ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEGEMUKAN PADA ANAK

Download intake, physical activity, and father's BMI as independent variables. Data were analysis by SPSS. The results show that prevalence of o...

0 downloads 334 Views 748KB Size
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEGEMUKAN PADA ANAK USIA 6-14 TAHUN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANWAR MUSADAT

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegemukan pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi Sumatera Selatan adalah karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Juni 2010

Anwar Musadat NRP. I151080171

ABSTRACT

ANWAR MUSADAT. Determinant Analysis of Overweight Children 6-14 years – old in Province of South Sumatera. Under direction of HADI RIYADI and LILIK KUSTIYAH.

Indonesia is a developing country, had two nutrition problems,i.e. under nutrition and over nutrition. Overweight in childhood would be a risk factor for degenerative diseases, such as vascular diseases, hypertension and hyperlipidemia in adulthood; discrimination from their peer group; negative body image; depression; and unable to manage social interactions. Based on Riskesdas. 2007, prevalence of overweight of 6-14 years-old children in Indonesia was, 9.5% for males and 6.4% for females. In South Sumatera, the prevalence of overweight and obesity of children aged 6-14 years old was 16 % in males and 11 % in females. The Objective of research is to analyze influencing factors associated with overweight in 6-14 year-old children in South Sumatera. Design of the research was the crossed - sectional. Nutritional status, as independent variable was measured with weight for height. Dependent variables consist of sex, age, father education, status of father occupation, family income, number of family member, eating fruits habit, eating vegetable habit, eating fatty food habit, eating sweetfood habit, energy and protein intake, physical activity, and father’s BMI as independent variables. Data were analysis by SPSS. The results show that prevalence of overweight was 12.7%. There were significant correlation among sex, age, physical activity, eating fruits habit, eating fatty food habit, energy intake, protein intake and father’s BMI with overweight (p<0.05). Determinant factor of overweight the most was physical activity (OR = 1.491). Keyword: overweight, physical activity, energy and protein intake, eating habit

RINGKASAN ANWAR MUSADAT. Analisis Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kegemukan pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh HADI RIYADI dan LILIK KUSTIYAH. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki dua masalah gizi utama yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Dampak masalah gizi kurang atau buruk akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan fisik dan mental, sedangkan dampak masalah gizi lebih (kegemukan) pada masa anak-anak akan menjadi faktor risiko terjadinya penyakit degeneratif, seperti penyakit pembuluh darah, hipertensi, dan hyperlipidemia pada usia dewasa; diskriminasi dari temantemannya; kesan negatif terhadap diri; depresi dan atau kurang bisa bersosialisasi. Data kegemukan (overweight maupun obesitas ) anak umur 6-14 tahun di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2007, untuk laki-laki adalah 9,5 %, dan perempuan sebesar 6,4 %. Sedangkan untuk Sumatera Selatan (overweight maupun obesitas ) anak umur 6-14 tahun untuk laki-laki sebesar 16 % dan perempuan sebesar 11 %. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kegemukan pada anak usia 6-14 tahun di Sumatera Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan dengan desain cross-sectional. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Data dasar yang dihasilkan Riskesdas 2007 diantaranya terdiri dari status kesehatan (termasuk data biomedis), status gizi, kesehatan lingkungan, perilaku kesehatan dan berbagai aspek pelayanan kesehatan. Lokasi yang menjadi sampel penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebanyak 14 kabupaten/kota. Dari setiap kabupaten/kota diambil blok sensus yang proporsional terhadap jumlah rumah tangga di kabupaten /kota tersebut, kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling). Jika dalam sebuah blok sensus terdapat lebih dari 150 rumah tangga maka dalam penarikan sampel akan dibentuk sub blok sensus. Populasi Riskesdas Provinsi Sumatera Selatan adalah adalah seluruh rumah tangga yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Rumah tangga yang dijadikan sampel adalah sebanyak 8.421 rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga sebanyak 33.358 orang. Sampel pada penelitian ini adalah rumah tangga yang mempunyai anak usia 6-14 tahun. Dari jumlah tersebut didapat sebanyak 5.389 anak. Data yang dikumpulkan meliputi data anak yaitu jenis kelamin, umur, pola aktifitas fisik anak (jenis, lama), frekuensi makan ( makan sayuran, makan buahbuahan, makanan berlemak, makan/minuman manis dan makan jeroan). Sedangkan data orang tua anak meliputi jenjang pendidikan ayah, pekerjaan utama ayah, jumlah anggota keluarga, pengeluaran per kapita /bulan, berat badan ayah, tinggi badan ayah. Status gizi diukur dengan indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai variabel dependen, dan variabel umur, jenis kelamin, pendidikan orang tua, status pekerjaan orang tua, penghasilan keluarga, jumlah anggota keluarga, kebiasaan makan (sayuran, buah-buahan, makanan berlemak, jeroan, makan /minuman manis), akftifitas fisik, konsumsi energi, konsumsi protein, dan IMT ayah adalah sebagai variabel independen. Analisis data dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat dan multivariat dengan program software SPSS.

Hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi kegemukan pada anak usia 614 tahun di Sumatera Selatan yaitu sebesar 12,7 %, yang terdiri dari 14,6 % laki-laki dan 10,6 % anak perempuan. Prevalensi kegemukan pada anak usia 6-9 tahun adalah sebesar 19%, dan anak usia 10-14 tahun adalah sebesar 7,8%. Proporsi jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah hampir sama yakni laki-laki (51,9%) dan perempuan (48,1%). Proporsi anak usia 10-14 tahun adalah lebih besar (56,5%) dibandingkan dengan umur 6-9 tahun (43,5%). Untuk pendidikan ayah sebagian besar (37,3) pendidikannya tamat SD, sedangkan untuk penghasilan dengan pendekatan pengeluara, proporsinya adalah lebih besar pada kuintil 1 dan 2 yakni sebesar 23,2% dan 29,4%. Adapun pekerjaan utama ayah, proporsi paling tinggi adalah pada petani/buruh/nelayan (70,2%), dengan proporsi jumlah anggota keluarga paling tinggi yaitu tergolong keluarga besar (61,9%). Hasil uji hubungan menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata (p<0.05) antara jenis kelamin, umur, aktifitas fisik anak, kebiasaan makan buah, kebiasaan makan makanan berlemak, IMT orang tua, konsumsi energi perkapita, dan konsumsi protein perkapita dengan kegemukan. Dari hasil uji regresis logistik untuk mengetahui varaiabel yang paling dominan dan berpengaruh terhadap kegemukan diketahui adalah aktifitas fisik (OR = 1.491) artinya anak yang aktifitas fisiknya kurang mempunyai risiko untuk gemuk 1.491 kali dibandingkan dengan yang aktifitas fisiknya cukup. Kejadian kegemukan untuk anak usia 6-14 tahun di Sumatera Selatan masih cukup tinggi lebih tinggi dari nasional, oleh kerena itu diperlukan meningkatkan program pencegahan sejak dini, melalui penyuluhan, seminar tentang gizi seimbang dan masalah gizi lebih. Selain itu membuat program integratif antara lintas program dan lintas sektor, seperti pada Dinas Pendidkan, dan Dinas Kesehatan terhadap program pendidikan gizi disekolah. . Kata kunci: kegemukan, aktifitas fisik, konsumsi energi dan protein, kebiasaan makan

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S

Judul Tesis

:

Analisis Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kegemukan pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi Sumatera Selatan

Nama

:

Anwar Musadat

NRP.

:

I 151 080 171

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si. Anggota

Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. Ketua

. Diketahui

Ketua Program Studi Gizi Masyarakat

Drh. M. Rizal M. Damanik, M.RepSc,PhD

Tanggal Ujian : 1 Juni 2010

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah menganugerahkan nikmat yang tak dapat dihitung satu persatu, terutama nikmat iman dan Islam serta kesehatan, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam penulis sanjungkan kepedoman umat dalam akhlaknya yaitu Nabi Muhammad SAW. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga April 2010 ini berjudul “ Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegemukan pada Anak Usia 6-14 Tahun di Provinsi Sumatera Selatan”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat, untuk perencanaan kebijakan kaitannya dengan pencegahan sejak dini masalah gizi lebih atau kegemukan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Hadi Riyadi, MS. Dan Dr. Lilik Kustiyah, MSi. selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan saran bagi terwujudnya karya ilmiah ini. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS. selaku penguji, yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan tesis ini. Ungkapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Kapala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes.) Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan staf yang telah membantu kelancaran untuk mengolah

data Riskesdas. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada

pengelola sekolah Pascasarjana IPB, Departemen Gizi, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu pengetahuan. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada NICE Project Departemen Kesehatan RI. yang telah memberikan

beasiswa, dan

Pemda

Kabupaten Lahat Sumatera Selatan yang sudah memberikan ijin dan bantuan biaya pendidikan melalui cost sharing. Untaian do’a dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu yang senantiasa memanjatkan do’a untuk keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi dengan baik. Semoga Allah senantiasa menjaganya dalam kebaikan. Tidak lupa ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada teman –

teman GMS yang selama ini saling bahu-membahu dan menyemangati dalam menempuh pendidikan. Teruntuk istri (Umi Fatihaindhiya) dan

anak-anak tercinta (M. Basitul

Ma’ruf Al-Fatih, Qurratu Ain Mufidah, dan Muhammad Dhiyaul Islam), serta adikadik (Iwan, Ida, Umam) terima kasih atas doa dan

motivasi yang senantiasa

diberikan untuk menyelesaikan studi ini. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hambanya yang bertaqwa. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2010

Anwar Musadat

                           

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang, Banten pada tanggal 10 mei 1975, dari Bapak Subendi dan Ibu Ihat Muslihat. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 1988 penulis lulus SD Negeri Kampung Baru III, Kabupaten Tangerang. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan

ke Pesantren Al-Falah

Kubang Tasik Malaya selama dua tahun (1988-1989) dan lulus MTS pada tahun 1992.

Bekerja di Dinas Kesehatan Kab.Lahat pada tahun 1997. Pendidikan

selanjutnya penulis tempuh di D3 Gizi (AKZI Depkes) Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan S1 di STIKES Bina Husada Palembang dan

lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2008, penulis diterima di

Program Pascasarjana, IPB dengan mendapat beasiswa dari NICE Project, Departemen Kesehatan. Penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat sejak 1997 dan ditugaskan di Dinas Kesehatan. Bidang tugas

yang

keluarga

menjadi tanggung jawab penulis adalah seksi gizi dan kesehatan

Special for My parent : Subendi Ihat Muslihat

My Son ; Muhammad Basitul Ma’ruf Al- Fatih Qurratu A’in Mufidah Muhammad Dhiyaul Islam

And My Wife; Yusni Artati

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI.........................................................................................

vii

DAFTAR TABEL……………………………………………………

x

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................

xii

PENDAHULUAN.................................................................................

1

Latar Belakang..............................................................................

1

Rumusan masalah…………..……………………………………

3

Tujuan ………….………………………………………………..

4

Manfaat ………………………………………………………….

4

TINJAUAN PUSTAKA............................ ..........................................

5

Anak Usia 6-14 Tahun………………………………...................

5

Status Gizi…………………………..............................................

6

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi…….....................

9

Asupan Zat Gizi……………………………........................

9

Perilaku dan Kebiasaan Makan………….............................

10

Penyakit Infeksi…………………………………………....

13

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga……………………

14

Aktifitas Fisik……………………..……..............................

17

Genetik………………….……………….............................

18

KERANGKA PEMIKIRAN……………….…………......................

20

Hipotesis………………………...........................................

22

METODE ……………….………………............................................

23

Sumber Data……………………………………...........................

23

Disain, Lokasi, Populasi dan Sampel ………….………...............

24

Pengolahan dan Analisis Data ………………………….............

25

Pengolahan Data…………………....................................

25

Analisis Data………………………..................................

27

Definisi Operasional…………………………...............................

30

vii   

HASIL ……………………..…………………....................................

32

Gambaran Umum Lokasi……………………...........................

32

Karakteristik Anak…………………………….........................

32

Karakterstik Keluarga………………........................................

33

Pendidikan Ayah………………………………………..

33

Penghasilan Keluarga…………………………………...

34

Pekerjaan Ayah…………………………………………

34

Jumlah Anggota Keluarga………………………………

35

Status Sosial Ekonomi Keluarga………………………..

35

Genetik Orang Tua (IMT Ayah)………….…………………...

35

Status Gizi………………………………..................................

36

Status Kesehatan……..……………………..............................

36

Aktifitas Fisik………..……………..........................................

37

Perilaku Konsumsi…………………………………………….

37

Konsumsi Energi……….…………………….................

37

Konsumsi Protein…………………….............................

38

Kebiasaan Makan Buah dan sayur...................................

38

Kebiasaan Makan Makanan/Minum Manis…………….

40

Kebiasaan Makan Makanan Berlemak………………….

40

Kebiasaan Makan Jeroan……………………………….

41

Analisis Bivariate…………………………………...................

41

Faktor - faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan………

41

Karakteristik Anak……………………………………...

41

Karakteritik Keluarga…………………………………...

42

Genetik Orang Tua……………………………………...

45

Status Kesehatan………………………………………..

46

Aktifitas Fisik…………………………………………...

46

Perilaku Konsumsi……………………………………...

47

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegemukan……………...

51

Model Faktor Penentu Kejadian Kegemukan………….….…..

52

viii   

PEMBAHASAN…………..………………………………………….

54

Gambaran Status GIzi………….……………………...………

54

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan…….....

54

Karakteristik Anak……………………………………...

54

Karakteristik Keluarga………………………………….

55

Genetik Orang Tua (IMT Ayah)………………………..

59

Status Kesehatan………………………………………..

59

Aktifitas Fisk……………………………………………

60

Perilaku Konsumsi……………………………………...

61

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kegemukan…………..

65

Keterbatasan Penelitian……………………………………….

66

KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………

68

Kesimpulan……………………………………………………

68

Saran……..………….....….…………………………………..

68

DAFTAR PUSTAKA…....…………………………………………..

69

LAMPIRAN…………….…....………………………………………

75

ix   

DAFTAR TABEL Halaman 1

Standar

Penentuan

Kekurusan dan Kegemukan menurut Nilai

8

Rerata IMT, Umur dan Jenis Kelamin, WHO 2007……………......... 2

Kecukupan Energi dan Protein Anak Usia 6-14 tahun........................

10

3

Kategori Ambang Batas IMT (Kg/m2) untuk Indonesia....................

19

4

Pengkategorian Variabel Penelitian.....................................................

25

5

Sebaran Anak Berdasarkan Jenis Kelamin.........................................

32

6

Sebaran Anak berdasarkan Umur ………………………………….

33

7

Sebaran Anak berdasarkan Pendidikan Orang Tua (ayah) ..............

33

8

Sebaran Anak berdasarkan Penghasilan Keluarga .........................

34

9

Sebaran Anak berdasarkan Pekerjaan Orang Tua (ayah) ...................

34

10

Sebaran Anak berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ....................

35

11

Sebaran Anak berdasarkan Status Sosial Ekonomi Keluarga ...........

35

12

Sebaran Anak berdasarkan Genetik Orang Tua (IMT Ayah)………..

36

13

Sebaran Anak berdasarkan Status Gizi.......................... ……………

36

14

Sebaran Anak berdasarkan Status Kesehatan .…………………….

37

15

Sebaran Anak berdasarkan Aktifitas Fisik ………………………..

37

16

Sebaran Anak berdasarkan Konsumsi Energi .............. …………..

38

17

Sebaran Anak berdasarkan Konsumsi Protein ..................................

38

18

Sebaran Anak berdasarkan Kebiasaan Makan Buah .....................

39

19

Sebaran Anak berdasarkan Kebiasaan Makan Sayur ……………...

39

20

Sebaran Anak berdasarkan Kebiasaan Makan/minum Manis .......

40

21

Sebaran Anak berdasarkan Kebiasaan Makan Berlemak ………….

40

22

Sebaran Anak berdasarkan Kebiasaan Makan Jeroan …………….

41

23

Sebaran Anak berdasarkan Jenis Kelamin dengan Kegemukan ........

42

24

Sebaran Anak berdasarkan Umur dan Kegemukan............................

43

25

Sebaran Anak berdasarkan Pendidikan Ayah dan kegemukan……....

43

26

Sebaran Anak berdasarkan Penghasilan Keluarga…………………..

44 x 

 

27

Sebaran

Anak berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga dengan

44

Kegemukan........................................................................................... 28

Sebaran Anak berdasarkan Status Sosial Ekonomi Keluarga dengan

45

Kegemukan........................................................... 29

Sebaran Anak berdasarkan Genetik Orang Tua (IMT Ayah)………..

46

30

Sebaran Anak berdasarkan Status Kesehatan dengan Kegemukan....

46

31

Sebaran Anak berdasarkan Aktifitas Fisik dengan Kegemukan........

47

32

Sebaran

47

Anak berdasarkan Kebiasaan Makan Buah dengan

Kegemukan ......................................................................................... 33

Sebaran

Anak berdasarkan Kebiasaan Makan Sayur dengan

48

Kegemukan........................................................................................... 34

Sebaran

Anak menurut Kebiasan Makan/Minum Manis dengan

48

Kejadian Kegemukan ............…………………………………..…… 35

Sebaran

Anak menurut Kebiasaan Makan Berlemak dengan

49

Kegemukan ……………..…………………………………………… 36

Sebaran

Anak berdasarkan Kebiasaan Makan Jeroan dengan

50

Kegemukan ………………………………………………………...... 37

Sebaran Anak berdasarkan Konsumsi Energi dengan Kegemukan....

50

38

Sebaran Anak berdasarkan Konsumsi Protein dengan Kegemukan...

51

39

Rekap Hasil Analisis Bivariate...........................................…………

52

40

Model Regresi Logistik Multitiple dengan Variabel Potensial ……

53

xi   

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 2

Hasil Uji regresi Logistik................................…………………….. Varibel Reskesdas berkaitan dengan penelitian….......................

75 78

xii   

1

PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan

pembangunan

suatu

bangsa sangat tergantung kepada

keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif.

Salah satu indikator keberhasilan

pembangunan sumberdaya manusia yaitu dicirikan dengan Human Depelovemnt Indexs (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks Pembangunan Manusia Indonesia pada tahun 2003, menempati urutan ke - 112 dari 174 negara (UNDP 2003).

Sedangkan pada tahun 2004, Indeks pembangunan

manusia

Indonesia menempati peringkat 111 dari 177 negara (UNDP 2004). Programprogram upaya kesehatan termasuk program perbaikan gizi dan kesehatan yang bertujuan meningkatkan status gizi masyarakat, sangat diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan Transisi

Indeks Pembangunan Manusia(Depkes, 2005).

pola kebiasaan

hidup, termasuk pola makan, berpengaruh

terhadap perubahan pola penyakit. Terdapat perubahan masalah kesehatan yang terjadi di negara berkembang, dimana masalah gizi kurang dan penyakit infeksi masih banyak terjadi, namun disertai dengan meningkatnya masalah gizi lebih dan penyakit degenaratif (Soekirman, 1999) Kegemukan menjadi ancaman serius bagi kesehatan. Kondisi kegemukan akan

membawa

temannya, kesan

beberapa konsekuensi, seperti diskriminasi dari temannegatif

terhadap diri, depresi, dan

bersosialisasi. Selain itu, dampak

kegemukan pada

atau

kurang

bisa

masa anak-anak, akan

menjadi faktor risiko terjadinya penyakit degeneratif, seperti penyakit pembuluh darah, hipertensi, dan hyperlipidemia pada usia dewasa (Freedman et al. 1999) Prevalensi overweight dan obesitas di kawasan Asia - Pasifik cukup tinggi. Penduduk Korea Selatan sebanayak 20,5 % tergolong overweight dan 1,5 % tergolong obesitas, di Thailand 16 % penduduknya mengalami overweight dan 4 % mengalami obesitas. Penelitian di Cina untuk daerah perkotaan, prevalensi overweight untuk laki-laki adalah 12 %, pada perempuan 14,4%, sedangkan di daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki dan perempuan masingmasing adalah 5,3% dan 9,8% (Inoue 2000).

2

Kegemukan tidak hanya ditemukan pada penduduk dewasa, tetapi juga pada anak-anak dan remaja. Penelitian yang dilakukan di Malaysia menunjukkan bahwa prevalensi obesitas mencapai 6,6% untuk kelompok umur 7 tahun, dan menjadi 13,8% pada kelompok umur 10 tahun (Ismail & Tan, 1998). Prevalensi obesitas anak sekolah di Cina sebesar 10 %, sedangkan di Jepang prevalensi obesitas pada anak umur 6-14 tahun berkisar antara 5 % s/d 11 % (Ito & Murata 1999 ). Data kegemukan (overweight maupun obesitas) anak umur 6-14 tahun di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2007, untuk laki-laki sebesar 9.5 %, dan perempuan sebesar 6,4 %. Untuk Sumatera Selatan status gizi lebih (overweight maupun obesitas) anak umur 6-14 tahun untuk laki-laki sebesar 16 % dan perempuan sebesar 11 %. Bertambah

banyaknya jumlah

dengan beberapa faktor yang

kegemukan, hal ini dikaitkan dikaitkan

mempengaruhinya antara lain; sosial ekonomi

keluarga, konsumsi energi berlebih, aktifitas fisik, konsumsi makan berlemak, konsumsi sayuran, konsumsi buah-buahan, juga bisa karena faktor lingkungan.. Hasil penelitian Kusumajaya (2007), menyebutkan bahwa remaja yang dengan katagori gemuk, ternyata olahraganya <3 kali/minggu, untuk makan sayuran, remaja gemuk, lebih sedikit mengkonsumsi sayur dibandingkan dengan yang tidak gemuk, untuk makanan berlemak, remaja gemuk mengkonsumsi makanan berlemaknya lebih banyak (11 %), dibanding remaja yang tidak gemuk (9,7%). Kegemukan yang terjadi selama masa kanak-kanak, memiliki konsekuensi medis jangka pendek, meliputi efek yang merugikan terhadap pertumbuhan, dan konsekuensi medis jangka panjang meliputi risiko yang lebih besar untuk terkena hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler , dan penyakit degeneratif lainnya pada

masa dewasa. Kegemukan

pada

masa anak - anak juga

menimbulkan konsekuensi psikososial jangka pendek dan jangka panjang seperti imej diri yang negatif, penurunan kepercayaan diri, gangguan makan, dan kesehatan yang lebih rendah hubungannya dengan kualitas hidup (Thorpe et al. 2004) Angka prevalensi kegemukan yang sudah ada, menjadi peringatan bagi pemerintah dan masyarakat, bahwa kegemukan merupakan ancaman serius bagi

3

masyarakat Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi gemuk, oleh karena itu, perlu diteliti lebih jauh tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kegemukan pada usia 6-14 tahun di Provinsi Sumatera Selatan. Rumusan Masalah Masalah kegemukan pada usia dini, harus menjadi perhatian serius, mengingat prevalensi kegemukan pada usia dini cukup tinggi, Kondisi kegemukan pada usia anak – anak akan dibawa sampai dewasa, yang berdampak terhadap peningkatan resiko penyakit degeneratif. Meningkatnya status sosial ekonomi masyarakat saat ini, ditambah lagi dengan gaya hidup yang kurang baik, seperti banyak tawaran makanan siap saji, dan kurangnya aktifitas fisik cenderung meningkatkan

kejadian gizi lebih.

Sumatera Selatan dipilih menjadi tempat penelitian dengan pertimbangan prevalensi kegemukan pada usia 6-14 tahun melebihi angka nasional, sehingga penulis tertarik ingin mempelajari lebih jauh tentang faktor-faktor

yang

mempengaruhi kegemukan pada usia 6-14 tahun di Provinsi Sumatera Selatan

Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kegemukan pada anak usia 6-14 tahun di Provinsi Sumatera Selatan.

4

Tujuan Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi kejadian kegemukan pada anak usia 6-14 tahun di Provinsi Sumatera Selatan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi

karakteristik anak (jenis kelamin, umur) dan keluarga

(pendidikan ayah, penghasilan, status pekerjaan ayah, jumlah anggota keluarga, sosial ekonomi) 2. Menganalisis status gizi, status kesehatan, konsumsi energi , dan protein, aktifitas fisik, kebiasaan makan (buah, sayur, makan/minum yang manis, jeroan, makanan berlemak), dan genetik orang tua (ayah). 3. Menganalisis

hubungan antara karakteristik anak (jenis kelamin, umur),

karakteristik keluarga (pendidikan ayah, penghasilan, pekerjaan ayah, jumlah anggota keluarga, sosial ekonomi), genetik orang tua, status kesehatan, aktifitas fisik, kebiasaan makan (buah, sayur, makan/minum yang manis, jeroan, makanan berlemak) anak, konsumsi energi dan protein, dengan kegemukan. 4. Menganalisis faktor - faktor yang berpengaruh terhadap kegemukan anak

Manfaat Beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi early warning bagi orang tua dalam mencegah obesitas sejak dini 2. Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah, khususnya di Sumatera Selatan, dalam merumuskan kebijakan dan program peningkatan edukasi dan promosi pencegahan kegemukan 3. Adanya publikasi hasil penelitian sehingga dapat memberikan kontribusi pengembangan iptek dan pengayaan serta pendalaman informasi terkait, bagi masyarakat ilmiah dan pengguna. 4. Dari segi riset, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi penelitian sejenis, khususnya yang terkait dengan penelitian tentang faktor penyebab kegemukan pada anak usia 6-14 tahun di propinsi Sumatera Selatan

5

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Usia 6-14 Tahun

Definisi Definisi anak usia 6-14 tahun

adalah usia masa peralihan dari balita

menjadi anak-anak dan remaja, ditandai dengan perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai membesar dan meningginya organ tubuh. Anak usia ini lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah, klub olahraga, dan tempat mainnya. Anak usia ini juga sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan teman sebaya, guru, istruktur olahraga, dan idolanya (Mahan & Escott – Stump 2004).

Karakteristik Usia Sekolah (6-14 tahun) Kelompok usia ini merupakan usia wajib sekolah 9 tahun (dari SD s/d SMP). Beberapa karakteristik anak usia ini adalah sebaga berikut:  Anak banyak menghabiskan waktu diluar rumah  Aktifititas fisik anak semakin meningkat  Pada usia ini anak akan mencari jati dirinya. Anak akan banyak berada diluar rumah untuk jangka waktu antara 4 sampai 5 jam. Pada saat waktu bangun pagi kadar gula darah anak dalam tingkatan minimal, jika anak berangkat tanpa makan pagi, berarti setiba di sekolah akan keadaan hipoglikemi. Aktifitas fisik anak yang semakin meningkat, seperti pergi dan pulang sekolah, bermain dengan teman, akan meningkatkan kebutuhan energi. Apabila anak tidak memperoleh energi sesuai kebutuhannya, maka akan terjadi pengambilan cadangan lemak tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga anak menjadi lebih kurus dari sebelumnya. Pada usia ini anak akan mencari jati dirinya, dan akan sangat mudah terpengaruh

lingkungan sekitarnya, terutama

teman

sebaya, dimana

pengaruhnya sangat kuat, seperti anak akan mengalami berbagai perubahan, termasuk perubahan kebiasaan makan. Pengaruh media massa terutama televisi juga turut

membentuk pola kebiasaan makan, pemilihan bahan makanan,

kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu, dan jajan yang tidak

6

terkontrol, sehingga menyebabkan pemenuhan kebutuhan gizi anak tidak cukup. Keseluruhan faktor tersebut

menjadi perhatian orang tua, sehingga tidak

menyebabkan terjadinya masalah gizi pada

anak. Menanamkan kebiasaan

makan dan memilih makanan yang baik, etika dan sopan santun di meja makan harus ditanamkan pada usia ini (Moehyi 1996). Umur dan Jenis Kelamin. Umur dan jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi, dan akan berpengaruh terhadap status gizi, sehingga terdapat hubungan antara jenis kelamin dan status gizi (Apriadji 1986). Untuk mengobservasi perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan adalah dengan penentuan body fat dan muscle. Perbedaan kandungan body fat antara jenis kelamin terus berlangsung selama rantai kehidupan. Selama usia prepubescent (8-13 tahun), bodyfat pada perempuan meningkat sangat cepat, dan sampai pada puncaknya setelah usia 11 tahun (Hui 1985). WHO (2000) menyatakan bahwa perempuan cenderung mengalami peningkatan

penyimpanan lemak. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa

perempuan cenderung mengkonsumsi sumber karbohidrat yang lebih banyak sebelum pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengkonsumsi makanan kaya protein, Tetapi hasil penelitian Proper et al. (2006) menyatakan bahwa lakilaki lebih memungkinkan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai pada saat waktu senggang dibandingkan wanita.

Status Gizi Definisi status gizi Status gizi

merupakan

keadaan

kesehatan

tubuh

seseorang, atau

sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan (Riyadi 2003). Kekurangan atau kelebihan zat gizi dalam

tubuh

akan

mempengaruhi status gizi yang pada akhirnya

menyebabkan masalah gizi. Depkes (2002),

menyebutkan status gizi adalah

keadaan fisiologis sebagai akibat dari kesimbangan antara intake dengan

7

penggunaan zat gizi oleh tubuh. Menurut almatsier (2001), status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Sedangkan

menurut Jahari (2002),

menyebutkan bahwa status gizi

disebut seimbang, atau gizi baik, bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan. Status gizi tidak seimbang, dapat dipresentasikan dalam bentuk kurang gizi, yaitu bila jumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan, dan dalam bentuk

gizi

lebih, yaitu bila asupan zat gizi melebihi dari yang

dibutuhkan. Status gizi lebih merupakan kondisi dimana berat badan melebihi standar berat badan normal. Gizi lebih dapat terjadi pada semua lapisan umur, dari mulai bayi, balita, anak-anak, orang dewasa, dan lansia. Persatuan ahli gizi rumah sakit Cipto Mangun Kusumo ( RSCM), mengatakan gizi lebih yang dapat menyebabkan kegemukan dibagi dua yaitu berat badan overweight yang berarti berat badan lebih dari 10-20 % dari berat badan

ideal, dan obesitas yaitu

kondisi tubuh memiliki berat badan lebih 20 % berat badan ideal. Overweight adalah kondisi

berat badan

melebihi berat normal, sedang obesitas adalah

kondisi kelebihan berat badan akibat tertimbunnya lemak, pada pria 20 % sedang pada wanita 25 % (Rimbawan dan Siagian 2004). Cara Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi secara garis besar dibedakan menjadi 2 jenis, salah satunya yaitu Penilaian status gizi secara langsung yang terdiri dari: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik, sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi pangan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2002). Penilaian Status Gizi secara Antropometri . Menurut Gibson (2005), antropometri merupakan salah satu

metode untuk menilai status gizi secara

langsung. Antropometri berarti ukuran tubuh manusia, sehingga antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Indeks antropometri yang direkomendasikan antara lain : 1. Berat badan menurut umur (BB/U)

8

2. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 3. Tinggi badan menurut umur (TB/U) 4. Lingkar lengan atas (LILA) 5. Lingkar kepala (LIKA) 6. Tebal lemak bawah kulit menurut umur 7. Rasio lingkar panggul dengan pinggul Untuk penilaian status gizi pada anak usia 6-14 tahun dalam hal tingkat kegemukan, dapat dinilai berdasarkan IMT yang dibedakan menurut umur dan jenis kelamin. Untuk menentukan kurus adalah apabila nilai IMT kurang dari 2 standar deviasi (SD) dari nilai rerata, dan berat badan (BB) lebih jika nilai IMT lebih dari 2SD nilai rerata standar WHO 2007 (Tabel 1). Tabel 1 Standar Penentuan Kekurusan dan Kegemukan menurut Nilai Rerata IMT, Umur dan Jenis Kelamin (WHO 2007) Umur Laki-laki Perempuan (Tahun) Rerata IMT -2SD +2SD Rerata IMT -2SD +2SD 6

15,3

13,0

18,5

15,3

12,7

19,2

7

15,5

13,2

19,0

15,4

12,7

19,8

8

15,7

13,3

19,7

15,7

12,9

20,6

9

16,1

13,5

20,5

16,1

13,1

21,5

10

16,4

13,7

21,4

16,6

13,5

22,6

11

16,9

14,1

22,5

17,3

13,9

23,7

12

17,5

14,5

23,6

18,0

14,4

24,9

13

18,2

14,9

24,8

18,8

14,9

26,2

14

19,0

15,5

25,9

19,6

15,5

27,3

Penilaian dengan menggunakan IMT ini direkomendasikan sebagai dasar indikator antropometri untuk anak dan remaja yang kurus dan gemuk. Ditegaskan juga penilaian status gizi pada anak dan remaja dapat dilakukan secara antropometri dengan menggunakan indeks BB/TB2 yang dikenal dengn Indeks Masa Tubuh berdasarkan umur (BMI for age) yang kemudian dinilai baku WHO-NCHS dalam bentuk pensentil.

9

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Berdasarkan studi beberapa variabel

kepustakaan

yang ditemukan sebelumnya yaitu;

bebas (independen) yang merupakan faktor-faktor yang

berhubungan dengan status gizi adalah sebagai berikut: Asupan Zat Gizi. Asupan gizi merupakan faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang. Masalah

gizi

biasanya timbul karena

terjadi

ketidakseimbangan asupan zat gizi. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup serta seimbang, merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Makanan yang ideal yaitu makanan yang mengandung cukup energi dan semua zat gizi esensial, tersedia dalam jumlah yang cukup, dan sesuai kebutuhan sehari-hari. Jumlah

energi dan protein yang diperlukan

untuk

pertumbuhan normal tergantung dari kualitas zat gizi yang dimakan, bagaimana zat gizi diserap, dan penggunaan oleh tubuh itu sendiri (Pudjiadi,2000). Asupan zat gizi untuk memenuhi kecukupan gizi seseorang, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu. Kebutuhan gizi merupakan ukuran kebutuhan seseorang terhadap zat gizi, yang dipengaruhi, umur, jenis kelamin, aktiftas, basal metabolic indexs. Menurut Mahan & Escott – Stump (2004) menyatakan bahwa keturunan /genetika dan lingkungan merupakan determinan yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertumbuhan merupakan refleksi dari kondisi kesehatan langsung

seseorang, sedangkan penyebab

seorang anak dapat tumbuh dan berkembang

secara baik adalah

cukupnya masukan zat gizi serta terbebasnya dari penyakit infeksi. Pada usia pertengahan biasanya anak-anak mempunyai nafsu makan yang bagus. Mereka banyak makan karena kegiatannya menuntut energi yang. banyak, dan dalam usia ini berat badannya meningkat dua kali lipat. Untuk mendukung pertumbuhan spontan ini, anak-anak memerlukan 2.050 kalori setiap hari, 34 gram protein, dan rata-rata karbohidrat yang tinggi, minimum harus tetap dipertahankan (Williams & Cakiendo 1984). Kebutuhan energi anak yang sehat berbeda-beda, hal ini ditentukan atas dasar kebutuhan kalori, tingkat pertumbuhan, dan pengeluaran energi. Kebutuhan energi berhubungan dengan konsumsi makanan yang cukup untuk memenuhi

10

kebutuhan kalori, protein, mineral dan vitamin sebagai zat sumber tenaga, pertumbuhan dan untuk cadangan energi tetapi tidak berlebihan, sehingga menjadi obesitas. Ukuran kebutuhan energi berdasar kelompok zat gizi adalah 50%-60% dari karbohidrat 25%-35% dari lemak, dan 10%-15% dari protein. Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktifitas fisik; anak yang kurang aktif , dapat menjadi kelebihan berat badannya atau mungkin obesitas. Adapun anak yang sangat aktif akan membutuhkan energi yang lebih banyak dari yang direkomendasikan. Tabel 2 Kecukupan Energi dan Protein Anak Usia 6-14 tahun Berat Badan (Kg)

Tinggi Badan (cm)

7-9

25

120.0

Angka Kecukupan Energi (Kal/orang//hari) 1800

Pria 10-14

35

138.0

2050

50

Wanita 10-14

38

145

2050

50

Umur (tahun)

Angka Kecukupan Proteian (gram/orang/hari) 45

Sumber : Hardinsyah dan Tambunan (2004) diacu dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004. Perilaku dan Kebiasaan Makan. Perilaku dan kebiasaan makan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya obesitas pada seseorang. Penderita obesitas ternyata sering berasal dari keluarga yang punya kebiasaan makan dalam porsi besar, frekuensi sering, selalu punya persediaan makanan kecil, dan makan diluar waktu makan (Taviano 2005). Makan adalah aktivitas sosial yang dilakukan berulang, dan banyak kebiasaan makan didapatkan dari keluarga dan tradisi. Anak cenderung untuk untuk mengikuti pola makan orang tuanya (Bhadrinath 1990 & Root 1990 diacu dalam Institute of Medicine of the National Academies 2001). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberi gambaran perilaku dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat. Selanjutnya Khumaidi (1994) menyatakan

bahwa kebiasaan

makan

adalah bagaimana

tindakan

manusia terhadap makan dan makanan yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan perasaan apa yang dirasakan serta persepsi tentang hal tersebut Pola makan

11

memberi andil yang besar terhadap kegemukan atau obesitas. Pola makan yang tinggi kalori dan lemak akan menyebabkan keseimbangan energi positif (terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak). Pola makan yang sesuai untuk gaya aktif dapat berlanjut setelah seseorang berubah menjadi gaya hidup lebih sedentary (Institue of Medicine of the National Academies 2001). Seseorang yang menderita obesitas cenderung untuk menukar waktu makan ke waktu yang berikutnya dan biasanya melangkahi sarapan (Berteus, Forslund,Lindroos, Sjostrom, & Lissner 2002; Ortega et al.1998. diacu dalam Phelann &Wadden (2004). Seseorang yang melangkahi waktu makan utama atau memiliki pola makan yang berubah-ubah, cenderung untuk mempunyai rasa lapar yang lebih besar. Konsumsi Sayur dan Buah. Mengkonsumsi sayur dan buah merupakan upaya yang dapat mencegah kejadian obesitas, karena dapat mengurangi lapar tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak dan sebagainya. Sayur dan buah juga mengandung serat kasar yang dapat membantu melancarkan pencernaan dan mencegah konstipasi (Hui 1995). Konsumsi sayuran dan buah adalah bagian dari strategi diet dalam mengontrol kegemukan dan obesitas (He et al. 2004). Epstein et al (2001) menyatakan bahwa peningkatan intervensi sayuran dan

buah menurunkan asupan tinggi lemak dan gula, sedangkan intervensi

penurunan lemak dan gula tidak berpengaruh pada perubahan asupan sayuran dan buah. Peningkatan konsumsi buah lebih baik dibandingkan sayuran dalam megontrol berat badan, karena buah lebih mudah dimakan sebagai snack sedangkan sayuran sering dikombinasikan dengan bahan lain yang mengandung energi seperti mentega, saus, minyak, dan keju, dan buah juga mengandung serat yang menimbulkan efek mempercepat rasa kenyang (Drapeau el al. 2004). Penelitian Newby et al. (2005) juga menyatakan bahwa pola makan tinggi serat, seperti konsumsi sayuran, buah-buahan, sereal, dan kacang-kacangan berhubungan

terbalik dengan IMT,

overweight, dan obesitas. Selain itu

penelitian drapeau et al.(2004), menyatakan bahwa konsumsi sayuran dan buahbuahan yang tinggi dapat menurunkan berat badan atau mencegah kenaikan berat badan.

12

Makanan/Minuman Manis. Makanan dan minuman manis merupakan bentuk makanan yang

kaya energi, karena biasanya merupakan sumber

karbohidrat, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan asupan energi berlebihan. Peningkatan konsumsi HFCS (high fructose corn syrup) berhubungan dengan apidemi obesitas. HFCS dan minuman manis biasanya berperan pada peningkatan total energi yang berkontribusi pada epidemic obesitas (Bray et al. 2004). Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan bahwa urbanisasi pada negara berkembang, kuat hubungannya dengan peningkatan konsumsi makanan manis. Mekanisme fisiolog, mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak tubuh, hal itu dikarenakan

melibatkan tingginya

densitas energi dan efek rasa lezat makanan manis. Review yang dilakukan malik et al. (2006) menunjukkan bahwa pada beberapa penelian cross sectional terdapat hubungan positif, negatife, positif, atau tidak berhubungan antara asupan minuman manis dengan obesitas.. Konsumsi Makanan Berlemak. Makanan berlemak merupakan salah satu hal penyebab terjadinya obesitas. Penelitian yang dilakukan oleh GuarllarCastillon et al. (2007), terhadap orang spanyol yang berumur 29-69 tahun, menunjukkan bahwa makanan gorengan (food fried) berhubungan positif dengan obesitas umum karena dapat menghasilkan energi yang tinggi. Huot et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan berlemak berhubungan dengan pada lakilaki, namun tidak pada perempuan. Hal ini disebabkan karena makanan berlemak memiliki energy dencity yang lebih besar dan tidak mengenyangkan , selain itu makanan berlemak memiliki rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan dan akan terjadi konsumsi yang berlebihan (Hidayati et al. 2001). Penyebab lain adalah karena lemak mengandung kalori dua kali lebih banyak dibandingkan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki “mouth feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan

13

sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelan daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005) Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity). Hal ini terjadi

hanya pada subjek dimana

asupan

tertinggi dan

energinya berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengkonsumsi makanan gorengan lebih banyak, berisiko 1.26 kali (pria) dan 1.25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Castillon et al. 2007) Konsumsi Jeroan. Jeroan adalah organ-organ selain otot dan tulang hewan ternak yang masih banyak dikonsumsi. Di berbagai daerah di Indonesia hamper semua jeroan dimasak untuk makanan manusia, sebut saja ayam . Jeroan ayam banyak diambil sebagai makanan seperti hati, ampela, usus. Jeroan (usus, hati, babat, lidah, jantung, otak, dan paru) banyak mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA). Jeroan mengandung 4-15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daging (Wikipedia 2009). Jeroan memiliki kandungan kalori dan kolesterol yang tinggi sehingga tidak baik untuk kesehatan . Makanan berlemak tinggi , seperti jeroan dan sebagainya dapat merangsang seseorang untuk mengkonsumsi kalori dalam jumlah lebih sehingga dapat memacu kegemukan Penyakit Infeksi. Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan bakteri, virus, yang mengakibatkan kondisi tubuh dalam kondisi sehat. Penyakit infeksi mempunyai pengaruh yang besar terhadap terhambatnya pertambahan berat badan anak (Rohde 1979).

Penelitian di Guatemala, Amerika Tengah

menunjukkan bahwa ada hubungan erat, antara infeksi dengan kegagalan untuk menambah berat badan. Infeksi yang sering terjadi adalah

infeksi salurasan

pernafasan akut (ISPA) dan infeksi saluran pencernaan makanan . Infeksi pada saluran pencernaan umumnya timbul karena diare. Menurut Depkes RI (2005). Bahwa pada anak yang mendapat makanan cukup, tetapi sering terkena diare atau demam akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup, maka daya tahan

tubuhnya dapat

keadaan demikian akan mudah diserang infeksi.

melemah dan dalam

14

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga. Sosial ekonomi keluarga adalah keadaan keluarga dilihat dari pendidikan orang tua, penghasilan keluarga, status pekerjaan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Kelas sosial dan status sosial ekonomi mempengaruhi prevalensi terjadinya overweight. Pada beberapa negara di dunia, status sosial ekonomi yang rendah berhubungan dengan peningkatan berat badan (Molarius et al. di acu dalam Institute of Medicine of National Academies 2001). Sejalan dengan pendapatan per kapita, kecenderungan pola makan pun berubah, yaitu terjadi peningkatan dalam asupan lemak dan protein hewani serta gula, dikuti dengan

penurunan lemak dan protein nabati dan karbohidrat.

Peningkatan pendapatan juga berhubungan dengan frekuensi makan di luar rumah yang biasanya tinggi lemak (WHO 2000). Pendidikan Orang Tua dan Pengetahuan ibu. Pendidikan orang tua, merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi

biasanya mempunyai pengetahuan yang tinggi,

orang yang berpendidikan tinggi biasanya

lebih mudah untuk

informasi. Faktor pendidikan turut menentukan

karena

menyerap

mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memahami pengetahuan gizi (Apriadji 1986). Seseorang yang hanya tamat SD belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi seimbang dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi, karena sekalipun berpendidikan rendah, apabila orang tersebut rajin mendengarkan informasi dan rajin mengikuti penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001), di Denpasar menyatakan bahwa anak sekolah yang memiliki ayah berpendidikan SMA dan pendidikan tinggi, berisiko 1.3 kali untuk menjadi obes dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah berpendidikan SMA ke bawah. Hal ini ditimbulkan oleh adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan pendapatan. Semakin tingi pendidikan ayah, maka semakin tinggi pendapatan dan konsumsi pangan juga akan meningkat.

15

Hasil penelitian Hidayat (1980) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola konsumsi makanan melalui cara pemilihan bahan makanan. Orang yang

mempunyai pendidikan tinggi cenderung memilih

makanan dari segi kuantitas dan kualitas lebih baik dibandingkan yang mempunyai pendidikan lebih rendah. Menurut Ritchie (1979), menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkaitan erat dengan pengetahuan yang memungkinkan dimilikinya informasi. Selanjutnya menurut Sediaoetama (1987), pengetahuan tentang kesehatan dan gizi menjadi faktor yang menonjol dalam mempengaruhi pola konsumsi pangan. Pendidikan orang tua akan mempengaruhi status gizi anaknya, semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka cenderung mempunyai anak dengan status gizi yang baik. Tingkat pendidikan biasaanya sejalan dengan pengetahuan , semakin tinggi pengetahuan gizi, maka semakin baik dalam pemilihan bahan makanan. Menurut penelitian pendidikan

Nugroho (1999), ada hubungan antara tingkat

ibu dengan kegemukan. Dalam

hubungannya dengan obesitas,

pengetahuan gizi ibu turut menentukan dalam penentuan jenis makanan yang kaya energi. Jika jenis makanan kaya energi yang dipilih untuk disajikan di rumah

tangga cukup besar

maka

energi yang masuk dalam tubuh akan

meningkat dan akhirnya jika berlebihan akan menimbulkan obesitas (Susilowati 1992) Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka status gizi anak semakin baik . Hal ini diasumsikan

bahwa

pendidikan orang tua yang tinggi berarti mempunyai pengetahuan gizi yang lebih baik. Tingginya pendidikan ibu berkaitan dengan pola distribusi makan dalam keluarga dan pola pengasuhan anak (Roedjito dkk. 1998 dalam Asih 2001) Anak-anak dari ibu yang berpendidikan tinggi akan tumbuh lebih baik, karena menurut Suhardjo (1989) dalam Rijanti (2002) menyatakan tingkat pengetahuan gizi sejalan dengan tingkat pendidikan ibu. Tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik diharapakan dapat mewujudkan penyediaan makanan sehari-hari dalam keuarga serta memberikan pendidikan gizi yang baik pada anak-anak.

16

Pekerjaan Orang Tua. Pekerjaan orang tua merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perilaku makan anak. Jenis pekerjaan yang dilakukan orang tua (ayah dan ibu ) akan berpengaruh

terhadap besar pendapatan.

Kemampuan keluarga dalam penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi pendapatan

dan daya beli

yang dimiliki. Hal ini

menunjukkan, bahwa, pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan (Suhardjo 1989a). Pekerjaan orang tua juga secara tidak langsung

melalui pendapatan dapat menentukan fasilitas yang

dimiliki keluarga sehingga dapat menentukan

type

aktifitas fisik anggota

keluarga. Untuk ibu

yang

bekerja, terdapat

perbedaan dalam

pembentukan

kebiasaan makan anak. Apabila seorang ibu dalam keluarga juga berperan dalam mencari nafkah, maka ibu yang bekerja diluar rumah akan

menghabiskan

banyak waktunya diluar rumah. Hal ini akan menyebabkan rasa bersalah ibu kepada anaknya khususnya terhadap

penyiapan

makan, sehingga ibu yang

bekerja akan lebih sering membelikan makanan diluar rumah. Biasanya pilihan terbatas pada fast food yang dijual di restoran cepat saji atau di tempat penjualan lainnya (WHO 2000). Hal demikian dapat menyebabkan perilaku makan yang salah .Jika makanan yang diberikan tinggi kalori, rendah serat dan hal ini berkelanjutan, maka dapat menimbulkan masalah gizi pada anak, yaitu gizi lebih. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cambell dan Sanjur (1992), diacu dalam Susanti (1999) yang menunjukkan bahwa anak usia prasekolah mempunyai kecenderuangan berat badan lebih, jika ibu bekerja di luar rumah. Pendapatan Keluarga. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan seseorang

yang

diperoleh

dari seluruh anggota keluarga.Pendapatan

identik dengan mutu sumberdaya manusia, sehingga orang

berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relative tinggi pula ( Guhardja et al. 1992). Pendapatan akan menentukan daya beli seseorang atau keluarga terhadap pangan yang diperlukan (Harper et al. 1986). Pendapatan

17

keluarga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi pangan,

akan

tetapi

konsumsi

merupakan faktor penentu utama baik atau buruknya

keadaan gizi seseorang atau kelompok (Riyadi 2001). Terdapat hubungan positif antara pendapatan dan status gizi (Subardja 2004). Pendapatan keluarga akan relatif lebih besar jika suami dan istri bekerja di luar

rumah (Susanti 1999). Pendapatan

yang

tinggi akan meningkatkan

kemampuan membeli beragam bahan pangan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas (Suhardjo 1989a). Banyak keluarga muda yang memanjakan anaknya, termasuk dalam pemberian makanan yang berlebihan, khususnya yang tinggi kalori dan lemak karena meningkatnya daya beli pangan ( Soelistjani dan Helianty 2003). Perubahan pola makan anak pada golongan social ekonomi tertentu akibat meningkatnya daya beli turut mempengaruhi insiden berat badan lebih, dengan kata lain akan meningkatkan jumlah kegemukan (Subardja 2004). Pendapatan suatu keluarga juga akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan keluarga, termasuk sarana berman dan olah raga bagi anak. Keluarga dengan pendapatan tinggi cenderung menyediakan sarana yang bersifat hemat waktu dan tenaga, sehingga energi yang digunakan untuk aktifitas berkurang Jumlah Anggota Keluarga. Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu hal yang mempengaruhi status gizi. Masalah yang terjadi pada keluarga dengan jumlah keluarga yang banyak dan sedikit pasti ada pebedaan . Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran anak yang cukup dekat akan lebih banyak menimbulkan banyak masalah. Dalam aktifitas makan bersama, anak yang

lebih kecil akan mendapatkan jatah makanan lebih sedikit. Menurut

Apriadji (1986) menyatakan

bahwa

anak yang

terlalu banyak, selain

menyulitkan dalam mengurusnya, juga kurang bisa menciptakan suasana tenang dirumah. Lingkungan keluarga yang tidak tenang akan mempengaruhi ketenangan jiwa dan akan berdampak terhadap nafsu makan anggota lainya. Aktivitas Fisik. Aktifitas fisik merupakan komponen penting dalam pengeluaran

energi dalam tubuh, disamping

dynamic action

metabolisme faal dan spesifik

pada jenis-jenis makanan (Suyono 1986). Aktivitas fisik

merupakan komponen yang penting dalam manajemen pengaturan berat badan.

18

Penurunan aktifitas fisik pada saat ini sangat berpengaruh pada perubahan keseimbangan energi positif dan peningkatan berat badan pada masyarakat industry (Institut of Medicine of the National Academies 2001) . Anak dengan kegemukan atau overweight biasanya kurang melakukan aktifitas. Orang yang selalu aktif melakukan aktifitas ternyata dapat mencegah pertambahan berat badan

sesuai pertambahan umur (WHO 1995). Hal yang

terjadi pada anak-anak dengan adanya sedentary life , anak-anak menghabiskan waktunya banyak bermain dengan peralatan elektronik, mulai dari computer, televisi, hingga video game dibandingkan bermain diluar. Anak-anak dibawah usia delapan tahun mengahabiskan waktu rata-rata 2,5 jam untuk menonton televisi , dan anak yang berusia diatas delapan tahun mengahabiskan 4,5 jam di depan telivisi atau video game. Anak-anak yang menonton televisi lebih dari empat jam sehari, lebih mudah menjadi gemuk daripada anak yang menonton televisi dua jam sehari atau kurang (Gavin 2005). Penelitian di Amerika pada anak-anak, menunjukkan bahwa anak dengan lama waktu menonton televisi 5 jam per hari, memiliki risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dari pada anak dengan lama waktu menonton 2 jam per hari (Hidayati et al 2006). Selain aktifitas menonton TV, jumlah waktu tidur juga berhubungan dengan kegemukan. Anak dengan waktu tidur lebih sedikit berisiko lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Chaput et al. 2006). Kemungkinan tersebut disebabkan karena orang gemuk memiliki kualitas tidur yang buruk, hal ini berhubungan dengan

gangguan

dari hormone dan kelenjar neuroendokrin

(vioque et al. 2000). Penurunan titik berat pada pelajaran olahraga di sekolah dibarengi dengan penurunan fitness pada anak-anak. Aktifitas fisik yang kurang adalah risiko utama untuk perkembangan obesitas pada anak-anak dan dewasa (Institute of Medicine of National Academiees 2001). Genetik.

Genetik mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap

terjadinya obesitas. Faktor genentik anak yaitu faktor keturunan dari orang tua yang berhubungan dengan status gizi. Anak dari orang tua dengan berat badan normal mempunyai peluang 10 persen berkegemukan ( Purwati et al. 2004). Menurut Bouchard C (1998), mengatakan Indeks Massa tubuh (IMT) adalah

19

salah satu bentuk genetic, seseorang yang IMT orang tuanya gemuk cenderung anaknya menjadi gemuk. Anak yang salah satu orang tua mengalami obesitas, maka kemungkinan anak mengalami gizi lebih peluangnya adalah 40 % dan peluang anak mengalami gizi lebih meningkat menjadi 80 % jika kedua orang tua obesitas (Khomsan 2002). Hasil penelitian menyatakan, bahwa keturunan body mass atau lemak tubuh yang turun temurun, merupakan

proporsi yang bisa

diterangkan oleh transmisi genentik. Gen bisa menyebabkan peningkatan terjadinya obesitas, selain asupan berlebih, dan aktifitas fisik yang kurang (Bouchard C, Perusse L, Rice T, Rao DC. 1998). Indeks Mass Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Menurut Supariasa et al. (2002), penggunaan IMT

biasanya

digunakan pada orang dewasa. IMT= BB(Kg) TB2(m 2)

Keterangan IMT

= Indeks Massa Tubuh

BB

= Berat badan (Kg)

TB

= Tinggi Badan (m)

Klasifikai status gizi dengan menggunakan IMT orang dewasa disajikan pada tabel berikut : Tabel 3 Kategori ambang batas IMT (Kg/m2) untuk Indonesia Katagori Kurus

Kekurangan berat badan tingkat berat

<17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan

17,0-18,5

Normal Gemuk

IMT

>18,5-24.9 Kelebihan berat badan tingkat ringan

>25,0-27,0

Kelebihan berat badan tingak berat

>27,0

Sumber : Departemen Kesehatan (Depkes) (1996)

20

Kerangka Pemikiran Anak usia 6-14 tahun : adalah usia masa peralihan dari balita menjadi anak dan remaja, ditandai dengan perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai dengan membesar dan atau meningginya organ tubuh. Anak usia 6-14 tahun secara mental sudah mempunyai keinginan sendiri dan terkesan tidak mau diatur. Status

gizi merupakan

keadaan

kesehatan tubuh seseorang atau

sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan (Riyadi 2003). Kekurangan atau kelebihan zat gizi dalam tubuh akan mempengaruhi status gizi yang

pada akhirnya

menyebabkan masalah gizi. Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada anak usia 6-14 tahun merupakan

masalah penting karena akan terbawa pada saat dewasa, selain

mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi efektifitas belajar. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi pangan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2000) Karakteristik individu dan keluarga nantinya akan berhubungan dengan pengetahuan gizi yang dimiliki, Pengetahuan tentang gizi dan makanan akan mempengaruhi pola dan kebiasaan makan serta konsumsi pangan. Konsumsi pangan selanjutnya akan mempengaruhi status gizi melalui pengukuran indeks masa tubuh (IMT). Faktor sosial ekonomi (penghasilan keluarga, pendidikan, pekerjaan utama ) dan demografi merupakan faktor risiko yang secara langsung dapat dikaitkan dengan kegemukan seseorang.

Status ekonomi yang lebih

makmur secara tidak disadari dapat mengarahkan pada konsumsi berlebih yang akhirnya menyebabkan status gizi berlebih. Selain faktor – faktor yang telah disebutkan terdahulu, pola aktifitas fisik akan berpotensi untuk menyebabkan kegemukan juga akan menentukan kecenderungan seseorang menjadi gemuk karena kurang aktifitas secara fisik. bagan kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 1.

21

Karakteristik Anak Jenis kelamin Umur Pengetahuan gizi anak

Karakteristik Keluarga Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Jumlah anggota keluarga Penghasilan keluarga

Konsumsi gizi Kebiasaan makan Frekuensi makan sayuran Frekuensi makan buahbuahan Frekuensi makan makanan berlemak Frekuensi makan /minuman manis Frekuensi makan jeroan

Kegemukan

Status Kesehatan

=

Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis -- - - -

= Hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka Konsep

Aktifitas fisik

Genetik (IMT orang tua)

22

Hipotesis 1.

Ada hubungan antara sosial ekonomi keluarga dengan kgemukan anak.

2.

Ada hubungan aktifitas fisik dengan kegemukan anak.

3.

Ada hubungan status kesehatan dengan kegemukan anak.

4.

Ada hubungan konsumsi energi, dan protein dengan kegemukan anak.

5.

Ada hubungan antara kebiasaan makan (buah, sayuran, makanan berlemak, makan/minum, manis, jeroan) dengan kegemukan anak.

6.

Ada hubungan antara genetik orang tua (IMT Ayah ) dengan kejadian kegemukan anak.

7.

Ada pengaruh sosial ekonomi keluarga, aktifitas fisik, genetik orang tua (IMT ayah ) status kesehatan, perilaku konsumsi, konsumsi energi dan protein, terhadap kegemukan anak.

23

METODE Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Data dasar yang dihasilkan Riskesdas 2007 diantaranya terdiri dari status kesehatan (termasuk data biomedis), status gizi, kesehatan lingkungan, perilaku kesehatan dan berbagai aspek pelayanan kesehatan. Data dasar ini, bukan saja berskala nasional, tapi juga menggambarkan berbagai indikator kesehatan sampai ketingkat kabupaten/kota. Riskesdas 2007 adalah riset berbasis komunitas dengan sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga yang dapat mewakili populasi di tingkat kabupaten/kota (Depkes 2008). Desain, Lokasi dan Waktu Riskesdas merupakan survei dengan rancangan desain cross sectional dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di Indonesia secara keseluruhan, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif. Sampel Riskesdas 2007 di tingkat kabupaten/kota berasal dari 440 kabupaten/kota (dari jumlah keseluruhan sebanyak 456 kabupaten/kota) yang tersebar di 33 provinsi se-Indonesia. Kabupaten yang tidak termasuk dalam sampel Riskesdas dikarenakan kabupaten tersebut merupakan pengembangan

dari kabupaten baru yang pada saat

perencanaan Riskesdas belum diperhitungkan yaitu sebanyak 16 kabupaten. Populasi dan Sampel Riskesdas Populasi dalam Riskesdas adalah seluruh rumah tangga di Indonesia , dengan sampel rumah tangga yang identik dengan sampel Susenas 2007. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metodelogi perhitungan dan cara penarikan sampel untuk riskesda 2007 identik juga dengan two stage sampling yang digunakan dalam Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian cara perhitungan dan penarikan sampel dalam Riskesdas: a. Penarikan sampel blok sensus Riskesdas menggunakan sepenuhnya sampel yang terpilih dalam Susenas

24

b. Penarikan Sampel rumah tangga Dari setiap blok sensus terpilih, kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling), c. Penarikan sampel anggota rumah tangga . Dari rumah tangga yang terpilih, diambil seluruh anggota rumah tangga dijadikan sebagai sampel individu. Cara Pengumpulan Data Riskesdas Pengumpulan

data dalam Riskesdas

2007 dilakukan dengan teknik

wawancara. Kuesioner rumah tangga terdiri dari pengenalan tempat, keterangan rumah tangga, keterangan anggota rumah tangga, mortalitas, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan konsumsi. Selain kuesioner rumah tangga, terdapat

pula kuesioner

individu. Sampel

pada

kuesioner individu adalah seluruh anggota rumah tangga yang tinggal di rumah . Kuesioner individu terdiri dari identifikasi responden, penyakit , ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan, sikap dan perilaku, kesehatan mental, dan pengukuran antropometri. Riskesdas 2007 melakukan juga pengukuran biomedis dan penarikan sampel iodium. Disain, Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari hasil Riskesdas 2007 dengan metode survey. Lokasi yang menjadi sampel penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebanyak 14 kabupaten/kota.

Dari

setiap

proporsional terhadap jumlah

kabupaten/kota

diambil

blok

sensus

yang

rumah tangga di kabupaten /kota tersebut,

kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling). Jika dalam sebuah blok sensus terdapat lebih dari 150 rumah tangga maka dalam penarika sampel akan dibentuk sub blok sensus. Lokasi penelitian adalah Provinsi Sumatera Selatan. Populasi Riskesdas Provinsi Sumatera Selatan adalah Provinsi

adalah seluruh rumah tangga yang ada di

Sumatera Selatan. Rumah tangga yang dijadikan sampel adalah

sebanyak 8.421 rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga sebanyak

25

33.358 orang. Sampel pada penelitian ini adalah rumah tangga yang mempunyai anak usia 6-14 tahun, dari jumlah tersebut didapat 5.389 anak Data yang dikumpulkan meliputi data anak yaitu jenis kelamin, umur, pola aktifitas fisik anak (jenis, lama), frekuensi makan ( makan sayuran, makan buah-buahan, makanan berlemak, dan makan/minuman manis dan makan jeroan). Sedangkan data orang tua anak meliputi jenjang pendidikan ayah, pekerjaan utama ayah, jumlah anggota keluarga, pengeluaran per kapita /bulan, berat badan ayah, tinggi badan ayah .

Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Pada penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan melakukan pengkategorian dan menentukan skala pngukuran. Adapun variabel penelitian dikategorikan seperti yang tersaji pada tabel 4: Tabel 4 Pengkategorian variabel penelitian Variabel

Kategori

Skala

Jenis kelamin

- Laki-laki

Nominal

Status gizi

Perempuan

- Gemuk (IMT )≥+2SD

Ordinal

- Tidak Gemuk (IMT) <+2SD

Konsumsi Gizi

- Normal, jika konsumsi < 120 % AKG

(Depkes 1996)

-

Aktifitas fisik

- Aktifitas

Ordinal

Lebih jika konsumsi ≥120 % AKG fisik

dikatakan

cukup,

jika Ordinal

seseorang biasa melakukan aktifitas fisik berat, sedang, atau bersepeda, jalan kaki secara terus menerus minimal 10 menit dengan total waktu ≥150 menit per minggu - Aktifitas kurang, jika tidak melakukan aktifitas berat dan sedang

26

Variabel

Kategori

Kebiasaan

- Kurang, jika konsumsi buah dan sayur < 28 Ordinal

konsumsi

buah

dan sayur

Skala

prs dalam seminggu - Cukup, jika konsumsi buah dan sayur >28 prs dalam seminggu

Kebiasaan

- Jarang,

jika

konsumsi

konsumsi makanan

(manis,berlemak, dan

(manis,

perminggu

berlemak,dan

makanan Ordinal

jeroan) < 3 kali

- Sering, jika konsumsi makanan (manis,

jeroan)

berlemak, dan buah > 3-6 kali perminggu

Pendidikan

- Tidak sekolah

Ordinal

- Tamat SD - Tamat SLTP - Tamat SLTA - Tamat PT Pekerjaan

orang - Tidak bekerja

tua

Ordinal

- Sekolah - Pegawai - Wiraswasta - Petani/nelayan/buruh - Lainnya

Jumlah

anggota

- Keluarga kecil:≤4 orang

keluarga

- Keluarga besar: > 4 orang

Penghasilan

-

Kuintil 1

-

Kuintil 2

-

Kuintil 3

-

Kuintil 4

-

Kuintil 5.

Ordinal

Ordinal

27

Variabel

Kategori

Skala

Sosial ekonomi

- Rendah, jika pendidikan ayah < SLTA, Ordinal dengan penghasilan keluarga pada < kuintil 3 - Tinggi, jika pendidikan ayah < SLTP dengan penghasilan keluarga pada ≥kuintil 3

Status kesehatan

-

Sehat (tidak ada penyakit infeksi dan tidak Ordinal infeksi dalam sebulan terakhir)

-

Sakit (terkena demam, ispa, malaria, diare) dalam sebulan terakhir

Genetik orang tua - Tidak gemuk, jika IMT ayah ≤25

Ordinal

(IMT) - Gemuk jika IMT ayah > 25

Analisis Data Analisis univariat dilakukan

untuk memperoleh gambaran distribusi

frekuensi dan proporsi dari berbagai variabel yang diteliti dengan menggunakan tabulasi silang. Sedang variabel katagorik disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel , yaitu variabel dependen dengan salah satu variabel independen. Jenis variabel yang dianalisis berjenis katagorik, baik variabel dependen atau independen, sehingga analisis yang digunakan adalah chi square, dan korelasi kriteria tingkat kemaknaan statistik yang dianjurkan adalah p ≤0,05. Analisis multiple regretion digunakan untuk dapat menarik kesimpulan akhir suatu penelitian maka dilakukan perhitungan analisis multiple regretion. Pada studi ini dipergunakan analisis logistic regression Binomial. Tujuan analisis logistic regression adalah menemukan

model regresi yang memadai untuk

28

menggambarkan hubungan antara variabel dependen dan independen dalam populasi. Model regresi tersebut dapat digunakan untuk meramalkan terjadinya variabel dependen (Kegemukan) pada Anak usia 6-14 tahun, berdasarkan nilainilai sejumlah variabel independen, dan mengukur hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, setelah mengontrol pengaruh dari independen lainnya. Variabel yang dianggap berpengaruh terhadap gizi lebih adalah : karakteristik anak dan soseial ekonomi keluarga, konsumsi gizi, status kesehatan, kebiasaan makan, aktifitas anak, genetik. Kriteria untuk dapat dilakukan analisis regresi logistik yaitu faktor resiko yang signifikan, yang memiliki p ≤0.05 pada analisis bivariat. Faktor resiko dengan p≤0.05 dipilih, dan dimasukkan dalam model multiple regretion. Melalui analisis multiple regression logistik dapat dihitung odds ratio (OR) untuk memperkirakan besarnya resiko kejadian gizi lebih pada anak usia 6-14 tahun. Adapun model regresi logistik sebagai berikut: F Y

= 0 + 1 JK + 2 U + 3 PD + 4 PH + 5SP + 6JA + 7 G + 8AF

= Log 1- F

+ 9KE + 10KP+ 11KJ +12 KL+13 KM+14KS+15KB+ 

Keterangan : Y

= Variabel Dependen

0

=

Intercept

1, 2… = Koefisien regresi F

= Fungsi kumulatif (kegemukan anak : gemuk atau tidak gemuk)

JK

= Jenis kelamin

U

= Umur anak

PD

= Pendidikan orang tua (ayah)

PH

= Penghasilan keluarga

SP

= Status pekerjaan orang tua (ayah)

JA

= Jumlah anggota keluarga

SK

= Status kesehatan

29

G

= Genetik

AF

= Aktifitas fisik

KE

= Konsumsi energi

KP

= Konsumsi protein

KJ

= Kebiasaan makan jeroan

KL

= Kebiasaan makan berlemak

KM

= Kebiasaan makan/minum manis

KS

= Kebiasaan makan sayur

KB

= Kebiasaan makan buah



= Galat

Uji Regresi Logistik yang dipakai pada penelitian ini adalah model prediksi, karena cara ini akan mendapatkan model yang terdiri dari beberapa variabel independen yang dianggap baik untuk memprediksi variabel dependen. Langkah-langkah dalam pemodelan ini adalah ; 1. Seleksi bivariat , melakukan anlisis antara variabel independen dengan variabel dependen , apabila nilai p value <0,05, boleh masuk multivarian jika secara subtansi merupakan varibel penting. 2. Melakukan analisis multivarian , variabel yang masuk model apabila nilai p value ≤0,05. Untuk varibel yang nilai p value >0,05 dikeluarkan satu persatu dimulai dari nilai p value paling besar. Apabila sudah dikeluarkan mengakibatkan koefisien OR dari variabel yang tertinggal berubah diatas 10 % maka variabel tersebut tetap dipertahankan. 3. Uji interaksi semua varibel independen, apabila secara subtansi diduga terjadi interksi diantara variabel independen 4. Hasil model dan diinterpretasikan

30

Definisi Operasional Dalam penelitian ini, definisi operasional yang dipakai adalah sebagai berikut: Kegemukan adalah jika nilai IMT anak, lebih dari +2SD nilai rerata standar WHO 2007 dikategorikan gemuk . Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah alat ukur atau indikator status gizi yang diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan sampel. Konsumsi gizi adalah jumlah konsumsi energi dan protein yang dikonsumsi anggota rumah tangga termasuk anak 6-14 tahun yang diukur melalui pengumpulan data konsumsi

melalui recall 24 jam, selanjutnya

dikategorikan menjadi : - Normal - Lebih jika ≥120% AKG. Tingkat pendidikan orang tua adalah Jenjang pendidikan formal tertinggi yang ditamatkan orang tua (ayah) yang dikategorikan menjadi tidak sekolah; tidak tamat SD; tamat SLTP; tamat SLTA; dan tamat PT Pekerjaan orang tua adalah kegiatan yang dilakukan orang tua( ayah) untuk menghasilkan uang yang dikategorikan menjadi tidak bekerja; sekolah; pegawai

(PNS,

TNI/Polri,

pegawai

BUMN/Swasta);

wiraswasta

(pedagang/wiraswasta/pelayan jasa); petani/nelayan/buruh; dan lainnya Penghasilan adalah

pengeluaran perkapita dalam keluarga setiap bulan

digolongkan menjadi beberapa t ingkatan berupa 5 kuintil ditetapkan secara nasional oleh Badan Pusat Statistik Nasional semakin besar kuintil semakin besar pengeluaran rumah tangga sampel. Kuintil 1 Rp.182.800; kuintil 2 Rp 365.600; kuintil 3 Rp. 548.400; kuintil 4 Rp. 731.200, dan kuintil 5 Rp. 914.000 Jumlah anggota keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang masih hidup, baik kandung maupun bukan kandung/anggota keluarga lain yang tinggal menetap bersama dalam satu rumah dan makannya berasal dari satu dapur (BPS1996) .

31

Status sosial ekonomi adalah merupakan gabungan variabel pendidikan dan penghasilan, status sosial ekonomi redah jika salah satu diantara 2 variabel pendidikan dan penghasilan tergolong rendah. Untuk pendidikan tergolong rendah, jika pendidikan formal yang terakhir ditamatkan < SLTA, sedangkan penghasilan tergolong rendah jika pengeluaran keluarga lebih rendah dari kuinti 3 Status kesehatan adalah kondisi status kesehatan anak apakah terkena penyakit infeksi (diare, ispa, malaria, TB Paru). Genetik orang tua (IMT) adalah sifat-sifat yang bisa diturunkan orang tua kepada anaknya khususnya IMT kepala keluarga Kebiasaan aktifitas fisik. Kebiasaan anak melakukan aktifitas

fisik dalam

penelitian ini terkait kebiasaan melakukan aktifitas fisik, frekuensi dalam seminggu , total waktu melakukan aktifitas fisik tersebut . Konsumsi buah dan sayuran adalah kebiasaan makan buah dan sayur pada sampel yang dinilai adalah berdasarkan frekuensi dan porsinya selama satu minggu. Sampel dikatakan kurang konsumsi sayur adalah jika konsumsinya < 4 porsi/hari selama 7 hari dalam satu minggu. Konsumsi makan makanan berlemak adalah kebiasaan seseorang makan makanan yang banyak mengandung lemak seperti, gulai kambing, gulai babat, dll dinilai berdasarkan frekuensinya dalam satu hari, satu minggu dan satu bulan. Konsumsi makan makanan manis adalah kebiasaan seseorang makan makanan yang manis dinilai berdasarkan frekuensinya dalam satu hari, satu minggu dan satu bulan Konsumsi makan makanan jeroan adalah kebiasaan seseorang megkonsumsi bagian organ hewan ternak selain otot, daging dan tulang seperti usus, ampela, hati, lidah, jantung, otak, paru dan sebagainya dinilai berdasarkan frekuensinya dalam satu hari, satu minggu dan satu bulan

32

HASIL Gambaran Umum Lokasi Sumatera Selatan terletak antar 1-4 derajat LS dan 102-104 derajat BT. Wilayahnya berbatasan dengan Provinsi Jambi di sebelah utara, Provinsi Lampung di sebelah selatan, Provinsi Bangka Belitung di sebelah timur dan Provinsi Bengkulu di sebelah barat. Sumatera Selatan mempunyai luas wilayah 87.017 Km2( 8.701.742 Ha), terdiri dari 10 kabupaten dan 4 kota, dengan jumlah penduduk sebesar 6,6 juta jiwa. Sebagian besar penduduk Provinsi Sumatera Selatan adalah berprofesi sebagai petani (perkebunan, dan tanaman pangan). Karakteritik Anak Karakteristik anak terdiri dari jenis kelamin, dan umur. Gambaran sebaran karakteristik anak adalah sebagai berikut Jenis Kelamin Sebaran anak menurut jenis kelamin, disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin n

%

Laki-laki

2 801

51,9

Perempuan

2 597

48,1

Jumlah

5 398

100,0

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa proporsi anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan yakni masing-masing adalah 51,9% dan 48,1%. Umur Umur dikelompokan menjadi dua yakni umur 6-9 tahun dan umur 10-14 tahun. Sebaran umur berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 6.

33

Tabel 6 Sebaran anak berdasarkan umur Umur (tahun)

n

%

6-9 tahun

2 349

43,5

10-14 tahun

3 049

56,5

Jumlah

5 398

100,0

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa anak yang berumur 6-9 tahun adalah 43,5%, sedangkan anak berumur 10-14 tahun adalah sebanyak 56,5%. Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga terdiri dari pendidikan orang tua (ayah), penghasilan keluarga, status pekerjaan orang tua (ayah), dan jumlah anggota keluarga. Pendidikan Orang Tua (Ayah) Jenjang pendidikan ayah dikelompokan menjadi tidak pernah sekolah, tidak tamat sekolah dasar (SD), tamat Sekolah Dasar (SD), tamat

Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan tamat Perguruan Tinggi (PT). Sebaran anak berdasarkan pendidikan ayah dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran anak berdasarkan pendidikan orang tua (ayah) Pendidikan n % Pendidikan Tua Tidak Pernah sekolah 171 3,2 Tidak Tamat SD 814 15,1 Tamat SD 2 037 37,7 Tamat SLTP 1 091 20,2 Tamat SLTA 1 001 18,5 Tamat Perguruan Tinggi 284 5,3 Jumlah 5 398 100,0 Sebagian besar pendidikan ayah sampel adalah tamat SD (37,7%) dan SLTP (20,2%) sedangkan yang berpendidikan tamat SLTA dan perguruan tinggi terdapat sebayak 18,5% dan 5,3% (Tabel 7).

34

Penghasilan Keluarga Penghasilan keluarga dapat dilihat dari pengeluaran keluarga selama sebulan. Pengeluaran sampel dalam penelitian ini terdiri dari pengeluaran pangan dan non pangan dalam rumah tangga yang digolongkan menjadi beberapa tingkatan yakni; kuintil 1 Rp.182 800,00; kuintil 2 Rp. 360 600,00 kuintil 3 Rp. 548 400,00 kuintil 4 Rp. 731 200,00 kuintil 5 Rp. 731 200,00 . Berdasarkan tabel 8. Sebaran anak berdasarkan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan pengeluaran keluarga Pengeluaran keluarga n Pengeluaran Kuintil 1 1 585 Kuintil 2 1 521 Kuintil 3 1 077 Kuintil 4 824 Kuintil 5 661 Jumlah 5 398

% 29,4 23,2 20,0 15,3

12,2 100,0

Pada tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar keluarga sampel berpenghasilan tergolong pada kuintil 1 dan 2, yakni 29,4 % dan 23,2 %. Sedangkan sisanya terdapat pada kuintil 3 (15,3%), kuintil 4 (12,2%) dan kuintil 5 (12,2%). Pekerjaan Orang Tua (ayah) Pekerjaan ayah dikelompokan menjadi tidak bekerja, sekolah, pegawai, wiraswasta, petani/nelayan/buruh, dan lainnya. Sebaran

anak 6-14 tahun

berdasarkan pekerjaan orang tua disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan pekerjaan orang tua (ayah) Kondisi sosial ekonomi n % Pekerjaan Tidak bekerja 141 2,6 Sekolah 9 0,2 Pegawai 539 10,1 Wiraswasta 804 14,9 Petani/nelayan/buruh 3 787 70,2 Lainnya 118 2,2 Jumlah 5 398 100,0 Pada tabel 9 dapat dilihat bahwa proporsi pekerjaan orang tua terbanyak adalah petani (70,2%) dan wiraswasta (14,9%).

35

Jumlah Anggota Keluarga Pada Tabel 10 disajikan sebaran anak berdasarkan jumlah anggota keluarga. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa 61,9 % keluarga adalah termasuk kategori keluarga besar yakni keluarga yang jumlah angota keluarganya lebih dari empat (4) orang. Sementara itu, 38,1% keluarga mempunyai anggota keluarga kurang dari empat (4) orang sehingga termasuk keluarga kecil. Tabel 10 Sebaran anak berdasarkan jumlah anggota keluarga Jumlah anggota n Keluarga (orang) Kecil (≤4) 2 059

% 38,1

Besar (> 4)

3 339

61,9

Jumlah

5 398

100,0

Status Sosial Ekonomi Keluarga Status sosial ekonomi keluarga dikelompokan menjadi dua kategori yaitu kategori rendah dan tinggi. Kategori rendah apabila penghasilan keluarga ada pada kuintil 1 dan 2, atau pendidikan orang tua lebih rendah dari SLTA, dan status sosial ekonomi tinggi apabila penghasilan keluarga ada pada kuintil 3s/d 5, dan pendidikan orang tua tamat SLTA keatas.. Tabel 11 Sebaran anak berdasarkan status sosial ekonomi Status sosial ekonomi n

%

Rendah

4 556

84,4

Tinggi

842

15,6

Jumlah

5 398

100,0

Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa sebagian besar (84,5%) keluarga mempunyai status sosial ekonomi rendah. Sedangkan sisanya, yakni 15,6 % termasuk kategori status sosial ekonomi tinggi. Genetik Orang Tua (IMT Ayah) Indeks Massa Tubuh (IMT) ayah dibedakan menjadi dua yaitu gemuk dan tidak gemuk. IMT ayah dikatakan gemuk jika IMT-nya > 25 dan dikatakan tidak

36

gemuk jika IMT-nya ≤25. Sebaran anak berdasarkan IMT ayah dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran anak berdasarkan IMT orang tua IMT orang tua n Tidak gemuk

%

4 740

87,8

Gemuk

658

12,2

Jumlah

5 398

100,0

Pada Tabel 12 diperihatkan bahwa IMT ayah

anak usia 6-14 tahun

dengan kategori tidak gemuk yaitu sebanyak 87,8%, sedangkan IMT Ayah dengan kategori gemuk yaitu sebesar 12,2%. Status Gizi Status gizi anak dikategorikan

menjadi dua, yaitu tidak gemuk dan

gemuk. Anak dinyatakan gemuk apabila mempunyai indeks massa tubuh (IMT) > + 2SD dan tidak gemuk apabila IMT-nya ≤+ 2 SD. Sebaran anak berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran anak berdasarkan status gizi anak usia 6-14 tahun Status Gizi n % Tidak gemuk

4 714

87,3

Gemuk

684

12,7

Jumlah

5 398

100,0

Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa sebagian besar (87,3%) kategori status gizinya adalah tidak gemuk, sedangkan sisanya (12,7 %) adalah gemuk Status Kesehatan Status kesehatan anak dikategorikan menjadi dua, yaitu sehat dan tidak sehat. Anak dinyatakan sehat apabila tidak terkena penyakit infeksi dalam sebulan terakhir, dan tidak sehat apabila terkena penyakit infeksi dalam sebulan terakhir. Sebaran berdasarkan status kesehatan disajikan pada Tabel 14.

37

Tabel 14 Sebaran anak berdasarkan status kesehatan Status Kesehatan n

%

Sakit

781

14,5

Sehat

4 617

85,5

Jumlah

5 398

100,0

Secara umur (85,5%) anak usia 6-14 tahun di Provinsi Sumatera Selatan adalah termasuk kategori sehat meskipun terdapat 14,5% anak termasuk kategori sakit (Tabel 14). Aktifitas Fisik Pada aktifitas fisik sampel yang ada hanya pada anak usia 10-14 tahun. Pengkategorian aktifitas fisik dikategorikan menjadi dua yaitu aktifitas kurang dan aktifitas cukup. Anak dinyatakan aktifitas fisiknya cukup jika melakukan aktifitas fisik berat, sedang atau bersepeda dengan total waktu dalam semingu lebih dari 150 menit, sedangkan aktifitas fisik kurang, apabila tidak melakukan aktifitas fisik berat, sedang atau bersepeda dengan total waktu >15 menit dalam seminggu. Sebaran berdasarkan aktifitas fisik disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran anak berdasarkan aktifitas fisik . Aktifitas Fisik n

%

Kurang

990

32,5

Cukup

2 059

67,5

Jumlah

3 049

100,0

Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa sebagian besar (67,5%) aktifitas fisik anak tergolong cukup sedangkan sisanya aktifitas (32,5%) aktifitas fisik anak tergolong kurang Perilaku Konsumsi Konsumsi Energi Konsumsi energi dalam Riskesdas merupakan konsumsi perkapita anggota rumah tangga. Konsumsi energi dikategorikan menjadi dua yakni normal dan lebih. Konsumsi energi dikategorikan lebih jika konsumsinya lebih dari 120 %

38

AKG, dan konsumsi energi dikategorikan normal jika konsumsinya kurang dari 120 % AKG. Sebaran konsumsi energi perkapita disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran anak berdasarkan konsumsi energi Konsumsi energi n

%

Normal(<120% AKG)

3 165

58,6

Lebih(≥120% AKG)

2 233

41,4

Jumlah

5 398

100,0

Pada tabel 16 dapat dilihat bahwa sebagian besar (58,6%) konsumsi energinya tergolong normal sedangkan sisanya (41,4%) konsumsi energinya terkategori lebih. Konsumsi Protein Konsumsi Protein dalam Riskesdas adalah merupakan konsumsi perkapita artinya menggambarkan konsumsi rata-rata anggota keluarga. Konsumsi protein dikategorikan menjadi dua yaitu normal dan lebih. Konsumsi protein dikategorikan lebih jika konsumsinya lebih dari 120 % AKG, dan konsumsinya dikategorikan kurang jika konsumsinya kurang dari 120 % AKG.. Tabel 17 Sebaran anak berdasarkan konsumsi protein Konsumsi Protein n

%

Normal(<120% AKG)

2 470

45,8

Lebih(≥120%AKG)

2 928

54,2

Jumlah

3 049

100,0

Secara umum (54,2%) konsumsi protein di Provinsi Sumatera Selatan adalah termasuk kategori lebih, sedangkan sisanya (45,8%) adalah termasuk kategori normal (Tabel 17). Kebiasaan Makan Buah Pada kebiasaan makan buah sampel yang ada hanya pada anak usia 10-14 tahun. Pengkategorian kebiasaan makan buah dibagi menjadi dua yaitu cukup dan kurang. Kebiasaan makan buah dikatakan cukup jika mengkonsumsi buah lebih dari 4 porsi perhari dan dilakukan 7 hari dalam seminggu, dan kebiasaan makan buah dikatakan kurang jika mengkonsumsi buah kurang dari 4 porsi perhari dan

39

dilakukan kurang dari 7 hari dalam seminggu. Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan buah dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan buah Kebiasaan makan buah n

%

Kurang

1 835

60,2

Cukup

1 214

39,8

Jumlah

3 049

100,0

Secara umum sebagian besar (60,2%) kebiasaan makan buah anak usia 614 tahun di Provinsi Sumatera Selatan dikategorikan kurang meskipun terdapat 39,8% kebiasaan makan buahnya dikategorikan cukup (Tabel 18). Kebiasaan Makan Sayur Pada kebiasaan makan sayur sampel yang ada sama dengan kebiasaan makan buah yaitu hanya pada anak usia 10-14 tahun. Pengkategorian kebiasaan makan sayur dibagi menjadi dua yaitu cukup dan kurang. Kebiasaan makan sayur dikatakan cukup jika mengkonsumsi sayur lebih dari 4 porsi perhari dan dilakukan 7 hari dalam seminggu, dan kebiasaan makan sayur dikatakan kurang, jika mengkonsumsi sayur kurang dari 4 porsi perhari dan dilakukan kurang dari 7 hari dalam seminggu. Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan sayur dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan sayur Kebiasaan makan sayur n Kurang

%

594

19,5

Cukup

2 455

80,5

Jumlah

3 049

100,0

Pada tabel 19 dapat dilihat bahwa sebagian besar (80,5%) konsumsi sayur anak usia 10-14 tahun di Sumatera Selatan dikategorikan cukup, meskipun masih ada (19,5%) konsumsinya dikategorikan kurang.

40

Kebiasaan Makan/Minum Manis Pada kebiasaan makan/minum manis sampel yang ada adalah pada anak usia 10-14 tahun. Kebiasaan makan/minum manis dikategorikan menjadi dua yakni jarang dan sering. Kebiasaan makan/minum manis dikategorikan sering apabila frekuensi konsumsinya lebih dari 3 kali dalam semingu, sedangkan kebiasaan

makan/minum

manis

dikategorikan

konsumsinya kurang dari 3 kali dalam

jarang

apabila

frekuensi

seminggu. Sebaran kebiasaan

makan/minum manis dapat dilihat pada Tabel 20 Tabel 20. Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan/minum manis Kebiasaan makan/minum n % manis Jarang 2 274 74,6 Sering

775

25,4

Jumlah

3 049

100,0

Pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa sebagian besar (74,6%) kebiasaan makan/minum anak usia 10-14 tahun di Sumatera Selatan dikategorikan jarang, dan sisanya (25,4%) dikategorikan sering. Kebiasaan Makan Makanan Berlemak Pada kebiasaan makan makanan berlemak sampel yang ada adalah pada anak usia 10-14 tahun. Kebiasaan makan makanan berlemak dikategorikan menjadi dua yakni jarang dan sering. Kebiasaan makan makanan berlemak dikategorikan sering apabila frekuensi konsumsinya lebih dari 3 kali dalam semingu, sedangkan kebiasaan makan makanan berlemak dikategorikan jarang apabila frekuensi konsumsinya kurang dari 3 kali dalam

seminggu. Sebaran

kebiasaan makan makanan berlemak dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan makanan berlemak Kebiasaan makan n % makanan berlemak Jarang 327 10,7 Sering

2 722

89,3

Jumlah

3 049

100,0

41

Secara umum sebagian besar (89,3%) kebiasaan makan makanan berlemak anak di Provinsi Sumatera Selatan dikategorikan sering, meskipun masih terdapat 10,7% kebiasaan makan makanan berlemaknya dikategorikan jarang (Tabel 21). Kebiasaan Makan Jeroan Pada kebiasaan makan jeroan, sampel yang ada adalah hanya anak usia 1014 tahun. Kebiasaan makan jeroan dikategorikan menjadi dua yakni jarang dan sering. Kebiasaan makan jeroan dikategorikan sering apabila frekuensi konsumsinya lebih dari 3 kali dalam seminggu, sedangkan kebiasaan makan jeroan

dikategorikan jarang apabila frekuensi konsumsinya kurang dari 3 kali

dalam seminggu. Sebaran kebiasaan makan jeroan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan jeroan Kebiasaan makan jeroan n

%

Jarang

41

1,3

Sering

3 008

98,7

Jumlah

3 049

100,0

Pada tabel 22 dapat dilihat bahwa sebagian besar (98,7%) anak di Provinsi Sumatera selatan kebiasaan makan jeroannya dikategorikan sering dan sisanya terdapat 1,3% dikategorikan jarang. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan Karakteristik Anak Jenis Kelamin. Hasil

analisis

hubungan antara jenis kelamin dengan

kegemukan didapatkan bahwa untuk kategori status gizi gemuk, anak laki-laki lebih besar (14.6%) dibandingkan

dengan

perempuan (10.6%), Sedangkan

untuk kategori status gizi tidak gemuk, anak berjenis kelamin laki-laki hampir sama dengan

anak berjenis kelamin perempuan yaitu (85.4%) dan (89.4%).

Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p=0.000, artinya ada hubungan nyata antara jenis kelamin dengan kegemukan, seperti terlihat pada tabel 23.

42

Tabel 23. Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dengan kegemukan Jenis

Status Gizi

Kelamin

Tidak Gemuk

P value

Gemuk

Total

n

%

n

%

n

%

Laki-laki

2 391

85.4

410

14.6

2 801

100,0

Perempuan

2 323

89.4

274

10.6

2 597

100,0

Umur. Hasil

analisis

hubungan antara jenis kelamin, umur

0.000

dengan

kegemukan didapatkan bahwa, untuk kategori status gizi gemuk pada anak usia 6-9 tahun lebih banyak (19,0%), dibandingkan anak usia 10-14 tahun (7,8%). Untuk anak 6-9 tahun proporsi anak gemuk jenis kelamin laki - laki lebih besar (20,7%) dibandingkan dengan perempuan (17,2%), Sedangkan untuk kategori status gizi tidak gemuk pada anak usia 6-9 tahun menunjukkan bahwa, persentase anak laki-laki lebih kecil (79,3%), dibandingkan pada anak perempuan (82,8%). Adapun hasil penelitian pada anak usia 10-14 tahun menunjukkan bahwa, untuk kategori status gizi gemuk, persentase anak laki-laki lebih besar

(9,8%)

dibandingkan pada perempuan (5,6%), sedangkan untuk kategori status gizi tidak gemuk, persentase anak laki-laki lebih kecil (90,2%), dibandingkan anak perempuan (94,4%). Berdasarkan

uji chi square didapatkan

nilai p=0,000,

artinya ada hubungan nyata antara jenis kelamin dengan kegemukan, seperti terlihat pada Tabel 24. Karakteristik Keluarga Pendidikan Ayah. Hasil analisis hubungan antara pendidikan ayah dan kegemukan

menunjukkan

bahwa,

persentase anak yang gemuk dengan

pendidikan ayah kategori sedang lebih besar (13,2%), dibanding dengan anak gemuk dengan pendidikan ayah kategori rendah (12,7%), dan pendidikan ayah kategori tinggi (10,6%). Sedangkan untuk anak dengan status gizi kategori tidak gemuk menunjukkan bahwa, persentase anak dengan pendidikan ayah ketegori rendah, sedang, dan tinggi hampir sama yaitu ; pendidikan ayah kategori rendah (87,3%),

pendidikan ayah

kategori tinggi (89,4%).

ketegori sedang (86,8%), dan pendidikan ayah

Hasil Analisis korelasi Rank Spearman (p=0.112).

43

Artinya tidak ada hubungan nyata antara pendidikan ayah dengan kegemukan anak seperti terlihat pada Tabel 25. Tabel 24 Sebaran anak berdasarkan dan umur dengan kegemukan Umur (tahun)

Status Gizi Tidak Gemuk

p value

Gemuk

Total

n

%

n

%

n

%

Laki-laki

984

79,3

257

20,7

1 241

100,0

Perempuan

918

82,8

190

17,2

1 108

100,0

1 902

81,0

447

19,0

2 349

100,0

Laki-laki

1 407

90,2

153

9,8

1 560

100,0

Perempuan

1 405

94,4

84

5,6

1 489

100,0

Sub Total

2 812

92,2

237

7,8

3 049

100,0

Total

4 714

87,3

684

12,7

5 398

100,0

6-9

Sub Total

0,000

10-14

* nyata pada p < 0,05 Tabel 25 Sebaran anak berdasarkan pendidikan ayah dengan kegemukan Pendidikan Status Gizi p value Ayah

Tidak Gemuk

Gemuk

Total

n

%

n

%

n

%

Rendah

3 591

87,3

522

12,7

4 113

100,0

Sedang

869

86,8

132

13,2

1 001

100,0

Tinggi

254

89,4

30

10,6

284

100,0

0,112

Pekerjaan Orang Tua. Hasil analisis hubungan antara pekerjaan orang tua dengan kegemukan anak melaui korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara pekerjaan

orang tua

(p=0,104) dengan

kegemukan pada p<0,05 Penghasilan Keluarga. Hasil

analisis hubungan antara penghasilan

keluarga dengan kegemukan menunjukkan bahwa; untuk anak dengan status gizi

44

gemuk, persentase terbesar ada pada pengeluaran kuintil 1 yaitu sebesar 13,3% dan kuintil 5 yaitu sebesar 13,2%. Sedangkan pada anak dengan status gizi tidak gemuk persentasenya hampir sama yaitu antara 86,7% dan 88,1%. Hasil analisis dengan korelasi Rank Spearman didapatkan nilai p =0,476, artinya tidak ada hubungan nyata antara penghasilan keluarga dengan pendekatan pengeluaran dengan kegemukan pada p<0,05 seperti terlihat pada Tabel 26. Tabel 26 Sebaran anak berdasarkan Pengeluaran keluarga dengan kegemukan Pengeluaran Status Gizi p Tidak Gemuk

Gemuk

value

Total

n

%

n

%

n

%

Kuintil 1

1 374

86,7

211

13,3

1 585

100,0

Kuintil 2

1 092

87,3

159

12,7

1 251

100,0

Kuintil 3

949

88,1

128

11,9

1 077

100,0

Kuintil 4

725

88,0

99

12,0

824

100,0

Kuintil 5

574

86,8

87

13,2

661

100,0

Jumlah Anggota Keluarga. Hasil

0,476

analisis hubungan antara jumlah

anggota keluarga dengan status gizi lebih menunjukkan bahwa persentase anak status gizi gemuk dengan jumlah anggota keluarga besar (>4) hampir sama dengan jumlah anggota keluarga kecil (≤4) yaitu (12,8%) dan (12,4%). Adapun untuk status gizi tidak gemuk, persentase anak dengan kategori jumlah anggota keluarga besar >4), hampir sama dengan kategori jumlah anggota keluarga kecil (≤4) yaitu (87,2%), dan (87,6%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p=0,711, artinya tidak ada hubungan nyata antara jumlah anggota keluarga dengan kegemukan seperti terlihat pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran anak berdasarkan jumlah anggota keluarga dengan kegemukan Jumlah Status Gizi p value Anggota

Tidak Gemuk

Gemuk

Total

Keluarga

n

%

n

%

n

%

Kecil(≤4)

1 803

87,6

256

12,4

2 059

100,0

Besar(>4)

2 911

87,2

428

12,8

3 339

100,0

0,711

45

Status Sosial Ekonomi Keluarga. Hasil analisis hubungan antara status sosial ekonomi keluarga

dengan kegemukan menunjukkan bahwa persentase

anak status gizi gemuk dengan status sosial ekonomi keluarga kategori rendah lebih tinggi (12,9%) dibandingkan anak status gizi gemuk dengan status sosial ekonomi keluarga kategori tinggi (11,2%). Sedangkan untuk status gizi kategori tidak gemuk, proporsi anak dengan status sosial ekonomi keluarga kategori tinggi, lebih tinggi (88,8%) dibandingkan dengan anak status sosial ekonomi keluarga kategori rendah (87,1%). Berdasarkan uji chi-square

didapatkan nilai p=0,169

artinya tidak ada hubungan nyata antara tingkat status sosial ekonomi keluarga anak dengan kegemukan, seperti terlihat pada Tabel 28. Tabel 28. Sebaran anak berdasarkan status sosial ekonomi keluarga dengan kegemukan Status Sosial Status Gizi p value Ekonomi Keluarga

Tidak Gemuk

Gemuk

Total

n

%

n

%

n

%

Rendah

3 966

87,1

590

12,9

4 556

100,0

Tinggi

748

88,8

94

11,2

842

100,0

0,169

Genetik Orang Tua (IMT Ayah). Hasil analisis hubungan antara IMT orang tua

dengan kegemukan

menunjukkan bahwa persentase anak status gizi gemuk dengan IMT orang tua kategori tidak gemuk, lebih rendah (12,3%) dibandingkan pada anak dengan kategori IMT orang tua kategori gemuk (15,0%). Untuk kategori status gizi tidak gemuk, persentase anak dengan IMT orang tua

kategori tidak gemuk, lebih

besar (87,6%) dibandingkan pada anak dengan IMT orang tua kategori

gemuk

(85,1%). Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p=0,048 artinya ada hubungan nyata antara IMT orang tua 29.

dengan kegemukan anak seperti terlihat pada Tabel

46

Tabel 29. Sebaran anak berdasarkan genentik (IMT ayah) dengan kegemukan IMT orang tua

Status Gizi Tidak Gemuk n

Tidak Gemuk

p value

Gemuk

Total

%

n

%

n

%

4 121

87,7

579

12,3

4 700

100,0

593

85,0

105

15,0

698

100,0

Gemuk

0,048

* nyata pada p<0,05 Status Kesehatan Hasil

analisis hubungan antara status kesehatan

didapatkan bahwa

anak dengan kategori

dengan

kegemukan

status gizi gemuk dengan status

kesehatan kategori sakit, hampir sama dengan dengan kategori sehat yaitu 12,9% dan 12,7 %. Adapun untuk anak dengan kategori tidak gemuk, persentase anak dengan status kesehatan kategori sakit dan sehat hampir sama sama yaitu 87,7% dan 88,8%. Berdasarkan chi-square

didapatkan nilai p=0,972, artinya tidak ada

hubungan nyata antara status kesehatan anak dengan kegemukan seperti terlihat pada Tabel 30 Tabel 30. Sebaran Anak berdasarkan Status Kesehatan dengan Kegemukan Status Kesehatan

Status Gizi Tidak Gemuk n

p value

Gemuk

%

n

%

Total n

%

Sakit

332

87,1

49

12,9

381

100,0

Sehat

4 382

87,3

635

12,7

5 017

100,0

0,972

Aktifitas Fisik Hasil

analisis hubungan antara aktifitas fisik dengan kegemukan

menunjukkan bahwa persentase kategori anak status gizi gemuk dengan kategori aktifitas kurang lebih besar (9,8%) dibandingkan pada anak status gizi gemuk dengan kategori aktifitas cukup (6,8%). Sedangkan untuk status gizi kategori tidak gemuk, persentase

anak dengan

kategori aktifitas cukup lebih besar

47

(93,1%), dibandingkan kategori aktifitas kurang (90,3%). Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p=0,005, artinya ada hubungan nyata antara aktifitas fisik anak dengan kegemukan seperti terlihat pada Tabel 31. Tabel 31 Sebaran Anak berdasarkan aktifitas fisik dengan kegemukan Aktifitas Fisik

Status Gizi Tidak Gemuk n

Kurang Cukup

p value

Gemuk

Total

%

n

%

n

%

893

90,3

97

9,8

990

100,0

1 919

93,1

140

6,8

2 059

100,0

0,005

* nyata pada p<0,05 Perilaku Konsumsi Kebiasaan Makan Buah. Hasil

analisis hubungan antara kebiasaan

makan buah dengan kegemukan, didapatkan bahwa persentase anak status gizi gemuk dengan kebiasaan makan buah kurang, lebih besar (8,6%) dibandingkan pada anak status gizi gemuk dengan kebiasaan makan buah cukup (6,6%). Untuk status gizi tidak gemuk, persentase anak dengan kebiasaan makan buah kurang lebih kecil (91,4%) dibandingkan pada anak status gizi gemuk dengan kebiasaan makan buah cukup (93,4%). Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p=0,045, artinya ada hubungan nyata antara kebiasaan makan buah dengan kegemukan seperti terlihat pada Tabel 32. Tabel 32. Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan buah dengan kegemukan Kebiasaan Makan

Status Gizi

Buah

Tidak Gemuk

p value

Gemuk

Total

n

%

n

%

n

%

Kurang

1 678

91,4

157

8,6

1 835

100,0

Cukup

1 134

93,4

80

6,6

1 214

100,0

0,045

* nyata pada p < 0,05 Kebiasaan Makan Sayur. Hasil

analisis hubungan antara kebiasaan

makan sayur dengan kegemukan, didapatkan bahwa, persentase anak katagori

48

status gizi gemuk dengan kebiasaan makan sayur kategori kurang lebih besar (8,4%), dibandingkan pada anak dengan kebiasaan makan sayur kategori cukup (7,6%). Sedangkan untuk anak status gizi tidak gemuk, persentase anak dengan kebiasaan makan sayur kategori kurang lebih kecil (91,6%), dibandingkan pada anak dengan kebiasaan makan sayur kategori cukup (92,4). Berdasarkan chisquare

didapatkan nilai p=0,517, artinya tidak ada hubungan nyata antara

kebiasaan makan sayur anak dengan kegemukan seperti terlihat pada Tabel 33. Tabel 33. Sebaran Anak berdasarkan kebiasaan makan sayur dengan kegemukan Kebiasaan

Status Gizi

Makan

Tidak Gemuk

Sayur

n

Kurang Cukup

p value

Gemuk

Total

%

n

%

n

544

83,1

50

8,4

594

100,0

2 268

92,4

187

7,6

2 455

100,0

Kebiasan Makan/Minum Manis. Hasil

% 0,517

analisis hubungan antara

kebiasaan makan/minum manis dengan kegemukan didapatkan bahwa pesentase anak kategori status gizi gemuk dengan kebiasaan makan/minum manis kategori sering

lebih besar (8,6%), dibandingkan pada anak

dengan

kebiasaan

makan/minum manis kategori jarang (7,5%). Sedangkan anak dengan status gizi kategori tidak gemuk, pesersentase anak dengan kebiasaan makan/minum manis kategori jarang lebih besar (92,5%) dibandingkan pada anak dengan kebiasaan makan/minum manis sering (91,4%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p=0,331, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan/minum manis dengan status gizi lebih seperti terlihat padaTabel 34. Tabel 34. Sebaran anak menurut kebiasan makan/minum manis dengan kegemukan Kebiasaan Status Gizi p value Makan/minum

Tidak Gemuk

manis

n

%

n

%

n

%

Jarang

2 104

92,5

170

7,5

2 274

100,0

Sering

708

91,4

67

8,6

775

100,0

Gemuk

Total

0,331

49

Kebiasaan Makan Makanan Berlemak. Hasil analisis hubungan antara kebiasaan makan makanan berlemak dengan kegemukan didapatkan bahwa pesentase anak dengan kategori status gizi gemuk dengan

kebiasaan makan

berlemak kategori sering lebih besar (8.1%), dibandingkan pada anak dengan kebiasaan makan makanan berlemak kategori jarang (5,2%), Sedangkan untuk kategori status gizi tidak gemuk, persentase anak dengan kebiasaan makan makanan berlemak kategori jarang lebih besar (94.8%), dibandingkan pada anak dengan

kebiasaan makan makanan berlemak kategori sering (91,9%).

Berdasarkan uji chi-square

didapatkan nilai p=0,037, artinya ada hubungan

nyata antara kebiasaan makan berlemak dengan kegemukan seperti terlihat pada Tabel 35. Tabel 35. Sebaran anak menurut kebiasaan makan berlemak dengan kegemukan Kebiasaan Status Gizi p value makan

Tidak Gemuk

berlemak

n

Jarang Sering

Gemuk

Total

%

n

%

n

%

310

94,8

17

5,2

327

100,0

2 501

91,9

220

8,1

2 722

100,0

0,037

* nyata pada p<0,05 Kebiasaan Makan Jeroan. Hasil

analisis hubungan antara kebiasaan

makan jeroan dengan status gizi lebih, didapatkan bahwa persentase anak status gizi gemuk dengan kebiasaan makan jeroan kategori sering, lebih besar (7,8%) dibandingkan pada anak dengan kebiasaan makan jeroan kategori jarang (4,9%). Sedangkan untuk katgori status gizi tidak gemuk, persentase anak dengan kebiasaan makan jeroan kategori jarang, lebih besar (95,1%) dibandingkan pada anak dengan kebiasaan makan jeroan kategori sering (92,2%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p=0,457 artinya tidak ada hubungan nyata antara kebiasaan makan jeroan dengan status gizi seperti terlihat pada tabel 36.

50

Tabel 36 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan jeroan dengan kegemukan Kebiasaan Status Gizi p value makan jeroan

Tidak Gemuk n

Gemuk

Total

%

n

%

n

%

Jarang

39

95,1

2

4,9

41

100,0

Sering

2 773

92,2

237

7,8

3 008

100,0

Konsumsi Energi. Hasil

0,457

analisis hubungan antara konsumsi energi

perkapita dengan kegemukan, menunjukkan bahwa persentase anak status gizi gemuk dengan konsumsi energi kategori lebih, lebih besar (13,9%) dibandingkan anak status gizi gemuk dengan konsumsi energi kategori normal (10,9%). Untuk kategori status gizi tidak gemuk, bahwa persentase anak dengan konsumsi energi kategori normal, lebih besar (89,1%) dibandingkan pada anak dengan konsumsi energi kategori lebih (86,1%). Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p = 0,000 artinya ada hubungan nyata antara konsumsi energi perkapita anak dengan kegemukan seperti terlihat pada Tabel 37. Tabel 37. Sebaran anak berdasarkan konsumsi energi dengan kegemukan Konsumsi Energi

Normal

Status Gizi Tidak Gemuk

p value

Gemuk

Total

n

%

n

%

n

%

4 208

89,1

578

10,9

4 786

100,0

506

86,1

106

13,9

612

100,0

Lebih

0,000 *

* nyata pada p<0,05 Konsumsi Protein. Hasil

analisis hubungan antara konsumsi protein

perkapita dengan kegemukan menunjukkan bahwa persentase anak status gizi gemuk dengan

konsumsi protein kategori lebih, lebih besar (14,2%)

dibandingkan anak status gizi gemuk dengan konsumsi protein kategori normal (11,7 %). Untuk kategori status gizi tidak gemuk,

persentase anak dengan

konsumsi protein kategori normal lebih besar (88,1%) dibandingkan pada anak dengan konsumsi protein kategori lebih (85,8%). Berdasarkan uji statistik

51

didapatkan nilai p = 0,015 artinya ada hubungan nyata antara konsumsi protein perkapita anak dengan status gizi seperti terlihat pada Tabel 38. Tabel 38. Sebaran anak berdasarkan konsumsi protein dengan kegemukan Konsumsi

Status Gizi

Protein

Tidak Gemuk

p value

Gemuk

Total

n

%

n

%

n

%

Normal

3 093

88,1

416

11,9

3 509

100,0 0,015 *

lebih

1 621

85,8

268

14,2

1 889

100,0

* nyata pada p<0,05

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegemukan Analisis

multivariat

dilakukan

berpengaruh terhadap kegemukan.

untuk

mengetahui

variabel

yang

Pemilihan variabel kandidat multiple

regression untuk membuat model multivariat adalah dengan cara analisis bivariat terlebih dulu antara seluruh variabel independent dengan variabel dependen (kegemukan). Hasil analisis bivariat ini menentukan variabel yang potensial untuk masuk ke dalam model

yang didasarkan pada pertimbangan

nilai p≤0,05.

Analisis multivariate yang dilakukan adalah analisis Logistic Regression. Hasil analisis bivariat variabel independen dengan dependen (Tabel 39) didapatkan, bahwa variabel yang masuk kedalam pemodelan (variabel kandidat) dengan (p≤0,05) pada penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, IMT ayah, aktifitas fisik, kebiasaan makan buah, kebiasaan makan makanan berlemak, konsumsi energi, dan konsumsi protein. Adapun variabel yang tidak masuk pemodelan (variabel kandidat) dengan (p>0,05) pada penelitian ini adalah pendidikan ayah, jumlah anggota keluarga, pekerjaan ayah, penghasilan keluraga, status sosial ekonomi, status kesehatan, kebiasaan makan sayur, kebiasaan makan/minum makanan manis dan kebiasaan makan jeroan seperti terlihat pada tabel 39.

52

Tabel 39 Hasil analisis bivariate variabel independen dengan kegemukan No

Variabel

p value

1.

Jenis Kelamin

0,000*)

2.

Umur

0,000*)

3.

Pendidikan orang tua

0,112

4.

Status Pekerjaan Orang tua

0,104

5.

Penghasilan Keluarga

0,476

6.

Jumlah anggota keluarga

0,711

7.

Status sosial ekonomi keluarga

0,169

8.

IMT orang Tua

0,048*)

9.

Status Kesehatan

0,972

10.

Aktifitas Fisik

0,005*)

11.

Kebiasaan makan buah

0,045*)

12.

Kebisaan makan sayur

0,282)

13.

Kebiasaan makan makan/minum manis

0,331

14.

Kebiasaan makan makanan berlemak

0,037*)

15.

Kebiasaan makan jeroan

0,457)

16.

Konsumsi energi

0,000*)

17.

Konsumsi protein

0,015*)

Ket;*) nyata pada p < 0,05 Model faktor penentu kegemukan Analisis multivariat berfungsi untuk mendapatkan model yang terbaik dalam menentukan faktor dominan yang berhubungan dengan kegemukan. Pada tahap awal pemodelan, semua variabel dimasukkan bersama-sama. Kemudian dilakukan pengeluaran bertahap, khususnya nilai p>0.05 dan dimulai dari nilai p terbesar. Berdasarkan hasil keseluruhan proses analisis multivariat yang telah dilakukan, maka didapatkan 3 variabel independen yang diprediksi secara nyata berhubungan dengan kegemukan yaitu jenis kelamin, kebiasaan makan buah seperti terlihat pada Tabel 40.

aktifitas fisik, dan

53

Tabel 40 Model regresi logistik multitiple dengan variabel potensial Variabel B S.E. P value OR

95% CI

Constant

-1,976

0,230

000

0,136

Jenis kelamin

-0,605

0,142

0,000

0,546

0,414

0,721

0,399

0,139

0,004

1,491

1,135

1,958

0,350

0,144

0,015

1,420

1,070

1,883

[0=laki-laki;1=Perempuan] Aktifitas fisik [0=Cukup;1=Kurang] Kebiasaan makan buah [0=Cukup;1=Kurang] *Nyata pada p < 0,05 dan berada pada CI < 1 atau CI > 1 Model akhir hasil analisis regresi logistik multivariat dengan persamaan: Log(p)= ln(p/1-p)= -1,976 + (-0,605 x jenis kelamin) + (0,399 x Aktifitas fisik) + ( 0,350 Kebiasaan makan buah). Berdasarkan pertimbangan nilai OR dari masing-masing variabel tersebut, ternyata aktifitas fisik merupakan variabel paling dominan yang berhubungan dan berpengaruh terhadap kegemukan dengan nilai OR =1,491 (tertinggi).

54

PEMBAHASAN Status Gizi Secara keseluruhan, prevalensi anak usia 6-14 tahun di Provinsi Sumatera Selatan yang tidak gemuk adalah 87,3% dan yang gemuk adalah 12,7%. Jika ditelusuri lebih jauh, prevalensi gemuk pada anak laki-laki dan perempuan masing-masing adalah 14,6% dan 10,6%. Prevalensi anak yang gemuk ini adalah lebih besar daripada data nasional, yaitu 9,5% untuk anak laki-laki dan 6,4 % untuk anak perempuan (Depkes 2008). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegemukan pada anak, antara lain adalah disebabkan interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan berupa aktifitas fisik, social ekonomi dan gizi (Hidyati et al. 2006). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan Karakteristik Anak Jenis Kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki yang gemuk (14,6%) lebih banyak daripada anak perempuan yang gemuk (10,6%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata (p=0,000) antara jenis kelamin dengan kegemukan pada anak (Tabel 23). Hal ini terjadi karena anak laki-laki umumnya lebih banyak meluangkan waktu untuk santai dibandingkan perempuan seperti lebih banyak menghabiskan waktu didepan televisi, internet, dan play station. Sedangkan perempuan sudah mulai banyak membantu pekerjaan orang tua seperti mencuci, memasak, dan mengurus rumah. Selain itu pada usia 6-14 tahun, anak perempuan sudah memperhatikan penampilan (bady image). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Suryana (2002) di Kota Bogor diacu dalam Kusumajaya (2007), yakni terdapat hubungan yang nyata antara jenis kelamin dengan kegemukan. Hasil yang serupa juga diperoleh pada penelitian di Jakarta (Kusumajaya, 2007) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara jenis kelamin dengan status gizi. Ketiga kajian tersebut memperkuat hasil temuan Paul et al.(2005) yang menunjukkan bahwa prevalensi overweight pada anak laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Hasil kajian ini memperkuat pernyataan Apriadji (1986) yang menyatakan bahwa

55

jenis kelamin

merupakan faktor internal yang menentukan

kebutuhan gizi,

sehingga terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi. Umur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak umur 6-9 tahun yang gemuk lebih bayak (19,0%) dibandingkan umur 10-14 tahun (7,8%). Hasil uji Chi Square

Menunjukkan bahwa ada hubungan nyata antara

umur dengan

kegemukan anak (p=0,000). Hal ini dimungkinkan karena anak usia 10-14 tahun sudah mulai banyak aktifitasnya baik yang

tergolong aktifitas berat maupun

aktifitas sedang seperti, mencuci, bemain bola, mengikuti klub olahraga, senam, dan membantu orang tua ke sawah dan ke ladang. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Aritaki (1993) yaitu bahwa kegemukan paling sering terjadi pada pada umur 5-6 tahun dan pada masa remaja. Namun Hui (1985) menyatakan bahwa anak - anak dapat bertambah berat badannya secara nyata pada semua tingkatan umur. Karakteristik Keluarga Pendidikan Orang Tua (ayah). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan

informasi tentang gizi,

khususnya gizi lebih. Salah satu faktor pemicu terjadinya masalah gizi lebih adalah karena ketidaktahuan atau kurang informasi. Faktor pendidikan berperan dalam menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap

dan memahami

pengetahuan gizi yang diberikan (Apriadji 1986). Selain itu, tingkat pendidikan ayah yang lebih tinggi dapat memberi peluang lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan lebih baik dengan gaji lebih tinggi. Pendapatan yang lebih tinggi berpeluang untuk menyediakan makanan dengan kuantitas dan kualitas lebih baik. Namun jika tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang memadai, maka kesempatan untuk makan secara berlebih juga lebih besar, sehingga kemungkinan terjadinya kegemukan pada keluarga yang pendapatannya lebih besar adalah lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (37,2%) pendidikan ayah adalah SD dan SLTP (20,2%). Hasil

analisis korelasi Rank Spearman

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p > 0,05) antara pendidikan ayah dengan kegemukan (Tabel 39) pada (p<0,05). Ini berarti bahwa pendidikan ayah

56

tidak berhubungan dengan kegemukan. Hal ini terjadi karena sebagian besar ayah berpendidikan SD dan SLTP. Tingkat pendidikan umumnya berkaitan dengan pekerjaan dan penghasilan lebih baik. Penghasilan berkaitan dengan kemampuan untuk penyediaan pangan di rumah. Menurut Engel et al. (1994), menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar. Menurut WHO (2000), sejalan dengan meningkatnya

pendapatan

per kapita,

kecenderungan

pola

makan pun

berubah, yaitu terjadi peningkatan dalam hal asupan lemak dan protein serta gula. Peningkatan pendapatan juga berhubungan dengan peningkatan frekuensi makan diluar rumah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitan Indraaryani (2009 ) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara tingkat pendidikan orang tua (ayah) dengan kegemukan anak. Hal ini juga sejalan dengan Riyanti (2002), yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara IMT anak dengan tingkat pendidikan ayah. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan

hasil

penelitian Padmiari dan Hadi (2001) di Denpasar, yang menunjukkan bahwa anak sekolah

yang memiliki ayah berpendidikan

SMA dan pendidikan

tinggi

berisiko 1,3 kali untuk menjadi obes dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah berpendidikan SMA kebawah. Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Semakin tinggi pendidikan ayah semakin mudah untuk mendapat

pekerjaan lebih baik sehingga dapat menghasilkan

pendapatan lebih tinggi, dan anggaran untuk penyediaan konsumsi pangan pun akan semakin meningkat. pengetahuan

Menurut Sediaoetama (1987) menunjukkan bahwa

kesehatan dan gizi menjadi faktor yang menonjol dalam

mempengaruhi pola konsumsi makan. Pekerjaan

Orang Tua (ayah). Pekerjaan orang tua akan menentukan

besarnya pendapatan keluarga dalam sebuah keluarga. Hasil analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p > 0,05) antara pekerjaan orang tua dengan kegemukan. Hasil ini mengindikasikan bahwa tidak adanya hubungan nyata antara pekerjaan orang tua dengan kegemukan. Hal ini

57

diduga karena pekerjaan orang tua anak paling banyak (70,2%) ada pada kategori petani, nelayan dan buruh dengan pendapatan yang relatif homogen. Padahal tingkat pendapatan keluarga sangat berpengaruh terhadap penyediaan makanan yang lebih lanjut berpengaruh terhadap konsumsi. Penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas ditentukan oleh pendapatan dan daya beli yang dimiliki. Sedangkan pendapatan pada penelitian ini ternyata tidak berhubungan nyata. Hasil ini tidak sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan, dapat mempengaruhi kebiasaan makan (Suhardjo 1989a). Pekerjaan orang tua juga secara tidak langsung,

melalui pendapatan dapat menentukan

fasilitas yang dimiliki keluarga sehingga dapat menentukan tipe aktifitas fisik anggota keluarga. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Holman (1987) diacu dalam Novitasari (2005) bahwa sesuai hukum Bennet semakin meningkat pendapatan seseorang maka konsumsi akan bergeser ke arah konsumsi pangan dengan harga yang lebih mahal. Hal ini berarti ketika seseorang mempunyai pekerjaan yang baik, maka kemungkinan akan bisa memilki penghasilan yang lebih besar, sehingga akan mempunyai kemampuan untuk mengadakan makanan yang bergizi. Tapi sebaliknya ketika pekerjaan tidak ada maka akan sedikit mempunyai penghasilan, sehingga pengadaan makanan baik kuantitas maupun kualitas akan menjadi berkurang. Jumlah Anggota Keluarga. Berdasarkan kategori BKKBN (1998), jumlah anggota keluarga dibagi dua yaitu keluarga kecil, jika jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, sedangkan jika > 4 orang tergolong jumlah keluarga besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada anak gemuk maupun tidak, proporsi jumlah anggota keluarga kecil maupun besar adalah tidak jauh berbeda. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab tidak ada korelasi yang nyata antara jumlah anggota keluarga dengan kegemukan (Tabel 39). Hal ini sejalan dengan penelitian Adiningrum (2008), yang menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah anggota keluarga dengan kejadian kegemukan. Apriadji (1986) menyatakan bahwa keluarga dengan banyak anak dan kelahiran dekat akan menimbulkan banyak masalah. Seharusnya, dengan lebih

58

banyaknya anggota keluarga akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi gemuk. Hal ini terjadi karena terlalu banyaknya jumlah angota keluarga selain menyulitkan dalam mengurusnya, juga bisa menciptakan suasana tidak tenang dirumah, khususnya bagi keluarga yang berpenghasilan rendah. Penelitian ini berbeda dengan pernyatan Suhardjo (1989) bahwa terdapat hubungan sangat nyata antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi anggota keluarga tersebut. Penghasilan

Keluarga.

Hasil

analisis korelasi

Rank Spearman

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p > 0,05 ) antara penghasilan keluarga

dengan kegemukan (Tabel 39). Pada penelitian ini proporsi keluarga

yang pengeluarannya diatas kuintil 3 lebih besar daripada keluarga dengan penghasilan dibawah kuintil 3. Seharusnya, dengan lebih banyaknya keluarga pada kuintil 3 keatas menyebabkan kegemukan anak semakin besar,

tapi

kenyataanya anak yang tidak gemuk lebih banyak daripada yang gemuk. Hal ini mengindikaikan bahwa penghasilan yang tinggi belum tentu digunakan untuk menyediakan makanan yang ber gizi. Padahal menurut Holman (1987) diacu dalam Novitasari (2005)

bahwa sesuai hukum Bennet semakin meningkat

pendapatan seseorang maka konsumsi akan bergeser kearah konsumsi pangan dengan harga yang lebih mahal dan bergizi. Hasil ini sejalan dengan penelitian Indraaryani (2009), yang menyatakan tidak ada hubungan yang nyata antara penghasilan keluarga dengan status gizi. Walaupun hal ini berbeda dengan hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2003), yang menunjukkan bahwa kejadian

obesitas terdapat pada

keluarga yang

mempunyai pendapatan yang tinggi atau golongan menengah ke atas. Sosial Ekonomi Keluarga.Keadaan sosial ekonomi kaitannya dengan gizi dapat ditinjau dari tingkat pendidikan formal, pengetahuan gizi, pendapatan dan besar keluarga. Hasil penelitian tentang sosial ekonomi memperlihatkan bahwa anak yang gemuk pada status sosial keluarga tinggi adalah lebih rendah (11,2%) dibandingkan status sosial ekonomi keluarga yang rendah yaitu 12,9% (Tabel 28). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p > 0.05) antara status sosial ekonomi

keluarga

dengan kegemukan anak (p=0,169).

59

Padahal dengan status sosial ekonomi tinggi seharusnya kemungkinan kegemukannya lebih tinggi karena memiliki kemampuan untuk menyediakan pangan cukup bahkan biasanya berlebih. Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Meilany (2001), yang menujukkan bahwa anak obes berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan menengah keatas, karena semakin tinggi sosial ekonomi seseorang semakin mudah untuk mengakses pangan. Genetik Orang Tua (IMT Ayah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase anak gemuk dengan IMT orang tua

kategori gemuk adalah lebih besar (15,0%) dibandingkan dengan

orang tuanya tidak gemuk (12,3%). Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan nyata (p=0,048) antara status IMT orang tua dengan kegemukan anak (Tabel 29). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Purwati e al. (2005) bahwa anakanak dari orang tua dengan berat badan normal mempunyai peluang 10 % menjadi gemuk, apabila salah satu orang tuanya menderita kegemukan, maka peluangnya menjadi 40-50%. Bila kedua-duanya menderita kegemukan maka peluangnya menjadi 70-80%. Ebbeling et al. (2002), menyatakan bahwa seseorang sering menghubungkan berat badannya dengan faktor genetik, karena gen dapat mempengaruhi kecenderungan peningkatan berat badan. Akan tetapi pengaruh gen itu hanya sedikit, karena tidak hanya genetik tapi juga faktor kebiasaan dan lingkungan berperan dalam terjadinya obesitas. Status Kesehatan Hasil penelitian (Tabel 30) menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk yang sakit dan sehat adalah hampir sama yaitu masing-masing 12,9% dan 12,7%. Hasil uji chisquare menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p= 0,972) antara status kesehatan anak dengan kegemukan anak. Pada penelitian ini proporsi anak gemuk antara yang sehat dan yang sakit hampir sama, padahal seharusnya anak yang selalu sehat kemungkinan untuk menjadi gemuk lebih besar, karena tidak terkena sakit yang menyebabkan nafsu makan berkurang, sehingga asupan gizi menjadi rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa anak yang gemuk juga sering sakit. Selain itu, hal ini dimungkinkan pula karena pada kuesioner pertanyaan tentang penyakit tidak menyatakan tingkat keparahan, dan hanya

60

bersifat kualitatif, yakni pernah sakit atau tidak pernah sakit dalam sebulan terakhir. Oleh karena itu status kesehatan tidak menujukan perbedaan yang nyata antara anak gemuk dengan tidak gemuk. Menurut Depkes RI (2005). Bahwa pada anak yang mendapat makanan cukup, tetapi sering terkena diare atau demam akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya dapat melemah dan dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi. Aktifitas Fisik Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak yang gemuk dengan aktifitas fisik kurang adalah lebih banyak (9,8%) daripada aktifitas fisiknya cukup (6,8%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan nyata (p=0,005) antara aktifitas fisik dengan kegemukan anak. Rissanen et al. (1991) menyatakan bahwa rendahnya dan menurunya aktifitas fisik merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya kegemukan. Sebagai contoh para atlet yang berhenti melakukan latihan olah raga lebih sering mengalami kenaikan berat badan dan kegemukan.

Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumajaya

(2007) yang menunjukkan bahwa kejadian kegemukan adalah lebih banyak pada responden yang kebiasaan olahraganya kurang dari 3 kali seminggu dibandingkan dengan paling tidak 3 kali seminggu. Demikian pula hasil kajian Paul et al. (2005) yang menunjukkan ada hubungan nyata antara aktifitas fisik dengan overweight dan obesitas. Lebih lanjut Sadoso (1992) menyatakan bahwa orang yang tidak aktif berolah raga cenderung terjadi penambahan berat badan, dibandingkan dengan orang yang melakukan olahraga . Institut of Medicine of the National Academies (2001) menyatakan bahwa risiko utama aktfitas fisik kurang adalah terjadinya obesitas pada anak-anak dan dewasa. Frekuensi berolahraga empat kali seminggu dengan waktu 10 menit setiap hari adalah lebih efektif

untuk menurunkan berat badan daripada

berolahraga sesekali selama 30-40 menit. Aktifitas fisik merupakan komponen penting dalam pengeluaran energi dalam tubuh, disamping metabolisme faal dan spesifik dynamic action (Suyono 1986). Aktifitas fisik yang

teratur akan

membantu untuk mencegah peningkatan kembali berat badan (Klein et al. 2004).

61

Aktivitas fisik merupakan komponen yang penting dalam manajemen pengaturan berat badan. Penurunan aktifitas fisik pada saat ini sangat berpengaruh pada perubahan keseimbangan energi positif dan peningkatan berat badan pada masyarakat industri (Institut of Medicine of the National Academies 2001). Anak dengan kegemukan atau obes biasanya kurang melakukan aktifitas fisik. Orang yang selalu aktif

ternyata dapat mencegah pertambahan berat badan sesuai

pertambahan umur (WHO 1995). Anak-anak yang menonton televisi lebih dari empat jam sehari, lebih mudah menjadi gemuk daripada anak yang menonton televisi dua jam sehari atau kurang (Gavin 2005). Penelitian di Amerika pada anak-anak menunjukkan bahwa anak dengan lama waktu menonton televisi 5 jam per hari, memiliki risiko obesitas sebesar 5.3 kali lebih besar, daripada anak dengan lama waktu menonton 2 jam per hari (Hidayati et al 2006). Perilaku Konsumsi Kebiasaan Makan Buah. Kebiasaan makan menurut Khumaidi (1989) adalah tingkah

laku individu atau

kelompok

manusia dalam memenuhi

kebutuhannya, meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan

makanan. Hasil

penelitian (Tabel 32) menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk mengkonsumsi buah dengan kategori dibandingkan dengan

yang

kurang adalah lebih

mengkonsumsi buah

yang

banyak (8,6%)

cukup (6,6%). Hal ini

mengindikasikan bahwa anak yang gemuk mempunyai perilaku konsumsi buah yang kurang baik. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan nyata (p=0,045) antara kebiasaan makan buah dengan

kegemukan anak (Tabel 32). Hal ini

mengindikasikan bahwa semakin sedikit seseorang mengkonsumi buah, maka semakin besar kemungkinannya untuk menjadi gemuk karena buah merupakan pangan yang mengandung serat yang bisa menurunkan resiko kegemukan. Menurut Newby et al. (2005 bahwa pola makan tinggi serat, seperti sayuran, buah-buahan, serat dan kacang-kacangan berhubungan terbalik dengan IMT. Hal ini berarti bahwa kejadian overweight dan obesitas akan berkurang dengan semakin sering orang mengkonsumsi buah. Selain itu, penelitian Drapeau et al.

62

(2004) menunjukkan bahwa konsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi dapat menurunkan berat badan atau mencegah kenaikan berat badan. Penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Hui ( 1985) bahwa sayur dan buah juga mengandung serat

kasar yang dapat membantu

melancarkan

pencernaan dan mencegah

konstipasi. Walaupun demikian hasil ini berbeda dengan penelitian Kusumajaya (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi buah dengan kegemukan. Kebiasaan Makan Sayur. Hasil penelitian (Tabel 33) menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk yang mengkonsumsi sayur kurang adalah lebih besar (8,4%) dibandingkan kategori

cukup (7,6%). Hasil uji chi square

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p=0,517) antara kebisaan makan sayur dengan kegemukan anak. Penelitian ini mengindikasikan perbedaan konsumsi antara yang cukup dan kurang adalah tidak berbeda jauh. Keadaan ini dimungkinkan karena jumlah dan porsi sayuran yang dikonsumsi masih kurang kurang. Hasil ini

sejalan dengan penelitian Kusumajaya (2007) dan Irawati

(2000) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan nyata antara konsumsi sayuran dengan kegemukan. Hasil tersebut berbeda dengan peryataan Newby et al. (2005) bahwa pola makan tinggi serat , seperti sayuran, buah-buahan, serat dan kacang-kacangan, berhubungan terbalik dengan IMT,

kejadian overweight dan obesitas. Lebih

lanjut Hui (1985) menyatakan bahwa sayuran dan buah-buahan dapat mencegah kejadian obesitas karena dapat mengurangi rasa lapar tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak. Kebiasaan

Makan/Minum

Manis.

Hasil

penelitian

(Tabel

34)

menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk yang makan minum manis dengan kategori jarang lebih kecil (7,5%) dibandingkan kategori sering (8,6%). Hasil uji chi square

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata (p=0,311) antara

kebiasaan makan minuman manis dengan kegemukan anak. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan antara konsumsi makanan manis yang gemuk dan tidak gemuk adalah tidak begitu jauh. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001) bahwa kasus obesitas antara lain disebabkan oleh konsumsi energi

63

yang tinggi. Konsumsi energi yang diperoleh dari makanan dan minuman sehari hari jika berlebihan tanpa diimbangi dengan aktifitas fisik yang tinggi akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan energi. Lebih lanjut Humayrah (2009)

menyatakan

bahwa

terdapat

hubungan

nyata

antara

kebiasaan

makan/minuman manis dengan kegemukan. Kebiasaan Makan Makanan Berlemak. Hasil penelitian (Tabel 35) menunjukkan bahwa proporsi anak yang gemuk dan mengkonsumsi makanan berlemak kategori sering adalah lebih tinggi (8,1%) dibanding kategori jarang (5,2%). Hal ini mengindikasikan bahwa anak yang

sering mengkonsumsi

makanan berlemak cenderung lebih banyak. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan nyata (p=0,037) antara kebiasaan makan makanan berlemak dengan kegemukan (Tabel 35). Pada penelitian ini anak cenderung banyak mengkonsumsi sumber makanan berlemak, khususnya lemak jenuh, seperti dari minyak goreng, santan dan mentega, seperti kebiasaan makan pempek, krupuk/kemplang, celimpungan, gulai, celimpungan dan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwati et al (2005), bahwa minyak dan santan dapat menyebabkan kegemukan, karena selain tinggi kalori, lemak juga dapat diajangkau pembeliannya oleh sebagian masyarakat. Hasil ini sejalan dengan penelitian Suryana (2002) diacu dalam Kusumajaya (2007), di Kota Bogor yang menyatakan bahwa ada hubungan nyata antara konsumsi makanan berlemak dengan kegemukan. Di Indonesia konsumsi lemak per orang per hari dibatasi 25 % dari kebutuhan AKG sesuai dengan anjuran PUGS (Depkes 1996). Berdasarkan laporan WHO (1995) bahwa lemak berkontribusi terhadap penambahan berat badan orang dewasa. Makanan berlemak merupakan sumber kalori paling besar. selain itu lemak juga berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E dan K. Bila makanan berlemak dikonsumsi secara berlebihan dengan tidak diiringi aktifitas fisik yang cukup dapat mengakibatkan berat badan naik, atau terjadinya kegemukan. Kebiasaan Makan Jeroan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak kategori gemuk yang sering konsumsi jeroan adalah lebih tinggi (7,8%)

64

dibandingkan dengan yang jarang (4,9%).

Hasil uji chi square menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan nyata (p=0,457) antara kebiasaan makan jeroan dengan kegemukan (Tabel 36) . Hal ini dimungkinkan karena konsumsi jeroan yang sering belum tentu porsinya banyak. Keadaan ini ditunjang oleh kemampuan untuk membeli jeroan relatif rendah baik dalam bentuk ketersediaan jeroan yang jarang maupun daya belinya yang rendah. Hal ini berbeda dengan penelitian Humayrah (2009) yang menunjukkan ada hubungan nyata antara konsumsi jeroan dengan kegemukan. Konsumsi Energi. Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak gemuk yang konsumsi energi kategori lebih adalah lebih banyak (13,9%) dibandingkan konsumsi energinya normal (10,9%). Hasil uji chi square menyatakan

bahwa ada hubungan nyata (p=0,000) antara konsumsi energi

perkapita dengan kegemukan anak (Tabel 37 ). Hal ini dimungkinkan bahwa dengan ketersedian energi ditingkat rumah tangga yang cukup, kemungkinan anggota keluarga untuk mengakses makanan juga tercukupi. Provinsi Sumatera Selatan sebagai daerah lumbung pangan, untuk ketersediaan pangan bisa diakses sampai ketingkat rumah tangga dan individu, khususnya berkaitan dengan sumber energi. Terbukti salah satu budaya konsumsi pangan masyarakat Sumatera Selatan adalah terbiasa mengkonsumsi makananmakanan sumber energi, selain makanan pokok nasi adalah makanan seperti kerupuk, kemplang, pempek, yang merupakan makanan yang berasal dari tepung terigu dan ikan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Padmiari dan Hadi (2003). bahwa obesitas pada kasus disebabkan konsumsi energi yang tinggi. Hardinsyah dan Tambunan (2004) menyatakan bahwa makan berlebih dapat menyebabkan akumulasi energi yang disimpan sebagai cadangan energi. Menurut Depkes (2002) bahwa kebutuhan energi dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat, protein dan lemak. Konsumsi Protein Proporsi anak gemuk yang konsumsi proteinnya lebih adalah lebih banyak (14,2%) dibandingkan yang normal (11,9%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan nyata (p=0,015) antara konsumsi

65

protein dengan kegemukan anak. Kelebihan konsumsi protein ini

diduga

ketersedian sumber protein di Provinsi Sumatera Selatan cukup berlimpah. Sebagaimana di ketahui Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah yang mempunyai banyak sungai dan rawa-rawa sebagai habitat ikan seperti ikan gambus, seluang, patin, belida dan jenis lainnya, sehingga akses masayarakat terhadap pemenuhan sumber protein dapat terpenuhi dengan mudah. Kemudahan mengakses sumber protein dengan murah dan mudah menjadikan masyarakat Provinsi Sumatera Selatan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Gambaran tersebut menjadikan anggota keluarga termasuk anak-anak lebih banyak yang mengkonsumsi sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka produk turunannya (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Hal ini dimungkinkan karena konsumsi protein yang melebihi kebutuhan akan terakumulasi menjadi energi yang tersimpan.

Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kegemukan Faktor-faktor yang mempunyai peluang untuk meningkatkan risiko terjadinya kegemukan antara lain adalah jenis kelamin, aktifitas fisik, dan kebiasaan makan buah. Peluang risiko kegemukan pada anak dengan jenis kelamin perempuan 0,454 kali (CI=0,414-0,721) lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini berarti bahwa anak laki-laki mempunyai peluang risiko kegemukan lebih besar dibandingkan perempuan. Anak yang mempunyai aktifitas kurang mempunyai peluang risiko mengalami kegemukan 1,491 kali lebih besar dibanding yang aktifitasnya cukup (CI : 1,135 – 1,958). Anak yang kebiasaan makan buahnya kurang mempunyai peluang risiko mengalami kegemukan 1,420 kali lebih besar dibandingkan yang cukup (CI=1,070-1,883). Dari tiga variabel independen yang mempengaruhi kegemukan, maka aktifitas fisik anak merupakan faktor dominan terhadap kejadian kegemukan pada anak usia 6-14 tahun di Sumatera Selatan dengan OR = 1,491 (95% CI : 1,135 – 1,958). Aktifitas fisik menjadi faktor dominan pada penelitian ini dimungkinkan karena anak gemuk pada usia 6-14 tahun aktifitas fisiknya masih kurang. Hal ini terjadi karena kurang melakukan aktifitas fisik berat dan sedang serta mulainya mengikuti perilaku sedentary life seperti banyak menghabiskan waktu menonton

66

TV atau menggunakan internet serta main game/PS. Padahal aktifitas fisik merupakan komponen penting dalam pengeluaran energi dalam tubuh, disamping metabolisme faal dan spesifik dynamic action (Suyono 1986). Aktifitas fisik yang teratur akan membantu untuk mencegah peningkatan kembali berat badan (Klein et al.2004). Anak-anak yang menonton televisi lebih dari empat jam sehari, lebih mudah menjadi gemuk, daripada anak yang menonton televisi dua jam sehari atau kurang (Gavin 2005). Penelitian di Amerika pada anak-anak menunjukkan bahwa anak dengan lama waktu menonton televisi 5 jam per hari, memiliki risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar, daripada anak dengan lama waktu menonton TV 2 jam per hari (Hidayati et al 2006). Aktivitas fisik merupakan komponen yang penting dalam manajemen pengaturan berat badan. Penurunan aktifitas fisik pada saat ini sangat berpengaruh pada perubahan keseimbangan energi positif dan peningkatan berat badan pada masyarakat industri (Institut of Medicine of the National Academies 2001). Anak dengan kegemukan atau obesitas biasanya kurang melakukan aktifitas fisik. Orang yang selalu aktif

ternyata dapat mencegah pertambahan berat badan sesuai

pertambahan umur (WHO 1995). Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, sehingga hanya dapat memberikan gambaran adanya

hubungan faktor

resiko dengan kegemukan.

Desain ini tidak dapat menggambarkan adanya hubungan sebab akibat (kausal) antar variabel independen dengan variabel dependen. Hal ini disebabkan karena kedua variabel tersebut diukur pada saat yang bersamaan. Namun dengan dilakukannya analisis multivariat diharapkan masih dapat memberikan

hasil

yang baik untuk mengatahui faktor-faktor yang mempengaruhi kegemukan pada anak usia 6-14 tahun di Sumatera Selatan. Berdasarkan teori dan hasil studi yang ada, banyak faktor penyebab yang mempengaruhi kegemukan. Namun penggunaan data sekunder mempunyai keterbatasan variabel, sehingga peneliti tidak dapat menganalisis semua faktor penyebab tersebut, misalnya saja, seseorang yang ditanyakan tentang kebiasaan

67

konsumsi buah pada saat menjawab belum tentu benar-benar kurang konsumsi buahnya, karena hanya didasarkan pada data recall tanpa disertai informasi yang memadai. Untuk konsumsi, data ini lebih menggambarkan ketersediaan tingkat rumah tangga bukan gambaran konsumsi individu. Bias informasi juga dapat terjadi pada saat wawancara, misalnya saja pertanyaan enumerator tidak dapat dimengerti oleh responden. Kemungkinan lain, sampel bisa menutup-nutupi jawaban dari pertanyaan yang ditanyakan karena dianggap hal terlalu pribadi misalnya pengeluaran rumah tangga.

Penulis

menyadari bahwa data yang diperoleh sudah melalui proses verifikasi, editing dan cleaning, sehingga bias penelitian baik pada pengumpulan data sampai cleaning dapat terjadi karena penulis tidak terlibat langsung dalam survei ini.

68

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian bahwa prevalensi kegemukan lebih tinggi di Provinsi Sumatera Selatan terdapat pada jenis kelamin laki – laki, umur 6-9 tahun, IMT orang tua gemuk, aktifitas fisik yang kurang, kebiasan makan buah kurang, kebiasaan makan lemak berlebih, konsumsi energi perkapita berlebih, dan konsumsi protein berlebih. Berdasarkan uji kemaknaan chi-square, (p <0,05) jenis kelamin, umur, genetik orang tua (Imt Ayah), aktifitas fisik, kebiasaan makan buah, kebiasaan makan makanan berlemak, konsumsi energi, dan konsumsi protein berhubungan nyata dengan kegemukan pada anak. Faktor yang mempengaruhi kegemukan adalah

jenis kelamin ( OR =

0,546), aktifitas fisik (OR = 1,491), kebiasaan makan buah (OR =1,420). Dari ketiga varibel yang berpengaruh, aktifitas fisik merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kegemukan, berarti anak yang aktifitas fisiknya kurang berpeluang mempunyai resiko 1,420 kali dibanding yang aktifitas fisiknya cukup. Saran 1.

Bagi pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, upaya pencegahan sejak dini terhadap kejadian kegemukan harus menjadi perhatian serius, ditandai dengan mengalokasikan anggaran untuk program pencegahan kegemukan termasuk pada usia dini

2.

Bagi dinas teknis yakni Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan seharusnya lebih memantapkan dan meningkatkan program – program yang sudah ada yang berkaitan dengan pencegahan kegemukan sejak dini, seperti penyuluhan gizi seimbang, pekan olahraga pelajar, mengsosialisikan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) di tingkat masyaakat dan sekolah.

3.

Bagi peneliti lain, karena penelitian ini dilakukan dengan desain crosssectional study, maka untuk memperoleh jawaban yang lebih mendalam dan mendasar diperlukan penelitian dengan desain kohort atau eksperimental.

69

DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Apriadji WH. 1986. Gizi Keluarga. Jakarta: Penebar Swadaya Aritaki S. 1993. Obesity in Children. Asean Med J; 36:111-7 Atkinson RL. 2005. Etiologies of Obesity dalam the Management of eating disorders and obesity, 2 Ed. DJ Goldstein, editor. Totowa: Humana Pres,Inc Asche K. 2005. Fast foods may increase chilhood obesity rates.[terhubung berkala ].www.extension.umn.edu Diakses pada 13 Desember 2009 [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional 1997. Kamus Istilah Kependudukan Keluarga Berencana Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN. Bouchard C. et al. 1998. The Genetic of Human Obesity. NewYork: Marcel Decker, Inc Bray GA, Nielsen SJ, Pokin BM. 2004. Consumption of high-fructose corn syrup in beverage may play a role in the epidemic of obesity: a crosssectional study. Eur J Clin Nutr. 57: 1250-1253. Castillon et al. 2007. Intake of fried is assosiated with obesity in the cohort of Spanish adults from the European prospective investigation into cancer and nutrition dalam AJCN [terhubung berkala ]. www.pediatrik.com Diakses pada 13 Desember 2009 Drapeau V et al. 2004. Modification in.food-group consumption are related to long – term body-weight changes dalam AJCN 86(1): 29-27 Drewnowski A. 2007. The real contribution of added sugars and fats to obesity. Epidemiol Rev. 29:160-171 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1990. Pedoman Tenaga Gizi Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan RI .

. 1996. 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang, Jakarta : Departemen Kesehtan RI

.

, . 2005. Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009. Jakarta : Departemen Kesehatan RI

70

.

2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Dwiseptiani R. 2008. Karakteristik kegemukan pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta. [Skripsi] Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Ebbeling CB, Pawlak DB, Ludwig DS. 2002. Chilhood obesity : public-health crisis, common sense cure. Lancet 360: 473-482 Engel JF, Backwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen. Ed ke-6 Jilid I Budiayanto FX, penerjemah. Jakarta: Binapura Aksara. Epstein LH, Gordy CC, Raynor HA, Beddome M, Kilanowski CK, Paluch R. 2001. Increasing fruit and vegetable intake and decreasing fat and sugar intake in families at risk for childhood obesity. Obes Res. 9:171-178 Freedman DS et al. 2001. Relationship of childhood obesity to coronary heart disease risk factors in chilhood: the Bogalusa Heart Study. Pediatric 108:712 Gavin ML. 2005. Overweight and Obesity .www.kidshealth.org. Diakses 13 Desember 2009

[terhubung

berkala]

Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assesment. NewYork: Oxford University Press Hadi H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada. Hardinsyah. 2007. Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial Bagi Peningkatan Kualitas Hidup Manusia dan Pengentasan Kemiskinan dalam Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Gizi, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Hardinsyah, Tambunan V. 2004. Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indenesia. Harjadi FI, Soejono. 1986. Ketidakseimbangan Kalori pada Kegemukan.W. Soerjodibroto dan A.Tjokronegoro, editor, dalam Kegemukan : Masalah dan Penanggulangan,hal 1-7 Jakarta : Fakultas Kedokteran ,Universitas Indonesia Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian .Suhardjo, penerjemah. Jakarta: UI Press.

71

Heyward VH, et al. 1996. Predictive accuracy of three methods for estimating relative body fatness of nonobese and obese women. Int J Sport Nutr 1992;2:75–86.[Medline] [terhubung berkala]. www.ajcn.org. Diakses pada 12 Maret 2010 Hidayati, Siti N, Irawan R, Hidayat B. 2006. Obesitas pada Anak [terhubung berkala ].www.pediatrik.com Diakses pada 13 Juni 2009 He K et al. 2004. Changes in intake of fruits and vegetables in relation to risk of obesity and weight gain among middle-ages women. Int J Obes. 28: 15691574 Hui, YH. 1985. Principle and Issues in Nutrition .Monterey:Wadswort Health Sciences Division [terhubung berkala]. www.ajcn.org. Diakses pada 14 Maret 2010 Humayrah W. 2009. Faktor Gaya Hidup dalam Hubungannya dengan Risiko Kegemukan Orang Dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo. [Skripsi ] Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Huot G, Ledouk M. 2004. Factor assosiated with overweight and obesity in Quebec adults. Inst J Obes. 28: 766-774 Indraaryani IS. 2009. Konsumsi Fast Food dan Faktor-faktor yang berhubungan dengan kegemukan anak sekolah di SD Bina Insani [Tesis] Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Inoue S, Zimmet P, Caterson I. 2000 The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and Treatment. Health Communication Australia Pty Limited Institute of Medicine of the National Academies. 2001. Weight Management State of the Science Opportunities for Military Programs. Washington:The National Academic Press. Ismail MN, Tan CL, 1998. The Asia-Afric Perspective : Redefining Obesity and Treatment. Health Communication Australia Pty Limited Ito K, Murata M. 1999. Diagnostic Criteria of Childhood Obesity. Japanese Journal of Pediatrics; 52 (Supp): 1182-96.[22 Desember 2009] Irawati .A. 2000. Faktor Determinan Status Gizi dan Anemia Murid SD di Desa IDT Penerima PMT_AS di Indonesia. http://digilib ekologi litbang.depkes.go.id [terhubung berkala]. Diakses pada 12 Februari 2010

72

Klein S et al. 2004 . Weight Managemen Through Lifestyle Modification for the Prevention and Management of Type 2 Diabetes: Rationale and Strategies a Statement of the American Diabetes Association, dalam AJCN (80) 257-263 [terhubung berkala]. www.ajcn.org. Diakses pada 12 Februari 2010 Kusumajaya Y. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi remaja (SLTP dan SLTA) di wilayah DKI Jakarta [Tesis] Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia Mahan K. Escott-Stump S, 2004. Krause’s : Food, Nutrition, & Diet Therapy. 11th Edition. West Philadelpia, Pennsylvania: Saunders. Meilany TA. 2001. Profil klinis dan laboratories obesitas pada murid sekolah dasar. [Tesis]. Jakarta: Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaRSCM. Moehyi S. 1996. Ilmu Gizi. Bandung: PT Bratara Newby PK, Tucker KL, Wolk A. 2005. Risk of Overweight and Obesity among Semivegetarians, Lactovegetarians, and vegan Women dalam American Journal of Clinical Nutrition (81) : 607-613 [2 Maret 2010] Novitasari. 2005. Kebiasaan mengkonsumsi western fast food pada remaja SMU yang berstatus gizi normal dan obes di Kota Bogor. [skripsi]. Bogor Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Padmiari IAE, Hadi H. 2001. Konsumsi Fast Food sebagai Faktor Risiko pada anak SD. [terhubung berkala]. www.tempo.co.id. Diakses pada 3 Maret 2010. Paul J. Et al. 2005. Prevalence of and risk factor for chilhood overweight and obesity. Departemen of Public Health Science, University of Alberta Edmonton Alta. Journal of Clinical Nutrition (81) : 1267-1274 [23 Desember 2009] Pudjiadi S. 2003. Ilmu Gizi Khusus Pada Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Purwati S, Rahayuningsih S, Salimar. 2005. Perencanaan Menu Untuk Penderita Kegemukan. Jakarta: Penebar Swadaya. Rijanti, 2002. Hubungan Konsumsi Makanan dan Faktor-Faktor Lain dengan Status Gizi Anak Sekolah di SD PSKD Kwitang VIII Depok Tahun 2001, [Tesis] Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya

73

Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Gizi secara Antropometri. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rissanen TH et al. 2003. Low intake of fruits, berries and vegetables is associated with excess mortality in man: the Kuopio ischaemic heart disease risk factor (KIHD) studi. J Nutr.: 133:199-204. [4 Maret 2010] Sadoso. 1992. Olah Raga dan Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sediaoetama. 1987. Rakyat

Ilmu Gizi, untuk Profesi dan Mahasiswa, Jakarta: PT Dian

Siagian A. 2004. Hubungan Sarapan Pagi dengan Obesitas, [terhubung berkala ] .www.npg.org Diakses pada 14 Desember 2009 Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Soelistijani DA, Herlianty MP. 2003. Mencegah dan Mengatasi Kegemukan pada Balita . Jakarta: Puspa Swara. Subardja D. 2004. Utama.

Obesitas Primer pada Anak. Bandung: PT Kiblat Buku

Suhardjo. 1989a. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institu Pertanian Bogor Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi, Jakarta:EGC Susanti L. 1999. Kebiasaan makan dan aktfitas fisik dalam hubungannya dengan gizi lebih pada murid taman kanak-kanak di Kotamadya Bengkulu. [Tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Susilowati KD, 1992. Hubungan Faktor Psikosial dengan Tingkat Konsumsi Energi Penderita Obesitas. [Skripsi] Jurusan Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Suyono S. 1986. Hubungan Timbal Balik antara Kegemukan dan Berbagai Penyakit . W. Soerjodibroto dan A. Tjokronegoro, editor, dalam Kegemukan : Masalah dan Penanggulangannya, hal 15-21. Jakarta : Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

74

Taviano D. 2005. Cegah Obesitas dengan cara Gaya Hidup Sehat. [terhubung berkala ] .www.kompas.co.id Diakses pada 14 Juni 2009 Thorpe et al. 2004. Chilhood obesity in New York City elementary school student. The American Journal of Public Health 94(9):1496-1500 [21 Desember 2009] UNDP. Indonesia Human Development Report. 2001. Jakarta.: Indonesia Progress Report on the Millenium Development Goals .

. Indonesia Human Development Report. 2003. Jakarta : Indonesia Progress Report on the Millenium Development Goals

.

. Indonesia Human Development Report. 2004. Jakarta : Indonesia Progress Report on the Millenium Development Goals

Vioque JA, Tores, Quiles J. 2004. Time Spent Watching Television, Sleep Duration, and Obesity in Adults living in Valencia, Spain dalam International Journal of Obesity (24): 1683-1688. [terhubung berkala ].www.npg.org Diakses pada 12 Desember 2009. WHO. 1995. Physical Status:the Use and Interpretation of Antropometry. Geneva: Technical Report Series . 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva: WHO Technical Report Series.

75   

Lampiran 1 Logistik Regretion Case Processing Summary Unweighted Cases(b) N Selected Included in Analysis 3049 Cases(a) Missing Cases 2350 Total 5399 Unselected Cases 0 Total 5399

Percent 56.5 43.5 100.0 .0 100.0

Variables in the Equation B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B) Lower

Step 1(a)

jenkel

-.588

.143

17.004

1

.000

.555

.420

.734

kat.Makminnis

.145

.157

.853

1

.356

1.156

.850

1.573

kat.maklemak

.416

.267

2.420

.120

1.516

.898

2.559

kat.jeroan

.320

.747

.184

1

.668

1.378

.319

5.954

ST.EKONOMI

-.105

.204

.261

1

.609

.901

.603

1.345

kat.angKel

-.065

.145

.201

1

.654

.937

.706

1.244

st.kesh2

-.102

.281

.131

1

.717

.903

.521

1.567

kat.imt.ortubr

1

.207

.196

1.118

1

.290

1.230

.838

1.806

-.170

.160

1.129

1

.288

.843

.616

1.155

kat.enrg.br

.001

.259

.000

1

.997

1.001

.602

1.663

kat.akt.br

.392

.143

7.535

1

.006

1.480

1.119

1.957

kat.mak.bh.br

.371

.150

6.149

1

.013

1.449

1.081

1.943

.702

1.386

KAT.PROT.BR

kat.mak.syr.br

-.014

.174

.006

1

.936

.986

-2.351

.943

6.222

1

.013

.095

-.588

.143

17.007

1

.000

.555

.420

.734

kat.Makminnis

.145

.157

.853

1

.356

1.156

.850

1.573

kat.maklemak

.416

.267

2.424

1

.120

1.516

.898

2.558

Constant Step 2(a)

Upper

jenkel

kat.jeroan

.320

.747

.184

1

.668

1.378

.319

5.954

ST.EKONOMI

-.105

.204

.262

1

.609

.901

.604

1.344

kat.angKel

-.065

.144

.202

1

.653

.937

.706

1.244

st.kesh2

-.102

.281

.131

1

.717

.903

.521

1.567

.207

.196

1.120

1

.290

1.230

.838

1.806

-.170

.147

1.338

1

.247

.844

.632

1.125

.392

.143

7.545

1

.006

1.480

1.119

1.957

kat.mak.bh.br

.371

.150

6.151

1

.013

1.449

1.081

1.943

kat.mak.syr.br

-.014

.174

.006

1

.936

.986

.702

1.386

-2.350

.854

7.565

1

.006

.095

kat.imt.ortubr KAT.PROT.BR kat.akt.br

Constant

76    B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B) Lower

Step 3(a)

jenkel

-.588

.143

17.012

1

.000

.555

.420

.734

kat.Makminnis

.143

.154

.854

1

.355

1.153

.852

1.561

kat.maklemak

.416

.267

2.428

1

.119

1.516

.898

2.559

kat.jeroan

.323

.746

.188

1

.665

1.381

.320

5.961

ST.EKONOMI

-.104

.204

.261

1

.609

.901

.604

1.344

kat.angKel

-.065

.144

.204

1

.651

.937

.706

1.243

st.kesh2

-.102

.281

.131

1

.717

.903

.521

1.567

kat.imt.ortubr

.206

.195

1.114

1

.291

1.229

.838

1.803

-.170

.147

1.341

1

.247

.843

.632

1.125

kat.akt.br

.390

.141

7.617

1

.006

1.477

1.120

1.949

kat.mak.bh.br

.370

.149

6.176

1

.013

1.448

1.081

1.938

-2.353

.853

7.602

1

.006

.095

-.588

.143

16.969

1

.000

.556

.420

.735

kat.Makminnis

.144

.154

.872

1

.350

1.155

.853

1.563

kat.maklemak

.415

.267

2.412

1

.120

1.514

.897

2.555

KAT.PROT.BR

Constant Step 4(a)

jenkel

kat.jeroan

.323

.746

.188

1

.665

1.382

.320

5.962

ST.EKONOMI

-.106

.204

.272

1

.602

.899

.603

1.341

kat.angKel

-.065

.144

.203

1

.652

.937

.706

1.243

.205

.195

1.104

1

.293

1.228

.837

1.801

kat.imt.ortubr KAT.PROT.BR

-.171

.147

1.356

1

.244

.843

.632

1.124

kat.akt.br

.391

.141

7.641

1

.006

1.478

1.120

1.950

kat.mak.bh.br

.367

.149

6.095

1

.014

1.443

1.079

1.931

-2.445

.815

9.001

1

.003

.087

-.585

.143

16.863

1

.000

.557

.421

.736

.145

.154

.886

1

.347

1.156

.854

1.565

kat.maklemak

.439

.262

2.797

1

.094

1.551

.927

2.594

ST.EKONOMI

-.106

.204

.270

1

.604

.899

.603

1.342

kat.angKel

-.065

.144

.203

1

.652

.937

.706

1.243

.208

.195

1.129

1

.288

1.231

.839

1.805

Constant Step 5(a)

jenkel kat.Makminnis

kat.imt.ortubr KAT.PROT.BR

-.173

.147

1.383

1

.240

.841

.631

1.122

kat.akt.br

.390

.141

7.619

1

.006

1.477

1.120

1.949

kat.mak.bh.br

.366

.149

6.076

1

.014

1.442

1.078

1.930

-2.148

.428

25.154

1

.000

.117

-.585

.143

16.822

1

.000

.557

.422

.737

.148

.154

.922

1

.337

1.160

.857

1.569

kat.maklemak

.440

.262

2.810

1

.094

1.552

.928

2.596

ST.EKONOMI

-.113

.204

.311

1

.577

.893

.599

1.330

Constant Step 6(a)

Upper

jenkel kat.Makminnis

kat.imt.ortubr KAT.PROT.BR kat.akt.br

.209

.195

1.141

1

.285

1.232

.840

1.807

-.168

.147

1.312

1

.252

.845

.634

1.127

.393

.141

7.728

1

.005

1.481

1.123

1.954

77    B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B) Lower

kat.mak.bh.br

.363

.148

5.979

1

.014

1.437

-2.180

.423

26.589

1

.000

.113

-.584

.143

16.820

1

.000

kat.Makminnis

.150

.154

.951

1

kat.maklemak

.441

.262

2.822

1

Constant Step 7(a)

jenkel

kat.imt.ortubr

.737

.329

1.162

.859

1.572

.093

1.554

.929

2.599

.992

1

.319

1.212

.830

1.771

.146

1.242

1

.265

.850

.638

1.132

kat.akt.br

.389

.141

7.596

1

.006

1.475

1.119

1.945

kat.mak.bh.br

.380

.145

6.850

1

.009

1.463

1.100

1.944

-2.214

.419

27.956

1

.000

.109

-.582

.142

16.736

1

.000

.559

.423

.738

.423

.262

2.612

1

.106

1.526

.914

2.548

jenkel kat.maklemak KAT.PROT.BR kat.akt.br kat.mak.bh.br

.194

.193

1.008

1

.315

1.214

.831

1.774

-.153

.146

1.100

1

.294

.858

.645

1.142

.408

.140

8.549

1

.003

1.504

1.144

1.978

1.096

1.937

.376

.145

6.727

1

.009

1.457

-2.182

.416

27.506

1

.000

.113

-.580

.142

16.595

1

.000

.560

.424

.740

kat.maklemak

.431

.261

2.714

1

.099

1.538

.922

2.567

KAT.PROT.BR

-.154

.146

1.115

1

.291

.857

.644

1.141

kat.akt.br

.410

.140

8.635

1

.003

1.507

1.146

1.981

kat.mak.bh.br

.369

.145

6.484

1

.011

1.446

1.089

1.921

-2.161

.415

27.072

1

.000

.115

-.581

.142

16.667

1

.000

.560

.423

.739

kat.maklemak

.419

.261

2.581

1

.108

1.521

.912

2.537

kat.akt.br

.410

.140

8.647

1

.003

1.507

1.147

1.981

kat.mak.bh.br

.354

.144

6.032

1

.014

1.425

1.074

1.890

-2.399

.350

46.939

1

.000

.091

-.605

.142

18.262

1

.000

.546

.414

.721

.399

.139

8.219

1

.004

1.491

1.135

1.958

.350

.144

5.914

1

.015

1.420

1.070

1.883

-1.976

.230

73.613

1

.000

.139

Constant jenkel

Constant jenkel

Constant Step 11(a)

.422

.193

kat.imt.ortubr

Step 10(a)

.557

.193

Constant

Step 9(a)

1.922

-.163

KAT.PROT.BR

Step 8(a)

jenkel kat.akt.br kat.mak.bh.br Constant

a Variable(s) entered on step 1: jenkel, kat.Makminnis, kat.maklemak, kat.jeroan, ST.EKONOMI, kat.angKel, st.kesh2, kat.imt.ortubr, KAT.PROT.BR, kat.enrg.br, kat.akt.br, kat.mak.bh.br, kat.mak.syr.br.

     

Upper

1.075

78      Lampiran 2  PERMOHONAN DATA   

Sehubungan dengan penelitian saya yang akan menggunakan data survey Riskesdas, 

maka  berikut  saya  sampaikan  permohonan  data  yang  dibutuhkan.  Semoga  data  tersebut  dapat saya manfaatkan dengan baik. Terima kasih.  Nama   

: Anwar Muasadat 

NRP 

: I 150 080 171 

 

Judul Tesis     : Faktor‐faktor yang mempengaruhi status gizi lebih anak usia 6‐14 tahun di  Propinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung.   Asal  

 

: Mahasiswa Jurusan Ilmu Gizi, FEMA IPB.   

Data yang dibutuhkan adalah anak usia 6‐14 tahun dan orang tua anak(ayah,ibu) di Propinsi  Sumatera Selatan. Adapun rincian data yang dibutuhkan sebagai berikut:     Kode 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel 

IDRT 

Identitas Rumah Tangga 

String 

 

IDART 

Identitas Anggota Rumah Tangga  

String 

 

PROV 

Provinsi 

String  

 

B1R1 

Kode Provinsi 

Number 

 

KAB 

Kabupaten/ Kota 

String 

 

B1R2 

Kode Kabupaten/ Kota 

Number 

 

KEC 

Kecamatan 

String 

 

79    Kode 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel 

B1R3 

Kode Kecamatan 

Number 

 

B1R5 

Kalsifikasi desa/ kelurahan 

Number  

1. Perkotaan  2. Pedesaan 

B1R7 

Nomor Kode Sampel 

Number 

 

B1R8 

Nomor urut sampel rumah tangga 

Number 

 

B2R2 

Banyak anggota Rumah tangga 

Number 

 

B4K1 

Nomor Urut Anggota Rumah Tangga 

Number 

 

B4K2 

Nama anggota rumah tangga 

String  

 

B4K3 

Hubungan  dengan  Kepala  Rumah  Number  Tangga 

1. Kepala rumah tangga  2. istri/ suami  3. anak  4. menantu  5. cucu  6. orang tua/ mertua  7. famili lainnya  8. pembantu rumah tangga  9. lainnya 

B4K4 

Jenis kelamin 

Number 

B4K5 

Umur (Tahun) 

Number 

1. Laki‐laki  2. Perempuan   

B4K6 

Status Kawin 

Number 

1. Belum kawin  2. Kawin 

B4K7 

Pendidikan tertinggi 

Number  

1. Tidak pernah sekolah  2. tidak tamat SD  3. Tamat SD 

80    Kode 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel  4. Tamat SLTP  5. Tamat SLTA  6. Tamat perguruan tinggi 

 

TINGKAT PENGELUARAN KELUARGA 

Number 

B4K8 

Pekerjaan Utama 

Number 

1. Tidak kerja  2. Sekolah  3. Ibu rumah tangga  4. TNI/ Polri  5. PNS  6. Pegawai BUMN  7. Pegawai swasta  8. Wiraswasta/ pedagang  9. Pelayanan jasa  10. Petani  11. Nelayan  12. Buruh  13. Lainnya 

 

 

 

 

A01_NOR U 

Nomor urut ART 

Number 

 

 

Jumlah  konsumsi  makanan  keluarga  Numerik  sehari 

 

 

Jumlah  konsumsi  makanan  anak  (  6‐ Numerik  14  tahun)  dalam  1  hari  (24  jam  yang  lalu) 

 

B01 

Dalam  12  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  didiagnosis  menderita  ISPA    oleh  tenaga  kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  1  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  menderita  panas  disertai  batuk  berdahak/kering  atau  pilek ? 

1. Ya 2. Tidak 

B02 

 

 

 

81    Kode 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel 

 

B03 

B04 

B05 

B06 

B07 

B08 

Dalam  12  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  didiagnosis  menderita  Pneumonia    oleh  tenaga  kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  1  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  menderita  panas  tinggi  disertai  batuk  berdahak  atau  napas  lebih  cepat  dan  pendek  dari  biasa  (cuping  hidung)  /  sesak  napas  dengan  tanda  tarikan  dindind  dada  bagian bawah ? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  12  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  didiagnosis  menderita  Demam  Thypoid    oleh  tenaga  kesehatan  (dokter/  perawat/  bidan)? 

1. Ya 2. Tidak 

 

 

 

Dalam  1  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  menderita  panas  terutama  pada  malam  hari  >  1  minggu  disertai  sakit  kepala,  lidah  kotor  dengan  pinggir  merah,  diare  atau tidak bisa BAB ? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  12  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  didiagnosis  menderita  Malaria  yang  sudah  dikonfirmasi  dengan  pemeriksaan  darah    oleh  tenaga  kesehatan  (dokter/ perawat/ bidan)? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  1  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  menderita  panas  tinggi  disertai  menggigil  (perasaan 

1. Ya 2. Tidak 

 

 

 

82    Kode 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel 

dingin),  panas  naik  turun  secara  berkala,  berkeringan,  sakit  kepala  atau  tanpa  gejala  malaria  tetapi  sudah minum obat anti malaria ?  B09 

Jika  ya,    apakah  [NAMA]  pendapat  Number  pengobatan  dengan  obat  program  dalam  23  jam  pertama  menderita  panas ? 

1. Ya 2. Tidak   

Dalam  12  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  didiagnosis  menderita  Diare    oleh  tenaga  kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  1  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  menderita  buang  air  besar  lebih  dari  3  kali  dalam  sehari  dengan  kotoran  /  tinja  lembek  atau  cair? 

1. Ya 2. Tidak 

B12 

Apakah  pada  saat  diare,  diatasi  Number  dengan  pemberian  Oralit/pemberian  larutan  gula  garam/cairan  rumah  tangga? 

1. Ya 2. Tidak 

B13 

Dalam  12  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  didiagnosis  menderita  Campak    oleh  tenaga  kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  1  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  menderita  panas  tinggi  disertai  mata  merah  dengan  banyak  kotoran  dari  mata,  ruam  merah  pada  kulit  terutama  pada  leher dan dada ? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  12  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  didiagnosis 

1. Ya 2. Tidak 

B10 

B11 

B14 

B15 

 

 

 

 

83    Kode 

B16 

B17 

B18 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel 

menderita  TB  Paru      oleh  tenaga  kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)? 

 

Dalam  1  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  menderita  batuk  ≥  2  kali minggu disertai dahak atau dahak  bercampur  darah  /  batuk  berdarah  dan berat badan sulit bertambah dan  menurun ? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  12  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  didiagnosis  menderita  Deman  Berdarah  Dengue    oleh  tenaga  kesehatan  (dokter/  perawat/ bidan)? 

1. Ya 2. Tidak 

Dalam  1  bulan  terakhir,  apakah  Number  [NAMA]  pernah  menderita  deman  atau  panas,  sakit  kepala  /  pusing  disertai nyeri ulu hati /perut kiri atas,  mual  dan  muntah,  lemas  kadang‐ kadang disertai bintik bintik merah di  bawah  kulit  dan  /atau  mimisan,  kaki/tangan dingin? 

1. Ya 2. Tidak 

 

 

 

  B19 

Dalam  12  bulan  terakhir  ,apakah  Number  (nama)  pernah  didiagnosisi  menderita  Hepatitis  oleh  tenaga  kesehatan(dokter/perawat/bidan 

1. Ya 2. tidak

  B20 

Dalam  12  bulan  terakhir  ,apakah  Number  (nama)  pernah  demam  ,lemah,  gangguan  saluran  cerna,(mual,muntah,tidak  nafsu  makan),Nyeri pada perut  kanan atas,  disertai  urin  warna  seperti  air  the 

2. Ya 2. tidak

84    Kode 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel 

pekat  mata  atau  kulit  berwarna  kuning  B23 

Dalam  12  bulan  terakhir  ,apakah  Number  (NAMA)  pernah  didiagnosis  menderita  asma  oleh  tenaga  kesehatan(dokter/perawat/bidan) 

1. Ya 2. tidak

B24 

Dalam  12  bulan  terakhir,  apakah  Number  (Nama)  pernah  mengalami  sesak  nafas  disertai  bunyi  (mengi)  rasa  tertekan  di  dada/  Terbangun  karena  dada terasa tertekan di pagi hari 

2. Ya 2. tidak

D08 

Apakah  (NAMA)    mencuci  tangan  Number  pakai sabun 

D09 

Dimana (nama) biasa buang air besar 

D10a 

Apakah (nama) biasa menggosok gigi    setiap hari 

a. Sebelum makan b. Sebelum menyiapkan makan c. Setelah buang air besar d. Setelah memegang binatang 1.jamban 2.kolam/sawah/selokan 3.sungai/danau 4.lubang tanah 5. Tanah lapang/kebun 6 .lainnya.. 1.ya 2.tidak

D10b 

Kapan Saja menggosok gigi 

D22 

Apakah  [NAMA]  biasa  melakukan  Number  aktivitas  fisik  berat,  yang  dilakukan  terus‐menerus  paling  sedikit  selama  10 menit setiap kali melakukannya?   

 

 

a. b. c. d. e.

Saat mandi pagi sore sesuadah makan pagi sesudah bangun pagi Sebelum tidur malam Lainnya sebutkan

1. Ya 2. Tidak 

85    Kode 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel 

  D23 

Biasanya  berapa  hari  dalam  Number  seminggu, [NAMA] melakukan 

 

aktivitas fisik berat tersebut?  D24A 

Biasanya  pada  hari  ketika    NAMA]  Number  melakukan aktivitas fisik 

 

berat,  berapa  total  waktu  yang  digunakan  untuk  melakukan  seluruh  kegiatan tersebut? (jam)  D24B 

Biasanya  pada  hari  ketika    [NAMA]  Number  melakukan aktivitas fisik 

 

berat,  berapa  total  waktu  yang  digunakan untuk melakukan  seluruh kegiatan tersebut? (menit)  D25 

Apakah  [NAMA]  biasa  melakukan  Number  aktivitas  fisik  sedang,  yang  dilakukan  terus‐menerus  paling  sedikit  selama  10 menit setiap kalinya? 

1. Ya 2. Tidak 

D26 

Biasanya  berapa  hari  dalam  Number  seminggu, [NAMA] melakukan 

 

aktivitas fisik sedang tersebut?  D27A 

Biasanya  pada  hari  ketika  [NAMA]  Number  melakukan aktivitas fisik 

 

sedang,  berapa  total  waktu  yang  digunakan untuk melakukan  seluruh kegiatan tersebut? (jam)  D27B 

Biasanya  pada  hari  ketika  [NAMA]  Number  melakukan aktivitas fisik 

 

86    Kode 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel 

sedang,  berapa  total  waktu  yang  digunakan untuk melakukan  seluruh kegiatan tersebut? (menit)  D28 

Apakah  [NAMA]  biasa  berjalan  kaki  Number  atau  menggunakan  sepeda  kayuh  yang  dilakukan  terus‐menerus  paling  sedikit  selama  10  menit  setiap  kalinya? 

1. Ya 2. Tidak 

D29 

Biasanya  berapa  hari  dalam  Number  seminggu, [NAMA] berjalan kaki 

 

atau bersepeda selama paling sedikit  10 menit terus‐menerus  setiap kalinya?  D30A 

Biasanya  dalam  sehari,  berapa  total  Number  waktu yang [NAMA] 

 

gunakan  untuk  berjalan  kaki  atau  bersepeda? (jam)  D30B 

Biasanya  dalam  sehari,  berapa  total  Number  waktu yang [NAMA] 

 

gunakan  utuk  berjalan  kaki  atau  bersepeda? (menit)  D31 

Biasanya  dalam  1  minggu,  berapa  Number  hari [NAMA] makan 

 

buah‐buahan segar?  D32 

Berapa  porsi  rata‐rata  [NAMA]  Number  makan buah‐buahan segar  dalam  satu  hari  dari  hari‐hari  tersebut? 

 

87    Kode 

Nama Variabel 

Tipe 

Nilai Variabel 

D33 

Biasanya  dalam  1  minggu,  berapa  Number  hari  [NAMA]  mengkonsumsi  sayur‐ sayuran segar?  

 

D34 

Berapa  porsi  rata‐rata  [NAMA]  Number  mengkonsumsi sayur‐sayuran 

 

segar dalam sehari?  D35A 

Makanan/ minuman manis 

Number 

1. > 1 kali per hari  2. 1 kali per hari  3. 3 – 6 kali per minggu  4. 1 – 2 kali per minggu  5. < 3 kali per bulan  6. Tidak pernah 

D35B 

Makanan asin 

Number  

1. > 1 kali per hari  2. 1 kali per hari  3. 3 – 6 kali per minggu  4. 1 – 2 kali per minggu  5. < 3 kali per bulan  6. Tidak pernah 

D35C 

Makanan berlemak 

Number 

1. > 1 kali per hari  2. 1 kali per hari  3. 3 – 6 kali per minggu  4. 1 – 2 kali per minggu  5. < 3 kali per bulan  6. Tidak pernah 

88    Kode  D35D 

Nama Variabel  Jeroan (usus, babat, paru) 

Tipe  Number 

Nilai Variabel  1. > 1 kali per hari  2. 1 kali per hari  3. 3 – 6 kali per minggu  4. 1 – 2 kali per minggu  5. < 3 kali per bulan  6. Tidak pernah 

D35E 

Jeroan (usus, babat, paru) 

Number 

1. > 1 kali per hari  2. 1 kali per hari  3. 3 – 6 kali per minggu  4. 1 – 2 kali per minggu  5. < 3 kali per bulan  6. Tidak pernah 

U1 

Berat Badan 

Number 

 

U2A 

Tinggi Badan/ Panjang Badan 

Number 

 

U2B 

Posisi Pengukuran TB/ PB 

Number 

1. Berdiri 2. Telentang 

U4 

Lingkar perut 

Number 

 

U1 

Berat Badan 

Number 

 

U2A 

Tinggi Badan/ Panjang Badan 

Number 

 

U2B 

Posisi Pengukuran TB/ PB 

Number 

1. Berdiri 2. Telentang