ANALISIS KINERJA EFISIENSI TEKNIS BANK PEMBANGUNAN DAERAH (BPD)

Download Bank Pembangunan Daerah (BPD) memiliki peran penting sebagai penyedia pembiayaan bagi ... Dalam analisis kinerja efisiensi ini diketahui te...

0 downloads 276 Views 148KB Size
ANALISIS KINERJA EFISIENSI TEKNIS BANK PEMBANGUNAN DAERAH (BPD) DENGAN PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) Safira Rahmannia Jurusan Ekonomi Akuntansi, Universitas Gunadarma [email protected]

ABSTRAK Bank Pembangunan Daerah (BPD) memiliki peran penting sebagai penyedia pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan daerah yang bersangkutan dalam rangka Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Namun dalam kurun waktu 2008-2009, terdapat ketidakefisienan BPD dalam melaksanakan kinerjanya, yang terlihat dari NIM BPD yang sangat tinggi di antara bank umum lainnya, serta penyaluran kredit Mikro Kecil Menengah (MKM) yang belum maksimal. Atas ketidakefisienan tersebut, maka diperlukan adanya suatu evaluasi kinerja. Kinerja yang dibahas dalam penelitian ini adalah kinerja efisiensi bukan kinerja keuangan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA), dimana nantinya akan diketahui skor efisiensi teknis masing-masing BPD; BPD mana saja yang tergolong efisien, dan belum efisien; penyebab yang menjadikan BPD tergolong belum efisien; dan seberapa besar output yang harus ditingkatkan agar BPD yang belum efisien dapat mencapai kinerja efisiensi maksimal 100%. Dalam analisis kinerja efisiensi ini diketahui terdapat 5 BPD yang tergolong efisien, dan 21 BPD yang tergolong belum efisien pada periode 2008. Sementara pada periode 2009 terdapat 9 BPD tergolong efisien, dan 16 BPD tergolong belum efisien. Selain itu, diketahui pula penyebab BPD sehingga digolongkan belum efisien, serta diketahui pula besar penambahan kredit, dan total pendapatan bagi BPD yang belum efisien agar mencapai kinerja efisiensi maksimal 100%.

Kata Kunci: Kinerja Efisiensi Teknis, Data Envelopment Analysis (DEA)

PENDAHULUAN Industri perbankan memegang peranan yang sangat vital bagi perekonomian Indonesia. Bank merupakan lembaga keuangan terpenting, dan sangat mempengaruhi perekonomian baik secara makro maupun mikro. Hal ini terwujud oleh karena fungsi utama dari perbankan yaitu sebagai lembaga intermediasi antara pihak yang kelebihan dana, dan pihak yang kekurangan atau membutuhkan dana. Oleh karena itu, mengingat betapa pentingnya peranan lembaga keuangan ini, maka diperlukan adanya suatu evaluasi kinerja. Menurut Zaenal Abidin (2007), untuk mengukur evaluasi kinerja bank, indikator yang sering digunakan adalah kinerja secara ekonomi. Kinerja tersebut terdiri dari dua kinerja utama, yaitu kinerja keuangan dan kinerja efisiensi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kinerja efisiensi bukan kinerja keuangan, karena kinerja yang baik adalah kinerja yang efisien, dan nyatanya efisiensi sendiri merupakan indikator penting dalam mengukur kinerja keseluruhan dari suatu bank. Berdasar atas pernyataan tersebut, dapat dilihat betapa krusialnya efisiensi dalam suatu bank, tidak terkecuali bagi Bank Pembangunan Daerah (BPD). Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1962, Bank Pembangunan Daerah (BPD) adalah bank yang didirikan di Daerah Swatantra Tingkat I yang dimaksudkan untuk menyediakan pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan daerah dalam rangka Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) mencatat hingga akhir tahun 2009, total aset BPD mencapai hampir Rp 200,542 triliun, atau dengan kata lain sebesar 7,91 % dari total

aset keseluruhan bank umum dengan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dengan total aset yang cukup besar tersebut, tentunya pemerintah daerah berharap banyak akan p e r an B P D d a l a m m e m p e r c e p a t pembangunan, dan pergerakan perekonomian di daerah. Namun selama ini BPD dinilai inefisien dengan pencapaian margin bunga bersih (Net Interest Margin / NIM) yang begitu besar, dan tertinggi diantara kelompok bank umum yang lain. NIM BPD yang sangat tinggi dikhawatirkan akan menghambat perputaran modal bagi sektor-sektor mikro, kecil, dan menengah di daerah yang bersangkutan. Dengan bunga kredit yang tinggi, dikhawatirkan sektor-sektor tersebut menjadi enggan meminjam dana p ada BPD, y ang akhirnya berakibat pada terganggunya peran BPD sebagai lembaga intermediasi di daerah. Kemudian masalah lain yang dihadapi BPD adalah masalah penyaluran kredit pada sektor MKM (mikro, kecil, menengah). BPD sudah semestinya memperhatikan keefisienan penyaluran kredit pada sektor MKM, selain fokusnya pada p embiay aan proyek-pr o yek pemerintah daerah. Beberapa permasalahan dalam BPD yang telah dijabarkan tersebut merupakan bentuk ketidakefisienan BPD dalam menjalankan kinerjanya. Oleh karen a itu, penulis mer as a perlu melakukan analisis kinerja efisiensi dengan memperhitungkan seluruh inputoutput dengan menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA), dimana nantinya akan diketahui skor efisiensi teknis masing-masing BPD; BPD mana saja yang tergolong efisien, dan belum efisien; penyebab yang menjadikan BPD tergolong belum efisien;

dan seberapa besar output yang harus ditingkatkan agar BPD yang belum efisien dapat mencapai kinerja efisiensi maksimal 100%. TINJAUAN PUSTAKA Konsep efisiensi pertama kali diperkenalkan oleh Farrel (1957) yang merupakan tindak lanjut dari dari model yang diajukan Debreu, dan Koopmans (1951). Farrel membagi efisiensi menjadi dua, yaitu efisiensi teknis, dan efisiensi alokatif. Efisiensi teknis merupakan kemampuan dari perusahaan dalam menghasilkan output dengan sejumlah input yang tersedia. Sedangkan efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan perusahaan dalam mengoptimalkan penggunaan input-nya, dengan struktur harga dan teknologi produksinya. Kedua komponen ini kemudian dikombinasikan untuk menghasilkan ukuran efisiensi total, atau efisiensi ekonomis (economic efficiency). Pada awalnya, evaluasi kinerja efisiensi bank diukur dengan menggunakan rasio keuangan, seperti rasio BOPO tetapi menurut beberapa pakar (Oral dan Yolalan, 1990; Berger dan Humphrey, 1992), penilaian efisiensi tidak bisa dilakukan secara parsial tetapi harus secara keseluruhan dengan memperhitungkan semua output, dan input yang ada. Selanjutnya, teknik pengukuran efisiensi dapat dilihat baik dengan fokus pada sisi input (input-oriented) maupun fokus pada sisi output (output-oriented). Pendekatan sisi input adalah diasumsikan sebuah perusahaan yang menggunakan dua jenis input, yaitu x1 dan x2, untuk memproduksi satu jenis output (y) dengan asumsi constant returns to scale (CRS). Asumsi CRS maksudnya adalah jika kedua jenis input,

x1 dan x2, ditambah dengan jumlah persentase tertentu, maka output juga akan meningkat dengan persentase yang sama. Sedangkan pendekatan sisi output berlawanan dengan pendekatan sisi input yang menjawab berapa banyak kuantitas input bisa dikurangi secara proporsional untuk memproduksi kuantitas output yang sama, tetapi pendekatan sisi output menjawab berapa banyak kuantitas output dapat ditingkatkan secara proporsional dengan kuantitas input yang sama. Menurut Barr, dkk (2002) dan Leong, dkk (2003), terdapat tiga pendekatan dalam mendefinisikan hubungan input dan output, yaitu pendekatan produksi (production approach), pendekatan intermediasi ( i nt e r me d i a t io n a p p r o a c h ) , d a n pendekatan aset (asset approach ). Menurut Berger, dan Humphrey (1997) serta Kwan (2002), pendekatan yang sering digunakan dalam penelitian efisiensi bank adalah pendekatan intermediasi. Mereka mengatakan bahwa p en d ek at a n in t er m e di as i a d al a h pendekatan yang paling sesuai untuk mengevaluasi efisiensi seluruh bank karena termasuk di dalamnya beban bunga yang jumlahnya setengah, atau dua pertiga dari total biaya. METODE PENELITIAN Data atau Variabel yang Digunakan Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder. Data tersebut berasal dari Direktori Bank Indonesia tahun 2008-2009 berupa laporan keuangan publikasi bulanan neraca, dan laporan laba rugi 26 BPD se-

Indonesia. Adapun variabel output yang berasal dari laporan keuangan publikasi tersebut adalah kredit yang disalurkan ( Y 1 ) , d an to t al pen da pat an ( Y 2 ) . Sementara variabel input-nya adalah dana pihak ketiga (X1), biaya bunga (X2), dan biaya operasional lainnya (X 3). Data tersebut nantinya akan dianalisis dengan pendekatan DEA dengan bantuan software DEAP Version 2.1 by Tim Coelli, University of New England. Data Envelopment Analysis (DEA) Metode DEA merupakan salah satu metode frontier berbasis non parametrik dengan menggunakan program linier. Tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk mengukur tingkat efisiensi relatif dari decision making unit (DMU, misal: bank) terhadap DMU sejenis, ketika semua unit berada pada, atau dibawah kurva efisien frontiernya. Metode ini dapat digunakan untuk melakukan evaluasi efisiensi relatif dari beberapa objek (Zaenal Abidin, Endri, dan Dyah Nirmalawati, 2008 : 11). Sementara menurut Muliaman D. Hadad, dkk (2003), DEA merupakan ukuran efisiensi relatif dimana inefisiensi unit-unit yang ada dibandingkan dengan unit lain yang dianggap paling efisien dalam set data yang ada. Sehingga dalam analisis DEA dimungkinkan beberapa unit mempunyai tingkat efisiensi 100% (efisien) dalam waktu tertentu. DEA amat rentan dengan adanya angka nol, negatif dan angka kecil yang mendekati nol karena dapat menyebabkan fluktuasi bobot menjadi amat tinggi, dan tidak terhingga. Dalam analisis DEA input dan output tidak boleh negatif, karena angka negatif mengimplikasikan sebuah titik kombinasi yang tidak terdapat di dalam set data.

Kelebihan metode yang diperkenalkan pertama kali oleh Charnes, Coopers, dan Rhodes (CCR) pada tahun 1978 ini adalah bahwa pendekatan ini tidak memerlukan spesifikasi bentuk fungsi yang eksplisit, kemungkinan kesalahan spesifikasi kecil, tidak dibatasinya penggunaan data input / output, dan hanya memerlukan sedikit struktur untuk membentuk frontier efisiensinya. Pendekatan DEA mengevaluasi efisiensi relatif suatu DMU dari DMU yang sebanding. Selanjutnya DMU DMU yang efisien akan membentuk garis frontier. Jika DMU berada pada garis frontier, maka DMU tersebut dapat dikatakan efisien relatif dibandingkan dengan DMU yang lain dalam peer group-nya. Selain menghasilkan nilai efisiensi masing-masing DMU, DEA juga menunjukkan unit-unit yang menjadi referensi bagi unit-unit yang tidak efisien.

Dimana DMU = UPK; n = UPK yang akan dievaluasi; m = input-input yang berbeda; p = output-output yang berbeda; xij = jumlah input I yang dikonsumsi oleh UPK j ; y k j = jumlah output k yang diproduksi oleh UPKj. Terdapat dua model yang digunakan dalam pendekatan DEA, yaitu model CCR (1978), dan model BCC (1984). Model CCR mengasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output adalah sama, artinya jika ada tambahan input sebesar x kali, maka output juga akan meningkat sebesar x kali. Oleh karena itu, model CCR sering

juga disebut model CRS (constant return to scale). Sementara asumsi dari model B C C a d a l a h b a h w a r a s i o a n t ar a penambahan input dan output tidak sama, artinya penambahan input sebesar x kali t i d ak ak an m e n y e b a b k a n o u t p u t meningkat sebesar x kali, bisa lebih kecil atau lebih besar dari x kali. Sehingga model CCR sering juga disebut model VRS (variable return to scale). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengukuran terhadap kinerja efisiensi keseluruhan BPD dengan menggunakan metode DEA selama periode 2008-2009 menunjukkan bahwa pada tahun 2008 skor efisiensi tertinggi dimiliki oleh 5 BPD dengan perolehan skor 1. Sementara skor efisiensi terendah dimiliki oleh PT BPD Sumatera Selatan dan Bangka Belitung. Pada tahun 2009, skor efisiensi tertinggi dimiliki oleh 9 BPD dengan perolehan skor 1. Sementara skor efisiensi terendah dimiliki oleh PT BPD Aceh

Tabel 1. Skor Efisiensi (TEi ) Masing-masing BPD Tahun 2008 dan 2009 (dalam persentase) No

Bank Pembangunan 2008 2009 Daerah (BPD) 1. PT BPD Aceh 0.705 0.716 2. PT BPD Bali 0.885 0.958 3. PT BPD Bengkulu 0.987 0.912 4. PT Bank DKI 0.681 0.775 5. PT BPD Jambi 0.907 1.000 6. PT BPD Jabar 0.877 0.938 7. PT BPD Jateng 0.894 0.914 8. PT BPD Jatim 0.749 0.848 9. PT BPD Kalbar 0.674 Na 10. BPD Kalsel 0.752 1.000 11. PT Bank Kalteng 0.761 0.922 12. BPD Kaltim 1.000 1.000 13. PT Bank Lampung 0.922 1.000 14. PT BPD Maluku 0.706 0.836 15. PT BPD NTB 1.000 1.000 16. PT BPD NTT 0.977 1.000 17. PT BPD Papua 0.974 0.764 18. PT BPD Riau 0.793 0.899 19. PT BPD Sulasel 1.000 1.000 20 PT BPD Sulteng 1.000 1.000 21. BPD Sultengga 1.000 1.000 22. PT BPD Sulut 0.752 0.879 23. PT BPD Sumbar 0.878 0.871 24. PT BPD Sumsel 0.624 0.791 25. PT BPD Sumut 0.754 0.968 26. BPD Yogyakarta 0.671 0.766 Sumber: www.bi.go.id, data diolah dengan software DEAP 2.1 Catatan: Na data tidak tersedia

Tabel 2 memperlihatkan BPD mana saja yang tergolong efisien dan belum efisien pada periode 2008, dan 2009. Penggolongan tersebut sebenarnya masih mengacu pada tabel sebelumnya, yaitu tabel 1 yang menggambarkan tingkat efisiensi masing-masing BPD. BPD tergolong efisien apabila skor efisiensi (nilai TEi = 1), sementara BPD digolongkan belum efisien apabila skor efisiensi (nilai TEi ≠ 1). Untuk tahun 2008 terdapat lima BPD yang tergolong efisien,

antara lain BPD Kalimantan Timur, PT BPD Nusa Tenggara Barat, PT BPD Sulawesi Selatan, PT BPD Sulawesi Tengah, dan BPD Sulawesi Tenggara. Sementara 21 BPD lainnya tergolong belum efisien karena nilai TE i ≠ 1. Di tahun 2009 terjadi peningkatan BPD yang tergolong efisien, dari yang semula lima BPD di tahun 2008 menjadi sembilan BPD di tahun 2009. Kesembilan BPD tersebut antara lain, PT BPD Jambi, BPD Kalimantan Selatan, BPD Kalimantan Timur, PT Bank Lampung, PT BPD Nusa Tenggara Barat, PT BPD Nusa Tenggara Timur, PT BPD Sulawesi Selatan, PT B P D S ulawes i Teng ah, dan BP D Sulawesi Tenggara. Sementara 16 BPD lainnya tergolong belum efisien. Terdapat 16 BPD bukan 17 BPD yang tergolong belum efisien karena data PT BPD Kalimantan Barat tahun 2009 tidak tersedia dalam direktori Bank Indonesia (BI), sehingga untuk tahun 2009 PT BPD Kalimantan Barat tidak dimasukkan ke dalam perhitungan.

Tabel 2. Daftar BPD yang Tergolong Efisien dan Belum Efisien No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20 21. 22. 23. 24. 25. 26.

Bank Pembangunan Daerah (BPD) PT BPD Aceh PT BPD Bali PT BPD Bengkulu PT Bank DKI PT BPD Jambi PT BPD Jabar PT BPD Jateng PT BPD Jatim PT BPD Kalbar BPD Kalsel PT Bank Kalteng BPD Kaltim PT Bank Lampung PT BPD Maluku PT BPD NTB PT BPD NTT PT BPD Papua PT BPD Riau PT BPD Sulasel PT BPD Sulteng BPD Sultengga PT BPD Sulut PT BPD Sumbar PT BPD Sumsel PT BPD Sumut BPD Yogyakarta

2008

2009

Belum Belum Belum Belum Belum Belum Belum Belum Belum Belum Belum Efisien Belum Belum Efisien Belum Belum Belum Efisien Efisien Efisien Belum Belum Belum Belum Belum

Belum Belum Belum Belum Efisien Belum Belum Belum Na Efisien Belum Efisien Efisien Belum Efisien Efisien Belum Belum Efisien Efisien Efisien Belum Belum Belum Belum Belum

Sumber: www.bi.go.id, data diolah dengan software DEAP 2.1 Catatan: Na data tidak tersedia

Tabel 3 berikut menggambarkan skor efisiensi BPD yang belum efisien untuk tahun 2008 dan 2009. Skor pada tabel tersebut mengacu pada tabel 1 dan 2. Dapat dilihat bahwa tahun 2008, terdapat 21 BPD yang tergolong belum efisien, sementara tahun 2009 terdapat 16 BPD yang tergolong belum efisien. Penyebab beberapa BPD digolongkan belum efisien adalah karena skor efisiensi BPD tersebut ≠ 1. Pada tabel 3 terlihat sekali bahwa skor efisiens i BP D

sangatlah variatif, seperti PT BPD Aceh tahun 2008 yang memiliki nilai TE i = 0.705, PT BPD Bali yang memiliki nilai TEi = 0.885, PT BPD Bengkulu yang memiliki nilai TEi = 0.987, dan lainnya. Walaupun PT BPD Bengkulu memiliki TEi = 0.987 atau dengan kata lain hampir m en d ek at i 1 , t et a p s aj a P T B P D Bengkulu belum bisa dikatakan efisien karena nilai TEi tidak tepat sama dengan 1. Tabel 3. Skor Efisiensi (TEi ) BPD yang Tergolong Belum Efisien (dalam persentase) No

Bank Pembangunan 2008 2009 Daerah (BPD) 1. PT BPD Aceh 0.705 0.716 2. PT BPD Bali 0.885 0.958 3. PT BPD Bengkulu 0.987 0.912 4. PT Bank DKI 0.681 0.775 5. PT BPD Jambi 0.907 Efisien 6. PT BPD Jabar 0.877 0.938 7. PT BPD Jateng 0.894 0.914 8. PT BPD Jatim 0.749 0.848 9. PT BPD Kalbar 0.674 Na 10. BPD Kalsel 0.752 Efisien 11. PT Bank Kalteng 0.761 0.922 12. PT Bank Lampung 0.922 Efisien 13. PT BPD Maluku 0.706 0.836 14. PT BPD NTT 0.977 Efisien 15. PT BPD Papua 0.974 0.764 16. PT BPD Riau 0.793 0.899 17. PT BPD Sulut 0.752 0.879 18. PT BPD Sumbar 0.878 0.871 19. PT BPD Sumsel 0.624 0.791 20. PT BPD Sumut 0.754 0.968 21. BPD Yogyakarta 0.671 0.766 Sumber: www.bi.go.id, data diolah dengan software DEAP 2.1 Catatan: Na data tidak tersedia

Penelitian ini menggunakan output-oriented sehingga dalam hasil pengolahan datanya dihasilkan pula target output yang seharusnya dicapai oleh masing-masing BPD. Bagi BPD yang tergolong efisien, jumlah output maupun

input yang dimiliki pasti sama dengan target output yang dihasilkan dari perhitungan dengan pendekatan DEA. Sementara bagi BPD yang belum efisien, jumlah output dan input yang dimiliki pasti jumlahnya tidak sama dengan target output , sehingga perlu dilakukan p en ambahan o utpu t ( kr ed it yang disalurkan dan total pendapatan) sesuai target output untuk mencapai kinerja efisiensi maksimal 100%. Adapun tujuan dari penambahan ini adalah sebagai koreksi serta referensi untuk peningkatan kinerja efisiensi di tahun mendatang sehingga kinerja efisiensi maksimal 100% pun bisa tercapai dengan sempurna. Berikut adalah tabel penambahan output (kredit yang disalurkan dan total pendapatan) BPD yang belum efisien tahun 2009. Penambahan output ini didapat dari pengurangan antara target output dengan output yang sebenarnya dicapai pada tahun 2009 oleh BPD yang tergolong belum efisien.

Tabel 4 Pertambahan Kredit dan Total Pendapatan Tahun 2009 (dalam jutaan rupiah) Bank Kredit Pendapa Pembangunan tan Daerah (BPD) 1. PT BPD Aceh 2573.638 528.236 2. PT BPD Bali 245.950 149.315 3. PT BPD 133.077 24.067 Bengkulu 4. PT Bank DKI 2174.550 473.745 5. PT BPD Jabar 1328.510 547.936 6. PT BPD Jateng 1014.031 186.263 7. PT BPD Jatim 2013.872 392.925 8. PT Bank Kalteng 183.335 27.361 9. PT BPD Maluku 273.538 62.151 10. PT BPD Papua 2740.999 286.406 11. PT BPD Riau 755.978 145.198 12. PT BPD Sulut 308.661 64.382 13. PT BPD Sumbar 877.531 156.807 14. PT BPD Sumsel 1370.079 281.504 15. PT BPD Sumut 276.874 51.266 16. BPD Yogyakarta 593.593 121.477 Sumber: www.bi.go.id, data diolah dengan software DEAP 2.1

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

No

Pada tahun 2009, terdapat 9 BPD yang tergolong efisien, sementara 16 BPD tergolong belum efisien. Oleh karena itu, penambahan output hanya dilakukan pada 16 BPD tersebut. Penambahan output ini digunakan sebagai koreksi serta referensi untuk peningkatan kinerja efisiensi di tahun mendatang sehingga kinerja efisiensi maksimal 100% pun bisa tercapai, dan peran BPD sebagai l e mb a g a i n t e r m e d i as i d i d a e r ah bersangkutan dapat terwujud dengan sempurna.

Kinerja efisiensi Bank P em b a n g u n an D a e r a h ( B P D ) s eIndonesia belum terlaksana maksimal secara keseluruhan. Pada tahun 2008 hanya terdapat 5 BPD yang tergolong efisien sementara di tahun 2009 hanya terdapat 9 BPD yang tergolong efisien. BPD yang tergolong belum efisien ini dikarenakan pencapaian output dalam hal ini kredit yang disalurkan serta total pendapatan, belum tercapai maksimal. Bagi BPD yang tergolong belum efisien, perlu dilakukan penambahan output yang didapat dari pengurangan antara target output dan output yang diraih pada tahun bersangkutan. Penambahan output ini digunakan sebagai koreksi serta referensi untuk peningkatan kinerja efisiensi di tahun mendatang sehingga kinerja efisiensi maksimal 100% pun bisa tercapai, dan peran BPD sebagai lembaga intermediasi di daerah bersangkutan dapat terwujud dengan sempurna. Saran Bagi 26 BPD yang berada di seluruh nusantara diharapkan dapat terus meningkatkan kinerja efisiensinya. Khusus bagi BPD yang belum efisien diharapkan dapat terus meningkatkan penyaluran kreditnya bagi usaha-usaha kecil (MKM) di daerah yang bersangkutan karena usaha-usaha kecil tersebut merupakan potensi daerah yang perlu diperhatikan. Tujuan atas adanya implikasi ini adalah tercapainya tujuan BPD dalam menyediakan pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan daerah dalam rangka

Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan riset dengan input-oriented sehingga dapat diketahui proporsi input yang efisien untuk mencapai output tertentu. Peneliti selanjutnya juga dapat menggunakan pendekatan aset ataupun pendekatan produksi. Riset berikutnya dapat pula dilakukan dengan pendekatan parametrik, seperti Stochastic Frontier Analysis (SFA), Thick Frontier Approach (TFA) dan Distribution-Free Approach (DFA).

Berger, A.N. dan Humphrey, D.B. 1992.”Measurement and Efficiency Issue in Commercial Banking.” National Bureau of Economics Research, University of Chivago Press.

DAFTAR PUSTAKA

Coelli, T. 1996. “A guide to DEAP version 2.1: A data envelopment analysis (computer) Program”, CEPA Working Paper 96/08, Department of Econometrics, University of New England, Armidale..

Abidin, Zaenal, dkk. 2008. Kinerja Keuangan dan Efisiensi Perbankan. Pendekatan CAMEL, DEA, SFA . ABFI Institut Perbanas, Jakarta. Abidin, Z. 2007. “Kinerja Efisiensi pada B a n k U m u m . ” P ro c e e d i n g PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek dan Sipil). Vol. 2, Auditorium Kampus Gudadarma, 21-22 Agustus 2007.

Berger, A.N. dan Humphrey, D.B. 1997. “Efficiency of financial institutions: international survey and directions for future research.” European Journal of Operational Research, 98, 175212.

Farrell, M.L. 1957. “The Measurement of Productive Efficiency”, Journal of The Royal Statistical Society, 120, p.253-281.

Abidin, Z., dan Endri. 2009. “Kinerja Efisiensi Teknis Bank Pembangunan Daerah: Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA).”Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol.11, No.1.

Hadad, Muliaman D., et al. 2003. “Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia: Penggunaan Metode Nonparametrik Data Envelopment Analysis (DEA)”, Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia, Research Paper, No. 7/5.

Barr, Richard, K. Killgo, F. Siems dan S. Zimmel. 2002. “Evaluating the P r o d u c ti v e Ef f i c i en c y an d Performance of U.S. Commercial Banks.” Managerial Finance. Vol.28, No.8.

Kwan, S. H. & Eisenbeis, R. A. 1996. „An analysis of inefficiency in banking: A stochastic cost frontier approach”. Federal Reserve Bank of San Francisco Economic Review, 2, 16-26

Leong, W. H, and Coelli, T. 2002. “ M e as u r i n g t h e T e c h n i c a l Efficiency of Banks in Singapore for the Period 1993 to1999: An Application and Extension of the B a u e r ( 1 9 9 7 ) T e ch n i q u e ”, Working paper series in Economics No. 2002-10, University of New England.

Oral, M and R. Yolalan (1990).”An Empirical Study on Measurement Operating Efficiency and Profitability of Bank Branches”. European Journal of Operational Research, 46, 282-94.