poncodriyo.
84
C.
Konsep Pemikiran Pendidikan
menurut K.H. Ahmad
Dahlan 1.
Tujuan Pendidikan Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
2.
Materi pendidikan KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi: a.
Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan AsSunnah.
b.
Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c.
Pendidikan
kemasyarakatan
yaitu
sebagai
usaha
untuk
menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
85
3.
Metode Mengajar Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. Pandangan Ahmad Dahlan, ada problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul Nizar, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem tersebut berkaitan dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan. Dari realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran. Contoh klasik adalah ketika beliau menjelaskan surat alMa‟un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu
menyadari bahwa
memperhatikan
dan
surat
itu menganjurkan
menolong
fakir-miskin,
supaya dan
kita harus
mengamalkan isinya. Hal ini karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Adapun perbedaan model belajar yang digunakan antara pendidikan di pesantren dengan pendidikan yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut: a.
Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
86
b.
Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c.
Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan gurumurid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
4.
Pendidik Muhammadiyah menanamkan keyakinan paham tentang Islam dalam sistem pendidikan dan pengajaran.
Penerapan sistem
pendidikan Muhammadiyah ini ternyata membawa hasil yang tidak tenilai harganya bagi kemajuan, bangsa Indonesia pada umumnya dan khususnya umat Islam di Indonesia. Muhammadiyah, berpendirian, bahwa para guru memegang peranan yang penting di sekolah dalam usaha menghasilkan anakanak didik seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah. Yang penting bagi para guru ialah memahami dan menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah. Dengan memahami dan menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah, para guru dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang dicita-citakan Muhammadiyah.
5.
Peserta Didik Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam pada sumbernya yaitu Al-Qur‟an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia.
87
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan pembaruan pendidikan agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman.Pengajaran agama Islam diberikan di sekolahsekolah umum baik negeri maupun swasta. Metode baru yang diterapkan oleh sekolah Muhammadiyah mendorong pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis secara bebas oleh para pelajar sendiri. Tanya jawab dan pembahasan makna dan ayat tertentu juga dianjurkan dikelas. “Bocah-bocah dimardikaake pikire (anak-anak diberi kebebasan berpikir)”, suatu pernyataan yang dikutip dari seorang pembicara kongres Muhammadiyah tahun 1925, melukiskan suasana baik sekolah-sekolah Muhammadiyah pertama kali (Mailrapport No. 467X/25: 13).
D.
Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh K.H. AHMAD DAHLAN dengan Pendidikan Masa Terkini Relevansi pemikiran tokoh KH. Ahmad Dahlan tentang pendidikan
terkini berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi: 1.
Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan AsSunnah.
2.
Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
3.
Pendidikan
kemasyarakatan
yaitu
sebagai
usaha
untuk
menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat. Uraian di atas merupakan bagian dari konsep Islam tentang manusia. Kaitannya dengan persoalan pendidikan, maka secara ringkas
88
dapat dikatakan bahwa dalam proses pendidikan haruslah mampu menghasilkan lulusan yang Memiliki : 1.
Kepribadian yang utuh, seimbang antara aspek jasmani dan ruhaninya, pengetahuan umum dan pengetahuan agamanya, duniawi dan ukhrawinya.
2.
Memiliki jiwa sosial yang penuh dedikasi.
3.
Bermoral yang bersumber pada al-Qur‟an dan sunnah.
89
Referensi Damami & Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Soedja, M. 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Rhineka Cipta. Safwan, Mardanas. & Kutoyo, S. 2001. KH. Akhmad Dahlan, Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Nizar, S. 2002.Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers.
90
K.H. HASYIM ASY’ARI Oleh : Anggun Purnama Sari & Iftiatul Hidayati
A.
BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY’ARI Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, adalah seorang ulama Jawa yang
menjadi panutan banyak dari para kyai di Indonesia. Beliau lahir di desa Gedang, sekitar dua kilometer sebelah timur Jombang, pada tanggal 24 Dzul Qa‟dah 1287 H, bertepatan pada tanggal 14 Pebruari 1871. Nama asli yang diberikan oleh orang tua beliau adalah Muhammad Hasyim, sedangkan ayahnya bernama Asy‟ari dan ibunya bernama Halimah. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI, juga dipercayai merupakan keturunan bangsawan. Ayah beliau adalah seorang kyai pendiri Pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya, kyai Utsman adalah kyai terkenal pendiri Pesantren Gedang, sementara moyangnya, kyai Sihah adalah pendiri Pesantren Tambakberas Jombang. Sahingga wajar saja apabila K.H. Hasyim Asy‟ari menyerap lingkungan agama dari lingkungan pesantren keluarganya dan mendapatkan ilmu pengetahuan agama Islam yang luas. K.H. Hasyim Asy‟ari bersama K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Bisri Syansuri, mendirikan Nahdlatul Ulama di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344, bertepatan tanggal 31 Januari 1926. Organisasi NU bermaksud untuk mempertahankan praktik keagamaan yang sudah mentradisi di Nusantara untuk mengimabangi gencarnya ekspansi pembaruan Islam. NU sendiri memberikan perhatian besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan
tradisional
yang
harus
dipertahankan
keberadaannya.
Kemudian NU mendirikan madrasah-madarasah dengan model Barat. Dalam hidupnya, beliau juga ikut berperan penting dalam bidang politik nasional. Di samping itu, beliau menjadi salah satu motivator para pejuang bangsa Indonesia dalam mengusir pendudukan kolonial di tanah air, untuk meraih kemerdekaan. Akhir hayatnya, K.H. Hasyim Asy‟ari wafat
91
pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H, bertepatan tanggal 25 Juli 1947, disebabkan tekanan darah tinggi.
B.
Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari Mengenai Pendidikan Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy‟ari yang berbicara
tentang pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim fima Yahtaj Ila al-Muta‟alim fi Ahuwal Ta‟allum wa ma Yataqaff al-Mu‟allim fi Maqamat Ta‟limi. Sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Namun demikian, karya tersebut tidak berarti menafikan beberapa aspek pendidikan
lainnya.
Karyanya
ini
merujuk
pada
kitab-kitab
yang
ditelaahnya dari berbagai ilmu yang diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman yang pernah dijalaninya.
1.
Tujuan Pendidikan Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, pertama bagi murid, hendaknya ia berniat suci menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekan. hendaknya
ia
Kedua,
bagi
meluruskan
guru, niatnya
dalam
mengajarkan
terlebih
dahulu,
ilmu tidak
mengharapkan materi semata-mata. K.H. Hasyim Asy‟ari menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya. Dalam hal belajar, yang menjadi titik penekanannya adalah pada pengertian bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya, belajar harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan
nilai-nilai
Islam,
bukan
sekadar
menghilangkan
kebodohan.
92
2.
Konsep Pendidik Dalam kitab karangan K.H. Hasyim Asy‟ari yang disebut di atas, disebutkan tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik antara lain: a.
Etika yang dipedomani seorang guru 1)
Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.
2)
Senantiasa takut kepada Allah.
3)
Senantiasa bersikap tenang dan berhati-hati.
4)
Senantiasa tawadhu‟, mengadukan persoalannya kepada Allah.
5)
Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata.
6)
Tidak selalu memanjakan anak didik.
7)
Berlaku zuhud dalam kehidupan dunia.
8)
Menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah.
9)
Mengamalkan sunah Nabi.
10) Mengistiqamahkan membaca Al-Qur‟an. 11) Bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan salam. 12) Membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah. 13) Menumbuhkan
semangat
untuk
menyalahgunakan
ilmu
menambah
ilmu
dengan
cara
pengetahuan. 14) Tidak
menyombongkannya. 15) Membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas. b.
Etika guru ketika dan akan mengajar 1)
Mensucikan diri dari hadas dan kotoran.
2)
Berpakaian yang sopan dan rapi serta usahakan berbau wangi.
3)
Berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik.
4)
Sampaikanlah hal-hal yang diajarkan oleh Allah.
93
5)
Biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan.
6)
Berilah salam ketika masuk ke dalam kelas.
7)
Sebelum mengajar, mulailah terlebih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama meninggalkan kita.
8)
Berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata.
9)
Menjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa.
10) Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk, dan sebagainya. 11) Pada waktu mengajar, hendaklah mengambil tempat duduk yang strategis. 12) Usahakan tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, tegas, dan lugas, serta tidak sombong. 13) Dalam mengajar, hendaknya mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuaikan dengan profesi yang dimiliki. 14) Jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan. 15) Perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama, menciptakan ketenangan dalam belajar. 16) Menasehati dan menegur dengan baik bila terdapat anak didik yang bandel. 17) Bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalanoersoalan yang ditemukan. 18) Berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangi penjelasannya agar tahu apa yang dimaksud. 19) Dan bila sudah selesai, berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas ataau belum dipahami.
94
c.
Etika guru terhadap murid-muridnya 1)
Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat Islam.
2)
Menghindari ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian.
3)
Hendaknya selalu melakukan introspeksi diri.
4)
Mempergunakan metode yang mudah dipahami murid.
5)
Membangkitkan
antusias
peserta
didik
dengan
memotivasinya. 6)
Memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu.
7)
Selalu memerhatikan kemampuan peserta didik.
8)
Tidak terlalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya.
9)
Mengarahkan minat peserta didik.
10) Bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik. 11) Membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik. 12) Bila terdapat peserta didik yang berhalangan, hendaknya mencari hal ikhwal kepada teman-temannya. 13) Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik. 14) Tawadhu‟.
3.
Konsep Peserta Didik Dalam kitab karangan K.H. Hasyim Asy‟ari yang disebut di atas, disebutkan tentang tugas dan tanggung jawab peserta didik antara lain: a.
Etika yang harus diperhatikan dalam belajar 1)
Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian.
2)
Membersihkan niat.
3)
Tidak menunda-nunda kesempatan belajar.
95
4)
Bersabar dan qanaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan.
5)
Pandai mengatur waktu.
6)
Menyederhanakan makan dan minum.
7)
Bersikap hati-hati (wara‟).
8)
Menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan.
9)
Menyedikitkan
waktu
tidur
selagi
tidak
merusak
kesehatan. 10) Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.
b.
Etika murid terhadap guru 1)
Hendaknya selalu mendengar dan memperhatikan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru.
2)
Memilih guru yang wara‟ di samping professional.
3)
Mengikuti jejak-jejak guru.
4)
Memuliakan guru.
5)
Memerhatikan apa yang menjadi hak guru.
6)
Bersabar terhadap kekerasan guru.
7)
Berkunjung kepada kepada guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak pada tempatnya.
8)
Duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan dengan guru.
9)
Berbicaralah dnegan sopan dan lemah lembut.
10) Dengarkan segala fatwanya. 11) Jangan
sekali-kali
menyela
ketika
guru
sedang
menjelaskan. 12) Gunakan anggota yang kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.
96
c.
Etika murid terhadap pelajaran 1)
Memerhatikan ilmu yang bersifat fardhu „ain untuk dipelajari.
2)
Harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu „ain.
3)
Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
4)
Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang-orang yang dipercayainya.
5)
Senantiasa menganalisis dan menyimak ilmu.
6)
Pancangkan cita-cita yang tinggi.
7)
Bergaullah dengan orang yang berilmu lebih tinggi.
8)
Ucapkan salam bila sampai dim tempat majlis ta‟lim.
9)
Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan.
10) Bila
kebetulan
sebaiknya
bersamaan
jangan
dengan
mendahului
banyak
antrean
teman,
kalau
tidak
mendapatkan izin. 11) Ke mana pun kita pergi dan di mana pun kita berada jangan lupa membawa catatan. 12) Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinu. 13) Tanamkan rasa semangat dalam belajar.
4.
Kurikulum Pendidikan Pada awal mulanya, mata pelajaran yang di ajarkan oleh Kyai Hasyim
adalah
menekankan
pada
syariat
Islam
atau
ilmu
pengetahuan dasar keagamaan Islam, yaitu tauhid, fiqih dan tafsir. Sedangkan ilmu bahasa yang dipelajari adalah bahasa Arab, dan tulis menulis Arab. Setelah berkembangnya tuntutan zaman, kurikulum yang sebelumnya ditambahkan pelajaran Qur‟an dan Hadits, dan bahasa Indonesia dan Melayu, serta bahasa asing Belanda.
97
Seiring berkembangnya model pesantren tradisional yang dipadukan dengan model sekolah moderen, mata pelajaran pun ditambah dengan mempelajari baca tulis dengan tulisan latin, ilmu hitung, ilmu geografi, ilmu sosial.
5.
Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Pada dasarnya tradisionalisme pendidikan Kyai Hasyim Asy‟ari mengindikasikan bahwa aplikasi pendidikan berkaitan dengan model dalam pembelajaran, lebih berpusat pada subject matter oriented dengan posisi sentral pada keberadaan seorang guru sebagai subjek yang menentukan dalam proses belajar mengajar, atau disebut teacher centre learning (pengajaran berpusat pada guru). Dalam hal ini, sesungguhnya konsep dan aktualisasi pendidikan Kyai Hasyim Asy‟ari lebih dekat kepada kerangka esensialisme (lebih menitikberatkan pada
materi) dari pada
progresifisme
(lebih
menitikberatkan pada aspek intelektual atau kecerdasan). Selain itu, pembelajaran
pendidikan
di
pesantren
juga
menggunakan
pendekatan kontekstual dan pembiasaan. Dalam kegiatan belajar mengajar, Kyai Hasyim menggunakan beberapa metode antara lain dengan cara halaqah, mubahatsah, sorogan, bandongan, dan muthalaah, yang identik dengan metode ceramah, demonstrasi, tanya jawab, diskusi dan dialog. Dalam mata pelajaran
bahasa
Arab,
terutama
dalam
belajar
shorof,
menggunakan metode hafalan.
6.
Evaluasi Pendidikan Mengenai evaluasi, menurut pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari memang dalam proses evaluasi tidak menggunakan standarisasi nilai, namun jika diteliti sistem pendidikan islam sebenarnya proses itu sudah menilai dari segala aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
98
Pemikiran beliau lebih menitikberatkan pada persoalan hati (qolb) sehingga yang menjadi hal terpenting atau modal dalam menuntut ilmu adalah niat yang tulus dan ikhlas dan mengaharapkan ridha Allah SWT. Selain itu beliau juga sangat menekankan penanaman akhlak dan moral terhadap siswa. Jika dikaitkan dengan pendidikan sekarang maka pemikiraan K.H. Hasyim Asy‟ari berhubungan erat dengan aspek afektif siswa. pada dasarnya pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari mengenai tujuan atau pun dasar yang digunakan adalah sangat tepat bahkan sangat sesuai karena menggunakan dasar Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Karena dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits terwujud suatu sistem pendidikan yang komprehensif yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
C.
Relevansi Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari Dengan Pendidikan Saat Ini Relevansi pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari terhadap pendidikan
sekarang, dapat kita lihat dari banyaknya pesantren-pesantren yang dibangun. Pesantren sampai sekarang masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, dalam arti mendalam pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar dedikasi sosialnya. Konsep pendidikan oleh K.H. Hasyim tidak hanya berupa teori dan pemikirannya saja, akan tetapi beliau juga mempraktikkannya langsung dalam aktivitas kependidikannya. Walaupun pemikiran beliau masih bercorak tradisionalis, tetapi pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari tetap sesuai dan tepat jika diterapkan dalam pendidikan Islam saat ini, terutama dalam beberapa aspek antara lain yaitu dalam hal tujuan pendidikan, materi dan dasar yang digunakan yaitu Al-Qu‟an dan Al-Hadits. Pemikiran Kyai Hasyim tentang pemaduan antara pesantren yang tradisionalis dengan model sekolah barat yang lebih moderenis,
99
sebelumnya banyak dikhawatirkan oleh banyak kyai lain. Namun, beliau konsisten dengan pemikiran yang telah dipertimbangkannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kyai Hasyim merupakan tokoh yang berusaha memelihara tradisi turun temurun dari pondok pesantren, juga mengembangkan pendidikan keilmuan di pondok pesantren. Hingga sekarang, pendidikan Islam berkembang dari model pesantren tradisional, pesantren moderen, madrasah dan sekolah Islam.
100
Referensi Khuluq, L. 2000.Fajar Kebangunan Ulama – Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari . Yogyakarta: LKiS. Kurniawan, S& Mahrus, E. 2013.Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Maguwoharjo: Ar Ruzz Media.
101
ABDUL KARIM AMRULLAH Oleh :Masithoh Bella Dina
A.
Biografi Buya Hamka Haji Abdul Malik Karim AmrullahatauHamka, lahirdi Sungai Batang,
Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad, 16 Februari 1908 dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, atau sering disebut Muhammad rasul, seorang ulama yang pernah mendalami Islam di Makkah dan tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung. Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan belajar membaca Al-Quran dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Dan pada usia 7 tahun masuk ke sekolah, meski akhirnya ia keluar dari sekolah itu setelah 3 tahun belajar, danbelajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Sejak Zainudin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah Diniyah di Pasar Usang Padang panjang, Hamka lalu dimasukkan ayahnya kesekolah ini. Pagi hari Hamka pergi kesekolah desa dan sore hari pergi mengaji ke sekolah Diniyah, dan pada malam hari berada disurau dengan temantemannya.Seperti itulah kegiatan rutinitas yang selalu dilaluinya.Aktifitas yang begitu monoton membuat Hamka jenuh. Bahkan karena hobinya, ia pernah diam-diam mengicuh guru ngajinya karena ingin menonton Film Eddie Polo dan Marie Walcamp. Kebiasaan menonton film ini berlanjut, dan kerapkali ia mendapat inspirasi menulis karya-karya sastra dari menonton film ini. Hal ini dibenarkan oleh A.R. Sultan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang muballigh. Kemudian di surau Jembatan Besi, tempat Syeikh Abdul Karim Amrullah memberikan proses pendidikan agama dengan metode lama, dirobah menjadi madrasah yang kemudian dekenal dengan Thawalib School.
Tentunya
dengan
keinginan
kelak
anaknya
jadi
ulama
102
sesuaidengan harapannya.Syeikh Abdul Karim Amrullah memasukkan Hamka ke Thawalib School yang diiringi Hamka harus berhenti dari sekolah Desa. Dalam perkembangan awalnya Thawalib School ini masih belum mampu melepaskan diri dari cara-cara lama dalam proses pembelajaran agama.Perobahan sudah mulai tampak mewarnai lembaga pendidikan ini. Menurut Mahmud Yunus, Surau Jembatan Besi yang sejak dulu memberikan pelajaran agama dengan pola lama, merupakan surau pertama yang mempergunakan sistem klasikal. Sekalipun sistem yang menerapkan menghafal ini yang membuat Hamka cepat bosan. Kondisi dengan pola belajar yang mengakibatkan keseriusannya untuk belajar tidak tumbuh dari dalam hatinya, namun terpaksa dari kehendak ayahnya. Keadaan inilah yang membuat Hamka betah berada di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai el-Yunusi dan Bagindo Sinaro.Hamka menjadi asik di perpustakaan ini mendalami buku-buku cerita dan sejarah. Perpustakaan ini diberi julukan dengan nama Zainaro, menumbuhkan semangat tertentu bagi Hamka. Tekanan hati yang dirasakannya seolah mendapat tempat pelarian di perpustakaan ini.Ide yang polos dari seorang anak-anak dapat berkembang dan tumbuh, namun seiring dengan pertumbuhan idenya itu, tidak serta merta mendapat mendapat dukungan dari ayahnya. Di usianya yang ke 12 tahun,
merupakan goncangan jiwa yang
cukup berat baginya. Dikarenakan perceraian ayah dan ibunya. Karena peristiwa ini yang dapat membentuk sikap Hamka yang memandang peraktek adat tidak sesuai ajaran agama Islam.Adat, terutama adat kawin cerai, yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas, menurut Hamka, “Seumpama batu yang sudah berlumut sudah masanya untuk di simpan”. Setiap ketetapan yang dijalankan didalam adat, serta terlalu mudahnya dalam menafsirkan tentang kebolehan untuk berpoligami.. Kenyataan ini pula yang didapatkan oleh Hamka dalam keluarganya, yang
103
berujung menjadi anak “tinggal”, yang pada gilirannya dapat membentuk “kenakalan” dalam keseharian Hamka. Kenyataan yang demikian membuat Hamka merasa ingin jauh dari kehidupan ayahya. Hamka, berangkat ke tanah Jawa seorang diri. Tapi pelariannya terhenti di Bengkulu karena ia terkena penyakit cacar.. Setelah sembuh ia kembali pulang ke Padang. Hamka berngkat kembali untuk yang kedua kalinya menuju tanah Jawa pada tahun 1924. Selama kurang lebih satu tahun Hamka menetap di tanah Jawa, menurut
Hamka
sendiri
telah
mampu
memberikan
”semangat
baru” baginya dalam mempelajari agama Islam. Musafir dalam dalam pencarian ilmu ia mulai dari kota Yogyakarta. Melalui Ja‟far Amrullah, pamannya, Hamka kemudian memperoleh kesempatan mengikuti kursuskursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam. Dalam
perjalanannya
dan menimba
ilmu
tentang
itu
bertemu
gerakan
dengan
Islam
Hos Tjokroaminoto
modern
kepada
Hos
Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan K.H. Fakhrudin.Saat itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.Hamka juga mendengar langsung ceramahnya tentang Islam dan Sosialisme. Disamping itu ia berkesempatan bertemu dengan beberapa tokoh penting lainnya, seperti Haji Fakhruddin dan Syamsul Rijal. Dimana kota tersebut telah memberikan sesuatu dalam mendorong kesadaran keagamaan Hamka. Namun ia sudah dipandang sebagai pemuka diantara rekanrekannya. Ia sendiri menyebutkan bahwa di Yogyakarta Islam itu sebagai sesuatu yang hidup, yang mengedepankan kedinamisan dalam pendirian dan perjuangan. Sejak Hamka berkunjung ke Amerika Serikat, Hamka mempunyai pandangan yang lebih luas dan terbuka terhadap bangsa diluar Islam. Sepulangnya Hamka menerbitkan sebuah buku yang mengisahkan tentang
perjalanannya
memenuhi
undangan
dengan
judul Empat
Universitas
Al-Azhar
Bulan
di
Amerika ,ia
Kairo
dalam
rangka
104
memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Pada gilirannya penampilan Hamka itu membuahkan hasil gelar Doktor Honorius Causa. Perkembangan politik di Indonesia semakin memburuk, ditambah dengan dikeluarkannya Dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Soekarno, yang menegaskan Indonesia melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin. Aktivitas yang begitu banyak disaat usianya sudah mulai tua, sehingga Hamka masuk rumah sakit menjelang hari peringatan ulang tahunnnya yang ke-70 tahun, bertepatan pada tanggal 16 Februari 1978. Dua tahun menjelang wafatnya, Hamka sejak tahun 1975 menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia mengundurkan diri.Sebab dari mundurnya Hamka dari jabatannya adalah perayaan Natal bersama antara Umat Kristen dan penganut Umat lainnya termasuk agama Islam. Sementara pada waktu itu Majelis Ulama Indonesia yang dipimpin oleh Hamka telah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya seorang muslim mengikuti perayaan Natal. Dua bulan setela Hamka mengundurkan diri dari ketua Majelis Ulama Indonesia, ia kembali masuk rumah sakit akibat serangan jantung yang cukup berat. Lebih kurang satu minggu Hamka dirawat di rumah sakit Pertamina Jakarta Pusat, yang ditangani oleh dokter ahli. Namun ternyata Allah berkehendak lain. Pada tanggal 24 Juli 1981 bersamaan dengan tanggal 22 Ramadhan 1401 H, ditemani oleh istrinya Khadijah dan beberapa teman dekat serta puteranya Afif Amrullah, Hamka berpulang kerahmatullah dalam usia 73 tahun.
B.
Konsep Pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amarullah Tentang Pendidikan Islam Hamka adalah sosok manusia atau aset Negara Republik Indonesia
yangmultiperan. Selain sebagai ulama, ia juga seorang pemikir. Diantara buah pikirannya adalah gagasan tentang pendidikan. Pentingnya manusia
105
mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka, bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, melainkan lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah. Buya Hamka
membedakan
makna
pendidikan
dan
pengajaran.Menurutnya, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk
mengisi
intelektual
peserta
didik
dengan
sejumlah
ilmu
pengetahuan. Pemikiran Hamka tentang pendidikan secara garis besar adalah sebagai berikut : 1. Urgensi Pendidikan Bagi Manusia Hakekat pendidikan menurut beliau terbagi menjadi 2 Bagian, yaitu : pertama,pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan
jasmani
serta
kekuatan
jiwa
dan
akal. Kedua, pendidikanrohani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada agama. 2. Terminologi dan Tujuan Pendidikan Islam Menurutnya pendidikan
merupakan
serangkaian
usaha
yang
dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk. Sedangkan pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di dunia dan di akhirat.Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yaitu beribadah.
106
3. Tugas Dan Tanggung Jawab Pendidik Menurut Beliau tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah memantau, mempersiapkan dan menghantarkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfa‟at bagi kehidupan masyarakat. Untuk melaksanakan hal ini ada 3 institusi yang bertugas dan bertanggung jawab : a. Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga) b. Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah) c. Lembaga Pendidikan Non Formal (Masyarakat)
4.
Kurikulum Pada awal abad ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat
tradisional. Kurikulum pendidikan masih tradisional , yang berkisar pada al-Quran dan pengajian kitab, yang meliputi Ilmu Nahwu Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang hanya terpaku disitu saja. Kurikulum pendidikan yang demikian dipandang kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman , sehingga tergerak hati Hamka dan kawankawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada satu kitab saja.Sebagai rencana pelajaran yang merupakan bentuk usaha peningkatan pendidikan, kurikulum terdiri dari 6 kelompok, yaitu : a.
Agama
b.
Bahasa
b.
Pengetahuan Umum
c.
Keguruan/Dakwah dan Kepemimpinan
d.
Sistem dan Metode Pembelajaran Pertama antara lain: 1). Diskusi,proses bertukar pikiran antara dua belah pihak. 2).
Karya wisata,mengajak anak mengenal lingkungannya.
107
3).
Resitasi, memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan.
Adapun yang kedua antara lain: a). Amar ma‟ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat jahat.Bertujuan agar tulus hati dalam memperjuangkan kebenaran. b).
Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman materi pada peserta didik.
5. Evaluasi Pendidikan Evaluasi adalah menentukan tarap kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan Islam atau tahap akhir yang dilakukan dalam proses pendidikan, bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah. Pandangan Buya Hamka dalam evaluasi yakni mengarah pada kognitif, afektif, dan psikomotorik. Evaluasi dapat dilakukan dengan memberikan beberapa tugasi. Ini merupakan evaluasi yang dilakukan secara global atau yang biasa dilakukan secara umum. Sedangkan dalam pendidikan tauhid, evaluasi mengarah pada sesuatu yang menyadarkan diri (introspeksi diri) dimana syur(perasaan).
C.
Relevansi Pendidikan Haji Abdul Malik Karim Amarullah Pada Era Global Saat ini
Pendidikan adalah bagian dari pembelajaran kepada peserta didik dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan serta memperbaiki akhlak. Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh dan terbaik diantara makhluk lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar berbeda susunan fisik, tetapi lebih jauh dari itu, manusia memilki kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut memiliki potensinya masing-masing yang sangat mendukung, dengan kata lain
108
potensi material dan spiritual tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik. Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 dijelaskan bahwa pendidikan
merupakan
pendidikan
dasar
dan
menengah
yang
mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah,dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli agama. Hakikat pendidikan yang dikemukakan oleh Hamka sangat dapat diterapkan di zaman sekarang ini, yakni pendidikan agama dan pendidikan umum saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, dari mulai tingkat Pendidikan Dasar hingga ke tingkat Pendidikan Tinggi.
109
REFERENSI
Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati, Pendidikan Luar Sekolah, (Surabaya: Usaha nasional) Assep Purna, 101 Kisah Inspiratif, (Jakarta : Gagas Media, 2011
110
MUHAMMAD NATSIR Oleh : Agia Gavinda
A. Biografi Muhammad Natsir Kelahirannya Muhammad Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang tak pernah kering meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda, bersekolah di Bandung dan terlibat dalam berbagai polemik intelektual di bidang keagamaan dan politik, ia selalu menjadi fokus perhatian orang. Muhammad Natsir lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Kampung Jambatan, Alahan Panjang, Padang, Sumatera Barat, dan wafat di Jakarta pada tanggal 5 Februari 1993. Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana, ibunya, Khadijah adalah ibu rumah tangga yang bijaksana, dan kakeknya adalah seorang ulama. Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923- 1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol (AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Karakter Muhammad Natsir yang menonjol menjadikannya berperan dalam kegiatan-kegiatan besar seperti ketua Jong Islamieten Bond di Bandung, Menteri Penerangan, Perdana Menteri, dan Ketua Partai Masyumi. Kapasitasnya tidak hanya diakui di dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri. Pada tahun 1980 Muhammad Natsir dianugerahi penghargaan oleh King Faisal atas pengabdiannya pada Islam. Selain itu atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Muhammad Natsir memperoleh
bintang
kehormatan
dari
Republik
Tunisia
untuk
111
perjuangannya membantu kemerdekaan negara-negara Islam di Afrika Utara. Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Namun dibalik temperamennya yang lemah lembut dan mudah tersenyum itu, sosok pribadi Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh. Ia termasuk
seorang
yang
teguh
memegang
prinsip,
walau
dalam
berhubungan dengan orang-orang lain, ia terkesan terbuka dan malahan cenderung kompromistik, sejauh kemungkinan kompromi-kompromi itu memang dapat dicapai tanpa mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya.
B.
Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, tokoh seperti
Muhammad Natsir dengan pemikiran dakwah Islamnya sangat di perlukan, karenanya dengan mengtahui pemikiran itu, diharapkan dakwah Islam akan berjalan lebih terarah, dan dapat memberikan motivasi pada generasi berikutnya untuk berkiprah lebih tekun dalam dakwah Islam pada berbagai kehidupan umat. Tanpa hal tersebut, semangat membangun bangsa dari segi spiritual menjadi lemah, sementara itu generasi berikutnya kehilangan jejak dalam berdakwah. Akhirnya, kelanjutan dakwah berpijak pada pemikiran yang tidak jelas arah dan tujuannya, sehingga amar ma‟ruf nahi mungkar tidak berfungsi sebagai kekuatan pengendali dan motivasi. Di saat itulah, akan timbul berbagai kenyataan sosial yang mengerikan dan memperhatinkan umat Islam. Salah satu solusi yang paling tepat menurut penulis, adalah mengungkapkan kembali konsep dan isi dakwah Islam Muhammad Natsir,
112
kemudian
menganalisa
dengan
sedikit
modifikasi
sesuai
dengan
perubahan zaman. Bukan satu hal yang mustahil, bahwa dakwah Islam yang terus digerakkan dengan konsep pemikiran yang terarah, akan turut memperkecil
kemungkaran.
Dengan
demikian
cita-cita
menuju
pembentukan kehidupan umat yang berbahagia, sejahtera, dan aman dapat dijangkau. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat AliImran, 104:
ُون ِب ْال َمعْ رُ وفِ َو َي ْن َه ْو َن َع ِن َ ُون إِلَى ْال َخي ِْر َو َيأْ ُمر َ َو ْل َت ُكنْ ِم ْن ُك ْم أُم ٌَّة َي ْدع ُون َ ك ُه ُم ْال ُم ْفلِح َ ْال ُم ْن َك ِر َوأُولَ ِئ Artinnya : “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. Muhammad Natsir adalah pemimpin umat. Sekaligus warga negara, yang dalam pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, dan agama, selalu memberikan andil nyata melalu gerakan dakwah Islam. Keberadaan Muhammad Natsir sebagai dai tidaklah diragukan lagi, kebanyakan
orang mengakuinya
sebagai orang besar Indonesia.
Kepercayaan orang terhadap Muhammad Natsir ini semakin kuat ketika ia mendirikan dan memegang Dakwah Islamiyah di Indonesia (DDII). Muhammad Natsir dengan konsep dakwahnya telah memberikan posisi dakwah Islam sebagai hal yang sangat penting. Disebut demikian, karena dakwah Islam, menurut beliau akan ikut menentukan jatuh bangunnya suatu masyarakat dalam suatu bangsa. Selain bidang dakwah (tablig), persis juga menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana dan wahana bagi tercapainya persis. Pada tahun 1930 di Bandung diselenggarakan pertemuan antara persis dengan tokoh umat Islam yang menaruh perhatian terhadap pendidikan generasi muda Islam. Pertemuan tersebut telah menghasilkan satu keputusan,
113
untuk
mendirikan
sebuah
yayasan
pendidikan
Islam,
berusaha
memadukan dan mengembangkan pelajaran dan pengetahuan modern dengan pendidikan dan pelajaran Islam dalam arti yang seluas-luasnya. Adapun program yang disetujui dalam pertemuan tersebut, adalah sebagai berikut : 1)
Memenuhi pelajaran bagi generasi muda mengingat mereka haus sekalu terhadap pengetahuan modern dan sesuai pula dengan penghematan pemerintah dalam pendidikan.
2)
Mengatur pendidikan dan pengajaran generasi muda dengan berdasarkan kepada jiwa Islam, dan mempraktikkannya secara lebih rapi.
3)
Mengatur dan menjaga pendidikan generasi muda agar mereka tidak bergantung kepada gaji dan honor setelah keluar dari sekolah dan dapat bekerja dan percaya kepada kemampuan sendiri. Muhammad Natsir, tampaknya sangat tanggap terhadap masalah-
masalah sosial kemasyarakatan, termasuk masalah pendidikan pada lembaga pasantren dan madrasah-madrasah. Sikap tanggapnya ini kemudian diantisipasi dengan konsep atau pemikiran-pemikiran sekaligus keterlibatanya dalam pendidikan sebagai pengelola dan pendidik. Kekhususan untuk pasantren yang dilaksanakan oleh persis, Muhammad Natsir memang sebagai pengurus, pengelola, dan juga sebagai pendidik, hal tersebut ditulis oleh Syafig A. Mughi, yang isinya; “Di samping itu, didirikan lembaga pendidikan berupa pasantren yang diberi nama “Pasantren Persatuan Islam”, di Bandung bulan Maret 1936, sebagai hasil pertemuan di masjid persatuan Islam jalan pangeran Sumedang Bandung. Pengurus dan guru-gurunya terdiri atas orang-orang yang sukarela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk pasantren mereka itu, antara lain, R. Abdul Kadir (alumnus sekolah teknik Bandung) yang mengajar dalam bidang teknik, Muhammad Natsir yang mengajar ilmu pendidikan sekaligus sebagai penasehat, serta Hassan yang merangkap sebagai kepala pasantren.
114
Keberadaan Muhammad Natsir dalam masyumi telah membawa nuansa baru bagi perjuangan umat Islam Indonesia terhadap kepentingan agama, politik, ekonomi, dan sosial karena masyumi merupakan organisasi kesatuan, maka anggota-anggotanya memiliki bermacammacam pandangan keagamaan, politik, ekonomi dan sosial. Masyumi bentukan Jepang sudah barang tentu mempunyai tujuan politis yang menguntungkan
pihak
Jepang,
yaitu
mempersatukaan
semua
perserikatan atau organisasi yang diakui oleh Jepang. Sekaligus juga mempersatukan para kiai dan ulama Indonesia dalam partai tersebut, agar semua potensi umat Islam itu ikut melestarikan penjajahan Jepang terhadap bangsa Indonesia. Lain halnya dengan gerakakan masyumi, bentuk kongres umat Islam pada bulan November 1945, masyumi dibentuk dan didirikan oleh umat Islam tanpa campur tangan pihak luar, partai ini disambut hangat oleh berbagai elemen, dari hampir semua gerakan Islam nasional maupun lokal, politik, sosial keagamaan. Masyumi ini, benar-benar dari, oleh dan untuk umat Islam pasca kemerdekaan. Disebut demikian, karena telah menyatukan sebagian besar potensi umat Islam, melalui dari politisi, ulama dan cendikiawan dalam berbagai organisasi Islam pada waktu itu, maka bersatulah wakilwakil dari organisasi Islam, seperti Muhammaddiyah, Persis, Nahdiatul Ulama (NU), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Muhammad Natsir memimpin masyumi sebagai ketua umum sejak 1949 sampai 1958, dua tahun sebelum dibubarkan, sembilan tahun Muhammad Natsir memimpin dan memainkan perannya dalam gerakan masyumi sebagai parai Islam tersbesar dan percaturan politik di Indonesia. Sebagai pemimpin politik Islam, Muhammad Natsir secara maksimal telah memberikan seluruh tenaga dan pikirannya bagi kepentingan umat Islam Indonesia dan seluruh bangsa Indoneisa. Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem
115
peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah
lebih
dari
sebuah
sistem
peribadatan.
Ia
adalah
satu
kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna. Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiaptiap
orang,
hingga
meresap
dalam
kehidupan
masyarakat,
ketatanegaraan, pemerintah dan perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan
mengemukakan
pendirian
dan
suaranya
dalam
musyawarah bersama, seperti dalam firman Allah SWT: “Dan hendaklah urusan mereka diputuslan dengan musyawarah!”. Aspek pemikiran Muhammad Natsir 1.
Bidang Politik Pemikiran politik Natsir di samping terpengaruh pemikiran politik
intelektual muslim masa klasik dengan karya-karya monumentalnya seperti al- Mawardi dengan al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juga terpengaruh oleh pemikiran politik intelektual muslim modern seperti al-Maududi dan alAfgani. Keempat, trend pemikiran politik Barat yang sedang merebak di dunia Islam sebagai akibat kontak dengan peradaban Barat dalam bentuk imperialisme Barat di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tak terkecuali Indonesia yang pernah dijajah oleh kolonial Belanda selama kurang lebih 350 tahun seperti terma-terma demokrasi, dewan perwakilan rakyat, republik, nasionalisme, dan lain- alainnya. Konsekuensi dari pengenalan terhadap terma-terma politik Barat tersebut, para intelektual Indonesia baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis hampir tidak dapat ditemukan pemikiran politiknya tentang pendirian sistem monarki dengan didasarkan ikatan agama, melainkan mereka menghendaki suatu negara republik yang didasarkan pada rasionalisme.
2. Bidang Pendidikan Tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh Mohammad Natsir adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan
116
mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat. Selain itu bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, tidak akan diperoleh dengan sempurna kecuali dengan keduanya. Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan kehidupan manusia, tujuan ini tercermin dalam al Qur‟an Surat Al-An‟am: 162. “Katakanlah: „Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam‟.” (QS. Al-An‟am: 162) Bagi
Muhammad
memperhambakan
diri
Natsir,
fungsi
kepada
Allah
tujuan SWT
pendidikan semata
yang
adalah bisa
mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya. Hal ini juga yang disimpulkan oleh Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A, tentang tujuan pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir, bahwa pendidikan Islam ingin menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu sendiri. Bahwa mereka diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya kepada Allah semata. Oleh karenanya segala usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana, di antaranya adalah pendidikan.
C.
Relevansi dengan Pendidikan Sekarang yang Bisa Diterapkan Natsir dikenal sebagai intelektual Islam masa pra-kemerdekaan dan
awal kemerdekaan yang dikagumi dan disegani di dalam dan luar negeri. Pemikirannya yang fenomenal antara lain Negara dan Agama, Capita Selekta I dan II, Islam sebagai Dasar Negara. Selain itu tulisannya banyak tersebar di berbagai majalah. Pada masa kebangkitan nasional 1908 hingga kemerdekaan, situasi yang sangat pelik penuh dengan gejolak dan dinamika, banyak pemikiran besar tumbuh dan berkembang. Para Pendiri Bangsa bertarung gagasan dengan tajam disertaiperdebatan dengan sesama teman seperjuangannya
117
mengenai Indonesia Merdeka, tanpa menghilangkan persahabatan diantara mereka serta tanpa melupakan esensi perjuangan bangsa. Natsir merupakan tokoh panutan diantaranya. Pemikiran Natsir dipengaruhi oleh Jamaludin Al Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Ali Abdul Razik, Al Mawardi, Ibn Taimiyah, Al Maududi, Hasan Albana dan Al Farabi. Pandangannya mengenai Islam dan Kebangsaan bagaikan sekeping mata uang logam dimana Islam dan Kebangsaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Pemahaman ini bersifat integralistik, agama dan negara menyatu (integral). Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan
pengaturan
segala
aspek
kehidupan
manusia
termasuk
kehidupan berpolitik dan bernegara. Paradigma ini yang kemudian melahirkan paham negara agama dimana kehidupan kenegaraan diatur dengan prinsip keagamaan, melahirkan konsep Islam dan Negara. Sumber hukum positifnya adalah agama, masyarakat tidak bisa membedakan aturan negara dan agama karena keduanya menyatu. Dalam paham ini rakyat menaati segala ketentuan negara dan agama, sebaliknya melawan negara berarti melawan agama dan Tuhan. Peran Islam dan pembentukan Kebangsaan Indonesia merupakan peranan yang saling mempengaruhi. Islam di Indonesia adalah roh pergerakan Kebangsaan yang membangun spirit perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan penjajahan. Islam mampu membentuk identitas perlawanan tersebut dalam masyarakat Indonesia, sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan tidak lepas dari keterlibatan Islam sehingga sangat nyata sekali bahwa Islam merupakan salah satu kekuatan pokok. Konsepsi mengenai keIndonesiaan Natsir dan pendiri negara lainnya merupakan suatu sikap untuk kehidupan bersama dalam kerangka NKRI yang bertujuan menghadirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Perdebatan mengenai dasar Negara bila dipelajari secara seksama bukanlah untuk saling menghegemoni pemahaman satu terhadap pemahaman lainnya tetapi merupakan sikap untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan dan
118
merumuskan kerangka kerja dalam rangka kepentingan rakyat banyak. Hal ini terlihat dari sikap Natsir yang mengajukan “Mosi Integral” pada saat Indonesia terbagi-bagi dalam beberapa negara bagian. Sikap ini sangat mengejutkan kalangan politisi saat itu bahwa Natsir mampu melihat jauh kedepan tentang kepentingan yang lebih besar. Islam-Pancasila dan Islam-Kebangsaan Dalam perdebatan tentang Pancasila pada masa Dewan Konstituante, Ia berpendapat bahwa Islam merupakan satu kesatuan konsepsi ketatanegaraan yang tak terpisahkan. Islam merupakan “Rahmatin il alamin” bagi semua elemen kehidupan berbangsa khususnya dan dunia pada umumnya. Islam sebagai agama pembebasan
kemanusiaan,
ajaran
Islam
harus
diturunkan
untuk
melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan menjadi spirit menjaga persatuan dan kesatuan. Oleh sebab itu, orang Islam itu tidak boleh bertaklid buta dalam menerima suatu ajaran/pemahaman tanpa mengecek kebenarannya. Pemahaman yang benar terhadap suatu hal yang telah teruji haruslah diterima atau diakui kesahihannya walaupun itu berasal dari musuh atau pihak yang berseberangan. Sehingga, pemahaman akan kemerdekaan bukan pada peristiwa heroik saja tetapi lebih pada perjuangan memanusiakan kemanusiaan dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Pancasila haruslah dipahami sebagai nilai-nilai dasar tentang kemanusiaan yang bersumber dari ajaran Ketauhidan. Sila pertama Pancasila merupakan bentuk pengakuan ajaran Keilahian Tuhan, sumber utama kehidupan yang harus menjiwai empat sila lainnya. Perbedaan pemikiran Natsir dan Soekarno mengenai Ketuhanan, hanya
terletak dalam
pemahaman
nilai spiritualitas.
Natsir lebih
berpandangan bahwa Islam haruslah menjadi dasar utama perumusan undang-undang dan peraturan lainnya, sedangkan Soekarno lebih berpijak pada budi nurani sebagai landasan nilai spiritualitas. Kedua pandangan tersebut merupakan “Tuntutan Hati Nurani” manusia yang terdalam dalam pengakuan Ketuhanan yang Maha Esa, perjuangan
119
haruslah bernilai kemanusiaan tanpa adanya upaya mengeksploitasi manusia satu terhadap manusia lainnya serta memahami riwayat/sejarah perkembangan masyarakat dan tata ekonomi dunia. Berbeda dengan para pendiri republik di Eropa atau Amerika yang tidak memperhatikan agama dalam negara, para pendiri bangsa termasuk Natsir dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa agama merupakan realitas yang hidup. Agama telah menjadi bagian dari sistem sosial dan budaya masyarakat. Hingga pada tingkat tertentu, agama telah berperan sebagai sumber inspirasi dan alat mobilisasi dukungan untuk melawan penjajahan. Karena itu, terdapat posisi dan peran yang sesuai bagi agama dalam negara-bangsa (nation-state) yang mereka bangun. Sejak awal Natsir cenderung meletakkan kata sifat agama di belakang negara. Nasionalisme Indonesia harus bersifat "Kebangsaan Muslimin", Islam sebagai
ideologi.
Pandangannya
itu
didorong
oleh
pemahaman
teologisnya, mengutip Montgomery Watt, "Islam is more than a religion, it is a complete civilization". Berbeda dengan Soekarno yang mengutip paham Ataturisme atau Kemalisme mengenai pemisahan hubungan antara agama dan negara. Menurut Natsir, sekularisme mengingkari kenyataan sosiologis masyarakat Indonesia karena agama telah menjadi "a living reality".
120
REFERENSI
Abu Ghazali, Pimpinan Umat Islam Sedunia, dalam Hakiem, Pemimpin pulang,(Jakarta: Media Dakwah, 1993) Al-Izzah, Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah,( Jakarta: Yayasan Idayu, 1976) Kunto Wijoyo, “Tjoko, M. Nasir, dan Habibie, Sebuah Artikel yang Dimuat dalam Majalah Ummat, No. 9 Tahun I/30 oktober 1995. Syafig A. Mughni, Hassan Bandung, Pemikiran Islam Radikal, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994) Thohir Luth. M. Nasir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani, 1999) Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online), (www.wikipedia.com)
121
DAFTAR PUSTAKA Abdul razak dan rosihun anwar. 2001. ilmu kalam. Bandung : CV. Pustaka setia. Abdullah al-amin al=nu‟my. 1995. Kaedah dan teknik pengajaran menurut ibnu khaldun dan al-qabisy. Jakarta. Abdullah Qodim Zallum. 1976. Pemikiran Politik Islam, (Bangil : AlIzzah, 2001. Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah. Jakarta: Yayasan Idayu. Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati. Pendidikan Luar Sekolah. Surabaya: Usaha nasional. Abu Ghazali. 1993. Pimpinan Umat Islam Sedunia, dalam Hakiem, Pemimpin pulang. Jakarta: Media Dakwah. Assep Purna. 2011. 101 Kisah Ins piratif. Jakarta : Gagas Media, Bustami A. Ghani. 1987. Jakarta: Bulan Bintang. Damami & Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Fazlur Rahman. 2001. Gelombang Perubahan Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hanafi, A. 1979. Teologi Islam Ilmu Kalam. Jakarta : Bulan Bintang. Hasbullah. 2011. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Khaldun Khuluq, L. 2000. Fajar Kebangunan Ulama – Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari . Yogyakarta: LKiS.
Kunto Wijoyo, “Tjoko, M. Nasir, dan Habibie, Sebuah Artikel yang Dimuat dalam Majalah Ummat, No. 9 Tahun I/30 oktober 1995.
122
Kurniawan, S & Mahrus, E. 2013. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Maguwoharjo: Ar Ruzz Media.
Muhaimin. 1991. Konsep Pendidikan Islam. Solo:Ramadhan. Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah.... hal.129131. Muktafi Fahal dan Ahamad Amir Aziz. 1999. Teologi islam modern, Surabaya: Gitamedia Press. Nasution, H. 1986. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya Jilid II, Jakarta: UI Pers. Nasution, I. 2011. Ilmu Kalam ditengah perkembangan kepercayaan dan peradaban manusia. Medan : Duta Azhar. Nizar, S. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers. Nizar,S. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press. Safwan, Mardanas. & Kutoyo, S. 2001. KH. Akhmad Dahlan, Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Soedja, M. 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Rhineka Cipta.
Syafig A. Mughni, Hassan Bandung. 1994 Pemikiran Islam Radikal. Surabaya: PT Bina Ilmu. Thohir Luth. M. Nasir. 1999. Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani. Wikipedia,
Mohammad
Natsir,
(Online),
(www.wikipedia.com),
diakses 10 April 2017.
123