ANALISIS MANFAAT LEMBAGA KEUANGAN BERBENTUK KOPERASI

Download Simpan Pinjam pada Koperasi (USP), adalah lembaga keuangan mikro formal yang dapat melayani masya-. 75. JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 2, Jili...

0 downloads 372 Views 134KB Size
ANALISIS MANFAAT LEMBAGA KEUANGAN BERBENTUK KOPERASI (KSP/USP) Suhendar Sulaeman Program Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Jakarta

ABSTRAK Krisis ekonomi yang berkepanjangan ternyata memberikan peluang yang cukup baik bagi berkembangnya lembaga keuangan mikro terutama KSP dan USP. Lembaga keuangan koperasi tersebut telah memberikan manfaat kepada anggotanya untuk dapat menyimpan dan meminjam secara mudah dan murah. Dilihat dari berbagai sisi, KSP dan USP mempunyai peluang yang sangat baik untuk menjadi lembaga keuangan yang baik, sehat dan dipercaya masyarakat. Kuncinya adalah apabila dibangun dan dikembangkan dengan baik secara bersama oleh anggotanya.Peluang tersebut akan dapat dicapai apabila didukung oleh adanya perundangan/aturan/kebijakan yang memadai dan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terkait dan berkepentingan untuk mengembangkan KSP dan USP dengan baik dan benar.KSP dan USP akan berkembang lebih pesat serta dapat lebih bermanfaat bagi anggotanya apabila didukung secara kuat oleh adanya sistem pengembangan keuangan koperasi yang terintegrasi yang pengoptimalan dananya dilakukan oleh bank koperasi yang dimiliki dan sekaligus digunakan oleh anggotanya. Kata Kunci : Usaha Kecil-Menengah (UKM), Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Usaha Simpan Pinjam (USP)

PENDAHULUAN Sampai dengan pertengahan tahun 2004, krisis ekonomi yang sudah berjalan 7 tahun ini, masih belum meyakinkan bangsa Indonesia bahwa krisis tersebut akan dapat diatasi dengan baik dalam waktu dekat. Sebagai dampak dari krisis yang berkepanjangan tersebut, di satu sisi menyulitkan atau menghambat aktivitas ekonomi masyarakat, namun 74

pada sisi lain terutama bagi sebagian masyarakat yang berusaha di sector primer, khususnya perkebunan tanaman keras dan hasil laut serta usaha skala kecil-menengah (UKM) ekspor dengan bahan baku local merupakan berkah tersendiri. Apapun alasannya, yang cukup menarik dan pasti adalah bahwa krisis ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia

JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 2, Jilid 9, Tahun 2004

dalam menyongsong pembangunan ekonomi bangsa di masa depan. Kenapa pada kondisi krisis tersebut masih ada kegiatan ekonomi, yang tidak hanya konsumsi tetapi juga produksi?. Padahal pada kondisi seperti ini sangat sulit untuk mencari sumber dana permodalan, sebagai akibat dari mandulnya sector perbankan. Kegiatan konsumsi masih dapat berjalan karena 1) masih tersedia simpanan (saving) dan 2) adanya pinjaman konsumtif dari bank, kemudian kegiatan produksi khususnya pada usaha skala kecilmenengah dapat meneruskan aktivitasnya, karena ditopang oleh sumber pembiayaan dari lembaga keuangan mikro, terutama dalam bentuk badan usaha koperasi. Apa dasarnya bahwa lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi tersebut mampu membiayai kegiatan bisnis UKM. Gunawan (2002) mengemukakan bahwa lembaga keuangan tersebut mampu menyesuaikan dengan ritme dan karakter yang melekat pada usaha mikro, kecil dan menengah. Ini artinya adalah bahwa pendekatan dengan mengembangkan lembaga keuangan mikro terutama dalam bentuk koperasi simpan pinjam (KSP) adalah cukup bijaksana.

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO VERSUS KOPERASI Indonesia sebagai negara terbesar ke lima dalam jumlah penduduk dan saat ini masih termasuk ke dalam negara yang tergolong belum berkembang, merupakan pasar yang subur bagi berkembangnya lembaga 75

keuangan mikro. Gonzales –Vega di dalam Maulana Ibrahim (2002) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan laboratorium pasar keuangan mikro terbesar di dunia, suatu tempat yang keberadaan berbagai lembaga keuangan rakyat tersebut telah melalui berbagai tahapan uji coba (trial and error), dalam arti bahwa lembaga-lembaga tersebut tumbuh dan berkembang mengikuti kebutuhan masyarakat setempat. Lembaga keuangan mikro adalah lembaga yang memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik informal, semi formal dan informal (Tohari, 2002). Kemudian Maulana Ibrahim (2002) menyebutkan bahwa secara umum lembaga keuangan mikro di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat formal dan informal. Lembaga keuangan mikro formal dalam bentuk bank adalah BKD, BPR dan BRI Unit. Lembaga keuangan mikro formal bukan bank diantaranya adalah koperasi (KSP dan USP) dan pegadaian. Kemudian lembaga keuangan mikro informal diantaranya adalah LSM, BMT dan LPEM. Sebagai lembaga keuangan, lembaga keuangan mikro dapat melakukan kegiatan operasinya dengan model konvensional maupun syariah. Perlu dikemukakan bahwa koperasi khususnya yang bergerak dalam usaha simpan pinjam, baik Koperasi simpan Pinjam (KSP) maupun Unit Simpan Pinjam pada Koperasi (USP), adalah lembaga keuangan mikro formal yang dapat melayani masya-

JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 2, Jilid 9, Tahun 2004

rakat terutama anggotanya dalam keperluannya untuk menyimpan dan meminjam dana. Mengingat cukup strategisnya peran koperasi simpan pinjam dalam menyalurkan dan menampung dana anggota, Bank Indonesia (2001) menyebutkan bahwa dilihat dari jumlah pinjamannya (kredit/pembiayaan yang disalurkan), posisi KSP dan USP termasuk dua besar setelah BRI Unit Desa. Jumlah kredit yang disalurkan masingmasing sebesar Rp 6.141.400 juta (41,87%) untuk BRI Unit Desa serta Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam pada koperasi (USP) Rp 4.159.867 juta (28,36%). Kemudian dilihat dari jumlah lembaganya, KSP dan USP merupakan lembaga keuangan mikro yang paling banyak, dan tersebar ke peloksok tanah air.

KONDISI KOPERASI SIMPAN PINJAM Seperti telah disampaikan pada bagian terdahulu, bahwa usaha koperasi simpan pinjam dalam bentuk KSP dan USP tergolong pada LKM yang formal. Keformalan lembaga keuangan koperasi ini di satu sisi sebagai peluang, sehingga dapat membantu meningkatkan pemanfaatan atau optimalitas potensi usahanya. Pada kondisi tersebut KSP dan USP dalam mengembangkan usahanya dapat dengan leluasa melakukan kerjasama usaha dengan lembaga keuangan lainnya. Namun demikian pada sisi lainnya keformalan tersebut dapat menjadi beban, terutama bagi KSP dan USP yang skala usahanya secara rata-rata SULAEMAN, ANALISIS MANFAAT………

relatif kecil bila dibandingkan dengan perbankan sejenis BPR sekalipun. Sebagai lembaga keuangan mikro bukan bank yang diusahakan oleh lembaga ekonomi berbentuk koperasi, KSP dan USP mempunyai peluang yang cukup baik untuk mengembangkan usahanya. Kondisi berkembangnya KSP dan USP sangat bergantung pada kemampuannya memanfaatkan peluang, baik peluang yang datang dari internal (kebutuhan anggota yang bersifat rutin dan kebutuhan anggota bagi tambahan modal kerja/investasi sebagai dampak dari berkembangnya usaha anggota yang pada umumnya sebagai pengusaha dengan skala kecil) dan peluang eksternal (kerjasama usaha dengan pihak lain dan mengembangkan jaringan antar koperasi) Walaupun koperasi simpan pinjam pada awalnya dikembangkan di Jerman pada pertengahan abad 19, karena keperluan akan uang dengan prosedur mudah dan cepat merupakan kebutuhan masyarakat pada umumnya, maka koperasi simpan pinjam berkembang di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pada tahun 1895 pemerintahan Belanda di Indonesia membentuk berbagai lembaga simpan pinjam. Sejak saat itu lembaga simpan pinjam terutama dalam bentuk koperasi berkembang di Indonesia. Sebagai gambaran mengenai perkembangan secara makro lembaga simpan pinjam formal di Indonesia, dapat dilihat pada kinerja KSP dan USP. Sampai dengan akhir tahun 2002 dan 2003, kegiatan

76

usaha simpan pinjam yang dilakukan oleh koperasi simpan pinjam (KSP) dan unit simpan pinjam (USP) telah memperlihatkan kinerja yang secara relatif dapat bdikatakan cukup baik. Perkembangan KSP dan USP pada dasarnya dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya adalah: 1) Jumlah lembaga, 2) jumlah anggota, 3) Volume Usaha, dan 4) Modal. Atas dasar keempat indikator tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa KSP dan USP telah atau belum berkembang sesuai dengan kebutuhan anggota akan jasa keuangan (simpan-pinjam). Gambaran mengenai perkembangan KSP dan USP tersebut dilihat sejak satu tahun sebelum resesi (tahun 1996)

sampai dengan setelah resesi berjalan empat dan lima tahun (tahun 2002 dan 2003) secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 . Pada masa resesi, ternyata walaupun jumlah KSP tumbuh ratarata sekitar 4.03 % per tahun, yang diikuti dengan pertumbuhan modal yang cukup tinggi, yaitu 9,69 %, tetapi jumlah anggota KSP turun ratarata –1,54 % per tahun dan volume usaha (pinjaman) juga menurun ratarata sekitar –4,07 % per tahun (lihat Tabel 1). Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa terdapat indikasi jumlah anggota KSP yang meminjam menurun, sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang ada belum kondusif bagi pengembangan usaha.

Tabel 1. Perkembangan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Tahun 1996-2002 dan 2002-2003 Tahun Lembaga Anggota Modal Vol.Usaha Keterangan (unit) (orang) (Jt Rp) (Jt Rp) 1996 998 648.690 138.704 837.438 Jan 1996 1) 2002 1.265 586.207 241.642 652.564 Juni 2004 2) 2003 1.376 637.448 271.457 720.577 Mei 2004 96-002 4,03 % (1,54) % 9,69 % (4,07)% Pert/tahun 3) 002-003 8,06 % 8,74 % 12,34 % 10,42 % Pert/tahun 3) 1) Sumber: Statistik Kop dan PK (1996) & Kantor kementrian Kop dan UKM (2004) 2) Data diolah

Berbeda dengan KSP, gambaran mengenai USP pada koperasi, seperti yang ditunjukkan Tabel 2 memperlihatkan pertumbuhan yang cukup nyata, dengan rata-rata pertumbuhan modal 8,35% dan volume usaha (pinjaman) 8,88 % per tahun. Kondisi seperti itu, merupakan rata-rata gambaran USP-USP pada koperasi yang umumnya melayani anggota bagi keperluan konsumtif, baik bagi keperluan bahan pangan maupun untuk kebutuhan sekolah dan per77

baikan rumah serta kebutuhan konsumtif lainnya. Namun demikian, pada tahun 2002 dan 2003 di USP terdapat modal yang belum dimanfaatkan dengan baik. Padahal apabila diamati pada masing-masing koperasi yang ada dan tumbuh di Indonesia, diketahui masih banyak USP yang mampu memutar modalnya secara optimal bahkan tidak sedikit USP koperasi yang masih kekurangan modal bagi pengembangan usaha simpan pinjamnya.

JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 2, Jilid 9, Tahun 2004

Tabel 2. Perkembangan Unit Simpan Pinjam (USP) Tahun 1996-2002 dan 2002-2003 Tahun Lembaga Anggota Modal Vol.Usaha Keterangan (unit) (orang) (Jt Rp) (Jt Rp) 3) 1996 28.143 8.568.111 2.794.193 2.340.422 Jan 1996 1) 2002 35.267 9.928.417 4.521.030 3.898.737 Mei 2004 2) 2003 35.000 9.783.134 4.680.400 4.553.068 Mei 2004 96-002 3,83 % 2,48 % 8,35 % 8,88 % Pert/tahun 3) 002-003 (0,75)% (1,46) % 3,53 % 16,78 % Pert/tahun 3) 1) Sumber: Statistik Kop dan PK (1996) & Kantor kementrian Kop dan UKM (2004) 2) Data diolah

Dana nganggur (idle) di koperasi tersebut sebenarnya dapat dihindari agar menjadi dana yang produktif. Masalahnya adalah sarana yang diperlukan untuk keperluan tersebut masih belum ada. Saat ini, apabila ada dana koperasi nganggur biasanya disimpan di bank dalam bentuk deposito. Padahal apabila system keuangan koperasi sudah ada dan dapat dijalankan dengan baik, maka dana nganggur di suatu koperasi akan dapat digunakan secara optimal oleh koperasi lainnya.

MANFAAT DAN HAMBATAN PENGEMBANGAN KSP DAN USP Di lihat dari Tabel 1 dan 2 diperoleh informasi bahwa kehadiran lembaga keuangan berbentuk koperasi (KSP dan USP), ternyata dapat disebutkan bahwa kehadirannya memberikan manfaat lebih dari 10 juta orang untuk memperoleh pinjaman, baik bagi keperluan tambahan modal untuk pengembangan usaha maupun untuk keperluan konsumsi. Jumlah anggota yang telah memanfaatkan fasilitas pembiayaan atau pinjaman dari koperasi pada 2002 dan 2003 masing-masing sebanyak 586.207 SULAEMAN, ANALISIS MANFAAT………

orang serta 637.448 orang di KSP dan 9.928.417 orang dan 9.783.134 orang di USP koperasi. Walaupun sebaran anggota koperasi yang menyimpan dan meminjam tersebut sangat luas (seluruh Indonesia), tetapi dapat diidentifikasi bahwa wilayah yang termasuk besar. terutama dilihat dari sisi jumlah pinjaman yang diberikan, adalah: (1) Di Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi secara berurutan 1) Jawa Timur, 2) Jawa Barat, 3) DKI Jakarta, 4) Sulawesi Selatan, 5) Jawa Tengah, 6) Bali, dan 7) Sumatera Utara. (2) Di Koperasi Simpan Pinjam (KSP) secara berurutan 1) DKI Jakarta, 2) Jawa Timur, 3) Kalimantan Barat, 4) Jawa tengah, 5) Bali, 6) Sulawesi Selatan dan 7) Jawa Barat Dibalik manfaat yang cukup besar yang telah dirasakan oleh para anggota dalam memperoleh pinjaman secara mudah dan relatif murah serta cukup menguntungkan secara bersama, ternyata masih menyimpan berbagai kelemahan. Apabila kelemahan ini dapat diatasi dengan baik, maka secara langsung dan nyata akan memberikan dampak mening78

katkan manfaat bagi anggota koperasi, terutama dilihat dari kualitas, kuantitas dan sebarannya. Beberapa hambatan tersebut dapat diidentifikasi, diantaranya adalah: 1) Belum adanya system pengembangan keuangan koperasi, dan 2) masih banyaknya KSP dan USP yang dalam kegiatannya melanggar aturan, khususnya PP No. 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam. Walaupun kegiatan usaha simpan pinjam yang diusahakan oleh koperasi ini telah lama dilakukan di Indonesia, yaitu sejak awal abad 20. Namun demikian, kelengkapan peraturan perundangan dan aturan pendukung lainnya baru memadai ketika UU No. 12 tahun 1967 tentang perkoperasian diperbaharui melalui UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Kemudian ditunjang oleh kehadiran peraturan pemerintah, yaitu PP No. 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam, serta petunjuk pelaksanaannya di lapangan. Ternyata, walaupun peraturan perundangan dan aturan pendukung lainnya telah cukup lengkap, tampaknya masih belum dapat mendorong secara significan peningkatan kualitas KSP dan USP. Bahkan diduga kuat banyak koperasi simpan pinjam yang tidak untuk melayani anggota, sebagai pemilik dan pengguna, tetapi lebih banyak melayani masyarakat lainnya yang bukan anggota. Bahkan cukup banyak ditemui KSP-KSP yang beroperasi saat ini, lebih banyak menguntungkan atau berorientasi kepada kepentingan

79

anggota sebagai pemilik dan sangat kurang memperhatikan kepentingan anggota/calon anggota sebagai pelanggan, yaitu sebagai penyimpan dan peminjam (nasabah). Terdapat dua kemungkinan terjadinya penyimpangan pada kegiatan operasi KSP dan USP dilihat dari kehadiran PP No. 9 tentang usaha simpan pinjam, yaitu: 1) kepiawaian pengelola koperasi memanfaatkan celah-celah beberapa aturan yang meragukan atau mendua, dan 2) secara sengaja melanggar aturan yang ada. Sebagai informasi penting adalah bahwa selama ini hampir tidak pernah dikenakan sanksi yang memadai apabila koperasi melakukan pelanggaran terhadap UU koperasi No.25 dan atau PP no.9 yang dilakukan tersebut. Eksistensi koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam pada koperasi akan terjamin apabila kinerja usaha yang ditunjukkan oleh pertumbuhan usaha yang sinifican didukung secara kuat oleh adanya aturan/kebijakan yang baik dan praktik-praktik yang sehat, dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi dan usaha serta pendapatan anggota (members promotion). Eksistensi koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam pada koperasi dipengaruhi sekurang-kurang oleh tiga faktor, yaitu: 1) legal, 2) kinerja usaha, 3) kepercayaan anggota. Ketiga faktor tersebut pada kenyataannya di lapangan sangat terkait satu sama lain, sehingga paduan ketiganya sering diidentikan dengan kesehatan koperasi simpan pinjam. Oleh karena itu, apabila salah

JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 2, Jilid 9, Tahun 2004

satu faktor saja kinerjanya tidak baik, maka akan sangat berpengaruh terhadap kinerja atau kesehatan koperasi secara keseluruhan. Terdapat tujuh aspek penting dalam PP No.9 tahun 1995 tentang pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam. Ketujuh aspek tersebut adalah: 1) Umum, 2) Organisasi, 3) pengelolaan, 4) Permodalan, 5) Usaha, 6) Pembinaan dan 7) sanksi. Oleh karena ketujuh aspek tersebut tidak dilaksanakan secara baik, maka menimbulkan berbagai permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan tidak optimalnya kinerja koperasi tersebut. Hasil pengamatan penulis terhadap empat KSP dan USP di Jawa Barat pada tahun 2002 memberikan gambaran bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan PP

No.9 Tahun 1995 belum sepenuhnya dilakukan dengan baik, lihat Tabel 3 dan Tabel 4. Hasil penelitian penulis tersebut, ternyata sejalan dengan hasil pengamatan Nurhayat Indra dkk (2002) mengenai KSP dan USP di Jawa Barat, diantaranya merekomendasikan sebagai berikut: 1) sistem pendataan kurang baik, 2) ketersediaan SDM dan dana bagi keperluan pengawasan relatif kecil, 3) tidak adanya jaminan bagi dana para penyimpan, 4) tidak adanya sanksi tegas terhadap KSP dan USP yang melanggar aturan, 5) terjadinya tumpang tindih/kerancuan hubungan dan koordinasi pelaksanaan tugas pengawasan antara dinas yang menangani koperasi di daerah dengan kementrian koperasi dan UKM.

Tabel 3. Hasil Pengamatan Terhadap Tujuh Aspek PP No.9 Tahun 1995 Pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) di Jawa Barat No Aspek Pelaksanaan B % KB % TT % 1 Umum 4 100 0 0 0 0 2 Organisasi 18 56,2 7 21,9 7 21,9 3 Pengelolaan 47 83,9 8 14,3 1 1,8 4 Permodalan 5 62,5 3 37,5 0 0 5 Usaha 26 59,1 13 29,5 5 11,4 6 Pembinaan 35 89,7 3 7,70 1 2,6 7 Sanksi 1 12,5 2 25 5 62,5 Jumlah 136 71,2 36 18,8 19 9,9 Sumber: Suhendar Sulaeman dan Indra Idris (2002)

Keterangan: B : Baik KB : Kurang Baik TT : Tidak Tentu

SULAEMAN, ANALISIS MANFAAT………

80

Tabel 4. Hasil Pengamatan Terhadap Tujuh Aspek PP No.9 Tahun 1995 Pada Unit Simpan Pinjam (USP) di Jawa Barat No Aspek Pelaksanaan B % KB % TT % 1 Umum 3 100 0 0 0 0 2 Organisasi 11 40,7 4 14,8 12 44,4 3 Pengelolaan 34 97,1 1 2,9 0 0 4 Permodalan 14 93,3 1 6,7 0 0 5 Usaha 16 51,6 8 25,8 7 22,6 6 Pembinaan 29 96,7 1 3,3 0 0 7 Sanksi 0 0 0 0 0 0 Jumlah 107 72,8 21 14,3 19 12,9 Sumber: Suhendar Sulaeman dan Indra Idris (2002)

Keterangan: B : Baik KB : Kurang Baik TT : Tidak Tentu Sehubungan dengan adanya berbagai hambatan bagi berkembangnya KSP dan USP menjadi lembaga keuangan yang baik dan sehat yang ditunjukkan oleh banyaknya kelemahan pada berbagai aturan/kebijakan yang ada serta pelaksanaannya di lapangan, Sularso (2002) mengemukakan bahwa dari hasil pengamatannya ditemukan indikasi bahwa terdapat potensi kerawanan pada KSP/USP, yaitu: 1) USP sebagai salah satu unit dalam koperasi, 2) KSP/USP mengembangkan pelayanan pada bukan anggota, 3) KSP/USP dijadikan sebagai payung legal pelepas uang, 4) Tidak pruden dalam memberikan pinjaman, 5) Kurang memperhatikan aspek akuntabilitas dan transparansi. Secara umum dapat disebutkan bahwa hambatan yang perlu segera dieliminir bagi keperluan pengembangan usaha simpan pinjam oleh koperasi (KSP/USP) sebagai upaya

81

mendukung pengembangan lembaga keuangan mikro adalah: 1) Adanya Perundang-undangan/Aturan/kebijakan yang kurang memadai, 2) Sedikitnya upaya sosialisasi perundangan/aturan/kebijakan, 3) Tidak ada ketegasan/keberanian untuk melakukan pinalti terhadap KSP/USP yang melanggar, 4) Kurangnya kemampuan aparat pembina KSP/USP di lapangan dan 5) Adanya ketidak jelasan tanggung jawab pembinaan dan pengembangan KSP selama masa transisi pada penerapan UU No. 25/1999 mengenai otonomi daerah. Oleh karena itu, apabila semua pihak yang terkait dan berkepentingan dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam mengembangkan KSP dan USP, adalah sangat mungkin bagi KSP dan USP untuk dapat mengembangkan dirinya menjadi lembaga keuangan mikro bukan bank yang baik dan sehat

JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 2, Jilid 9, Tahun 2004

serta dipercaya masyarakat banyak.

PENUTUP Lembaga keuangan koperasi (KSP dan USP) telah memberikan manfaat kepada anggotanya untuk dapat menyimpan dan meminjam secara mudah dan murah, dan akan lebih banyak dan berkualitas manfaat yang dapat diperoleh anggotanya apabila berbagai hambatan yang ada dapat diselesaikan dengan baik. KSP dan USP mempunyai peluang yang sangat baik untuk menjadi lembaga keuangan yang baik, sehat dan dipercaya masyarakat, apabila dibangun dan dikembangkan dengan baik secara bersama oleh anggotanya. Peluang tersebut akan dapat dicapai apabila didukung oleh adanya perundangan/aturan/kebijakan yang memadai dan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terkait dan berkepentingan untuk mengembangkan KSP dan USP dengan baik dan benar. Berkembangnya KSP dan USP disamping dalam skala mikro akan membantu mengembangkan kegiatan usaha skala kecil dan menengah, juga dalam skala makro akan berdampak membangun lembaga keuangan mikro dan sekaligus membantu meningkatkan kemampuan lembaga keuangan koperasi melalui system pengembangan keuangan koperasi. Sistem pengembangan keuangan koperasi dimaksud, bukan dibangunnya kelembagaan secara vertical seperti pusat dan atau induk koperasi simpan pinjam. Tetapi lebih kepada SULAEMAN, ANALISIS MANFAAT………

mengembangkan jaringan yang dapat mengoptimalkan keuangan koperasi, seperti membangun bank koperasi yang keberadaannya dijamin oleh undang-undang perbankan.

DAFTAR PUSTAKA Endang Tohari. 2002. Pengalaman Pemberdayaan LKM-Agro di Indonesia “LKM-Agro dan Kemandirian Petani”. Makalah pada Lokakarya Lembaga Keuangan Mikro Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) untuk Mendukung Pengem-bangan Usaha Mikro, Jakarta 10 September. Gunawan Sumohadiningrat. 2002. Makalah Saresehan Nasional Micro Finance dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan. Kerjasama F-MIPA IPB, CRESCENT dan Partnership for Government Reform in Indonesia. Maulana Ibrahim. 2002. Menuju Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang Sehat dan Berkelanjutan (Sustainable). Keynote Adrdress pada Lokakarya Lembaga Keuangan Mikro Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) untuk Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Jakarta 10 September. Nurhayat Indra dkk. 2002. Ringkasan Studi Pengawasan KSP/USP dalam Rangka Otonomi Daerah di Jawa Barat. Kementrian Negara Koperasi dan UKM, Jakarta. Suhendar, S dan Indra Idris. 2002. Kajian Aspek Legal Pelaksa82

naan Usaha Simpan Pinjam Oleh KSP dan USP. Puslitbang BPS-KPKM, Jakarta. Sularso. 2002. Studi Pengawasan KSP/USP. Makalah Pembahasan

83

pada Seminar Pengawasan KSP/USP dalam Rangka Otonomi Daerah, Jakarta 30 September.

JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 2, Jilid 9, Tahun 2004